2015/12/15

Politik Kesusastraan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

Pendirian Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun 1908, yang diketuai G. A. J. Hazeu, penasihat urusan Bumiputra, adalah salah satu upaya pemerintah kolonial dalam meredam sumber-sumber pemikiran politik yang mungkin menjatuhkan kekuasaan mereka pada awal abad ke-19. Pada 1911, lewat komisi ini, D. A. Rinkes menerbitkan “Nota Over de Volkslectuur” yang menetapkan pelarangan atas penerbitan dan peredaran buku-buku yang dianggap sebagai bacaan liar dan menganggu stabilitas pemerintahan mereka, yakni di antaranya terbitan berbahasa Melayu populer[1] yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi ini di kemudian waktu difungsikan dan populer sebagai Penerbit Balai Pustaka.

Surat edaran Rinkes itu menyebutkan kriteria bacaan yang berterima oleh komisi tersebut: (1) netral terhadap persoalan agama; (2) tidak boleh mengandung pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah; (3) tidak menerima sastra yang bersifat cabul; (4) karya harus ditulis dalam bahasa Melayu tinggi karena karya tersebut akan dibawa ke sekolah-sekolah; dan (5) sastra semestinya menerapkan penokohan yang lazim: karakter hitam-putih.[2] Pada perkembangannya, pemerintah Kolonial Belanda terbilang berhasil menerapkan aturan-aturan tersebut, terutama dalam mengasingkan bahasa Melayu Populer yang merupakan bahasa utama dalam penulisan kesusastraan Melayu-Tionghoa sehingga sejak 1930-an para pengarang pribumi[3] praktis mulai belajar dan hanya menulis dalam bahasa Melayu tinggi.

Bahasa Melayu tinggi yang berasal dari Kepulauan Riau kemudian menjadi bahasa Indonesia dengan corak yang lebih baku, yakni bahasa yang ketika itu digunakan dalam sekolah-sekolah pemerintah yang kemudian lazim dikenal sebagai bahasa Balai Pustaka.[4] Penggunaan bahasa Melayu populer ini baru dibedakan dengan Melayu ala Balai Pustaka setelah terjadinya pemberontakan PKI di tahun 1920-an.[5] Terkait hal ini, perlu ditekankan bahwa Claudine Salmon, peneliti kesusastraan Melayu-Tionghoa, berpendapat bahwa sebelum pertengahan 1920-an, bahasa Melayu Populer telah lebih intensif dan lebih dahulu dipakai oleh masyarakat pribumi Indonesia di Jawa dibandingkan bahasa Melayu tinggi yang ditegaskan penggunaannya oleh Balai Pustaka.

Penerbit Balai Pustaka sendiri di kemudian waktu berperan besar dalam perpanjangan tangan politik kolonial Belanda. Oleh komisi tersebut, kesusastraan dikendalikan dan dihaluskan. Sensor diterapkan untuk hal-hal yang terkait isu kolonialisme, sebaran ideologi komunis, ataupun pemikiran progresif Islam. Karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, bersama dengan karya sastra generasi awal penulis sosialis penduduk pribumi—literatuur socialistisch—seperti yang ditulis oleh Semaoen dan Mas Marco Kartodikromo, dicap sebagai bacaan liar karena dianggap mengganggu kestabilan pemerintahan kolonial Belanda. Kualitas karya mereka dinilai berbahaya secara politis dan mengganggu moral masyarakat.[6] Novel Mas Marco, Mata Gelap (1914), hingga novelnya satu dekade kemudian, Rasa Merdika (1924), tidak masuk dalam perbincangan sastra pada ulasan majalah ataupun resensi di masa itu. Demikian halnya dengan novel Semaoen, Hikajat Kadiroen (1922). Sementara itu, sebagian besar karya sastra Melayu Tionghoa yang dicap sebagai bacaan liar praktis diberangus habis. Secara singkat dan gamblang, dapat dikatakan politik Balai Pustaka telah sepenuhnya bekerja dalam membatasi resepsi pembaca atas karya-karya mereka.[7]

Tradisi Penerbitan


Dalam tradisi penerbitan di Indonesia, terhitung sejak masa pra-Indonesia, peranakan Eropa adalah golongan yang memiliki privilese paling besar. Pada periode 1858-1900, mereka memiliki 14 terbitan surat kabar di Betawi dan 6 terbitan surat kabar di Surabaya. Pada terbitan-terbitan mereka tersebut, peranakan Tionghoa hanya dipertugaskan untuk membantu dalam ranah pekerjaan redaksional.[8] Meskipun pada saat itu pula, Lie Kim Hok, penulis peranakan Tionghoa, telah dikenal menghasilkan sejumlah karya tulis, dan ia mendapat julukan sebagai bapak “bahasa Melayu-Betawi” berkat kamus bahasa Betawi yang disusunnya.[9] Setelah peranakan Eropa, pada tahun 1880-an, peranakan Tionghoa menyusul memiliki penerbitan sendiri. Dengan demikian, mereka lebih punya kebebasan sendiri, atas pilihan sendiri, dan dengan tanggung jawab sendiri.[10] Disusul kemudian kepemilikan penerbitan oleh golongan pribumi pada 1906-1912, yakni dengan terbentuknya NV. Javaansche Boekhandel en Drokkerij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” yang dipimpin oleh R. M. Tirto Adhisoerjo.

Sastra Melayu-Tionghoa: Selayang Pandang

Usaha-usaha Percetakan dan Penerbitan oleh Masyarakat Tionghoa
Usaha percetakan Tionghoa pertama di Indonesia didirikan pada 1879. Percetakan tersebut dimiliki dan dikelola oleh Yap Goan Ho. Usaha Yap Goan Ho ini dilanjutkan oleh Lie Kim Hok, tetapi di tengah jalan mengalami kegagalan sehingga ia menjual alat-alat percetakannya kepada penerbit Belanda, Albrecht. Pada umumnya, dana usaha penerbitan buku masyarakat Tionghoa bersumber dari sebagian hasil usaha dagang mereka di luar percetakan maupun penerbitan.[11] Hal ini berbeda dengan penduduk pribumi ataupun pemerintah kolonial Belanda yang masih menggantungkan diri dari subsidi pemerintah. Berdasarkan karakteristiknya, kesusastraannya tumbuh atas dukungan jurnalisme mereka yang sudah bermula sejak tahun 1950-an.[12]
 
Sejalan dengan adanya usaha percetakan dan penerbitan itu pula, produksi kesusastraan Melayu-Tionghoa dapat dikatakan membentang dalam kurun waktu cukup panjang, 1870-an hingga 1960. Dalam penelitian ekstensifnya,[13] Claudine Salmon dan Denys Lombard mendapatkan hasil yang mengesankan mengenai kesusastraan “yang hilang dan dilupakan” tersebut:

Jumlah pengarang dan penerjemah : 806
Jumlah karya-karya mereka : 2.757
Karya-karya anonim : 248

Jumlah keseluruhan karya-karya : 3.005

Di antara ke-3.005 judul tersebut, tanpa memperhitungkan terbitan ulang, terdapat:
73        sandiwara
183      syair
233      terjemahan karya-karya barat
759      terjemahan dari bahasa Cina
1398    novel dan cerpen asli

Sumber: Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography (Etudes insulindiennes-Archipel: 3, Paris, Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1981)

Claudine memyandingkan temuannya tersebut dengan jumlah judul dari tradisi kesusastraan Indonesia yang didokumentasikan dalam “kesusastraan Indonesia modern”, bersumber dari penelitian pakar sastra Indonesia, A. Teeuw, yang dinyatakan meliputi sekitar 175 pengarang dan sekitar 400 karya (1967) dan 284 pengarang dengan 770 karya (1979).[14] Hasil penelitian Salmon ini mengoreksi penelitian Teeuw sehingga Teeuw merasa perlu untuk bermawas diri dan meninjau kembali pandangannya mengenai kesusastraan modern Indonesia, hingga ia sampai pada simpulan:

“Buku tersebut [buku Claudine Salmon, sic!] telah memberi landasan kuat bagi kritik sastra yang sangat diperlukan untuk lebih memajukan penelitian sastra Indonesia modern. Berhubung dengan alasan-alasan yang diajukan Salmon itu tak terbantahkan dan begitu meyakinkan, para peneliti perlu melepaskan sikap apriori bahwa sastra Indonesia awal dan manifestasi satu-satunya sebelum Perang Dunia Kedua adalah novel-novel Balai Pustaka. Dengan terbitnya buku tersebut, tak diragukan lagi bahwa sastra peranakan Tionghoa merupakan mata rantai pokok dari perkembangan sastra Indonesia masa kini…”[15]

