2019/12/17

Mekanika Penjagalan Massal: Kasus yang Mendudukkan Penjagalan di Indonesia sebagai Genosida

 Jess Melvin

Macmillan Centre, Yale University, New Haven, CT, Amerika Serikat

Abstrak

Artikel ini menyajikan selayang pandang bukti baru yang ditemukan dari arsip milik bekas Badan Intelijen Negara di Banda Aceh yang mampu membuktikan, untuk kali pertama, keterlibatan militer di balik penjagalan 1965-66 di Indonesia. Berkas-berkas ini menunjukkan bahwa jajaran pimpinan militer memprakarsai dan melaksanakan penjagalan sebagai bagian dari operasi militer nasional yang terkoordinasi. Operasi militer ini digambarkan oleh para petinggi militer sebagai “operasi pemusnahan” dan dilaksanakan dengan maksud yang dinyatakan untuk “memusnahkan sampai ke akar-akarnya” saingan politik utama militer, Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukti baru ini secara mendasar mengubah apa yang kini mungkin diketahui tentang penjagalan 1965-66, khususnya terkait pertanyaan tentang niat militer. Demikian juga, proses di mana kelompok sasaran militer diidentifikasi dan ditargetkan untuk dihancurkan kini dapat dipahami dengan menempatkan militer sendiri sebagai pelaku di balik bagaimana proses penjagalan ini terjadi. Artikel ini mengetengahkan bahwa bukti baru ini memperkuat argumen, yang diajukan oleh para pakar genosida sejak awal 1980-an, bahwa penjagalan 1965-66 harus didudukkan sebagai kasus genosida.

 

Kronologi pemuatan

Artikel diterima pada 16 Februari 2017

Artikel disetujui pada 23 September 2017

 

Kata kunci

Genosida Indonesia, penjagalan massal 1965-66; Aceh; Sumatra; militer Indonesia; Partai Komunis Indonesia (PKI)

 

Pengantar

Sejak peristiwa penjagalan 1965-66, para pengamat politik dari Indonesia dan luar negeri telah memperdebatkan istilah yang sesuai untuk melabelinya.[1] Skala penjagalan—diyakini telah merenggut hingga satu juta jiwa—beserta pernyataan para jagal yang bertujuan untuk “menumpas sampai ke akar-akarnya” kelompok masyarakat tak bersenjata agaknya telah menggiring banyak pihak untuk menyelidiki apakah penjagalan 1965-66 merupakan kasus genosida. Sejak awal 1980-an, para pakar kunci mengenai genosida berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya memenuhi definisi genosida sesuai Konvensi Genosida 1948. Kesulitan terbesar untuk mendukung klaim ini adalah dalam membuktikan niat militer di balik penjagalan ini dan menguatkan argumen bahwa kelompok sasaran militer dapat dipahami sebagai kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi. Artikel ini menyediakan selayang pandang mengenai bukti-bukti kunci dari Provinsi Aceh yang dapat menjelaskan “persoalan bukti” ini. Dengan menggunakan catatan dari pihak militer sendiri, artikel ini akan menunjukkan bagaimana penjagalan dimulai dan diterapkan sebagai bagian dari operasi militer yang disengaja. Artikel ini juga akan menunjukkan bagaimana militer secara eksplisit mengidentifikasi kelompok sasarannya melampaui batasan “kelompok politik”—dikecualikan dari perlindungan di bawah Konvensi—untuk mengidentifikasi kelompok sasaran ini termasuk kelompok nasional yang dibentuk secara ideologis (“kelompok komunis” Indonesia) dan sebagai anggota kelompok agama (sebagai “kaum ateis”).[2] Dengan landasan itu, artikel ini berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya dapat dipahami sebagai kasus genosida. 

