2021/08/19

Sabda Armandio: Berkeliling Semesta Spekulatif

Sabda Armandio mulai dikenal di jagat perbukuan Indonesia sejak menerbitkan novel debutnya Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya pada 2015. Manuskrip novel itu dirampungkannya sejak di bangku SMA dan baru dimatangkannya pada akhir 2013, dan lantas ia unggah di blog pada 2014. Takdirnya mujur karena entri blognya itu kelak dibaca oleh Dea Anugrah, yang lantas menjadi editor untuk novel debut Dio dan dengan lekas menjadi karibnya. Enam tahun berselang, Dio yang kerap berseloroh “menulis itu sebenarnya memuakkan”, kini telah menerbitkan tiga buku lain, novel 24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif (2017), novela Dekat dan Nyaring (2019), dan kumpulan cerita Kisah-Kisah Suri Teladan (2019).

Berbeda dari karakter tokoh di dua buku pertamanya yang tampak ringan dengan pendekatan cerita menyambut masa bujang (coming of age) dan pertualangan detektif partikelir memecahkan masalah yang ganjil, novel terakhirnya Dekat dan Nyaring menghadirkan tragedi hidup manusia dibalut kemiskinan yang begitu kompleks, lebih kompleks daripada cerita detektif ala Gaspar. Dari buku terakhirnya ini, kita dapat ikut merasakan betapa kemiskinan begitu dekat dan nyaring. Masih sama dengan karya-karyanya yang lain, bagaimanapun, Dio dengan kuat menjajal humor dan ironi—dua unsur yang kental dalam gaya narasinya—untuk menggarap karakter para penghuni Gang Patos itu. Dengan mulusnya ia menceritakan bagaimana orang-orang bergulat bertahan hidup dengan moda apa pun, tak tanggung-tanggung novel ini menegaskan tagar #jakartaitukeras dengan pembuka novelnya yang menghadirkan percakapan perihal daging ular asap hingga ganja palsu dari bunga bokor—hal-hal yang akrab dalam hidup warga di wilayah kumuh tersebut.

Lewat Mongrel, cerita bersambungnya yang terbit berkala di Kumparan+, Dio masih memberi nama aneh bagi karakternya, sebutlah “Wortel”, dan bercerita tentang paguyuban, cybercommunism, alam kuantum, botani, mimpi dan alam bawah sadar yang diprogram secara sosial, bebek dengan empat kaki dan empat sayap, kode biner dan ASCII yang mesti dipecahkan sebuah Forum Federasi Pelajar, dan hal-hal lain yang terasa “begitu Dio”: abstrak, anomali, dan acak. Namun, dari keacakan itu, ia berhasil menghadirkan keutuhan, sebuah harmoni dalam semesta yang chaos. Membaca Mongrel, kita mungkin akan mengingat bagaimana 24 Jam Bersama Gaspar juga bercerita soal kotak hitam misterius yang konon bisa membuat pemiliknya kaya raya, toko emas milik Wan Ali, motor Kawasaki KZ200 Binter Mercy keluaran 1976, dan kronologi perampokan yang dihadirkan dalam wujud transkrip wawancara.

Bagaimana kekhasan bercerita dan narasi-narasinya yang spekulatif ini bermula? Sejak kapan Dio menemukan “suara kepenulisan ala Dio” ini? Dalam obrolan berdurasi 2 jam ini, Dio menceritakan tentang bagaimana ia tumbuh besar dengan cerita-cerita yang dikisahkan saat bersepeda dengan kakeknya, ketertarikannya pada dunia komputer lantaran terbiasa melihat pekerjaan ayahnya yang mereparasi komputer pelanggan, hingga bagaimana tanggapan Dio tentang masalah umat manusia hari-hari ini: dari kebangkitan fasis hingga perubahan iklim. Berikut ini adalah obrolan Dewi Kharisma Michellia dari Tengara dengan Sabda Armandio.

 

Bersepeda dengan Kakek

Beberapa penulis tumbuh dengan cerita yang dituturkan oleh orang tua mereka. Dio, dengan kedua orang tua yang sibuk, memperoleh itu dari sang kakek maternal yang seorang dalang.

 

DEWI KHARISMA MICHELLIA

Di beberapa wawancara, kamu cerita tentang kakek maternalmu. Apakah sedemikian membekasnya bagimu punya kakek seorang dalang? Kamu juga bilang, di keluargamu tradisi lisan lebih kuat daripada tradisi tulisan.

 

SABDA ARMANDIO

Nah, kalau ditelusuri, kebiasaanku mendengarkan cerita lahir dari lingkungan di sekitarku. Jadi, ya betul, kakekku adalah dalang, dia anggota Bakoksi Pekalongan. Periode pertengahan 1960an, dia pergi dari Pekalongan, ke Garut, dan terus dari Garut langsung menetap di Jakarta di atas tahun 1965. Mungkin sekitar tahun 1967an. Aku lupa. Pokoknya, setelah itu, keluarga kami pindah. Mamaku menikah, dan pindah ke Tangerang, dan aku lahir di Tangerang. Kakekku ikut pindah ke rumah kami. Dari Manggarai—dulunya kami tinggal di Manggarai—jadi tinggal di Ciledug, Tangerang. Mamaku menikah tahun 1989, dan sudah mulai tinggal di Ciledug. Papaku kerja di daerah Pasar Ciledug, di wilayah bisnis di sana.

Waktu itu, pembangunan lagi masif. Mamaku juga buka semacam salon, jadi, kira-kira kayak begitu. Kakekku pindah ke rumah kami. Waktu itu aku masih TK, tahun 1996-1997. Rumah kami ada di antara pusat Kota Ciledug—kalau istilah itu ada—dari sana kamu tinggal naik sepeda. Kalau mau lihat pembangunan, Bintaro baru dibangun, atau ke sektor di sekitar Stasiun Sudimara itu, tinggal naik sepeda.

Jadi, kakekku, selama tinggal di rumah kami—saat Mama lagi mengurus adikku, Papa di kantor—biasanya mengajak aku keliling-keliling naik sepeda. Di perjalanan itu, dia sambil bercerita. Mungkin dia juga kangen bercerita. Aku juga baru tahu dia dalang sewaktu aku SMP-SMA. Aku juga enggak pernah tahu sebelumnya dia bekerja apa. Yang aku tahu, dia ada di rumah, dan suka mengajak main.

 

MICHELLIA

Enggak pernah pentas lagi, begitu? Apa enggak ada wahana bagi dia untuk menyalurkannya di sanggar-sanggar di Ciledug?

 

DIO

Enggak pernah. Kan, Bakoksi dibubarin, ya?

Setelah menetap di Jakarta, dia memilih profesi lain untuk menghidupi keluarganya. Kakekku, ya, suka mengajak aku jalan-jalan, dan cerita. Dia suka membenturkan dongeng-dongeng yang dia ceritakan, dengan kejadian yang lagi hangat sehari-hari. Atau, ya, lebih ke merespons mobil atau bulldozer yang kami lihat di jalan, misalnya.

Sekitar 1999, aku pindah-pindah. Dari Ciledug, sempat di Pamulang, terus sempat di Bojongsari. Lalu, menetap di Bogor, karena di tahun 1998 papaku kena PHK. Jadi, dia cari akses pekerjaan yang lebih gampang. Bagiku waktu itu, kerugian yang aku alami adalah aku jadi susah punya teman. Waktu itu aku baru kelas 1 atau 2 SD, posisi kakekku jadi penting karena dia yang menemaniku main, dia ikut pindah-pindah terus dengan keluarga kami.

Sampai, akhirnya, menetap di Bogor, masuk SD dan SMP, dari sana mungkin, ya. Pas di Bogor, karena waktu itu zamannya judi togel, orang-orang yang suka pasang judi togel itu menganggap aku pintar. Kalau ke orang lain, biasanya, kan, suka ditanya mimpinya apa. Kalau aku, dikasih angka, disuruh bantu ngecak kode, menghitung secara matematis. Dari situ, mereka sering cerita, dari mana mereka mendapatkan kode atau wangsit untuk judi-judi mereka itu. Mereka juga suka bertingkah aneh, ada yang memancing kodok, tidur di kuburan, atau makan bubur di pemakaman Cina. Semuanya yang mereka lakukan terkait sesuatu yang mistik. Kalau dipikir-pikir mirip kultus Pythagoras. Waktu itu, aku enggak punya opini apa-apa soal itu. Aku lihat mereka cuma abang-abangan, yang suka bercerita ke anak kecil.

Disiplin Menulis Selama Pandemi

Mengakui sangat mencintai dunia penulisan, dan kalau menulis “enggak bisa buru-buru”, Dio telah menerapkan disiplin menulis dan patuh dengan aturan yang ia buat untuk dirinya sendiri itu, dan begitu pula hal itu ia lakoni selama pandemi ini.

 

MICHELLIA

Oh ya, sebelum membahas lebih jauh tentang pengalaman masa kecilmu, dan bagaimana kamu mulai menulis, mungkin kamu bisa cerita, bagaimana kabarmu sekarang? Di masa pandemi ini, ada banyak banget hal yang berubah, mungkin kamu bisa ceritain apa saja yang kamu lakukan selama pandemi ini? Terkait dengan dunia penulisan, apa ada ritual menulis yang berubah? Termasuk juga, apa yang kamu rasakan terhadap pemerintah?

 

DIO

Kabarku baik dan aku sudah divaksin satu kali. Nanti hari Rabu, aku akan vaksin kedua. Kalau kegiatan sehari-hari, sebetulnya, pasti ada kegiatan yang berubah. Perubahannya enggak terlalu signifikan. Dari sebelum pandemi pun, kerjaanku memang cuma duduk doang. Duduk dan enggak ngapa-ngapain.

Paling lebih ke intensitas melakukan hal-hal di luar pekerjaan. Misalnya, kayak game atau menonton film, aku pilih yang semakin aneh. Kalau dulu, sebelum pandemi, aku cenderung cari film yang baru, mau menonton film yang belum pernah ditonton. Kalau ini, kan aku di kantor yah, isolasi di kantor (media Tirto), karena di kosku ada beberapa yang positif C-19 juga, jadi, di kantor ada aku, Beni Satriyo, Windu Jusuf. Kadang-kadang ada teman main, ada Gisela Swaragita, dia suka ke kantor, karena rasanya enggak ada tempat lain yang aman buat ngobrol selain di sini. Jadi, kami suka pilih film-film yang aneh. Maksudnya, yang dulu sudah pernah ditonton, kemudian ditonton lagi. Atau tahu-tahu maraton Death Race, 1 sampai 5. Dan, aku enggak tahu, ya, itu mungkin cuma wujud dari rasa frustrasi, bosan, dan segala macam. Tapi secara garis besar, hidup aku sudah ngebosenin sebelum pandemi. Jadi, kayaknya, ya udahlah.

