2015/09/30

Riuh Bekerja di Pasar yang Sepi


© Saiful Bachri
Reportase untuk Pindai.org, akses PDF
 
Betapapun harus ‘mengencangkan ikat pinggang’, sebagaimana istilah dua penerbit ini, para pegiatnya terus menghidupi bacaan non-populer dengan daya kritis yang tebal.


JALANNYA roda penerbitan buku hari ini adalah keberlanjutan dari kritik Khrisna Sen dan David T. Hill dalam artikel Perbukuan Indonesia: Translasi dan Transgresi, lebih dari satu dekade silam. Mereka menulis, investasi terbaik dan penjualan produk tercepat oleh Gramedia—dijadikan parameter sebagai salah satu penerbit terbesar di Indonesia—dicapai dari buku-buku bertopik pengembangan-diri praktis hingga novel-novel populer. Imbasnya, judul-judul buku ditentukan dalam mekanisme pasar yang mendorong publikasi tema yang cenderung seragam.

Di sisi lain, pergantian berdarah kekuasaan dari Sukarno yang mengedepankan “politik sebagai panglima” ke pemerintahan Soeharto dengan “ekonomi sebagai panglima”, mengubah pula pergeseran tren judul buku dalam kategori buku “berat”. Ia didominasi paradigma developmentalisme—satu istilah dari khazanah ekonomi yang secara singkat menjelaskan hubungan ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga. Pandangan ini seirama agenda Ali Moertopo, ideolog rezim Orde Baru, yang merumuskan “satu cara berpikir” demi cetak biru apa yang disebut “akselerasi modernisasi 25 tahun” rezim Soeharto, yang juga menghendaki pola pikir seragam dan tunggal.

Untuk mendukung ekonomi pembangunan itu, depolitisasi kampus diterapkan. Kurikulum dan materi bacaan dijaga ketat dan “diamankan” demi menjaga “stabilitas nasional”. Pada Oktober 1989, Kejaksaan Agung membentuk sebuah badan yang disebutclearing house, tugasnya meneliti isi buku dan merekomendasikan pemusnahan bila mengancam rezim. Selain Kejagung, Departemen Pendidikan dan Kebudayan lewat instruksi kementerian tahun 1965—memuat satu beleid larangan menggunakan “buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan”—membekukan sebelas dafar buku karangan para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pelarangan ini terus berlanjut bahkan sesudah Soeharto lengser.

Sejak masa kolonial Hindia Belanda, percetakan dan penerbitan di Indonesia tak pernah lepas dari kuasa tangan-tangan pemerintah, baik di bawah pemerintah kolonial maupun sebagai negara-bangsa.

Pada 1908, berdiri Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat), diketuai G. A. J. Hazeu, penasihat urusan Bumiputra. Mewakili kepentingan komisi ini, pada 1911, D. A. Rinkes lewat “Nota Over de Volkslectuur” menetapkan bacaan rakyat dan melarang buku-buku yang dianggap sebagai bacaan liar: terbitan berbahasa Melayu rendah yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi inilah yang kemudian berlanjut menjadi Penerbit Balai Pustaka.

Hadirnya Balai Pustaka dibarengi oleh sejumlah program penerbitan dari lembaga pendidikan dan keagaman, di antaranya Kanisius, Muhammadiyah, Penjiaran Islam, hingga Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia pada kurun 1920.

Pada periode 1950-1970, penerbit universitas mulai marak berdiri, seperti UI Press pada 1969 yang disokong dana Ford Foundation, dan Penerbit IPB yang didanai University of Kentucky.

Menjelang dekade terakhir rezim Soeharto pada periode 1990-an, beberapa penerbit alternatif mulai masuk mengisi ceruk pasar buku yang didorong oleh “pembelotan” para aktivis perbukuan dari penerbit-penerbit induk.

Setelah 1998, berduyun-duyun penerbit alternatif yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa berdiri. Perlu dicatat pula, dalam rentang 1998-2004, Ford Foundation menawarkan dana bantuan penerbitan buku melalui Yayasan Adikarya IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Dalam program ini, setiap penerbit berhak mengajukan delapan judul buku untuk didanai.

Tak ayal, alasan pendirian penerbit di masa itu pada umumnya bukan semata kepentingan ideologis. Melainkan fakta bahwa usaha penerbitan mampu mendatangkan laba dengan menekan biaya produksi, sementara mereka pun masih bisa mendapat dana dari yayasan donor. Imbas dari pengerukan laba ini, pekerja kreatif dan penulis tak dibayar dengan layak.

