(Cerpen ini dimuat di Koran Tempo, 12 Juli 2015)
PETANG itu anjingku menyalak ketika tetanggaku berdiri di pagar
rumahnya. Ada rangkaian kunci di tangannya. Dengan sebelah tangan menjinjing bungkusan plastik, ia membuka pagar.
Pria itu orang baru di perumahan kami. Aku tak jelas tahu dari mana ia berasal, kami belum pernah bertegur sapa sebelumnya. Ia kerap pulang larut malam dan membawa bungkusan plastik makanan.
Pria itu orang baru di perumahan kami. Aku tak jelas tahu dari mana ia berasal, kami belum pernah bertegur sapa sebelumnya. Ia kerap pulang larut malam dan membawa bungkusan plastik makanan.
Tirai tipis di kamarnya di lantai dua membuat bayangan tubuhnya terlihat
jelas ketika disoroti sinar lampu. Dengan begitu, aku dapat memperhatikan apa yang
dilakukan pria kurus berkacamata itu.
Biasanya, setelah menikmati sesuatu di meja makan, ia akan bergerak ke arah
tengah ruangan, duduk menghadap layar, mengetik sesuatu, menghabiskan malam terpekur di sana sampai pukul dua pagi, lantas beranjak tidur dan biasanya ia akan kembali duduk di
depan layar setelah dua jam lewat. Ia selalu hanya tidur sesebentar itu setiap
malamnya. Mungkin saja pekerjaannya menuntutnya lembur di rumah untuk
menyelesaikan tugas kantor yang tak sempat selesai. Atau, seperti yang
diramalkan ayahku ketika aku meminta pendapatnya tentang identitas tetangga
baru kami itu, pria itu barangkali berprofesi sebagai penulis atau jurnalis.
Ia menghabiskan waktu cukup
lama untuk merapikan rumah, menikmati makanan di meja makan, sebelum akhirnya
ia berjalan ke arah yang berlawanan dari rumahku. Ia berjalan terus ke
seberang, hingga bayangannya hilang. Sekadar tahu bahwa pria itu barangkali
tertidur di ruangan berbeda di rumahnya, aku lantas menutup tirai kamar dan
melanjutkan tugas kuliahku.
Kali ini aku tak tahan menemaninya terjaga hingga pagi. Aku tertidur dengan headset masih
menempel di telinga dan ketika terbangun esok paginya, kulihat laporan
praktikumku luntur terendam susu yang tak sengaja kutumpahkan saat tertidur.
Tidak biasanya aku terbangun begitu subuh, padahal aku baru bisa tidur pukul
dua dini hari tadi.
Setelah meminum segelas besar air yang ditaruh Ibu di meja di depan
kamarku, aku berjalan menuju dapur, di sana aroma masakan Ibu menguar
kuat.
“Tetangga kita tadi pagi diantar ke rumah
sakit. Beberapa tetangga merumorkan kematiannya.” Ibu berujar sembari mengaduk
kuah di dalam panci.
Aku yang sedang mengupas bawang dengan pisau tentu kemudian refleks menoleh.
Aku tiba-tiba membayangkan; bagaimana rasanya mati? Apakah seperti cerita Kafka
dalam karyanya, ‘Metamorfosis’; rasa kematian sama seperti ketika seseorang
berubah wujud menjadi serangga pada suatu pagi yang samar? Dan ia tiba-tiba
bukan lagi manusia, dan ketika berubah menjadi serangga ia lantas kehilangan
segala ingatannya akan dunia?
“Meninggal karena apa, Ma?” tanyaku lekas-lekas—karena aku masih
melihatnya hidup tadi malam sebelum tertidur.
“Loncat dari lantai dua rumahnya.”
Hanya hal seperti itu; bisa membuat seseorang mati?
“Setelah memutus nadinya dan menenggak racun.”
“Mama dengar itu dari para tetangga kita?” tanyaku.
Bagaimana bisa Ibu masih kelihatan begitu santainya memasak di dapur dan tidak melayat ke rumah tetanggaku itu?
Bagaimana bisa Ibu masih kelihatan begitu santainya memasak di dapur dan tidak melayat ke rumah tetanggaku itu?