Liang Liji, seorang pembaca kesusastraan Melayu-Tionghoa, merefleksikan bahwa ada dua hal yang menyebabkan kesusastraan Melayu-Tionghoa tidak mendapatkan tempat dalam nomenklatur sastra pada masa itu. Diterangkan oleh Liang Liji, alasan-alasannya di antaranya: pertama, keturunan Tionghoa pada masa itu berstatus dwi-warganegara dan hanya dianggap sebagai perantau. Padahal, sesungguhnya mereka bukan hanya merantau, melainkan berimigrasi dan berkehendak untuk menetap. Mereka berangsur-angsur membaurkan diri dengan masyarakat Indonesia. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai upaya asimilasi dan menetapkannya sebagai periode asimilatif atau periode pra-sastra Indonesia, apabila hendak dikaitkan dengan pembabakan kesusastraan. Dalam sejarahnya kemudian, saat dihadapkan pada status dwinegara tersebut, mereka lebih memilih Indonesia. Ini berarti mereka menganggap diri sebagai bagian dari Indonesia dan dengan demikian semestinya karya kesusastraan mereka dimasukkan dalam kategori kesusastraan Indonesia.

Kedua, kesusastraan ini ditulis dalam bahasa Melayu populer yang didiskreditkan oleh pihak kolonial Belanda sebagai “bahasa Melayu rendah”—atau bahasa Melayu pasar. Bahasa Melayu rendah ini tidak dipandang sebagai sumber dari bahasa Indonesia yang digunakan pada masa ini. Ada anggapan bahwa bahasa Indonesia pada masa ini hanya bersumber dari bahasa Melayu tinggi yang berakar dari bahasa Melayu yang dipakai di Kepulauan Riau. Padahal, seperti yang dijelaskan Salmon, bahasa Melayu populer digunakan secara lebih luas di tengah masyarakat karena terasa lebih cocok dan lancar untuk dipergunakan mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam kehidupan sehari-hari. 

Balai Pustaka menempatkan mutu karya sastra Melayu-Tionghoa sebagai “bacaan liar”, padahal beberapa karya sastra Melayu-Tionghoa justru bisa dikategorikan sebagai “kesusastraan Melayu tinggi”. Pertama, karena isinya lebih realistis, tidak hanya membahas dunia khayal dan mitos, tetapi lebih banyak mengungkapkan kehidupan dalam masyarakat dan melukiskan suka-duka manusia dalam kesehariannya. Kedua, penulisannya sudah menerapkan bentuk dan metode kreasi modern dan meninggalkan gaya penulisan usang. Ketiga, penggunaan gaya bahasanya telah meningkatkan “bahasa Melayu populer” ke taraf bahasa sastra dan memopulerkannya ke seluruh Indonesia. Keempat, selain mengandung nilai sastra, kesusastraan mereka juga dapat disebut sebagai dokumen sejarah karena isinya yang kontekstual dan berdasarkan peristiwa aktual pada saat itu. Untuk alasan-alasan ini, Jakob Soemardjo mengafirmasi kesusastraan Melayu-Tionghoa sebagai cikal bakal sastra modern di Indonesia.[16]

2015/09/30

Riuh Bekerja di Pasar yang Sepi


© Saiful Bachri
Reportase untuk Pindai.org, akses PDF
 
Betapapun harus ‘mengencangkan ikat pinggang’, sebagaimana istilah dua penerbit ini, para pegiatnya terus menghidupi bacaan non-populer dengan daya kritis yang tebal.


JALANNYA roda penerbitan buku hari ini adalah keberlanjutan dari kritik Khrisna Sen dan David T. Hill dalam artikel Perbukuan Indonesia: Translasi dan Transgresi, lebih dari satu dekade silam. Mereka menulis, investasi terbaik dan penjualan produk tercepat oleh Gramedia—dijadikan parameter sebagai salah satu penerbit terbesar di Indonesia—dicapai dari buku-buku bertopik pengembangan-diri praktis hingga novel-novel populer. Imbasnya, judul-judul buku ditentukan dalam mekanisme pasar yang mendorong publikasi tema yang cenderung seragam.

Di sisi lain, pergantian berdarah kekuasaan dari Sukarno yang mengedepankan “politik sebagai panglima” ke pemerintahan Soeharto dengan “ekonomi sebagai panglima”, mengubah pula pergeseran tren judul buku dalam kategori buku “berat”. Ia didominasi paradigma developmentalisme—satu istilah dari khazanah ekonomi yang secara singkat menjelaskan hubungan ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga. Pandangan ini seirama agenda Ali Moertopo, ideolog rezim Orde Baru, yang merumuskan “satu cara berpikir” demi cetak biru apa yang disebut “akselerasi modernisasi 25 tahun” rezim Soeharto, yang juga menghendaki pola pikir seragam dan tunggal.

Untuk mendukung ekonomi pembangunan itu, depolitisasi kampus diterapkan. Kurikulum dan materi bacaan dijaga ketat dan “diamankan” demi menjaga “stabilitas nasional”. Pada Oktober 1989, Kejaksaan Agung membentuk sebuah badan yang disebutclearing house, tugasnya meneliti isi buku dan merekomendasikan pemusnahan bila mengancam rezim. Selain Kejagung, Departemen Pendidikan dan Kebudayan lewat instruksi kementerian tahun 1965—memuat satu beleid larangan menggunakan “buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan”—membekukan sebelas dafar buku karangan para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pelarangan ini terus berlanjut bahkan sesudah Soeharto lengser.

Sejak masa kolonial Hindia Belanda, percetakan dan penerbitan di Indonesia tak pernah lepas dari kuasa tangan-tangan pemerintah, baik di bawah pemerintah kolonial maupun sebagai negara-bangsa.

Pada 1908, berdiri Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat), diketuai G. A. J. Hazeu, penasihat urusan Bumiputra. Mewakili kepentingan komisi ini, pada 1911, D. A. Rinkes lewat “Nota Over de Volkslectuur” menetapkan bacaan rakyat dan melarang buku-buku yang dianggap sebagai bacaan liar: terbitan berbahasa Melayu rendah yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi inilah yang kemudian berlanjut menjadi Penerbit Balai Pustaka.

Hadirnya Balai Pustaka dibarengi oleh sejumlah program penerbitan dari lembaga pendidikan dan keagaman, di antaranya Kanisius, Muhammadiyah, Penjiaran Islam, hingga Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia pada kurun 1920.

Pada periode 1950-1970, penerbit universitas mulai marak berdiri, seperti UI Press pada 1969 yang disokong dana Ford Foundation, dan Penerbit IPB yang didanai University of Kentucky.

Menjelang dekade terakhir rezim Soeharto pada periode 1990-an, beberapa penerbit alternatif mulai masuk mengisi ceruk pasar buku yang didorong oleh “pembelotan” para aktivis perbukuan dari penerbit-penerbit induk.

Setelah 1998, berduyun-duyun penerbit alternatif yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa berdiri. Perlu dicatat pula, dalam rentang 1998-2004, Ford Foundation menawarkan dana bantuan penerbitan buku melalui Yayasan Adikarya IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Dalam program ini, setiap penerbit berhak mengajukan delapan judul buku untuk didanai.

Tak ayal, alasan pendirian penerbit di masa itu pada umumnya bukan semata kepentingan ideologis. Melainkan fakta bahwa usaha penerbitan mampu mendatangkan laba dengan menekan biaya produksi, sementara mereka pun masih bisa mendapat dana dari yayasan donor. Imbas dari pengerukan laba ini, pekerja kreatif dan penulis tak dibayar dengan layak.

Sederet contoh pelanggaran yang dilakukan penerbit, misalnya: pengingkaran atas royalti, laporan penjualan yang tidak transparan, hingga masalah hak cipta.

Selepas periode itu, terbitan mulai tak terbendung lagi. Kualitas terbitan, seperti mutu terjemahan dan editorial, menjadi tanda tanya besar karena kerja-kerja penerbit yang bergegas.

Di tengah semua itu, hadir upaya-upaya penerbitan yang cukup serius, yang masih dari lini penerbitan alternatif dan bertahan hingga kini, di antaranya penerbit Marjin Kiri dan Komunitas Bambu. Untuk meneruskan kerja-kerja penerbitan, sejak dini mereka telah menentukan ceruk pasarnya: menerbitkan karya-karya yang mendedah suatu permasalahan hingga ke akarnya ataupun karya-karya yang menawarkan perspektif berbeda.