Kisah tentang bagaimana kasus ini terungkap tampaknya adalah suatu kebetulan karena nasib mujur saya. Pada 2010, saya pergi ke bekas kantor arsip Badan Intelijen Negara di Banda Aceh. Saya telah mewawancarai para penyintas dan pelaku penjagalan di provinsi tersebut sebagai bagian penelitian disertasi doktoral saya. Lantaran tidak dapat mengakses arsip secara langsung, saya meminta untuk melihat katalognya dan memesan sejumlah berkas berdasarkan tanggal pembuatannya. Saya hampir tidak bisa percaya ketika saya kemudian disodorkan sebuah kotak berisi 3.000 halaman berkas rahasia militer. Berkas-berkas ini, digabungkan dengan laporan yang dihasilkan oleh komando militer Aceh,[3] adalah berkas-berkas awal yang ditemukan dari sepenjuru Indonesia. Berkas-berkas ini lantas dikenal sebagai berkas genosida Indonesia.

 

Soal Pembuktian

Tantangan terbesar yang dihadapi para peneliti penjagalan 1965-66 adalah kurangnya berkas yang tersedia untuk bahkan sekadar menetapkan kronologi dasar atas peristiwa, apalagi untuk mengetahui rantai komando yang jelas di balik terjadinya peristiwa kekerasan ini. Selama setengah abad terakhir, militer Indonesia mengutarakan kekerasan sebagai akibat dari pemberontakan “spontan” oleh “rakyat”,[4] dan “ledakan” lantaran “bentrokan komunal yang berakibat pada pertumpahan darah di beberapa wilayah di Indonesia”.[5] Sementara itu, penyebutan spesifik tentang siapa pelaku di balik peristiwa jagal ini justru dihindari. Komando Militer Aceh menjelaskan: “gerakan spontan rakyat di seluruh Aceh secara bersamaan menghancurkan PKI [Partai Komunis Indonesia] sampai mayoritas anggota PKI terbunuh ….”[6] Tujuan dari laporan resmi oleh Komando Militer Aceh ini adalah untuk menolak bahwa penjagalan oleh operasi ini mendapatkan komando dan disengaja oleh militer. Seperti dikemukakan oleh Vedi Hadiz, dukungan jagal dan perubahan rezim yang dipengaruhi peristiwa ini tetap menjadi “pembenaran” berlakunya tatanan sosial Indonesia saat ini.[7]

Penolakan ini berlanjut hingga hari ini. Pada April 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Luhut Pandjaitan, secara bersamaan menyangkal bahwa jagal berskala massal telah terjadi selama peristiwa penjagalan 1965-66, sekaligus menegaskan kembali penolakan pemerintah untuk menerbitkan pernyataan permohonan maaf kepada para korban jagal.[8] Bangsa Indonesia juga lanjut membungkam dan mengintimidasi mereka yang ingin menentang narasi propaganda resmi tentang peristiwa kekerasan tersebut.[9] Pada September 2017, pihak kepolisian di Jakarta menutup diskusi akademik tentang kekerasan 1965-66 di perkantoran salah satu organisasi masyarakat sipil yang paling disegani, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).[10] Para polisi menyerah pada tuntutan demonstran anti-komunis yang, dengan dukungan dari jajaran kunci pimpinan militer, telah mengepung kantor-kantor LBH, menjebak para peserta diskusi di dalam sementara secara keliru menyatakan bahwa kelompok tersebut tidak memperoleh “izin” untuk berkumpul. Para aktivis HAM mengecam Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memperuncing sentimen anti-komunis ini dengan mengumumkan pada Juni 2017 bahwa ia akan “menggebuk” Partai Komunis Indonesia (PKI), yang telah dilarang oleh pemerintah Indonesia sejak 1966, jika mereka berani “muncul kembali”.[11]

Selama hampir lima puluh tahun, diyakini bahwa betapa sedikit bukti dokumenter tersedia terhitung sejak masa penjagalan lantaran tidak ada catatan yang pernah dibuat. Sejak setidaknya dasawarsa 1970-an, dikatakan bahwa tidak ada perintah tertulis dikeluarkan oleh pimpinan militer untuk mengoordinasikan penjagalan.[12] Pada 2010, dinyatakan bahwa “tidak ada bukti” atas penyimpanan catatan sistematis mengenai penjagalan,[13] sementara pada 2012, dinyatakan bahwa penjagalan terjadi “tanpa dukungan berarti dari birokrasi untuk memproses dan mengadili musuh yang ditargetkan (yang semestinya meninggalkan jejak tertulis)”.[14] Artinya, mereka mempercayai bahwa perintah resmi tertulis tidak pernah dikeluarkan, dan juga meyakini bahwa penjagalan dilakukan tanpa dukungan dari negara dan struktur pemerintah sipil.

Catatan awal mengenai periode 1965-66 yang ditulis oleh para Indonesianis berfokus pada upaya memahami tindakan dan motif di balik Gerakan 30 September (G30S)—upaya kudeta yang gagal pada 1 Oktober pagi yang kesalahannya dilemparkan pada PKI dan digunakan sebagai “dalih” atas kudeta yang dilakukan oleh militer sendiri dan menjadikannya sebagai serangan terhadap PKI—alih-alih sekadar terjadinya pembunuhan biasa. Adapun, pertanyaan tentang apakah PKI bertanggung jawab atas G30S tidak bisa terjawab hingga tahun 2006, melalui penerbitan teks terobosan John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal.[15] Sementara itu, pertanyaan tentang apakah militer melaksanakan penjagalan, sebagai bagian dari operasi militer yang disengaja, atau tidak tetap menjadi debat terbuka hingga penemuan berkas penjagalan Indonesia.[16]

Sejak awal 1980-an, terlepas dari kurangnya informasi, para peneliti seputar genosida berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya merupakan kasus genosida.[17] Pada 1981, Leo Kuper memasukkan penjagalan 1965-66 dalam studi fundamentalnya, Genocide: It’s Political Use in the Twentieth Century. Melalui penelitian ini, ia menolak laporan resmi Indonesia bahwa penjagalan terjadi sebagai akibat dari kekerasan horizontal spontan sebagai respons atas G30S.[18] “Sebaliknya”, ia berpendapat, “tentara terlibat aktif dalam operasi, terlibat langsung dalam pembantaian, dan secara tidak langsung dalam mengatur dan mempersenjatai pembunuhan sipil.” Penjagalan itu, ia menyarankan, harus dipahami sebagai kasus genosida lantaran skalanya yang besar dan dilakukan secara sengaja.

Ia menjelaskan bahwa hambatan utama untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida adalah pengucilan “kelompok politik” dari perlindungan berdasarkan Konvensi Genosida 1948[19]—definisi hukum standar genosida berdasarkan hukum internasional. Bagaimanapun, ia mengusulkan bahwa “dalam pembantaian para komunis, kriteria afiliasi masa lalu memiliki finalitas dan ketetapan yang cukup sebanding dengan pembantaian berdasarkan ras dan itu didasarkan pada penerapan tanggung jawab kolektif yang sama.”[20] Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan, penjagalan melampaui batas-batas konflik antarkelompok, dengan tambahan perbedaan “kelas” dan “agama” di antara para korban dan pelaku.[21] Demikian juga, etnisitas juga merupakan faktor, sebagaimana dibuktikan dengan penjagalan “pedagang Tionghoa dan keluarga mereka.”[22] Dengan demikian, ia menduga bahwa kelompok sasaran militer secara substansial lebih luas daripada sekadar kelompok politik dan mengandung unsur-unsur identitas antargenerasi yang mendalam.

