2012/12/17

Perigi Buta

SEKERAT bir hitam tersisa di lemari es. Johan menandaskan satu botol yang separuh terisi. Dalam satu tegukan itu, perutnya belum berhenti membunyikan tanda lapar.

Anaknya yang masih balita merangkak mendekat, menonton Johan menjilati kepala botol. Mata bulat dan bibir bocah itu sedikit terbuka, tangannya menggapai-gapai kursi. Johan melempar botol ke arahnya karena kesal. Pecahannya seketika tersebar di lantai. Bocah itu lantas menjeritkan nama ibunya yang sedang sekarat di kamar. Jeritannya berbalaskan lagu keroncong dengan volume maksimal yang diputar Johan. Berjam-jam kemudian, gesekan biola dari lagu-lagu itu berhasil menidurkannya.

Menjelang pagi, Johan membelai rambut istrinya dan membisiki agar dia bangun. Linda terlentang di kasur dan menggenggam rosario. Wajahnya pucat dan bibirnya membiru. Telah berhari-hari Linda tak makan. Kalau bukan karena sifilis, perempuan itu akan mati karena kelaparan.

Pagi itu Johan menyuapi Linda lumatan sosis dan roti sisa yang ia pungut dari keranjang sampah tetangga. Saat suapan terakhir habis, Johan berusaha mengingat tanggal. Seketika, ia tiba-tiba berlari ke arah mantelnya yang tergantung di ruang tengah, lalu merogoh saku dan mengeluarkan beberapa keping koin. Johan tahu sisa koin itu tak akan cukup untuk menunggu Linda sembuh dari kelumpuhan. Ia harus kembali bekerja.

Lima tahun lalu ia memutuskan berhenti bekerja demi menunggu kesembuhan istrinya itu. Berhari-hari ia diselimuti rasa cemas tak berkesudahan. Sekian pengandaian ia ajukan kepada dirinya. Sampai akhirnya, ia kontrakkan rumah dan dijualnya koleksi buku dan keping filmnya yang menggudang demi membiayai pengobatan Linda. Beberapa bulan berikutnya, Linda siuman dari koma setelah mereka pindah ke dangau di belakang rumah. Hanya saja, pangkal paha hingga mata kakinya lumpuh.

Sebulan terakhir Johan tak lagi mencucikan baju hangat istrinya. Ia pun tak ingat untuk menyobeki kalender China di dinding dapur. Lembar terakhir berhenti pada angka ganjil hijau. Tanggal pernikahan mereka yang sudah tak terayakan sejak Linda sakit.


EMBUSAN napas Johan menjelma asap di udara. Digunakannya koin-koinnya untuk menelepon kawan lamanya lewat telepon umum.

“Kira-kira, apa ada pekerjaan untukku?”

Koin pertama untuk penjelasan berbelit kawannya.

“Yang tiga hari kerja dalam seminggu, dan gajinya cukup untuk biaya hidup, ada?”

Koin kedua untuk Johan menjelaskan keadaan keuangannya.

“Linda tak kunjung sembuh. Aku butuh uang untuk bertahan hidup. Tapi aku tetap harus menjaganya di rumah. Pekerjaan yang ringan saja.”

Koin ketiga untuk memaki-maki.


SELALU ada orang-orang unik melewati jalan di depan rumah mereka. Pagi itu, seorang perempuan muda mendorong kereta bayi. Payudaranya penuh, gesturnya seperti Audrey Hepburn di Breakfast at Tiffany's. Johan membayangkan perempuan itu menjawab perkataan “Aku cinta kamu” dengan sebatas “Terima kasih”. Bayangan itu lenyap ketika melihat istrinya duduk di ruang tengah rumah. Saking laparnya, perempuan itu terlihat mengganyang kepala anak mereka di sana. [*]

Semacam bosan, lagu-lagu dari Banda Neira sudah buyar. Yogyakarta, 17 Desember 2012.

2012/10/18

Sebuah Rumah untuk Kesenian Rakyat



Awalnya tempat itu hanya diniatkan sebagai ruang mengisi waktu luang. Kini, beragam usaha dilakukan untuk membuatnya bertahan.

Menjelang malam dua gadis kembar berlatih mendalang di ruang tengah rumah. Seruni Wida Ningrum melantunkan suluk  memulai kisah pewayangan. Intonasi suaranya mantap mengalahkan gerimis hujan di pekarangan. Bersimpuh bersisian, Seruni Wati memperadukan wayang kancil di pegangannya. Tabuhan gamelan mengiringi latihan mendalang dalam bahasa Jawa itu.

Bagi Wida-Wati, begitu mereka biasa disapa, rutinitas harian itu adalah sarana untuk mewujudkan cita-cita menjadi pendalang. Bisa dibilang Wida-Wati adalah sepasang pendalang yang disiapkan dan digembleng sejak dini oleh para pelatih di Balai Budaya Minomartani. Tak ada biaya yang diperlukan dalam setiap kegiatan mereka. Roedi Hotmann-lah yang membawa ide tanpa pungutan biaya itu ke Balai Budaya Minomartani sejak berdirinya joglo pada 1990. Walhasil, para penggiat seni Balai Budaya Minomartani lainnya kerap mengadakan pelatihan gratis karawitan, wayang, tari, ketoprak, dan teater bagi warga Minomartani dan sekitarnya.

Sebagian besar warga Minomartani tidak menggeluti ranah seni secara profesional. Mereka berlatih seni untuk mengisi waktu senggang selepas kerja. Seperti pada malam yang sama, ibu kedua saudari kembar itu, Endang Purwanti, ikut berlatih ketoprak bersama tiga puluh pendengar setia Radio Balai Budaya Minomartani (Radio BBM). Ada pentas yang mereka persiapkan untuk ditampilkan tiga minggu berikutnya. Karakterisasi ketoprak disesuaikan dengan keseharian pendengar radio BBM sebagai wujud interaksi pendengar dan pegiat Radio BBM. “Kan, pendengar Radio BBM profesinya macam-macam, itu yang akan ditampilkan,” jelas Sukisno, Kepala Taman Budaya Yogyakarta yang juga bergiat di Balai Budaya Minomartani.

Pentas juga akan diudarakan secara langsung melalui Radio BBM 107,9 FM. Dengan itu, komunitas Minomartani dapat menikmati Ketoprak kendati sebatas melalui medium suara. “Kalau tidak ada radio, balai budaya tidak jalan, karena seringnya orang-orang monitoring dari radio. Sebaliknya, radio tidak jalan tanpa balai budaya karena income radio dari penyewaan gamelan,” ujar Eko Cahyo, teknisi Radio BBM.

Jauh pada tahun 1990-an, kebutuhan warga akan budaya hanya diwadahi oleh RRI dan TVRI. Lantaran seringnya delay dan kualitas rekaman yang kurang baik, warga berinisiatif membuat media sendiri. Sebelum ada radio, warga memperoleh berita seni dan budaya melalui Koran Selembar (Kobar). Koran ditulis tangan, diperbanyak, dan lantas dibagikan kepada masyarakat. Radio BBM adalah generasi kedua dan telah beroperasi sekitar 12 tahun. Mulanya, ada Radio Suket Teki sebagai radio perintis,yang berdiri lantaran keisengan Adi Nugroho, generasi pertama teknisi radio di Minomartani. Bersama warga yang hobi membikin pemancar radio FM, bilik kecil rumah di depan joglo Balai Budaya Minomartani dijadikannya tempat siaran.

Saat itu, Adi tak meniatkan radionya menjadi ikon Balai Budaya Minomartani. Meneruskan Kobar, program siaran Radio Suket Teki masih berfokus pada seni dan budaya berdaya jangkau hingga Kalasan dan Jetis. Siaran radio terdengar belum terlalu jernih karena masih menggunakan radio rakitan sendiri. Namun, ketangguhannya beroperasi dapat ditandingkan dengan usaha radio-radio swasta pada awal tahun 2000-an. “Pada tahun-tahun itu, Radio Suket Teki sempat dijuluki mbah-nya radio komunitas,” jelas Eko.

2012/07/31

Perihal Angle of Vision dan Sejarah Tokoh Kosmopolitan

Wawancara dengan Andi Achdian untuk Balairungpress.com


Jumat (27/7), sejak pukul 09.00 hingga 18.00 Komunitas Etnohistori mengadakan rangkaian acara kuliah umum, peluncuran perdana Jurnal Etnohistori, diskusi buku The Will to Improve oleh Prof. Dr. Tania M. Li. dan buku The Angle of Vision oleh Andi Achdian, serta program buka bersama. Di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, pengurus redaksi Majalah Loka mengisi acara terakhir, diskusi buku The Angle of Vision. Diskusi buku ini mendatangkan juga Hatib Abdul Kadir M. A., dosen Jurusan Antropologi Universitas Brawijaya, dan M. Nazir, M. A., pengajar di Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional, sebagai panelis.