AKU terkesima. Apakah Tuhan benar-benar berada di masa depan dan menulis tentang takdir-takdir di masa lalu? Pria itu tidak mati, jadi itu karena Tuhan?
Katanya, pria itu hanya berhenti bernapas sebentar. Semua orang, setiap
membicarakan tentang kejadian itu, berkata dengan nada pasti bahwa pria itu
akan baik-baik saja. Ia hanya perlu dirawat sebentar saja di rumah sakit. Meski kami semua merasa lega ia tidak mati (selama ini
belum pernah ada kejadian bunuh diri terjadi di kompleks rumahku), kurasa
percobaan bunuh dirinya benar-benar bukan sesuatu yang biasa.
Aku heran ia bisa selamat. Ia melakukan tiga lapis proses untuk mati:
pertama, ia meminum segelas cairan pembersih lantai (ada buktinya di kamarnya),
lalu memutus nadi tangan (ada bekasnya di tangannya ketika tubuhnya ditemukan
tergeletak di taman di depan rumahnya), dan loncat dari lantai dua kamarnya
(untungnya kepalanya tidak membentur tanah, meski kabarnya tulang lengannya
patah). Dan karena pria itu tidak mati, aku berkesempatan untuk mengunjunginya
di rumah sakit.
Aku diamanatkan kesempatan itu dengan alasan: Ibu sibuk mengurusi arisan
satu kelurahan, Ayah ada lembur (berhari-hari) di kantor, dan kakak sulungku
yang tak bisa kuandalkan tentu saja sudah langsung menolak ajakanku tanpa aku
sempat berkata-kata, dengan lagaknya yang selalu semau gue; ia tentunya lebih memilih mengurung diri di kamarnya
untuk bertransformasi menjadi seorang otaku.
Dan seperti biasanya, mereka mengirimku untuk menjenguk orang (biasanya
tetangga yang mana Ibu dan Ayah tidak begitu kenal akrab) ke rumah sakit,
seperti biasanya pula mereka menjadikanku sebagai kurir buah. Tentu itu berarti
Ibu dan Ayah menitipkan sedikit uang untuk kutukar dalam bentuk buah yang bisa
kujinjing bersamaku, dan mewanti-wanti agar aku ingat menyampaikan pesan-pesan
positif yang barangkali berguna bagi pria itu. Meskipun, kami belum pernah
berinteraksi dengan tetangga kami yang satu itu.
Aku membayangkan apa yang akan pria itu sukai ketika aku mengelilingi toko
buah siang itu. Aku tak punya bayangan buah apa yang disukai oleh pria dengan
kebiasaan merokok semalam suntuk (mungkin ia menghabiskan lebih dari empat pack rokok dalam sehari) yang hanya
meluangkan waktu untuk tidur dua jam sehari (mungkin ia melanjutkan tidur di busway). Dengan kebiasaan hidupnya yang
seperti itu, ia barangkali memang sudah memiliki niat yang kuat untuk mati, so why on earth would he need
something like… fruits—all of
the
nonsense?
Seketika saja, aku berubah pikiran, dengan aura yang lebih positif,
bagaimanapun kupikir Tuhan telah memberikannya kesempatan untuk hidup. Setelah
cukup lama menimbang-nimbang, aku menjadi tidak peduli lagi pada buah apa yang
akan pria itu sukai. Aku asal saja memasukkan buah-buah favoritku ke dalam
daftar belanja.
Aku tidak tahu bagaimana seorang pria suicidal
akan menanggapi buah tanganku. Aku tak punya bayangan apa yang akan aku
katakan, atau bicarakan, karena mungkin saja setelah menaruh buah dan sedikit
berbasa-basi mengucapkan ‘semoga lekas sehat’, aku bisa segera berpamitan
pulang dan that’s it?—tapi aku akan
tetap datang, apa pun yang terjadi nantinya.
Pria itu sedang mencoba mengupas apel ketika aku datang. Sekeranjang buah
terletak di sisi kasurnya. Banyak bingkisan lain kulihat berderet-deret di
kamarnya. Mungkin hari ini ia tidak butuh
kunjungan tambahan. Aku melirik keranjang buah yang kubawa—lagipula, baru
kusadari aku tak pernah punya bakat mengupas buah.
Pluk.
