2014/12/09

Penulis Fiksi



(Cerpen ini dimuat di Koran Tempo, 12 Juli 2015)


PETANG itu anjingku menyalak ketika tetanggaku berdiri di pagar rumahnya. Ada rangkaian kunci di tangannya. Dengan sebelah tangan menjinjing bungkusan plastik, ia membuka pagar.

Pria itu orang baru di perumahan kami. Aku tak jelas tahu dari mana ia berasal, kami belum pernah bertegur sapa sebelumnya. Ia kerap pulang larut malam dan membawa bungkusan plastik makanan.

Tirai tipis di kamarnya di lantai dua membuat bayangan tubuhnya terlihat jelas ketika disoroti sinar lampu. Dengan begitu, aku dapat memperhatikan apa yang dilakukan pria kurus berkacamata itu.

Biasanya, setelah menikmati sesuatu di meja makan, ia akan bergerak ke arah tengah ruangan, duduk menghadap layar, mengetik sesuatu, menghabiskan malam terpekur di sana sampai pukul dua pagi, lantas beranjak tidur dan biasanya ia akan kembali duduk di depan layar setelah dua jam lewat. Ia selalu hanya tidur sesebentar itu setiap malamnya. Mungkin saja pekerjaannya menuntutnya lembur di rumah untuk menyelesaikan tugas kantor yang tak sempat selesai. Atau, seperti yang diramalkan ayahku ketika aku meminta pendapatnya tentang identitas tetangga baru kami itu, pria itu barangkali berprofesi sebagai penulis atau jurnalis.

Ia menghabiskan waktu cukup lama untuk merapikan rumah, menikmati makanan di meja makan, sebelum akhirnya ia berjalan ke arah yang berlawanan dari rumahku. Ia berjalan terus ke seberang, hingga bayangannya hilang. Sekadar tahu bahwa pria itu barangkali tertidur di ruangan berbeda di rumahnya, aku lantas menutup tirai kamar dan melanjutkan tugas kuliahku.

Kali ini aku tak tahan menemaninya terjaga hingga pagi. Aku tertidur dengan headset masih menempel di telinga dan ketika terbangun esok paginya, kulihat laporan praktikumku luntur terendam susu yang tak sengaja kutumpahkan saat tertidur. Tidak biasanya aku terbangun begitu subuh, padahal aku baru bisa tidur pukul dua dini hari tadi.

Setelah meminum segelas besar air yang ditaruh Ibu di meja di depan kamarku, aku berjalan menuju dapur, di sana aroma masakan Ibu menguar kuat.

“Tetangga kita tadi pagi diantar ke rumah sakit. Beberapa tetangga merumorkan kematiannya.” Ibu berujar sembari mengaduk kuah di dalam panci.

Aku yang sedang mengupas bawang dengan pisau tentu kemudian refleks menoleh. Aku tiba-tiba membayangkan; bagaimana rasanya mati? Apakah seperti cerita Kafka dalam karyanya, ‘Metamorfosis’; rasa kematian sama seperti ketika seseorang berubah wujud menjadi serangga pada suatu pagi yang samar? Dan ia tiba-tiba bukan lagi manusia, dan ketika berubah menjadi serangga ia lantas kehilangan segala ingatannya akan dunia?

“Meninggal karena apa, Ma?” tanyaku lekas-lekas—karena aku masih melihatnya hidup tadi malam sebelum tertidur.

“Loncat dari lantai dua rumahnya.”

Hanya hal seperti itu; bisa membuat seseorang mati?

“Setelah memutus nadinya dan menenggak racun.”

“Mama dengar itu dari para tetangga kita?” tanyaku.

Bagaimana bisa Ibu masih kelihatan begitu santainya memasak di dapur dan tidak melayat ke rumah tetanggaku itu?


AKU terkesima. Apakah Tuhan benar-benar berada di masa depan dan menulis tentang takdir-takdir di masa lalu? Pria itu tidak mati, jadi itu karena Tuhan?