Sederet contoh pelanggaran yang dilakukan penerbit, misalnya: pengingkaran atas royalti, laporan penjualan yang tidak transparan, hingga masalah hak cipta.

Selepas periode itu, terbitan mulai tak terbendung lagi. Kualitas terbitan, seperti mutu terjemahan dan editorial, menjadi tanda tanya besar karena kerja-kerja penerbit yang bergegas.

Di tengah semua itu, hadir upaya-upaya penerbitan yang cukup serius, yang masih dari lini penerbitan alternatif dan bertahan hingga kini, di antaranya penerbit Marjin Kiri dan Komunitas Bambu. Untuk meneruskan kerja-kerja penerbitan, sejak dini mereka telah menentukan ceruk pasarnya: menerbitkan karya-karya yang mendedah suatu permasalahan hingga ke akarnya ataupun karya-karya yang menawarkan perspektif berbeda.


ARIA Wiratma Yudhistira tengah menyisir tumpukan koran terbitan 1970-an di lantai 9 Perpustakaan Nasional saat ketertarikannya jatuh pada serentetan pemberitaan mengenai pelarangan mahasiswa berambut gondrong oleh pemerintah.

Itu membikinnya bertanya-tanya, “Di tengah rezim yang berusaha tampil setenang mungkin, kenapa Soeharto justru terang-terangan menerapkan larangan itu?”

Pada masa itu, soal rambut gondrong bahkan jadi permasalahan seluruh pejabat tinggi pemerintahan, mulai dari menteri, Kepala Bakin, Jaksa Agung, hingga Pangkopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Perkara ini sempat pula memicu polemik antara Ali Sadikin dan Arief Budiman, mahasiswa era ’60-an yang terkenal sebagai pelopor golput (golongan putih). Polemik selesai, tapi aksi-aksi anti-rambut gondrong masih berlanjut.

Aria mengajukan tema pelarangan rambut gondrong ini sebagai proposal skripsinya ke dosen pembimbingnya di Jurusan Sejarah UI. Tema itu ditolak mentah-mentah di muka dengan alasan, “Kalau kamu mau menulis tema populer, kamu harus cari dosen yang paham budaya dan seni.”

Namun, Aria bersikeras melanjutkannya dan alasan paling wajar dari penolakan itu karena memang temanya dianggap nyeleneh. Ia menyusun kronologi pemberitaan sikap represif pemerintah terhadap mahasiswa berambut gondrong yang dirunutnya sejak masa pemerintahan Sukarno hingga tahun 1970-an.
Alasan sikap represif itu, dari temuannya, lantaran rambut gondrong oleh kekuasaan Orde Baru, yang menonjolkan diri sebagai “Bapak”, dianggap bentuk ekspresi berlebihan dari sekelompok anak muda yang bisa mengganggu “stabilitas negara”.

“Di tahun 1966, mahasiswa dipakai menjatuhkan Sukarno. Di masa Soeharto, mereka malah dimatikan kekuatan politisnya. Pada 1980-an, preman dimatikan lewat petrus (penembakan misterius). Padahal, sebelum dibunuh, mereka juga dimanfaatkan negara,” ujar Aria.

Pemahaman Aria tentang latar belakang rezim Orde Baru berkembang. “Sukarno tidak pernah menyatakan pemerintahannya sebagai Orde Lama. Yang ada, ya, Masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Liberal. Di sana kelihatan, Soeharto menginginkan rezim lama mulai disingkirkan dan dibentuk karakteristik, sebuah orde yang baru.”

Dalam bab “Sebuah Era Baru”, karakteristik rezim Soeharto terjelaskan dari cara-cara penyingkirannya atas Sukarno dari tampuk kekuasaan, upaya Soeharto dalam memanfaatkan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) dalam Sidang MPRS yang kemudian mengangkatnya sebagai presiden, pelibatan ekonom-ekonom lulusan University of California (Berkeley) dalam agenda pembangunan, hingga operasi-operasi khusus yang dijalankan Ali Moertopo dalam upaya pembersihan anggota partai politik dalam rangka depolitisasi masyarakat. Semua dilakukan dengan tenang dan tertib, rust en orde, demi keberlangsungan pembangunan pemerintahan Soeharto.