Penjagalan 1965-66 juga tercantum dalam studi klasik 1990 karya Frank Chalk dan Kurt Jonassohn, The History and Sociology of Genocide: Analyses and Case Studies. Sebagaimana Kuper, mereka mengutarakan peristiwa penjagalan itu sebagai genosida dan mengusulkan bahwa kelompok sasaran militer lebih daripada sekadar kelompok politik. Mereka menjelaskan: “Sementara genosida ini ditujukan pada suatu partai politik,” dan karenanya, secara signifikan, tidak sesuai dengan definisi hukum mengenai genosida, “kasus genosida ini menghadirkan perdebatan ganjil terkait karakter etnis, agama, dan ekonomi.”[23] Sementara itu, mereka mengusulkan bahwa rintangan utama untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida adalah “adanya banyak informasi yang saling bertentangan” ketika itu berkaitan dengan bagaimana penjagalan itu dijalankan.[24] Persoalan banyaknya “informasi yang saling bertentangan” ini kini telah terselesaikan.

Bagian berikut ini akan menyediakan tinjauan umum tentang bukti baru yang kini tersedia untuk membuktikan keterlibatan militer di balik peristiwa penjagalan, sebelum kembali pada pertanyaan tentang bagaimana bukti baru ini dapat mengatasi masalah yang diajukan oleh Kuper, Chalk, dan Jonassohn.

 

Persiapan Militer untuk Merebut Kekuasaan Negara di Sumatra sebelum 1 Oktober 1965

Sejak awal 1960-an, para petinggi militer Indonesia mulai membuat rencana khusus untuk “reorientasi” negara Indonesia.[25] Pada 1964, untuk memfasilitasi rencana ini, para petinggi militer berhasil melobi Sukarno agar mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengimplementasikan rancangan undang-undang yang dikenal sebagai “Keputusan Peningkat Pelaksanaan Dwikora”. Undang-undang baru ini, yang secara resmi diperkenalkan sebagai sarana pendukung kampanye Sukarno “Ganyang Malaysia”, memberi militer kekuatan baru untuk melakukan pembasmian yang sebagian besar mencerminkan undang-undang darurat militer Indonesia, dengan memberikan kemampuan untuk memobilisasi struktur militer dan paramiliter setempat.[26] Yang paling penting, ini memberikan militer kemampuan untuk menerapkan peraturan darurat militer secara internal, tanpat terlebih dahulu harus berkonsultasi dengan Sukarno.[27]

Sejak Maret 1965, militer mulai melakukan pelatihan-pelatihan militer di Aceh dan seluruh Sumatra untuk menguji kesiapan struktur-struktur baru ini.[28] Pada bulan Agustus, militer meresmikan struktur komando militer baru di provinsi tersebut, yang dinamai “Kodahan: Komando Daerah Pertahanan”. Setelahnya, tinggal menunggu dalih yang tepat untuk melancarkan agenda perebutan kekuasaan negara ini.[29] Aksi G30S pada jam-jam awal 1 Oktober 1965 menyediakan dalih ini.

Pada 1 Oktober, ketika pemimpin militer nasional masih mengulur waktu untuk memutuskan bagaimana mesti bereaksi atas peristiwa G30S, pemimpin militer di Aceh “mengaktifkan” perintah Kodahan, yang kemudian dinamai “Kohanda: Komando Pertahanan Daerah”.[30] Kohanda ini kemudian melancarkan serangannya terhadap PKI dan melancarkan perebutan kekuasaan negara di provinsi Aceh. Seperti yang dijelaskan komandan militer Aceh:

Sejak terjadinya Peristiwa GESTOK (sebutan alternatif untuk G30S) pada 1 Oktober 1965, seluruh kekuatan Kohanda Aceh telah dimobilisasi untuk melancarkan operasi penghancuran terhadap GESTOK… Operasi ini benar-benar berhasil.[31]

Penjelasan ini menegaskan bahwa kasus genosida ini dilancarkan sebagai kebijakan negara. Sementara saya tidak percaya bahwa militer harus mengantisipasi skala penjagalan yang terjadi, bagaimanapun mereka punya niat dan sarana untuk melancarkan apa yang dikatakan sebagai “operasi pemusnahan” sejak 1 Oktober.

Tulisan Terdahulu