Katanya, pria itu hanya berhenti bernapas sebentar. Semua orang, setiap membicarakan tentang kejadian itu, berkata dengan nada pasti bahwa pria itu akan baik-baik saja. Ia hanya perlu dirawat sebentar saja di rumah sakit. Meski kami semua merasa lega ia tidak mati (selama ini belum pernah ada kejadian bunuh diri terjadi di kompleks rumahku), kurasa percobaan bunuh dirinya benar-benar bukan sesuatu yang biasa.

Aku heran ia bisa selamat. Ia melakukan tiga lapis proses untuk mati: pertama, ia meminum segelas cairan pembersih lantai (ada buktinya di kamarnya), lalu memutus nadi tangan (ada bekasnya di tangannya ketika tubuhnya ditemukan tergeletak di taman di depan rumahnya), dan loncat dari lantai dua kamarnya (untungnya kepalanya tidak membentur tanah, meski kabarnya tulang lengannya patah). Dan karena pria itu tidak mati, aku berkesempatan untuk mengunjunginya di rumah sakit.

Aku diamanatkan kesempatan itu dengan alasan: Ibu sibuk mengurusi arisan satu kelurahan, Ayah ada lembur (berhari-hari) di kantor, dan kakak sulungku yang tak bisa kuandalkan tentu saja sudah langsung menolak ajakanku tanpa aku sempat berkata-kata, dengan lagaknya yang selalu semau gue; ia tentunya lebih memilih mengurung diri di kamarnya untuk bertransformasi menjadi seorang otaku.

Dan seperti biasanya, mereka mengirimku untuk menjenguk orang (biasanya tetangga yang mana Ibu dan Ayah tidak begitu kenal akrab) ke rumah sakit, seperti biasanya pula mereka menjadikanku sebagai kurir buah. Tentu itu berarti Ibu dan Ayah menitipkan sedikit uang untuk kutukar dalam bentuk buah yang bisa kujinjing bersamaku, dan mewanti-wanti agar aku ingat menyampaikan pesan-pesan positif yang barangkali berguna bagi pria itu. Meskipun, kami belum pernah berinteraksi dengan tetangga kami yang satu itu.

Aku membayangkan apa yang akan pria itu sukai ketika aku mengelilingi toko buah siang itu. Aku tak punya bayangan buah apa yang disukai oleh pria dengan kebiasaan merokok semalam suntuk (mungkin ia menghabiskan lebih dari empat pack rokok dalam sehari) yang hanya meluangkan waktu untuk tidur dua jam sehari (mungkin ia melanjutkan tidur di busway). Dengan kebiasaan hidupnya yang seperti itu, ia barangkali memang sudah memiliki niat yang kuat untuk mati, so why on earth would he need something like… fruits—all of the nonsense?

Seketika saja, aku berubah pikiran, dengan aura yang lebih positif, bagaimanapun kupikir Tuhan telah memberikannya kesempatan untuk hidup. Setelah cukup lama menimbang-nimbang, aku menjadi tidak peduli lagi pada buah apa yang akan pria itu sukai. Aku asal saja memasukkan buah-buah favoritku ke dalam daftar belanja.

Aku tidak tahu bagaimana seorang pria suicidal akan menanggapi buah tanganku. Aku tak punya bayangan apa yang akan aku katakan, atau bicarakan, karena mungkin saja setelah menaruh buah dan sedikit berbasa-basi mengucapkan ‘semoga lekas sehat’, aku bisa segera berpamitan pulang dan that’s it?—tapi aku akan tetap datang, apa pun yang terjadi nantinya.

Pria itu sedang mencoba mengupas apel ketika aku datang. Sekeranjang buah terletak di sisi kasurnya. Banyak bingkisan lain kulihat berderet-deret di kamarnya. Mungkin hari ini ia tidak butuh kunjungan tambahan. Aku melirik keranjang buah yang kubawa—lagipula, baru kusadari aku tak pernah punya bakat mengupas buah.

Pluk.