“Mereka sibuk kerja, kerja, dan kerja,” kata Aria.

“Membaca arsip rezim dari kaca mata berbeda” adalah kata kunci yang dipakai Aria untuk menelusuri hegemoni rezim Soeharto atas mahasiswa-mahasiswa berambut gondrong pada 1970-an.

Pada suatu malam sepulang kerja, Aria bertemu dengan dua seniornya dari jurusan Sejarah saat menunggu kereta komuter di Stasiun Gondangdia. Perspektifnya yang unik dalam mengkaji sejarah Orde Baru itu jadi alasan seorang seniornya mengirimkan naskah Aria untuk diterbitkan Marjin Kiri.


MENAWARKAN perspektif berbeda adalah salah satu fokus Penerbit Marjin Kiri. Itu dapat ditilik dari skripsi Aria Wiratma Yudhistira yang kemudian dibukukan, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010). Atau misalnya melihat globalisasi dari perspektif sepakbola melalui tulisan jurnalistik Franklin Foer, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola: Kajian Tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi (2006). Selain bertema nyeleneh, buku-buku ini dibarengi dengan desain sampul dan tata letak yang segar.

“Ada judul-judul buku bagus banget, caranya melihat permasalahan segar, seksi, tapi seringnya tidak ada yang sepertinya tertarik menerjemahkan. Sayang kalau seperti itu,” kata Ronny Agustinus, pemimpin redaksi Marjin Kiri.

Penerbitan Marjin Kiri bermula dari usaha senggang Ronny Agustinus menerjemahkan komunike-komunike Subcomandante Marcos sebagai latihan mendalami bahasa Spanyol; atau saat ia mengetik kembali Madilog, buku yang dipandang Tan Malaka sebagai karya terpentingnya; atau bisa lebih jauh ke belakang sewaktu Ronny masih kecil yang mengidolakan komik para jagoan.

Kenyataan bahwa kegemarannya terhadap para superhero itu yang mendorongnya studi Seni Grafis Murni di Institut Kesenian Jakarta. “Meskipun, untuk kuliah di sana, aku harus bilang ke orangtuaku kalau aku kuliah Desain Interior,” kenangnya.

Setamat kuliah, ia bekerja sebagai penata letak majalah di Pusat Data Indikator, yang berfokus pada kajian ekonomi-politik. Di sini ia kemudian mengerjakan Madilog:Materialisme, Dialektika, Logika (1999), sebuah uraian Tan Malaka atas teori-teori Marx yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang ditulisnya saat pendudukan Jepang. Ronny menulis catatan (epilog) cukup panjang dan serius untuk buku itu.

Indikator tutup pada 2002. “Saat itu, semua media berlomba menjadi bombastis. Sementara Indikator serius sekali,” katanya.

Setelahnya, ia melanjutkan kerja sebagai penata letak untuk sebuah biro desain majalah. Mereka berkomunikasi melalui jaringan server FTP (protokol pengiriman berkas), dan desain bikinannya dicetak langsung di Prancis. Lewat pasangan dari kenalannya di biro desain itu, Ronny belajar bahasa Spanyol secara otodidak.

Buku Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah, yang ia terjemahkan, terbit secara pribadi pada Agustus 2002. Buku setebal nyaris 900 halaman itu dicetak lima puluh eksemplar. Ia mengirimkannya kepada para kenalan. Suatu waktu Seno Joko Suyono, wartawan Tempo, meneleponnya dan terdengar menahan tawa geli, “Bikin buku tanpa sinopsis di kover belakang, tidak ada nama penerbit di kover ataupun di halaman kredit, bagaimana bisa aku bikinkan resensi untuk buku ini?!”

Buku terjemahan tentang gerakan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista itu disambut baik oleh para pembaca perdana. Tak sampai sebulan, banyak surel dan telepon masuk: tanggapan berupa pujian, kritik, izin menukil atau menyalin, hingga tawaran penerbitan.

Eko Prasetyo dari InsistPress lantas meminta izin untuk menerbitkan pada 2003. “Di edisi percobaan, ada banyak ilustrasi yang kubikin sendiri, yang tidak diturutkan dalam edisi terbitan komersialnya. Itu membuatnya terkesan angker dan serius, yang sebenarnya tidak sejalan dengan kekocakan Subcomandante Marcos,” ujar Ronny. 