Kalau untuk ritual menulis, sebenarnya juga enggak ada. Cuma, sebelum pandemi aku sudah disiplin. Maksudnya, aku berusaha mendisiplinkan diri untuk menulis. Misalnya, dulu sebelum pandemi, pas jam siang aku akan menulis sekitar 1 jam. Itu biasanya untuk riset. Terus, nanti pas sore, 2 jam aku pakai untuk menulis draf, atau apa pun. Malamnya, aku periksa, apa saja yang aku tulis dalam sehari itu. Terus, aku coba rapikan sedikit-sedikit. Walaupun itu draf yang kasar banget. Memang sebelum pandemi sudah seperti itu, rutinitas yang sudah aku lakukan sejak 8 atau 9 tahun terakhir. Sejak aku keluar rumah lah, pokoknya. Karena aku sudah enggak salat, sudah enggak punya ritual keagamaan yang berulang-ulang, jadi aku membiasakan diri untuk disiplin dalam satu hal. Minimal ada satu yang aku percaya, diriku bisa mengatur itu, take control of myself, yaitu waktu untuk menulis dan membaca.

Di masa pandemi ini, rentang bacanya jadi lebih banyak, menulisnya jadi lebih sedikit. Misalnya, aku bangun tidur, tahu-tahu aku lagi baca. Suka enggak sadar aja, kadang suka keluar dari jamnya. Siang-siang, tahu-tahu lagi ngelihatin jurnal. Muncul kegiatan-kegiatan random, yang sebelumnya aku merasa enggak kayak begitu. Itu aja, sih, paling.

Kalau olahraga, aku enggak suka olahraga. Itu buruk, ya? Iseng-iseng main skate, dan aku, kan, pernah patah kaki, jadi aku punya trauma kaki. Takut ngebayangin main bola, atau lari, eh ntar kaki gue copot. Main skate, tuh, senang aja. Karena dari sebelum patah kaki, aku pernah main skate, terus enggak pernah main lagi, sampai bertahun-tahun kemudian, dan baru berani main lagi, sekitar tahun 2017-2018.

 

MICHELLIA

Dalam menulis, tentu enggak cuma stamina yang perlu dijaga dengan olahraga. Kamu juga pernah bahas di Getscraft, kamu tipe penulis yang bisa menulis dengan gawai (gadget) macam apa pun, dan sembari menulis di ponsel, kamu dengerin musik. Boleh tahu musisi atau lagu favoritmu saat menulis? Tiap genre cerita beda penyanyi, atau bagaimana?

 

DIO

Aku pernah bahas soal ini di Twitter. Saat aku menulis, aku lebih banyak mendengarkan yang enggak ada vokalnya, yang instrumental aja. Musik game, tuh, membantu banget, sih, karena memang didesain buat konsentrasi, kan? Jadi, biasanya yang instrumental aja, yang penting enggak ada vokalnya. Kalau dangdut enggak ada vokalnya, aku bakal dengar juga.

Kalau soal menulis di device, karena untuk survive aja, dulunya. Dulu, kan, aku harus kerja yang cepat dan segala macamnya. Kebiasaan mengetik, dari zaman Android terus pindah ke iPhone, biar cepat. Lama-lama, itu jadi kebiasaan.

Kadang juga suka merekam suara sendiri. Kalau punya ide, biasanya direkam.

 

MICHELLIA

Trivia aja, nih. Kemarin, kan, pembukaan Olimpiade di Tokyo. Banyak game musik. Kamu bisa tebak semua enggak, lagu-lagu game itu?

 

DIO

Aku kemarin enggak nonton opening itu. Kebetulan ada kerjaan, bahkan enggak sempat nyobain main game yang ada di Google itu. Sayang banget. Tapi, kan, mereka punya archive. Mungkin nanti bisa diakses, mungkin hari ini, atau malam nanti. Kalau ada waktu, bisa sekalian menebak-nebak. Paling ada Chrono Trigger, Final Fantasy, yang aku kebayang lagu-lagu begitu. Kalau mereka lebih edgy, mungkin ada Metal Gear. Kalau yang banyak simfoni, kan, Final Fantasy Series atau Chrono Trigger.

 

Mulai Menulis Cerita Lewat Komik

Di bangku SD, mengaku menggandrungi berbagai tayangan di televisi saat kecil dulu, Dio mulai menemukan kesukaannya menggarap spinoff, penceritaan kembali dari produk kebudayaan populer yang dinikmatinya dari televisi.

 

MICHELLIA

Kamu, kan, suka main game. Ada RPG, game yang bercerita juga, dan banyak genre-nya. Artinya, mungkin kamu sudah sejak kecil banget, ya, pengin menulis? Bagaimana, sih, kamu memulai karier menulismu? Bisa cerita dari pengalaman menulis sebelum menjadikannya profesi, dan kapan kamu mulai pijakan profesional?

 

DIO

Iya, aku sering dapat pertanyaan ini. Tapi, aku sering enggak tahu, kapan sebenarnya? Pada dasarnya, aku suka banget komik, film kartun, dan terutama game. Dari kecil aku mengonsumsi banyak media yang tujuannya adalah untuk storytelling. Jadi, mungkin pengkondisian seperti itu yang bikin aku suka dengan cerita. Aku enggak tahu secara spesifik soal kapan.

Yang aku ingat, aku pernah bikin serial detektif sewaktu SMP, dan itu dibeli orang. Maksudnya, aku menjualnya. Rencananya adalah aku akan bikin cerpen setiap hari, terus aku akan jual dua ribu rupiah. Ternyata, enggak ada yang beli, karena mungkin enggak ada yang tertarik. Pas SMP, di zamanku, mading sudah enggak terlalu jalan. SD-ku, kan, di kabupaten, jadi dulu aku membayangkan, kayak di film-film, kalau di kota, mungkin madingnya isi cerpen setiap hari, ada TTS, atau ada apa. Pas SMP di kota, ternyata semua itu enggak ada.

 

MICHELLIA

Bukannya kamu di Bogor, ya?

 

DIO

Iya, SD-ku di kabupaten Bogor-nya. Dan lalu SMP aku sekolah di kota Bogor. Di SMPN 6 Kota Bogor. Dari rumah ke sekolah, tuh, lumayan jauh, sih.

Waktu itu, aku membayangkan pas SMP aku bisa menulis.

Jadi di SD, kan, ada komik ketengan. Ada komik-komik Dragon Ball bajakan, yang di-scan, difotokopi, terus dijual secara ketengan. Temanku yang jago gambar, pernah bikin komik iseng-iseng. Misalnya, jadi spinoff-nya Dragon Ball, atau spinoff-nya Satria Baja Hitam. Aku pikir aku senang bikin komik begitu, dan pas SMP aku pikir akan menemukan environment yang menumbuhkan bakatku di situ. Ternyata, enggak. Jadinya, ya, aku senang menulis sendiri aja.

Aku juga enggak mengerti kapan tepatnya aku suka bercerita. Tapi dari kecil aku punya kesadaran itu.

 

MICHELLIA

Sewaktu SD, kamu bikin komik itu, pakai tools komputer khusus, begitu? Atau menggambar sendiri?

 

DIO

Di kertas. Dulu pernah bikin parodinya Ultraman, lawan monster yang ternyata plot twist-nya monster itu dibayar si Ultraman untuk menghancurkan kota. Setelah menghancurkan kota, si Ultraman minta sumbangan. Nanti, hasilnya dibagi dua dengan si monster. Aku bikin itu sewaktu kelas 6 SD, bareng temanku.

Sebenarnya, yang enak dari saat SMP adalah aku tinggal di kota, dan akses untuk dapat komik lebih gampang, karena di Pasar Merdeka (dekat Stasiun Merdeka), pas aku keluar sekolah, ada ruko-ruko yang jual pernak-pernik dan toko-toko buku kecil non-Gramedia. Dulu, kan, sempat ada tren toko-toko kecil dan mereka jual komik juga. Dulu ada terbitan Cosmic, terbitan Indo, waktu aku kelas 3 SMP. Ada kompetisi komik. Dari situ, jadi tahu lebih banyak soal dunia perkomikan. Dan, terutama, storytelling.

 

MICHELLIA

Dari begitu banyaknya buku atau komik, adakah satu judul yang memantik kamu dan bikin kamu bilang, “Ah, gue pengin jadi penulis komik kayak begini, nih.”?

 

DIO

Detektif Kindaichi. Di Kindaichi juga, kan, ada banyak referensi detektif Eropa. Waktu itu, aku tahunya Sherlock Holmes doang. Dulu, di forum internet, ada pembahasan soal ini, katanya “Kindaichi, tuh, ternyata mengambil referensinya dari Agatha Christie.” Dan dari situ baru, “Oh, ternyata ada penulis yang namanya Agatha Christie,” dan seterusnya.

Karena, kan, sejujurnya akses novel di perpustakaan sekolah terbatas banget. Aku tahu ada Agatha Christie, tapi aku enggak pernah tahu kalau dia menarik. Misalnya, kayak begitu. Dari pertemuanku dan akses internet, jadi tahu, “Oh ternyata ini begini.” Begitu, sih.

 

MICHELLIA

Tapi 24 Jam Bersama Gaspar itu enggak sekonvensional cerita-cerita detektif biasanya, ya? Kasusnya pun problem solving-nya juga beda.

 

DIO

Itu, kan, sebenarnya novel yang harusnya jadi parodi, dilihat secara ironic gitu. Aku enggak mendesain itu untuk membuat orang jadi suka cerita detektif. Aku lebih fokus ke detektif yang mengeksploitasi keinginan, the deepest desire, yang lebih gelap. Arahnya lebih ke begitu. Seperti cerita Héctor Belascoáran-nya Paco Taibo, penulis dari Meksiko.

 

Pertemuan dengan Game dan Internet

Sebagian besar orang memiliki kepercayaan absolut tentang apa yang mereka sudah percayai sejak lama. Dio memilih bersilangan jalan dengan orang-orang itu. Seiring bertambahnya informasi baru yang diaksesnya melalui internet, Dio memilih untuk merevisi beberapa pandangannya yang usang.

 

MICHELLIA

Di awal, kamu membahas tentang abang-abangan judi togel. Kalau opinimu sekarang soal interaksimu saat kamu kecil itu, bagaimana?

 

DIO

Seru-seru aja, sih. Opiniku sekarang, “Oh, ya. Ternyata kayak gitu.”

Jadi aktivitasku waktu kecil banyaknya di rumah, dengan adikku. Lebih banyak menonton TV. Kalau berteman, sama bapak-bapak atau kakak-kakak yang suka judi togel itu. Jadi, apa pun yang ada di tayangan TV swasta saat itu, aku tonton semua. Yang penting, pulang sekolah, nonton TV. Makan, nonton TV. Bangun tidur, aku enggak pernah tidur siang, sambil nonton TV. Dipasangin TV sebentar buat tidur, tapi malah enggak tidur, malah nonton. Sore-sore, nonton telenovela sama Nenek. Malam-malam, nonton sinetron apa aja. Banyak banget nonton TV.

Kebiasaan itu bertahan sampai aku kelas 6 SD, sudah ada Playstation 1 waktu itu, sudah ada rental di dekat rumah, aku suka main ke sana. Aku jadi ingat, kalau dulu waktu kecil aku suka main Nintendo. Perasaan senang itu muncul lagi. Sewaktu aku main PS, aku jadi sering keluar. Terus, papaku jadi memperbaiki playstation, dibawain untuk aku biar main di rumah. Aku baru punya PS sendiri waktu kelas 2 SMP. Jadi, dari kelas 6 SD-2 SMP, aku di luar, main PS. Kenal sama game-game RPG.