Hampir saja aku berjingkat berniat pulang. Namun, sepertinya ia melihat wajahku dari jendela mini pada pintu kamarnya karena kemudian ia melemparkan sesuatu ke arah pintu. Aku menoleh kembali, dan kulihat ia menyeringai. Terpaksa kubuka pintu, dan kulihat pisau yang tadi digunakannya untuk memotong apel kini telah menancap di pintu. Potongan-potongan apel berserakan di lantai.

Aku memicingkan mata. “Kau melempariku pisau?!” Aku tiba-tiba memaki.

Di ranjangnya ia terkekeh. “Kau tetanggaku, bukan?” tanyanya.

Aku meletakkan keranjang buahku di meja bufet tempat televisi. “Kau bisa bayangkan seandainya pintu ini tidak ada dan kau melempar pisau ke punggungku?”

Ia kembali tertawa. “Kau gadis yang sering terjaga sampai pagi itu, kan? Dia yang baru tidur setelah aku berpura-pura tidur?”

Sama sepertinya yang tak memedulikan makianku, aku pun tak menghiraukan kata-katanya. “Aku hanya diminta untuk mengantarkan ini oleh orang tuaku. Kata mereka, kau seharusnya menjadi lebih positif.” Aku berhenti, untuk menimbang-nimbang lagi apa yang akan aku katakan. “Kau tahu bagaimana perasaan orang-orang yang mati bahkan sebelum impian mereka tercapai?”

Pria itu tertawa, “Menurutmu, apa sekarang aku masih hidup?” Ia bertanya dengan nada lembut.

Yes, for sure,” jawabku.

“Tak pernah ada orang yang tahu aku sudah mati. Duduklah. Biar kuceritakan sesuatu…” Ia meminta.

“Kau tahu, aku masih marah karena kau melempariku pisau. Aku sudah bilang aku hanya ditugasi mengantar buah. Dan sekarang, aku harus pulang.”

“Setelah bercapek-capek kemari dengan menumpang angkutan umum, menghabiskan waktumu menunggu kemacetan di jalan usai, kau yakin mesti pulang cepat? Tidak merasa nyaman di ruangan ber-AC?”

Aku mengamit tasku untuk bergegas pergi; ketika gerimis hujan tiba-tiba menyentuh permukaan jendela. Lantas, hujan melebat. Dan pria itu tertawa hebat, merasa menang.

Aku sebenarnya bisa saja pergi ke kafeteria rumah sakit.

Namun, aku lantas duduk. Ia menyalakan televisi dengan remote di tangannya.

“Kau tahu bagaimana rasanya mati tanpa seorang pun datang ke pemakamanmu?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Aku belum mati. Lagipula, hal semacam itu tidak akan pernah terjadi dalam sejarah hidupku, orang-orang menyayangiku, mereka akan datang."

“Aku sudah mati bertahun-tahun lalu, tak seorang pun pernah berziarah ke pemakamanku. Bahkan tak seorang pun mengetahui kematianku. Rasanya dingin.” Ia menunjuk pada parsel-parsel yang menghiasi kamarnya. “Kau tahu dari mana datangnya bingkisan-bingkisan ini?”

Aku menggeleng. Aku tak suka orang-orang melankolis.

Ia tersenyum. “Aku meminta para perawat membelikannya untukku.”

Aku menelan ludah.

“Aku mungkin tidak mati secara fisik. Jiwakulah yang mati. Hanya saja, dalam hidupku, kupikir aku hanya perlu menyelesaikan satu hal lagi. Bulan lalu, satu hal itu telah selesai. Jadi, aku memutuskan untuk bunuh diri, di suatu tempat baru dan orang-orang tidak mengenaliku.”

“Karena itukah kau pindah ke kompleks perumahanku?” Aku menebak.

“Aku heran kenapa bisa gagal. Sebelum terjun dari kamarku, aku sudah menenggak racun dan menyayat nadiku.”

Aku menoleh ke arah pisau yang tadi kuletakkan di sebelah bingkisan buahku. Pisau yang tadi ia lempar ke arah pintu. Bisa-bisanya para perawat memberikan benda itu kepadanya?

