2014/11/28

Memajang Kisah Silam Poskolonial: Museum Kretek Kudus

G.G. Weix

Profesor antropologi di University of Montana, Amerika Serikat

gg.weix@mso.umt.edu

[abstract in English, ±150 words][1]

Museum Kretek Kudus berdiri pada 1986 sebagai wujud penghormatan bagi usaha lokal dan produksi asli rokok cengkeh (kretek) di Kudus, Jawa Tengah[2]. Artikel ini menganalisis bagaimana penduduk lokal menghayati museum ini, baik dari segi visual dan budayanya, juga menjawab pertanyaan-pertanyaan perihal bagaimana dan mengapa orang Indonesia menampilkan peninggalan-peninggalan terkait relasi buruh industri dan produksi komoditas lokal yang menandai bahwa pernah terjadi suatu pemerintahan kolonial di masa lalu.

Museum adalah institusi dengan kewenangan menayangkan peninggalan dari masa silam dan hal-hal yang terkait dengannya, di mana hal ini dengan sendirinya menjadikan museum sebagai suatu artefak budaya (Kahn 1995: 325). Pertumbuhan museum di Asia Tenggara berjalan dengan mengusung tema-tema seputar poskolonial dengan menghadirkan nuansa dari Perang Dunia II, di mana hal ini juga mendukung kepentingan pemerintahan Orde Baru di Indonesia.[3] Museum Nasional, yang menyimpan warisan masa prasejarah hingga warisan masa Hindia-Belanda yang ditampilkan melalui sebuah bangunan bergaya kolonial di pusat kota Jakarta, telah dipugar secara keseluruhan terutama dengan tambahan ruang pameran dengan iklim yang terjaga dan ruang etalase tambahan untuk memajang artefak. Di masa ini, museum-museum baru yang ditujukan untuk politik pergerakan dan kesejarahan negara juga turut menampilkan simulasi dan diorama kejadian di masa lalu, alih-alih sekadar memajang barang-barang tua. Museum-museum nasional ini—yang terletak di Jakarta dan sekitarnya—memajukan agenda politik untuk mengamankan legitimasi pemerintahan Orde Baru Soeharto dengan idenya mengenai Masa Pembangunan, yang oleh sebagian masyarakat secara sinis disebut sebagai “era konstruksi”.[4] Museum-museum baru ini dimulai sebagai proyek-proyek konstruksi, sementara museum daerah membaharui istana atau bangunan kolonial untuk karya pastiche berlanggam posmodern untuk bentuk arsitektur lama dan baru.

Museum-museum daerah dan swasta juga menunjukkan representasi politis pemerintahan era itu dalam konstruksi mereka, berikut patronase dan daya tarik lokal yang mereka miliki. Simbolisme visual dan desain museum swasta—beserta patronasenya—menyimpang dari agenda politik yang tadinya bertujuan untuk menyimpan sejarah kenegaraan. Sebaliknya, museum swasta melihat masa silam poskolonial melalui perspektif yang lebih lokal, yakni melalui daerah kantong-kantong usaha di masa kolonial Hindia.

Sementara itu, visualisasi pameran di museum-museum Indonesia berbagi kemiripan begitu rupa dengan apa yang terjadi di museum-museum Eropa dan Amerika Serikat. Kemiripannya terutama dapat ditemukan pada cara pelabelan dan teknik pemajangannya. Museum swasta menjadi pendukung untuk reka-ulang era poskolonial di zaman modern, di mana pameran mereka bukan hanya menampilkan narasi masa silam, melainkan juga menjaga narasi tentang keterkaitan dari kejadian yang pernah berlangsung dengan kondisi sosial saat ini. Dengan demikian, para pengunjung lokal museum menyaksikan tradisi mereka dalam dua cara pandang: sebagai potret kehidupan sosial masa silam dan potret diri mereka di masa sekarang.

Menghubungkan yang Arkaik dan yang Modern

Pertumbuhan museum di Asia Tenggara dianalisis sebagai agenda politik pemerintah dalam meneguhkan wewenang mereka dan mengaitkan kejadian di masa silam dan di masa modern (Anderson 1991b: 178). Arkeologi era kolonial di abad ke-19, serta keilmuan dan usaha memengaruhi pembangunan kembali situs-situs keagamaan ke keadaan semula, menandai pergantian waktu untuk memulai sebuah bangsa baru. Situs-situs keagamaan kuno menjadi pendukung terciptanya mitos nasional atas asal usul beberapa negara poskolonial di Asia Tenggara lantaran beberapa monumen kunonya—seperti Borobudur di Indonesia dan Angkor Wat di Kamboja—menjadikan kejayaan masa lalu kembali bisa dinikmati di era modern (Anderson 1991b: 179–183).

