2018/12/15

KKI 2018: Sejauh Mana Pemajuan Kebudayaan Kita?


Tulisan ini juga dimuat di Jurnal Ruang
 
Subjek utama kebudayaan adalah masyarakat. Kebudayaan adalah hal yang cair dan tidak bisa diformalisasikan. Pemajuan bukan semata-mata proteksi.

“Kita hanya punya satu bumi yang dapat dihuni, di tengah demikian banyak galaksi,” Premana W. Premadi mengingatkan bahwa saat ini kita telah memasuki masa antroposen. Antroposen, periode geologis ketika manusia dan berbagai kebudayaannya punya dampak lebih besar bagi bumi daripada yang mereka bayangkan. Ilmuwan Soviet mulai jamak memakai istilah ini sejak 1960-an untuk mengantisipasi laju industri jelang periode pasca-Fordisme pada awal 1970. Hari ini, berbagai protokol perlindungan alam dirilis untuk merespons perubahan iklim dan kerusakan alam, sementara para peneliti terus dengan penasaran berupaya mencari tempat lain di luar bumi. Sehari-hari, kita melihat kemajuan teknologi sekian kali lebih cepat dari apa yang dapat kita bayangkan beberapa dasawarsa lalu. Dengan kesadaran itu, Premana mengajak kita mempertanyakan lagi, sejauh apa kita hendak melakukan pemajuan “kebudayaan manusia”? 

Premana memberi saya bekal pertanyaan itu selama mengikuti rangkaian Kongres Kebudayaan Indonesia 2018—yang mengusung semangat “pemajuan kebudayaan”. Kuliah umum bertajuk “Mendedah Antroposen” itu sendiri adalah salah satu kelas dalam rangkaian kongres.

Saya lantas teringat bagaimana Sukarno mendukung kemajuan teknologi dengan mengirim anak-anak terbaik bangsa untuk berkuliah ke beberapa negara dengan ikatan dinas, atau bagaimana para pendiri bangsa menaruh perhatian di ranah kebudayaan. Sukarno mengoleksi lukisan-lukisan para maestro seni rupa Indonesia di istana negara, Nyoto demikian senang bercengkerama dengan para seniman dan mahir memainkan saksofon, D. N. Aidit menulis sanjak-sanjak indah untuk istrinya. Seandainya mereka ada di tengah kita hari ini, apakah preferensi dan selera mereka atas hobi itu masih akan sama? Ketika segala hal kini dengan mudah bisa mereka akses lewat layar, ketika teknologi bergerak demikian cepatnya.

Kita selalu punya gagasan tersendiri tentang apa arti kebudayaan, bisa dimaknai secara personal ataupun komunal, juga tentang sejauh mana kita dapat mengembangkan ataupun memajukannya. Apalagi pada hari-hari ini. Barangkali, itu pula yang menjadi alasan mengapa gagasan pemajuan kebudayaan perlu dikembangkan dari masyarakat itu sendiri, sebagai suatu upaya partisipatoris yang melibatkan kesadaran lebih banyak orang. Seperti halnya warga Kampung Tongkol berinisiatif menata ulang ruang tinggal mereka demi menghindari penggusuran, atau warga Kulon Progo mengupayakan sumur renteng untuk menyuburkan lahan pasir pantai yang kering. Karena, mereka dan hanya mereka yang tahu bagaimana tetap menjaga alam ketika di saat bersamaan daya karsa mereka mencipta sesuatu yang baru—demi mendorong maju kebudayaan.

Sejarah Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan

Sepanjang 1985-2015, pembahasan tentang Rancangan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan terus mengemuka di media. Dengan kesadaran tentang pencarian bentuk identitas keindonesiaan dalam merespons satu per satu kebudayaan lokal yang terancam tumbang, dengan kerangka besar globalisasi yang menghomogenisasikan berbagai budaya dalam lingkup mondial, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2017 berhasil mendorong legislasi undang-undang tersebut.

“Negara perlu memberi kompas dan arahan, tetapi rincian strategi itu perlu dikembangkan sendiri oleh daerah,” tegas Ferdiansyah, wakil Komisi 10 DPR RI, dalam penjelasannya di kuliah umum Sejarah UU Pemajuan Kebudayaan. Dikatakan olehnya, pembangunan nasional kita selama ini menjadikan ekonomi sebagai panglima—ini tentu merujuk pada agenda Ali Moertopo dengan cetak biru dari ekonom Mafia Berkeley; demikian juga penyusunan rencana-rencana kebudayaan di daerah selama ini tidak dibarengi dengan strategi dari masyarakat sendiri. Inisiasi UU Pemajuan Kebudayaan, dengan demikian, konon berupaya menjadikan budaya sebagai panglima—dan yang dimaksudkan sebagai panglima adalah masyarakat itu sendiri. “Negara seharusnya tidak memosisikan diri sebagai empunya kebudayaan nasional. Negara seharusnya memainkan peran sebagai pandu masyarakat,” ujar Ferdiansyah.