“Tanpa kau sadari, ada hal lain lagi yang perlu kaupenuhi? Hal apa yang sudah kau selesaikan?” tanyaku. “Kau tak pernah memikirkan apa reaksi pembacamu ketika tahu penulis yang dibacanya mati karena bunuh diri?”

“Memangnya kenapa? Novel-novel religius bisa saja asalnya dari pengguna narkoba atau pemabuk berat.”

“Sepalsu itu, ya, kehidupan kalian para penulis?”

“Menyambung pertanyaanmu tadi, tentang bagaimana rasanya mati sebelum impian tercapai. Aku boleh tahu apa cita-citamu?” Ia bertanya kemudian.

“Belum tahu. Tapi aku sekarang berkuliah di jurusan pilihan orang tuaku. Sepertinya aku sudah membuat mereka merasa bangga.”

“Menyenangkan?” tanyanya.

Aku tersenyum, “Mungkin. Sejauh ini.”

“Aku menulis tentang hal-hal palsu di dunia ini, segala yang superfisial. Orang-orang yang menghidupi kehidupan orang lain. Kupikir semua orang melakukan itu dalam hidupnya.”

“Kau seperti sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan. Lagipula di saat kau tak tahu jalan apa yang harus kau pilih, bukannya lebih baik mengambil jalan yang telah dipilihkan orang lain untukmu?”

Ia tergelak. “Sudah lama rasanya tidak berbicara dengan sesama manusia. Sebulanan ini aku berusaha membatalkan niat untuk mati, dan jadinya aku menulis sesuatu tentangmu. Kupikir, tulisanku itu akan mengubah caramu berpikir tentang hidup. Kau terlalu pesimis, kau tahu.”

“Jadi, sebenarnya, ada satu cerita tentangku?” Aku bertanya.

“Banyak cerita tentangmu.”

“Tapi, setelah menyelesaikannya, kau memutuskan untuk mati?”

Ia tertawa. “Di sana aku menanamkan harapanku. Aku tahu harapan itu tidak akan terwujud. Jadi aku pikir…” ia menghentikan kata-katanya, “mungkin, kau perlu membaca cerita itu.”

“Bagaimana caranya?” tanyaku. “Kau membawa naskah itu bersamamu?”

Ia menyerahkan serentetan kunci (yang biasa kulihat setiap ia membuka gerbang rumahnya) kepadaku. “Naskahku aman di dalam komputerku. Password-nya ini…” Ia lantas menuliskan beberapa huruf pada telapak tanganku. Hujan mereda secara tiba-tiba, dan justru pria itulah yang mengusirku, “Katanya kau tadi mau pulang?”


SETELAH menikmati makan malam (dengan memasak sendiri sepiring nasi goreng telur mata sapi), memastikan Ayah dan Ibu belum pulang dan kakakku sibuk dengan keotakuannya, aku menuju rumah tetanggaku.

Anjingku sendiri menggonggongiku ketika aku membuka gerbang rumah si pria dengan serangkaian kunci di tanganku. Aku melewati garis batas polisi yang menandakan bahwa rumah itu sempat beberapa hari menjadi TKP (dan setelah mereka menemukan bahwa pria itu masih hidup, garis itu tentu sudah tidak lagi berarti apa-apa).

Rumahnya cukup rapi untuk ukuran pria. Dan tentu saja sempat ada aparat keamanan yang sebelumnya telah menyisir ruangan-ruangan di sana. Aku segera menuju ke kamarnya (yang selama ini hanya bisa kulihat dari jendela kamarku). Terdapat banyak ilustrasi dan poster-poster strategi politik, buku-buku yang sebagian besarnya adalah karya literatur Tionghoa, dan juga beberapa novel-novel ringan, komik, dan alat gambar.
 
Hingga, mataku kemudian mencapai komputer yang diletakkan di pojok ruangan. Kurogoh sakuku untuk menemukan catatanku. Kumasukkan password dan mulai menelusuri tulisan-tulisan pria itu.