Museum-museum di Indonesia mewarisi peran sebagai monumen bangsa; dibangun sejak hari kemerdekaan demi menyimpan memorabilia kebangsaan sebagai perwujudan memori kolektif bangsa (Anderson 1991b: 178–184). Meskipun, sejak 1966, pemerintah Orde Baru menghindari wujud memorabilia tersebut ataupun monumen bergaya realis-sosialis yang ditujukan oleh Presiden Sukarno untuk menggambarkan keadaan “Rakyat” dan “Suatu Bangsa”. Museum-museun Orde Baru melingkupi bentuk-bentuk simulasi: fotografi, diorama, dan skena kejadian sejarah yang telah direkonstruksi. Meskipun semua bentuk itu melestarikan dimensi politik ketika mereka dipajang di museum, jangkauan representasi mereka telah bergeser dari peninggalan bangsa yang sebenarnya sebatas ke simulakra dari masa ke masa.

Pergeseran pajangan ke dalam wujud simulasi dan “pemampatan waktu” dalam contohnya yang paling baik muncul dengan bentuk taman-bertema (theme park), sebuah “Miniatur Indonesia” (Taman Mini) yang dibangun di Jakarta Selatan pada 1971, di mana Museum Indonesia ditambahkan ke pekarangan ini pada 1980. Taman tersebut menghindarkan bahasan terkait transisi penuh kekerasan yang terjadi antara pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru karena taman ini menampilkan narasi masa silam yang terus memunculkan perwujudan budaya tradisi daerah (Anderson 1991b: 176–177). Pemberton fokus pada replikasi dan miniaturisasi monumen budaya, serta krisis yang terjadi dalam peniruan kehidupan masyarakat di masa rekonstruksi rumah adat.[5] Pemerintahan Soeharto, bagaimanapun, memang memperuntukkan visualisasi kebudayaan-kebudayaan daerah dan acara-acara ritual itu untuk melakukan generalisasi atas kebudayaan nasional Indonesia.

Museum daerah mewujudkan tampuk kekuasaan di masa silam dan era kesultanan dalam simulasi sejenis (Taylor 1994: 71–74). Mereka menayangkan relik, regalia, dan kesenian tradisional sebagai nostalgia bagi pemerintahan sebelumnya yang kini digantikan peran negara, kendati mewujudkan kerajaan dalam bentuk museum akan menyinggung kekuasaan yang juga sedang berlaku di negara. Museum-museum daerah yang memiliki sejarah perihal kerajaan juga menggunakan simulakra pakaian kerajaan untuk menjaga keberlangsungan dan meningkatkan pariwisatanya. Misalnya, museum di Ternate dan Tidore di timur Indonesia, yang sebelumnya kerap dikenal sebagai pulau rempah-rempah, pun menggunakan memorabilia atas kesejarahan para sultan. Pengunjung museum dikawal ke ruang utama yang memajang artefak dan lemari yang menampung pakaian harian Sultan dan rombongan kerajaan. Lemari-lemari itu berisi manekin dengan kostum kebangsawanan ataupun kostum orang-orang biasa—asli maupun rekonstruksi—yang berbaris di dinding bekas kerajaan. Petugas pemandu mendorong pengunjung untuk melihat pertunjukan busana tersebut dan menganggapnya semata-mata sebagai kilasan masa silam, di mana pengunjung dilarang untuk memotret di dalam pameran.[6]

Berbeda dari museum yang dijelaskan di atas, museum-museum swasta di Indonesia diresmikan untuk menampilkan keaslian kinerja dan produksi komoditas dalam perindustrian. Mereka memunculkan objek-objek, foto-foto, dan diorama-diorama untuk mengilustrasikan tahapan kerja sebelum masuknya teknologi industri, di mana tenaga kerja masih mengandalkan usaha kolektif. Museum-musum swasta itu berdiri selama beberapa dasawarsa terakhir—secara eksklusif berdiri di wilayah Jawa Tengah—dan ditujukan untuk menampilkan sesuatu yang agak berbeda dari kesatuan atau keadaan proses pemerintahan sebelumnya: yakni untuk menampilkan asal usul dan perkembangan industri, khususnya perusahaan-perusahaan kapitalis yang muncul selama era kolonial. Foto-foto, memorabilia, dan artefak menampilkan pabrik konversi, gudang, ruang-ruang administrasi, atau pun gedung-gedung baru.

