2018/12/15

KKI 2018: Sejauh Mana Pemajuan Kebudayaan Kita?


Tulisan ini juga dimuat di Jurnal Ruang
 
Subjek utama kebudayaan adalah masyarakat. Kebudayaan adalah hal yang cair dan tidak bisa diformalisasikan. Pemajuan bukan semata-mata proteksi.

“Kita hanya punya satu bumi yang dapat dihuni, di tengah demikian banyak galaksi,” Premana W. Premadi mengingatkan bahwa saat ini kita telah memasuki masa antroposen. Antroposen, periode geologis ketika manusia dan berbagai kebudayaannya punya dampak lebih besar bagi bumi daripada yang mereka bayangkan. Ilmuwan Soviet mulai jamak memakai istilah ini sejak 1960-an untuk mengantisipasi laju industri jelang periode pasca-Fordisme pada awal 1970. Hari ini, berbagai protokol perlindungan alam dirilis untuk merespons perubahan iklim dan kerusakan alam, sementara para peneliti terus dengan penasaran berupaya mencari tempat lain di luar bumi. Sehari-hari, kita melihat kemajuan teknologi sekian kali lebih cepat dari apa yang dapat kita bayangkan beberapa dasawarsa lalu. Dengan kesadaran itu, Premana mengajak kita mempertanyakan lagi, sejauh apa kita hendak melakukan pemajuan “kebudayaan manusia”? 

Premana memberi saya bekal pertanyaan itu selama mengikuti rangkaian Kongres Kebudayaan Indonesia 2018—yang mengusung semangat “pemajuan kebudayaan”. Kuliah umum bertajuk “Mendedah Antroposen” itu sendiri adalah salah satu kelas dalam rangkaian kongres.

Saya lantas teringat bagaimana Sukarno mendukung kemajuan teknologi dengan mengirim anak-anak terbaik bangsa untuk berkuliah ke beberapa negara dengan ikatan dinas, atau bagaimana para pendiri bangsa menaruh perhatian di ranah kebudayaan. Sukarno mengoleksi lukisan-lukisan para maestro seni rupa Indonesia di istana negara, Nyoto demikian senang bercengkerama dengan para seniman dan mahir memainkan saksofon, D. N. Aidit menulis sanjak-sanjak indah untuk istrinya. Seandainya mereka ada di tengah kita hari ini, apakah preferensi dan selera mereka atas hobi itu masih akan sama? Ketika segala hal kini dengan mudah bisa mereka akses lewat layar, ketika teknologi bergerak demikian cepatnya.

Kita selalu punya gagasan tersendiri tentang apa arti kebudayaan, bisa dimaknai secara personal ataupun komunal, juga tentang sejauh mana kita dapat mengembangkan ataupun memajukannya. Apalagi pada hari-hari ini. Barangkali, itu pula yang menjadi alasan mengapa gagasan pemajuan kebudayaan perlu dikembangkan dari masyarakat itu sendiri, sebagai suatu upaya partisipatoris yang melibatkan kesadaran lebih banyak orang. Seperti halnya warga Kampung Tongkol berinisiatif menata ulang ruang tinggal mereka demi menghindari penggusuran, atau warga Kulon Progo mengupayakan sumur renteng untuk menyuburkan lahan pasir pantai yang kering. Karena, mereka dan hanya mereka yang tahu bagaimana tetap menjaga alam ketika di saat bersamaan daya karsa mereka mencipta sesuatu yang baru—demi mendorong maju kebudayaan.

Sejarah Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan

Sepanjang 1985-2015, pembahasan tentang Rancangan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan terus mengemuka di media. Dengan kesadaran tentang pencarian bentuk identitas keindonesiaan dalam merespons satu per satu kebudayaan lokal yang terancam tumbang, dengan kerangka besar globalisasi yang menghomogenisasikan berbagai budaya dalam lingkup mondial, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2017 berhasil mendorong legislasi undang-undang tersebut.