Buku The Angle of Vision yang diterbitkan LOKA Publishing pada Juni 2012 ini membawa tagline “Mereka yang Tidak Menyerah pada Sejarah”. Melalui bukunya, Andi mengajak pembaca mengenal delapan tokoh yang dekat di hatinya; (diurutkan berdasarkan Daftar Isi) Kartini, Sukarno, Soedjatmoko, Gunawan Wiradi, Onghokham, Imam Muhaji, Bre Redana, dan Linda Christanty.
Hatib berpendapat kumpulan tulisan Andi menggunakan penulisan etnografi kontemporer. Jelasnya, penulisan etnografi tradisional masih menggunakan sudut pandang pertama, terwujud dalam penggunaan kata ganti mendaku (saya, aku, dst.), sementara etnografi kontemporer telah lepas dari penggunaan kata ganti orang pertama. “Ini terjadi karena seringkali etnografer pada masa ini takut bila dimintai pertanggungjawaban,” ungkapnya.

Sementara itu, Nazir menganggap buku Andi ini sebagai suatu milestone yang baik bagi penulisan sejarah kontemporer; terutama dengan menampilkan profil tokoh-tokoh dengan ragam potensi. Menurutnya, cukup lama penulisan sejarah Indonesia hanya terpaku pada masa lalu.

Hatib menyebutnya sebagai sejarah kosmopolitan. Ia menarik benang merah dari delapan tokoh yang dihadirkan Andi dalam bukunya ini. Tokoh-tokoh yang dihadirkan adalah tokoh-tokoh yang membuka diri kepada dunia global, juga gemar berinteraksi dengan dunia membaca dan menulis. Beberapa dari mereka bahkan telah membaca karya-karya adiluhung sejak usia muda. Meskipun, bagi Hatib, pemaparan dalam buku masih kurang dalam.

Yang menarik, Hatib melihat, penulisan profil Linda nampak sangat intim. Andi, dalam diskusi, mengakui kedekatannya dengan Linda. Baginya, intensitas wawancaranya dengan Linda yang berkali-kalilah yang menimbulkan kesan itu. Andi lantas juga memaparkan tokoh-tokoh lainnya dengan beragam profesinya. “Ada yang menjadi penulis, dramawan, tokoh politik. Delapan orang ini dapat menjadi contoh terbaik menyangkut profesi yang digelutinya. Buku ini bisa menjadi referensi bila generasi muda kita ingin belajar caranya menjadi penulis, atau dramawan yang baik, misalnya,” jelasnya.

Tidak berhenti hanya di diskusi buku, Balairungpress.com mendapatkan kesempatan wawancara khusus dengan Andi Achdian di akhir acara.

Bagaimana tanggapan Andi tentang pernyataan Hatib; ia bilang, buku ini bisa menjadi referensi untuk bahasan kosmopolitanisme?

 
Kira-kira memang betul. Indonesia dibentuk oleh tokoh-tokoh penting yang pada saat mudanya berkenalan dengan dunia luar yang lebih luas; baik keseharian maupun kesempatan belajar. Rumusan-rumusan tentang Indonesia dibuat oleh pemikiran yang sangat modern, mondial. Mereka tidak hanya berkutat dengan sebuah negeri kecil, mereka dapat bicara tentang sesuatu yang besar. Jadi ada perbandingan yang mereka lakukan, mereka tidak terkurung. Mereka menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari dunia, bukan orang yang tertutup.

Lalu kenapa hanya delapan tokoh ini? Tadi di dalam (auditorium FIB—red.), Andi memaparkan delapan orang ini dapat menjadi representasi yang baik untuk profesi-profesi intelektual, penulis, tokoh politik, dan sebagainya. Kenapa hanya delapan profesi?

 
Keterbatasan memberitakan banyak hal. Jadi saya ambil yang paling saya kenal. Paling tidak ada benang merah, bahwa masing-masing dari mereka punya driveangle of vision, untuk terus berkembang. Mereka semua berhasil melakukan hal yang orang-orang pada umunya lihat sebagai mustahil.

Apa bisa diceritakan satu per satu?

 
Tadi saya sudah paparkan tiga orang di dalam (Soekarno, Kartini, dan Linda—red.).

Soedjatmoko, waktu kuliah saya sangat terkesan dengan tulisannya. Walaupun tidak ada kerangka teoretis yang dikemukakan dalam tulisannya, ia orang yang merepresentasikan Indonesia yang begitu besar. Ia menjadi rektor pertama Universitas PBB di Tokyo, ia menjadi bagian dari dunia yang besar, ia menjadi bagian global.

Gunawan Wiradi, orang yang pantang menyerah, punya banyak masalah tentu, tapi ia aktif menjadi generasi yang mencoba membuat definisi baru tentang Indonesia. Terlihat dari karakternya; baginya, masalah gagal, itu lain soal.

Imam Muhaji, terlihat seperti orang biasa, ia aktivis politik, meski tingkat kampung, tapi punya sikap yang gigih, ia juga bisa realistis, punya kreativitas. Kalau keadaan menekan; kan, kita selalu bertanya, kita bisa bagaimana? Nah, Imam bisa menjawabnya. Kita butuh orang-orang yang bisa menjawab itu.

Bre Redana, ia memberikan makna baru terhadap sejarah ’65. (Ingatannya tentang sejarah ’65 muncul dalam novel semiotobiografinya yang berjudul Blues Merbabu dengan nama pena Gitanyali. Ia tidak menulis tentang kekejaman yang terjadi pada 1965, kendati ia berasal dari Merbabu, Salatiga di mana kekejaman tentang kejadian itu barangkali telah didengarnya dari banyak versi—red.)

Onghokham, dia guru saya, secara pribadi. Ia intelektual yang bisa bicara besar tentang sejarah, ia membicarakan lebih dari kapasitasnya, lebih dari sekadar sejarah, ia intelektual publik yang mewakili hasrat masyarakatkita tentang demokrasi. Saya pernah belajar di rumahnya.

Empat orang dalam daftar isi bagian awal, Kartini, Sukarno, Soedjatmoko, Gunawan Wiradi, saya belum pernah ketemu. Empat orang dalam daftar isi bagian bawah, Onghokham, Imam Muhaji, Bre Redana, dan Linda Christanty, saya pernah.

Kalau mengenai penulisan, profil yang kali pertama ditulis?

 
Saya mulai sejak Juni tahun lalu, saya menulis tentang Linda, waktu ada acara diskusi. Panjang tulisan setiap tahun berbeda, ketika itu saya belum menemukan kunci yang bisa menyatukannya. Baru bisa ketemu belakangan setelah dimuat di Majalah Loka (via daring melalui http://lokamajalah.com—red.). Yang paling puas, mungkin ketika menulis Kartini—saya banyak bermain dengan metafor, menggunakan lika-liku detail yang naratif sifatnya.

Dan dari delapan ini, kenapa perempuannya hanya dua? Kenapa tidak komposisi empat-empat?

 
Karena pilihan subjektif, yang paling menonjol ya saya lihat dua itu, ha ha ha.

Tapi apa ada tokoh lain yang potensial, utamanya wanita, namun tak dieksplor?

 
Dolorosa Sinaga, ia perupa, saya berniat menulis tentangnya. Waktunya tak terkejar, dan belum mendalam. Selebihnya, bagi saya, baru dua itu yang istimewa, Linda dan Kartini.

Ada hambatan dalam pengerjaan?

 
Teknis saja, mencetak dan menulis dua hal yang berlainan. Kendalanya, sebatas rasa malas saja, mungkin.

Terakhir, apa yang melatarbelakangi buku ini?

 
Ada juga inspirasi awal, ada orang yang saya tak kenal, tapi dia tahu saya. Dia menghubungi lewat YM (aplikasi Yahoo! Messenger—red.), kami bicara, dari pernyataannya: Kok susah ya ketemu tokoh yang menarik di Indonesia. Kita tidak punya seseorang yang “wah”. Harusnya ada. Bermula dari pembicaraan itu, saya ingin menulis suatu sejarah yang bukan sekadartextbook yang berlaku untuk kalangan akademis. Orang biasa, anak SMA, dan orang-orang yang tidak berhubungan dengan sejarah bisa suka dengan buku ini. Supaya anak-anak Indonesia suka sejarah.

2012/06/25

Tikungan

Sepuluh atau dua puluh tahun dari sekarang, semua kawan kita—bahkan mereka yang kini mengaku paling kesepian sekalipun—sudah akan menikah. Kawan gay, kawan lesbi, semua kawan kita tak terkecuali. Mereka akan bekerja di perkantoran, membangun usaha mereka sendiri, ataupun menganggur dan tetap bersuka cita dengan hal-hal kecil yang mereka lakukan. Atau menjadi gila karena dunia.