Para pegawai museum menyebut museum swasta semacam itu bertujuan menarik perhatian baik wisatawan domestik maupun internasional.[7] Namun, lantaran kerja-kerja industri semacam itu terkait dengan keunggulan yang dimiliki oleh suatu daerah, maka museum-museum itu berada di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan wisatawan internasional, seperti museum yang terletak di Kota Kudus di pantai utara Jawa. Meskipun, belum jelas apakah wisatawan internasional akan tertarik dengan tempat semacam Museum Kretek Kudus, lantaran artefak yang ditampilkan bukan tentang budaya lokal, melainkan tentang ekonomi lokal yang berubah dari waktu ke waktu.

Museum-museum swasta, meski sebagai perluasan pariwisata di Indonesia, juga memiliki pengaruh lokal.[8] Sementara mereka menampilkan aspek-aspek industri sebagai sesuatu yang kuno, mereka membentuk konteks sosial di mana pengunjung yang adalah penduduk Jawa asli akan menghadapi tanda-tanda visual berupa patronase lokal dan hierarki sosial kedaerahan mereka. Untuk menggambarkan konteks ini dan memberikan bukti terkait wujud penafsiran lain tersebut, saya menyajikan suatu deskripsi etnografis mengenai Kudus beserta tatanan ekonomi dan sosialnya yang memunculkan pandangan berbeda bagi penonton. Saya kemudian membandingkan analisis visual dan budaya museum tersebut. Museum Kretek Kudus terbilang tidak umum karena ia merepresentasikan sebagian dari peninggalan di era kolonial sebagai peninggalan masa silam dalam bentuknya yang imajiner. Pamerannya berkonstribusi pada keberlanjutan otoritas dan status elite lokal, terutama karena ia banyak dikunjungi oleh penduduk setempat.

Museum Kretek Kudus adalah salah satu dari banyak proyek konstruksi yang didesain untuk mempromosikan pariwisata sepanjang pantai utara dalam dasawarsa 1980. Bersamaan dengan dibangunnya museum, sebuah menara didirikan dekat dengan terminal bus tua. Batu bata, perancah bambu, dan berkarung semen mengelilingi lokasi proyek selama berbulan-bulan; karena menara direncanakan sebagai monumen yang dikelilingi taman.[9] Menara tersebut secara abstrak menyerupai Menara, sebuah menara (minaret) di dekat makam Sunan Kudus di sudut tertua kota. Miniatur museum dipamerkan pada bilik pameran (booth) pemerintah provinsi dalam sebuah pameran pembangunan di bulan Agustus 1986. Proyek konstruksi ini didesain sebagai pelengkap alih-alih pengganti situs-situs asli. “Karena itu, pengunjung tidak perlu pergi ke Kudus Utara untuk melihat Menara,” ujar seorang lelaki muda dengan bangga kepada saya, “wisatawan dapat turun dari bus untuk melihat monumen baru; mereka dapat mengunjungi museum alih-alih sebatas mengunjungi Kudus Utara.” Proyek-proyek tersebut sesungguhnya hanya dikenali sebagai proyek pariwisata; ketika saya menanyakan keberadaan momunem yang sedang dibangun itu kepada seorang tukang becak, ia menebak bahwa “mungkin saja mereka sedang membangun hotel”.

Museum Kretek Kudus diresmikan pada Oktober 1986.[10] Beberapa bulan sebelum penyelesaiannya, tuan rumah saya menyebut museum tersebut sebagai “proyek” yang disponsori bersama oleh pebisnis lokal di kota itu. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perkembangan sejarah pembuatan rokok kretek dan juga untuk memperingati generasi pebisnis sebelumnya yang adalah pengusaha-pengusaha pribumi pertama dengan politik ekonomi kapitalis.

Menteri Dalam Negeri, Supardjo Rustam, diundang dari Jakarta sebagai pembicara pada upacara peresmian. Kedatangannya disambut meriah di upacara pagi itu. Setelah pernyataan awalnya, ia mengundang empat orang lainnya untuk berdiri di podium bersamanya, memperkenalkan mereka sebagai “raja rokok” (cigarette kings) keturunan dari para pendiri besar industri tersebut.[11] Kemudian, Rustam mengisahkan cerita singkat kepada ratusan tamu, pejabat, manajer, pekerja, dan staf yang hadir. Di tahun sebelumnya, setelah ia pulih dari suatu penyakit misterius, ia beroleh ilham untuk menyerukan pendirian museum daerah yang ditujukan guna memperingati bisnis dan usaha pribumi.

Jawa Tengah ketika itu telah memiliki dua museum lain yang ditujukan sebagai tempat pameran industri. Yang pertama adalah pabrik pengolahan gula di Klaten, sebelah timur laut Yogyakarta, yang kedua adalah adalah sebuah stasiun kereta api di Ambarawa, kota kecil yang sepi di sepanjang jalan raya dari Semarang ke Yogyakarta. Menurut Rustam, museum-museum tersebut adalah usaha yang dibangun kolonial Belanda. Sementara itu, ia membayangkan sebuah museum yang akan menekankan semangat kewirausahaan pribumi. Karenanya, seperti yang ia sampaikan kepada audiens, ia mendekati para direktur dari keempat perusahaan terbesar di Kudus untuk membeli lahan dan membiayai pembangunan museum yang akan diresmikan bagi “industri pribumi”.