Respons atas buku Subcomandante Marcos itu termasuk datang dari rekan kerja lamanya di Indikator. Mereka usul untuk bikin penerbitan, kendati ini belum bisa dikatakan cikal bakal Marjin Kiri. Betapapun mereka melanjutkan fokus kajian seputar ekonomi-politik, tapi arah penerbitannya masih di luar tema utama. Ronny dan beberapa rekannya merasa kurang sreg sehingga memutuskan mendirikan penerbit baru.

Dari sanalah Marjin Kiri bermula. Digawangi enam orang, penyisiran naskah mulai dilakukan. Tema ekonomi-politik dan globalisasi menjadi prioritas.

“Judul-judul buku Joseph Stiglitz dan Edward W. Said termasuk yang dibeli pertama. Kenapa? Karena di tahun 2005, aku pikir isu-isu ini akan sangat penting ke depannya. Berulangnya krisis, misalnya. Pas tahun 2008, kan, ternyata betul ada krisis lagi. Menarik karena Stiglitz, bahkan sebelum krisis, lewat Dekade Keserakahan (2006) bisa menjelaskan dengan gamblang kesalahan-kesalahan yang diperbuat Amerika sampai krisis itu terjadi,” papar Ronny.

Karya Edward W. Said, Bukan-Eropa: Freud dan Politik Identitas Timur Tengah (2006), menjadi buku terbitan pertama mereka. Buku ini tidak hanya membahas bagaimana Orientalisme mengkaji tulisan-tulisan Eropa mengenai Timur, dengan memaparkan politik representasi sastra yang digunakan Said. Alih-alih menggali lebih dalam wawasan Said tentang pandangan skizofrenogenik dan primitivisme dalam perdebatan-perdebatan Freud dengan sekian tokoh “orientalis”.

Pada Juli 2007, terjadi ketegangan dalam tim inti Marjin Kiri. Reorganisasi dijalankan. Lima orang keluar. Sejak itu tinggal Ronny berduet dengan Robby Kurniawan, yang mengurusi divisi pemasaran penerbitan. Distributor dialihkan dari Agromedia ke Nalar dan oplah cetakan diubah.

Dengan kesibukan dalam pengonsepan ulang arah penerbitan, buku Republikanisme dan Keindoenesiaan karya Robertus Robert menjadi satu-satunya yang diterbitkan tahun itu. Roda penerbitan kembali berputar dengan terbitnya bunga rampai tulisan, Kembalinya Politik: Pemikiran Kontemporer dari (A)rendt sampai (Ž)ižek (2008).

Ronny dan Robby kemudian merumuskan apa yang dimaksud sebagai “Marjin Kiri banget”. Juga upaya untuk bertahan sebagai penerbit alternatif dengan ceruk pasar yang mereka bilang “sangat sempit”. 

Pemilahan judul, tak terhindarkan, akhirnya sangat selektif. Atau ia tak mengejar segi kuantitas. Penggarapan buku, dari desain hingga mutu kertas, dikelola secara terjaga. Gagasan yang ditawarkan dari terbitan Marjin Kiri juga menjelaskan upaya mengoreksi paradigma yang selama ini masih mendominasi kebijakan negara.

“Kita ini benar-benar disterilkan dari pemikiran-pemikiran Kiri, tapi yang diam-diam kita hasratkan. Beberapa waktu lalu, banyak orang membandingkan pendidikan Indonesia dengan negara-negara Skandinavia terkait taraf hidup dan kebahagiaan, seakan-akan semua itu jatuh dari langit. Padahal mereka itu kan welfare state. Semua itu didapat dari hasil perjuangan partai buruh atau komunis. Sementara masyarakat kita seperti tidak ada respek pada kesejarahan perjuangan buruh, partai komunis, ataupun partai sosialis. Mereka mengidamkan kesejahteraan semacam itu, tapi tidak mau komunisnya, memangnya bisa?! Benar-benar ahistoris. Yang aku hadapi, aku merasa itulah yang harus dilawan oleh Marjin Kiri,” kata Ronny.

Atau menurut Robby, apa yang masuk sebagai “bacaan yang dimaui Marjin Kiri” adalah “buku yang menurut kita membawa wacana baru, membawa suatu esensi dasar yang menarik.” Ia “melihat dunia dari sisi lain. Kita mau bawa pesan bahwa ini ada sesuatu yang beda. Ekonomi nggak seperti yang di diktat kuliah saja. Ada ekonomi alternatif yang menarik untuk coba diwacanakan.”