“Sudah selesai. Sudah beres. Sebentar aku pulang dan mengemasi semua barang.”

Tahun-tahun ke depan, kita semua akan mulai mewujudkan mimpi. Menang ataupun kalah bukan tujuan. Karena aku percaya, kau akan melanjutkan hidupmu bahkan ketika semua mimpimu tak berhasil kau wujudkan. Karena kita hanya merebut kembali apa yang sempat kita lepas. Kegembiraan anak kecil yang bercita-cita.

“Tidak, aku malas berfoto. Maksudku, aku mengiyakan untuk wisuda pun hanya agar kamu senang saja. Tapi ternyata kamu ada kerjaan lain. Mengecewakan.”

Pada saat apa pun, ayah-ibumu, adikmu, dan semua sahabatmu mungkin akan selalu menemanimu di sisimu. Seperti hari ini. Mereka dapat memelukmu, mengecup pipimu, memukul-mukul pundakmu, dan berbagi tawa denganmu. Menceritakan hal-hal lucu yang akan membuatmu terpingkal. Menaruh kesedihanmu di pundak mereka. Hari ini, kalian dapat segera berlarian, meloncat, dan kamera-kamera akan mengabadikan semuanya. Ataupun kau dapat melempar togamu ke angkasa. Biarkan mereka menangkapnya kembali untukmu.

“Tidak, hanya bercanda. Bukan masalah. Aku menikmati. Kalau tidak, aku pasti sudah  pulang dari tadi. Aku suka melihat suasana ini. Semua temanku bergembira.”

Selamanya aku hanya akan menjadi pemujamu. Tak akan selangkah pun mendekat. Tak akan memulai pembicaraan. Bila kelak kita bertemu lagi, kita hanya akan bertukar tatap. Membagi senyum sebagai kawan lama. Yang satu almamater, yang seringkali berjumpa di kesempatan-kesempatan tak terduga, dan tak pernah berkesempatan untuk saling mengenal.

“Aku tak menganggap perayaan semacam ini penting. Lagipula aku ada banyak pikiran sekarang. Kontrakan rumahku selesai bulan ini. Aku akan … pergi. Pindah ke suatu tempat. Atau mungkin hidup nomaden.”

Setelah hari ini, kau akan mencintai gadis lain. Menikahinya. Beranak. Membesarkan anak-anak kalian agar menyerupai kalian. Bertahun-tahun kemudian, mungkin aku akan jatuh cinta kepada anakmu.

“Bodoh. Sekalipun nomaden, aku tak ingin berkeliling dunia. Itu sudah terlalu mainstream.”

Jadi kita berpisah di tikungan ini. Aku tahu kau tidak akan menyadari perpisahan ini. Selamat tinggal untuk cinta empat tahunku kepadamu.

*

#25 Juni 2012

2012/06/19

Saudade

(*) Lema berbahasa Portugis dengan dialek Galisia (tidak ada padanan-kata dalam bahasa Inggris) yang kira-kira bermakna kerinduan yang kuat terhadap sesuatu atau seseorang yang dicintai. Perasaan ini biasa diikuti oleh keyakinan bahwa yang dirindukan tak akan pernah kembali.

"POSITIF, tiga tahun lagi aku akan mati,” ujar Nirwan dengan putus asa setelah hening berpuluh menit. Air matanya banjir di pipi dan telah membasahi layar ponsel hingga lipatan lehernya. “Aku harus mengajukan surat berhenti bekerja, tiga tahun ini aku akan berkeliling Indonesia; dan bila nanti tubuhku melemah, aku akan menetap di sembarang kota untuk sebanyak-banyaknya menulis syair.”

Jane kehilangan kata-kata kendati gagang telepon telah menempel di telinganya lebih dari satu jam—sampai tiba-tiba dia teringat, “Bukannya kau benci sastra?”

“Aku berubah pikiran. Jane—begini, aku akan kursus menulis fiksi dan syair, aku ingin hidup abadi dalam tulisan. Barang-barangku—aku sedang mempertimbangkan untuk membakarnya. Aku takut menjadi miskin di sana. Kau tahu, kami etnis Tionghoa biasa membakar barang-barang agar leluhur mereka dapat mempergunakannya kembali di alam sana. Paling tidak, aku akan titip Sera dan anak-anaknya kepadamu. Aku tak yakin kucing-kucingku ini bisa dekat dengan orang lain selain kita berdua.”

“Jane,” panggil Nirwan, “katakan apa pun. Aku butuh pendapatmu.”

“Bagaimana bila dua tahun lagi dokter-dokter itu menemukan obat yang mujarab untuk leukemia?”

“Menurutmu takdirku sebaik itu?” tanya Nirwan lirih. “Maksudku, bahkan tak ada seorang pun pernah mencintaiku. Tiga tahun lagi, aku akan mati perjaka sebagai gay yang menyedihkan.”

“Sebelum mati, kau bisa tidur denganku,” sahut Jane, “aku mungkin bisa melepaskan keperawananku.”

“Bodoh.” Nirwan tertawa sarkastis. “Aku sahabatmu, dan aku gay, aku gay, Jane.”

Jane menggigit bibir. “Nirwan, apa kau memang benar-benar ingin lenyap begitu saja? Semua barangmu akan kau bakar, kau mati; nanti apa yang tersisa darimu?”

“Nanti—aku pasti akan sukses menulis buku-buku tebal selama tiga tahun ini. Pramoedya bilang, itu cara menjadi abadi.”

Jane tertawa terbahak. “Omong kosong. Darahmu tidak mengalir dalam tulisanmu.” Dia berhenti sejenak, “Aku tak rela kau mati perjaka. Sebelum mati, tolonglah, kau harus menghamili seorang wanita.”

“Jangan konyol,” tukas Nirwan. “Aku tidak akan pernah sudi merampas keperawanan darimu yang sudah kuanggap adikku sendiri.”

“Apa kau keberatan untuk tidur dengan pelacur?”



“JANE,” panggil Nirwan sembari mengejar langkah cepat Jane di lorong-lorong sempit Malioboro. Di tengah lalu-lalang pedagang, saling berkejaran mereka berbicara dalam bahasa Prancis—bahasa yang mereka pelajari selama empat tahun perkuliahan strata satu di negeri orang. “Apa pun, asalkan bukan ini.”

“Untuk apa seminggu ini kau menonton ratusan film porno bila sekadar praktik begini saja kau sudah berniat kabur?” 

“Iya, aku tahu bagaimana caranya. Tapi, Jane, …”

“Gadis ini perawan. Aku membayarnya lebih mahal daripada tarif biasa. Uangku sudah digunakannya untuk membayar biaya pengobatan ayahnya. Tak ada cara untukku menagih uangku kembali.”

Cuaca cerah kota Yogyakarta tak meringankan kegelapan yang membayang-bayangi Nirwan. Jantungnya berdetak tak keruan ketika melihat Lani—gadis yang dibayar Jane.

Banyak hal sudah dilakukan Lani untuk keselamatan ayahnya, dan bulan itu—ketika nyawa ayahnya sudah di ambang batas—demi dana operasi, dia mau tak mau mesti mengimani perintah ibunya. Melacurkan diri bisa jadi adalah jalan pintas terakhir. Maka begitulah Lani dengan tubuhnya yang ranum duduk bertelanjang di hadapan duo sahabat itu. Rambutnya yang hitam pekat terkepang panjang menyentuh pinggang. Lama Nirwan mengamati kulit kecokelatan Lani, tubuh molek itu nampak bergetar senada dengan degup jantung Nirwan.

“Aku tak bisa, Jane,” bisik Nirwan.

Tetapi Jane mengabaikan beragam penolakan Nirwan.

“Sesuai kesepakatan kontrak, selama tiga bulan ini, aku akan memantau keadaanmu. Kalau nanti kamu hamil, kamu akan segera kuajak pindah ke Jakarta. Pokoknya, kamu tinggal terima beres.” Jane mengingatkan Lani.


BERTAHUN-TAHUN kemudian, di saat peti mati dan batu nisan untuk Nirwan telah disiapkan, Lani datang dengan suaminya yang setia. Nirwan dengan tubuhnya yang lemah tergeletak sayu di atas kasur di kamarnya.

Betul, kan, Jane, takdirku memang tak sebaik dugaan kita. Mungkin aku mandul, Jane. Jane teringat bagaimana Nirwan dulu merajuk.

“Tapi, Mbak, ada seseorang yang memang menyediakan jasa untuk itu,” ungkap Lani. “Anu,” dia menengok sebentar ke arah suaminya, “maksud saya, ada yang mau hamil dan ikhlas tidak dibayar, asal disediakan makan dan tempat tinggal.”
“Kenapa kamu baru cerita sekarang?”

