2014/02/10

Alice Munro: Kisah Para Perempuan Menghadapi Situasi Batas dalam Tradisi Gotik, Bildungsroman, dan Transendental

Kumpulan cerpen Munro mungkin adalah jawaban bagi para pria yang mengatakan perempuan susah dipahami. Buku-bukunya menampilkan secara apa adanya tokoh-tokoh perempuan dalam berbagai lapisan kehidupan. Munro menunjukkan sisi rahasia setiap perempuan yang barangkali hanya mereka ungkapkan dalam mimpi. Dia punya kekuatan yang tak terduga untuk mengeksplor hal yang sama tanpa pernah kehabisan napas. Cerpennya seputar relasi perempuan dan lelaki, independensi para perempuan itu, yang didukung oleh unsur anak-anak (lebih sering bocah perempuan) dalam lingkup domestik karena dalam cerpen-cerpennya, Munro berusaha mengajak pembaca mengikuti perkembangan psikologis para tokoh perempuan itu. Dari 168 cerpennya (Munro rutin menulis untuk The New Yorker, Tin House, dan The Paris Review), hanya 43 cerpen lepas (lampiran) yang tidak dimuat di media massa.

Dalam tulisan ini, saya akan membahas tiga cerpen dalam  kumpulan cerpen Hateship, Friendship, Courtship, Loveship, Marriage (2001); ComfortFamily Furnishings, dan The Bear Came Over the Mountain. Dari ketiganya, hanya The Bear Came Over the Mountainyang dimuat di media massa, The New Yorker, 27 December 1999 / 3 January 2000, 27 December 1999.

“Eighteen-year-old freshette, whose story in this issue is her first published material. Graduate of Wingham High School. Overly modest about her talents, but hopes to write the Great Canadian Novel some day. Has read little modern writing, has travelled scarcely at all, and belongs to no particular literary movement. Plans to major in Honours English, with emphasis on creative writing.

Profil Alice Laidlaw (nama lajang Alice Munro) saat cerpen pertamanya, The Dimensions of Shadow dimuat di Majalah Folio 4 No. 2 (April, 1950): 2-8 [7]. Delapan belas tahun kemudian (saat Alice berusia 37 tahun), cerpen itu kemudian diterbitkan dalam kumcer Dance of the Happy Shades (1968).

Alice Munro (lhr. 1931) adalah penulis cerpen yang tak pernah tuntas belajar menulis novel. Ketika diwawancara, entah separuh berkelakar atau tidak, dia bilang hanya menganggap cerpen yang ditulisnya sebagai medium berlatih menulis novel. Tak ayal, cerpennya selalu panjang. Belakangan ini, pada usia 81 tahun, dia berpamitan untuk tidak lanjut menulis, padahal dia belum menghasilkan satu pun novel. Meski begitu, kumpulan cerpennya, Lives of Girls and Women, seringkali dianggap sebagai novel karena keterjalinan tokohnya. Meski tak benar-benar menghasilkan novel utuh seperti yang diinginkannya, Penghargaan Nobel dalam Bidang Sastra di tahun 2013 jatuh padanya dengan bunyi: “master of the contemporary short story” dan dalam daftar pemenang Nobel, dia didapuk menjadi satu-satunya penulis yang memenangkannya dengan hanya bermodalkan cerpen. Lives of Girls and Women tidak disebutkan sebagai novel dalam keterangan itu.

Oleh orang-orang di sekitarnya, Munro dikenal sangat pemalu. Banyak orang tak tahu siapa dia. Karena itu pensiun dininya, katanya, akan dia gunakan untuk lebih banyak menikmati kegiatan sosial. Pada permulaan kariernya, dia menulis untuk biaya hidup dan sekolah. Sejak usia belasan, dia sudah mulai menulis, karena menurutnya di Ontario semua perempuan membaca dan menuturkan kisah, sementara para lelaki bekerja di luar rumah. Dengan anggapan itu dan juga karakternya yang penyendiri, dia menghabiskan hidup dengan merasa teralienasi terhadap dunianya. Kepercayaannya tentang kemampuan menulis para wanita Ontario itulah yang mendorong Munro berkisah dengan sederhana. Kisah-kisahnya sangat hermetik, melekat pada ruang dan waktu yang diketahuinya—tempatnya tumbuh besar—di Ontario, Kanada kebanyakan dalam kurun waktu 1950-1960.  Meskipun, dia pernah juga menulis cerpen mengambil setting bayangan di Indonesia (lihat cerpen Jakarta) atau Rusia dan Jerman (lihat cerpen Too Much Happiness).

