© Saiful Bachri
Reportase untuk Pindai.org, akses PDF
Betapapun harus ‘mengencangkan ikat pinggang’, sebagaimana istilah dua penerbit ini, para pegiatnya terus menghidupi bacaan non-populer dengan daya kritis yang tebal.
JALANNYA roda penerbitan buku hari ini adalah
keberlanjutan dari kritik Khrisna Sen dan David T. Hill dalam artikel Perbukuan
Indonesia: Translasi dan Transgresi, lebih dari satu dekade silam. Mereka
menulis, investasi terbaik dan penjualan produk tercepat oleh
Gramedia—dijadikan parameter sebagai salah satu penerbit terbesar di
Indonesia—dicapai dari buku-buku bertopik pengembangan-diri praktis hingga
novel-novel populer. Imbasnya, judul-judul buku ditentukan dalam mekanisme
pasar yang mendorong publikasi tema yang cenderung seragam.
Di sisi lain, pergantian berdarah kekuasaan dari Sukarno
yang mengedepankan “politik sebagai panglima” ke pemerintahan Soeharto dengan
“ekonomi sebagai panglima”, mengubah pula pergeseran tren judul buku dalam
kategori buku “berat”. Ia didominasi paradigma developmentalisme—satu istilah
dari khazanah ekonomi yang secara singkat menjelaskan hubungan ideologis antara
kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia
ketiga. Pandangan ini seirama agenda Ali Moertopo, ideolog rezim Orde Baru,
yang merumuskan “satu cara berpikir” demi cetak biru apa yang disebut
“akselerasi modernisasi 25 tahun” rezim Soeharto, yang juga menghendaki pola
pikir seragam dan tunggal.
Untuk mendukung ekonomi pembangunan itu, depolitisasi
kampus diterapkan. Kurikulum dan materi bacaan dijaga ketat dan “diamankan”
demi menjaga “stabilitas nasional”. Pada Oktober 1989, Kejaksaan Agung
membentuk sebuah badan yang disebutclearing house, tugasnya meneliti isi
buku dan merekomendasikan pemusnahan bila mengancam rezim. Selain Kejagung,
Departemen Pendidikan dan Kebudayan lewat instruksi kementerian tahun
1965—memuat satu beleid larangan menggunakan “buku-buku pelajaran,
perpustakaan, dan kebudayaan”—membekukan sebelas dafar buku karangan para
sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pelarangan ini terus berlanjut
bahkan sesudah Soeharto lengser.
Sejak masa kolonial Hindia Belanda, percetakan dan
penerbitan di Indonesia tak pernah lepas dari kuasa tangan-tangan pemerintah,
baik di bawah pemerintah kolonial maupun sebagai negara-bangsa.
Pada 1908, berdiri Commissie voor de
Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat), diketuai G. A. J. Hazeu,
penasihat urusan Bumiputra. Mewakili kepentingan komisi ini, pada 1911, D. A.
Rinkes lewat “Nota Over de Volkslectuur” menetapkan bacaan rakyat dan melarang
buku-buku yang dianggap sebagai bacaan liar: terbitan berbahasa Melayu rendah
yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi inilah yang
kemudian berlanjut menjadi Penerbit Balai Pustaka.
Hadirnya Balai Pustaka dibarengi oleh sejumlah program
penerbitan dari lembaga pendidikan dan keagaman, di antaranya Kanisius,
Muhammadiyah, Penjiaran Islam, hingga Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia
pada kurun 1920.
Pada periode 1950-1970, penerbit universitas mulai marak
berdiri, seperti UI Press pada 1969 yang disokong dana Ford Foundation, dan
Penerbit IPB yang didanai University of Kentucky.
Menjelang dekade terakhir rezim Soeharto pada periode
1990-an, beberapa penerbit alternatif mulai masuk mengisi ceruk pasar buku yang
didorong oleh “pembelotan” para aktivis perbukuan dari penerbit-penerbit induk.