Selain mengganti distributor, Marjin Kiri juga berjejaring dengan komunitas-komunitas baca dan toko-toko buku kecil, yang ditampilkan melalui laman situsweb supaya mudah diakses oleh peminat buku-buku Marjin Kiri.

Menurut cerita pedagang dari kios Toko Buku Bangkit di areal Shopping Yogyakarta, sejak 2010, terbitan baru Marjin Kiri hampir selalu dinantikan.

“Langganan saya selalu mau supaya buku-buku Marjin disimpankan stoknya untuk dia,” kata Anto. Sejauh ini, menurut Anto, buku karya Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013) terbilang sebagai yang paling diminati. “Di kios saya saja, bukunya sudah laku lebih dari 400,” ungkapnya. Buku itu mendatangkan banyak ulasan.

Robby mengatakan, kendati buku terbitan Marjin Kiri memikat perhatian khalayak pembaca serta pembeli loyal, “kami tetap bisa dibilang sepuluh kali ‘mengencangkan ikat pinggang’. Yang kita yakini, selama modal masih bisa diputar, penerbitan buku harus jalan terus.”


MENGENCANGKAN ikat pinggang untuk mendanai penerbitan bukan hal asing bagi J.J. Rizal, pemimpin redaksi Komunitas Bambu (Kobam). “Kobam nggak pernah hidup dari Kobam. Kobam hidup dari artwork. Buku Kobam semacam katalog. Orang sering datang ke Kobam untuk meminta bantuan cara mengemas buku. Itu sampingan yang kita kerjakan demi menghidupi penerbitan,” kata Rizal.

Rizal mengatakan, cita-cita penerbitan adalah hal yang membuatnya tetap bertahan. “Kita bikin Kobam karena setelah Soeharto jatuh, kita baru sadar: apa yang menyebabkan Indonesia tumbang dan mengalami krisis yang dalam? Jawaban gue dan teman-teman waktu itu, karena kita nggak kenal apa itu Indonesia. Caranya kenal bagaimana? Kita harus pulang ke rumah sejarah. Tapi sejarah Indonesia, kan, sudah dikeruhkan rezim Soeharto. Lalu, bagaimana? Ya, dijernihkan. Caranya bagaimana? Kembali mewacanakan apa itu Indonesia, apa alasan kita menjadi Indonesia, dan apa cita-cita kita. Kita harus mengampanyekan ini. Ya, harus bikin penerbit. Harus menulis. Harus bicara, tidak berhenti.”

Komunitas Bambu berdiri pada 20 Mei 1998. Para pegiat awal adalah para pelanggan toko buku milik Mujib Hermani di emperan jalan setapak konblok dari arah Halte UI ke kampus Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok. Dulunya tempat mereka berkumpul masih hutan rindang.

Para pendiri komunitas itu antara lain Bagus Takwin, Donny Gahral Adian, Ihsan Abdul Salam, J.J. Rizal, dan Yunadi Ramlan. Fokus diskusi berkisar tema-tema kebudayaan, filsafat, sastra, dan teater. “Ketika masa ’98, banyak aksi berfokus pada politik, tapi ruang budaya di mana?” Itulah, menurut Agus Mediarta, rekan Rizal di Komunitas Bambu, yang menjadikan tema budaya sebagai fokus diskusi.

Komunitas Bambu lantas merintis penerbitan tiga kumpulan puisi yang ditulis Dony Gahral Adrian, Ihsan Abdul Salam, dan J.J. Rizal sejalan dengan pandangan budaya itu.

Orang belakangan mengenal J. J. Rizal sebagai sejarawan, dengan fokus perhatiannya pada kebudayaan Betawi. Tetapi Rizal pada masa itu dikenal sebagai penyair kampus, dan sajak-sajaknya sempat jadi kumpulan puisi bertajuk Kura-kura dalam Perahu. Ia juga mengorganisir komunitas Kelompok Tulang-tulang yang Berserakan—organ aksi yang juga bergerak sebagai kelompok kesenian.

“Biasanya, pas agenda demonstrasi mahasiswa, mereka menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dan melakukan pembacaan puisi,” kata Agus.

Rizal terlibat dalam demonstrasi Kesatuan Aksi Keluarga Besar UI dan menjadi ilustrator “Bergerak”, terbitan sampingan pers mahasiswa Suara Mahasiswa UI.