ARIA Wiratma Yudhistira tengah menyisir tumpukan koran terbitan 1970-an di lantai 9 Perpustakaan Nasional saat ketertarikannya jatuh pada serentetan pemberitaan mengenai pelarangan mahasiswa berambut gondrong oleh pemerintah.

Itu membikinnya bertanya-tanya, “Di tengah rezim yang berusaha tampil setenang mungkin, kenapa Soeharto justru terang-terangan menerapkan larangan itu?”

Pada masa itu, soal rambut gondrong bahkan jadi permasalahan seluruh pejabat tinggi pemerintahan, mulai dari menteri, Kepala Bakin, Jaksa Agung, hingga Pangkopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Perkara ini sempat pula memicu polemik antara Ali Sadikin dan Arief Budiman, mahasiswa era ’60-an yang terkenal sebagai pelopor golput (golongan putih). Polemik selesai, tapi aksi-aksi anti-rambut gondrong masih berlanjut.

Aria mengajukan tema pelarangan rambut gondrong ini sebagai proposal skripsinya ke dosen pembimbingnya di Jurusan Sejarah UI. Tema itu ditolak mentah-mentah di muka dengan alasan, “Kalau kamu mau menulis tema populer, kamu harus cari dosen yang paham budaya dan seni.”

Namun, Aria bersikeras melanjutkannya dan alasan paling wajar dari penolakan itu karena memang temanya dianggap nyeleneh. Ia menyusun kronologi pemberitaan sikap represif pemerintah terhadap mahasiswa berambut gondrong yang dirunutnya sejak masa pemerintahan Sukarno hingga tahun 1970-an.
Alasan sikap represif itu, dari temuannya, lantaran rambut gondrong oleh kekuasaan Orde Baru, yang menonjolkan diri sebagai “Bapak”, dianggap bentuk ekspresi berlebihan dari sekelompok anak muda yang bisa mengganggu “stabilitas negara”.

“Di tahun 1966, mahasiswa dipakai menjatuhkan Sukarno. Di masa Soeharto, mereka malah dimatikan kekuatan politisnya. Pada 1980-an, preman dimatikan lewat petrus (penembakan misterius). Padahal, sebelum dibunuh, mereka juga dimanfaatkan negara,” ujar Aria.

Pemahaman Aria tentang latar belakang rezim Orde Baru berkembang. “Sukarno tidak pernah menyatakan pemerintahannya sebagai Orde Lama. Yang ada, ya, Masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Liberal. Di sana kelihatan, Soeharto menginginkan rezim lama mulai disingkirkan dan dibentuk karakteristik, sebuah orde yang baru.”

Dalam bab “Sebuah Era Baru”, karakteristik rezim Soeharto terjelaskan dari cara-cara penyingkirannya atas Sukarno dari tampuk kekuasaan, upaya Soeharto dalam memanfaatkan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) dalam Sidang MPRS yang kemudian mengangkatnya sebagai presiden, pelibatan ekonom-ekonom lulusan University of California (Berkeley) dalam agenda pembangunan, hingga operasi-operasi khusus yang dijalankan Ali Moertopo dalam upaya pembersihan anggota partai politik dalam rangka depolitisasi masyarakat. Semua dilakukan dengan tenang dan tertib, rust en orde, demi keberlangsungan pembangunan pemerintahan Soeharto.

“Mereka sibuk kerja, kerja, dan kerja,” kata Aria.

“Membaca arsip rezim dari kaca mata berbeda” adalah kata kunci yang dipakai Aria untuk menelusuri hegemoni rezim Soeharto atas mahasiswa-mahasiswa berambut gondrong pada 1970-an.

Pada suatu malam sepulang kerja, Aria bertemu dengan dua seniornya dari jurusan Sejarah saat menunggu kereta komuter di Stasiun Gondangdia. Perspektifnya yang unik dalam mengkaji sejarah Orde Baru itu jadi alasan seorang seniornya mengirimkan naskah Aria untuk diterbitkan Marjin Kiri.


MENAWARKAN perspektif berbeda adalah salah satu fokus Penerbit Marjin Kiri. Itu dapat ditilik dari skripsi Aria Wiratma Yudhistira yang kemudian dibukukan, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010). Atau misalnya melihat globalisasi dari perspektif sepakbola melalui tulisan jurnalistik Franklin Foer, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola: Kajian Tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi (2006). Selain bertema nyeleneh, buku-buku ini dibarengi dengan desain sampul dan tata letak yang segar.

“Ada judul-judul buku bagus banget, caranya melihat permasalahan segar, seksi, tapi seringnya tidak ada yang sepertinya tertarik menerjemahkan. Sayang kalau seperti itu,” kata Ronny Agustinus, pemimpin redaksi Marjin Kiri.

Penerbitan Marjin Kiri bermula dari usaha senggang Ronny Agustinus menerjemahkan komunike-komunike Subcomandante Marcos sebagai latihan mendalami bahasa Spanyol; atau saat ia mengetik kembali Madilog, buku yang dipandang Tan Malaka sebagai karya terpentingnya; atau bisa lebih jauh ke belakang sewaktu Ronny masih kecil yang mengidolakan komik para jagoan.

Kenyataan bahwa kegemarannya terhadap para superhero itu yang mendorongnya studi Seni Grafis Murni di Institut Kesenian Jakarta. “Meskipun, untuk kuliah di sana, aku harus bilang ke orangtuaku kalau aku kuliah Desain Interior,” kenangnya.

Setamat kuliah, ia bekerja sebagai penata letak majalah di Pusat Data Indikator, yang berfokus pada kajian ekonomi-politik. Di sini ia kemudian mengerjakan Madilog:Materialisme, Dialektika, Logika (1999), sebuah uraian Tan Malaka atas teori-teori Marx yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang ditulisnya saat pendudukan Jepang. Ronny menulis catatan (epilog) cukup panjang dan serius untuk buku itu.

Indikator tutup pada 2002. “Saat itu, semua media berlomba menjadi bombastis. Sementara Indikator serius sekali,” katanya.

Setelahnya, ia melanjutkan kerja sebagai penata letak untuk sebuah biro desain majalah. Mereka berkomunikasi melalui jaringan server FTP (protokol pengiriman berkas), dan desain bikinannya dicetak langsung di Prancis. Lewat pasangan dari kenalannya di biro desain itu, Ronny belajar bahasa Spanyol secara otodidak.

Buku Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah, yang ia terjemahkan, terbit secara pribadi pada Agustus 2002. Buku setebal nyaris 900 halaman itu dicetak lima puluh eksemplar. Ia mengirimkannya kepada para kenalan. Suatu waktu Seno Joko Suyono, wartawan Tempo, meneleponnya dan terdengar menahan tawa geli, “Bikin buku tanpa sinopsis di kover belakang, tidak ada nama penerbit di kover ataupun di halaman kredit, bagaimana bisa aku bikinkan resensi untuk buku ini?!”

Buku terjemahan tentang gerakan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista itu disambut baik oleh para pembaca perdana. Tak sampai sebulan, banyak surel dan telepon masuk: tanggapan berupa pujian, kritik, izin menukil atau menyalin, hingga tawaran penerbitan.

Eko Prasetyo dari InsistPress lantas meminta izin untuk menerbitkan pada 2003. “Di edisi percobaan, ada banyak ilustrasi yang kubikin sendiri, yang tidak diturutkan dalam edisi terbitan komersialnya. Itu membuatnya terkesan angker dan serius, yang sebenarnya tidak sejalan dengan kekocakan Subcomandante Marcos,” ujar Ronny. 

Respons atas buku Subcomandante Marcos itu termasuk datang dari rekan kerja lamanya di Indikator. Mereka usul untuk bikin penerbitan, kendati ini belum bisa dikatakan cikal bakal Marjin Kiri. Betapapun mereka melanjutkan fokus kajian seputar ekonomi-politik, tapi arah penerbitannya masih di luar tema utama. Ronny dan beberapa rekannya merasa kurang sreg sehingga memutuskan mendirikan penerbit baru.

Dari sanalah Marjin Kiri bermula. Digawangi enam orang, penyisiran naskah mulai dilakukan. Tema ekonomi-politik dan globalisasi menjadi prioritas.