[image]

Gambar 1 Pada pembukaan Museum Kretek Kudus, pengunjung berwisata mengelilingi bangunan. Hak foto ada pada Kantor GAPPRI, Kudus, 1986.

Museum itu, suatu bangunan yang mengesankan, dengan lintasannya yang melingkar, terletak sekitar tiga kilometer di selatan kota dan dikelilingi persawahan. Hanya dengan mengemudi secara hati-hati menyusuri jalan setapak sempit menuju distrik pedesaan Loram, maka tengara baru ini dapat disambangi. Dari jalan raya mendekati Kudus, atap museum tampak samar-samar di seberang persawahan. Penduduk setempat menyebut situs itu “tempat sepi” (a quiet place), baik secara kiasan terkait jarak tempuh dari pusat perdagangan dan secara harfiah lantaran ia terisolasi dari lalu lintas kendaraan. Bagi orang Jawa, frase itu juga berkonotasi pada tempat seperti pemakaman atau situs ziarah pegunungan yang terpencil dan ditinggali arwah.

[image]

Gambar 2 Pada upacara pembukaan Museum Kretek Kudus, Oktober 1986. Hak foto ada pada Kantor GAPPRI, Kudus.

Terlepas dari lokasinya yang terpencil, upacara peresmian museum rokok itu tampak hidup dan dihadiri banyak pegawai negeri sipil dan pimpinan bisnis, manajer, serta para pekerja. Seusai pidato pembukaan, perempuan muda dengan dandanan layaknya pedagang abad kesembilan belas menampilkan tarian yang adalah simulasi dari gerakan perempuan yang sedang melinting dan membungkus daun cengkeh diiringi rekaman musik Sunda populer. Para pejabat membuka penutup patung para petani sebagai pejuang gerilya yang menggambarkan perjuangan Revolusi Indonesia (1945–1949). Kemudian, komite melepaskan balon ke udara sementara para penonton masuk ke dalam ruang pameran dan secara perlahan memulai tur untuk mengeksplor fasilitas-fasilitas museum. Tur menjajaki jejak visual keseluruhan bangunan dan para pengunjung melihat-lihat foto, diorama, dan benda-benda penanda masa lalu.

Menegaskan Kembali Hierarki Lokal

Bagaimana penduduk lokal Jawa memandang museum sebagai narasi untuk mengingat masa lalu?[12] Mengapa penduduk lokal bahkan bersedia mengunjungi museum? Hal ini terjawab dengan menyoroti posisi lokal elite sebagai pusat patronase. Misalnya, di sepanjang pantai utara Jawa, sementara posisi istana berjarak dengan masyarakat dan kekuatan kesultanan diperebutkan, wali Islam dan komunitas pedagang menciptakan alternatif bagi hierarki aristokrat di tengah masyarakat istana Jawa (Florida 1995: 322–326). Bahkan di kota-kota dengan kekuasaan istana itu, komunitas pedagang Muslim dapat memperoleh kasta kebangsawanan, kendati mereka hanya akan mencapai status tersebut melalui akuisisi kekayaan, berbeda dengan elite aristokratis dan pemerintahan pejabat, yang memandang peringkat sosial sebagai apriori dan dalam beberapa hal dipandang sebagai jalan awal untuk memperoleh kekayaan (Brenner 1991: 57–58).

Dari sini tampak bagaimana pengunjung asli Jawa memandang museum. Pertama, pada upacara peresmian, kita dapat melihat bukti adanya penegasan hierarki lokal. Ketika menteri negara menceritakan pemulihan dirinya dari sakit, ia menyampaikan tujuan dari museum itu—untuk menghadirkan masa silam kolektif—dengan istilah yang akrab bagi orang Jawa: untuk membalas utang keseluruhan kepada sumber tak tampak yang telah jelas memulihkan kesehatannya. Pada saat yang sama, negara justru tak memberikan sponsor apa pun untuk berdirinya museum tersebut. Karenanya, Rustam meminta sumbangan dari para pengusaha Kudus—yang ia simplikasikan dengan sekadar sebutan pedagang (traders), istilah yang disengaja mengaburkan status mereka sebagai eksekutif perusahaan berpenghasilan jutaan dolar—untuk memberikan sponsor atas proyek tersebut. Kemurahan hati dalam hubungan dengan masyarakat meneguhkan posisi mereka sebagai dermawan lokal, dalam hal ini, melalui pendanaan mereka atas proyek negara yang dikeluarkan dari dukungan dana pribadi. Dengan demikian, perebutan hierarki antara aristokrat dan pedagang, atau yang secara modern dapat disamakan dengan hubungan antara kementerian negara dan para pengusaha, tampak jelas dalam acara tersebut.