Setelah 1998, berduyun-duyun penerbit alternatif yang
dimotori oleh para aktivis mahasiswa berdiri. Perlu dicatat pula, dalam rentang
1998-2004, Ford Foundation menawarkan dana bantuan penerbitan buku melalui
Yayasan Adikarya IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Dalam program ini, setiap
penerbit berhak mengajukan delapan judul buku untuk didanai.
Tak ayal, alasan pendirian penerbit di masa itu pada
umumnya bukan semata kepentingan ideologis. Melainkan fakta bahwa usaha
penerbitan mampu mendatangkan laba dengan menekan biaya produksi, sementara
mereka pun masih bisa mendapat dana dari yayasan donor. Imbas dari pengerukan
laba ini, pekerja kreatif dan penulis tak dibayar dengan layak.
Sederet contoh pelanggaran yang dilakukan penerbit,
misalnya: pengingkaran atas royalti, laporan penjualan yang tidak transparan,
hingga masalah hak cipta.
Selepas periode itu, terbitan mulai tak terbendung lagi.
Kualitas terbitan, seperti mutu terjemahan dan editorial, menjadi tanda tanya
besar karena kerja-kerja penerbit yang bergegas.
Di tengah semua itu, hadir upaya-upaya penerbitan yang
cukup serius, yang masih dari lini penerbitan alternatif dan bertahan hingga
kini, di antaranya penerbit Marjin Kiri dan Komunitas Bambu. Untuk meneruskan
kerja-kerja penerbitan, sejak dini mereka telah menentukan ceruk pasarnya:
menerbitkan karya-karya yang mendedah suatu permasalahan hingga ke akarnya
ataupun karya-karya yang menawarkan perspektif berbeda.
ARIA Wiratma Yudhistira tengah menyisir tumpukan koran terbitan 1970-an di lantai 9 Perpustakaan Nasional saat ketertarikannya jatuh pada serentetan pemberitaan mengenai pelarangan mahasiswa berambut gondrong oleh pemerintah.
Itu membikinnya bertanya-tanya, “Di tengah rezim yang
berusaha tampil setenang mungkin, kenapa Soeharto justru terang-terangan
menerapkan larangan itu?”
Pada masa itu, soal rambut gondrong bahkan jadi
permasalahan seluruh pejabat tinggi pemerintahan, mulai dari menteri, Kepala
Bakin, Jaksa Agung, hingga Pangkopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban). Perkara ini sempat pula memicu polemik antara Ali Sadikin dan
Arief Budiman, mahasiswa era ’60-an yang terkenal sebagai pelopor golput
(golongan putih). Polemik selesai, tapi aksi-aksi anti-rambut gondrong masih
berlanjut.
Aria mengajukan tema pelarangan rambut gondrong ini sebagai
proposal skripsinya ke dosen pembimbingnya di Jurusan Sejarah UI. Tema itu
ditolak mentah-mentah di muka dengan alasan, “Kalau kamu mau menulis tema
populer, kamu harus cari dosen yang paham budaya dan seni.”
Namun, Aria bersikeras melanjutkannya dan alasan paling
wajar dari penolakan itu karena memang temanya dianggap nyeleneh.
Ia menyusun kronologi pemberitaan sikap represif pemerintah terhadap mahasiswa
berambut gondrong yang dirunutnya sejak masa pemerintahan Sukarno hingga tahun
1970-an.
Alasan sikap represif itu, dari temuannya, lantaran rambut
gondrong oleh kekuasaan Orde Baru, yang menonjolkan diri sebagai “Bapak”,
dianggap bentuk ekspresi berlebihan dari sekelompok anak muda yang bisa
mengganggu “stabilitas negara”.
“Di tahun 1966, mahasiswa dipakai menjatuhkan Sukarno. Di
masa Soeharto, mereka malah dimatikan kekuatan politisnya. Pada 1980-an, preman
dimatikan lewat petrus (penembakan misterius). Padahal, sebelum dibunuh, mereka
juga dimanfaatkan negara,” ujar Aria.