“Saya juga tahu itu dari ibu saya, dia bertahun-tahun melacur dengan wanita ini,” jawab Lani. “Pindah-pindah, Mbak, tempat tinggal teman ibu saya ini. Dua tahun kemarin, dia mengandung anak orang di Surabaya. Anaknya langsung diambil darinya dan dia diongkosi untuk hengkang dari sana.”

Jane memandang ke arah Nirwan yang sedari tadi mengamati mereka mengobrol dari arah ranjangnya. “Mungkin ini jalan terakhir,” gumam Jane. Tangis menggantung di matanya.



DI USIANYA yang sepuh menjelang separuh abad, Raras sudah melahirkan dua puluh putra yang kesemuanya semata-mata pesanan orang.

Selama ini, hampir setiap orang yang meminta jasanya menuntut agar dia melahirkan anak laki-laki. Untuk itu, setiap hari Raras dicekoki makanan kaya protein dan berpantang bawang merah. Baru kali ini dia hanya dituntut untuk hamil, tak peduli apa pun jenis kelamin anaknya kelak. Raras bahkan diperbolehkan untuk turut menamai anak yang nantinya akan terlahir dari rahimnya, dan berhak mengaku-akukan anak itu lewat akte kelahiran. Tawaran-tawaran Jane tentu mengalahkan rencana pensiun dini Raras seketika itu juga.

“Jane, ini tak masuk akal,” tuntut Nirwan, “sebelum mati bukannya lebih baik aku menghabiskan waktu dengan orang yang kucintai, alih-alih dengan paksaan harus menghasilkan keturunan? Sekali saja dalam hidupku, aku ingin tidur dengan laki-laki, Jane. Untuk apa aku tidur dengan nenek-nenek?”

“Kau hanya tak memikirkan jasa besar yang disediakannya.”

“Keadaan tubuhku selemah ini, Jane—dan orang-orang mengatakan dia tak waras.”

“Kau tak mungkin mengharapkan orang waras bersedia melahirkan puluhan bayi yang kesemuanya kemudian menjadi orang asing buatnya, kan?”

“Terkesan seperti apa yang dilakukan Dewi Gangga di kisah Mahabharata. Melahirkan anak, dan membuangnya ke sungai. Menurutmu apa yang membuat wanita ini bersedia melakukannya?”

“Yang jelas bukan uang. Jadi, iya atau tidak?”

“Jane, begini saja, bila kau ada di posisiku, kau berhasrat pada laki-laki tapi kau disuruh tidur dengan wanita, bagaimana perasaanmu?”

“Asalkan itu memberiku keturunan, tentu saja itu takkan kujadikan masalah,” sindir Jane.

Nirwan tertawa frustrasi. “Jane, jangan egois. Banyak pasangan yang dapat hidup bahagia sekalipun tak berketurunan. Ada jutaan anak terlahir dan tidak ada yang menghiraukan mereka, Jane. Banyak anak-anak seperti Lani, bahkan lebih parah karena mereka dijual, dilempar dari tangan satu ke tangan lain, dijadikan buruh seks.”

“Tapi kau sukses meniduri Lani, apa salahnya dengan yang ini?”

“Siapa bilang kemarin aku sempat menidurinya? Dia berbohong padamu, dan setelah aku begitu berjasa untuk membuatnya tetap perawan, aku heran kenapa dia justru mendukungmu.”

“Jadi kau tidak melakukannya?” Jane menarik napas dan mulai menangis. “Nirwan, kau sangat egois. Aku hanya tak mau kau hilang begitu saja. Nanti kalau kau mati, tidak ada lagi orang di dunia ini yang wajahnya mirip denganmu, kecuali bila kau memiliki keturunan …”

“Aku tak bisa melakukannya, Jane,” jawab Nirwan. “Harus bagaimana lagi aku menjelaskannya? Aku bisa mati di tempat bila aku melawan kata hatiku.”

“Tolonglah, kau bisa pejamkan matamu sambil melakukannya, atau kau bisa onani dan ayo kita pergi ke Bank Sperma, dengan begitu kau tidak perlu melakukannya dengan badanmu … dan kau bahkan bisa mendonorkan spermamu kepada gadis lesbian.” Jane mendesak.

“Terserah, kau pasti akan membantah semua perkataanku. Tapi, Jane, aku tak bisa memastikan apakah aku akan bisa selamat—bertahan hidup—hingga kita tiba di Bank Sperma.” Nirwan akhirnya mengalah. “Kau tahu, takdirku tak pernah sebaik itu.” [*]


Ditulis untuk Majalah Balairung di tahun 2012. Telah melalui riset yang meletihkan yang dibimbing oleh editor yang sangat cerewet yang sangat pemurah untuk kaidah penulisan fiksi realis, dan secara jujur dapat saya katakan riset itu tidak berguna sama sekali untuk tulisan ini.

2012/05/21

Untuk Kakek: Memorial di Tahun 0

Kakek bisa jadi adalah sosok paling tak masuk akal di rumah kami. Apapun yang ia lakukan selalu bertentangan dari hari ke hari. Ibu tak pernah suka kepadanya, ibu tak pernah suka kepada mertuanya. Kakek juga tak pernah menyukai ibu, kakek juga tak pernah menyukai putra semata wayangnya yang menikahi ibu. Namun, ayah-ibu, kakek-nenek—meski tidak saling menyukai—selalu saling bertentangan dalam sikapnya untuk menyayangi saya, anak dan cucu satu-satunya dalam keluarga.

Sebelum usia saya genap lima tahun, saya lebih sering menghabiskan waktu dengan kakek dan nenek. Ayah dan ibu senantiasa pulang larut malam, atau pada dini hari. Kendati, mereka hampir selalu membawakan oleh-oleh martabak ataupun terang bulan untuk kakek dan nenek. Pukul dua pagi, perlahan ayah akan menggendong saya—merebut saya dari bantal yang saya peluk di kamar nenek—dan membawa saya ke kamar ayah dan ibu. Bertahun-tahun kami tidur bertiga. Kakek, sepagi itu, akan mulai menyirami tanaman atau berbicara dengan angin; atau menekuri anjing peliharaan yang tidur pulas di halaman rumah. Nenek akan melanjutkan lagu-lagu kataknya untuk dirinya sendiri. Bila saya terbangun dan tak kunjung juga tertidur, ayah akan mulai menceritakan kisah-kisah pewayangan, atau ibu akan mengulang lagi kisah angsa yang menautkan leher dalam cerita Sampek Engtay. Mereka akan bercerita sepanjang malam hingga saya lanjut tidur.

Ayah kakek (kakek buyut saya) adalah seorang petani, cukup sering—meski tak mengelola sawah—kakek menggendong saya ke persawahan. Dari rumah kami di Jalan Imam Bonjol, ia akan berjalan kaki sembari membawa saya sebagai beban di pundak menuju sejauh tiga kilometer untuk mencapai persawahan terdekat. Untuk mencapai sawah, kami perlu melintasi lapangan sepak bola—di mana, pada ingatan saya, kakek selalu dapat bertemu dengan rekan-rekannya sesama veteran tentara. Saya tak pasti ingat apakah kakek memang pernah menjadi tentara; sebab ia juga adalah pensiunan guru SD (kalau bukan guru SMP).

Sawah di Denpasar pada medio 1990 tak jauh berbeda dengan sawah pada era milenium. Kecuali mungkin; lebih hijau-kekuningan, penuh dengan pondokan kecil yang terletak pada tiap empat barisan petak-petak sawah, ada banyak orang-orangan sawah yang dipasangi caping dan mengenakan pakaian lusuh berwarna biru army dan celana berwarna cokelat kumal, dan pada pinggiran aliran perairan Subak terdapat baling-baling kecil yang tak henti-hentinya berputar seiring dengan pergerakan angin. Persawahan itu selalu ditanami padi dan kacang kedelai, di sana kakek pernah menangkap katak dan melepaskannya lagi. Beberapa kali pula kami melihat ular sawah.

Tanpa diajak; ataupun dikalungi tali kait, anjing peliharaan kami—waktu itu adalah anjing ras Kintamani berwarna putih yang kira-kira berusia empat tahun dengan rambut yang lebat, namanya Rambo—selalu turut serta dalam perjalanan. Rambo selalu peka cuaca, ia akan pulang mendahului kami bilamana hujan berkemungkinan turun. Hujan sendiri tak pernah menjadi masalah bagi kakek. Kaki kakek selalu memijak dengan kuat. Menantang becek dan hujan. Mungkin hal ini menurun dari kakek buyut saya yang tak pernah saya kenal.

