2017/04/28

Kita Bahkan Tidak Perlu Berbisik

 

 (Cerpen ini dimuat di Jurnal Perempuan No. 93/2017)


SEPULUH tahun telah lewat bagi kami. Itu adalah waktu saya untuk mulai menyukainya, mencintainya, dan menjalin hubungan, hingga merelakan ia pergi selamanya dari hidup saya.

Sore itu hujan, saya mendorong kursi roda kekasih saya itu. Ia bersikeras meminta saya meninggalkannya sendiri di kamar rumah sakit yang pengap oleh bau obat-obatan. Saya bilang saya tak cukup nyali untuk harus kehilangannya tanpa sepengetahuan saya.

“Aku ingin makan bubur di kafeteria,” ujarnya pada hari terakhir itu. Sementara dibiarkannya senampan makanan dari rumah sakit tak tersentuh.

Sepanjang perjalanan menuju kafeteria, kami melihat banyak burung gereja beterbangan di langit, “Besok aku akan menjadi salah satunya,” katanya. Saat itu ia seolah-olah sepenuhnya menyerah akan hidup.

Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas, lama setelah menerima kabar mengenai kanker yang ia derita, saya menyadari tak lama lagi saya akan kehilangan kekasih saya. Dan hanya bisa mendorong kursi roda pria itu saat ia sedang merasa hampir mati membuat saya merasa tak berguna.

Sepuluh kilogram bobot tubuhnya turun selama setahun ia menjalani kemoterapi. Kanker otak yang ia derita baru kami ketahui ketika sudah menjelang stadium akhir.

“Seandainya kita bisa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu,” ujarnya saat itu. “Mungkin seharusnya kita tidak pernah bertemu. Waktumu terbuang sia-sia, sepuluh tahun kamu habiskan hanya untuk menemani pria yang akan mati.”


KAMI sampai di kafetaria rumah sakit. Saya memesan dua mangkuk bubur ayam dan dengan sigap mengambil dua botol air ukuran sedang.

Darah mengucur dari hidung kekasih saya. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya untuk menghapus darah itu. Dua minggu sebelumnya, kedua tangannya mulai lumpuh.

“Kita seharusnya benar-benar tidak usah bertemu,” rajuknya. Darah dari hidungnya terus mengucur dan tak berhenti. Saya ambil tumbukan daun sirih dari wadah plastik di dalam ransel dan saya letakkan di lubang hidungnya. Beberapa saat, darahnya berhenti.

“Atau, seandainya kita segera menikah di tahun pertama perkenalan kita.” Ia masih meneruskan kelakarnya.

Saya terpaku mendengar kalimat terakhirnya. Barangkali kami memang sebodoh itu karena meniru kisah percintaan Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Kami melewatkan sepuluh tahun hanya untuk berpacaran, bekerja, dan bervakansi menjelajahi tempat-tempat asing. Kami terlalu banyak membual soal kehidupan berumah tangga, merencanakan jumlah anak, dan rumah idaman, tanpa pernah merealisasikannya.

“Kita bahkan belum dikaruniai keturunan,” lanjutnya.

“Seandainya kamu bisa mendonorkan spermamu sebelum meninggal,” saya mencandainya. Ia tertawa, tapi tawanya tidak bisa selincah sebelum kanker bersarang di otaknya. Dulu setiap saya berlelucon, saya selalu menerima kecupan mesra darinya di kening.

“Carilah pria lain setelah aku meninggal,” pintanya.

“Bagaimana dengan opsi mengadopsi seorang anak?” jawab saya, “Dan menamainya dengan namamu atau nama orang-orang yang kita idolakan?”

Ia tersenyum, tetapi air mata jatuh di pipinya. Itu hari pertama dan hari terakhir saya melihat air mata di wajahnya.



SAYA akhirnya mengadopsi seorang anak dan membangun usaha sendiri. Anak itu saya namai Gandhi, sebagaimana kekasih saya dan saya mengagumi Mahatma Gandhi. Lima tahun telah berlalu semenjak saat itu. Saya sudah tidak mampu mengingat lagi bagaimana perasaan saya sewaktu melihat jenazah kekasih saya di ranjang rumah sakit. Usaha yang saya rintis membuat saya sepenuhnya melupakan impian berumah tangga.

Saya selalu membuka toko buku dan kafe setiap pukul enam pagi lewat sedikit, dan menutupnya ketika sudah larut. Terkadang, saya juga tidak menutupnya sama sekali. Selalu ada orang-orang yang bermalam di kafe karena larut dalam pembicaraan. Pagi ini sekitar tiga atau empat pasangan kekasih memesan kopi dan menu sarapan ringan setelah semalaman tak pulang. Buku-buku bacaan ringan dari toko buku menumpuk di meja, masih bersegel, menjadi bantal tidur mereka.

“Ini masih bisa dilakukan sendiri. Biarkan saya yang angkat,” terdengar suara seorang pria tua dari kejauhan.