Diskusi-diskusi Komunitas Bambu masih berlanjut. Mereka membangun sekretariat kecil di seberang Halte UI. Saat itu pula Komunitas Bambu berubah jadi yayasan. Dimulailah agenda penerbitan lewat sejumlah karya Tan Malaka: Islam dalam Tinjuan Madilog (1999), Menuju Republik Indonesia (2000), dan Massa Aksi (2000).

“Waktu itu, wacana kita adalah bagaimana menghadirkan sejarah yang selama ini tidak tersuarakan, karena bagi kita sejarah seperti album keluarga. Apabila ada unsur yang hilang, bingkai itu rusak. Ibarat mengisi ruang kosong: kita menulis tentang Tan Malaka, Sukarno, dan bapak-bapak bangsa lain yang terlupakan. Karena kalau mau tahu apa itu Indonesia, kita harus mengenal mereka,” jelas Rizal.

Pada awal 2000-an nama Komunitas Bambu punya gaung tersendiri di Jakarta di antara sedikitnya komunitas yang berfokus pada ranah budaya. Agus mencontohkan, yang ada saat itu di antaranya Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Konfiden. Anggota antarkomunitas pun saling mengenal. Beberapa anggota Komunitas Konfiden seperti Alex Sihar juga pernah ikut terlibat dalam kegiatan Komunitas Bambu. “Seri buku Tan Malaka malah digarap di tempat tinggal Alex,” ujar Agus.

Waktu bergulir. Fokus hidup sebagian besar komunitas beralih. Hanya J.J. Rizal yang bertahan di Komunitas Bambu.

Saat itu Rizal yang mengepalai divisi penerbitan masih mengemban tanggung jawab kepada yayasan pendana Adikarya IKAPI untuk menerbitkan dua judul: karya Iskandar P. Nugraha, Mengikis batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi & Nasionalisme Indonesia(2001), dan karya Rosa M.T. Kerdijk, Wayang-liederen: Biografi Politik Budaya Noto Soeroto (2002).

“Sebenarnya, sejak 2003, Komunitas Bambu sudah bukan berbentuk komunitas. Bahkan sejak 2002 juga bukan. Karena seingat saya sejak itu, Kobam hanya menghasilkan buku tanpa ada proses yang dilibatkan di dalam komunitas,” kata Agus. Karena alasan itu pula, nama Kobam sempat diusulkan untuk diganti. Tetapi Rizal memutuskan tetap mempertahankannya. Nama itu dirasa dekat dengannya dan telah membesarkannya. Afiliasi yang terjalin sedari mula lewat Kobam itu juga yang dipakai Rizal sewaktu menulis untuk pelbagai terbitan seperti di Agenda dan Warta Kota.

Kelanjutan Komunitas Bambu di kemudian hari pun sepenuhnya ditentukan oleh Rizal.
Rizal menerbitkan judul-judul buku yang pernah tabu di rezim Soeharto termasuk tema komunis dari para akademisi: Kemunculan Komunisme Indonesia (Ruth T. McVey, 2010), Penghancuran PKI (Olle Törnquist, 2011), dan Teror Orde Baru (Southwood & Flanagan, 2013). Termasuk pula seri judul mengenai Soeharto: Soeharto di Bawah Militerisme Jepang (David Jenkins, 2010), Soeharto dan Barisan Jenderal Orba (Jenkins, 2010), dan Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (Richard Robison, 2012).

“Kita sudah tahulah bagaimana negara dibangun oleh kebohongan dan propaganda yang disebut sebagai sejarah. Ngomong apa pun, sebenarnya nggak ada sejarahnya. Semua digerakkan demi kepentingan rezim,” ujar Rizal mengemukakan alasan di balik menerbitkan buku tersebut.

Alasan serupa dalam laju kritik terhadap wacana Orde Baru ketika ia menerbitkan karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. “Mereka dua gambaran yang menarik untuk menghayati mengapa kita menjadi Indonesia. Mereka termasuk generasi kedua setelah founding fathers. Nah, sekarang kita nggak belajar lagi menjadi Indonesia, kan, karena diputus oleh sistem Orde Baru itu.”

Menurut Rizal, Pram dengan caranya sendiri menggambarkan Indonesia sebagai bentuk baru untuk menggantikan Jawa. “Bahwa Pram adalah Jawa yang sangat membenci Jawa—iya. Dia menggambarkan Jawa dengan tegang dan dia ingin menghapus Jawa itu dan menggantinya dengan Indonesia. Sementara itu, Sitor cukup berbeda. Dia tidak hendak membunuh masa lalunya. Sitor sadar betul nasionalisme kita sejak awal dikonstruksi bukan untuk membunuh kelokalan.”