Kakek selalu suka berbicara dengan dirinya sendiri; lebih tepatnya, menggumamkan kata-kata yang tak terekognisi bahasanya. Kata salah seorang dalam keluarga besar kami, kakek pernah beberapa tahun mendekam di rumah sakit jiwa pasca kejadian gestapo. Ayah pernah bercerita tentang apa yang terjadi di halaman rumah kami pada tahun 1965; leher-leher yang dipenggal, tubuh-tubuh yang tercecer katanya pernah memenuhi ruang-dan-waktu kala itu. Namun begitu, kakek selalu netral setiap membicarakan soal PKI—yang dalam usia itu tak benar-benar saya pahami apa maksudnya. Pikir saya waktu itu; beberapa meter jaraknya dari rumah kami, ada sungai yang mengalir dari Sungai Badung. Mungkin tubuh-tubuh yang terpotong itu sempat dibuang ke sana.

Meskipun berprofesi guru, kakek bisa saya bilang bukanlah tipikal orang yang berstrategi baik. Pada awal 1990, ia menjual lahan belakang rumah kepada saudara nenek. Bertahun-tahun setelah rumah baru dibangun di lahan itu—dan telah cukup lama ditempati—Pohon Asam besar tempat saya bermain dengan kawan-kawan seusia menjelang tahun 2000 pada akhirnya ditebang. Dulu saya selalu mengambil buah-buah asam di sana, saya ingat jelas bagaimana cara lidah saya memisahkan serabut buah asam dengan bijinya.

Di rumah kami pula, terdapat sanggah keluarga besar—semacam pusat tempat bersembahyang keluarga besar kami. Kira-kira sebelas pelinggih kecil dan dua pelinggih besar (tempat berstananya Sang Hyang Bhatara Guru dan Tri Murti) dibangun di sana. Menurut kepercayaan, dewa-dewa berstana pada tiap pelinggih. Dua bale berhadapan di depan pelinggih-pelinggih tersebut. Di luar sanggah keluarga besar, juga terdapat dua bale lain dengan ukuran sama (3x4). Di dua bale itu, biasanya, bila akan diadakan upacara Ngaben—kremasi jenazah bagi umat Hindu—jenazah disemayamkan, dimandikan, dan ditusuk-tusuki dengan jarum, dan dilapisi dengan kain-kain sebelum akhirnya diupacarai ke Setra (pekuburan). Terpikir oleh saya, hari ini mungkin kakek sudah disemayamkan di salah satu bale.

Saya tak pernah dekat lagi dengan kakek sejak awal tahun 2000-an selepas kami berpisah rumah. Sekolah dan orangtua, juga permasalahan keluarga dengan saudari-saudari ayah saya, adalah jurang utama di antara kami. Maka setelahnya, segala hal yang saya ingat tentang kakek hanyalah kepada pria tua yang acapkali menggendong saya di tengah persawahan, berhujan-hujan, berbecek-becek, menyanyikan lagu-lagu tentang katak, berkejaran mengambil sandal saya yang terjatuh-terseret banjir dan memasangkannya kembali sementara saya masih berada di gendongan; kepada pria tua yang selalu terbangun pukul dua dini hari hanya untuk menyirami tanaman; kepada pria tua yang mewangi air seni dengan rambut putih yang menipis, selalu hadir dengan senyum jenaka, dan senantiasa terpingkal-pingkal sendiri tanpa alasan pasti. Dan setelah itu, tidak ada lagi. Kecuali, barangkali potongan-potongan ingatan tentang kakek yang sempat jatuh pingsan di kamar mandi dan dua kali terkena serangan jantung, kakek yang tidur pada ranjang bersebelahan dengan nenek yang stroke, dan kakek yang suka menyembunyikan uang gaji pensiunannya di bawah bantal dan sembunyi-sembunyi memberikannya kepada saya. Dan setelah tiga tahun tak bersua, pagi tadi kakek berpulang sebelum menjelang ulang tahunnya di bulan Juni. Dari keempat kakek-nenek saya di pihak ayah-ibu, hari ini ia menjadi orang pertama yang meninggalkan cucunya. [*]

 A Memorial. Yogyakarta, 21 Mei 2012

2012/04/23

Hidup Kita Selepas Elegi


(Cerpen ini dimuat di Media Indonesia edisi Minggu, 18 Desember 2016)


GIGI-GIGI MEREKA belum sepenuhnya rontok ketika maut memanggil tepat pada pergantian tahun. Pada akhirnya, di rumah para lansia itu—aku tak sampai hati menyebutnya panti jompo—orang tua kita melihat nenek dan kakek bertahan hidup demikian lama dengan romansa yang mengejutkan. Duduk di atas kursi roda yang bersebelahan, kakek-nenek kita memejamkan mata untuk selamanya. Siapa pun tak akan paham bagaimana bisa hal itu terjadi, sepasang suami-istri meninggal pada detik yang sama secara alamiah.

Dulu aku pernah bilang kepadamu, dalam hidup, kita tak perlu jujur-jujur amat. Mari kita jemput kakek-nenek kita, masing-masing kita selundupkan uang ayah dan ibu yang melimpah, yang sanggup membayar uang sewa rumah dan membiayai hidup dua orang berusia senja. Dengan uang itu, kita ajak mereka pergi ke Yogyakarta, tempat yang paling tepat untuk menghabiskan sisa hidup. Di sana, kakek akan tetap dapat menikmati hobinya melukis langit dan nenek akan dapat menyenandungkan lagu-lagu mesranya untuk embun pagi. 

Tetapi toh kau terlalu bebal. Kita biarkan mereka hidup kesepian di kota yang mirip neraka ini. Aku tahu itu hasil didikan ayah dan ibu di masa kecil kita. Entah kau masih ingat—suatu hari, sementara ibu melempar barang pecah-belah pada ayah, kita tetap setia pada sinetron percintaan remaja. Bahkan ketika kau harus ikut ayah, dan aku dipaksa ikut ibu, kita menganggapnya wajar. Jiwa pengecut benar kita ini. 

Asal kau tahu, sejak pisah dari ayah lima belas tahun lalu, ibu kita sudah hampir tiga ratus kali gonta-ganti pacar. Tiap dia putuskan hubungan dengan pacar-pacarnya, gaya dandanannya akan tampak makin muda satu bulan. Perhitunganku serius, karena bila satu bulan itu kau kalikan tiga ratus lalu kau bagi tiga ratus enam puluh lima, jelas bahwa semenjak pisah dengan ayah, ibu kita menjadi tampak lebih muda dua puluh empat tahun. Perumpamaan ini bisa kau buktikan dengan kasat mata, bila kau melihat aku dan ibu berjalan bersama, kau—seperti orang-orang lain—akan pula menganggap ibu kita adalah adikku. 

Entahlah, aku senang dengan pertemuan keluarga yang sudah lama tidak terjadi ini. Setelah bertahun-tahun saling berusaha melukai satu sama lain, mungkin saat mereka melihat takdir tak masuk akal dari kakek-nenek kita yang mati dengan ganjil, mereka telah mendapat pelajaran yang pantas.
  
Aneh ya, betapa mudah hidup menjurangi orang-orang yang telah lama terpisah. Meski kau berdiri di sampingku, aku bahkan tak berani bertanya kepadamu, ke mana kau selama ini, di mana kau akan menginap malam ini. Aku sangsi kau masih mengingatku di saat kau melalui momen-momen penting hidupmu. 

Sebatas dari tatapan matamu, aku tahu kau bertanya-tanya apa yang telah kulakukan atas hidupku. Duduk di persimpangan jalan dekat pemakaman, berpenampilan lusuh, berkepala botak, kurus ceking dengan perut sedikit membuncit karena terlalu banyak asupan alkohol—dari gelagatmu ketika akhirnya memutuskan duduk di sebelahku, jelaslah kelihatan tanyamu.  

Banyak hal terjadi selama lima belas tahun ini. Setelah keberangkatanmu ke Papua untuk percobaan menjadi dokter praktik di sana, aku beranikan untuk bilang kepada ibu kalau aku ingin keluar dari tempatku kuliah. Ibu sempat marah-marah sebentar, dia bilang, dia gagal mendidikku, merajuk dia tentang kenapa aku tidak bisa sukses sepertimu. Kamu di matanya: sudah kuliah untuk jadi dokter, perginya ke Universitas Indonesia pula. 

Bandingkanlah dengan aku di matanya: sudah kuliah Teknik Nuklir (awalnya ibu selalu bilang, ini pekerjaan martir—yang artinya, ini urusan hidup dan mati—kalau tidak nyawaku yang dikorbankan, kelak pastilah nyawa [calon] cucunya), tidak diniatkan selesai pula. Dia bilang, jangan-jangan itu karena ayah berlaku seperti diktator dalam membesarkanmu. Dia lantas memaki-maki dirinya sendiri karena selama ini berlaku terlalu baik kepadaku. 