Kedua, empat pemilik perusahaan tersebut menyambut menteri negara sebagai tamu kehormatan di Kudus, yang mana hal ini mengingatkan pada kunjungan sebelumnya yang dilakukan pejabat negara kolonial. Bapak serta kakek para pengusaha ini juga pernah menjadi tuan rumah bagi bangsawan-bangsawan Jawa dan para utusan asing.[13] Catatan sejarah lokal dan beberapa biografi menyebutkan kunjungan ke situs sebagai bukti ketenaran kapitalis awal Indonesia, seakan-akan para sultan Jawa dan jenderal gubernur Belanda sengaja berkunjung ke Kudus semata-mata demi menemui para pengusaha tersebut.

Namun, Rustam menegaskan beberapa keutamaan negara Orde Baru dalam menjalinkan takdir pertemuannya dan acara itu; juga perkenalannya kepada “Empat Besar” perusahaan di kota tersebut dengan selubung kesejarahan yang signifikan dalam kelas usaha lokal tersebut. Dalam sebuah laporan pemerintahan kolonial tentang usaha produksi rokok, kategori “pedagang” ditilik berdasarkan kode ras yang ditentukan oleh asal usul etnis dan agama: perusahaan yang dimiliki oleh “Pribumi” dan “Timur Asing” masuk dalam daftar berbeda, yang mana istilah terakhir digunakan pemerintahan Hindia Belanda untuk merujuk pada keturunan Tionghoa (Castles 1967). Di sektor tembakau dan tekstil pengusaha “pribumi”, yakni Muslim Jawa, bahkan cukup berhasil membangun pasar di tengah ekonomi kolonial. Sepanjang abad ke-20, pengaruh politik yang baru muncul dari kelas menengah Jawa relatif lemah dibandingkan kelas bisnis multinasional dan domestik Tionghoa (Robison 1986: 57–62). Namun, dengan memperkenalkan patron museum secara kolektif dikuasai oleh “Empat Besar”, Rustam dalam acara peresmian pada 1986 itu menyandingkan keseimbangan simbolis antara dua perusahaan: “Jawa” dan “Tionghoa”. Pembagian sejarah dan kode ras telah dipaparkan, meski upaya ini diredam di bawah naungan negara poskolonial.

[image]

Gambar 3 Mengunjungi museum dengan seorang teman, November 1987. Hak atas foto ada pada Astri Wright.

Bukan hal luar biasa bagi pemilik perusahaan rokok bertindak sebagai patron dari proyek negara. Sejak 1970, perusahaan-perusahaan besar kerap memberi sponsor kegiatan-kegiatan olahraga dan hiburan dan menampilkan logo perusahaan untuk mengiklankan merek rokok terbarunya (Hatley 1994: 257). Dengan terbitnya industri perfilman nasional (yang berumur pendek) dan iklan cetak pada 1980-an, perusahaan-perusahaan itu memperluas keterjangkauan logo mereka ke berbagai acara publik. Banner logo mereka terpampang dan digantungkan pada setiap pameran-pameran dagang, acara-acara kompetisi olahraga, kegiatan publik dan sekolah agama, bahkan pada karangan bunga yang dikirimkan ke suatu pemakaman Tionghoa. Penanda pada iklan dan patronase menyertai acara peresmian museum, dan menegaskan status yang tampak pada perusahaan besar dan kecil, terlepas dari ukuran usaha dan penghasilannya. Kompetisi untuk menampilkan logo mempertinggi keterlibatan ikonik sebagai sumber patronase. Misalnya, tetangga saya dapat menjelaskan kegiatan di acara-acara olahraga tersebut hanya dengan mengidentifikasi sponsor atau patronnya: “...itu event-nya Djarum” (Djarum adalah merek rokok kretek lokal).

Sepanjang 1987, tahun pertama setelah peresmian Museum Kretek Kudus, kunjungan ke museum menjadi kegiatan rileksasi populer di tengah penduduk Kudus.[14] Sebagian besar pengunjung adalah murid sekolah dalam agenda kunjungan lapangan beserta guru-guru mereka. Teman-teman saya sering mendesak agar saya menemani mereka ke museum, yang letaknya jauh dari pusat kota dan juga memerlukan tumpangan tukang becak dalam jarak pendek, tetapi dengan harga mahal. Pada kunjungan biasanya, kami dapat memasuki bagian depan pintu dan penjaga laki-laki muda akan meminta kami untuk menandatangani buku tamu di meja di mana ia berdiri mengobrol dengan penjaga lain. Beberapa pengunjung melepaskan alas kaki sebelum masuk sebagaimana yang umum mereka lakukan sebelum memasuki Masjid atau rumah.