“Judul-judul buku Joseph Stiglitz dan Edward W. Said termasuk yang dibeli pertama. Kenapa? Karena di tahun 2005, aku pikir isu-isu ini akan sangat penting ke depannya. Berulangnya krisis, misalnya. Pas tahun 2008, kan, ternyata betul ada krisis lagi. Menarik karena Stiglitz, bahkan sebelum krisis, lewat Dekade Keserakahan (2006) bisa menjelaskan dengan gamblang kesalahan-kesalahan yang diperbuat Amerika sampai krisis itu terjadi,” papar Ronny.

Karya Edward W. Said, Bukan-Eropa: Freud dan Politik Identitas Timur Tengah (2006), menjadi buku terbitan pertama mereka. Buku ini tidak hanya membahas bagaimana Orientalisme mengkaji tulisan-tulisan Eropa mengenai Timur, dengan memaparkan politik representasi sastra yang digunakan Said. Alih-alih menggali lebih dalam wawasan Said tentang pandangan skizofrenogenik dan primitivisme dalam perdebatan-perdebatan Freud dengan sekian tokoh “orientalis”.

Pada Juli 2007, terjadi ketegangan dalam tim inti Marjin Kiri. Reorganisasi dijalankan. Lima orang keluar. Sejak itu tinggal Ronny berduet dengan Robby Kurniawan, yang mengurusi divisi pemasaran penerbitan. Distributor dialihkan dari Agromedia ke Nalar dan oplah cetakan diubah.

Dengan kesibukan dalam pengonsepan ulang arah penerbitan, buku Republikanisme dan Keindoenesiaan karya Robertus Robert menjadi satu-satunya yang diterbitkan tahun itu. Roda penerbitan kembali berputar dengan terbitnya bunga rampai tulisan, Kembalinya Politik: Pemikiran Kontemporer dari (A)rendt sampai (Ž)ižek (2008).

Ronny dan Robby kemudian merumuskan apa yang dimaksud sebagai “Marjin Kiri banget”. Juga upaya untuk bertahan sebagai penerbit alternatif dengan ceruk pasar yang mereka bilang “sangat sempit”. 

Pemilahan judul, tak terhindarkan, akhirnya sangat selektif. Atau ia tak mengejar segi kuantitas. Penggarapan buku, dari desain hingga mutu kertas, dikelola secara terjaga. Gagasan yang ditawarkan dari terbitan Marjin Kiri juga menjelaskan upaya mengoreksi paradigma yang selama ini masih mendominasi kebijakan negara.

“Kita ini benar-benar disterilkan dari pemikiran-pemikiran Kiri, tapi yang diam-diam kita hasratkan. Beberapa waktu lalu, banyak orang membandingkan pendidikan Indonesia dengan negara-negara Skandinavia terkait taraf hidup dan kebahagiaan, seakan-akan semua itu jatuh dari langit. Padahal mereka itu kan welfare state. Semua itu didapat dari hasil perjuangan partai buruh atau komunis. Sementara masyarakat kita seperti tidak ada respek pada kesejarahan perjuangan buruh, partai komunis, ataupun partai sosialis. Mereka mengidamkan kesejahteraan semacam itu, tapi tidak mau komunisnya, memangnya bisa?! Benar-benar ahistoris. Yang aku hadapi, aku merasa itulah yang harus dilawan oleh Marjin Kiri,” kata Ronny.

Atau menurut Robby, apa yang masuk sebagai “bacaan yang dimaui Marjin Kiri” adalah “buku yang menurut kita membawa wacana baru, membawa suatu esensi dasar yang menarik.” Ia “melihat dunia dari sisi lain. Kita mau bawa pesan bahwa ini ada sesuatu yang beda. Ekonomi nggak seperti yang di diktat kuliah saja. Ada ekonomi alternatif yang menarik untuk coba diwacanakan.”

Selain mengganti distributor, Marjin Kiri juga berjejaring dengan komunitas-komunitas baca dan toko-toko buku kecil, yang ditampilkan melalui laman situsweb supaya mudah diakses oleh peminat buku-buku Marjin Kiri.

Menurut cerita pedagang dari kios Toko Buku Bangkit di areal Shopping Yogyakarta, sejak 2010, terbitan baru Marjin Kiri hampir selalu dinantikan.

“Langganan saya selalu mau supaya buku-buku Marjin disimpankan stoknya untuk dia,” kata Anto. Sejauh ini, menurut Anto, buku karya Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013) terbilang sebagai yang paling diminati. “Di kios saya saja, bukunya sudah laku lebih dari 400,” ungkapnya. Buku itu mendatangkan banyak ulasan.

Robby mengatakan, kendati buku terbitan Marjin Kiri memikat perhatian khalayak pembaca serta pembeli loyal, “kami tetap bisa dibilang sepuluh kali ‘mengencangkan ikat pinggang’. Yang kita yakini, selama modal masih bisa diputar, penerbitan buku harus jalan terus.”


MENGENCANGKAN ikat pinggang untuk mendanai penerbitan bukan hal asing bagi J.J. Rizal, pemimpin redaksi Komunitas Bambu (Kobam). “Kobam nggak pernah hidup dari Kobam. Kobam hidup dari artwork. Buku Kobam semacam katalog. Orang sering datang ke Kobam untuk meminta bantuan cara mengemas buku. Itu sampingan yang kita kerjakan demi menghidupi penerbitan,” kata Rizal.

Rizal mengatakan, cita-cita penerbitan adalah hal yang membuatnya tetap bertahan. “Kita bikin Kobam karena setelah Soeharto jatuh, kita baru sadar: apa yang menyebabkan Indonesia tumbang dan mengalami krisis yang dalam? Jawaban gue dan teman-teman waktu itu, karena kita nggak kenal apa itu Indonesia. Caranya kenal bagaimana? Kita harus pulang ke rumah sejarah. Tapi sejarah Indonesia, kan, sudah dikeruhkan rezim Soeharto. Lalu, bagaimana? Ya, dijernihkan. Caranya bagaimana? Kembali mewacanakan apa itu Indonesia, apa alasan kita menjadi Indonesia, dan apa cita-cita kita. Kita harus mengampanyekan ini. Ya, harus bikin penerbit. Harus menulis. Harus bicara, tidak berhenti.”

Komunitas Bambu berdiri pada 20 Mei 1998. Para pegiat awal adalah para pelanggan toko buku milik Mujib Hermani di emperan jalan setapak konblok dari arah Halte UI ke kampus Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok. Dulunya tempat mereka berkumpul masih hutan rindang.

Para pendiri komunitas itu antara lain Bagus Takwin, Donny Gahral Adian, Ihsan Abdul Salam, J.J. Rizal, dan Yunadi Ramlan. Fokus diskusi berkisar tema-tema kebudayaan, filsafat, sastra, dan teater. “Ketika masa ’98, banyak aksi berfokus pada politik, tapi ruang budaya di mana?” Itulah, menurut Agus Mediarta, rekan Rizal di Komunitas Bambu, yang menjadikan tema budaya sebagai fokus diskusi.

Komunitas Bambu lantas merintis penerbitan tiga kumpulan puisi yang ditulis Dony Gahral Adrian, Ihsan Abdul Salam, dan J.J. Rizal sejalan dengan pandangan budaya itu.

Orang belakangan mengenal J. J. Rizal sebagai sejarawan, dengan fokus perhatiannya pada kebudayaan Betawi. Tetapi Rizal pada masa itu dikenal sebagai penyair kampus, dan sajak-sajaknya sempat jadi kumpulan puisi bertajuk Kura-kura dalam Perahu. Ia juga mengorganisir komunitas Kelompok Tulang-tulang yang Berserakan—organ aksi yang juga bergerak sebagai kelompok kesenian.

“Biasanya, pas agenda demonstrasi mahasiswa, mereka menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dan melakukan pembacaan puisi,” kata Agus.

Rizal terlibat dalam demonstrasi Kesatuan Aksi Keluarga Besar UI dan menjadi ilustrator “Bergerak”, terbitan sampingan pers mahasiswa Suara Mahasiswa UI.

Diskusi-diskusi Komunitas Bambu masih berlanjut. Mereka membangun sekretariat kecil di seberang Halte UI. Saat itu pula Komunitas Bambu berubah jadi yayasan. Dimulailah agenda penerbitan lewat sejumlah karya Tan Malaka: Islam dalam Tinjuan Madilog (1999), Menuju Republik Indonesia (2000), dan Massa Aksi (2000).

“Waktu itu, wacana kita adalah bagaimana menghadirkan sejarah yang selama ini tidak tersuarakan, karena bagi kita sejarah seperti album keluarga. Apabila ada unsur yang hilang, bingkai itu rusak. Ibarat mengisi ruang kosong: kita menulis tentang Tan Malaka, Sukarno, dan bapak-bapak bangsa lain yang terlupakan. Karena kalau mau tahu apa itu Indonesia, kita harus mengenal mereka,” jelas Rizal.