Ini yang menarik. Cara pikirku banyak terpengaruh dari masa-masa ini, saat aku merasa dunia game keren banget. Jadi, kalau aku ingat-ingat, kalau kita main Mario, Super Mario Bros, misalnya.

 

MICHELLIA

Itu waktu kelas 1 SD, kita mainnya.

 

DIO

Misalnya kayak begitu.

Kita main, Mario jatuh kecemplung di lubang. Kita enggak bakal bilang, “Eh, sialan, Mario gue mati.” Kita bakal bilang, “Sialan, gue mati.”

Game itu sangat imersif buat aku waktu itu. Jadi, aku bisa membayangkan aku betul-betul tokoh di game itu. Kurasa, itu juga kebiasaan banyak orang yang main game. Misalnya, sewaktu dia main game, dia enggak bakal bilang karakternya yang mati, dia bakal bilang dia yang mati di dalam game. Menurutku, itu jadi kunci penting bagiku. Waktu itu belum kepikiran begini tentu. Tapi, aku merasa, setelah aku ingat-ingat, kenapa aku suka bikin karakter, aku bikin map, timeline, juga world building, kemudian, kenapa aku bisa punya kebiasaan begitu, justru dari RPG. RPG membantu aku untuk berpikir secara sistematis. Karena rules-nya jelas. Perbedaan karakter-karakternya signifikan. Itu kenapa aku punya semacam obsesi untuk bikin karakter-karakter baru. Kayak di Gaspar, kan, banyak banget karakternya.

Jadi, RPG membantu aku untuk bikin dunia yang sistematis dan bikin aku nyaman, merasa aman ketika memikirkan cara bercerita itu. Dari situ, muncul ketertarikan, di usia 18-19 tahun, minat terhadap teknologi. Terutama soal sejarah-sejarah. Seperti sejarah Soviet, soal bagaimana mereka bikin teknologi. Cuma, waktu itu masih agak biased. Karena apa yang aku bisa dapat saat itu adalah buku-buku yang ditulis oleh orang-orang antikomunis, atau orang-orang yang anti-Lenin/anti-Stalin, anti-Soviet secara umum. Buku-buku itu masih ada ketika aku berumur 20-an.

Jadi, aku lebih melihat zaman Perang Dingin, Amerika lebih keren daripada Soviet. Kemudian, internet ini berkembang luas, dan ada banyak informasi yang bisa aku dapat, aku akhirnya merevisi pikiran itu dan mulai concern ke teknologi yang obsolete.

 

MICHELLIA

Kapan kamu mulai merevisi pemikiran ini?

 

DIO

Di atas umur 20. Mulai tertarik untuk mempelajari sejarah yang bukan versi Barat. Karena lebih menyambung ke sana, tentang cyberspace, aku mulai ngulik-ngulik di situ. Bagaimana cara menggunakan teknologi yang lebih berguna buat banyak orang? Yang aku ingat, sekitar 2011-2012, “Inilah yang aku cari-cari selama ini.”

 

Menulis dengan Medium Digital

Kehadiran digital Dio barangkali dapat disamakan dengan bagaimana Omi Intan Naomi mengisi blognya di Geocities dengan berbagai informasi yang menyangkut ketertarikannya.

Sementara itu, bagi sebagian besar generasi Dio, blog ataupun forum penulisan yang marak kala itu, seperti Kemudian.com, menjelma semacam laboratorium kepenulisan.

Di era internet, bacaan bermutu hanya sejentikan jari di layar. Dengan akses yang begitu luas, Dio mengaku cukup rajin untuk mencari referensi buku dan penulis baru, “Aku lebih suka mencari tahu, penulis yang aku suka menyukai siapa, nanti baru aku cari tahu lagi,” dan begitu juga membagikan tulisan-tulisan terbarunya di medium digital.

 

MICHELLIA

Kamu bikin blog sejak kapan, sih?

 

DIO

Sudah lama. Dari zaman Multiply, 2010an-2011. Aku blogging rutin sekitar tahun 2010an. Sebelumnya cuma lihat-lihat aja. Kalau pun harus baca informasi, ya tentang game yang aku main. Waktu SMP, aku main Ragnarok Online. Beberapa tahun belakangan mulai switch pandanganku tentang cerita-cerita itu, soal teknologi yang dikembangkan Soviet saat itu. Aku mulai cari tahu, apa yang mungkin bisa jadi cerita yang lebih segar. Waktu itu, aku belum ketemu jawabannya, tentang kenapa Soviet selalu dikaitkan dengan Komunisme. Kenapa free market enggak? Padahal free market dan kapitalisme bisa jadi cerita distopia yang jauh lebih buruk.

Kenapa jarang banget ada yang bikin wujud penerimaan mereka terhadap pasar, melahirkan individu yang menyerah, kayak di Cyberpunk, justru mengembalikan mereka ke ranah yang lebih aristokratik, kayak Steampunk? Genre-genre yang justru melebur.

Jadi, jawaban tentang dunia yang baik, tuh, enggak ada di dalam skema itu. Kenapa? Pertanyaanku lebih ke situ, yang bikin aku terus menunda-nunda untuk bikin cerita fiksi ilmiah.

Kalau ditanya soal itu, tradisi menulis yang aku jalani, ya, lewat itu. Aku berusaha untuk merevisi sendiri pandanganku dan aku enggak keberatan kalau ada orang yang lebih tahu, dan bikin aku berpikir, “Oh, itu make sense.”

Itu alasan kenapa baru sekarang berani menulis scifi. Ada beberapa pertanyaan yang aku baru sekarang bisa ketemu sedikit-sedikit jawabannya, dan ada catatannya juga. Oh, kayaknya aku merasa sudah cukup, jadi mencoba yang baru.

 

MICHELLIA

Makanya sekarang kamu mulai menulis sci-fi cli-fi begitu, ya.

 

DIO

Imajinasi tentang hi-tech itu memang keren banget, sih. Kalau aku umur belasan, masih remaja, aku melihat Blade Runner, dengan hologram dan semua itu, bakal keren banget.

Sementara, untuk yang membicarakan alam, atau pandangan yang menjaga bumi, mereka cenderung anti-civilization atau anti-peradaban. Membayangkan kehidupan bergaya pastoral. Imajinasi Amerika, padang rumput luas, orang memelihara kuda. Membosankan…

 

MICHELLIA

Transendentalisme ala Ralph Waldo Emerson. . . .

 

DIO

He eh. Apa istilah dia? Self-reliance?

Dan, kenapa harus kayak begitu? Kenapa enggak ada imajinasi yang lain? Kalau mau diterapkan di sini, kita kan enggak punya. Ya, mungkin punya imajinasi reaksioner kayak begitu. Cuma, itu pertanyaan yang harus aku jawab: apa aku mau masa depan yang individualis kayak begitu?

Yang kedua adalah, lebih ke pertanggungjawaban ke diriku sendiri.

 

MICHELLIA

Petualanganmu periode SMA, lulus SMA, ke masa usia kuliah, itu petualanganmu untuk merevisi berbagai pengetahuan dan sejarah. Itu, kan, perihal substansi.

Kalau soal medium, anak-anak sekarang lebih pakainya medium digital. Kamu sempat menyebut beberapa kali, di blog atau di wawancara kamu bilang enggak bakal nerbitin buku kalau enggak ada Dea Anugrah. Kamu sebelumnya berpikir untuk cukup menerbitkan karya di blog saja. Bagaimana pandanganmu terkait penerbitan? Bagaimana keterlibatan Dea sehingga kemudian kamu, “Oke, mau nih, diterbitin,” dan akhirnya, diterbitin terus?

 

DIO

Sebelumnya, aku cuma ngeblog. Dulu, aku enggak ada terpikirkan format buku. Karena aku menikmati fanfiction, anime/manga, itu kebanyakan dalam format digital. Jarang banget ada fanfiction yang bisa aku akses bukunya (malah kayaknya enggak ada?), kalau ada itu mewah banget buatku. Saat aku sekolah, aku berpikir, aku cuma senang kayak begitu.

 

MICHELLIA

Tapi tadi kamu bilang waktu SMP kamu mau jualan, tuh, satu cerpen, dua ribu rupiah sehari. . . .

 

DIO

Ya, kan enggak laku. Haha. Waktu itu aku belum kenal banget internet, aku enggak pernah tahu ada dunia tulis-menulis, sastra, atau apalah. Terus, ya, di kemudian hari, yang aku tahu kalau mau menulis, ya menulis di blog saja. Kalau mau baca, ya silakan. Kalau enggak, ya enggak apa juga.

Jadi, ya, enggak kepikiran ide tentang mengirim cerpen ke redaktur koran.

 

MICHELLIA

Enggak pengin duit dari koran? Diganjar sejuta rupiah, loh, untuk satu cerpen.

 

DIO

Aku bahkan enggak tahu kalau nerbitin cerpen itu ada duitnya juga. Aku benar-benar ada di dalam bubble-ku yang jauh dari sastra Indonesia. Aku sebenarnya saat itu enggak terlalu peduli juga, sih.

Yang aku tahu, kalau mau cari uang, ya kerja saja, di agency, atau jadi ilustrator. Itu pekerjaan.

Sampai kemudian aku suka baca cerpen koran, yang versi digital. Dulu ada blog-blog yang mengumpulkan cerpen dari koran. Atau, dulu di Multiply juga suka ada orang-orang yang me-reupload cerpen-cerpen di Multiply atau di Tumblr. Aku kemudian baru tahu ternyata dunia yang diomongin guru Bahasa Indonesia ini ada dan serius. Sejujurnya pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah kan bikin sastra jadi cuma formalitas, numpang lewat aja.

 

Dari Dunia Digital ke Dunia Cetak

Dengan hadirnya banyak platform yang memungkinkan suatu teks bertahan di ranah digital tanpa perlu dicetak ke medium kertas, tentu menerbitkan karya menjadi suatu buku cetak membutuhkan logika berpikir tersendiri di kalangan anak muda hari ini.

 

MICHELLIA

Jadi, kamu benar-benar anak blog lah, ya.

Terus, bagaimana bisa sampai ditemukan oleh Dea? Atau menemukan Dea?

 

DIO

Dea, nemunya dari blog. Jadi, ada teman Dea kerja di Moka. Salah satu pekerja di Moka adalah pembaca blogku.

 

MICHELLIA

Siapa, tuh?

 

DIO

Aku lupa namanya. Sebentar, aku ingat-ingat. Ah, Wulan. Namanya Wulan.

Waktu itu Dea nanya, “Ini mau diterbitin atau enggak?”

Terus, “Ya, ya udah. Kalau mau diterbitin, ya udah.”

Dan waktu itu novel pertama itu judulnya masih aneh banget. Judulnya Sendok. Aku, kan, menulis di blog. Jadi, menurutku medium menulis di blog itu, ya, buat lucu-lucuan aja gitu. Jadi, judulnya Sendok, dan ya, keyword-nya, ya, apa aja. Terus, Moka Media rupanya tertarik menerbitkan novelnya, ya, dari situ, sih.