Pemahaman Aria tentang latar belakang rezim Orde Baru
berkembang. “Sukarno tidak pernah menyatakan pemerintahannya sebagai Orde Lama.
Yang ada, ya, Masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Liberal. Di sana
kelihatan, Soeharto menginginkan rezim lama mulai disingkirkan dan dibentuk
karakteristik, sebuah orde yang baru.”
Dalam bab “Sebuah Era Baru”, karakteristik rezim Soeharto
terjelaskan dari cara-cara penyingkirannya atas Sukarno dari tampuk kekuasaan,
upaya Soeharto dalam memanfaatkan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) dalam
Sidang MPRS yang kemudian mengangkatnya sebagai presiden, pelibatan ekonom-ekonom
lulusan University of California (Berkeley) dalam agenda pembangunan, hingga
operasi-operasi khusus yang dijalankan Ali Moertopo dalam upaya pembersihan
anggota partai politik dalam rangka depolitisasi masyarakat. Semua dilakukan
dengan tenang dan tertib, rust en orde, demi keberlangsungan
pembangunan pemerintahan Soeharto.
“Mereka sibuk kerja, kerja, dan kerja,” kata Aria.
“Membaca arsip rezim dari kaca mata berbeda” adalah kata
kunci yang dipakai Aria untuk menelusuri hegemoni rezim Soeharto atas mahasiswa-mahasiswa
berambut gondrong pada 1970-an.
Pada suatu malam sepulang kerja, Aria bertemu dengan dua
seniornya dari jurusan Sejarah saat menunggu kereta komuter di Stasiun
Gondangdia. Perspektifnya yang unik dalam mengkaji sejarah Orde Baru itu jadi
alasan seorang seniornya mengirimkan naskah Aria untuk diterbitkan Marjin Kiri.
MENAWARKAN perspektif berbeda adalah salah satu fokus
Penerbit Marjin Kiri. Itu dapat ditilik dari skripsi Aria Wiratma Yudhistira
yang kemudian dibukukan, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru
terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010). Atau misalnya melihat
globalisasi dari perspektif sepakbola melalui tulisan jurnalistik Franklin
Foer, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola: Kajian Tak Lazim tentang
Sosial-Politik Globalisasi (2006). Selain bertema nyeleneh,
buku-buku ini dibarengi dengan desain sampul dan tata letak yang segar.
“Ada judul-judul buku bagus banget, caranya melihat
permasalahan segar, seksi, tapi seringnya tidak ada yang sepertinya tertarik
menerjemahkan. Sayang kalau seperti itu,” kata Ronny Agustinus, pemimpin
redaksi Marjin Kiri.
Penerbitan Marjin Kiri bermula dari usaha senggang Ronny
Agustinus menerjemahkan komunike-komunike Subcomandante Marcos sebagai latihan
mendalami bahasa Spanyol; atau saat ia mengetik kembali Madilog,
buku yang dipandang Tan Malaka sebagai karya terpentingnya; atau bisa lebih
jauh ke belakang sewaktu Ronny masih kecil yang mengidolakan komik para jagoan.
Kenyataan bahwa kegemarannya terhadap para superhero itu
yang mendorongnya studi Seni Grafis Murni di Institut Kesenian Jakarta.
“Meskipun, untuk kuliah di sana, aku harus bilang ke orangtuaku kalau aku
kuliah Desain Interior,” kenangnya.
Setamat kuliah, ia bekerja sebagai penata letak majalah di
Pusat Data Indikator, yang berfokus pada kajian ekonomi-politik. Di sini ia
kemudian mengerjakan Madilog:Materialisme, Dialektika, Logika (1999),
sebuah uraian Tan Malaka atas teori-teori Marx yang disesuaikan dengan situasi
dan kondisi Indonesia yang ditulisnya saat pendudukan Jepang. Ronny menulis
catatan (epilog) cukup panjang dan serius untuk buku itu.
Indikator tutup pada 2002. “Saat itu, semua media berlomba
menjadi bombastis. Sementara Indikator serius sekali,” katanya.