Pada awal 2000-an nama Komunitas Bambu punya gaung tersendiri di Jakarta di antara sedikitnya komunitas yang berfokus pada ranah budaya. Agus mencontohkan, yang ada saat itu di antaranya Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Konfiden. Anggota antarkomunitas pun saling mengenal. Beberapa anggota Komunitas Konfiden seperti Alex Sihar juga pernah ikut terlibat dalam kegiatan Komunitas Bambu. “Seri buku Tan Malaka malah digarap di tempat tinggal Alex,” ujar Agus.

Waktu bergulir. Fokus hidup sebagian besar komunitas beralih. Hanya J.J. Rizal yang bertahan di Komunitas Bambu.

Saat itu Rizal yang mengepalai divisi penerbitan masih mengemban tanggung jawab kepada yayasan pendana Adikarya IKAPI untuk menerbitkan dua judul: karya Iskandar P. Nugraha, Mengikis batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi & Nasionalisme Indonesia(2001), dan karya Rosa M.T. Kerdijk, Wayang-liederen: Biografi Politik Budaya Noto Soeroto (2002).

“Sebenarnya, sejak 2003, Komunitas Bambu sudah bukan berbentuk komunitas. Bahkan sejak 2002 juga bukan. Karena seingat saya sejak itu, Kobam hanya menghasilkan buku tanpa ada proses yang dilibatkan di dalam komunitas,” kata Agus. Karena alasan itu pula, nama Kobam sempat diusulkan untuk diganti. Tetapi Rizal memutuskan tetap mempertahankannya. Nama itu dirasa dekat dengannya dan telah membesarkannya. Afiliasi yang terjalin sedari mula lewat Kobam itu juga yang dipakai Rizal sewaktu menulis untuk pelbagai terbitan seperti di Agenda dan Warta Kota.

Kelanjutan Komunitas Bambu di kemudian hari pun sepenuhnya ditentukan oleh Rizal.
Rizal menerbitkan judul-judul buku yang pernah tabu di rezim Soeharto termasuk tema komunis dari para akademisi: Kemunculan Komunisme Indonesia (Ruth T. McVey, 2010), Penghancuran PKI (Olle Törnquist, 2011), dan Teror Orde Baru (Southwood & Flanagan, 2013). Termasuk pula seri judul mengenai Soeharto: Soeharto di Bawah Militerisme Jepang (David Jenkins, 2010), Soeharto dan Barisan Jenderal Orba (Jenkins, 2010), dan Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (Richard Robison, 2012).

“Kita sudah tahulah bagaimana negara dibangun oleh kebohongan dan propaganda yang disebut sebagai sejarah. Ngomong apa pun, sebenarnya nggak ada sejarahnya. Semua digerakkan demi kepentingan rezim,” ujar Rizal mengemukakan alasan di balik menerbitkan buku tersebut.

Alasan serupa dalam laju kritik terhadap wacana Orde Baru ketika ia menerbitkan karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. “Mereka dua gambaran yang menarik untuk menghayati mengapa kita menjadi Indonesia. Mereka termasuk generasi kedua setelah founding fathers. Nah, sekarang kita nggak belajar lagi menjadi Indonesia, kan, karena diputus oleh sistem Orde Baru itu.”

Menurut Rizal, Pram dengan caranya sendiri menggambarkan Indonesia sebagai bentuk baru untuk menggantikan Jawa. “Bahwa Pram adalah Jawa yang sangat membenci Jawa—iya. Dia menggambarkan Jawa dengan tegang dan dia ingin menghapus Jawa itu dan menggantinya dengan Indonesia. Sementara itu, Sitor cukup berbeda. Dia tidak hendak membunuh masa lalunya. Sitor sadar betul nasionalisme kita sejak awal dikonstruksi bukan untuk membunuh kelokalan.”

Seiring perkembangan penerbit, Rizal membentuk lini-lini penerbitan seperti Masup Jakarta dan Ka Bandung.

“Gue ngerasa, kalau elu mau bikin sejarah nasional, elu harus menguatkan sejarah lokal. Nah, pengetahuan tentang sejarah lokal ini yang kita paling lemah. Kita sedikit sekali tahu. Padahal elu enggak bisa tahu Jakarta kalau elu enggak paham sejarahnya. Tahun itu, pas mulai bikin Masup Jakarta, gue baca referensi bahwa pada 2025, 70-an persen masyarakat akan tinggal di kota. Dan perbaikan Indonesia bukan di tangan presiden, tapi di tangan pemimpin-pemimpin kota itu. Karena itu, gue mulai menerbitkan tentang Jakarta, supaya para pemimpinnya nggak ahistoris.”

Itu pula yang mendasari Komunitas Bambu menerbitkan banyak karya bertajuk sejarah daerah seperti Wilayah Kekerasan di Jakarta (Jérôme Tadié, 2009), Sejarah Sumatra (2012) ataupun Kalimantan Tempo Doeloe (2013).

Rizal juga mengadakan “Wisata Sejarah” untuk kepentingan pengenalan situs-situs peninggalan sejarah. “Ini salah satu cara mendekatkan pembaca dengan penulis dan melihat faktanya langsung lewat wisata sejarah, misalnya buku-buku dengan mengangkat tema Sukarno muda dan mengundang Peter Kasenda.”

Meski begitu, Rizal berkata bahwa oplah terbitan Komunitas Bambu terus menurun dalam lima tahun terakhir, yang mau tak mau berimbas pada melonjaknya harga jual buku. Untuk menghindari pembajakan, ia pun mengusahakan teknik laminasi tiga lapis dengan kualitas art sedemikian rupa untuk sampul terbitannya. “Orang-orang yang tadinya niat membajak karena harga buku mahal akan pikir-pikir panjang karena jelas bedanya buku orisinal dan bajakan dari menyentuh laminasi kovernya,” jelasnya.

DI tengah keadaan yang sulit bagi terbitan-terbitan dengan ceruk pasar “sempit” ini, beberapa toko buku besar masih menerapkan pembatasan untuk judul-judul buku tertentu terutama sekali yang mengangkat tema Marxisme.

Beberapa penerbit bertahan dengan jalur distribusi melalui kios-kios kecil. Beberapa yang lain memutuskan untuk mengikuti gerak pasar. Sebagian lagi gulung tikar.

Dengan keadaan seperti ini, tidak berlebihan untuk menganggap gambaran Daniel Dhakidae dalam Tahun Buku Kanisius (1999) tentang jumlah judul buku produksi Indonesia yang hanya 0,0009% tak akan banyak berubah. Dalam uraian itu, Dhakidae mengilustrasikan setiap 9 judul buku diperuntukkan bagi sejuta penduduk. Sementara, rata-rata negara berkembang memproduksi 55 judul buku, dan negara maju memproduksi 513 judul buku, bagi sejuta penduduk. Padahal, untuk setaraf dengan negara-negara maju itu, Indonesia mesti memproduksi buku 57 kali lebih banyak dari yang beredar di tengah masyarakat saat ini.

Saya kembali mengingat obrolan dengan Ronny Agustinus. Ia berkata, “Orang-orang sering tanya apa yang bisa dibenahi di industri penerbitan. Masalahnya kompleks. Untuk membenahi, ya, harus pelan-pelan. Harus panjang napas, harus panjang umur. Banyak penerbit berdiri dengan maksud kritis atau radikal. Tapi, seiring jalan, mereka tumbang. Aku belajar dari mereka. Untuk melawan, kamu harus pikirkan bagaimana bisa bertahan. Yang dilawan, soalnya, adalah hasil didikan puluhan tahun.”[]

2015/09/20

Perihal Manipulasi Orba atas Sejarah Indonesia



Wawancara dengan J. J. Rizal untuk Reportase Pindai
(September 2015) 

Bagaimana tradisi sejarah di Indonesia? Merujuk buku Vedi R. Hadiz, Ilmu Sosial dan Kekuasaan, pada masa pemerintahan Suharto, ilmu sosial dikuasai teknokrat Orba. Dalam pengajaran ilmu sejarah sendiri bagaimana?
 