Seiring perkembangan penerbit, Rizal membentuk lini-lini penerbitan seperti Masup Jakarta dan Ka Bandung.

“Gue ngerasa, kalau elu mau bikin sejarah nasional, elu harus menguatkan sejarah lokal. Nah, pengetahuan tentang sejarah lokal ini yang kita paling lemah. Kita sedikit sekali tahu. Padahal elu enggak bisa tahu Jakarta kalau elu enggak paham sejarahnya. Tahun itu, pas mulai bikin Masup Jakarta, gue baca referensi bahwa pada 2025, 70-an persen masyarakat akan tinggal di kota. Dan perbaikan Indonesia bukan di tangan presiden, tapi di tangan pemimpin-pemimpin kota itu. Karena itu, gue mulai menerbitkan tentang Jakarta, supaya para pemimpinnya nggak ahistoris.”

Itu pula yang mendasari Komunitas Bambu menerbitkan banyak karya bertajuk sejarah daerah seperti Wilayah Kekerasan di Jakarta (Jérôme Tadié, 2009), Sejarah Sumatra (2012) ataupun Kalimantan Tempo Doeloe (2013).

Rizal juga mengadakan “Wisata Sejarah” untuk kepentingan pengenalan situs-situs peninggalan sejarah. “Ini salah satu cara mendekatkan pembaca dengan penulis dan melihat faktanya langsung lewat wisata sejarah, misalnya buku-buku dengan mengangkat tema Sukarno muda dan mengundang Peter Kasenda.”

Meski begitu, Rizal berkata bahwa oplah terbitan Komunitas Bambu terus menurun dalam lima tahun terakhir, yang mau tak mau berimbas pada melonjaknya harga jual buku. Untuk menghindari pembajakan, ia pun mengusahakan teknik laminasi tiga lapis dengan kualitas art sedemikian rupa untuk sampul terbitannya. “Orang-orang yang tadinya niat membajak karena harga buku mahal akan pikir-pikir panjang karena jelas bedanya buku orisinal dan bajakan dari menyentuh laminasi kovernya,” jelasnya.

DI tengah keadaan yang sulit bagi terbitan-terbitan dengan ceruk pasar “sempit” ini, beberapa toko buku besar masih menerapkan pembatasan untuk judul-judul buku tertentu terutama sekali yang mengangkat tema Marxisme.

Beberapa penerbit bertahan dengan jalur distribusi melalui kios-kios kecil. Beberapa yang lain memutuskan untuk mengikuti gerak pasar. Sebagian lagi gulung tikar.

Dengan keadaan seperti ini, tidak berlebihan untuk menganggap gambaran Daniel Dhakidae dalam Tahun Buku Kanisius (1999) tentang jumlah judul buku produksi Indonesia yang hanya 0,0009% tak akan banyak berubah. Dalam uraian itu, Dhakidae mengilustrasikan setiap 9 judul buku diperuntukkan bagi sejuta penduduk. Sementara, rata-rata negara berkembang memproduksi 55 judul buku, dan negara maju memproduksi 513 judul buku, bagi sejuta penduduk. Padahal, untuk setaraf dengan negara-negara maju itu, Indonesia mesti memproduksi buku 57 kali lebih banyak dari yang beredar di tengah masyarakat saat ini.

Saya kembali mengingat obrolan dengan Ronny Agustinus. Ia berkata, “Orang-orang sering tanya apa yang bisa dibenahi di industri penerbitan. Masalahnya kompleks. Untuk membenahi, ya, harus pelan-pelan. Harus panjang napas, harus panjang umur. Banyak penerbit berdiri dengan maksud kritis atau radikal. Tapi, seiring jalan, mereka tumbang. Aku belajar dari mereka. Untuk melawan, kamu harus pikirkan bagaimana bisa bertahan. Yang dilawan, soalnya, adalah hasil didikan puluhan tahun.”[]

1 comment:

  1. permasalahan utama industri buku kita adl rendahnya minat baca. selalu itu.

    kalau budaya membaca sudah terbentuk, masalah-masalah lainnya di perbukuan niscaya akan selesai dengan sendirinya.

    ReplyDelete

Tulisan Terdahulu