Setelahnya, ia melanjutkan kerja sebagai penata letak untuk
sebuah biro desain majalah. Mereka berkomunikasi melalui jaringan server FTP
(protokol pengiriman berkas), dan desain bikinannya dicetak langsung di
Prancis. Lewat pasangan dari kenalannya di biro desain itu, Ronny belajar
bahasa Spanyol secara otodidak.
Buku Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah,
yang ia terjemahkan, terbit secara pribadi pada Agustus 2002. Buku setebal
nyaris 900 halaman itu dicetak lima puluh eksemplar. Ia mengirimkannya kepada
para kenalan. Suatu waktu Seno Joko Suyono, wartawan Tempo,
meneleponnya dan terdengar menahan tawa geli, “Bikin buku tanpa sinopsis di
kover belakang, tidak ada nama penerbit di kover ataupun di halaman kredit,
bagaimana bisa aku bikinkan resensi untuk buku ini?!”
Buku terjemahan tentang gerakan Tentara Pembebasan Nasional
Zapatista itu disambut baik oleh para pembaca perdana. Tak sampai sebulan,
banyak surel dan telepon masuk: tanggapan berupa pujian, kritik, izin menukil
atau menyalin, hingga tawaran penerbitan.
Eko Prasetyo dari InsistPress lantas meminta izin untuk
menerbitkan pada 2003. “Di edisi percobaan, ada banyak ilustrasi yang kubikin
sendiri, yang tidak diturutkan dalam edisi terbitan komersialnya. Itu
membuatnya terkesan angker dan serius, yang sebenarnya tidak sejalan dengan
kekocakan Subcomandante Marcos,” ujar Ronny.
Respons atas buku Subcomandante Marcos itu termasuk datang
dari rekan kerja lamanya di Indikator. Mereka usul untuk bikin penerbitan,
kendati ini belum bisa dikatakan cikal bakal Marjin Kiri. Betapapun mereka
melanjutkan fokus kajian seputar ekonomi-politik, tapi arah penerbitannya masih
di luar tema utama. Ronny dan beberapa rekannya merasa kurang sreg sehingga
memutuskan mendirikan penerbit baru.
Dari sanalah Marjin Kiri bermula. Digawangi enam orang,
penyisiran naskah mulai dilakukan. Tema ekonomi-politik dan globalisasi menjadi
prioritas.
“Judul-judul buku Joseph Stiglitz dan Edward W. Said
termasuk yang dibeli pertama. Kenapa? Karena di tahun 2005, aku pikir isu-isu
ini akan sangat penting ke depannya. Berulangnya krisis, misalnya. Pas tahun
2008, kan, ternyata betul ada krisis lagi. Menarik karena Stiglitz, bahkan
sebelum krisis, lewat Dekade Keserakahan (2006) bisa
menjelaskan dengan gamblang kesalahan-kesalahan yang diperbuat Amerika sampai
krisis itu terjadi,” papar Ronny.
Karya Edward W. Said, Bukan-Eropa: Freud dan
Politik Identitas Timur Tengah (2006), menjadi buku terbitan pertama
mereka. Buku ini tidak hanya membahas bagaimana Orientalisme mengkaji
tulisan-tulisan Eropa mengenai Timur, dengan memaparkan politik representasi
sastra yang digunakan Said. Alih-alih menggali lebih dalam wawasan Said tentang
pandangan skizofrenogenik dan primitivisme dalam perdebatan-perdebatan Freud
dengan sekian tokoh “orientalis”.
Pada Juli 2007, terjadi ketegangan dalam tim inti Marjin
Kiri. Reorganisasi dijalankan. Lima orang keluar. Sejak itu tinggal Ronny
berduet dengan Robby Kurniawan, yang mengurusi divisi pemasaran penerbitan.
Distributor dialihkan dari Agromedia ke Nalar dan oplah cetakan diubah.