Kita menilik kaitan sejarah dengan kekuasaan sampai jauh ke belakang. Suharto dan Sukarno memandang sejarah sebagai hal esensial, bahkan sebagai pokok utama. Sebelum lahirnya para sejarawan, mereka mengembangkan ilmu sejarah sedemikian rupa menjadi bagian aktivitas politik dan pengembangan ideologi. Hampir semua penggerak zaman itu berpikir untuk mengonstruksi sebuah nation, karenanya sejarah jadi hal penting. Sukarno yang punya artikulasi paling besar. Pledoinya di Landrat, misalnya, “masa lalu gemilang, masa kini penuh derita, dan masa depan yang harusnya jaya”. Dia melihat sejarah sebagai modal, bahwa di masa lalu kita punya nation-nation yang besar dan bahwa nation itu pernah dijeda oleh kolonialisme. Dalam orasi-orasinya, ia menegaskan, kita harus melanjutkan nation, tapi bukan dengan bentuk nation yang lama seperti nation lama berdasarkan penelitian arkeologis, sebutlah N.J. Krom yang membicarakan soal Sriwijaya, Majapahit, dll. Nah, bayangan tentang nation-nation yang besar dan harapan atas nation baru inilah, visi ini yang digunakan Sukarno bahwa nation yang sekarang kita bentuk adalah lanjutan dari nation yang dijeda. Yang ingin gue garisbawahi, selanjutnya yang mengembangkan ilmu sejarah akhirnya bukan para sejarawan, melainkan para politisi. Salah satunya Bung Karno dan Yamin. Karena bagi mereka, nation harus diberi roh, dan rohnya itu adalah sejarah.

Dan dalam konteks itu, kebenaran sejarah kadang tidak penting. Yang penting adalah kepentingan visioner. Misalnya, Sukarno bilang Indonesia dijajah 350 tahun, dari mana asalnya? Padahal itu yang dikatakan oleh Gubjend De Jong ketika menolak permintaan agar meniru langkah India memberikan kemerdekaan kalau misalnya berhasil dengan Inggris bergandengan tangan melawan kapitalisme. Kata Gubjend De Jong, tidak, kalau perlu, Indonesia dijajah 350 tahun. Nah, Bung Karno tahu betul kata-kata itu. Diadopsi oleh Bung Karno. Secara de facto, tidak ada yang dijajah selama itu. 300 tahun mungkin ada, itu pun hanya Banda dan Batavia.

Jadi, dulu itu pemahaman sejarah digunakan untuk upaya menyatukan bangsa?
 
Ya, karena kita baru merdeka. Kita gak punya tentara. Yang kita punya adalah sejarah sebagai modal untuk menstimulus moral dan mental masyarakat, dan lahirlah laskar-laskar untuk memerdekakan. Itu digunakan dengan sangat baik oleh Sukarno, dia menciptakan hari-hari nasional. Itu yang gue maksud, sejarah digunakan sedemikian rupa. Dia membawa seniman melukis wajah-wajah pahlawan, mengangkat tokoh-tokoh yang secara faktual kebenaran historisnya tidak diketahui, tapi yang penting melawan Belanda. Ilmu Sejarah sendiri baru berkembang secara serius tahun 50an, walau sarjananya sudah ada lebih dulu, seperti Husein Djayadiningrat. Sebelum itu, sejarah dikembangkan oleh para politisi. Jadi, kalau bagian dari kekuasaan, menurut gue itu memang hal yang nyata dalam sejarah kita. Yang lebih gila lagi, visi itu lebih digunakan secara masif dan sistematis di zaman Suharto. Kita sudah tahulah bagaimana negara dibangun oleh kebohongan dan propaganda yang disebut sebagai sejarah. Ngomong apa pun, sebenarnya enggak ada sejarahnya. Lebih banyak story daripada history. Negara memegang peranan penting saat itu dengan mendirikan pusat sejarah ABRI/TNI yang membawa seorang yang sebenarnya bukan jurusan sejarah dan sastrawan yang punya imajinasi tinggi seperti Nugroho Notosusanto dan melakukan rancangan sistematis serius dan bergerak melalui kurikulum, permuseuman, nama jalan, monumen. Semua digerakkan demi kepentingan rezim. Yang merekonstruksi itu adalah tentara.

Lalu, siapa Bapak Sejarah Formal?
 
Sejarah formal mulai dirintis Sartono Kartodirdjo, karena itu beliau disebut bapak ilmu sejarah utama karena dia melihat sejarah bukan urusan hitam putih. Kita tidak boleh melupakan tempat rakyat dan orang kecil (petani, nelayan) di dalam sejarah. Nasionalisme Indonesia dimulai dari petani. Dan mulai mengajarkan dengan apa yang disebut sejarah kritis, sejarah akademis. Dia mulai merekrut orang-orang. Dari muridnya seperti Lapian, kita tahu suara dari laut juga jarang, padahal kita negara berbentuk tanah air.

Jadi, ini lebih ke struktur birokrasinya, mereka membuat perpustakaan ABRI untuk memanipulasi sejarah. Kalau tradisi sejarah di kampus bagaimana?
 
Mereka, kan, masuk melalui kurikulum. Kurikulum itu yang menelurkan buku-buku babon. Sejarah Nasional Indonesia, misalnya. Buku itu akhirnya merupakan suatu gambaran kalau nation Indonesia dibentuk oleh kekuatan tentara. Jadi, wajar tentara punya posisi yang penting di dalam republik karena mereka punya peranan besar. Di situlah, ada pertengkaran antara sejarawan: yang ingin melihat sebuah bentuk manifestasi yang serius dari kecakapan mereka sebagai sejarawan akademis. Konflik dari Taufik Abdullah, Sartono malah bikin buku sendiri.

Ada kubu-kubu?
 
Sartono keluar, tidak ikut menulis akhirnya. Taufik Abdullah juga tidak. Karena mereka merasa dikuasai oleh kubu-kubu pemerintah yang diwakili oleh Nugroho Notosusanto. Istilahnya Kahtryn McGregor, kan, sejarah yang berseragam. SNI adalah salah satu contohnya. Terutama pada periode yang disebut sejarah kontemporer, sejak merdeka sampai 1970-an. Perdebatannya akhirnya bukan hanya yang diharapkan jadi perdebatan akademis, memperlihatkan kecenderungan para intelektual Indonesia. Yang terjadi sebaliknya. Ketika buku itu ditulis kita sedang booming sejarah intelektual Indonesia. Bukan hanya di regional Asia, tapi tingkat dunia. Mereka terlibat percakapan serius tentang tema, topik, dan filosofi sejarah, tapi itu tidak terlihat dalam buku SNI. Itu menyedihkan. Sekarang, kita krisis sejarawan yang punya kaliber seperti booming tahun 70an itu, yang bisa ikut berdialog.

Booming 70an itu siapa saja?
 
Sartono, Onghokham.

Lalu yang menuliskan buku SNI?

Nugroho Notosusanto. Mereka punya struktur birokrasi, pernah jadi rektor, menteri. Karena itu, kalau sekarang kita mendebatkan perkara 65, wajah kampus masih kelihatan seperti dulu.

Masih sampai sekarang?
 
Seperti penolakan kata penambahan G30S/PKI kan sampai ke kampus-kampus perdebatannya.

Berarti, ada tulisan-tulisan yang merujuk menolak wacana Orba?
 
Sartono bikin buku sendiri Dari Imperium sampai Emporium untuk menolak. Diterbitkan Ombak karena Nursam punya kedekatan dengan Sartono, dia menulis skripsi tentang Sartono.

Selain itu, siapa lagi?
 
Taufik Abdullah menulis tapi tidak dalam bentuk buku babon. Kemudian, dia menulis, diterbitkan di Singapur. Yah, mereka mengembangkan dirilah, menulis dalam majalah Prisma dengan menulis sejarah2 alternatif. Ini membawa pengaruh berbeda dengan yang disajikan di SNI. Itu memberi ruang sebagai suara alternatif dari sejarah resmi yang dijaga bahkan oleh penjara, pentungan, blacklist.

Bagaimana pengaruh para sejarawan anti-Orba ini ke para mahasiswa?
 
Banyak pengaruhnya. “Kalau Pak Ong sudah protes, berarti rakyat kecil sudah kena pengaruh.” Onghokham dijadikan mistar pengukur permasalahan. Karena beliau tiap hari pergi ke pasar, doyan masak, ke mana-mana naik angkot. Lapian juga.

Mereka menulis dan terlibat sebagai intelektual publik dan menjadi suara alternatif lewat kolom-kolom mereka, warna lain dari diskursus kekuasaan yang disajikan oleh pemerintah. Mereka melihat Suharto menerapkan pola kekuasaan Mataram baru yang feodal dan kolonial. Akhirnya, kita seperti mengulangi sejarah. Dia memberi refleksi, dan akhirnya menjadi perdebatan, kalau Orba itu adalah new state, old society.