Interior museum terdiri atas sebuah ruangan besar, tampak dingin dan gelap di sudutnya. Pameran sepanjang sisi menampilkan bayangan lampu yang menyala terang tergantung di tengah ruangan. Banyak orang terdengar mengagumi lantai keramik, lampu berkilauan dan kayu mewah, dan terutama, pendingin ruangannya. “Udara dingin, sejuk,” (“Adhem, lho, apit”) ujar mereka dalam bahasa Jawa. Seorang guru berusia pertengahan dua puluhan mengatakan kepada saya ruangan itu menyerupai ruang tunggu dari rumah keluarga pedagang kaya raya, yang menampilkan ruang sosial di mana pasangan tersebut menerima tamu serta klien, pelanggan, dan karyawan. Begitu pula pendapat dari seorang guru sekolah pedesaan lain yang mengatakan ubin tampak licin selayaknya lantai marmer dari rumah elite pedagang. “Ruangan ini sangat nyaman,” ujarnya. “Saya bisa membayangkan tinggal di sini untuk waktu yang lama.” Beberapa pengunjung museum lain mengatakan mereka mengantuk selama waktu berkunjung lantaran keadaan museum begitu lengang.

[image]

Gambar 4 Foto close-up dari diorama yang menunjukkan pembuatan rokok kretek di pedesaan dengan membayangkan masa lalu. Foto: G.G. Weix, 1987.


Ketika pengunjung memulai tur berkeliling ruangan, pemandu mengarahkan mereka untuk melihat foto-foto dan diorama-diorama lokakarya pabrik pada 1910-an. Alat-alat kayu dan dokumen-dookumen menyebar di kotak kaca dekat foto-foto itu. Pemandu menjelaskan bahwa barang itu sangat bagus (“Sae, antik.” Kata pertama adalah istilah Jawa yang berarti “bagus” dan kata kedua adalah istilah serapan Inggris yang berarti antik.) Evaluasi kata “antik” tidak berhubungan dengan usia, karena saya mendengar orang Indonesia menyebut objek-objek terbaru, pencakar langit di Jakarta misalnya, atau pakaian modis terbaru, sebagai antik. Antik menandakan kualitas, bukan kondisi berdasarkan waktu.[15]

Generasi pertama dari pengusaha rokok cengkeh digambarkan pada dinding berpanel yang menampilkan foto-foto: potret sembilan pria mengelilingi foto Nitisemito, pengusaha pribumi paling terkenal di zamannya, dengan bingkai yang lebih besar. Terdapat keterangan di bawah foto yang menampilkan setiap nama pendiri dengan gelar senada, “Raja Rokok”. Seperti halnya gambar lain dalam pameran itu, foto-foto ini menyajikan penghormatan yang menampilkan para elite dan menyoroti hubungan patonase antara perusahaan lokal dan penduduk setempat.

Foto-foto itu juga mengingatkan tentang lukisan-lukisan para pendiri yang tergantung di depan kamar anak-anak mereka di rumah, juga di kantor-kantor pabrik mereka. Selain potret di rumah dan tempat kerja, beberapa pemilik perusahaan menghargai orang tua mereka dengan membacakan doa di makam keluarga setiap tiga puluh lima hari, pada tanggal kematian orang tua mereka berdasarkan penanggalan Jawa. Orang Indonesia keturunan Tionghoa di Kudus merupakan silsilah vertikal dari generasi yang fotonya terpajang di aula depan rumah. Dalam kedua contoh ini, para pengusaha menandai ruang kehidupan sehari-hari mereka untuk menunjukkan rasa hormat kepada generasi sebelumnya. Hanya Museum Kretek Kudus yang membentuk kesatuan set gambar dari pendiri pabrik untuk ditujukan kepada publik dalam ruang simulasi di sebuah rumah mewah. Mengingat ketegangan kesejarahan yang ditampilkan oleh kelas bisnis tersebut, dan disparitas pemaknaan industri di era kolonial dan poskolonial, konsolidasi simbolik yang menampilkan penghargaan ini tidak mudah untuk diterima dalam institusi tunggal belaka. 

2014/11/21

Buku Puisi Afrizal Malna “Pada Bantal Berasap”: Puisi Visual atau Visualisasi Puisi?



Ditulis untuk program lokakarya kritik seni rupa dan kurator muda Indonesia 2014 di Dewan Kesenian Jakarta dan ruangrupa.


