(Kolaborasi Tulisan dengan M. Misbahul Ulum dan Purnama Ayu Rizky.)
Industrialisasi oleh
negara menjadikan Indonesia hanya sebagai konsumen belaka. Tingginya konsumsi
kendaraan mengakibatkan kemacetan di kota-kota yang tidak terencana pembangunannya
dan hanya meniru (disebut menjiplak, juga boleh) model-model negara lain.
Sedangkan, infrastruktur di desa-desa tetap tidak terurus.
Pada dekade ‘70-an, hampir semua negara di Eropa dan
juga Amerika Serikat menjadikan gagasan Adam Smith dalam An Inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nations
sebagai basis menuju gerbang industrialisasi. Meski pengaruh gagasannya yang
melahirkan sistem ekonomi kapitalis itu sempat meredup, terutama saat dunia
usaha mengalami depresi pada 1929-1930, beberapa ekonom liberal tetap teguh
berpegang pada sistem ini. John Maynard Keynes, dalam buku bertajuk The General Theory of Employment, Interest,
and Money (1936), menawarkan solusi untuk menyudahi krisis ekonomi asalkan
sistem ekonomi tetap mengacu pada semangat kapitalisme. Keynes percaya, ekonomi
kapitalisme masih bisa terselamatkan dengan catatan ada sedikit intervensi dari
pemerintah.
Berapa
besar intervensi pemerintah, itu tak pernah tuntas dijelaskan oleh Keynes. Hal
inilah yang kemudian membuat negara merasa memiliki kontrol yang besar. Ian
Chalmers (1996) menjelaskan, akar intelektual kebijakan industrialisasi terletak
pada abad ke-19. Selanjutnya, antusiasme terhadap industrialisasi melanda
seantero Jepang dan dunia Barat. Imbasnya, apa yang semula tak lebih dari
tujuan kebijakan berubah menjadi ideologi independensi ekonomi, yang
menghendaki peningkatan posisi negara serta titik berat industrialisasi sebagai
wahana integrasi nasional.
Chalmers
menguraikan, selang Perang Dunia II, retorika nasionalisme dunia ketiga—termasuk Indonesia—dikaitkan dengan agenda pembangunan industri. Industrialisme
menjadi unsur utama dalam ideologi pembangunan nasional. Pada masa itu, industri
otomotif menjadi tumpuan harapan pembangunan industri dari banyak politisi
negara Dunia Ketiga. Gengsi yang terkandung dalam pengembangan manufaktur, yang
dalam hal ini diartikan sebagai produksi—dan bukan perakitan—mobil ini
menciptakan keterkaitan dengan sektor ekonomi lain.
Mendapat
angin segar, negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris,
dan Australia pun kian giat memasarkan produksi mobil ke Dunia Ketiga. Seperti
yang diungkapkan Henry Ford, ekspansi mobil ini juga terpengaruh kebijakan
industri nasional yang menuntut perusahaan perakitan mobil merelokasi pasar ke
negara Dunia Ketiga. Di Indonesia, industri otomotif didaratkan lewat
kolonialisme Belanda. Belanda mengusung ide ekonomi kolonial, di mana mereka membebaskan
ekonomi Indonesia dari ketergantungan terhadap sektor pertanian serta ekspor
primer, dan menciptakan struktur ekonomi yang seimbang.
Di
sisi lain, pemerintah kolonial juga menghasilkan dominasi asing terhadap seluruh
sumber daya ekonomi yang penting, dan lingkungan sosial menyediakan lahan subur
bagi perkembangan sentimen anti-asing. Dengan demikian, hasil perkembangan
penting dari masa kolonial Indonesia adalah tekanan politik bagi pribumisasi
pemilikan.
Ikhwal
ini, ada silang pendapat di antara politisi dan ekonom Indonesia era 1950-an.
Mereka terbagi dalam dua poros: dalam negeri dan luar negeri. Dr. Soemitro
Djojohadikusumo—anggota PSI—mewakili pihak luar negeri menghendaki adanya
penanaman modal asing, tetapi juga tampak siap siaga melancarkan intervensi demi
melindungi bisnis pribumi. Sebaliknya, para politisi PKI mendesakkan
nasionalisasi terhadap hak milik asing meski juga menganjurkan proteksi negara
terhadap seluruh modal nasional, termasuk bisnis milik orang Tionghoa.
Di
era ini, ada usaha yang ekstrem dari mereka yang pro-Sumitro untuk meneguhkan peran
borjuasi pribumi. Lewat kebijakan Benteng buatan Dr. Juanda, Menteri Kemakmuran Rakyat,
kelompok bisnis pribumi berhasil melesakkan proteksi negara; pada 1951 impor
mencakup 10 persen; 1952 impor diperluas hingga 25 persen; dan 1954 tercakup 85
persen dari jenis barang impor. Pada suatu waktu, jumlah ini bahkan tercatat menembus
4.000 importir.
Dalam
hal industri otomotif, sekelompok pengusaha pribumi dengan cepat dapat
mengontrol impor mobil. Di kala kecenderungan nasionalisme ekonomi berkuasa dan
pembangunan industri mendapat titik berat, industri mobil pun dibangun.
Sebagian besar mereka yang membangun memiliki keterkaitan dengan PNI
Salah
satu pabrik terbesar di Indonesia adalah pabrik perakitan mobil yang dibangun
di Tanjung Priok pada 1927, yakni NV General Motors Java Handel Mij. Pabrik ini
memulai usaha sesaat sebelum produksi boom
pada 1930-an. Selama sepuluh tahun pertama masa produksi, perusahaan itu
merakit tak kurang dari 47.000 mobil, sebagian besar mobil Chevrolet dan truk
General Motors. Pabrik ini menjadi salah satu manifestasi pertama industri
modern di Indonesia.