Dengan kesibukan dalam pengonsepan ulang arah penerbitan,
buku Republikanisme dan Keindoenesiaan karya Robertus Robert
menjadi satu-satunya yang diterbitkan tahun itu. Roda penerbitan kembali
berputar dengan terbitnya bunga rampai tulisan, Kembalinya Politik:
Pemikiran Kontemporer dari (A)rendt sampai (Ž)ižek (2008).
Ronny dan Robby kemudian merumuskan apa yang dimaksud
sebagai “Marjin Kiri banget”. Juga upaya untuk bertahan sebagai penerbit
alternatif dengan ceruk pasar yang mereka bilang “sangat sempit”.
Pemilahan judul, tak terhindarkan, akhirnya sangat
selektif. Atau ia tak mengejar segi kuantitas. Penggarapan buku, dari desain
hingga mutu kertas, dikelola secara terjaga. Gagasan yang ditawarkan dari
terbitan Marjin Kiri juga menjelaskan upaya mengoreksi paradigma yang selama
ini masih mendominasi kebijakan negara.
“Kita ini benar-benar disterilkan dari pemikiran-pemikiran
Kiri, tapi yang diam-diam kita hasratkan. Beberapa waktu lalu, banyak orang
membandingkan pendidikan Indonesia dengan negara-negara Skandinavia terkait
taraf hidup dan kebahagiaan, seakan-akan semua itu jatuh dari langit. Padahal
mereka itu kan welfare state. Semua itu didapat dari hasil
perjuangan partai buruh atau komunis. Sementara masyarakat kita seperti tidak
ada respek pada kesejarahan perjuangan buruh, partai komunis, ataupun partai
sosialis. Mereka mengidamkan kesejahteraan semacam itu, tapi tidak mau
komunisnya, memangnya bisa?! Benar-benar ahistoris. Yang aku hadapi, aku merasa
itulah yang harus dilawan oleh Marjin Kiri,” kata Ronny.
Atau menurut Robby, apa yang masuk sebagai “bacaan yang
dimaui Marjin Kiri” adalah “buku yang menurut kita membawa wacana baru, membawa
suatu esensi dasar yang menarik.” Ia “melihat dunia dari sisi lain. Kita mau
bawa pesan bahwa ini ada sesuatu yang beda. Ekonomi nggak seperti yang di
diktat kuliah saja. Ada ekonomi alternatif yang menarik untuk coba
diwacanakan.”
Selain mengganti distributor, Marjin Kiri juga berjejaring
dengan komunitas-komunitas baca dan toko-toko buku kecil, yang ditampilkan
melalui laman situsweb supaya mudah diakses oleh peminat buku-buku Marjin Kiri.
Menurut cerita pedagang dari kios Toko Buku Bangkit di
areal Shopping Yogyakarta, sejak 2010, terbitan baru Marjin Kiri hampir selalu
dinantikan.
“Langganan saya selalu mau supaya buku-buku Marjin
disimpankan stoknya untuk dia,” kata Anto. Sejauh ini, menurut Anto, buku karya
Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013) terbilang
sebagai yang paling diminati. “Di kios saya saja, bukunya sudah laku lebih dari
400,” ungkapnya. Buku itu mendatangkan banyak ulasan.
Robby mengatakan, kendati buku terbitan Marjin Kiri memikat
perhatian khalayak pembaca serta pembeli loyal, “kami tetap bisa dibilang
sepuluh kali ‘mengencangkan ikat pinggang’. Yang kita yakini, selama modal
masih bisa diputar, penerbitan buku harus jalan terus.”
MENGENCANGKAN ikat pinggang untuk mendanai penerbitan
bukan hal asing bagi J.J. Rizal, pemimpin redaksi Komunitas Bambu (Kobam).
“Kobam nggak pernah hidup dari Kobam. Kobam hidup dari artwork. Buku
Kobam semacam katalog. Orang sering datang ke Kobam untuk meminta bantuan cara
mengemas buku. Itu sampingan yang kita kerjakan demi menghidupi penerbitan,”
kata Rizal.