Pukul tujuh pagi, tetangga saya sudah banyak bicara di teras rumahnya sewaktu saya membereskan kafe dan mengantarkan pesanan pelanggan. Saat saya lihat, pria yang berusia delapan puluhan itu dengan keras kepala menurunkan kursi roda dari mobil pick up seorang diri. Diabaikannya kurir pengantar yang berniat membantu.

Selepas kepergian kurir itu, ia berdiam diri lama demi memandangi kursi rodanya. Saya sudah membereskan piring dan gelas terakhir, dan mengganti taplak meja, ketika ia akhirnya duduk, mencoba mendorong-dorong kursi roda. Ada keriangan kanak-kanak dari caranya tergelak menertawakan diri sendiri saat duduk di kursi roda itu, dan dari caranya mengibaskan tangan sewaktu ia mendapati saya memandang ke arahnya.

Ia barangkali akan cocok dengan ayah saya. Semalam saya menjemput Ayah di bandara. Saya minta ia tinggal bersama saya.

Keputusan itu muncul di benak saya pada kunjungan terakhir saya ke rumah. Saat itu seluruh rumah bau kotoran tikus, lampu-lampu dibiarkan menyala sepanjang hari, dan botol-botol bir menumpuk di kamar Ayah. Sebagai anak tunggal, saya tak akan tega membiarkan Ayah hidup seperti itu.

Sebenarnya ibu dan ayah saya sudah bercerai sejak saya merantau kuliah dan bekerja di Jakarta. Namun, beberapa bulan lalu sesudah Ibu wafat, kata tetangga kami, kerja Ayah hanya bermurung diri dan keluar rumah untuk menghabiskan uang pesangon. Saya tak menyangka Ayah menjadi begitu tak menghargai hidup setelah mengetahui kepergian Ibu. Ia dipecat dari perusahaan tekstil tempatnya bekerja dan tak mencari pekerjaan lagi. Ayah bahkan tak bisa mencuci baju sendiri ataupun merawat diri.

Saya senang karena akhirnya ia mau ikut pindah. Meski semalam saat saya jemput, di perjalanan kembali dari bandara, ia memaksa berhenti di swalayan 24 jam dan membeli berkerat-kerat bir. Di kamarnya, kini Ayah pasti masih belum terjaga. Beberapa minggu ke depan, ia tampak masih akan menghabiskan waktunya lebih banyak untuk merokok dan minum bir sebelum tidur. Saya tak mencegahnya. Hanya saja, sebelum kepindahan kami, saya minta ia lebih bisa berlaku mandiri.

“Penghasilan saya belum banyak. Saya baru menjalankan usaha toko buku dan tempat makan ini selama lima tahun,” ujar saya di dalam taksi.

Ayah yang duduk di sebelah saya tampak tak acuh.

“Keuntungan dari usaha ini bahkan belum menutup hutang pinjaman saya di bank. Jadi, tolonglah, saya minta kerjasama Ayah.”

“Sudah kubilang, kau tak usah ajak aku ikut pindah,” jawab ayah saya, “kau tinggal biarkan aku mati di rumahku kalau kau mau terus larang aku beli bir.”

“Saya mana tega membiarkan Ayah mati. Memangnya Ayah mau bikin saya jadi yatim piatu? Ayah bisa tinggal bersama saya, tapi tolong mengerti keadaan saya juga. Bir-bir itu, rokok-rokoknya, tolong dikurangi.”

“Capek aku dengar keluh kesah kau, Denada. Terima kasih kau ajak aku turut pindah, tapi jangan kau atur terlalu banyak hidupku,” jawab Ayah naik pitam.



SAAT saya menyetelkan televisi ke channel yang banyak menampilkan kartun-kartun hari Minggu, tetangga saya datang dengan kursi rodanya. Orang-orang memanggilnya Markus. Saat itu ia mengetuk pintu kafe. Wajah riangnya tampak tersenyum di pintu kafe, sebelum kemudian ia mendorong sendiri pintu itu.

“Kursi roda baru?” tanya saya.

Kursi roda itu tampak istimewa. Barang-barang yang ia miliki memang rata-rata bermerek mahal. Istrinya meninggal tiga tahun lalu, tetapi ia tampak baik-baik saja dengan ditemani barang-barang itu. Hingga hari ini, ketujuh anaknya—yang kesemuanya menjadi orang sukses—masih rajin mengiriminya uang dan barang. Ia hampir selalu datang bercerita ke kafe saya setiap ada kiriman yang datang. Dari yang saya lihat, barang-barang itu membuatnya bahagia.

“Anak-anakku ini kelakuannya betul-betul sudah, cerewetnya keterlaluan. Mereka kirimkan benda ini dengan pesan agar aku gunakan kursi roda ini kalau sewaktu-waktu aku capek berjalan. Sepertinya mereka mau ayahnya cepat-cepat tidak bisa berdiri.” Markus menjawab dengan bercanda. Seperti biasa, perkataannya dibarengi tawa.