Karena berangkatnya dari situ, aku jadi berteman dengan Dea. Kami banyak ngobrol, aku juga jadi banyak input tentang editorial dan kepenulisan. Banyak tukar-tukaran rekomendasi. Ngobrolin hal-hal di dunia kepenulisan.

Dengan metode yang aku merasa nyaman. Terutama itu, sih, aku merasa nyaman.

Apakah penting untuk berteman untuk editor? Penting banget buatku. Untuk manuskrip buku puisi terbaruku, Nektar, naskah itu diedit Syarafina Vidhyadana. Itu pengalaman editing yang menurutku menyenangkan, meski lama banget waktu yang dibutuhkan untuk mengedit. Hampir setahun. Dan itu bukan karena mengeditnya susah. Itu karena kami sama-sama mencari waktu luang.

Aku merasa santai, dan jadinya lebih masuk. Misalnya, editor tidak suka dengan tulisanku, ada waktu bagi dia untuk mengelaborasi. Aku juga punya waktu untuk merevisi.

Metode yang sama aku terapkan sewaktu aku jadi editor di Berita Kehilangan, itu jadi behavior yang enggak bisa hilang. Penulisnya mungkin bingung mau menulis bagaimana, beberapa cerpen agak susah terbaca. Aku tahu gagasannya apa, tapi struktur kalimatnya atau caranya bercerita menyulitkan untuk penyampaian. Jadi aku approach penulisnya, aku ajak mengobrol. Aku menyertakan catatan. Aku senang melakukan itu.

 

MICHELLIA

Bersahabat banget, ya. . . .

 

DIO

Beberapa memang sudah jadi penulis profesional. Mereka sudah tahu mau bagaimana ABC-nya menulis. Tapi, ada beberapa yang gagasan atau premisnya bagus, dan perlu pengolahan lagi.

Aku enggak percaya kalau hanya karena tanda baca yang salah atau karena typo, maka tulisan jadi jelek. Atau, soal kalimat terbalik-balik, paragraf terbalik-balik—aku enggak percaya hal-hal itu bisa mengindikasikan tulisan jadi jelek atau bagus. Aku lebih percaya, aku baca dan bisa meraba-raba apa mau penulisnya. Kalau aku pikir itu bisa digarap, ya bisa diselesaikan bareng. Soal teknis, kan, urusan kesekian dari keseluruhan proses menulis.

Perkara hal-hal teknis begitu, aku tidak terlalu memusingkan. Dari awal, aku tumbuh bukan sebagai penulis yang lahir dari hal-hal teknis. Aku cuma punya apa yang aku pikirkan, dan aku tulis.

Dan ketika Dea menemukan itu, Dea mengisi gap teknis itu.

 

Editor yang Menjelma Karib Menulis

Dari kolaborasinya sebagai editor-penulis, Dio-Dea melanjutkan interaksi mereka dengan membagi semesta fiksi bersama dan saling berbagi bacaan.

 

MICHELLIA

Teknis yang kamu maksud diisi oleh Dea ini, kayak bagaimana, misalnya?

 

DIO

Kata yang typo, atau kalimat yang subjeknya terbalik. Atau titik yang salah. Atau cara bikin paragraf. “Mestinya enggak begini, nih.” Nah, hal-hal yang kayak begitu.

Dea percaya aku punya hal yang bagus tentang novelku, tapi aku harus membenahi skill-ku menulis. Dan dia memberi aku kepercayaan untuk itu, dan aku jadi, “Oh, ya udah, oke, aku akan belajar juga untuk kayak gitu.”

Dan aku pikir, kalau sejak awal prinsipnya adalah “menulis yang bagus adalah kalimat beres”, mungkin aku enggak bakal ada di sini.

Ya, aku ya cuma punya ini. Kemudian aku bisa belajar hal baru tentang kepenulisan, itu berkat orang lain mau mengajarkannya ke aku. Aku juga menerapkannya di penyuntingan buku Berita Kehilangan.

 

MICHELLIA

Tadi kamu cerita soal pengaruh teknis. Sebenarnya, ya, kalau teman-teman melihat, interaksimu dengan Dea melampaui itu. Masuk ke novel pertamamu aja, misalnya. Kamu dan Dea, kan, berbagi semesta fiksi. Ada tokoh bernama Arthur Harahap, di novel pertamamu, tokoh itu jadi penulis suatu judul buku Yang Terbaik Adalah Tidak Ada yang Terbaik. Semesta fiksi ini hadir di karyanya Dea juga.

Kami tahu, kalian sama-sama menggemari Arthur Schopenhauer. Apakah ada kaitannya dengan itu?

Terus, apakah dengan semesta fiksi yang saling terkait ini, kalian merencanakan sesuatu?

Dan jika iya, di karya luar, kan, ada karya-karya kanon, seperti karya Arthur Conan Doyle, yang lantas ada banyak fanfiction-nya. Atau seperti semesta Lovecraftian-nya H.P. Lovecraft dengan cosmic horror-nya, katakanlah. Menimbang itu, apakah penulis lain boleh nimbrung, menggunakan Arthur di karya mereka, dan membawa cerita itu ke ujung yang berbeda dari yang semula kalian bayangkan? Atau kalian sudah punya gambaran besar?

 

DIO

Buat ngomongin Arthur Harahap, kita harus kembali ke konsep dasar Arthur Harahap yang aku buat, sebelum aku ketemu Dea.

 

MICHELLIA

Oke, ceritain versi kanonnya.

 

DIO

Jadi, pas zaman sekolah, kayak aku bilang, aku tidak selalu terpapar sastra Indonesia. Yang paling dekat, mungkin, Chairil Anwar atau Idrus. Karya-karya yang bisa aku dapat di perpustakaan. Atau, karya itu diomongkan oleh guru sastra Indonesia. Kira-kira kayak begitu.

Apa yang biasanya aku baca dan aku temui tentang sastra Indonesia lahir dari kanon-kanon yang dibicarakan guru bahasa Indonesia, atau yang dibahas di forum-forum internet di atas tahun 2010an, kayak Kaskus atau blog kritikus dan reviewer buku. Saat itu, nama-nama yang sering muncul kayak Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang. Aku ingat di sekitar tahun 2011, gempar banget cerita Seno Gumira Ajidarma, yang Sepotong Senja untuk Pacarku. Karya itu terkenal banget di jagat internet, karena mindblowing. Tulisan mereka diceritakan ulang, atau dianalisis secara mendalam.

Dan di saat yang sama, karena aku lebih dekat dengan dunia game, itu adalah era saat aku benar-benar memikirkan soal Avatar—manifestasi manusia di dalam ruang digital. Si Avatar ini punya sejarahnya sendiri, kayak karakter-karakter di RPG, punya identitas baru, punya pengalaman dan alam pikir yang konsisten dengan pengalaman hidupnya. Terus, dari situ, aku terpikir menyambungkan tren sastra Indonesia yang populer; cowok, Jawa, atau dari suku semacam itu, dan juga suka mengutip jurnal dan nama-nama penulis luar negeri, namanya juga nama yang agung. Kayak Goenawan Mohamad, itu kan nama yang seolah kamu dilahirkan buat jadi seorang penulis.

Aku jadi membayangkan, bagaimana kalau ada penulis Indonesia juga, dengan ciri yang sama. Namanya maskulin dan agung, pintar mengutip nama-nama Barat dan istilah obscure, punya banyak karya tapi namanya enggak pernah terdengar. Namanya tenggelam, dan enggak masuk kanon. Atau, karena dia kurang kompetitif. Atau karena satu dan lain hal, nasibnya buruk. Dan segala macamnya. Jadi, si Arthur enggak masuk kanon dan dilupakan.

Bagaimana kalau ada penulis seperti itu? Lalu, dia revive lagi ketika era internet mulai masuk ke Indonesia. Namanya revive, dan orang-orang mulai ketemu namanya, dan diunggah. Tapi, lagi-lagi, karena enggak ada yang kenal namanya, jadi dia dilewatkan begitu saja.

Posisinya, aku membayangkan manifestasi Arthur Harahap di dalam dunia internet ini, sudah lama mati, bahkan kita enggak tahu juga ada atau enggak. Karena orang mengunggah karya dengan namanya, dan membicarakan dalam skala yang kecil, Arthur Harahap beneran ada. Semua orang yang enggak pede menerbitkan cerita, akan pakai Arthur Harahap sebagai nama pena mereka. Jadi, orang-orang bekerja sama mengumpulkan, mengarsip karya Arthur Harahap. Yang mana enggak dianggap penting. Jadi, terus, kayak.. orang-orang ini ngapain, sih?

Jadi, ya, Arthur Harahap ini jadi kayak karakter parodi. Dikesankan dia memenuhi semua stereotip penulis besar Indonesia, yang waktu itu aku tahu. Terus, dia mengamplfikasi sekularisme. Dia suka mengomel kalau melihat anak-anak muda liberal, padahal dia sendiri yang mempromosikan liberalisme. Orang tua yang merongseng sendiri apa yang dia lakukan sendiri.

Namanya aku masukkan di novel Kamu, terus Dea ketemu itu, “Wah, konsepnya menarik, nih.”

Dea pernah baca di tempat lain, ada yang menggunakan teknik yang sama, lalu dia memberi rekomendasi. Dari situ kami diskusi, awalnya namanya Arthur S. Harahap. Biar kayak Udo Z. Karzi, Puthut E.A., atau A.A. Navis. Tapi Dea enggak setuju, katanya, “Ribet.” Akhirnya, singkatan nama itu dihilangkan.

Aku lebih tertarik karena Dea memberi aku beberapa bacaan yang akhirnya membuka peluang mengembangkan karakter itu lebih jauh. Awalnya, enggak ada rencana Dea bakal merespons Arthur Harahap, atau aku merespons Rudi Rodom di novel terbaru Dea.

Itu terjadi karena aku membaca tulisannya dia, dan rasanya asyik kalau aku bikin juga. Jadi awalnya enggak ada plan besar. Atau kayak pembentukan band fiktif yang anggotanya fiktif semua. Lebih ke perayaan, bikin senang diri sendiri. Iseng, bagaimana kalau ternyata dulu Arthur Harahap adalah tokoh yang seperti ini? Bagaimana kalau Rudi Rodom dulunya anggota Golkar?

 

MICHELLIA

Kalau kemudian karakter tokoh Arthur ini dibelokkan sama sekali?

 

DIO

Enggak apa. Konsep awalnya sangat fluid. Jadi, kalau ada yang bikin Arthur Harahap adalah peternak gurame di Cirebon, enggak apa.

Itu justru akan bikin lebih seru, dan menambah dimensi si Arthur Harahap, tentang siapa, dan akhirnya orang tahu sebenarnya dia karakter fiktif aja.

 

Dari 24 Jam Bersama Gaspar ke Karya Selanjutnya

Dalam enam tahun sejak karya debutnya beredar, Dio tidak hanya menerbitkan empat buku tunggal lainnya, dan berbagai terbitan kolaborasi, tetapi juga diganjar berbagai penghargaan prestisius. Pada 2019, Majalah Tempo memilih Dekat & Nyaring sebagai karya sastra prosa terbaik 2019 dan Dio pun terpilih sebagai Tokoh Seni Pilihan Tempo di tahun yang sama. Novelnya 24 Jam Bersama Gaspar juga sedang dalam proses difilmkan oleh Yosep Anggi Noen. Bagaimana Dio memandang “anak-anak rohani”-nya ini?