Kenapa baru ’98 Suharto tumbang?
 
Ya, revolusi itu seperti pohon oak. Gak bisa langsung besar. Harus jauh, mengakar. Revolusi butuh waktu, karena itu proses mental. Mengubah kultur. Sampai hari ini, secara kultural tidak berubah: feodalismenya, banditisme partainya. ’98 hanya titik menjatuhkan saja. Ada studi menarik dari ___, dengan meneliti bacaan para aktivis 98. Mereka adalah saksi yang tegang dari kekuasaan diktatorian yang fasistik sehingga bacaan mereka lebih banyak pada bagaimana meruntuhkan rezim, tetapi ketika rezim turun, bacaannya kurang. Itu yang jadi problem. Kalau kita baca refleksi historis dari para intelektual sejarah, ya sama, mereka menyamakan Suharto dengan rezim busuk, tapi apa selanjutnya? Itu berbeda dengan politisi seperti Sukarno atau Hatta. Mereka bertanya: setelah kolonialisme tumbang, apa yang akan kita buat? Indonesia ini jembatan emas, tapi seperti apa konstruksinya? Mereka berdebat. Sementara Reformasi… mereka tidak punya kesiapan.

Mahasiswa-mahasiswa sejarah UI, dan para pendiri Kobam yang didirikan sehari sebelum Suharto makzul, apakah tidak punya gambaran besar tentang apa yang harus dilakukan sekarang?
 
Kita bikin Kobam karena setelah Suharto jatuh, kita baru sadar, apa yang menyebabkan Indonesia tumbang dan mengalami krisis yang dalam. Ada yang bilang krisis politik, lalu mereka masuk partai politik. Ekonomi, mereka masuk bisnis. Tapi jawaban gue dan teman-teman, karena kita gak kenal apa itu Indonesia. Caranya kenal bagaimana? Kita harus pulang ke rumah sejarah. Tapi sejarah Indonesia isinya gak ada sejarah (history), isinya cerita (story) semua. Bagaimana? Ya, dijernihkan. Caranya bagaimana? Kembali mewacanakan apa itu Indonesia, apa alasan kita menjadi Indonesia, dan apa cita-cita kita. Kita harus mengampanyekan ini. Ya, harus bikin penerbit. Harus menulis. Harus bicara.

[bercerita tentang kasus Kampung Pulo]

Hari ini, sering ada keluhan generasi muda buta sejarah. Menurut gue bukan hanya mereka, kita semua buta sejarah.

[bercerita tentang Jokowi dan Prabowo dengan strategi-strategi politiknya]

[kembali bercerita tentang kasus Kampung Pulo]

Minimnya perhatian terhadap masyarakat secara langsung, itu tradisi yang sudah diwarisi sejak masa pemerintah Orba, kan?
 
Makanya, sejak ’98 mestinya para intelektual publik itu dilibatkan. Selama ini, mereka ‘kan dimusuhi. Intelektual publik itu siapa? Nah, itu banyak sekali kajiannya. Bukan yang untuk melegitimasi dan mengamini pemerintah. Selama Orba, kerja teknokrat kan mengamini. Memberi referensi akademik seolah-olah itu benar. Karena ada proyek di situ. Normalisasi jadinya betonisasi. Itu bukan intelektual publik, karena dia tidak mementingkan publik. Mereka lebih mementingkan penguasa.

Siapa contoh intelektual publik yang semestinya bisa ditunjuk saat itu?
 
Sulit menyebutkan. Kecenderungan kekuasaan adalah membangun jurang dengan kampus. Contoh paling gampang, kampus dibuang ke pinggiran semua agar tidak mengganggu. Kalau kampus dekat dengan kekuasaan, dianggap bisa jadi biang keributan. Tahun ’66, kan begitu. Orde Baru tahu betul kampus tidak boleh dekat pemerintah. Negara akhirnya tumbuh seperti zombie, membesar, tapi tidak punya jiwa.

Tetap ada patron di kampus-kampus itu?
 
Bahkan setelah jauh pun, pemerintah mengirim orang untuk menjadi intel dengan NKK/BKK. Orang-orang kampus bukan sebagai teman dialog. Mereka justru dianggap musuh. Di sini, problem-problem besar Indonesia dimulai. Hampir semua kebijakan tidak memiliki basis pengetahuan sejarah. Kurikulum dimanipulasi sedemikian rupa, bisa dibaca di bukunya Saya Shiraishi, Para Pahlawan Belia, melalui kurikulum, kita dibentuk menjadi generasi yang minim wawasan dan pengetahuan. Hampir semua perpustakaan pemerintah rusak, dan kita generasi nol buku, minat baca rendah.

Maksud dari hampir semua perpustakaan rusak?
 
Ya, itu tadi, negara tidak memerlukan intelektual. Kalaupun perlu, mereka hanya memerlukan doktor dan profesor yang tukang cap. Bukan keilmuannya yang dibutuhkan. Apalagi keberpihakannya.

Itulah jalan gue: akhirnya terbentur pada pertanyaan—kalau jawaban dari krisis kita adalah dengan kembali lagi ke rumah sejarah, tapi bagaimana mungkin elu berteriak berwacana di tengah masyarakat yang tidak membaca, itulah rumitnya.

Lalu, bagaimana mungkin?
 
Elu harus jadi intektual publik di media-media, yang orang tidak perlu baca.

Bukan dengan meninggikan minat baca?
 
Ya, kan, tetap menerbitkan terus. Laku enggak laku, gue terus menerbitkan, tapi ya gue terus ngoceh di mana-mana. Enggak ada pilihan. Karena itu, gue bisa berbenturan dengan kekuasaan secara langsung.

Sejarahnya sendiri, kenapa sih masyarakat kita minat bacanya begini?
 
Ya itu, dimulai dari masa Orba. Ceritanya Pram yang menurut gue menarik. Di Tiongkok, ada raja bertanya ke penasihatnya tentang bagaimana caranya melanggengkan kekuasaan. Penasihat itu bilang: “bikin rakyat bodoh”. Salah satunya ya, pendidikan, itulah bisa dibaca di buku Saya Shiraishi. Setelah 65, buku diintervensi sedemikian rupa. Kurikulum tidak membuat daya kritis tumbuh: politiknya bersifat patron-klien, guru yang menjelaskan di depan kelas adalah patron, murid adalah klien. Patron itu memberi jawaban benar atau salah. Di zaman Sukarno, murid diberi tugas bacaaan untuk didiskusikan. Di zaman Suharto, murid diberikan resume, ya belajar karakter di mana? Kecuali, kita nyempal dari proyek masif kebudayaan Orba itu. Dan itu memerlukan pertemuan-pertemuan khusus: harus ketemu orang-orang yang kritis. Inilah akar dari semua itu adalah membaca. Seperti kata Pram, “Saya bertugas mengajarkan sejarah kepada bangsa saya.” Dengan cara bagaimana? Dia enggak bikin karya ilmiah karena mungkin dia percaya enggak ada yang baca. Jadi diseduhlah sejarah itu dalam bentuk novel. Gue orang yang sebiduk dengan Pram tapi dengan cara berbeda. Mungkin seperti Muhidin dan IVAA dengan cara arsip mereka, dan banyak orang lagi menurut gue. Jadi, memberikan wacana kritis yang bisa merontokkan dan mengikis kebudayaaan massa yang diwariskan periode puluhan tahun lalu—yang sudah seperti membatu, yang digambarkan dengan mudah melalui sikap para elite sekarang ini. Tidak punya pengetahuan, ya jadinya tidak punya kemanusiaan.

Itu yang menyebabkan Kobam menerbitkan karya-karya sastranya Pram dan Sitor Situmorang, ya? Kenapa dua ini jadi nama utama?
 
Ya, Pram dengan caranya sendiri menggambarkan Indonesia sebagai bentuk baru untuk menggantikan Jawa. Bahwa Pram adalah Jawa yang sangat membenci Jawa, iya. Dia menggambarkan Jawa dengan tegang dan dia ingin menghapus Jawa itu dengan menggantinya dengan Indonesia, seperti yang diwacanakan Tirtho Adhi Suryo. Tirtho adalah orang Indonesia modern pertama, menurut Pram.

Sementara itu, Sitor cukup berbeda. Dia tidak ingin membunuh masa lalunya. Dia Batak, dia ingin menggambarkan Batak sebagai state, nation, yang pada masa lalu punya konstruksi yang kuat. Dan harusnya seperti itulah. Itu tawaran yang diberikan Sitor, diberi dan diupayakan melalui beragam tulisan, dari mulai karya sastra sampai antropologi historis. Ia menggambarkan keindonesian kita tidak membunuh kelokalan kita. Bagi Pram, Jawa sudah selesai. Bagi Sitor, kembali harus perlu, karena setiap kelokalan kita bisa menjadi sumber untuk membentuk Indonesia. Sitor sadar betul nasionalisme kita sejak awal dikonstruksi bukan untuk membunuh kelokalan. Ini tergambar dalam peristiwa Kongres Sumpah Pemuda, di mana bagian ketiga “menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia” itu dihilangkan. Keitka elu bilang menjunjung, artinya elu menghargai ada bahasa ibu. Ketika elu ngomong tentang bahasa ibu, elu harus menghidupkan kebudayaannya. Karena bahasa ibu adalah muara dari kebudayaan. Kalau elu mau ngecek matinya kebudayaan lokal, elu ngecek aja penutur bahasanya.

Mereka dua gambaran yang menarik untuk menghayati mengapa kita menjadi Indonesia, mereka termasuk generasi kedua setelah para founding fathers. Nah, sekarang kita enggak belajar lagi menjadi Indonesia kan karena diputus oleh sistem orde baru itu. Hasilnya, sekarang contoh-contohnya adalah praktisi-praktisi politik.

Akses materi dari mana?
 
Gue bergaul dengan para dosen karena gue merasa kecewa dengan pengajaran di kampus. Untungnya, ada senior dan jurnal. Kita mengakses sendiri.

Siapa-siapa saja anggota Komunitas Bambu?
 
Awalnya, kita namanya komunitas, karena ada banyak orang yang bergerak dari aneka macam disiplin tapi menyepakati hal yang sama: kita gagal memahami sejarah bersama. Bambu, karena dulu Depok konservatorium bambu. Kobam ini seperti tempat singgah. Gue bertahan karena gue mengepalai divisi penerbitan dan gue terikat sama kerjasama Adikarya Ikapi; ada divisi diskusi, penerbitan, dll. Saat itu, mulai lulus kuliah. Erita, Bagus Takwin, Faturohman, Safaris Dadi, Agus Mediarta, Dony Gahral, Ihsan Abdul Salam, Tunjung, Lely, etc.

Ada grand design menerbitkan seri-seri seperti Soeharto, Tionghoa, etc.?
 
Waktu itu, wacana kita adalah bagaimana menghadirkan sejarah yang selama ini tidak tersuarakan, karena bagi kita sejarah seperti album keluarga. Apabila ada unsur yang hilang, bingkai itu rusak. Ibarat mengisi ruang kosong: kita menulis tentang Tan Malaka, Sukarno, etc. Karena kalau mau tahu apa itu Indonesia, harus melalui mereka.

Periode pendiriannya bagaimana?
 
Kita waktu itu terlibat dalam demo dan aksi. Kita mendirikan Kobam menjelang Suharto jatuh karena kita mulai berpikir what’s next? Apa yang menyebabkan Indonesia jatuh begini? Kita mulai mengadakan diskusi: obat yang dicari atas krisis ini. Kita mulai membicarakan masa lalu dari aneka macam sisi: psikologi, ekonomi, filsafat.

Sejak 2006, ada imprint-imprint baru.
 
Gue ngerasa, kalau elu mau bikin sejarah nasional, elu harus menguatkan sejarah lokal. Nah, sejarah lokal ini paling lemah, kita sedikit sekali tahu. Padahal elu gak bisa tahu Jakarta kalau elu gak paham sejarahnya. Tahun itu, gue baca referensi pada 2025, 70-an persen masyarakat akan tinggal di kota. Dan perbaikan Indonesia bukan di tangan presiden, tapi di tangan pemimpin-pemimpin kota itu. Karena itu, gue mulai nerbitin tentang Jakarta, supaya enggak ahistoris.

Cover Kobam desainnya berbeda?
 
Itu kita lakukan karena oplah menurun, dan harga meningkat. Kecenderungan orang untuk membajak akan besar dengan kenaikan harga ini. Jadi, kita bikin pembeda dengan kualitas art sedemikian rupa, untuk entertainment. Itu sebenarnya trik. Lima tahun terakhir surveinya, peminat buku Kobam menurun terus. Lima tahun lalu, 1500 laku dari 2000, tahun berikutnya jadi 1000, 800, dan kemarin 600. Di toko, makin drop. Sementara distributor ongkos makin mahal. Kita sudah mulai gak ikut bookfair karena cost-nya sudah enggak masuk. Buku Sartono, misalnya, cuma cetak 1500. Kecuali elu punya pabrik buku raksasa seperti Gramedia, etc.

Terus, strategi bertahan bagaimana?
 
Kobam enggak pernah hidup dari Kobam. Kobam hidup dari artwork. Buku Kobam semacam katalog, orang sering datang ke Kobam untuk meminta bantuan cara mengemas buku. Kita banyak dapat order dengan bantu artwork.

Kobam punya percetakan sendiri?
 
Setidaknya kita punya banyak rekanan, yang syaratnya bisa memberi utangan. Karena kalau langsung bayar sering sulit. Enggak ada bedanya dengan ucapan James Scott tentang nasib petani, terendam sebatas lutut. Ada riak air sedikit saja, kita tenggelam.

Kenapa masih bertahan?
 
Ya memberi masyarakat bacaan, masih ada bacaan yang baik di tengah sampah buku. Elu kan sulit masuk ke toko buku, yang elu temuin sampah. Nah, untuk itu, Kobam melakukan segala macam hal untuk memperoleh dana. Kita juga berusaha mendekatkan pembaca dengan penulis dan faktanya langsung lewat wisata sejarah, misalnya buku-buku Sukarno Muda dan Nyai Dasima.

Siapa peminatnya?
 
Banyak. Kita pernah bikin wisata sejarah Nyai Dasima, sampai 130-an orang yang datang. Ini membantu untuk lebih dekat dengan pembaca Kobam. Yang harus dibentuk, kan, komunitas pembaca buku Kobam, dan kalau bisa dilanggan. Waktu ketemu di Bentara Budaya pas acara komik, Seno Gumira sampai bilang, kan, bahwa saking pentingnya buku-buku Kobam sampai harus dilanggan.

Setelah Reformasi, selain pemerintah yang enggak baca buku dan buta sejarah, kenapa konstelasi politik kita enggak berubah?
 
Karena orang-orang yang hidup hari ini adalah orang-orang yang mindset-nya disetir sedemikian rupa, dan menghasilkan mentalitas manusia yang sama. Enggak ada lagi ideologi bagi mereka. Frankfur Edi, sosiolog, bilang mereka terjebak dalam kedangkalan. Kalau terjebak dalam kedangkalan, elu gak punya wawasan. Kalau enggak punya wawasan, enggak punya cukup pengetahuan. Kalau enggak ada cukup pengetahuan, elu enggak akan punya ideologi. Dari partai apa pun, semuanya jadi sama, yang mereka tahu adalah sifat greedy, itu yang khas dari Orba. Sekarang, mahkota adalah uang. Di masa lalu, mahkotanya adalah pengetahuan.

Persoalan buruknya, kita buntu di sejarah 65, mayoritas kekuatan kita terserap ke sana. Kampus terbelah. Sejarah maritim, perempuan, etc. jadi kurang difokuskan.

Dalam beberapa tahun ke depan, apa ada optimisme?
 
Menurut gue, optimisme itu etika. Dan sejarah mengajarkan itu. Kalau elu belajar sejarah, elu pasti punya optimisme. Sejarah membantu elu keluar dari lubang jarum sekalipun. Suatu saat, Ranggawarsita pernah menulis tentang Kalabendhu, sudah tidak ada lagi harapan, di depan hanyalah lorong gelap yang penuh marabahaya. Tapi kemudian kan muncul orang seperti Kartini, dia bilang Ranggawarsita itu ngaco, muncullah bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, mungkin memang Abendanon yang bikin judul itu, tapi kalau elu baca surat-surat Kartini, dia adalah orang yang paling senang menggunakan kosakata terang dan gelap. Sukarno juga orang yang paling senang dengan kiasan sang fajar. Muhammadiyah juga lahir dengan simbol mentari, itu juga pengaruh Kartini.

Judul-judul yang paling representatif untuk tiap seri?
 
Semua. Kalau tidak mau terjebak dalam politik rasial Orba, elu harus baca semua buku itu sekaligus.

Tulisan Terdahulu