2018/01/13

Perjalanan Menuju Roma

Entah siapa yang berceletuk tentang guna merutinkan diri berolahraga selama 41 hari dan hasil dari rutinitas itu adalah sebuah kebiasaan yang tidak pernah terputus, tapi saya dan ibu semang kemudian meyakininya dan melakoninya—bahkan melakoninya setiap pagi: berlari selama satu jam mengelilingi danau sebelum melanjutkan rutinitas lain-lain.

Kira-kira pada hari ke-22 kami merutinkan diri berolah raga, di perjalanan menuju taman, saya mengoreksi apa yang kami tahu dan percaya, “Ada temuan lain di web yang lain, di web ini dibilang, 21 hari pun sudah cukup untuk membentuk kebiasaan. Jadi, kita tidak perlu payah-payah lari rutin selama 41 hari.”

Dia memperhatikan ujaran saya, dan merespons sekenanya. Tapi saya tahu itu tidak akan berhasil membuat tekadnya putus di tengah jalan. Jadi, karena ibu semang saya adalah tipikal orang yang tidak akan berhenti di tengah jalan saat sudah memutuskan melakukan sesuatu, maka kami perlu menyelesaikan hari-hari rutin olahraga kami hingga hari ke-41.

Lantaran rutinitas kami berolahraga di taman, saya punya kedekatan tersendiri dengan taman-taman di Paris dan banlieu-nya. Beberapa taman penting kota ini menjadi tempat berjalan setapak dan menghabiskan waktu untuk apa saja, termasuk untuk menulis fragmen-fragmen cerita. Di antara taman-taman itu, yang paling menarik bagi saya adalah Parc de Floral, sebuah taman yang terletak dekat Kastil Vincennes. Belakangan taman itu dibuka menjadi taman untuk para nudis, sayangnya saya tidak berkesempatan untuk ke sana lagi setelah membaca berita tentang pembukaan taman nudis itu. Dan, bagaimanapun menariknya taman-taman lain, yang paling dekat di hati tentulah taman Lac de Creteil, taman yang mengitari sebuah danau di Creteil, dekat tempat tinggal saya—karena ke sanalah kami, saya dan sang ibu semang, biasanya menghabiskan waktu.

Tetapi pada pagi tanggal 31 Agustus itu kami tidak menuju taman mana pun, dari arah apartemen kami, ibu semang memutuskan berjalan kaki saja terus ke arah timur. Saya menyusuri jalan lebih cepat darinya. Tapi hingga sekian meter kemudian, dia baru berkata bahwa di dekat tikungan jalan itu terletak pemakaman suaminya. Begitu spontan saja. Saya mengajukan diri untuk berziarah. Maka kami berbelok arah dan sampailah di sebuah pekuburan.

Kami melewati cukup banyak nisan untuk sampai tepat di nisan itu. Rumput liar merambat di sekelilingnya. Sebuah pohon sudah tumbuh di tengah-tengah tanah gembur itu. Itu pohon liar juga, kata ibu semang. Tanpa perintah sebagai ancang-ancang, ia mulai mencabuti rumput-rumput, saya bersolidaritas dengan ikut mencabut-cabuti rumput, sampai kemudian berusaha keras mencabut pohon yang akarnya sudah menancap dalam. Itu menjelaskan sudah berapa lama nisan ini tidak dikunjunginya lagi. Mungkin ibu semang terlalu sibuk, yang jelas ia tidak mungkin tidak merindu lagi kepada suaminya yang bersemayam di sana.

“Jadi, bagaimana, kapan mau memesan tiket? Kamu jadi tidak, sih, mau ke Roma?” ujarnya di perjalanan kami ke rumah.

Ada banyak jalan menuju Roma, kata sebuah adagium, dan mulanya saya memang bersepakat untuk berjumpa kawan yang juga sedang menjalani residensi di Roma. Tapi pada tanggal 31 Agustus, ia sudah kembali ke Indonesia. Saya tidak berhasil berjumpa dengannya sebelum ia kembali, tentu karena sederetan keraguan demi keraguan untuk menempuh perjalanan yang tidak pasti di negeri orang. Jadi, menimbang untuk pergi saat itu, tentu akan sia-sia saja. Tapi, dari pertanyaan itu, saya teringat sudah pernah membikin janji untuk menginap di rumah seorang kenalan di Roma—pasangan aktivis yang saya kenal di Yogya, sang istri kini bekerja di kantor pusat FAO di Roma. Lantas, terpikir bahwa ada pula rentetan kota lain yang sekalian perlu dikunjungi, di Bussum, Belanda pada 9 September, akan ada sebuah presentasi dari kawan tentang relasi Jepang dan Belanda pada periode kolonial Belanda di Indonesia dan pada 10 September seorang kenalan baik akan meluncurkan buku novelnya di Amsterdam, dan sejak tanggal 6 September, akan ada festival sastra Berlin yang menghadirkan Arundhati Roy. Justru akan menarik bila saya merancang perjalanan yang bisa memuat kepentingan-kepentingan itu sekalian.

Maka, sepulang dari berziarah ke kuburan, ibu semang dengan bermurah hati menyediakan waktu untuk membantu memesankan tiket-tiket perjalanan ke Berlin lantas Den Haag lantas Roma untuk kemudian kembali ke Paris—tentu dengan pertimbangan panjang: mau naik kereta, bis, atau pesawat; dari stasiun dan bandara itu bagaimana cara mencapai rumah kawan yang menjadi tempat menginap; dan apa yang kira-kira penting untuk dilakukan di sana berkaitan dengan riset penulisan fiksi; perjalanan ditempuh dari tanggal berapa sampai tanggal berapa, dan seterusnya.

Secara ringkas, perjalanan saya dari Paris ke Berlin pada tanggal 5 September dengan bus cukup menyenangkan, saya melihat diri sendiri berada pada titik di Googlemap yang berpindah dengan cepatnya dari satu area ke area lain bebarengan dengan melihat pemandangan di luar: sebuah gedung atau sebuah pabrik yang bercahaya sendirian karena jarak antara ia dengan gedung atau pabrik lain lumayan jauh. Melintasi Brussels Belgia, lalu melewati Eindhoven Belanda, untuk masuk ke area Jerman bagian Barat. Petugas yang mengecek paspor mulai membangunkan penumpang yang tidur, dan terjadi cekcok lumayan panjang antara sederet penumpang yang berpaspor kedaluwarsa, tapi pada akhirnya penumpang itu tidak diturunkan di tengah jalan. Itu pastilah seorang imigran gelap yang mencoba mencari peruntungan di Berlin, begitu pikir saya, tapi setelah si petugas beralih pada saya dan saya menunjukkan paspor, saya kembali melanjutkan tidur dan tidak ambil pusing lagi. Dibutuhkan suatu kesadaran diri yang mantap untuk istirahat yang cukup, karena sembilan hari ke depan, saya akan melakoni perjalanan dari kota ke kota—dan tidak boleh merengek sedang sakit atau apa (saat itu saya baru pulih dari diare dan mimisan lantaran sedikit alergi dingin).

Tiga hari saya lewati di Berlin, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Den Haag pada 8 September. Seharian itu hujan, sepulang dari Museum Yahudi, saya segera menuju ZOB Berlin, terminal bus yang akan membawa pergi. Di sana, saya bertemu seorang gadis mabuk yang saya lupa siapa namanya, meski kami sempat berkenalan, bercerita betapa sendirinya hidupnya. Yatim piatu, anak tunggal, dengan kehidupan cinta yang payah, dan cita-cita yang kandas, dan pekerjaan yang ia rasa mengantarkannya ke kegagalan demi kegagalan. Ia dari Sofia, Bulgaria dan tinggal delapan belas bulan di Berlin karena bekerja di bidang teknik, dan kini memutuskan akan mengadu nasib di Amsterdam. Saya ingin sekali bilang, “Hei, aku sejenis denganmu,” tapi tampaknya itu tidak lucu, maka saya biarkan dia terus mengelupas dirinya di depan saya, tanpa saya balik memperkenalkan diri. Sopir dan kondektur, yang sama galaknya dengan yang saya temui di terminal Gallieni Paris, kemudian memerintahkan kami segera masuk. Tidak bisa lanjut mendengarkan ceritanya lagi. Saya menawarkan diri agar si gadis duduk dekat-dekat saja, tapi pada akhirnya kami berpisah kursi. Banyak kursi kosong, menurutnya akan lebih lega bila kami duduk sendiri-sendiri, dan istirahat di perjalanan bisa lebih nyaman bagi kami. Saya menghela napas karena yakin bahwa kami akan berpisah, dia akan turun di Amsterdam sementara saya turun di Den Haag. Dan saya tertidur pulas malam itu, sampai akhirnya bus berhenti di terminal lebih cepat satu jam dibandingkan jadwal yang tertera di tiket. Di sana saya menyadari betapa kedisiplinan Prusia, yang berasal dari kedisiplinan ala Kantian, bagi warga Jerman masih terwaris dengan amat baik.

Perjalanan ke Roma pada 12 September tampaknya lebih menguji nyali. Layanan pesawat paling murah tersedia pagi-pagi betul, karena itu saya pikir pada pukul lima saya sudah mesti mengantre check-in. Hari-hari itu, Belanda sedang dilanda badai. Dari Leiden, saya menuju Rotterdam dengan guyuran hujan yang tidak main-main. Bandaranya kecil saja, seukuran atau malah lebih kecil daripada bandara Radin Inten II Lampung yang pernah saya singgahi. Rupanya ketika saya sampai di bandara pukul sebelas malam itu, sudah ada banyak orang seperti saya juga yang memutuskan untuk bermalam. Motel paling murah hanya sepuluh euro semalam, tapi jaraknya jauh dari bandara, dan di kala badai seperti ini dan jadwal bus jadi tidak menentu, memang sangat berisiko untuk ketinggalan pesawat apabila nekat memesan penginapan, maka wajar saja bandara penuh sesak orang yang bermalam untuk menunggu penerbangan paling pagi. Beberapa orang berkeluyuran, berjalan-jalan dengan tak santai mengelilingi bandara dari satu sudut ke sudut lain, tapi sebagian besar memutuskan beristirahat seperti saya. Pukul empat pagi, pintu bandara sudah dibuka dan terdengar koper-koper yang digeret masuk. Saya melanjutkan tidur untuk menunggu jadwal check-in yang saya pikir dimulai tepat pukul lima pagi. Tapi dalam hitungan menit bandara semakin ramai, dan saya memutuskan mengecek situasi. Antrean panjang mengular pukul lima pagi itu, untuk penerbangan yang sama dengan saya pukul enam pagi. Tidur di bandara tidak menjadikan saya orang pertama yang mengantre jatah lepas landas. Tapi tidak mengapa, akhirnya saya pergi ke Roma.

Menyelesaikan perjalanan bukan hal yang ingin saya capai ketika memulai perjalanan, tetapi setiap pejalan tahu bahwa akan selalu ada akhir dari setiap perjalanan. Sembilan hari perjalanan telah lewat, dua hari terakhir saya habiskan di Roma. Saya memotret antrean di bandara Fiumicino, Roma menuju Orly pagi itu. Saya kirimkan sebuah foto dan pesan singkat kepada ibu semang, menyatakan saya akan pulang. Sembari mencatat di catatan pribadi: “Akhirnya misi tertuntaskan. Memang ada banyak jalan menuju Roma. Termasuk jalan memutar dari Paris, Berlin, Den Haag, dan Rotterdam.”

Catatan:
Di Berlin, Jerman selama tiga hari saya menghadiri sebuah festival pengarang, bertemu Pak Triyanto Triwikromo yang sedang menjalani program residensi penulis juga, dan dengannya diajak untuk berjumpa seorang penerjemah Jerman, Gudrun Fenna Ingratubun. Saya menumpang tinggal dengan penerjemah Jerman tersebut dan membicarakan banyak hal tentang kesusastraan Indonesia maupun Jerman. Perjalanan saya tempuh dengan bus dari terminal Gallieni Paris dan tiba di Berlin ZOB pada 6 September 2017. Di Berlin, saya berkesempatan juga mengunjungi beberapa museum di Kompleks Museumsinsel (mengunjungi Altes Museum dan Neues Museum), serta mengunjungi Museum Yahudi. Seluruh diskusi dalam festival sastra Berlin yang saya ikuti dilakukan dalam bahasa Jerman, saya tidak begitu memahaminya, tetapi cukup berguna bagi saya untuk memahami festival pengarang skala internasional. Seorang penulis Indonesia, Okky Madasari, diundang menjadi pembicara di festival itu, tetapi saya tidak kesampaian untuk berjumpa beliau karena jadwal yang berbeda: tapi setidaknya saya membaca nama beliau tertulis di sebuah buku tebal terkait festival sastra Berlin itu. Selanjutnya, saya mengunjungi Bussum, Belanda pada 9 September 2017 untuk menghadiri sebuah konferensi mengenai relasi Jepang-Belanda pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, beberapa eksil perempuan hadir dan menjadi pembicara, dan seorang kawan saya di UGM Yogyakarta, Raisa Kamila, memberikan presentasi. Senang sekali mendengarkan penuturan-penuturannya dalam forum itu. Di Belanda, selain konferensi, saya berkesempatan mengunjungi Tropenmuseum, Amsterdam, dan masuk museum dengan gratis berkat kemurahan hati Aliansyah Caniago yang meminjamkan kartu museum, dan juga sempat menghadiri acara peluncuran kumpulan cerita pendek Joss Wibisonoo pada 10 September 2017. Di Belanda, saya menginap di apartemen kawan saya yang berkuliah di Universitas Leiden sehingga akses saya untuk mampir ke universitasnya pun dipermudah. Setelah itu, saya bertolak ke Roma, Italia pada 12 September 2017, di sana saya berkesempatan bertemu dengan dosen-dosen STF Driyarkara, di antaranya Romo Frumen Gions, Romo Albertus Pur, dan Romo Fellyanus Dogon yang sedang menempuh studi di Instituto Nazionale Di Studi Romani, dan mengunjungi Museum Vatikan dan beberapa ikon bersejarah kota Roma. Selama di Roma, saya menginap di apartemen sepasang suami-istri aktivis yang saya kenal di Yogyakarta, Fajar Kelana dan Noor Alifa Ardianingrum yang kini bekerja di kantor pusat Food and Agriculture Organization (FAO) PBB.

Tulisan Terdahulu