2010/07/03

Setangkai Arum Manis

BIDADARI kecil itu memegang setangkai panjang jajanan arum manis di genggamannya. Sambil menangis, kutempelkan dahiku di dahinya. Sore itu di hari Minggu, kami duduk berdua di alun-alun kota.

Gadis kecilku itu tidak akan bertanya mengapa aku menangis. Dia hanya akan selalu menyodorkan arum manis di tangannya ke permukaan bibirku, kubalas dengan mengusapkan pipiku di pipinya dan menggigit sebagian kecil arum manisnya, dada kami lantas menempel. Kupeluk dia seerat mungkin hingga detak jantungnya bersatu dengan detakku dan detak-detak kami kemudian akan menyanyikan sunyinya irama angin.

Aku tidak menyangka hidupku telah berjalan dengan begitu cepatnya. Dan aku telah melewati begitu banyak jalur-jalur perhentian. Dalam tiap perhentian, aku menanti dan cemas. Namun di saat aku kembali melanjutkan perjalanan setapakku, kadang kupikir aku hanya tinggal menjalani saja hidup di depanku karena semuanya seolah sudah tertera di langit.

Konstelasi bintang yang saling berpegangan tangan satu sama lain barangkali adalah representasi nyata dari takdir-takdir pertemuan manusia di muka bumi.

Tangan kecil Naya mengusap bekas arum manis di bibirku. Pancaran matanya sangat kusuka. Teduh. Seolah tidak ada sesuatu pun yang akan dia cemaskan dalam hidupnya. Sekarang ataupun kelak.

Kelak, kelak jauh di masa depan bahkan kendati nyawaku telah mesti kembali ke surga, jalan hidup Naya tidak akan diubah oleh apapun. Aku yakin dia pasti akan tumbuh menjadi gadis pemikat hati banyak pria kelak suatu saat. Aku hanya yakin sekali, tidak tahu kenapa.


Tulisan Terdahulu