Ferdiansyah punya satu kegelisahan: ia menganggap selama ini suara yang diangkat oleh daerah pada umumnya hanya wacana tentang “local wisdom” tanpa pendalaman apa yang dimaksud sebagai “kearifan lokal" itu. Seakan-akan, “kearifan lokal" yang dimaksudkan hanya berupaya untuk melanggengkan suatu kebudayaan, bukan memajukannya. Kini, ia berpendapat, UU Pemajuan Kebudayaan menjalankan peran itu: mengubah posisi negara dan relasinya dengan masyarakat dalam upaya pemajuan kebudayaan.

Upaya pendataan kebutuhan pokok terkait kebudayaan dilakukan langsung oleh masyarakat, beserta strategi kebudayaan yang memungkinkan untuk mewujudkan resolusi itu, dan negara berperan untuk menguatkan upaya-upaya di akar rumput itu. Merujuk pada Pasal 32 (1) UUD 1945 bahwa negara mendukung pemajuan kebudayaan, Ferdiansyah, menegaskan mengapa UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan diperlukan. Sama seperti Hilmar Farid nantinya dalam sidang pleno KKI 2018 di hari terakhir rangkaian kongres, ia menyebutkan perihal tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan dan strategi yang perlu dilaksanakan untuk merespons ketujuh isu tersebut.

Kongres Kebudayaan Indonesia 2018: Sebuah Prakarsa Masyarakat

Pada Minggu sore, 10 Desember 2018, dokumen strategi kebudayaan dan resolusi kongres diserahkan kepada presiden Ir. Jokowi oleh wakil tim perumus Nungki Kusumastuti dan I Made Bandem. Beberapa jam sebelumnya, di Ruang Plaza Insan Berprestasi, para anggota tim perumus yang terdiri dari 17 ahli yang diketuai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengadakan sidang pleno untuk memaparkan rumusan strategi kebudayaan.

Sidang pleno ini membahas resolusi pra-kongres dari tingkat kabupaten/kota yang telah menghasilkan beberapa dokumen pokokpemikiran kebudayaan daerah (PPKD). Jalan untuk menghasilkan dokumen mencakup visi pemajuan kebudayaan selama 20 tahun ini tentu melibatkan upaya yang cukup meletihkan. Kegiatan pra-kongres untuk menghasilkan PPKD ini, dijelaskan oleh Hilmar Farid, berlangsung lewat 300 pertemuan yang melibatkan 7000 orang. “Ini adalah strategi yang napasnya adalah prakarsa masyarakat,” ujar Hilmar Farid dalam sidang.

Kendati bertajuk 100 tahun kongres kebudayaan, yang diutamakan pada kongres tahun ini bukan soal perayaan satu abadnya, melainkan bahwa kongres ini tercatat sebagai kongres kebudayaan pertama yang dilangsungkan setelah undang-undang pemajuan kebudayaan disahkan pada 2017. Senapas dengan undang-undang tersebut, perumusan strategi kebudayaan kali ini dilakukan dari akar rumput dan diteruskan ke tangan presiden. Dalam kongres ini, untuk kali pertama, strategi kebudayaan dirumuskan langsung dari tangan masyarakat, dan memiliki kekuatan hukum melalui penetapan oleh presiden, yang dapat menjadi dasar penyusunan dokumen-dokumen teknokratik kerja pemerintah seperti RPJPN, RPJMN, sampai RKP dan RKPD. Untuk kali pertama pula, perspektif kebudayaan menjadi dasar pembangunan nasional setelah sekian lama negara ini berada di bawah komando pembangunan ekonomi Orbais ala Ali Moertopo.

Tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan yang disebutkan dalam sidang pleno, yakni: 1) menguatnya isu identitas primordial sektarian di tengah masyarakat, 2) modernisasi yang tidak dibarengi kesiapan masyarakat, 3) disrupsi teknologi informatika di segala bidang—dalam beberapa tahun, 47% pekerjaan yang dianggap mapan di tengah masyarakat diramalkan akan hilang, 4) ketimpangan relasi budaya—masyarakat Indonesia cenderung banyak mengonsumsi hasil budaya dari negara lain (importir kebudayaan), 5) pembangunan yang mengorbankan ekosistem alam dan budaya—laporan menunjukkan kegiatan pembangunan di daerah berpengaruh pada ketahanan budaya, 6) tata kelembagaan budaya yang belum optimal, dan 7) desain kebijakan yang belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaan. Tujuh agenda strategis pemajuan kebudayaan untuk merespons tujuh isu pokok tersebut ikut dijabarkan, di antaranya penyediaan ruang yang mendukung kemajemukan budaya—demi menghindari isu sektarian primordial—dan penyimpanan data pokok kebudayaan sebagai ruang arsip kebudayaan nasional. 

2018/06/19

Feminis Transnasional dan Jugun Ianfu: Testimoni Sejarah Kelam Pendudukan Militer Jepang


Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menuai kontroversi pada 2007 lantaran ia mengangkat kasus jugun ianfu (comfort women atau perempuan budak seks perang) sebagai persoalan kemanusiaan yang perlu dituntaskan pada masa pemerintahannya. Pernyataannya ini didukung oleh berbagai riset yang sejak tahun 1990 telah menunjukkan bahwa pemerintah Jepang wajib bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan yang terjadi pada masa Perang Dunia II tersebut. Sebelumnya, pengadilan terkait kejahatan perang yang menampung pula tujuh dokumen laporan khusus tindak kekerasan seksual oleh militer Jepang telah dilakukan oleh Pengadilan Tokyo pada 3 Mei 1946.[1] Namun, persidangan tersebut berakhir tanpa penyelesaian. Dokumen inilah yang dibuka pada riset-riset di dekade 1990, dan kembali pada 2007 di masa pemerintahan Abe.[2] Kembali terulang, para anggota parlemen ultra-kanan (konservatif) menyatakan tidak ada bukti kuat bahwa para perempuan ini dipaksa untuk memenuhi kebutuhan seksual balatentara Jepang. Bagaimanapun usaha Abe, kelompok ultra-kanan di Jepang berusaha menghapus fakta-fakta riset tersebut. Resolusi dari pihak perwakilan rakyat di Jepang pada Juli 2007 (H. Res. 121) dan pengunduran diri Abe dari jabatannya tampak menunjukkan kasus ini berakhir tanpa penyelesaian—kecuali fakta bahwa pemerintah Jepang membayar sejumlah ganti rugi kepada beberapa negara.[3]

Selain nihilnya hasil persidangan di tahun 1946, kontroversi dan penolakan dari kelompok ultra-kanan dilancarkan sejak 1980-an. Pada 1982, menteri pendidikan Jepang memerintahkan penghapusan sejarah tentang jugun ianfu dari buku-buku teks referensi terkait agresi dan korban perang yang melibatkan Jepang.[4] Namun, ingatan para korban tidak bisa dibungkam begitu saja, pada Desember 1991, seorang jugun ianfu dari Korea Selatan, Kim Hak Sun, mengungkapkan pengalamannya dan mengajukan perkara ke pengadilan. Pernyataannya ini diikuti oleh beberapa korban perempuan lainnya dari sepenjuru Asia, termasuk beberapa korban dari Indonesia. Langkah berani mereka mendorong para aktivis perempuan Jepang untuk mengorganisir dukungan. Riset menunjukkan bahwa di antara tahun 1928 hingga 1945, terdapat sekitar 150.000 hingga 200.000 perempuan yang dijadikan sebagai budak seks oleh pihak militer Jepang.[5] Pemerintah Jepang lagi-lagi membantah tuntutan tersebut, menolak meminta maaf, dan bahkan menolak untuk melakukan peninjauan lebih lanjut.[6]

Sepanjang sejarah perang, pemerkosaan dan beragam kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terjadi tanpa kendali—serta pembungkaman atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap mereka terus berlanjut. Kekejaman balatentara Jepang terhadap budak seks dari Indonesia menjadi satu contoh dari sekian banyak kekerasan serupa yang juga terjadi dalam perang-perang lainnya. Tindakan pendukung HAM transnasional untuk mengambil kendali pada situasi perang semacam itu semestinya perlu dipertimbangkan. Dengan latar belakang ini, artikel ini berupaya memaparkan bagaimana sejarah kelam kolonialisme jugun ianfu digambarkan dalam kesusastraan Indonesia yakni dengan mengambil Mirah dari Banda oleh Hanna Rambe dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai pembuktian sejarah, dilanjutkan dengan pemaparan pandangan para feminis atas dominasi seksual para lelaki terhadap perempuan di masa perang, pembungkaman kasus jugun ianfu ini, dan bagaimana para feminis berupaya menggerakkan suatu gelombang transnasional untuk memecahkan persoalan kemanusiaan semacam ini agar mendapatkan pertimbangan pihak-pihak lembaga maupun masyarakat internasional. 
 