Tampilan Buku Sastra yang Monoton

Konon, inilah eranya kita berhibur dengan jalan serbasingkat. Tulisan panjang kalah oleh desakan iklan, alur sinetron tak saling kait satu sama lain, karya seni di galeri menjadi puja-puji sekilas lalu di akun-akun Instagram. Dalam sorotan penuh stigma, mode hidup di zaman ini tiada lain adalah ekstase satu malam.

Untuk perayaan atas kesegalaan yang singkat ini, sekian baris puisi pendek tidak lagi dianggap hadir secara anakronis. Ia dirayakan dan tidak terpisah dari masyarakatnya. Siapa pun berhak menjadi penyair melalui cuitan di akun Twitter. Kehidupan kita seketika dibanjiri kata-kata para penyair instan itu. Sayangnya, hal itu tak serta-merta mendukung penghidupan para penyair. Damhuri Muhammad dalam suatu pengantar[1] menyampaikan:

“Seorang petugas pencatat kerjasama penjualan konsinyasi di sebuah toko buku, bahkan pernah mengatakan, “berhentilah menerbitkan buku puisi. Lebih baik kita berjualan buku tentang masak-memasak, atau buku panduan jitu cara bersolek, yang sudah pasti laris.”

Lantas, jalan sunyi macam apa lagi yang kiranya akan ditempuh para penyair?

Penahbisan penyair secara kilat dan sambil lalu ini adalah satu hal yang membuat kata-kata memerlukan bentuk baru agar ia bisa laku, atau agar ia bisa tampil dengan khas. Saya menulis artikel ini untuk tujuan kedua: mencari kekhasan demi menyudahi gelontoran karya pastiche yang menjadi primadona pasar buku hari ini. Meski demikian, saya optimis pasar pun sebenarnya menanti sesuatu yang berbeda. Karena selain era instan, di masa ini orang-orang mencari keterkejutan. Gumun yang bisa mereka bagi lewat media sosial. Untuk merespons kegumunan itu, mengapa tidak sekalian saja buku puisi ditampilkan dengan jalan yang benar-benar berlainan dari buku-buku konvensional?

Pencapaian artistik adalah salah satu alternatif yang diusulkan Damhuri melalui teks pidatonya. Saya mengartikannya, buku puisi tidak mesti tampil teks belaka. Lewat ragamrupa cetak grafis, dapat dihadirkan keunikan tipografi demi mewakili ‘suara’ ataupun gambar terpilih demi mewakili ‘visual’. Meskipun, untuk itu, penyair perlu mengolah teknik dan bereksperimen. Yang mana, juga mendorong perpaduan antardisiplin apabila diperlukan. Sebagaimana halnya Ellena Ekarahendy[2] mengintepretasikan puisi Afrizal Malna “Pada Bantal Berasap” menjadi sebuah buku puisi dengan tambahan polesan grafis. Namun, untuk metode kerja itu, kita perlu mempertanyakan kembali: tepatkah apabila genre karya Ellena ini disebut sebagai puisi konkret atau puisi visual?

Puisi Visual atau Visualisasi Puisi?

Dalam kata pengantarnya, Ellena mengakui apa yang dia lakukan bukanlah hal pertama, dan ia menyebut dua nama lain, Filippo Marinetti dan Tristan Tzara sebagai pendahulunya. Namun, dia tidak menarik garis penciptaan di mana Marinetti dan Tzara mengerjakan sendiri visual untuk puisinya, dan bahkan menciptakan konsepnya terlebih dahulu sebelum dituangkan ke kertas. Bahwasannya, intensi memvisualisasikan puisi itu dilakukan sendiri oleh penyairnya, seperti yang dilakukan oleh penyair-penyair di Indonesia, di antaranya Sutarjdi, Ibrahim, dan Hamid. Inilah apa yang umum dikenal sebagai puisi visual atau puisi konkret.

Herman J. Waluyo (Waluyo, 1987) mencatat bahwa puisi konkret terkenal sejak era 1970-an; Sutardji Calzoum Bachri dengan O, Amuk dan O, Amuk Kapal-nya, Ibrahim Sattah dengan Hai Ti dan Hamid Jabbar dengan Wajah Kita pernah pula menerapkan permainan visual dalam puisinya. Terutama Sutardji, dengan doktrin puisi mantra, jeda dan repetisi bukan mainan baru baginya. Namun, pada para penyair yang tidak berlatar belakang desain komunikasi visual, eksperimen unsur bunyi, tipografi, enjambemen, ataupun ikon parodi tidak ditampilkan dengan permainan warna atau bentuk yang mendorong interaksi visual. Mereka hanya berkutat dengan kemungkinan-kemungkinan bentuk teks: lingkaran, segitiga, baris-baris garis, dan sejenisnya untuk mewakili maksud dari puisi itu. Seringkali, upaya ini pun hanya hendak menampilkan grafis dari puisi, alih-alih pemaknaan terhadap teks. Lebih dari itu, hampir kesemua seniman itu berlaku ideologis dalam mengonsep karyanya, baik dalam makna dan tema bagi karyanya, ataupun aliran yang kemudian menopangnya.