 

MICHELLIA

Sementara itu, buku keduamu, 24 Jam Bersama Gaspar, bakal dan sedang difilmkan oleh Yosep Anggi Noen. Selamat, ya. Seberapa jauh kamu terlibat dalam pembuatan film ini? Kudengar, Irfan Ramli jadi penulis skenarionya. Apa ada pilihan sinematik yang kamu bisik-bisikkan ke mereka?

 

DIO

Enggak, sih. Aku serahkan semua ke mereka. Karena di saat bersamaan, aku sedang menggarap Mongrel. Dan aku sudah move on dari Gaspar, terserah mau diapakan. Mau referensi sinematiknya kayak apa, atau cerita kayak gimana. Tapi nanti aku bakal baca juga, supervisi interpretasinya Irfan. Kalau terlibat secara langsung, enggak. Aku menyerahkan kepercayaanku kepada mereka.

 

MICHELLIA

Kalau prosesnya sendiri, bagaimana penggodokannya sehingga novel ini yang terpilih?

 

DIO

Aku juga enggak tahu.

Waktu Irfan ngobrol sama aku, yang dia tawarkan adalah 24 Jam Bersama Gaspar. Jadi, mereka punya ide, “Saya tertarik dengan novel Anda. Yang ini, tapi.”

“Oh ya udah, silakan aja.”

Dan ada Mojok, Mojok aku libatkan sebagai semacam agency. Jadi aku juga enggak perlu pusing memikirkan deal-deal-nya dan segala macam. Aku serahkan ke Mojok, semuanya. Aku mau fokus ke novelku yang terbaru. Biasanya kalau aku lagi asyik, aku lupa. Jadi, aku takut kalau aku ikut-ikutan, justru bikin prosesnya lebih susah.

 

MICHELLIA

Kamu malah tipe orang yang terlibat bangetnya di pengerjaan bukumu, ya. Maksudku, ini kan alih wahana.

Sementara, kalau untuk proses pengerjaan buku, buat sampul buku terakhirmu Dekat dan Nyaring, kudengar juga, ilustratornya diganjar mahal, ya? Kenapa kamu sangat punya ketertarikan visual tertentu? Bahkan sedari buku pertamamu, ada teman-teman ilustratormu yang terlibat, ya?

 

DIO

Itu gara-gara aku dekat dengan dunia visual grafis. Kerjaanku di situ dari dulu. Website dan visual.

Teman-temanku banyak di bidang itu, orang-orang yang aku kagumi banyak di bidang itu. Aku kerja di sana, jadi aku merasakan problem di dunia itu, terutama soal desain cover buku, atau ilustrasi dalam buku. Misalnya, kasus sepele, satu penerbit meng-hire ilustrator untuk bikin satu cover dan dibeli putus, bukunya dicetak seribu, setelah bukunya habis dan masuk cetakan kedua, ada beberapa kasus ilustratornya enggak dapat bayaran lagi, dan aku pikir itu aneh. Karena kalau cetakan kedua dan seterusnya masih pakai yang sama, harusnya desainer dapat uang juga. Problem kayak gitu.

Belum lagi kalau kliennya resek, misalnya minta revisi aneh-aneh, ngasih brief enggak jelas, kurang lebih aku mengerti susahnya menjadi desainer di sini. Terutama, ketika kamu ada di tempat orang-orang yang menggampangkan pekerjaan kamu, menggampangkan orang mendesain. Kamu ilustrator yang fokus ke fisik manusia, gambar-gambar manusia, tapi kamu tiba-tiba disuruh bikin logo. Menurutku itu aneh banget.

Aku ada di bidang ini, aku ingin mengapresiasi orang yang kerja di bidang ini.

Lagipula juga, karena ngobrol dengan ilustratornya, aku tahu visi dia tentang ceritaku kayak bagaimana, dan aku bisa memberi masukan, jadi lebih seru buat ngobrol-ngobrolnya.

 

MICHELLIA

Untuk karyamu selanjutnya, beberapa kali kamu posting di Twitter, kamu bilang bakal bikin karya sastra dalam wahana game. Minatmu juga—orang-orang tahu—luas banget, dunia tulis-menulis, game, visual grafis, musik juga—kamu bikin musik sama Galih Nugraha Su—belum lagi bikin boneka dinosaurus kemarin itu, eh boneka Godzilla ding.

Jadi, apakah ada proyek game yang sedang atau akan berjalan? Atau, yang sudah kamu rencanakan?

 

DIO

Iya, ya, aku jadi mikir, banyak banget yang aku kerjain. Aku suka banyak hal, jadi aku kayak bingung menjelaskan. Anyway.

Proyek yang lagi jalan, yang belakangan, aku lagi kepikiran bikin bot AI yang bisa men-generate haiku dari lirik-lirik Iwan Fals. Sebenarnya ide ini dari Beni. Beni membayangkan, gimana caranya bikin Twitter bot, tapi kita enggak usah nge-twit, dia nge-twit otomatis. Jadi, aku kasih contoh beberapa yang sudah aku bikin.

“Oh, bisa, kayak gini. Tapi gue maunya lirik Iwan Fals, tapi haiku,” kata Beni.

Jadi aku ngerasa, kayaknya seru, nih. Jadi bisa mengulik-ulik juga. Di saat yang sama aku lagi belajar tentang artificial intelligence yang didesain untuk menulis novel atau fiksi. Proyek itu open source, aku bisa utak-atik juga. Yang pertama aku pikirkan, mau coba. Dulu aku pikir mau bikin dari karya-karya GM, karena GM arsipnya paling lengkap, PDF-nya banyak, dia juga punya tipikal, tulisannya ada pattern-nya, kita tahu dia bakal menyebutkan apa, apa, dan apa. Dia bisa diprediksi. Jadi, karena dia bisa diprediksi, ada kemungkinan aku bisa bikin AI yang menirunya. Itu yang kepikiran, terus diutak-atik.

Tapi, Beni kasih ide kayak gitu. Lah iya, ya, kenapa harus GM? Kenapa bukan Iwan Fals aja? Ya sudah, ganti Iwan Fals. Aku post di FB, ada satu hasil generate-nya.

Sebenarnya enggak ada proyek yang harus jadi. Aku takut malah, kalau satu proyek kujadikan hal serius, jadi profesi aku, mungkin aku sudah enggak sesenang itu lagi. Jadi kepikiran ke situ.

 

MICHELLIA

Bikin game ini enggak satu orang, ya. Game developer, kan, ada banyak banget orang. Game narrative, game designer. Jika membuat game, kamu akan memposisikan dirimu sebagai apa? Apakah kamu belajar programming juga?

 

DIO

Pertama kali aku tertarik tentang proses bikin game tahun 2012, ada game Runescape, seru banget sistemnya. Di Youtube waktu itu lagi ada populer Stickman On Crack, stickman gerak-gerak. Dari baca-baca, katanya dia dibikin pakai flash. Terus aku yang kayak, oke, aku akan belajar flash. Game pertamaku game format flash. Setahuku beberapa web browser-ku sudah enggak mendukung web flash. Di tahun 2015an, aku mulai belajar mengoperasikan game engine, Unity. Pengin nyobain text base kayak Zork, waktu itu bikin game text base, game chat dan segala macam, bikin yang rougelike, pakai ASCII. Karena, walau aku suka gambar, gambar tanganku jelek banget. Jadi, aku lebih nyaman dengan format ASCII dan 8bit. Karena aku cuma perlu mencari simbol yang merepresentasikan apa yang aku pikirkan tentang objek. Enggak usah memikirkan bentuk detailnya dan segala macam. Jadi ya sudah, fokus ASCII saja. “Eh, ini, bentuknya kayak tamiya, oke itu tamiya.”

 

MICHELLIA

Iya, sih. Lebih ke menghafal kode-kode ASCII-nya, ya.

 

DIO

Iya, akhirnya lebih ke situ. Aku enggak pernah punya proyek yang serius banget soal game. Aku menjalani ini lebih ke karena aku senang saja. Senang cerita, seneng bikin karakter, seneng mengulik basic coding. Sejauh ini, aku belajar Unity, dan kemajuannya tentu saja tidak signifikan. Karena sambil iseng mengerjakannya. Tapi, aku mungkin bakal menerapkannya untuk pertama kali di buku puisi yang lagi aku garap.

 

MICHELLIA

Buku puisi Nektar ini, ya. Kalau soal buku puisi, aku ingat banget, dalam salah satu wawancara, kamu bilang, puisi bukan bidangmu. Mengapa kemudian sekarang kamu bikin ASCII art, dalam bentuk puisi, dan akan menerbitkan buku puisi?

Terus, kamu kan rencananya akan menerbitkan buku puisi dalam bentuk ASCII art, terus ada tata letak tepi seperti cetakan mesin faks… blogmu juga, aduh, retro banget, sih. Sepertinya teknologi retro itu banyak banget mempengaruhi inspirasi artistikmu. Pandanganmu soal semua ini, bagaimana?

 

DIO

Yang pasti, aku berangkat dari. . .di awal, aku pikir itu keren dan kayaknya akan bikin aku seneng.

 

MICHELLIA

Ya, jawabanmu di wawancara lain juga begitu. Karena berangkat dari kekerenan.

 

Dunia Komputer yang Memesona

Seandainya Dio punya kesempatan untuk mendalami satu bidang, maka bidang itu adalah ilmu komputer. Dia berbagi kecintaan yang sepadan dengan dunia komputer seperti halnya para penulis dunia di genre fiksi ilmiah, sebutlah John F.X. Sundman dengan seri novelnya Mind Over Matter.

Untuk pekerjaan sehari-hari yang dilakoninya, pada awalnya Dio menggunakan keterampilan HTML untuk melamar pekerjaan pertamanya, dan itu terus berlanjut hingga hari ini. Saat ini, Dio bertanggung jawab sebagai manajer multimedia untuk perusahaan media Tirto.

 

DIO

Tapi, apa, ya, aku cerita sedikit, papaku dulu punya kerja sampingan. Dia kerja sebagai pegawai, tapi kalau di rumah dia punya toko servis alat-alat elektronik. Waktu itu, di Tangerang tahun 1996an, kami masih pakai TV tabung. Hampir semua mainan yang aku punya saat itu—dari SNES, Nintendo Family yang kotak, gamewatch, tamagochi, dan segala macamnya—adalah benda-benda elektronik yang diservis di tempat papaku.

Ada beberapa yang enggak ditebus, karena kemudian masuk 1998, orang-orang enggak mampu untuk menebus benda-benda itu, dan ada urusan lain yang lebih genting, atau apalah, aku enggak tahu. Jadi, waktu itu, banyak banget benda-benda yang kemudian ada di rumah. Di rumah, benda-benda itu jadi menumpuk kayak sampah.

 

MICHELLIA

Ayahmu ngapain, sih? Kok, kerja sampingannya itu? Dia mendalami bidang Teknik Elektro?

