2012/02/08

Patahnya Kedaulatan Petani

Lahan pesisir pantai Kulon Progo teramat sepi siang itu seperti di hari-hari lainnya. Ombak pasang ratusan meter jauhnya dari tempat saya berdiri. Saya tercenung, betapa wilayah tenang kerap menjadi perebutan banyak pihak. Letak pantai itu dekat dengan lahan pertanian warga. Rumput berduri tumbuh subur hampir sepanjang jalan setapak pantai.

Awalnya lahan itu gersang, oleh Karman, kini sekretaris Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), pada 1986 lahan diinisiasi menjadi tempat ditanamnya ragam bibit menyesuai kondisi lahan pantai yang kering. Cabe, melon, dan pare adalah komoditas unggulan. Lebih dari dua dekade lalu, selain mengusulkan bibit yang tepat untuk ditanam, Karman memperkenalkan teknologi sederhana sumur renteng guna membantu sistem irigasi pertanian warga. Berdasarkan penuturan Karman, pada tahun 2012 ini keuntungan hasil tani bisa mencapai belasan juta rupiah tiap kali panen.

Pihak pemerintah daerah Kulon Progo nampaknya tak begitu simpati terhadap kenyataan itu. “Yang ingin saya tandaskan, Kulon Progo itu termasuk daerah tertinggal. Dari 88 desa yang ada, angka kemiskinannya saja masih berkisar 24 persen,” ucap Toyo Santoso Dipo yang pernah menjabat selaku Bupati Kulon Progo periode 2001-2011. Ia pun menyasar kekayaan alam Kulon Progo yang lebih menjanjikan dengan menginisiasi usaha tambang.

Maka, di masa kepemimpinannya, Toyo mendukung terealisasinya usaha tambang di Kulon Progo. Hal ini terkait dengan sebuah penemuan empat dekade silam. Pada1960-an, tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) mengklaim lahan pasir Kulon Progo mengandung bijih besi dengan kualitas terbaik kaliber dunia. Mengalahkan Brasil yang bertahun-tahun menjadi primadona.

Publikasi penelitian tim ITB tersebut mendorong investor asing menyelenggarakan usaha tambang di sana. Menjelang milenium ke-2, pemerintah daerah pun lantas mengeluarkan perundangan dengan judul besar: “Megaproyek Kabupaten Kulon Progo”. Selain mengusahkan Kulon Progo sebagai daerah tambang, megaproyek tersebut rencananya akan menyulap kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul ini menjadi daerah yang memiliki bandara dan pelabuhannya sendiri.

Stevano Edy, mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang mengikuti perkembangan situasi petani lahan pantai Kulon Progo, memandang dingin keputusan itu. Menurutnya, bandara dan pelabuhan bisa jadi digunakan untuk memperlancar pengiriman hasil tambang ke luar Indonesia. Begitu pula warga; mereka tidak sama pendapatnya dengan pemerintah daerah terkait penyetujuan investasi usaha tambang. Menurut mereka, penilaian kemakmuran bukan semata-mata dari taraf penghasilan, namun juga keterjalinan hubungan antar-warga. Rata-rata warga percaya mereka dapat hidup berdaulat dengan bertani. Kecukupan materi sudah mereka dapat melalui usaha tersebut.

Penolakan pun bergulir bahkan sejak megaproyek tersebut diwacanakan. Pada Mei 2012 lalu, lingkungan sekitar wilayah megaproyek masih dipenuhi poster-poster, coretan, ataupun mural dengan tuntutan tersebut; Usir PT Jogja Magasa Iron (PT JMI), Tolak Tambang Pasir Besi Apapun yang Terjadi: Hidup atau Mati. Gerakan ini bermula pada 1 April 2006 ketika hampir seluruh petani Kulon Progo membentuk aliansi berinisial PPLP. Aliansi untuk menyatakan kekuatan komunal para petani Kulon Progo. Awalnya, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengulurkan bantuan advokasi namun karena dinilai tak sejalan, kini mereka sepenuhnya melakukan perlawanan secara independen.

Telah enam tahun perjuangan mereka tak surut. Konflik daerah Kulon Progo telah berkembang menjadi bersifat multiaras, multiaktor, multimateri, multiarena, manifest (mengemuka), laten (tersembunyi), dinamis (temporal), dan perennial (berlangsung terus menerus).

Sifat konflik yang multiaras mengaitkannya ke aras kekuasaan, kebijakan, dan komunitas; dan yang multiaktor melibatkan pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pihak Keraton Yogyakarta memang memegang saham sebesar 30% dan 70% sisanya dimiliki oleh pihak PT JMI. Sengketa kepemilikan lahan pun masih menjadi soal. Umum diketahui, adanya pengakuan pihak Kadipaten Pakualaman bahwa sebagian besar tanah wilayah Kulon Progo berada di bawah status kepemilikan Pakualaman, lazim disebut Pakualaman Ground (PG).