Rizal mengatakan, cita-cita penerbitan adalah hal yang
membuatnya tetap bertahan. “Kita bikin Kobam karena setelah Soeharto jatuh,
kita baru sadar: apa yang menyebabkan Indonesia tumbang dan mengalami krisis
yang dalam? Jawaban gue dan teman-teman waktu itu, karena kita nggak kenal apa
itu Indonesia. Caranya kenal bagaimana? Kita harus pulang ke rumah sejarah.
Tapi sejarah Indonesia, kan, sudah dikeruhkan rezim Soeharto. Lalu, bagaimana?
Ya, dijernihkan. Caranya bagaimana? Kembali mewacanakan apa itu Indonesia, apa
alasan kita menjadi Indonesia, dan apa cita-cita kita. Kita harus mengampanyekan
ini. Ya, harus bikin penerbit. Harus menulis. Harus bicara, tidak berhenti.”
Komunitas Bambu berdiri pada 20 Mei 1998. Para pegiat awal
adalah para pelanggan toko buku milik Mujib Hermani di emperan jalan setapak
konblok dari arah Halte UI ke kampus Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok. Dulunya
tempat mereka berkumpul masih hutan rindang.
Para pendiri komunitas itu antara lain Bagus Takwin, Donny
Gahral Adian, Ihsan Abdul Salam, J.J. Rizal, dan Yunadi Ramlan. Fokus diskusi
berkisar tema-tema kebudayaan, filsafat, sastra, dan teater. “Ketika masa ’98,
banyak aksi berfokus pada politik, tapi ruang budaya di mana?” Itulah, menurut
Agus Mediarta, rekan Rizal di Komunitas Bambu, yang menjadikan tema budaya
sebagai fokus diskusi.
Komunitas Bambu lantas merintis penerbitan tiga kumpulan
puisi yang ditulis Dony Gahral Adrian, Ihsan Abdul Salam, dan J.J. Rizal
sejalan dengan pandangan budaya itu.
Orang belakangan mengenal J. J. Rizal sebagai sejarawan,
dengan fokus perhatiannya pada kebudayaan Betawi. Tetapi Rizal pada masa itu
dikenal sebagai penyair kampus, dan sajak-sajaknya sempat jadi kumpulan puisi
bertajuk Kura-kura dalam Perahu. Ia juga mengorganisir komunitas
Kelompok Tulang-tulang yang Berserakan—organ aksi yang juga bergerak sebagai
kelompok kesenian.
“Biasanya, pas agenda demonstrasi mahasiswa, mereka
menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dan melakukan pembacaan puisi,” kata Agus.
Rizal terlibat dalam demonstrasi Kesatuan Aksi Keluarga
Besar UI dan menjadi ilustrator “Bergerak”, terbitan sampingan pers mahasiswa
Suara Mahasiswa UI.
Diskusi-diskusi Komunitas Bambu masih berlanjut. Mereka
membangun sekretariat kecil di seberang Halte UI. Saat itu pula Komunitas Bambu
berubah jadi yayasan. Dimulailah agenda penerbitan lewat sejumlah karya Tan
Malaka: Islam dalam Tinjuan Madilog (1999), Menuju Republik Indonesia (2000),
dan Massa Aksi (2000).
“Waktu itu, wacana kita adalah bagaimana menghadirkan
sejarah yang selama ini tidak tersuarakan, karena bagi kita sejarah seperti album
keluarga. Apabila ada unsur yang hilang, bingkai itu rusak. Ibarat mengisi
ruang kosong: kita menulis tentang Tan Malaka, Sukarno, dan bapak-bapak bangsa
lain yang terlupakan. Karena kalau mau tahu apa itu Indonesia, kita harus
mengenal mereka,” jelas Rizal.
Pada awal 2000-an nama Komunitas Bambu punya gaung
tersendiri di Jakarta di antara sedikitnya komunitas yang berfokus pada ranah
budaya. Agus mencontohkan, yang ada saat itu di antaranya Komunitas Utan Kayu
dan Komunitas Konfiden. Anggota antarkomunitas pun saling mengenal. Beberapa
anggota Komunitas Konfiden seperti Alex Sihar juga pernah ikut terlibat dalam
kegiatan Komunitas Bambu. “Seri buku Tan Malaka malah digarap di tempat tinggal
Alex,” ujar Agus.
Waktu bergulir. Fokus hidup sebagian besar komunitas
beralih. Hanya J.J. Rizal yang bertahan di Komunitas Bambu.
Saat itu Rizal yang mengepalai divisi penerbitan masih
mengemban tanggung jawab kepada yayasan pendana Adikarya IKAPI untuk
menerbitkan dua judul: karya Iskandar P. Nugraha, Mengikis batas Timur
dan Barat: Gerakan Theosofi & Nasionalisme Indonesia(2001), dan
karya Rosa M.T. Kerdijk, Wayang-liederen: Biografi Politik Budaya Noto
Soeroto (2002).
“Sebenarnya, sejak 2003, Komunitas Bambu sudah bukan
berbentuk komunitas. Bahkan sejak 2002 juga bukan. Karena seingat saya sejak
itu, Kobam hanya menghasilkan buku tanpa ada proses yang dilibatkan di dalam
komunitas,” kata Agus. Karena alasan itu pula, nama Kobam sempat diusulkan
untuk diganti. Tetapi Rizal memutuskan tetap mempertahankannya. Nama itu dirasa
dekat dengannya dan telah membesarkannya. Afiliasi yang terjalin sedari mula
lewat Kobam itu juga yang dipakai Rizal sewaktu menulis untuk pelbagai terbitan
seperti di Agenda dan Warta Kota.
Kelanjutan Komunitas Bambu di kemudian hari pun sepenuhnya
ditentukan oleh Rizal.
Rizal menerbitkan judul-judul buku yang pernah tabu di
rezim Soeharto termasuk tema komunis dari para akademisi: Kemunculan
Komunisme Indonesia (Ruth T. McVey, 2010), Penghancuran PKI (Olle
Törnquist, 2011), dan Teror Orde Baru (Southwood &
Flanagan, 2013). Termasuk pula seri judul mengenai Soeharto: Soeharto
di Bawah Militerisme Jepang (David Jenkins, 2010), Soeharto
dan Barisan Jenderal Orba (Jenkins, 2010), dan Soeharto dan
Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (Richard Robison, 2012).
“Kita sudah tahulah bagaimana negara dibangun oleh
kebohongan dan propaganda yang disebut sebagai sejarah. Ngomong apa pun,
sebenarnya nggak ada sejarahnya. Semua digerakkan demi kepentingan rezim,” ujar
Rizal mengemukakan alasan di balik menerbitkan buku tersebut.
Alasan serupa dalam laju kritik terhadap wacana Orde Baru
ketika ia menerbitkan karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Sitor
Situmorang. “Mereka dua gambaran yang menarik untuk menghayati mengapa kita
menjadi Indonesia. Mereka termasuk generasi kedua setelah founding
fathers. Nah, sekarang kita nggak belajar lagi menjadi Indonesia, kan,
karena diputus oleh sistem Orde Baru itu.”
Menurut Rizal, Pram dengan caranya sendiri menggambarkan
Indonesia sebagai bentuk baru untuk menggantikan Jawa. “Bahwa Pram adalah Jawa
yang sangat membenci Jawa—iya. Dia menggambarkan Jawa dengan tegang dan dia
ingin menghapus Jawa itu dan menggantinya dengan Indonesia. Sementara itu,
Sitor cukup berbeda. Dia tidak hendak membunuh masa lalunya. Sitor sadar betul
nasionalisme kita sejak awal dikonstruksi bukan untuk membunuh kelokalan.”
Seiring perkembangan penerbit, Rizal membentuk lini-lini
penerbitan seperti Masup Jakarta dan Ka Bandung.