Kupikir ibu terlalu ngawur untuk mendefinisi kesuksesan dengan sesederhana itu. Dia meracau selama sekian hari tentang hal-hal yang akan dibutuhkan zaman. Karena aku tak kunjung bersedia menurutinya untuk menamatkan kuliah, ibu menyewa jasa orang yang tak kukenal untuk menggarap skripsiku. Akhirnya aku lulus—dengan sangat mepet waktu. Aku benar-benar merasa simpati pada kegigihannya. Sayangnya, selepas kuliah, bagaimanapun, ibu justru melarangku bekerja sesuai dengan bidangku. Tentu saja, mana berani dia mendapati anaknya jadi mandul gara-gara unsur radioaktif. Sejak hari itu, dipingitlah aku di rumah. Dia yang membiayai semua kebutuhan hidup kami. Kau pasti bisa membayangkan betapa kaya-rayanya ibu berkat pacar-pacarnya. 

Apa es krimnya enak? Minuman cokelatku terasa hambar. Selama ini, aku selalu bertanya-tanya mengapa orang-orang suka duduk berlama-lama di kursi-kursi kafe, mengudap camilan dan minum kopi, terjaga semalam suntuk untuk mengobrolkan hal-hal remeh. Belasan tahun ini tak ada seorang pun yang kuajak berbicara sepanjang lebar seperti saat ini. 

Oke, aku akan melanjutkan ceritaku. Jadi, aku benar-benar tak ingat lagi apa alasannya dan kapan tepatnya, dengan niat untuk menghukum ibu, aku meminta dokter mengangkat ovariumku. Tetapi baru belakangan ini kusadari mereka tak melakukannya. Mungkin mereka hanya mengangkat payudaraku. 

Aku merasa sedang hamil, meski belum mengeceknya dengan test-pack. Aku melakukannya dengan pacarku sebulan lalu (tanpa payudara, masih ada juga yang mau tidur denganku!), dan setelah kami sempat bertengkar karena dia mengaku telah menghamili gadis muda yang ditidurinya saat mabuk; dan akhirnya kami putus—pokoknya setelah itu semua terjadi, aku sudah tak peduli lagi apa yang kuinginkan atas hidupku. Aku memutuskan hubungan dengannya tanpa mengatakan aku mungkin (sama seperti jalang yang akan dia nikahi) hamil anaknya. Aku lantas membotakkan rambut kepala.

Begitulah, kau selalu tahu kalau aku suka melakukan hal-hal fantastis yang tak ada maknanya sama sekali. 

Omong-omong, aku sangat iri ketika tadi sempat mengerling ke jari manismu dengan cincin emas itu. 

Apa? Kau berniat kawin lari? Ayah tak menyetujui hubungan kalian? Jadi kalian bahkan belum menikah? Mengejutkan. 

Kupikir ia benar-benar laki-laki yang setia, berpacaran tujuh tahun dan masih bersikap sebaik itu padamu, tampaknya ia bisa kau andalkan. Pacarmu itu tampan, apalagi melihatnya membaca buku tebal di dalam mobil seperti itu. Aku tahu, ya aku ingat kau pernah bercita-cita baru akan menikah di usia 27 tahun, jadi pacarmu itu tinggal menunggu dua tahun lagi. Kurasa kawin lari bukan masalah. 

Omong-omong, benar juga ucapanmu dulu soal kematian. Kesedihan ditinggal mati selalu merupa dalam ujudnya yang cengeng dan berkarib dengan kerinduannya yang abadi. Pada masa-masa tertentu dalam hidupmu, kedua-duanya sama-sama bisa jadi tak terperi dan tak terpenuhi. Setelah kakek-nenek kita pergi, aku takut ada kelanjutannya. Meski membenci keduanya, benar-benar tak terbayangkan bagiku untuk mendapati ayah dan ibu tiba-tiba habis usianya. Aku belum berkesempatan menanyakan tentang masa muda mereka, apa mereka pernah jatuh cinta; kepada siapa saja, apa mereka pernah merasa tersesat, apa mereka pernah takut memilih jalan hidup. Tapi apakah aku akan sudi bertanya? 

Aku sudah dengar ayah menjadi perokok berat dan peminum alkohol yang parah setelah berpisah dengan Ibu. Aku tahu penghasilanmulah yang selama ini menutup biaya listrik dan air, dan keseluruhan biaya hidup kalian berdua. Ini membuatku kadang tak habis pikir, bagaimana bisa para orang tua membiarkan anak-anaknya menderita karena pilihan-pilihan salah yang mereka ambil dalam hidup? 

Kamu tentu paham, latar belakang keyakinan dua orang unik inilah yang mengawali kehancuran keluarga kecil kita. Entah bagaimana cara mereka dipertemukan. Seorang ayah yang agnostik—sesekali ke gereja hanya untuk memaki-maki pendeta dari bangku barisan paling belakang. Ibu kita—entah agamanya apa—feminis eksistensialis dan percaya laki-laki mana pun dapat takluk di telapak kakinya. 

Di mana kau tinggal sekarang? Apa di tempatmu tinggal ada kafe seperti ini juga? Aku tak pernah sebelumnya mampir ke sini. Tapi setelah hari ini, mungkin aku akan lebih sering mampir. Belakangan ini aku gemar menulis syair, mungkin aku akan menulis di sini saat senggang. Syair-syairku kugubah menjadi lagu juga. Jelas, bukan, aku tidak sebegitu nelangsanya menghadapi hidup? 

Jangan menatapku secara aneh. Aku tak sedang kehilangan topik pembicaraan. 

Aku tahu sejak balita kau sama sekali tak tertarik pada musik bernada garang, syairnya agak lawas—bukan juga favoritmu—tapi jangan sampai kau tolak bila nanti aku mengirimkan album-album musikku. Aku sudah membuat selusin lagu tentang surga dan neraka, ya aku tahu itu juga bukan favoritmu.

Ah, hujan reda. Apa kau ingat kapan terakhir kali kita main hujan bersama? Anak kecil memang tak pernah tahu malu, aku masih ingat bagaimana saat basah kuyup dan bugil kita menggigil berlari ke arah ibu untuk digantikan pakaian. Ibu selalu menomorsatukanmu. Gadis Putih-nya yang jelita, dia suka sekali memakaikanmu gaun selayaknya Putri Salju karena kulitmu yang putih sama dengan ibu. Jujur saja, itu membuatku terheran-heran hingga hari ini, mengapa ibu memutuskan memilih untuk membesarkanku, alih-alih kamu? Tetapi hidup memang penuh hal-hal yang tidak pernah kita duga, penuh juga akan hal-hal yang terjadi berulang tanpa henti.

Aku sudah terlalu banyak bicara. Sekarang giliranmu bercerita. Jadi, bagaimana, ceritamu? Oh ya, selamat tahun baru, semoga tahun ini menjadi awal yang lebih baik untuk kita.

Yogyakarta, 6 Juni 2012

2012/03/05

Semiliar Perbedaan

 
(Cerpen ini dimuat di Bali Post, 15 September 2015)

KAMI berdua memeluk keyakinan berbeda. Ia kakak tingkatku yang menelantarkan jatah waktu kuliah hingga hampir dikeluarkan dari kampusIa selalu berpenampilan dan bertingkah sembrono. Kalau kurangkum hal-hal yang selama setahun ini kami bicarakan, tak ada satu kesepakatan pun yang tercipta dalam perdebatan-perdebatan kami.

Hari itu ketika kami semestinya diwisuda, pada jam-jam di mana seharusnya kami menunggu di gedung kampus dengan aku berpakaian kebaya dan ia rapi dengan jasnya—duduk lama menanti kesempatan pemindahan tali toga—aku justru bertemu dengannya di perpustakaan. Buku-buku lapuk bertumpuk di meja.

“Membaca Wilde lagi?” tanyaku, mengambil tempat di hadapannya.

“Kamu tak wisuda hari ini?”

Begitulah. Aku akan memulai dari A, ia bukan menjawab B, melainkan Z.

“Oscar Wilde seorang gay.” Aku mengomentari buku yang dibacanya.

“Aku juga membaca Nietzsche.”

“Nietzsche pemain wanita, meninggal karena raja singa. Kamu mencemooh orang-orang seperti mereka, biasanya. Kamu tak dapat menolerir tindakan-tindakan buruk seperti itu, bukan?”

“Sepertinya kamu memang lebih hobi membaca biografi. Kuduga kamu lebih suka menilai buku dari sampulnya?” balasnya.

Aku menyunggingkan senyum ketus untuk menuding. “Bukannya kamu yang begitu? Pria yang sangat membenci humanisme.”

Humanisme. Pernah satu waktu—aku lupa kami sebelumnya membahas apa—dengan mengutip kamus, ia bilang ia bukan seorang humanis. Menurut manifesto para pencipta kata tersebut, humanisme ialah paham yang menganggap manusia berada di tingkatan kesadaran paling tinggi, di mana para humanis tidak memercayai keberadaan hal-hal mistis dan juga bahkan tidak pula Tuhan.