Terlepas dari itu, aktor-aktor yang terkait pun kompleks. Bukan hanya vertikal antara masyarakat dengan pemilik kekuasaan. Sejak 2011, warga bahkan terpecah menjadi kubu PPLP dan Pro Tambang. Masyarakat Pro Tambang mulai bertumbuhan bak cendawan sejak 2010-2011 dan kini sejumlah 8 aliansi telah berdiri di delapan kecamatan. Perpecahan menjadi dua kubu ini jelas mematikan sikap tenggang rasa antar warga. Ada satu masa ketika salah seorang dari kubu Pro Tambang meninggal, tak ada pihak PPLP yang melayat ke rumah sekalipun bertetangga. Konflik ini pun diturunkan dan diajarkan ke anak-anak mereka yang masih balita. “Anak saya jadi sulit berteman dengan anak orang-orang PPLP,” ujar seorang penggiat aliansi Perak, Desa Bugel.

Persoalan agraria, proyek, penataan ruang, dan kebijakan lingkungan menjadi konflik multimateri berdasarkan tesis Kus. Masih saja ada klaim pihak pemerintah daerah mengenai lahan sempadan pantai (dihitung sejak 100 meter dari ombak tertinggi hingga pesisir pantai) sebagai PG. Nurhasan Ismail, guru besar Fakultas Hukum UGM menolak pengakuan itu. Menurut Nurhasan, sempadan pantai adalah lahan umum. Niscaya penggunaan lahan pun semestinya ditujukan untuk kepentingan umum, khususnya warga Kulon Progo.

Sementara itu, untuk lahan-lahan pemukiman warga, tiap warga sudah memegang sertifikat kepemilikan tanah. Pada 1970-an, semenjak Undang-Undang Pokok Agraria disahkan, warga yang telah 20 tahun menghuni lahan diberikan hak sertifikat tanah. Tidak ada alasan untuk mengaku-akukan tanah mereka sebagai milik Kadipaten Pakualaman. Sayangnya, meskipun dapat menunjukkan sertifikat, kedaulatan mereka masih dalam status ‘di awang-awang’. Kasus ini pun jatuh menjadi kasus multiarena karena dibahas dalam ranah hukum, politik, ekonomi, hingga sosial-budaya.

Hari ini, konflik terus berlarat-larat; sementara pembukaan pilot projects telah dibangun di dua tempat, di Karangwuni, Kecamatan Wates dan di Bugel, Kecamatan Panjatan. Warga PPLP tak kuasa mengutarakan penolakannya karena tanah sebagian warga telah dibeli oleh PT JMI untuk pembangunan dua pilot projects ini. Pada kunjungan Mei lalu, saya menyaksikan traktor nampak sudah bekerja mengeruk pasir. Dalam tingkatan pemerintahan daerah, pula, barangkali hanya sedikit pihak yang kini memantau janji reklamasi (mengembalikan fungsi lahan setelah ditambang) PT JMI. Janji itu dipaparkan melalui presentasi Kontrak Karya (KK) mereka kepada kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Aturannya, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, KK PT JMI tersebut mesti diperbaharui menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) lengkap dengan Rencana Kelola Lingkungan (RKL)/Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)-nya. Secara langsung, kontrak karya yang dipersyaratkan melalui UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan tidak dapat lagi dijadikan patokan. Masyarakat dapat saja menyetujui ataupun tidak menyetujui pengeluaran IUP sebagai pengganti KK ini untuk menentukan keberlanjutan usaha tambang di Kulon Progo.

Mengenyampingkan kasus itu, karena pilot projects diam-diam telah berjalan, janji reklamasi tetap patut ditanggapi serius. Berdasarkan kontrak karya dengan menteri ESDM, usaha tambang di Kulon Progo rencananya dilakukan per blok. Usaha tambang dilakukan selama tiga puluh tahun dan tiap blok mengambil rentang kurang lebih tiga tahun. Setiap tiga tahun, pihak PT JMI menjanjikan akan mereklamasi lahan. Pemerintah daerah sepakat akan menghentikan usaha tambang bila reklamasi tidak berhasil dilakukan. Pada akhirnya, keberhasilan reklamasi lahan akan menjadi tolak ukur apakah usaha tambang dapat dilanjutkan. Permasalahannya, hampir di setiap tempat usaha tambang di Indonesia, reklamasi tersebut menjadi sebatas janji palsu. Umum diketahui ‘janji reklamasi’ seringkali hanyalah formalitas dalam melegalkan Kontrak Karya. [*]

Tulisan Terdahulu