Teknik grafis puisi sendiri sudah berkembang sejak era Yunani klasik dengan sebutan technopaigneia, dalam bahasa Latin carmina figurata, dan gesamtkunstwek dalam bahasa Jerman[3]. Kesemuanya, meski tak sepenuhnya sama, mensyaratkan penambahan elemen untuk menyampaikan maksud dari puisi dengan lebih terang.[4] Kegiatan perwujudan teks puisi ke dalam medium ini sempat redup di abad ke-12 hingga ditampilkan kembali oleh George Herbert (Bohn, 2001).

2014/11/05

Apa yang Paling Kamu Inginkan

Siang itu hujan. Kita entah kenapa menyudut pada salah satu jendela restoran itu dengan dua gelas minuman dingin.

Jadi, apa yang paling kamu inginkan di masa kecilmu? Kenapa kamu menulis?
Minuman di gelasku tinggal separuh.

Memiliki teman. Cukup lama aku mendefinisikan diri sebagai seorang anak tunggal yang tak pernah punya teman akrab. Sewaktu TK, aku pernah punya. Kami ke mana pun bersama. Sayangnya, aku tiba-tiba terbujuk rayuan orang tuaku yang sejak sebelum menikah tampaknya bercita-cita mengoleksi medali dan piala dari anak mereka. Mereka membeli lemari kaca khusus untuk itu bahkan sebelum tahu aku punya bakat apa. Aku terkutuk karena lahir sebagai semata wayang sehingga dijejali harapan ini-itu: petenis, bintang di televisi seperti Maissy si Gadis Cilukba, ataupun pembawa sangsaka merah-putih dalam barisan paskibraka. Padahal, aku hanya ingin menjadi seperti Usagi di Sailor Moon. Pembela kebenaran yang tak perlu bangun pagi. Jadi begitulah, dulu setiap hari, kerjaku hanya menggambari dinding, mewujudkan cita-citaku di sana. Karena itu, usaha utama mereka untuk menjadikanku anak istimewa terbilang mudah. Mereka mendorongku akselerasi kelas ke SD di usia belum genap lima tahun, dan menjauhkanku dari komik-komikku. Yang mau tidak mau, sekaligus menjauhkanku dari sahabat terbaikku di TK itu.

Bagaimana nasib lemari kaca itu?

Kosong melompong hingga hari ini.

Kamu tertawa.

Di bangku SD, hampir semua temanku laki-laki. Karena itulah aku tak pernah merasa canggung berada di antara kaum mereka. Bahkan karena itu aku tak pernah merasakan desir-desir aneh saat duduk beraduan tatapan mata dengan pria yang kutaksir, misalnya. Aku kemudian bosan dengan keadaan itu. Percaya atau tidak, saat SMP, aku melemparkan koin ke kolam dan meminta kehadiran seorang teman kepada kolam itu.

Kamu akhirnya tergelak di bangku di hadapanku. Hampir saja mengambil gelas minum yang sengaja kamu sisihkan untuk dinikmati saat berbuka puasa, tetapi kemudian mengangsurkannya kembali ke meja. Belum waktunya bagimu untuk menutup puasamu.

Kamu melakukannya, katamu, kamu tipikal gadis yang seperti itu.

Ya, pada akhirnya, kolam itu mengabulkan permintaanku.

Itu hanya self-fulfilling prophecy, sahutmu. Pada dasarnya, kamu yang berusaha untuk mendapatkan teman yang cocok denganmu.

Di satu sisi hal itu benar, aku mendapatkan teman-teman itu karena kemudian aku menulis banyak cerita sedih untuk mereka baca di jam istirahat sekolah.

Mereka menyukai cerita-ceritamu?

Mungkin kalau aku menanyai mereka sekarang, mereka akan bilang tidak. Selera kita berubah. Jadi, aku lebih percaya kolam itulah yang mengabulkan segalanya. Ah, aku ingin bertemu dengan kolam itu lagi, dan melemparkan koin yang banyak.

Kali ini, kamu mau meminta apa lagi?

Aku hanya bisa membatin; entahlah, bisakah aku minta kamu?

Aku tak pernah merasa kamu mencintaiku dan tampaknya kolam di sekolahku itu sudah dipugar.


4 November 2014


Tulisan Terdahulu