Hampir saja aku berjingkat berniat pulang. Namun, sepertinya ia melihat
wajahku dari jendela mini pada pintu kamarnya karena kemudian ia melemparkan
sesuatu ke arah pintu. Aku menoleh kembali, dan kulihat ia menyeringai.
Terpaksa kubuka pintu, dan kulihat pisau yang tadi digunakannya untuk memotong
apel kini telah menancap di pintu. Potongan-potongan apel berserakan di lantai.
Aku memicingkan mata. “Kau melempariku pisau?!” Aku tiba-tiba memaki.
Di ranjangnya ia terkekeh. “Kau tetanggaku, bukan?” tanyanya.
Aku meletakkan keranjang buahku di meja bufet tempat televisi. “Kau bisa
bayangkan seandainya pintu ini tidak ada dan kau melempar pisau ke punggungku?”
Ia kembali tertawa. “Kau gadis yang sering terjaga sampai pagi itu, kan?
Dia yang baru tidur setelah aku berpura-pura tidur?”
Sama sepertinya yang tak memedulikan makianku, aku pun tak menghiraukan
kata-katanya. “Aku hanya diminta untuk mengantarkan ini oleh orang tuaku. Kata
mereka, kau seharusnya menjadi lebih positif.” Aku berhenti, untuk
menimbang-nimbang lagi apa yang akan aku katakan. “Kau tahu bagaimana perasaan
orang-orang yang mati bahkan sebelum impian mereka tercapai?”
Pria itu tertawa, “Menurutmu, apa sekarang aku masih hidup?” Ia bertanya
dengan nada lembut.
“Yes, for sure,” jawabku.
“Tak pernah ada orang yang tahu aku sudah mati. Duduklah. Biar kuceritakan
sesuatu…” Ia meminta.
“Kau tahu, aku masih marah karena kau melempariku pisau. Aku sudah bilang
aku hanya ditugasi mengantar buah. Dan sekarang, aku harus pulang.”
“Setelah bercapek-capek kemari dengan menumpang angkutan umum, menghabiskan
waktumu menunggu kemacetan di jalan usai, kau yakin mesti pulang cepat? Tidak
merasa nyaman di ruangan ber-AC?”
Aku mengamit tasku untuk bergegas pergi; ketika gerimis hujan tiba-tiba
menyentuh permukaan jendela. Lantas, hujan melebat. Dan pria itu tertawa hebat,
merasa menang.
Aku sebenarnya bisa saja pergi ke kafeteria rumah sakit.
Aku sebenarnya bisa saja pergi ke kafeteria rumah sakit.
Namun, aku lantas duduk. Ia menyalakan televisi dengan remote di tangannya.
“Kau tahu bagaimana rasanya mati tanpa seorang pun datang ke pemakamanmu?”
tanyanya.
Aku menggeleng. “Aku belum mati. Lagipula, hal semacam itu tidak akan
pernah terjadi dalam sejarah hidupku, orang-orang menyayangiku,
mereka akan datang."
“Aku sudah mati bertahun-tahun lalu, tak seorang pun pernah berziarah ke
pemakamanku. Bahkan tak seorang pun mengetahui kematianku. Rasanya dingin.” Ia
menunjuk pada parsel-parsel yang menghiasi kamarnya. “Kau tahu dari mana
datangnya bingkisan-bingkisan ini?”
Aku menggeleng. Aku tak suka
orang-orang melankolis.
Ia tersenyum. “Aku meminta para perawat membelikannya untukku.”
Aku menelan ludah.
“Aku mungkin tidak mati secara fisik. Jiwakulah yang mati. Hanya saja, dalam hidupku, kupikir aku
hanya perlu menyelesaikan satu hal lagi. Bulan lalu,
satu hal itu telah selesai. Jadi, aku memutuskan untuk bunuh diri, di suatu
tempat baru dan orang-orang tidak mengenaliku.”
“Karena itukah kau pindah ke kompleks perumahanku?” Aku menebak.
“Aku heran kenapa bisa gagal. Sebelum terjun dari kamarku, aku sudah
menenggak racun dan menyayat nadiku.”
Aku menoleh ke arah pisau yang tadi kuletakkan di sebelah bingkisan buahku.
Pisau yang tadi ia lempar ke arah pintu. Bisa-bisanya
para perawat memberikan benda itu kepadanya?
“Tanpa kau sadari, ada hal lain lagi yang perlu kaupenuhi? Hal
apa yang sudah kau selesaikan?” tanyaku. “Kau tak pernah memikirkan apa reaksi pembacamu
ketika tahu penulis yang dibacanya mati karena bunuh diri?”
“Memangnya kenapa? Novel-novel religius bisa saja asalnya dari pengguna
narkoba atau pemabuk berat.”
“Sepalsu itu, ya, kehidupan kalian para penulis?”
“Menyambung pertanyaanmu tadi, tentang bagaimana rasanya mati sebelum impian tercapai. Aku boleh tahu apa cita-citamu?” Ia bertanya kemudian.
“Belum tahu. Tapi aku sekarang berkuliah di jurusan pilihan orang tuaku.
Sepertinya aku sudah membuat mereka merasa bangga.”
“Menyenangkan?” tanyanya.
Aku tersenyum, “Mungkin. Sejauh ini.”
“Aku menulis tentang hal-hal palsu di dunia ini, segala yang superfisial.
Orang-orang yang menghidupi kehidupan orang lain. Kupikir semua orang melakukan itu
dalam hidupnya.”
“Kau seperti sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan. Lagipula di
saat kau tak tahu jalan apa yang harus kau pilih, bukannya lebih baik mengambil
jalan yang telah dipilihkan orang lain untukmu?”
Ia tergelak. “Sudah lama rasanya tidak berbicara dengan sesama manusia.
Sebulanan ini aku berusaha membatalkan niat untuk mati, dan jadinya aku menulis
sesuatu tentangmu. Kupikir, tulisanku itu akan mengubah caramu
berpikir tentang hidup. Kau terlalu pesimis, kau tahu.”
“Jadi, sebenarnya, ada satu cerita tentangku?” Aku bertanya.
“Banyak cerita tentangmu.”
“Tapi, setelah menyelesaikannya, kau memutuskan untuk mati?”
Ia tertawa. “Di sana aku menanamkan harapanku. Aku tahu harapan itu tidak
akan terwujud. Jadi aku pikir…” ia menghentikan kata-katanya, “mungkin, kau
perlu membaca cerita itu.”
“Bagaimana caranya?” tanyaku. “Kau membawa naskah itu bersamamu?”
Ia menyerahkan serentetan kunci (yang biasa kulihat setiap ia membuka
gerbang rumahnya) kepadaku. “Naskahku aman di dalam komputerku. Password-nya ini…” Ia lantas menuliskan
beberapa huruf pada telapak tanganku. Hujan mereda secara tiba-tiba, dan justru
pria itulah yang mengusirku, “Katanya kau tadi mau pulang?”
SETELAH menikmati makan malam (dengan memasak sendiri sepiring nasi goreng telur mata sapi), memastikan Ayah dan Ibu belum pulang dan kakakku sibuk dengan keotakuannya, aku menuju rumah tetanggaku.
Anjingku sendiri menggonggongiku ketika aku membuka gerbang rumah si pria
dengan serangkaian kunci di tanganku. Aku melewati garis batas polisi yang
menandakan bahwa rumah itu sempat beberapa hari menjadi TKP (dan setelah mereka
menemukan bahwa pria itu masih hidup, garis itu tentu sudah tidak lagi berarti
apa-apa).
Rumahnya cukup rapi untuk ukuran pria. Dan tentu saja sempat ada aparat
keamanan yang sebelumnya telah menyisir ruangan-ruangan di sana. Aku segera
menuju ke kamarnya (yang selama ini hanya bisa kulihat dari jendela kamarku).
Terdapat banyak ilustrasi dan poster-poster strategi politik, buku-buku yang
sebagian besarnya adalah karya literatur Tionghoa, dan juga beberapa
novel-novel ringan, komik, dan alat gambar.
Hingga, mataku kemudian mencapai komputer yang diletakkan di pojok ruangan.
Kurogoh sakuku untuk menemukan catatanku. Kumasukkan password dan mulai menelusuri tulisan-tulisan pria itu.
Ia benar-benar menulis begitu banyak karya.
Akhirnya, kutemukan sebuah tulisan. Bahkan, namaku dijadikannya judul tulisan. Ia bahkan tahu namaku.
Ia benar-benar menulis begitu banyak karya.
Akhirnya, kutemukan sebuah tulisan. Bahkan, namaku dijadikannya judul tulisan. Ia bahkan tahu namaku.
Halo,
apa kabar? Aku tahu satu-satunya jalan untuk menemuimu adalah dengan melakukan
percobaan bunuh diri (aku terlalu malu untuk mengetuk pintu rumahmu), karena
mungkin kau akan datang menjengukku (lagipula kisah ini sudah tertulis di
dalam fiksiku).
Dan
saat kau datang, aku akan menceritakan beberapa hal, mengenalmu lebih dekat. Ya, dan itu berarti aku akan berinteraksi dengan karakter di dalam tulisanku sendiri. Betapa menyenangkannya.
Jadi, kalau kau sudah membaca ini, aku tahu aku telah
sukses memenuhi rencanaku. Namamu Arinda, apa aku benar? Aku Adrian. Susunan
nama kita hanya seperti acakan huruf saja, ya?
Ketika aku mulai menulis cerita tentangmu, aku bukan
penulis fiksi. Saat itu aku hanya seorang mahasiswa tingkat akhir, mengambil
jurusan Akuntansi, bosan mengerjakan skripsi, dan dari awal mengerjakan skripsi
hingga sidang, aku menulis… seratus cerita pendek.
Semuanya bercerita tentangmu. Aku tahu kita belum pernah
bertemu sebelumnya. Aku juga heran mengapa aku menulis semua itu.
Awalnya aku hanya ingin menghilang dari dunia. Kau tahu
orang-orang yang berkelana ke tengah hutan karena mereka merasa bosan dengan
kehidupan yang superfisial? Sudah lama rasanya aku ingin membakar semua
identitasku, dan bertualang ke sepenjuru dunia. Namun, kau tahu, urusan dokumen
negara (membuat paspor dan lain sebagainya) sangatlah rumit untuk orang yang
tak suka banyak berpikir sepertiku. Every
child grows up, except one. Dulu pernah
kupikir cerita tentang si bocah Peter Pan hanyalah rekayasa, supaya membuat
orang-orang dewasa menolak kehidupannya sendiri, menolak menjadi tua. Namun,
setelah kupikir-pikir lagi, mungkin keinginanku untuk melakukan pengasingan
sebenarnya berkaitan dengan harapanku untuk selamanya menjadi kanak-kanak.
Tidak direpotkan dengan kerjaan bertumpuk dari kantor, tidak perlu berpura-pura
berperilaku dengan penuh etiket di masyarakat, tidak dirusak dan diubah oleh
orang-orang di sekitarku.
Ketika menulis tentangmu, aku merasa tidak tumbuh besar.
Rasanya menyenangkan. Ya, aku pernah ingin menghilang. Namun, kemudian aku
terjerat untuk menulis satu cerita tentang seorang gadis yang merasa tersesat
di dunianya sendiri. Hingga akhirnya, pada cerpen keseratus, ceritamu tamat.
Saat itu, keinginanku untuk mati atau sekadar menghilang dari dunia benar-benar
sudah memuncak. Namun, kemudian aku iseng mencari nama lengkap karakterku di
internet, dan aku menemukanmu.
Aku tahu kau pasti tidak mengerti. Namun, kalau kau
menjadi seperti aku, penulis yang menulis tentang orang yang benar-benar ada,
mungkin kau akan mau mencoba untuk mengerti?
Segera setelah kau selesai membaca ini, tolong hubungi
aku, ya? Kurasa aku perlu membicarakan sesuatu denganmu. Atau marilah kita menonton film bersama. Pernah menonton film Stranger than Fiction?
Ia menyertakan nomor ponselnya di akhir suratnya. Aku mulai membuka folder
yang memuat seratus cerpen seperti yang ia bilang dan, sambil membaca-baca, aku
mencoba menelepon nomor ponsel yang tertera di sana. [*]
Desember 2011
Cerpen ini pernah dibacakan dalam hari ulang tahun BPPM Balairung (tahun 2012?, agak lupa).
“Kau tahu bagaimana rasanya mati tanpa seorang pun datang ke pemakamanmu?” tanyanya.
ReplyDeleteSangat Great Gatsby