Ia benar-benar menulis begitu banyak karya.

Akhirnya, kutemukan sebuah tulisan. Bahkan, namaku dijadikannya judul tulisan. Ia bahkan tahu namaku.

Halo, apa kabar? Aku tahu satu-satunya jalan untuk menemuimu adalah dengan melakukan percobaan bunuh diri (aku terlalu malu untuk mengetuk pintu rumahmu), karena mungkin kau akan datang menjengukku (lagipula kisah ini sudah tertulis di dalam fiksiku).

Dan saat kau datang, aku akan menceritakan beberapa hal, mengenalmu lebih dekat. Ya, dan itu berarti aku akan berinteraksi dengan karakter di dalam tulisanku sendiri. Betapa menyenangkannya.

Jadi, kalau kau sudah membaca ini, aku tahu aku telah sukses memenuhi rencanaku. Namamu Arinda, apa aku benar? Aku Adrian. Susunan nama kita hanya seperti acakan huruf saja, ya?

Ketika aku mulai menulis cerita tentangmu, aku bukan penulis fiksi. Saat itu aku hanya seorang mahasiswa tingkat akhir, mengambil jurusan Akuntansi, bosan mengerjakan skripsi, dan dari awal mengerjakan skripsi hingga sidang, aku menulis… seratus cerita pendek.

Semuanya bercerita tentangmu. Aku tahu kita belum pernah bertemu sebelumnya. Aku juga heran mengapa aku menulis semua itu.

Awalnya aku hanya ingin menghilang dari dunia. Kau tahu orang-orang yang berkelana ke tengah hutan karena mereka merasa bosan dengan kehidupan yang superfisial? Sudah lama rasanya aku ingin membakar semua identitasku, dan bertualang ke sepenjuru dunia. Namun, kau tahu, urusan dokumen negara (membuat paspor dan lain sebagainya) sangatlah rumit untuk orang yang tak suka banyak berpikir sepertiku. Every child grows up, except one. Dulu pernah kupikir cerita tentang si bocah Peter Pan hanyalah rekayasa, supaya membuat orang-orang dewasa menolak kehidupannya sendiri, menolak menjadi tua. Namun, setelah kupikir-pikir lagi, mungkin keinginanku untuk melakukan pengasingan sebenarnya berkaitan dengan harapanku untuk selamanya menjadi kanak-kanak. Tidak direpotkan dengan kerjaan bertumpuk dari kantor, tidak perlu berpura-pura berperilaku dengan penuh etiket di masyarakat, tidak dirusak dan diubah oleh orang-orang di sekitarku.

Ketika menulis tentangmu, aku merasa tidak tumbuh besar. Rasanya menyenangkan. Ya, aku pernah ingin menghilang. Namun, kemudian aku terjerat untuk menulis satu cerita tentang seorang gadis yang merasa tersesat di dunianya sendiri. Hingga akhirnya, pada cerpen keseratus, ceritamu tamat. Saat itu, keinginanku untuk mati atau sekadar menghilang dari dunia benar-benar sudah memuncak. Namun, kemudian aku iseng mencari nama lengkap karakterku di internet, dan aku menemukanmu.

Aku tahu kau pasti tidak mengerti. Namun, kalau kau menjadi seperti aku, penulis yang menulis tentang orang yang benar-benar ada, mungkin kau akan mau mencoba untuk mengerti?

Segera setelah kau selesai membaca ini, tolong hubungi aku, ya? Kurasa aku perlu membicarakan sesuatu denganmu. Atau marilah kita menonton film bersama. Pernah menonton film Stranger than Fiction?

Ia menyertakan nomor ponselnya di akhir suratnya. Aku mulai membuka folder yang memuat seratus cerpen seperti yang ia bilang dan, sambil membaca-baca, aku mencoba menelepon nomor ponsel yang tertera di sana. [*]

Desember 2011

Cerpen ini pernah dibacakan dalam hari ulang tahun BPPM Balairung (tahun 2012?, agak lupa).

Tulisan Terdahulu