“Mau minum susu dengan stroberi? Sekontainer buah segar baru datang pagi tadi. Stroberi, semangka, pisang, apel, nanas, mangga, anggur,” saya hampir merinci semua buah.

“Apa saja boleh, tapi stroberi favoritku. Asalkan kamu tidak bilang ke anakku kalau aku minum itu. Bisa-bisa dia kirim koki masakan vegetarian dan dokter gizi khusus diabetes kalau dengar ayahnya banyak konsumsi yang manis-manis dari kafe tetangga.”

“Kenapa tidak mencarikan ayahnya istri baru saja, kalau begitu?” canda saya sembari menyuguhkan susu stroberi.

“Mungkin mereka pikir ayahnya bisa mati di ranjang waktu bercinta dengan istri barunya,” sahutnya sambil tertawa. “Kulihat kamu mengajak seorang lelaki paruh baya tadi malam? Dia siapamu?”

“Itu ayah saya. Semalam ia terlalu banyak minum bir, sepertinya sekarang ia masih tidur di kamarnya.”

“Ah, siapa bilang? Pagi-pagi buta ia sudah keluar rumah, terakhir kulihat ia duduk di lapangan rumput, menonton anak-anak main sepak bola sambil pegang botol bir di tangan.”

“Pak Markus tidak mengajaknya bicara?” tanya saya.

“Aku masa bodoh saja tadi. Aku tak suka dengan orang yang dari tubuhnya menguar bau minuman keras. Ayahmu kelihatan frustrasi betul. Tapi seandainya saja aku tahu ia ayahmu, aku pasti sudah tarik lelaki bangkotan itu pulang kemari. Gila saja, gadis sebaik kamu punya ayah berkelakuan begitu.”

Saya terpingkal sejadi-jadinya. “Ibu meninggal enam bulan lalu. Mungkin itu banyak mempengaruhi Ayah, walaupun mereka sudah lama bercerai.”

“Tidak usah murung begitu. Lupakan saja ayahmu. Ayo, bicarakan yang lain. Kau lihat gunung di seberang itu? Pagi ini tampak cantik dan agung sekali. Mungkin bisa membuatmu lebih ceria.”

Mungkin juga tidak. Ada banyak kenangan dari gunung itu. Saya pernah mendakinya langsung bersama kekasih saya yang meninggal lima tahun lalu. Hanya berdua dari Jakarta, kami mengelilingi kota ini. Pada hari itu, Johan secara spontan mengajak saya menaklukkan gunung di seberang itu. Apa yang kami lakukan hari itu yang menuntun saya ke kota ini.

Ada para pecinta yang akan menantang dunia dan bersedia dunia membencinya agar ia bisa bersama dengan orang yang dicintainya. Dulu kami melakukannya, sama-sama tak peduli dengan identitas suku dan agama yang berbeda di antara kami. Selama sepuluh tahun kami menjauh dari keluarga yang menolak hubungan kami. Selama itu, satu kali pun tak pernah membersit di pikiran saya untuk mewujudkan harapan Johan menikahi saya. Ia sudah merayu saya berkali-kali untuk menikah pada tahun kelima hubungan kami. Ia bilang, dengan tabungannya, ia sudah bisa membeli rumah sendiri dan menafkahi saya.

Sayalah yang bodoh dan menyia-nyiakan kehadirannya. Sebagai anak tunggal, dengan kedua orang tua yang bercerai, saya susah menyanggupi permintaan Johan. Saat mengingat masa-masa itu, terkadang saya menangis di pojok kafe setiap tak ada pengunjung. Membenamkan wajah saya di balik buku dan tertidur pulas sampai ada pengunjung atau karyawan shift yang datang dan membangunkan saya.

“Kenapa jadi tambah murung?” Markus tampak heran. “Mana Gandhi? Hari Minggu kau taruh ia di Sekolah Minggu lagi?”

“Ia suka di sana. Hobinya menggambar mendapatkan wadah di tempat itu.”

“Atau jangan-jangan ia betah karena ia menemukan ayah baru di sana?” goda Markus. “Carikanlah anakmu itu ayah baru. Kamu masih empat puluhan, cantik, cergas memasak. Andai usiaku bisa dikorting empat puluh tahun, aku pasti melamarmu.”

Bagaimana bisa membayangkan memberi ayah baru untuknya? Saya mengadopsi Gandhi yang berusia tiga tahun dan sejak saat itu membiarkannya tumbuh besar tanpa ayah. Dia sudah terbiasa tumbuh tanpa seorang ayah. Saya bilang ayahnya diplomat, yang pekerjaannya selalu mengharuskan berpindah-pindah negara. Setiap hari ulang tahunnya, Gandhi mendapatkan kiriman dari teman-teman saya di luar negeri. Ada nama kekasih saya, Johan Winangun, di setiap kartu ucapan selamat. Saya bilang itu nama ayahnya.

Gandhi tak banyak bertanya lagi sejak hari pertama ia dikirimkan satu kardus berisi kamus bergambar. 

Tulisan Terdahulu