 

DIO

Dia teknisi, ahli kelistrikan. Di zaman itu, aku jadi ikut-ikutan tertarik dengan device elektronik yang bisa aku jumpai seperti tamagotchi, gamewatch, laserdisc, bahkan diajari menyordel. Akhirnya, aku jadi baca modul-modul radio, dan tape, juga modul-modul TV tabung. Meski aku enggak ngerti, tapi kan ada gambar-gambarnya, ada gambar sirkuit—sirkuit TV tabung SONY, aku ingat ada gambarnya, dan ada kayak peta gitu. Dari situ.

Bahkan, karena. . .aku, kan, enggak bisa diam, jadi walau ada banyak mainan elektronik yang bisa aku mainkan sesuai usiaku saat itu, aku nyobain yang lain. Misalnya, sampai yang paling fatal, aku pernah mencolokkan obeng ke colokan.

 

MICHELLIA

Parah. Pasti kesetrum itu.

 

DIO

Kesetrum, terus aku lompat dan nangis. Kayak begitulah.

Sampai aku kemudian dewasa, aku kenal komputer, aku merasa jangan-jangan ini mainan aku yang paling benar. Jangan-jangan aku suka ini. Jadi, mungkin itu asal mula aku tertarik dengan komputer. Komputerku dulu juga bekas servisan orang.

Ada yang lagi benerin monitor tabung, komponennya sudah enggak ada. Orangnya ternyata penipu, jadi dia hilang tiba-tiba. Aku main game saja di situ. Waktu itu aku pakai PS 1, TV cuma 1 di rumah. Dan ada monitor itu. Terus aku pikir, “Bisa enggak, sih, TV-nya dialihkan ke monitor itu.” Jadi, saat itu aku sudah mulai kepikiran untuk yang kayak begitu.

Kalau mungkin, saat aku lulus SMA, terus aku cukup pintar, aku mungkin akan masuk computer engineering. Atau aku mungkin akan mengambil yang sejenis.

 

MICHELLIA

Tapi, kan, kamu pintar. . . .

 

DIO

Waktu itu, selain itu, juga, aku kan enggak punya uang untuk kuliah. Banyak banget kepentingannya. Jadi, kayak. . .Mungkin kalau aku punya uang lebih, aku akan masuk computer engineering.

 

MICHELLIA

Jadi passion-mu seperti ayahmu, ya. Computer engineering, untuk jurusan kuliah.

 

DIO

Mungkin itu. Dulu, ya. Pas aku lulus SMA, kalau aku punya uang, aksesnya dekat, dan aku tahu di mana kampus yang punya jurusan ini selain ke Bandung.

Jadi, waktu itu, satu-satunya skill yang aku punya saat meninggalkan rumah adalah bikin website.

 

MICHELLIA

Pakai Adobe Dreamweaver?

 

DIO

Enggak lah, mewah banget itu. Aku pakai plain HTML. Dan waktu itu, itu jadi skill, aku datang melamar ke kantor. “Tapi kamu bisa bikin website?” Oke. Kayak begitu, proses yang aneh, tapi begitulah. Waktu itu, juga, kenal dengan ASCII Art. Untuk membayar skill gambarku yang jelek, aku jadi mengulik banyak soal ASCII Art, gimana cara bikin objek.

 

MICHELLIA

Seberapa cepat kamu dulu bikin satu objek gambar dalam ASCII Art?

 

DIO

Lupa, ya. Tapi seneng cari referensi di website orang, coba bikin sendiri, gagal, meleyot-meleyot, terus coba lagi. Kadang kangen juga sama prosesnya.

Yang enak dari ASCII ini, aku enggak perlu gear yang mahal, atau komputer yang canggih untuk bisa grafis. Menurutku, itu keren banget.

 

MICHELLIA

Kayak game 2D, kan.

 

DIO

He eh.

Dari situ, aku mulai baca literatur tentang komputer dan ngobrol sama teman-teman yang enggak pernah aku temui.

 

MICHELLIA

Apa saja yang kamu baca?

 

DIO

Basic aja. Buku-buku how to yang sifatnya lebih practical dan buat survive. Cara bikin iklan, bikin logo, atau yang kayak begitu. Ngobrolin sama teman, bagaimana tips bikin aplikasi sederhana, manajemen media sosial, juga SEO. Tahun 2011, SEO baru masuk ke agency, jadi kerjaannya aneh banget. Ngumpulin keyword banyak banget. Dan ganti-ganti dengan cepat. Apa yang aku pelajari bisa berubah dengan cepat. Karena aku waktu itu masih 19-20 tahun, ya, masih semangat belajar dan tahan banting.

Sampai titik itu, aku punya keyakinan, “Whoah, ini adalah jawaban.” Kamu kerja, dan kamu diselamatkan oleh skill kamu di internet, di website. Jasa bikin website. Jadi, waktu itu aku pikir, jawabannya, aku kerjanya mesti yang kayak begini aja. Punya kesadaran kayak begitu. Makin jauh dari orang-orang, pulang kerja langsung ke kosan buat belajar, menulis, baca, atau kalau capek banget ya main game, besoknya kerja lagi, setiap Sabtu dan Minggu hiburannya cuma bikin komposisi musik. Terus kesepian, tapi enggak kerasa. Waktu sadar kalau aku sebetulnya kesepian, di situ aku merasa kayaknya ada yang salah dari cara kerjaku dan aku mulai merevisi. Mungkin di situ pertama kali aku memutuskan buat bikin jadwal yang ketat dan disiplin dalam hal menulis dan membaca.

Pilihan estetik di buku puisi itu lebih ke situ, sih. Untuk mengingatkan ke aku, ada zaman ketika aku merasa diselamatkan dari hidup yang kayak begitu pakai skill seadanya.

 

MICHELLIA

Sumpah, aku kayak merinding mendengarnya. “Aku diselamatkan,” kayak. . .wow.

 

DIO

Makanya, ini berasal dari keyakinan itu.

Maksudnya. . .itu, kan, delusi ya, bahwa kamu bisa selamat dari teknologi. Itu, kan, salah ya.

 

MICHELLIA

Enggak, itu benar banget, cara kamu menyimpannya dalam puisi. Aku appreciate banget.

 

DIO

Jadi, kalau suatu hari aku berpikir aneh-aneh, jadi buzzer misalnya, aku punya semacam pengingat ke diri sendiri.

 

Mitos Usang “Teknologi yang Menyelamatkan”

Kendati sangat merasa dekat dengan teknologi, terutama serba-serbi dunia komputer, keresahan Dio menyangkut pemanasan global dan perubahan iklim, serta arahan ekonomi politik yang cenderung melihat kemajuan ekonomi sebagai hal yang mutlak untuk dijalankan membuatnya merevisi beberapa pandangannya terdahulu mengenai “kecanggihan teknologi”.

 

MICHELLIA

Berhubung kita membahas soal teknologi, bagaimana pandanganmu soal pemikiran Unabomber— John Kaczynski, tentang teknologi akan membawa kita ke suatu masa, dengan tidak adanya batasan segala macamnya?

 

DIO

Pertama, aku tidak sepakat dengan Kaczynski. Aku enggak percaya teknologi bisa menyelamatkan manusia. Tapi, aku juga enggak percaya bahwa semua teknologi harus dihancurkan, kayak yang dia tulis di Industrial Society and Its Future. Bahwa peradaban ini menuju ke hal yang buruk, dan harus di-restart dari awal, aku enggak percaya itu. Yang aku percaya adalah kontradiksi dari perkembangan teknologi dan dinamikanya dengan makhluk; dengan manusia, hewan, dan tumbuhan. Dengan lingkungan. Kontradiksi itu yang harus dijaga, untuk bisa terus progress.

Jadi, kalau hari ini belum bisa, belum ada teknologi A, misalnya masyarakat butuh mesin parut kelapa, teknologi harus bisa menjawab itu. Enggak boleh keluar dari kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Supaya apa yang sudah diusahakan, riset dan segala macam yang sudah dicurahkan di situ, enggak terbuang percuma. Kayak, bikin, misalnya, mesin penggaruk punggung. Aku membahas isu ini banyak di Mongrel.

Menurutku, hari ini teknologi didesain dan berkembang dalam logika yang perlu didesain ulang. Hampir semua engineers dan desainer tumbuh dalam logika pasar dan kapitalisme. Yang berangkat dari keyakinan bahwa mereka bisa membayangkan apa saja, di dunia yang tidak terbatas. Padahal, ya, imajinasi memang tidak terbatas, tapi resource dan sumber daya alam terbatas banget.

Jadi, aku pikir penting untuk punya kesadaran bahwa, “Kita itu ada di dunia yang terbatas, loh,” saat merancang suatu teknologi, supaya bisa menjawab kebutuhan manusia dan non-manusia. Supaya enggak mubazir. Dan kemubaziran ini, kan, yang jadi akar masalah perubahan iklim, ya. Jadi, aku pikir penting untuk berpikir ke arah situ.

Aku bukan engineer, aku enggak pernah sekolah formal tentang keinsinyuran. Tapi aku penggemar berat karya-karya mereka dan aku suka baca buku-buku tentang itu. Makanya, dari kecil aku tumbuh dengan kesadaran, teknologi harus bisa membantu manusia. Poinnya membantu itu, bukan sentral.

Mungkin aku ketularan saja dari papaku. Dia kan orang yang kayak begitu.

Balik lagi aku tertarik dengan beberapa teknologi sudah dilupakan. Seperti wifi jarak jauh, website yang pakai tenaga surya. . . .

 

MICHELLIA

Onno W. Purbo masih, tuh, pakai itu.

 

DIO

Dulu aku juga baca buku-buku Pak Onno, banyak banget itu dulu di Gramedia hahaha. Apa, ya, dalam konteks yang kita bicarakan hari ini, saat terjadi climate change, soal beberapa teknologi yang dianggap obsolete atau kuno—itulah kenapa aku suka sama Soviet, sejarah teknologi di Soviet—kalau diletakkan di isu climate change, mungkin mereka justru menyimpan pengetahuan untuk membangun teknologi yang menjamin keberlanjutan manusia dan non-manusia.

Belakangan, sehabis Revolusi Industri, manusia jadi egois banget. Sewaktu mereka bikin teknologi, mereka enggak menganggap spesies lain penting, misalnya kayak hewan-hewan yang sudah didomestifikasi, kayak kucing, anjing, sapi. Mereka jadi kategori liyan; makhluk yang lain.

Apa, ya, karena sudah ada dalam logika seperti itu dan secara terus-menerus, akhirnya itu bikin kita jadi memisahkan diri dari alam.

 

MICHELLIA

Martin Burber sekali. . . .

 

DIO

Ada anggapan, kalau manusia punah, Bumi jadi lebih baik. Anggapan yang cenderung narsistik, ya. Dan, aku pikir itu keliru. Harus ada pemikiran bahwa itu bukan hal yang natural. Itu terasa natural karena kita terbiasa saja.

Salah satu faktor, alasan, kenapa proses empati perlu ada di dalam desain teknologi, saat mendesain sebuah teknologi, aku rasa lebih ke situ, bahwa kita sudah terlalu lama menganggap kita spesial, manusia itu spesial.