“Negara perlu memberi kompas dan arahan, tetapi rincian strategi itu perlu dikembangkan sendiri oleh daerah,” tegas Ferdiansyah, wakil Komisi 10 DPR RI, dalam penjelasannya di kuliah umum Sejarah UU Pemajuan Kebudayaan. Dikatakan olehnya, pembangunan nasional kita selama ini menjadikan ekonomi sebagai panglima—ini tentu merujuk pada agenda Ali Moertopo dengan cetak biru dari ekonom Mafia Berkeley; demikian juga penyusunan rencana-rencana kebudayaan di daerah selama ini tidak dibarengi dengan strategi dari masyarakat sendiri. Inisiasi UU Pemajuan Kebudayaan, dengan demikian, konon berupaya menjadikan budaya sebagai panglima—dan yang dimaksudkan sebagai panglima adalah masyarakat itu sendiri. “Negara seharusnya tidak memosisikan diri sebagai empunya kebudayaan nasional. Negara seharusnya memainkan peran sebagai pandu masyarakat,” ujar Ferdiansyah.

Ferdiansyah punya satu kegelisahan: ia menganggap selama ini suara yang diangkat oleh daerah pada umumnya hanya wacana tentang “local wisdom” tanpa pendalaman apa yang dimaksud sebagai “kearifan lokal" itu. Seakan-akan, “kearifan lokal" yang dimaksudkan hanya berupaya untuk melanggengkan suatu kebudayaan, bukan memajukannya. Kini, ia berpendapat, UU Pemajuan Kebudayaan menjalankan peran itu: mengubah posisi negara dan relasinya dengan masyarakat dalam upaya pemajuan kebudayaan.

Upaya pendataan kebutuhan pokok terkait kebudayaan dilakukan langsung oleh masyarakat, beserta strategi kebudayaan yang memungkinkan untuk mewujudkan resolusi itu, dan negara berperan untuk menguatkan upaya-upaya di akar rumput itu. Merujuk pada Pasal 32 (1) UUD 1945 bahwa negara mendukung pemajuan kebudayaan, Ferdiansyah, menegaskan mengapa UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan diperlukan. Sama seperti Hilmar Farid nantinya dalam sidang pleno KKI 2018 di hari terakhir rangkaian kongres, ia menyebutkan perihal tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan dan strategi yang perlu dilaksanakan untuk merespons ketujuh isu tersebut.

Kongres Kebudayaan Indonesia 2018: Sebuah Prakarsa Masyarakat

Pada Minggu sore, 10 Desember 2018, dokumen strategi kebudayaan dan resolusi kongres diserahkan kepada presiden Ir. Jokowi oleh wakil tim perumus Nungki Kusumastuti dan I Made Bandem. Beberapa jam sebelumnya, di Ruang Plaza Insan Berprestasi, para anggota tim perumus yang terdiri dari 17 ahli yang diketuai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengadakan sidang pleno untuk memaparkan rumusan strategi kebudayaan.

Sidang pleno ini membahas resolusi pra-kongres dari tingkat kabupaten/kota yang telah menghasilkan beberapa dokumen pokokpemikiran kebudayaan daerah (PPKD). Jalan untuk menghasilkan dokumen mencakup visi pemajuan kebudayaan selama 20 tahun ini tentu melibatkan upaya yang cukup meletihkan. Kegiatan pra-kongres untuk menghasilkan PPKD ini, dijelaskan oleh Hilmar Farid, berlangsung lewat 300 pertemuan yang melibatkan 7000 orang. “Ini adalah strategi yang napasnya adalah prakarsa masyarakat,” ujar Hilmar Farid dalam sidang.

Kendati bertajuk 100 tahun kongres kebudayaan, yang diutamakan pada kongres tahun ini bukan soal perayaan satu abadnya, melainkan bahwa kongres ini tercatat sebagai kongres kebudayaan pertama yang dilangsungkan setelah undang-undang pemajuan kebudayaan disahkan pada 2017. Senapas dengan undang-undang tersebut, perumusan strategi kebudayaan kali ini dilakukan dari akar rumput dan diteruskan ke tangan presiden. Dalam kongres ini, untuk kali pertama, strategi kebudayaan dirumuskan langsung dari tangan masyarakat, dan memiliki kekuatan hukum melalui penetapan oleh presiden, yang dapat menjadi dasar penyusunan dokumen-dokumen teknokratik kerja pemerintah seperti RPJPN, RPJMN, sampai RKP dan RKPD. Untuk kali pertama pula, perspektif kebudayaan menjadi dasar pembangunan nasional setelah sekian lama negara ini berada di bawah komando pembangunan ekonomi Orbais ala Ali Moertopo.

Tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan yang disebutkan dalam sidang pleno, yakni: 1) menguatnya isu identitas primordial sektarian di tengah masyarakat, 2) modernisasi yang tidak dibarengi kesiapan masyarakat, 3) disrupsi teknologi informatika di segala bidang—dalam beberapa tahun, 47% pekerjaan yang dianggap mapan di tengah masyarakat diramalkan akan hilang, 4) ketimpangan relasi budaya—masyarakat Indonesia cenderung banyak mengonsumsi hasil budaya dari negara lain (importir kebudayaan), 5) pembangunan yang mengorbankan ekosistem alam dan budaya—laporan menunjukkan kegiatan pembangunan di daerah berpengaruh pada ketahanan budaya, 6) tata kelembagaan budaya yang belum optimal, dan 7) desain kebijakan yang belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaan. Tujuh agenda strategis pemajuan kebudayaan untuk merespons tujuh isu pokok tersebut ikut dijabarkan, di antaranya penyediaan ruang yang mendukung kemajemukan budaya—demi menghindari isu sektarian primordial—dan penyimpanan data pokok kebudayaan sebagai ruang arsip kebudayaan nasional. 

2018/06/19

Feminis Transnasional dan Jugun Ianfu: Testimoni Sejarah Kelam Pendudukan Militer Jepang


Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menuai kontroversi pada 2007 lantaran ia mengangkat kasus jugun ianfu (comfort women atau perempuan budak seks perang) sebagai persoalan kemanusiaan yang perlu dituntaskan pada masa pemerintahannya. Pernyataannya ini didukung oleh berbagai riset yang sejak tahun 1990 telah menunjukkan bahwa pemerintah Jepang wajib bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan yang terjadi pada masa Perang Dunia II tersebut. Sebelumnya, pengadilan terkait kejahatan perang yang menampung pula tujuh dokumen laporan khusus tindak kekerasan seksual oleh militer Jepang telah dilakukan oleh Pengadilan Tokyo pada 3 Mei 1946.[1] Namun, persidangan tersebut berakhir tanpa penyelesaian. Dokumen inilah yang dibuka pada riset-riset di dekade 1990, dan kembali pada 2007 di masa pemerintahan Abe.[2] Kembali terulang, para anggota parlemen ultra-kanan (konservatif) menyatakan tidak ada bukti kuat bahwa para perempuan ini dipaksa untuk memenuhi kebutuhan seksual balatentara Jepang. Bagaimanapun usaha Abe, kelompok ultra-kanan di Jepang berusaha menghapus fakta-fakta riset tersebut. Resolusi dari pihak perwakilan rakyat di Jepang pada Juli 2007 (H. Res. 121) dan pengunduran diri Abe dari jabatannya tampak menunjukkan kasus ini berakhir tanpa penyelesaian—kecuali fakta bahwa pemerintah Jepang membayar sejumlah ganti rugi kepada beberapa negara.[3]

Selain nihilnya hasil persidangan di tahun 1946, kontroversi dan penolakan dari kelompok ultra-kanan dilancarkan sejak 1980-an. Pada 1982, menteri pendidikan Jepang memerintahkan penghapusan sejarah tentang jugun ianfu dari buku-buku teks referensi terkait agresi dan korban perang yang melibatkan Jepang.[4] Namun, ingatan para korban tidak bisa dibungkam begitu saja, pada Desember 1991, seorang jugun ianfu dari Korea Selatan, Kim Hak Sun, mengungkapkan pengalamannya dan mengajukan perkara ke pengadilan. Pernyataannya ini diikuti oleh beberapa korban perempuan lainnya dari sepenjuru Asia, termasuk beberapa korban dari Indonesia. Langkah berani mereka mendorong para aktivis perempuan Jepang untuk mengorganisir dukungan. Riset menunjukkan bahwa di antara tahun 1928 hingga 1945, terdapat sekitar 150.000 hingga 200.000 perempuan yang dijadikan sebagai budak seks oleh pihak militer Jepang.[5] Pemerintah Jepang lagi-lagi membantah tuntutan tersebut, menolak meminta maaf, dan bahkan menolak untuk melakukan peninjauan lebih lanjut.[6]