Pria di hadapanku ini seperti halnya kamus berjalan. Ia penghafal sekian banyak istilah. Bila bicara dengannya, aku perlu tahu tiap makna dari lema yang seringkali spontan saja kuucapkan. Dan begitulah semua percakapan panjang lebar kami selalu bermula dari kata-kata yang salah kudefinisikan dan lantas ia betulkan.

2012/02/08

Patahnya Kedaulatan Petani

Lahan pesisir pantai Kulon Progo teramat sepi siang itu seperti di hari-hari lainnya. Ombak pasang ratusan meter jauhnya dari tempat saya berdiri. Saya tercenung, betapa wilayah tenang kerap menjadi perebutan banyak pihak. Letak pantai itu dekat dengan lahan pertanian warga. Rumput berduri tumbuh subur hampir sepanjang jalan setapak pantai.

Awalnya lahan itu gersang, oleh Karman, kini sekretaris Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), pada 1986 lahan diinisiasi menjadi tempat ditanamnya ragam bibit menyesuai kondisi lahan pantai yang kering. Cabe, melon, dan pare adalah komoditas unggulan. Lebih dari dua dekade lalu, selain mengusulkan bibit yang tepat untuk ditanam, Karman memperkenalkan teknologi sederhana sumur renteng guna membantu sistem irigasi pertanian warga. Berdasarkan penuturan Karman, pada tahun 2012 ini keuntungan hasil tani bisa mencapai belasan juta rupiah tiap kali panen.

Pihak pemerintah daerah Kulon Progo nampaknya tak begitu simpati terhadap kenyataan itu. “Yang ingin saya tandaskan, Kulon Progo itu termasuk daerah tertinggal. Dari 88 desa yang ada, angka kemiskinannya saja masih berkisar 24 persen,” ucap Toyo Santoso Dipo yang pernah menjabat selaku Bupati Kulon Progo periode 2001-2011. Ia pun menyasar kekayaan alam Kulon Progo yang lebih menjanjikan dengan menginisiasi usaha tambang.

Maka, di masa kepemimpinannya, Toyo mendukung terealisasinya usaha tambang di Kulon Progo. Hal ini terkait dengan sebuah penemuan empat dekade silam. Pada1960-an, tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) mengklaim lahan pasir Kulon Progo mengandung bijih besi dengan kualitas terbaik kaliber dunia. Mengalahkan Brasil yang bertahun-tahun menjadi primadona.

Publikasi penelitian tim ITB tersebut mendorong investor asing menyelenggarakan usaha tambang di sana. Menjelang milenium ke-2, pemerintah daerah pun lantas mengeluarkan perundangan dengan judul besar: “Megaproyek Kabupaten Kulon Progo”. Selain mengusahkan Kulon Progo sebagai daerah tambang, megaproyek tersebut rencananya akan menyulap kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul ini menjadi daerah yang memiliki bandara dan pelabuhannya sendiri.

Stevano Edy, mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang mengikuti perkembangan situasi petani lahan pantai Kulon Progo, memandang dingin keputusan itu. Menurutnya, bandara dan pelabuhan bisa jadi digunakan untuk memperlancar pengiriman hasil tambang ke luar Indonesia. Begitu pula warga; mereka tidak sama pendapatnya dengan pemerintah daerah terkait penyetujuan investasi usaha tambang. Menurut mereka, penilaian kemakmuran bukan semata-mata dari taraf penghasilan, namun juga keterjalinan hubungan antar-warga. Rata-rata warga percaya mereka dapat hidup berdaulat dengan bertani. Kecukupan materi sudah mereka dapat melalui usaha tersebut.

Penolakan pun bergulir bahkan sejak megaproyek tersebut diwacanakan. Pada Mei 2012 lalu, lingkungan sekitar wilayah megaproyek masih dipenuhi poster-poster, coretan, ataupun mural dengan tuntutan tersebut; Usir PT Jogja Magasa Iron (PT JMI), Tolak Tambang Pasir Besi Apapun yang Terjadi: Hidup atau Mati. Gerakan ini bermula pada 1 April 2006 ketika hampir seluruh petani Kulon Progo membentuk aliansi berinisial PPLP. Aliansi untuk menyatakan kekuatan komunal para petani Kulon Progo. Awalnya, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengulurkan bantuan advokasi namun karena dinilai tak sejalan, kini mereka sepenuhnya melakukan perlawanan secara independen.

Telah enam tahun perjuangan mereka tak surut. Konflik daerah Kulon Progo telah berkembang menjadi bersifat multiaras, multiaktor, multimateri, multiarena, manifest (mengemuka), laten (tersembunyi), dinamis (temporal), dan perennial (berlangsung terus menerus).

Sifat konflik yang multiaras mengaitkannya ke aras kekuasaan, kebijakan, dan komunitas; dan yang multiaktor melibatkan pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pihak Keraton Yogyakarta memang memegang saham sebesar 30% dan 70% sisanya dimiliki oleh pihak PT JMI. Sengketa kepemilikan lahan pun masih menjadi soal. Umum diketahui, adanya pengakuan pihak Kadipaten Pakualaman bahwa sebagian besar tanah wilayah Kulon Progo berada di bawah status kepemilikan Pakualaman, lazim disebut Pakualaman Ground (PG).

Terlepas dari itu, aktor-aktor yang terkait pun kompleks. Bukan hanya vertikal antara masyarakat dengan pemilik kekuasaan. Sejak 2011, warga bahkan terpecah menjadi kubu PPLP dan Pro Tambang. Masyarakat Pro Tambang mulai bertumbuhan bak cendawan sejak 2010-2011 dan kini sejumlah 8 aliansi telah berdiri di delapan kecamatan. Perpecahan menjadi dua kubu ini jelas mematikan sikap tenggang rasa antar warga. Ada satu masa ketika salah seorang dari kubu Pro Tambang meninggal, tak ada pihak PPLP yang melayat ke rumah sekalipun bertetangga. Konflik ini pun diturunkan dan diajarkan ke anak-anak mereka yang masih balita. “Anak saya jadi sulit berteman dengan anak orang-orang PPLP,” ujar seorang penggiat aliansi Perak, Desa Bugel.

Persoalan agraria, proyek, penataan ruang, dan kebijakan lingkungan menjadi konflik multimateri berdasarkan tesis Kus. Masih saja ada klaim pihak pemerintah daerah mengenai lahan sempadan pantai (dihitung sejak 100 meter dari ombak tertinggi hingga pesisir pantai) sebagai PG. Nurhasan Ismail, guru besar Fakultas Hukum UGM menolak pengakuan itu. Menurut Nurhasan, sempadan pantai adalah lahan umum. Niscaya penggunaan lahan pun semestinya ditujukan untuk kepentingan umum, khususnya warga Kulon Progo.

Sementara itu, untuk lahan-lahan pemukiman warga, tiap warga sudah memegang sertifikat kepemilikan tanah. Pada 1970-an, semenjak Undang-Undang Pokok Agraria disahkan, warga yang telah 20 tahun menghuni lahan diberikan hak sertifikat tanah. Tidak ada alasan untuk mengaku-akukan tanah mereka sebagai milik Kadipaten Pakualaman. Sayangnya, meskipun dapat menunjukkan sertifikat, kedaulatan mereka masih dalam status ‘di awang-awang’. Kasus ini pun jatuh menjadi kasus multiarena karena dibahas dalam ranah hukum, politik, ekonomi, hingga sosial-budaya.

Hari ini, konflik terus berlarat-larat; sementara pembukaan pilot projects telah dibangun di dua tempat, di Karangwuni, Kecamatan Wates dan di Bugel, Kecamatan Panjatan. Warga PPLP tak kuasa mengutarakan penolakannya karena tanah sebagian warga telah dibeli oleh PT JMI untuk pembangunan dua pilot projects ini. Pada kunjungan Mei lalu, saya menyaksikan traktor nampak sudah bekerja mengeruk pasir. Dalam tingkatan pemerintahan daerah, pula, barangkali hanya sedikit pihak yang kini memantau janji reklamasi (mengembalikan fungsi lahan setelah ditambang) PT JMI. Janji itu dipaparkan melalui presentasi Kontrak Karya (KK) mereka kepada kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Aturannya, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, KK PT JMI tersebut mesti diperbaharui menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) lengkap dengan Rencana Kelola Lingkungan (RKL)/Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)-nya. Secara langsung, kontrak karya yang dipersyaratkan melalui UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan tidak dapat lagi dijadikan patokan. Masyarakat dapat saja menyetujui ataupun tidak menyetujui pengeluaran IUP sebagai pengganti KK ini untuk menentukan keberlanjutan usaha tambang di Kulon Progo.