 

MICHELLIA

Tapi, sulit juga, ya. Ini, kan, kita bahas soal etika. Kalau perkara etis, aku enggak tahu bagaimana persisnya, tapi dua analis Etika di Google saja cabut, padahal mereka, kan, representasi perusahaan gede.

Nah, berhubung kita sudah membicarakan soal Mongrel, saat ini cerita bersambung ini sedang tayang di Kumparan. Kamu terbiasa membagikan referensi bacaan ketika menulis suatu karya tertentu, selama pengerjaan Mongrel ini, kamu baca apa, fiksi dan nonfiksi?

 

DIO

Ursula Le Guin, The Dispossed.

Octavio Butler, Parable of the Shower.

Wings of Renewal, antologi kisah-kisah naga.

Walkaway, Cory Doctorow.

Vacuum Flowers, pionir cyberpunk. Aku merasa perlu baca itu untuk perbandingan cyberpunk di sana apa masih setia. Perbedaan yang signifikan cyberpunk di Amerika, western cyberpunk, dan yang ada di Jepang. Apakah itu bisa jadi metode yang efektif di sini. Secara estetik, keren banget, bisa tuh dibikin, tapi apakah itu bisa dibikin di sini?

Aldous Huxley, Island. Orang-orang ngomongin Brave New Word, tapi Huxley keren banget menurutku.

 

MICHELLIA

Iya, aku juga suka Huxley, termasuk baca kiprah kakeknya Huxley—Thomas Henry Huxley—soal jadi bulldog-nya Darwin itu.

 

DIO

Kalau nonfiksi, aku baca kebijakan environmental di era Stalin, judulnya Environmentalism.

The Planiverse

Computer Contact with a Two-Dimensional World

Di dalam Mongrel, aku bikin interaksi dengan higher dimension. Itu juga kenapa aku baca ulang Flatland dan The Planning Verse.

Itu sebenarnya novel, tapi kayaknya aku masukin itu ke dalam nonfiksi aja deh.

Beberapa bukunya Nick Dyer-Witherford, yang paling keren menurutku yang Inhuman Power, AI and Capitalism.

Oh ya, aku suka banget bukunya Vijay Prashad, yang diterjemahkan Marjin Kiri, Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga.

 

MICHELLIA

Aku juga suka banget itu. Apa pengaruh buku itu di Mongrel?

 

DIO

Lebih ke membayangkan apa yang waktu itu kita rasakan. Dan ketika itu akan terjadi lagi. . .karena Mongrel, kan, sebenarnya cerita tentang bagaimana para pekerja di kota balik membangun sistem bernama paguyuban, semacam gerakan sosialisme akar rumput yang secara aktif menghajar kapitalisme dan negara. Paguyuban itu ceritanya ada banyak dan skalanya internasional. Bagaimana cara mereka membangun jejaring itu? Jadi, banyak membantu soal shift persepsi soal dunia, selain kalau misalnya katakanlah Soviet enggak runtuh, atau kalau misalnya komunisme bisa dicapai pada tahap tertentu di tahun 2020, misalnya. Itu membantu untuk bikin memikirkan itu; apa yang mungkin bisa diperbaiki; apa yang mungkin enggak, apa yang sudah bagus dan apa yang enggak. Kira-kira kayak begitu aja.

Terus, terakhir, Posthuman Ecologies, Rosi Braidotti.

 

MICHELLIA

Selain buku-buku ini, aku juga baca kamu sering menerjemahkan. Dalam percakapan dengan Dedik Priyanto, kamu menerjemahkan Kurt Vonnegut. Sekarang kamu menerjemahkan sesuatu juga enggak yang memberi pengaruh?

Dan kalau kamu menerjemahkan, apa yang jadi indikator karya sehingga kamu pilih untuk diterjemahkan?

 

DIO

Sekarang aku sudah enggak menerjemahkan. Maksudnya, sudah jarang banget, selain yang berkaitan dengan pekerjaan. Kadang, kangen juga untuk mengerjakan itu. Jadi, jawabannya adalah, saat ini, saya sedang enggak mengerjakan penerjemahan apa-apa. Beberapa proyek yang pernah di-upload, ya sudah, berhenti begitu saja.

 

MICHELLIA

Apa proses penerjemahan itu, kamu rasa, memberi pengaruh proses kamu menulis?

 

DIO

Lebih ke senang saja. Waktu baca, aku senang Kurt Vonnegut, dan aku merasa cocok kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Atau, misalnya, Dea atau siapa, sedang baca apa, dan merekomendasikan untuk baca sesuatu, ya sudah, itu.

 

Sastra yang Lebih Inklusif

Tidak terlalu memusingkan label “sastra” atau “bukan-sastra”, Dio balik mengajukan pertanyaan dan gugatannya tentang definisi sastra, bagaimana politik dihadirkan dalam dunia sastra, hingga tema-tema yang relevan untuk dibicarakan dalam karya sastra hari ini.

 

MICHELLIA

Kalau terkait dunia penulisan secara umum, tadi kita bahas rencanamu bikin puisi dengan estetika ASCII, terus wahana video game, menurutmu apakah mungkin karya sastra hidup di medium di luar buku? Apa pandanganmu soal polemik cybersastra yang dulu terjadi?

 

DIO

Pertama, aku enggak mengerti sastra itu apa. Jadi, apa definisinya?

 

MICHELLIA

Definisimu sendiri soal sastra, apa?

 

DIO

Ya, selain upaya kanonisasi untuk memperkuat imajinasi bahwa yang dimaksud sebagai sastra Indonesia itu ada. Dan modelnya adalah orang-orang yang ada di daftar kanon—Apa?

Kedua, aku enggak mengikuti polemik cybersastra. Yang aku tahu memang polemik itu sudah ada sejak 1990an. Saut Situmorang dan kawan-kawannya pernah nulis soal ini di Cyber Graffiti, aku suka sekali dan banyak dapat input dari situ. Tapi setelah itu rasanya enggak ada publikasi dengan wacana serupa, ya? Atau aku yang enggak terlalu memperhatikan? Aku enggak tahu.

 

MICHELLIA

Kamu senang ada di dunia cyber tanpa terlibat di cybersastra. Begitu, ya?

 

DIO

Iya, asyik aja membayangkan. Sastra sebagai seni tinggi, atau punya lingkaran dan geng-geng di dunia nyata, mungkin nantinya akan jadi enggak relevan, dan jadi enggak ngomongin itu lagi. Saat internet berada di tangan warga dan kelas pekerja, kekuasan ‘sastra’ dan kanon ini sudah enggak terpusat. Dan upaya monopoli yang paling sastra, siapa yang paling sastra, cerita siapa yang paling bagus, atau kompetisi yang toksik di dunia sastra itu, mungkin nanti jadi enggak relevan lagi. Setiap orang membaca dan menulis yang mereka sukai, memberi kritik dan apresiasi secara terbuka, jadi bisa dipelajari orang-orang yang peduli dengan dunia literatur.

Saat ini mungkin yang aku bisa harapkan sebagai seseorang yang ada di situ—menggunakan medium blog—adalah muncul kritikus-kritikus yang bikin kritik tentang kenapa ini salah dan kenapa ini benar, yang lebih konstruktif tentang sastra cyber.

 

MICHELLIA

Seru banget, sih, itu. Harapan yang kayak begini, mendekonstruksi, desentralisasi sastra kanon ini justru perbincangan yang lebih menarik soal sastra cyber, kan!

 

DIO

Dan, apa ya, kalau misalnya enggak ada kritikus, katakanlah, mungkin akan jadi chaos saja, mungkin akan jadi noise saja. Dan, dalam waktu dekat dan yang paling realistis, enggak semua yang terdesentralisasi itu kayaknya bagus.

 

MICHELLIA

Terus bagaimana, dong?

 

DIO

Ya, aku enggak tahu. Setidaknya sampai distribusi kekuasaannya bisa merata, sih. Aku enggak bisa membayangkan kalau tiba-tiba desentralisasi sementara akses alat dan pengetahuan dan segala macam masih timpang. Atau, ya, mungkin karena imajinasiku aja yang mentok.

Suatu hari mungkin akan ada, atau malah sedang berjalan, proses yang seperti itu. Aku percaya sastra yang lebih inklusif, atau yang lebih terbuka. Katakanlah, dulu sci-fi, horor, enggak masuk ke genre sastra. Jadi, semuanya boleh ditulis, dan bisa dibaca. Bisa dibaca sebagai teks.

 

MICHELLIA

Oke, tadi kamu menyebut soal dulu beberapa genre enggak masuk sebagai sastra. Sementara, kalau teman-teman baca, kamu sangat genre banget. Maksudnya, kamu suka sci-fi, terus Mongrel juga cli-fi, terus menulis juga genre detektif. Semua genre itu kelihatan punya tempat khusus dalam karya-karyamu. Atau, di hatimu mungkin, ya—aku enggak tahu, koreksi aku kalau aku keliru.

Bagi sebagian orang, tadi kita bahas juga, fiksi genre ini enggak dianggap sastra. Sebagian lagi, seperti Bolaño justru bekerja dalam fiksi genre, menulis fiksi detektif juga. Atau paling enggak, dia punya imajinasi soal itu. Kalau pendapatmu sendiri soal pemilahan ini, bagaimana?

 

DIO

Pertama, aku enggak peduli apakah sci-fi atau horor masuk sastra. Karena balik lagi ke definisinya apa, dan siapa yang kasih definisi?

Kedua, aku suka genre bending, karena aku tumbuh dengan pikiran yang kayak aku ceritakan, dari kecil aku mix and match media, komik dan segala macam. Jadi, sci-fi sangat mewadahi keinginanku untuk itu. Itulah kenapa aku jatuh cinta sama sci-fi.

Kalau kamu baca tulisan-tulisan Ursula Le Guin, bahkan di dalam fantasi butuh komitmen politik untuk memikirkan dunia hari ini, apa yang dianggap normal, pikiran-pikiran heteronormatif, konsep keluarga nuklir, dan membawa konsep-konsep normal itu ke dalam fiksi dan diubah, bahwa itu bukan hal normal, bahwa masih ada alternatif lain yang mungkin bisa lebih menarik atau enggak harmful buat orang lain.

Obviously, dulu aku tertarik sci-fi karena fancy, teknologinya fancy, gambar-gambarnya, dan segala macam. Atau idenya tentang dunia itu keren banget menurutku. Tapi, kemudian, setelah berusaha belajar lagi. . .apa, ya. . . .

 

Sastra & Politik: Lingkungan Hidup dan Dunia Non-Heteronormatif

Selain menghadirkan lingkungan sastra yang lebih inklusif, baginya sastra semestinya juga hadir untuk membicarakan persoalan-persoalan mendasar hari ini: dari urusan lingkungan hidup, masalah kebangkitan fasis, hingga ajuannya atas sastra yang lebih banyak mengedepankan pengisahan dunia non-heternormatif.

 

MICHELLIA

Kamu jadi lebih concern tentang lingkungan hidup. . . .

 

DIO

He eh, tentang lingkungan hidup. Terutama pas aku udah punya keponakan. Dua keponakan. Haha.