Sepanjang sejarah perang, pemerkosaan dan beragam kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terjadi tanpa kendali—serta pembungkaman atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap mereka terus berlanjut. Kekejaman balatentara Jepang terhadap budak seks dari Indonesia menjadi satu contoh dari sekian banyak kekerasan serupa yang juga terjadi dalam perang-perang lainnya. Tindakan pendukung HAM transnasional untuk mengambil kendali pada situasi perang semacam itu semestinya perlu dipertimbangkan. Dengan latar belakang ini, artikel ini berupaya memaparkan bagaimana sejarah kelam kolonialisme jugun ianfu digambarkan dalam kesusastraan Indonesia yakni dengan mengambil Mirah dari Banda oleh Hanna Rambe dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai pembuktian sejarah, dilanjutkan dengan pemaparan pandangan para feminis atas dominasi seksual para lelaki terhadap perempuan di masa perang, pembungkaman kasus jugun ianfu ini, dan bagaimana para feminis berupaya menggerakkan suatu gelombang transnasional untuk memecahkan persoalan kemanusiaan semacam ini agar mendapatkan pertimbangan pihak-pihak lembaga maupun masyarakat internasional. 
 

Mirah dari Banda dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Novel Mirah dari Banda oleh Hanna Rambe adalah kisah pertemuan antara Mirah dan cucunya yang hilang. Mirah, diculik dari rumahnya di Jawa saat berusia lima tahun, dijadikan budak pemetik buah pala di Bandaneira pada masa penjajahan Belanda. Jelang dewasa, ia menjadi nyai (gundik) bagi Tuan Besar Ulupitu, dan lantas pekerja seks atau jugun ianfu bagi para balatentara di masa penjajahan Jepang. Dari hubungannya dengan Tuan Besar Ulupitu, Mirah sempat memiliki dua orang putri yang lantas diculik darinya.[7] Salah seorang putrinya yang hilang tersebut melahirkan seorang anak yang kelak bernama Rowena “Wendy” Morgan-Higgins—nama yang diperoleh setelah ia diangkat anak oleh keluarga Higgins. Wendy, cucu Mirah, menjadi “bayi perang” lantaran ia tak pernah mengetahui ibu dan ayah kandungnya—yang ia ketahui hanyalah fakta bahwa ayahnya adalah seorang Jepang dan ibunya, anak Mirah, adalah seorang Indo-Belanda. Wendy tumbuh dewasa, dan berkesempatan mengunjungi Banda, nasib mengantarnya berjumpa Mirah, neneknya. Namun demikian, Mirah dan Wendy bertemu sebagai dua orang asing, dan kemudian berakhir sebagai dua orang asing yang tidak saling mengetahui relasi darah di antara mereka.

Mirah dari Banda bergerak melintasi tiga periode sejarah, pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga jauh melewati masa kemerdekaan. Mirah yang hidup pada tiga zaman itu menceritakan kekejaman di masa perang—saat seseorang dipandang memiliki derajat jauh lebih rendah, selayaknya barang untuk diperjualbelikan. Dalam cerita ini, Mirah adalah tokoh yang dipandang rendah itu: ia tidak dapat menikmati kebebasannya sebagai manusia karena kebebasan itu telah dirampas darinya sedari kecil. Ia dipaksa memenuhi hasrat tuan besar, seorang Belanda, sembari bekerja memetik pala. Selanjutnya di masa kedatangan “saudara tua” Indonesia, ia lantas dijadikan budak seks. Rambe menampilkan sejarah kelam kolonialisme di Indonesia timur melalui kisah fiksi, tetapi meski kisahnya sendiri hampir mendekati kenyataan, penekanan sejarah khususnya mengenai para jugun ianfu dapat kita telusuri melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer.

Perawan Remaja adalah dokumentasi kesaksian Toer atas kisah para perempuan remaja di Indonesia yang dijadikan budak seks oleh balatentara Jepang pada Perang Dunia II. Dalam pembuangan ke Pulau Buru di tahun 1969, Toer bersaksi bahwa ia dan kawan-kawannya menemukan sebuah wilayah sabana (area ini menjadi kamp konsentrasi para buangan politik tanpa persidangan pada rezim Orde Baru) yang telah ditinggali oleh sekumpulan perempuan remaja yang ditelantarkan oleh balatentara Jepang. Perawan Remaja menyusun kronik kedatangan para remaja perempuan tersebut ke wilayah Kepulauan Ambon.[8]

Sebuah pengumuman pemerintah Jepang pada 1943 menyerukan kepada setiap orang tua untuk mendaftarkan dan lantas menyerahkan anak gadisnya yang masih perawan berusia di antara 15-17 tahun untuk disekolahkan oleh Pemerintah Dai Nippon. Remaja-remaja perempuan ini dijanjikan belajar di Singapura ataupun di Jepang. Siapa pun yang melanggar perintah ini dinyatakan sebagai bertindak membelot terhadap Tenno Heika (kaisar Jepang). Para pejabat daerah bahkan hingga perlu menyerahkan anak-anak gadis mereka demi memberi contoh kepada masyarakat untuk juga melakukan hal serupa. Seiring perjalanan waktu, diketahui bahwa janji pemerintah Jepang tersebut tidak pernah terlaksana.

2018/01/13

Perjalanan Menuju Roma

Entah siapa yang berceletuk tentang guna merutinkan diri berolahraga selama 41 hari dan hasil dari rutinitas itu adalah sebuah kebiasaan yang tidak pernah terputus, tapi saya dan ibu semang kemudian meyakininya dan melakoninya—bahkan melakoninya setiap pagi: berlari selama satu jam mengelilingi danau sebelum melanjutkan rutinitas lain-lain.

Kira-kira pada hari ke-22 kami merutinkan diri berolah raga, di perjalanan menuju taman, saya mengoreksi apa yang kami tahu dan percaya, “Ada temuan lain di web yang lain, di web ini dibilang, 21 hari pun sudah cukup untuk membentuk kebiasaan. Jadi, kita tidak perlu payah-payah lari rutin selama 41 hari.”

Dia memperhatikan ujaran saya, dan merespons sekenanya. Tapi saya tahu itu tidak akan berhasil membuat tekadnya putus di tengah jalan. Jadi, karena ibu semang saya adalah tipikal orang yang tidak akan berhenti di tengah jalan saat sudah memutuskan melakukan sesuatu, maka kami perlu menyelesaikan hari-hari rutin olahraga kami hingga hari ke-41.

Lantaran rutinitas kami berolahraga di taman, saya punya kedekatan tersendiri dengan taman-taman di Paris dan banlieu-nya. Beberapa taman penting kota ini menjadi tempat berjalan setapak dan menghabiskan waktu untuk apa saja, termasuk untuk menulis fragmen-fragmen cerita. Di antara taman-taman itu, yang paling menarik bagi saya adalah Parc de Floral, sebuah taman yang terletak dekat Kastil Vincennes. Belakangan taman itu dibuka menjadi taman untuk para nudis, sayangnya saya tidak berkesempatan untuk ke sana lagi setelah membaca berita tentang pembukaan taman nudis itu. Dan, bagaimanapun menariknya taman-taman lain, yang paling dekat di hati tentulah taman Lac de Creteil, taman yang mengitari sebuah danau di Creteil, dekat tempat tinggal saya—karena ke sanalah kami, saya dan sang ibu semang, biasanya menghabiskan waktu.

Tetapi pada pagi tanggal 31 Agustus itu kami tidak menuju taman mana pun, dari arah apartemen kami, ibu semang memutuskan berjalan kaki saja terus ke arah timur. Saya menyusuri jalan lebih cepat darinya. Tapi hingga sekian meter kemudian, dia baru berkata bahwa di dekat tikungan jalan itu terletak pemakaman suaminya. Begitu spontan saja. Saya mengajukan diri untuk berziarah. Maka kami berbelok arah dan sampailah di sebuah pekuburan.

Kami melewati cukup banyak nisan untuk sampai tepat di nisan itu. Rumput liar merambat di sekelilingnya. Sebuah pohon sudah tumbuh di tengah-tengah tanah gembur itu. Itu pohon liar juga, kata ibu semang. Tanpa perintah sebagai ancang-ancang, ia mulai mencabuti rumput-rumput, saya bersolidaritas dengan ikut mencabut-cabuti rumput, sampai kemudian berusaha keras mencabut pohon yang akarnya sudah menancap dalam. Itu menjelaskan sudah berapa lama nisan ini tidak dikunjunginya lagi. Mungkin ibu semang terlalu sibuk, yang jelas ia tidak mungkin tidak merindu lagi kepada suaminya yang bersemayam di sana.

“Jadi, bagaimana, kapan mau memesan tiket? Kamu jadi tidak, sih, mau ke Roma?” ujarnya di perjalanan kami ke rumah.

Ada banyak jalan menuju Roma, kata sebuah adagium, dan mulanya saya memang bersepakat untuk berjumpa kawan yang juga sedang menjalani residensi di Roma. Tapi pada tanggal 31 Agustus, ia sudah kembali ke Indonesia. Saya tidak berhasil berjumpa dengannya sebelum ia kembali, tentu karena sederetan keraguan demi keraguan untuk menempuh perjalanan yang tidak pasti di negeri orang. Jadi, menimbang untuk pergi saat itu, tentu akan sia-sia saja. Tapi, dari pertanyaan itu, saya teringat sudah pernah membikin janji untuk menginap di rumah seorang kenalan di Roma—pasangan aktivis yang saya kenal di Yogya, sang istri kini bekerja di kantor pusat FAO di Roma. Lantas, terpikir bahwa ada pula rentetan kota lain yang sekalian perlu dikunjungi, di Bussum, Belanda pada 9 September, akan ada sebuah presentasi dari kawan tentang relasi Jepang dan Belanda pada periode kolonial Belanda di Indonesia dan pada 10 September seorang kenalan baik akan meluncurkan buku novelnya di Amsterdam, dan sejak tanggal 6 September, akan ada festival sastra Berlin yang menghadirkan Arundhati Roy. Justru akan menarik bila saya merancang perjalanan yang bisa memuat kepentingan-kepentingan itu sekalian.

Maka, sepulang dari berziarah ke kuburan, ibu semang dengan bermurah hati menyediakan waktu untuk membantu memesankan tiket-tiket perjalanan ke Berlin lantas Den Haag lantas Roma untuk kemudian kembali ke Paris—tentu dengan pertimbangan panjang: mau naik kereta, bis, atau pesawat; dari stasiun dan bandara itu bagaimana cara mencapai rumah kawan yang menjadi tempat menginap; dan apa yang kira-kira penting untuk dilakukan di sana berkaitan dengan riset penulisan fiksi; perjalanan ditempuh dari tanggal berapa sampai tanggal berapa, dan seterusnya.

Secara ringkas, perjalanan saya dari Paris ke Berlin pada tanggal 5 September dengan bus cukup menyenangkan, saya melihat diri sendiri berada pada titik di Googlemap yang berpindah dengan cepatnya dari satu area ke area lain bebarengan dengan melihat pemandangan di luar: sebuah gedung atau sebuah pabrik yang bercahaya sendirian karena jarak antara ia dengan gedung atau pabrik lain lumayan jauh. Melintasi Brussels Belgia, lalu melewati Eindhoven Belanda, untuk masuk ke area Jerman bagian Barat. Petugas yang mengecek paspor mulai membangunkan penumpang yang tidur, dan terjadi cekcok lumayan panjang antara sederet penumpang yang berpaspor kedaluwarsa, tapi pada akhirnya penumpang itu tidak diturunkan di tengah jalan. Itu pastilah seorang imigran gelap yang mencoba mencari peruntungan di Berlin, begitu pikir saya, tapi setelah si petugas beralih pada saya dan saya menunjukkan paspor, saya kembali melanjutkan tidur dan tidak ambil pusing lagi. Dibutuhkan suatu kesadaran diri yang mantap untuk istirahat yang cukup, karena sembilan hari ke depan, saya akan melakoni perjalanan dari kota ke kota—dan tidak boleh merengek sedang sakit atau apa (saat itu saya baru pulih dari diare dan mimisan lantaran sedikit alergi dingin).

Tiga hari saya lewati di Berlin, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Den Haag pada 8 September. Seharian itu hujan, sepulang dari Museum Yahudi, saya segera menuju ZOB Berlin, terminal bus yang akan membawa pergi. Di sana, saya bertemu seorang gadis mabuk yang saya lupa siapa namanya, meski kami sempat berkenalan, bercerita betapa sendirinya hidupnya. Yatim piatu, anak tunggal, dengan kehidupan cinta yang payah, dan cita-cita yang kandas, dan pekerjaan yang ia rasa mengantarkannya ke kegagalan demi kegagalan. Ia dari Sofia, Bulgaria dan tinggal delapan belas bulan di Berlin karena bekerja di bidang teknik, dan kini memutuskan akan mengadu nasib di Amsterdam. Saya ingin sekali bilang, “Hei, aku sejenis denganmu,” tapi tampaknya itu tidak lucu, maka saya biarkan dia terus mengelupas dirinya di depan saya, tanpa saya balik memperkenalkan diri. Sopir dan kondektur, yang sama galaknya dengan yang saya temui di terminal Gallieni Paris, kemudian memerintahkan kami segera masuk. Tidak bisa lanjut mendengarkan ceritanya lagi. Saya menawarkan diri agar si gadis duduk dekat-dekat saja, tapi pada akhirnya kami berpisah kursi. Banyak kursi kosong, menurutnya akan lebih lega bila kami duduk sendiri-sendiri, dan istirahat di perjalanan bisa lebih nyaman bagi kami. Saya menghela napas karena yakin bahwa kami akan berpisah, dia akan turun di Amsterdam sementara saya turun di Den Haag. Dan saya tertidur pulas malam itu, sampai akhirnya bus berhenti di terminal lebih cepat satu jam dibandingkan jadwal yang tertera di tiket. Di sana saya menyadari betapa kedisiplinan Prusia, yang berasal dari kedisiplinan ala Kantian, bagi warga Jerman masih terwaris dengan amat baik.

Perjalanan ke Roma pada 12 September tampaknya lebih menguji nyali. Layanan pesawat paling murah tersedia pagi-pagi betul, karena itu saya pikir pada pukul lima saya sudah mesti mengantre check-in. Hari-hari itu, Belanda sedang dilanda badai. Dari Leiden, saya menuju Rotterdam dengan guyuran hujan yang tidak main-main. Bandaranya kecil saja, seukuran atau malah lebih kecil daripada bandara Radin Inten II Lampung yang pernah saya singgahi. Rupanya ketika saya sampai di bandara pukul sebelas malam itu, sudah ada banyak orang seperti saya juga yang memutuskan untuk bermalam. Motel paling murah hanya sepuluh euro semalam, tapi jaraknya jauh dari bandara, dan di kala badai seperti ini dan jadwal bus jadi tidak menentu, memang sangat berisiko untuk ketinggalan pesawat apabila nekat memesan penginapan, maka wajar saja bandara penuh sesak orang yang bermalam untuk menunggu penerbangan paling pagi. Beberapa orang berkeluyuran, berjalan-jalan dengan tak santai mengelilingi bandara dari satu sudut ke sudut lain, tapi sebagian besar memutuskan beristirahat seperti saya. Pukul empat pagi, pintu bandara sudah dibuka dan terdengar koper-koper yang digeret masuk. Saya melanjutkan tidur untuk menunggu jadwal check-in yang saya pikir dimulai tepat pukul lima pagi. Tapi dalam hitungan menit bandara semakin ramai, dan saya memutuskan mengecek situasi. Antrean panjang mengular pukul lima pagi itu, untuk penerbangan yang sama dengan saya pukul enam pagi. Tidur di bandara tidak menjadikan saya orang pertama yang mengantre jatah lepas landas. Tapi tidak mengapa, akhirnya saya pergi ke Roma.

Menyelesaikan perjalanan bukan hal yang ingin saya capai ketika memulai perjalanan, tetapi setiap pejalan tahu bahwa akan selalu ada akhir dari setiap perjalanan. Sembilan hari perjalanan telah lewat, dua hari terakhir saya habiskan di Roma. Saya memotret antrean di bandara Fiumicino, Roma menuju Orly pagi itu. Saya kirimkan sebuah foto dan pesan singkat kepada ibu semang, menyatakan saya akan pulang. Sembari mencatat di catatan pribadi: “Akhirnya misi tertuntaskan. Memang ada banyak jalan menuju Roma. Termasuk jalan memutar dari Paris, Berlin, Den Haag, dan Rotterdam.”

Catatan:
Di Berlin, Jerman selama tiga hari saya menghadiri sebuah festival pengarang, bertemu Pak Triyanto Triwikromo yang sedang menjalani program residensi penulis juga, dan dengannya diajak untuk berjumpa seorang penerjemah Jerman, Gudrun Fenna Ingratubun. Saya menumpang tinggal dengan penerjemah Jerman tersebut dan membicarakan banyak hal tentang kesusastraan Indonesia maupun Jerman. Perjalanan saya tempuh dengan bus dari terminal Gallieni Paris dan tiba di Berlin ZOB pada 6 September 2017. Di Berlin, saya berkesempatan juga mengunjungi beberapa museum di Kompleks Museumsinsel (mengunjungi Altes Museum dan Neues Museum), serta mengunjungi Museum Yahudi. Seluruh diskusi dalam festival sastra Berlin yang saya ikuti dilakukan dalam bahasa Jerman, saya tidak begitu memahaminya, tetapi cukup berguna bagi saya untuk memahami festival pengarang skala internasional. Seorang penulis Indonesia, Okky Madasari, diundang menjadi pembicara di festival itu, tetapi saya tidak kesampaian untuk berjumpa beliau karena jadwal yang berbeda: tapi setidaknya saya membaca nama beliau tertulis di sebuah buku tebal terkait festival sastra Berlin itu. Selanjutnya, saya mengunjungi Bussum, Belanda pada 9 September 2017 untuk menghadiri sebuah konferensi mengenai relasi Jepang-Belanda pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, beberapa eksil perempuan hadir dan menjadi pembicara, dan seorang kawan saya di UGM Yogyakarta, Raisa Kamila, memberikan presentasi. Senang sekali mendengarkan penuturan-penuturannya dalam forum itu. Di Belanda, selain konferensi, saya berkesempatan mengunjungi Tropenmuseum, Amsterdam, dan masuk museum dengan gratis berkat kemurahan hati Aliansyah Caniago yang meminjamkan kartu museum, dan juga sempat menghadiri acara peluncuran kumpulan cerita pendek Joss Wibisonoo pada 10 September 2017. Di Belanda, saya menginap di apartemen kawan saya yang berkuliah di Universitas Leiden sehingga akses saya untuk mampir ke universitasnya pun dipermudah. Setelah itu, saya bertolak ke Roma, Italia pada 12 September 2017, di sana saya berkesempatan bertemu dengan dosen-dosen STF Driyarkara, di antaranya Romo Frumen Gions, Romo Albertus Pur, dan Romo Fellyanus Dogon yang sedang menempuh studi di Instituto Nazionale Di Studi Romani, dan mengunjungi Museum Vatikan dan beberapa ikon bersejarah kota Roma. Selama di Roma, saya menginap di apartemen sepasang suami-istri aktivis yang saya kenal di Yogyakarta, Fajar Kelana dan Noor Alifa Ardianingrum yang kini bekerja di kantor pusat Food and Agriculture Organization (FAO) PBB.

Tulisan Terdahulu