Mengenyampingkan kasus itu, karena pilot projects diam-diam telah berjalan, janji reklamasi tetap patut ditanggapi serius. Berdasarkan kontrak karya dengan menteri ESDM, usaha tambang di Kulon Progo rencananya dilakukan per blok. Usaha tambang dilakukan selama tiga puluh tahun dan tiap blok mengambil rentang kurang lebih tiga tahun. Setiap tiga tahun, pihak PT JMI menjanjikan akan mereklamasi lahan. Pemerintah daerah sepakat akan menghentikan usaha tambang bila reklamasi tidak berhasil dilakukan. Pada akhirnya, keberhasilan reklamasi lahan akan menjadi tolak ukur apakah usaha tambang dapat dilanjutkan. Permasalahannya, hampir di setiap tempat usaha tambang di Indonesia, reklamasi tersebut menjadi sebatas janji palsu. Umum diketahui ‘janji reklamasi’ seringkali hanyalah formalitas dalam melegalkan Kontrak Karya. [*]

2012/01/05

Pot Anggrek

IBU menggantung pot anggrek di jendela kamarku pagi ini. Sambil tersenyum, dia mendekatiku yang separuh mengantuk dan masih berselimut di ranjang. Begitu saja dia mengusap rambutku dan mengucapkan, selamat bertambah tua.

“Pot anggrek—itu hadiah ulang tahun?” kontan aku bertanya, bangkit dari ranjang.

Pot anggrek yang besar itu—menutupi hampir sepertiga jendela kamar. Kutahu benda itu akan menyulitkanku untuk melompati jendela kamar dan menyelinap keluar rumah.

Aku sangat jarang tidur di rumah semenjak diamanatkan kamar pribadi dan berpisah tempat tidur dengan orang tuaku. Dua tahun lalu, setelah aku pĂșber, kamar tak berpenghuni yang sejak dua puluh tahun lalu mereka bangun untukku akhirnya dibukakan, dan aku diminta tidur sendiri di sana. Padahal, hampir tiga belas tahun lamanya aku selalu tidur menengahi ibu dan ayah.

Konsekuensinya jelas, karena tentu saja aku tak pernah betah tidur sendiri di kamar. Kalau bukan di atap, aku selalu menginap di kamar teman sekelasku, atau tanpa sepengetahuan ibu—karena belakangan ayah jarang ada di rumah—aku biasanya menghabiskan malam dengan sekadar berjalan-jalan saja di tengah kota; persis seperti orang yang kehilangan tujuan hidup.

“Kenapa pot ini rumit sekali?” cemasku.

Bukan hanya karena aku tak pernah mampu merawat tumbuhan, tapi karena kait besi yang menggantungkan pot benar-benar terikat kuat pada ventilasi. Aku tak mungkin mampu melepasnya tanpa memecahkannya. “Hadiah ulang tahun macam apa ini…” masih gerutuku.

“Kamu belum punya pacar, kan… belajarlah dari merawat anggrek.” justru begitu bentuk sahutan ibu.

“Bu, begini saja, daripada nanti pun anggrek ini akhirnya mati karena aku tak telaten merawat,” aku menghentikan kalimatku; karena kemudian, aku mendorong pot itu menjauhi kamar. Pot akhirnya terlepas dari kait, dan jatuh, “…sebaiknya anggrek itu kukembalikan ke surga sekarang, supaya di sana bidadari yang merawatnya,” lanjutku.

Hari itu, tanpa kusangka-sangka, pot itu mengenai kepala kakekku. 



MUNGKIN barulah aku satu-satunya cucu dalam sejarah semesta yang membunuh kakeknya sendiri di hari ulang tahunnya dengan secara tidak sengaja mendorong pot anggrek jatuh mengenai kepala si kakek. Barulah kutahu bahwa kebebasan memang benar punya harga yang mesti dibayar. Hanya agar aku bisa terus meloncati jendela kala petang dan bebas bertualang tanpa tidur, aku menolak pot anggrek pemberian ibu dan membunuh kakekku sendiri.

Tentu tidak ada seorang pun di keluarga inti ataupun tetanggaku yang menyalahkanku, karena bahkan setelah jenazah kakek usai diotopsi pun semua orang hingga kewalahan masih dengan keras kepala sibuk ber-amor fati, menyalahkan takdir: seandainya saat itu kakek tidak berdiri tepat di bawah kamarku, seandainya ibu memberikan kado pot anggreknya bukan pagi itu, atau seandainya hadiah ibu bukan pot anggrek.

Sedisemayamkannya jenazah di rumah duka, di hari ulang tahunku, seluruh anggota keluarga inti sibuk menyambut famili yang datang jauh-jauh dari luar kota atau seberang pulau demi berbelasungkawa atas kepergian kakek. Sepupuku melaporkan bagaimana para sanak famili yang hanya dapat kami temui sekali dalam setahun itu merumorkanku di belakang.

Mereka membuatku makin tak paham bagaimana bisa aku membawa petaka di hari jadiku dan aku tetap harus memasang muka menyambut semua yang datang dengan topeng senyumanku.

“Seandainya kakeknya masih hidup petang ini, apa ya yang akan dikadokannya untuk Naraya?” begitu saudara jauh ayah berkomentar ketika jasa pengantar roti tart langganan ibu membawa sekotak tart ukuran besar ke rumah.

Malam hari pun tak lebih ramah karena semakin banyak orang berdatangan untuk mengabarkan rasa dukanya karena kehilangan sosok kakek dan secara halus mengutuki cucunya yang secara tidak langsung berandil besar atas kepergian kakek ‘yang terlalu cepat’.

Baru setelah seharian membantu mengantarkan nampan-nampan panganan untuk tamu, aku minta izin kepada ibu untuk berisitirahat ke kamar.

Di kamarku kusimpan ragam botol obat tidur yang kukonsumsi bila terpaksa mengistirahatkan tubuh. Dengan urutan vertikal acak, ia berjejeran di dalam almari tempat aku menyimpan benda-benda antik, hadiah-hadiah, dan koleksi-koleksiku akan segala sesuatu; dan semua itu bertumpuk-tumpuk di antara kitab-kitab bahasa oriental (aku berkuliah di jurusan Sastra Nusantara), seruling Armenia pemberian ayah, dan beberapa buku tentang sejarah nusantara.

Ingin rasanya kutenggak sebotol—dari sekian banyak botol obat tidur yang ada, tapi apa yang dijajakan di luar kamarku lebih menerbitkan gairah. Aku selalu percaya hari seberat apapun akan selalu dapat kulalui bila aku tak gegabah mengambil keputusan—dan biasanya aku hanya perlu menyendiri, melakukan apa yang kusuka, atau memejamkan mataku seolah tidurku kuniatkan untuk selamanya. Maka, seperti malam-malam sebelumnya, petang itu aku meloncat jendela, berjalan di titian, hingga mencapai atap rumah. Di atap rumahku yang mendatar, aku lantas merebahkan tubuh.


ORANG-ORANG seperti terbius sewaktu menatapku, karena pagi itu ketika jenazah kakek akan dibawa ke pekuburan, aku muncul di hadapan mereka dengan luka cabikan di tubuh yang kubuat sendiri dalam semalam.

Aku tak paham mengapa aku sama sekali tak merasa sakit sewaktu menusukkan pisau ke kulitku dan menusuk-nusukannya terus. Semalaman aku keranjingan mengiris-iris seluruh bagian tubuhku. Ibu yang melihatku untuk pertama kali langsung berlari ke arahku dengan tatapan cemas yang kentara.

“Apa yang kamu lakukan pada tubuhmu, Naraya?!”

Baru ketika ibu memelukku dan menangis demikian kencang, aku benar-benar merasakan sakit yang hebat di sekujur tubuh; dan baru setelah itu, aku memahami arti tatapan orang-orang di sekitarku. Hampir semua orang di sana barangkali bingung mengapa aku masih hidup dengan luka di tubuh yang demikian banyaknya.

Akibat rasa sakit yang bertubi-tubi dan tak mampu kuelakkan, seketika itu juga aku merasa terlepas dari tubuhku.

Kubayangkan, siapapun yang menyusun takdir tengah tertawa terpingkal-pingkal sewaktu aku tersesat di alam pikiranku sendiri. Aku masih dapat dengan jelas mendengar ratapan tangis ibu dan ketergesaan semua orang bahkan ketika aku sama sekali tak mampu merasakan keberadaanku di tubuhku sendiri. [*]



Post Scriptum: Semestinya, pula, cerita ini belum diniatkan selesai.

Semestinya note ini ditulisi ‘Happy 20th Birthday Nauvali La.’ …tapi karena entah kenapa plotnya jadi begini (aku masih gak bisa lepas dari tema-tema kematian), um, cukup tahu saja ya kalau inspirasi cerpen ini dari kamu? Semoga segala kebaikan menyertai tahun-tahunmu ke depan, Dear. Best wishes!~


1/5/2012 12:57:59 AM




Tulisan Terdahulu