Mirah dari Banda dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Novel Mirah dari Banda oleh Hanna Rambe adalah kisah pertemuan antara Mirah dan cucunya yang hilang. Mirah, diculik dari rumahnya di Jawa saat berusia lima tahun, dijadikan budak pemetik buah pala di Bandaneira pada masa penjajahan Belanda. Jelang dewasa, ia menjadi nyai (gundik) bagi Tuan Besar Ulupitu, dan lantas pekerja seks atau jugun ianfu bagi para balatentara di masa penjajahan Jepang. Dari hubungannya dengan Tuan Besar Ulupitu, Mirah sempat memiliki dua orang putri yang lantas diculik darinya.[7] Salah seorang putrinya yang hilang tersebut melahirkan seorang anak yang kelak bernama Rowena “Wendy” Morgan-Higgins—nama yang diperoleh setelah ia diangkat anak oleh keluarga Higgins. Wendy, cucu Mirah, menjadi “bayi perang” lantaran ia tak pernah mengetahui ibu dan ayah kandungnya—yang ia ketahui hanyalah fakta bahwa ayahnya adalah seorang Jepang dan ibunya, anak Mirah, adalah seorang Indo-Belanda. Wendy tumbuh dewasa, dan berkesempatan mengunjungi Banda, nasib mengantarnya berjumpa Mirah, neneknya. Namun demikian, Mirah dan Wendy bertemu sebagai dua orang asing, dan kemudian berakhir sebagai dua orang asing yang tidak saling mengetahui relasi darah di antara mereka.

Mirah dari Banda bergerak melintasi tiga periode sejarah, pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga jauh melewati masa kemerdekaan. Mirah yang hidup pada tiga zaman itu menceritakan kekejaman di masa perang—saat seseorang dipandang memiliki derajat jauh lebih rendah, selayaknya barang untuk diperjualbelikan. Dalam cerita ini, Mirah adalah tokoh yang dipandang rendah itu: ia tidak dapat menikmati kebebasannya sebagai manusia karena kebebasan itu telah dirampas darinya sedari kecil. Ia dipaksa memenuhi hasrat tuan besar, seorang Belanda, sembari bekerja memetik pala. Selanjutnya di masa kedatangan “saudara tua” Indonesia, ia lantas dijadikan budak seks. Rambe menampilkan sejarah kelam kolonialisme di Indonesia timur melalui kisah fiksi, tetapi meski kisahnya sendiri hampir mendekati kenyataan, penekanan sejarah khususnya mengenai para jugun ianfu dapat kita telusuri melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer.

Perawan Remaja adalah dokumentasi kesaksian Toer atas kisah para perempuan remaja di Indonesia yang dijadikan budak seks oleh balatentara Jepang pada Perang Dunia II. Dalam pembuangan ke Pulau Buru di tahun 1969, Toer bersaksi bahwa ia dan kawan-kawannya menemukan sebuah wilayah sabana (area ini menjadi kamp konsentrasi para buangan politik tanpa persidangan pada rezim Orde Baru) yang telah ditinggali oleh sekumpulan perempuan remaja yang ditelantarkan oleh balatentara Jepang. Perawan Remaja menyusun kronik kedatangan para remaja perempuan tersebut ke wilayah Kepulauan Ambon.[8]

Sebuah pengumuman pemerintah Jepang pada 1943 menyerukan kepada setiap orang tua untuk mendaftarkan dan lantas menyerahkan anak gadisnya yang masih perawan berusia di antara 15-17 tahun untuk disekolahkan oleh Pemerintah Dai Nippon. Remaja-remaja perempuan ini dijanjikan belajar di Singapura ataupun di Jepang. Siapa pun yang melanggar perintah ini dinyatakan sebagai bertindak membelot terhadap Tenno Heika (kaisar Jepang). Para pejabat daerah bahkan hingga perlu menyerahkan anak-anak gadis mereka demi memberi contoh kepada masyarakat untuk juga melakukan hal serupa. Seiring perjalanan waktu, diketahui bahwa janji pemerintah Jepang tersebut tidak pernah terlaksana.

Tulisan Terdahulu