“Gue ngerasa, kalau elu mau bikin sejarah nasional, elu
harus menguatkan sejarah lokal. Nah, pengetahuan tentang sejarah lokal ini yang
kita paling lemah. Kita sedikit sekali tahu. Padahal elu enggak bisa tahu
Jakarta kalau elu enggak paham sejarahnya. Tahun itu, pas mulai bikin Masup
Jakarta, gue baca referensi bahwa pada 2025, 70-an persen masyarakat akan
tinggal di kota. Dan perbaikan Indonesia bukan di tangan presiden, tapi di
tangan pemimpin-pemimpin kota itu. Karena itu, gue mulai menerbitkan tentang
Jakarta, supaya para pemimpinnya nggak ahistoris.”
Itu pula yang mendasari Komunitas Bambu menerbitkan banyak
karya bertajuk sejarah daerah seperti Wilayah Kekerasan di Jakarta (Jérôme
Tadié, 2009), Sejarah Sumatra (2012) ataupun Kalimantan
Tempo Doeloe (2013).
Rizal juga mengadakan “Wisata Sejarah” untuk kepentingan
pengenalan situs-situs peninggalan sejarah. “Ini salah satu cara mendekatkan
pembaca dengan penulis dan melihat faktanya langsung lewat wisata sejarah,
misalnya buku-buku dengan mengangkat tema Sukarno muda dan mengundang Peter
Kasenda.”
Meski begitu, Rizal berkata bahwa oplah terbitan Komunitas
Bambu terus menurun dalam lima tahun terakhir, yang mau tak mau berimbas pada
melonjaknya harga jual buku. Untuk menghindari pembajakan, ia pun mengusahakan
teknik laminasi tiga lapis dengan kualitas art sedemikian rupa
untuk sampul terbitannya. “Orang-orang yang tadinya niat membajak karena harga
buku mahal akan pikir-pikir panjang karena jelas bedanya buku orisinal dan
bajakan dari menyentuh laminasi kovernya,” jelasnya.
DI tengah keadaan yang sulit bagi terbitan-terbitan
dengan ceruk pasar “sempit” ini, beberapa toko buku besar masih menerapkan
pembatasan untuk judul-judul buku tertentu terutama sekali yang mengangkat tema
Marxisme.
Beberapa penerbit bertahan dengan jalur distribusi melalui
kios-kios kecil. Beberapa yang lain memutuskan untuk mengikuti gerak pasar.
Sebagian lagi gulung tikar.
Dengan keadaan seperti ini, tidak berlebihan untuk
menganggap gambaran Daniel Dhakidae dalam Tahun Buku Kanisius (1999)
tentang jumlah judul buku produksi Indonesia yang hanya 0,0009% tak akan banyak
berubah. Dalam uraian itu, Dhakidae mengilustrasikan setiap 9 judul buku
diperuntukkan bagi sejuta penduduk. Sementara, rata-rata negara berkembang
memproduksi 55 judul buku, dan negara maju memproduksi 513 judul buku, bagi
sejuta penduduk. Padahal, untuk setaraf dengan negara-negara maju itu,
Indonesia mesti memproduksi buku 57 kali lebih banyak dari yang beredar di
tengah masyarakat saat ini.
Saya kembali mengingat obrolan dengan Ronny Agustinus. Ia
berkata, “Orang-orang sering tanya apa yang bisa dibenahi di industri
penerbitan. Masalahnya kompleks. Untuk membenahi, ya, harus pelan-pelan. Harus
panjang napas, harus panjang umur. Banyak penerbit berdiri dengan maksud kritis
atau radikal. Tapi, seiring jalan, mereka tumbang. Aku belajar dari mereka.
Untuk melawan, kamu harus pikirkan bagaimana bisa bertahan. Yang dilawan,
soalnya, adalah hasil didikan puluhan tahun.”[]
permasalahan utama industri buku kita adl rendahnya minat baca. selalu itu.
ReplyDeletekalau budaya membaca sudah terbentuk, masalah-masalah lainnya di perbukuan niscaya akan selesai dengan sendirinya.