Munro merepresentasikan lingkaran kecil hidupnya dan terutama masa kecilnya, tentang orang-orang biasa yang kebetulan menjadi tetangganya atau orang-orang yang pernah dikenalnya, atau dirinya sendiri. Empat cerpen yang menjadi penutup karier menulisnya, Dear Life, adalah cerpen-cerpen autobiografis. Lewat pilihan setting dan karakter dalam cerpennya, dia menunjukkan orang-orang biasa pun menjalani kehidupan yang besar, dengan segala pergulatan perasaan dan pemikiran mereka.

Sebagian besar, atau hampir keseluruhan, karakter utama Munro adalah perempuan, dari segala jenjang usia. Dan semua perempuan itu saling menuturkan orang-orang di sekitarnya. Dari cerita Munro, dapat ditemukan seorang anak menceritakan tentang neneknya, atau ibunya, tantenya, bahkan selingkuhan ayahnya. Cerpennya yang hingga puluhan halaman (sekitar 40.000-100.000 karakter dengan spasi) memberikan wadah yang sangat luas baginya untuk mengeksplor para tokoh—dari kebiasaan berpakaian, cara berbicara, benda-benda kesukaan, hingga begitu banyak detail dan subplot yang biasanya ada pada novel. Seolah-olah, para karakter itu tidak bisa lepas dengan benda-benda di sekitarnya dan relasi mereka terhadap alam atau individu lain. Lewat cara ini, Munro seperti mencoba membangun asosiasi sifat/kepribadian dari tokoh utama dari bagaimana mereka berkomunikasi dengan lingkungannya.

Yang paling kentara dari fiksi-fiksinya, Munro tampak tak bisa lepas dari tradisi ceritabildungsroman, di mana dia membangun narasi untuk menguntit kehidupan tokoh utama sejak kecil hingga mati. Beberapa cerpennya dalam kumpulan Dance of the Happy Shadesdinarasikan dari sudut pandang anak kecil, juga utuh menceritakan keseluruhan hidup tokoh-tokohnya. Pada kumcer-kumcer berikutnya, narator juga biasanya membuka kisah melalui penuturan anak kecil/remaja, seperti melalui percakapan sederhana di teras rumah, atau drama hidup keseharian. Dalam wawancaranya dengan Graeme Gibson, Munro memang mengaku tidak bertujuan memanipulasi dan membuat rumit ceritanya. Pilihan diksinya terjaga supaya tetap mudah dipahami. Dalam kesederhanaannya itu, kisah-kisah Munro turut dibarengi sesuatu yang lebih besar, detail, dan berlapis-lapis seiring perkembangan karakter/watak dari tokoh utama. Tokoh utama menuju kedewasaan dengan melalui banyak pergulatan. Umumnya, Munro menjejali mereka dengan masalah-masalah domestik untuk menampilkan keintiman antara para tokoh dengan rumah/keluarga dengan tetangganya, atau bahkan dengan orang asing sekalipun (dalamDear Life dan Working for a Living).

Gaya bildungsroman Munro ini bisa menjadi contoh bahwa kisah keseharian mesti diselami lebih dalam (bila diandaikan seperti kolam), dan alasan-alasan dari berbagai kejadian yang terjadi di permukaan hidup mesti dicari sampai akarnya (bila diandaikan sebagai pohon). Munro menampilkan karakternya seperti mengupas lapisan bawang. Dengan beragam teknik narasi, Munro fokus pada apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh karakternya dan mengupas selubung rahasia dari tokoh-tokoh itu yang meliputi pergelutan dengan gender, kelas, usia, ras, dan banyak faktor lain. Lebih sering menarasikan kisah dengan sudut pandang pertama, Munro membuat karakternya begitu cerewet dalam mengomentari segala hal di sekelilingnya.

Tulisan Terdahulu