Kemampuan imajinatif untuk terlibat di dalam realitas sosial dan politik itu kemudian memberi pengaruh ke keputusanku untuk mencari bentuk sci-fi apa yang cocok sama aku. Dulu aku baca Lovecraft karena senang dan merasa resonate dengan ketakutannya, tapi kemudian ketika aku tahu dia rasis, dan menyadari itu, jadi ada batasannya dulu, bahwa beberapa karyanya mesti dibaca dalam cara yang seperti apa.

Aku enggak tahu, ya, maksudnya, kemampuan yang fantastis atau dalam genre payung fiksi ilmiah secara umum, potensi radikal yang ada di dalamnya itu justru ada di dalam hal-hal fantastis seperti itu, bagaimana caranya untuk mengaktualisasikan dunia di luar realitas dari yang kita jalani hari ini.

Terus, lewat cerita fiksi ilmiah, spesifik kayak horor, aku melihat sesuatu yang biasanya familiar jadi tampak lebih aneh dan jauh, dan sebaliknya. Kalau, misalnya, mau menariknya lebih jauh, kesannya jadi bisa dibaca sebagai menantang stabilitas kenyataan hari ini.

Jadi, cerita-cerita dalam payung fiksi ilmiah itu menggagalkan aturan-aturan yang disepakati kelas dominan atau kelas opresif hari ini.

 

MICHELLIA

Sangat spekulatif, ya. . . .

 

DIO

Kalau imajinasi sosial manusia Indonesia sudah dikebiri bertahun-tahun sama Orde Baru dan penerusnya. . .aku merasa buatku cerita-cerita fantastis itu jadi masuk akal, untuk keluar dari pikiran yang buntu itu, untuk keluar dari imajinasi yang dikebiri itu.

Jadi, kalau kata Arundhati Roy, another world is possible, ya kita bisa tulis itu di dalam karya.

 

MICHELLIA

Oh, kamu possibilist juga, ya. . . .

 

DIO

Dalam banyak hal, aku kayak begitu.

Dan begitu, sih, lebih membuka peluang tentang dunia baru dan bagaimana cara membacanya secara kritis. Walaupun aku bisa bilang aku cukup pesimis, tapi pesimisnya dalam arti kemudian aku bukannya enggak melakukan apa-apa. Aku lebih ke. . .ya, aku sudah ada di kondisi begini di hari ini. Mungkin di masa depan ada orang yang cara berpikirnya lebih baik lagi dibanding aku. Tapi, paling enggak, cerita fantastis atau sci-fi-ku saat ini punya tawaran itu, kemungkinan lain yang kelak bisa dibaca untuk membaca kondisi hari ini.

Dan kalau yang kayak begitu bukan disebut sastra, aku enggak tahu terus fungsinya apa?

 

MICHELLIA

Aku berkali-kali mendengar politik darimu. Aku jadi pengin tahu, apa pandanganmu tentang sikap politik dalam sastra?

Bagaimana kamu menilai kecenderungan prosa Indonesia mutakhir yang banyak mengangkat isu politik kemanusiaan, apakah karya-karya itu terbaca telanjang di matamu? Apakah kamu punya pandangan tertentu soal bagaimana politik hadir dalam sastra?

Selain tadi, kamu kan ngasih referensi banyak banget, tuh. Tapi kalau pandanganmu sendiri, sehingga kamu tuangkan dalam karya, itu seperti apa?

 

DIO

Pertama, cerita-ceritaku, biasanya aku berangkat dari kesadaran bahwa aku pengin bikin cerita tentang kesaksian orang, saksi mata, jadi dia lewat pengakuan-pengakuan naratif, akan melihat itu.

 

MICHELLIA

Dari korban atau juga dari penguasa, atau?

 

DIO

Dari korban.

Dan, itu akan mengembangkan arahnya ke program jangka panjang. Jadi, dalam urusan politik, aku selalu berpikir tentang jangka panjang. Aku pikir, merespons isu-isu kemanusiaan tanpa memberi stance politik yang jelas cuma akan menambah noise dalam diskusi tentang situasi hari ini. Atau, yang aku selalu khawatirkan, dan belakangan aku benar-benar takut, adalah memberi impresi yang salah ke pembaca.

Misalnya, sederhana saja, iya betul bahwa beberapa penulis concern ke pembantaian PKI 1965, atau isu kemanusiaan lainlah. Tapi sekaligus mereka secara aktif melanjutkan propaganda antikomunisme khas Perang Dingin dalam selubung kemanusiaan atau apalah. Aku enggak tahu apa alasannya.

Tapi, jadi muncul pertanyaan, katakanlah partai komunis betulan ada, atau ada partai progresif yang berpihak ke kelas pekerja, atau orang-orang tertindas. Atau, enggak usah partai, deh, misalnya gerakan-gerakan yang mendorong perubahan sistematik secara masif, apakah penulis-penulis ini atau tokoh-tokoh publik ini mau menyerahkan kepala mereka buat dipenggal karena mereka misalnya cukong atau mereka punya urusan sama pemerintah, atau mereka punya banyak tanah, misalnya? Apa mereka mau mengorbankan sejauh itu?

Kedua, enggak ada yang lebih menyedihkan dari situasi politik dan dunia hari ini. Karena di saat ini, informasi jadi lebih gampang didapat. Itu bikin aku jadi pesimis secara politik. Tapi penting untuk membedakan pesimisme yang aku rasakan dengan menyerah. Kalau aku ngomong tentang pesimisme, aku enggak maksud aku enggak semangat lagi atau aku sudah mau menyerah. Tapi, karena informasi sudah semakin mudah, segala tantangan yang dihadapi orang-orang, kan, jadi gede banget. Dan aku pikir perlu siasat lain selain mengolah situasi politik aktual ke dalam fiksi. Aku enggak tahu apa formatnya dan aku belum ngerti.

Karena, begini ya, kecenderungan politik Indonesia, misalnya, pemerintah menghadapi pandemi saja. Semakin mereka sadar negara masuk krisis, mereka justru enggak aktif. Mereka justru balik, apa ya istilahnya, jadi lebih dekaden. Jadi lebih sadis—penindasan yang dilakukan lebih jelas terang-terangan ke orang-orang yang ekonominya lemah.

 

MICHELLIA

Makin despotis, ya. . . .

 

DIO

Iya. Dan. . .apa, ya. . . .

Aku malah jadi kayak bikin slogan, bukan kayak interview.

 

MICHELLIA

Ya, pandanganmu secara umum kegambar banget, sih, menghadapi pandemi sekarang, bagaimana menuangkannya dalam karya. . . .

 

DIO

Kita, tuh, ada di tahun ketika menjadi fasis jadi menarik banget, dibandingkan sejak tahun 1930. Maksudnya, tahun 1930 sudah ada ide kayak begitu, dan sekarang jadi tahun yang paling subur untuk memikirkan, “Wah, ide fasis jangan-jangan oke. Jangan-jangan, ini adalah jawaban.”

Dan kita, kan, enggak mau kayak begitu.

Maksudnya, kalau melihat tren, katakanlah, partai-partai centrist di Eropa, kan, sudah mulai tumbang. Kemarin sebelum Biden, ada Trump, terus ada massa 212, mungkin kamu juga ingat soal Rizieq, bagaimana dukungan soal Rizieq penuh, relasi sokong-menyokong khilafah, terus Biden kepilih, terus sanksi-sanksi di Kuba makin diberatkan, terus orang kayak Bolsonaro justru punya peran. . . .

Ya, betul, pandemi ini mengekspos betapa bobrok kapitalisme, misalnya. Atau betapa bobrok sistem yang ada saat ini. Tapi, situasi 5-10 tahun ke belakang juga menguntungkan ideologi yang opresif, ideologi kanan. Jadi, ya itu tadi, aku bakal bilang, jadi. . .seram aja, misalnya melihat anon (anonim) di Twitter, dia tertarik sama ide-ide fasis, atau ide-ide neo-fasis. Atau di Ukraina, neo-fasis lagi gede-gedenya banget, lagi kampanye.

Aku seram, sih. Dan aku berangkatnya dari situ aja—ketika aku mau merespons isu politik, apakah itu akan berpengaruh dalam jangka panjang?

Artinya… mungkin itu memang cuma fiksi, ya, tapi mungkin bisa diperiksa sebagai dokumen sejarah; apakah akan bisa ada gunanya untuk nanti, atau itu cuma reaksi aku sebagai orang yang lihat situasi hari itu dan itu cuma akan jadi noise saja?

Aku lebih hati-hati aja di situ, pas punya kesadaran kayak begitu.

 

MICHELLIA

Kalau tanggapanku pribadi soal itu, bagaimana kamu memilih stance untuk dihadapkan ke follower-mu, itu sudah baik. Maksudnya, kamu sudah tahu, “Oke masa depan akan jadi sefasis itu.” Kamu kayak, “Gue enggak mau follower gue melihat gue sebagai sosok yang mendukung itu, maka gue tunjukkan stance gue.”

 

DIO

Ya, aku lebih ke situ. Apalagi soal polemik belakangan di dunia kepenulisan juga lebih mengarah ke. . . bahwa semua orang pengin dilihat netral. Padahal, enggak. Bahkan, ketika kamu terlihat netral, kamu lagi memihak ke yang lebih kuat.

 

MICHELLIA

Ya, ketika kita apolitis, itu adalah pilihan politik sendiri.

Oke, karena sudah mau dua jam, pertanyaan terakhir dan pertanyaan pengandaian, jika kamu dipilih menjadi kurator seri terbitan oleh sebuah penerbit, apa saja tema yang menurutmu paling menarik dan relevan hari ini?

 

DIO

Pertama, perubahan iklim. Pendekatan, cara orang membayangkan perubahan iklim itu, kayak bagaimana, sih? Dari tadi aku ngomongin soal aku terus, aku pengin tahu orang lain melihatnya kayak bagaimana.

Kedua, kebangkitan fasis. Cara orang merespons itu kayak bagaimana?

Ketiga, dunia non-heteronormatif. Maksudnya, dunia yang kalian anggap aneh dan selama ini kalau diungkapin ke orang itu bakal bikin kamu dijauhi orang-orang, ya udah, ceritain aja. Enggak apa-apa. Aku pengin baca tema-tema kayak begitu.

Keempat, mungkin tentang kelas pekerja dan gerakan perempuan.

Kelima, mungkin tema-tema cerita yang lebih santai aja, sih. Tema-tema yang menggambarkan dunia yang santai itu kayak bagaimana.

Karena, kayak. . .sudah kena pandemi, terus diminta membaca cerita suram. Hm, “coba. . .kasih saya cerita yang lebih santai.”

 

MICHELLIA

Terima kasih, Sabda Armandio, untuk wawancara selama dua jam ini. Semoga semua pandangan politik ini bisa jalan terus untuk jangka panjang, dan semoga ada yang mau ambil tema-tema buku ini untuk dibukukan.

 

DIO

Aku akan sangat senang kalau ada yang mau DM, kalau mereka punya proyek kayak begitu.

Mau baca, sih.

 

Tulisan ini tayang juga di situs web kritik sastra DKJ, Tengara.id.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu