tag:blogger.com,1999:blog-74773989940748465422024-03-14T03:39:23.045+07:00@dwkm@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.comBlogger94125tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-49613327745454722402022-01-30T21:42:00.010+07:002022-01-30T22:44:14.464+07:00Dewi Sartika, Pelopor Sekolah Perempuan<p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada 2022, </span><span lang="EN-GB"><a href="https://www.pemikiranperempuan.org/sekolah-pemikiran-perempuan-2022" target="_blank"><span lang="IN">Sekolah Pemikiran Perempuan membuka ruang
belajar informal</span></a></span><span lang="IN">
bagi para perempuan yang berkecimpung di bidang seni dan budaya. Kelas ini akan
mengulik berbagai soal perihal sejarah pemikiran feminisme anti-kolonial,
pemikiran feminis di Indonesia, politik gender dalam seni budaya di Indonesia,
hingga upaya menggerakkan aktivisme kultural yang berperspektif feminis. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Di negeri ini,
pernah pula ada beberapa sekolah perempuan, di antaranya sekolah perempuan yang
digagas oleh R.A. Kartini, sekolah yang dikelola oleh para pengajar dari Wanita
Taman Siswa, Sekolah Van Deventer (sekolah yang difokuskan untuk para guru
perempuan), Rahmah El Yunisiah dengan Madrasah Diniyah khusus untuk putri,
Rohana Kudus yang mendirikan Kerajinan Amai Setia di Kota Gadang, Rasuna Said
dengan Perguruan Putri di Medan, hingga Sakola Kautamaan Istri yang dipelopori
Raden Dewi Sartika.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #3d85c6;"><b><span lang="IN">Sekolah Perempuan dalam Jejak Sejarah</span></b></span><span lang="IN"></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sekolah khusus
perempuan dipelopori oleh Dewi Sartika pada 16 Januari 1904 di Paseban Kulon
Pendopo Kabupaten Bandung, dikenal dengan nama Sakola Istri. Selama tujuh tahun
berselang, cabang sekolah ini lantas tersebar di Tasikmalaya, Sumedang,
Cianjur, Ciamis, Kuningan, dan Sukabumi. Pada 1910, sekolah ini berganti nama
menjadi Sakola Kaoetamaan Istri.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sakola Kaoetamaan
Istri beraspirasi pada keutamaan bagi perempuan, lewat pengajaran membaca,
menulis, berhitung, dan berumah tangga. Ini sesuai dengan cita-cita Dewi
Sartika untuk mendidik anak perempuan dari berbagai kalangan. Tiga pengajarnya
ialah Raden Dewi Sartika, Nyi Poerwa, dan Nyi Oewid. Materi sekolah ini
meliputi beragam keterampilan, seperti membatik, menjahit, merenda, dan
menyulam. Selain keterampilan, silabus juga memuat pelajaran bahasa Melayu,
pelajaran agama, bahasa Belanda juga bahasa Inggris, serta Ilmu Kesehatan yang
diajarkan perawat Situsaeur bernama L. van Arkel.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Selain Dewi
Sartika, Kartini–feminis modern pertama negeri ini–adalah sosok yang dikenal
luas dengan perjuangannya menghadirkan sekolah perempuan pertama yang menerima
subsidi dari pemerintah Belanda. Dukungan pemerintah kolonial ini tak pelak
lantaran Van Deventer mengagumi tulisan-tulisan Kartini semasa hidup. Surat-surat
Kartini bercerita tentang kondisi yang dialami perempuan saat itu. Kejahatan
yang menimpa para perempuan dalam masyarakat Jawa tradisional seperti poligami
dan kawin paksa, ataupun tidak tersedianya peluang pendidikan bagi perempuan
tertuang dalam surat-suratnya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Yang kita tahu
kemudian, surat-surat Kartini yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh <span> </span>J.H. Abendanon itu menyentuh hati pasangan
Belanda, Van Deventer dan istrinya yang lantas mendirikan Yayasan Kartini untuk
membangun sekolah-sekolah perempuan seperti yang diinginkan oleh Kartini.
Sekolah Kartini kali pertama dibuka di Jakarta pada 1907, selanjutnya Yayasan
Kartini membuka cabang enam sekolah swasta di Malang, Cirebon, Semarang, Bogor,
Pekalongan, dan Surabaya. Saat Van Deventer wafat, kerabatnya berinisiatif
mendirikan Yayasan Van Deventer pada 1917, yang lantas memprakarsai Sekolah
Guru Perempuan Van Deventer pada 1918. Sekolah ini terdapat di Bandung,
Semarang, Solo, dan Malang, diperuntukkan bagi para calon guru yang dapat
mengajar dan membimbing para perempuan untuk dapat maju dan berkembang.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sementara itu, di
negeri Belanda berlangsung Kongres Pengajaran Kolonial I pada 28-30 Agustus
1916 di Den Haag. Dalam diskusi tentang pengajaran gadis-gadis, Nyonya Kandau
membela pengajaran lanjutan untuk gadis-gadis di Minahasa, sedang Siti Soendari
Darmabrata melakukan hal yang sama untuk gadis-gadis Jawa.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Di tanah Minang,
pada 1923, Rahmah El Yunisiah mendirikan Madrasah Diniyah khusus untuk putri
atas bantuan Persatuan Murid-murid Diniyah School yang didirikan oleh kakaknya.
Sebelumnya, pada 11 Februari 1911, Rohana Kudus telah mendirikan Kerajinan Amai
Setia (KAS) di Kota Gadang, Sumatera Barat. KAS adalah organisasi yang
bertujuan meningkatkan derajat perempuan dengan jalan mengajarkan baca tulis
huruf Arab dan Latin, mengatur rumah tangga, kerajinan tangan, dan mengatur
pemasarannya. Di Medan, pada 1932, selepas dari hukuman penjara di Bulu,
Semarang, Rasuna Said mendirikan Perguruan Putri di Medan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Keberadaan
sekolah-sekolah dan gerak perempuan dalam sejarah pengajaran itu mengubah citra
masyarakat kala itu terhadap perempuan. Para perempuan yang semula melakukan
pekerjaan rumah tangga lantas turut setara belajar bersama di bangku sekolah
dengan sejawat lelaki. Para orang tua mengirimkan anak perempuan mereka untuk
bersekolah, emansipasi perempuan terwujud melalui sekolah-sekolah ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN">Dewi Sartika, Pelopor Sekolah Perempuan</span></b></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Cita-cita Dewi
Sartika untuk mendirikan sekolah termaktub dalam karangannya <i>De Inlandsche Vrouw</i>–atau <i>Perempuan Pribumi</i>. Pemikirannya ini
dilandasi pengalaman pribadinya melihat ketidakberdayaan ibunya, Raden Ayu
Rajapermas setelah ditinggal wafat oleh ayah Dewi Sartika, Raden Rangga
Somanagara. Begitu pula, pengalamannya selama tinggal di rumah paman
maternalnya saat ayah dan ibunya dibuang ke Ternate. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sekolah-sekolah menolak
kelima anak Raden Ayu Rajapermas begitu ia dan suaminya dibuang ke Ternate.
Dewi Sartika dikeluarkan dari sekolahnya. Di waktu yang bersamaan, dia melihat
bagaimana ibunya yang seorang priayi tidak mendapat pengajaran dan pendidikan,
sehingga ia tidak bisa mencari nafkah bagi kelima putra-putrinya selepas
suaminya diasingkan di Ternate. Hidup mereka pun menjadi serba kekurangan dan
menghadapi berbagai kesulitan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dari sana, Dewi
Sartika tahu bahwa seorang perempuan tidak boleh bergantung kepada suami,
keluarga, atau kebaikan hati orang lain. Kaum perempuan harus memperoleh
pendidikan sehingga mereka dapat berdikari. “<i>Ari jadi awewe kudu sagala bisa ambeh bisa hirup</i>” (menjadi
perempuan harus memiliki banyak kecakapan agar mampu hidup), demikian ungkap
Dewi Sartika, perihal pengalaman hidupnya itu. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dewi Sartika
mulai mengajar dan mendidik kaum perempuan pada 1902 saat ia kembali ke rumah
ibunya di Bandung. Dia mengajar di sebuah ruangan kecil di belakang rumah
ibunya di Bandung, seperti merenda, menyulam, merancang pakaian, tata krama,
memasak, menjahit, membaca, dan menulis. Sebagai imbalan, murid-muridnya
memberikan makanan, beras, garam, dan buah-buahan bagi sang guru. Atas dorongan
Den Hammer, pejabat Inspektus Pengajaran Hindia Belanda, Dewi Sartika lantas
menemui Bupati Bandung R.A.A. Martanegara pada 16 Januari 1904 untuk
menyampaikan keinginan membangun sekolah.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Saat Dewi Sartika
mengajukan hal tersebut ke Bupati Martanagara, konon tanggapan sang bupati
ialah, “<i>Entong, awewe mah entong sakola
asal bisa nutu-ngejo, bisa kekerod, bisa ngawulaan salaki, ngeus leuwih ti
cukup, ganjaranna ge manjing sawarga.</i>” (Jangan, perempuan tidak usah
sekolah, asalkan bisa menanak nasi, menjahit, mengabdi kepada suami sudah lebih
dari cukup, pahalanya surga.)</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Menanggapi
penolakan itu, Dewi Sartika tetap teguh pendirian. Akhirnya, sekolah impiannya
pun terwujud. Seiring waktu, kalangan priayi yang semula menolak hadirnya
sekolah tersebut lantas justru berbalik memberi dukungan. Selama tujuh tahun,
sekolah ini mengalami perkembangan pesat. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN">Sekolah Dewi
Sartika</span></b><b><span lang="EN-US">:</span></b><b><span lang="IN"> Perspektif Kelas </span></b><b><span lang="EN-US">dan</span></b><b><span lang="IN"> Anti-kolonial</span></b></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kisah
keberhasilan Dewi Sartika tertuang dalam pidatonya<i>—De Inlandsche Vrouw–atau Perempuan Pribumi—</i><span style="color: black;"><i></i></span>untuk perayaan tujuh tahun sekolahnya sekaligus menyambut
undangan acara Sarekat Islam di Surabaya dari HOS Tjokroaminoto. Beberapa hal
yang dia tuangkan dalam tulisan tersebut di antaranya keinginannya menggerakkan
pendidikan bagi perempuan pribumi, kegelisahannya menghadapi penolakan
masyarakat, pendapat tentang generasi muda, perjuangan selama mengembangkan
sekolah, pandangan tentang kehidupan, hingga kerinduannya untuk meningkatkan
derajat perempuan bumiputra agar setara dengan bangsa lain.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Selain perihal
pendidikan, Dewi Sartika juga banyak menyampaikan pendapat mengenai kondisi
buruh perempuan pada masanya. Di antara sembilan perempuan dalam laporan umum
kedudukan perempuan di tanah jajahan yang disusun oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda, tampak bahwa Dewi Sartika adalah satu-satunya tokoh yang berani
menyuarakan isu buruh perempuan. Dia menyadari isu ekonomi politik di tanah
jajahan. Tiga hal utama yang diangkat oleh Dewi Sartika dalam pemikirannya di
antaranya, isu soal kesenjangan upah, hak cuti hamil, dan soal perlakuan tidak
adil di tempat kerja.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Berbeda dari
Sekolah Kartini, yang semula dibuka bagi kalangan perempuan priayi dengan
tenaga pengajar dari Belanda—kendati di kemudian hari pintu Sekolah Kartini
terbuka lebar bagi siapa saja—Dewi Sartika telah sejak awal membuka kelas-kelas
sekolahnya untuk kalangan orang biasa. Barangkali, dari kepekaannya akan
perspektif soal kelas itu pulalah maka Dewi Sartika merancang modifikasi atas kurikulum
sekolah yang diterapkannya. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kurikulum
sekolahnya memang mengacu pada <i>Tweede
Klasse School</i>, mengikuti sistem pemerintah kolonial, yang di antaranya
memasukkan materi Bahasa Belanda sebagai salah satu mata pelajaran wajib,
begitu pula materi berhitung, menulis, membaca, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa
Inggris, dan olah raga. Mata pelajaran Bahasa Inggris terbilang suatu terobosan
di masa itu, karena bahasa tersebut dianggap bahasa saingan oleh pihak kolonial—tindakan
menaruh ini di dalam kurikulum juga dapat dipandang sebagai tindakan
anti-kolonial yang dapat dipandang radikal pada zaman itu. Dengan penguasaan
atas bahasa Inggris, penduduk pribumi tidak perlu bergantung pada bahasa
Belanda untuk mengakses informasi dari luar negeri. Selain itu, Dewi Sartika
juga menambahkan materi ajar yang baginya penting: materinya disesuaikan dengan
kebutuhan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Ini dilakukannya untuk
membuktikan bahwa materi-materi keterampilan wanita merupakan materi pelajaran
khusus yang dipelajari di Sakola Kautamaan Istri. Tak tanggung-tanggung, porsi
pengajaran pendidikan keterampilan wanita ini mengisi 61% porsi kurikulum.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Mandat utama
sekolah Dewi Sartika sejalan dengan yang dilakukan oleh Rohana Kudus dengan
Sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah keterampilan untuk perempuan. Dalam
artikelnya “Perhiasan Pakaian”, Rohana menyebut keterampilan perempuan
Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik-manik atau hiasan pada pakaian
perlulah diwariskan turun-temurun. Menurut dia, keahlian itu tidak diturunkan
dengan sempurna. Padahal, jika ditekuni, keahlian ini bisa membantu perempuan
secara finansial. Lewat sekolahnya, Rohana mengajak perempuan berbisnis dengan
modal keahlian menghias baju.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dari kurikulum
sekolah yang dirancangnya, kita pun tahu bahwa Dewi Sartika tidak berhenti
hanya berkubang di ranah pemikirannya yang berperspektif ekonomi politik
tersebut. Dia memetik hikmah dari pengalamannya pribadi, merefleksikannya
dengan pengalaman para perempuan di sekelilingnya–sebagai seorang priayi, dia
rasa-merasa dengan apa yang dialami pula oleh para abdi dalemnya–dan dari
refleksi pemikirannya itu, dia langsung terjun melakukan tindakan konkret: mengajar.
Bukan sekadar pengajaran, melainkan pengajaran yang dapat menjadikan para perempuan
dapat berdiri di kakinya sendiri. Seperti katanya sendiri, “menjadi perempuan
harus memiliki banyak kecakapan agar mampu hidup”.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-3872495054282390132021-12-24T21:42:00.010+07:002021-12-24T21:51:10.428+07:00Perkawanan Perempuan Menulis: Ingatan Perempuan dalam Narasi Lokal<p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ingatan tentang ibu sebagai seorang
filatelis yang menyimpan setiap edisi perangko terbitan Perum Pos (PT
Pos Indonesia), yang sialnya lebih sering mencetak gambar Soeharto
dengan pose sama, adalah salah satu “ingatan kanak-kanak” perihal Orde
Baru dari Raisa Kamila, salah seorang pendiri kolektif Perkawanan
Perempuan Menulis, yang ia bagikan dalam epilog buku debut
mereka—berdampingan dengan ingatan kelima rekannya serta para perempuan
yang mereka temui dan tampilkan kisahnya lewat delapan belas cerita
pendek. <i>Tank Merah Muda</i>, judul buku itu, oksimoron yang
mendampingkan tank berkonotasi garang dengan warna merah muda yang
lembut, adalah kumpulan cerpen berisikan berbagai pertanyaan tentang
kehidupan masyarakat selama dua dekade pasca-Reformasi, cerita-cerita
yang luput dari pengetahuan publik, hingga peran, posisi, dan pengalaman
perempuan dalam masa transisi ekonomi-politik tersebut. Memperoleh
hibah Cipta Media Ekspresi dengan lisensi <i>creative commons</i>, buku tersebut dapat diakses gratis melalui tautan berikut: <a href="http://ciptamedia.or.id/uploads/karya/book/tank-merah-muda-raisa-kamila.pdf" rel="noopener" target="_blank"><i>Tank Merah Muda</i></a>.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Bersama dengan Amanatia Junda dari
Sidoarjo, Maria Margareth Ratih Fernandez dari Larantuka, Armadhany dari
Makassar, Ruhaeni Intan Hasanah dari Pati, dan Astuti N. Kilwouw dari
Ternate, Raisa yang berasal dari Banda Aceh menggagas kolektif
Perkawanan Perempuan Menulis pada 2018. Gagasan mula-mula mereka adalah
membentuk suatu kolektif tempat belajar menulis bersama dan membagikan
kecintaan mereka akan sastra—mereka menyebutnya, “sebuah ruang belajar
menulis oleh dan untuk perempuan”. Meski sama-sama belajar menulis
secara informal di berbagai tempat, kali pertama pertemuan langsung di
Yogyakarta terjadi pada pertengahan Juli 2018. Seiring waktu, mereka
terpantik mengisi celah dalam kesusastraan negeri ini, untuk mengangkat
suara para perempuan, di luar ibukota, di luar arus dan aktivisme
politik negeri, dari kalangan orang biasa-biasa saja, tentang apa saja
yang terjadi pra- dan pasca-Reformasi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Bahkan sebelum pandemi, kolektif ini
menunjukkan betapa mereka berhasil mengatasi batasan geografis dengan
modal pertemuan virtual dan menanggapi isu-isu terbaru terkait
keperempuanan dan kesusastraan dalam karya-karya mereka—inisiatif yang
ideal untuk diselenggarakan di sebuah negara dengan bentuk kepulauan dan
ruang-ruang sastranya yang masih teramat maskulin. Pada 2020, kolektif
dengan semboyan “merangkul, menulis, bertumbuh” ini bahkan berhasil
mengundang lebih banyak lagi kawan perempuan penulis untuk bergabung
dengan mereka. Sebanyak 25 peserta—dari berbagai kota berbeda—dari total
341 pendaftar mengikuti lokakarya virtual riset dan kepenulisan yang
mereka selenggarakan, lantas berproses bersama, dan resmi tergabung
dalam kolektif Perkawanan Perempuan Menulis ini. Karya-karya peserta
lokakarya di gelombang kedua ini dapat diakses melalui tautan berikut: <a href="https://perempuanmenulis.co/" rel="noopener" target="_blank">Perkawanan Perempuan Menulis</a>.<br />
</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dalam wawancara ini, mereka menuturkan
bagaimana mereka mulai berproses untuk belajar menulis dan meriset
dengan lebih terstruktur. Mereka juga menjelaskan perihal ekosistem
sastra maupun kampus yang sebelumnya mereka hadapi di enam provinsi
masing-masing, hingga pentingnya menghadirkan “suara perempuan” di dalam
khazanah literatur negeri ini. Sekelumit kisah tentang pengerjaan <i>Tank Merah Muda</i>
dan berbagai pengisahan dari luar Jakarta pun mereka utarakan. Fokus
kolektif pada tema sejarah dan lokalitas memang ditujukan untuk
menghadirkan lebih banyak suara perempuan dari berbagai provinsi di
Indonesia tentang berbagai isu lokalitas dalam latar sejarahnya
masing-masing. Pada akhir percakapan, mereka membagikan pula inspirasi
yang dapat dipetik dari praktik kolektif ini. Berikut ini adalah obrolan
Dewi Kharisma Michellia dari <i>tengara.id</i> dengan Perkawanan Perempuan Menulis.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b>Berproses Bersama dalam Satu Kolektif</b></span></span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Mendapatkan energi <i>six degrees of separation</i>, keenam anggota Perkawanan Perempuan Menulis mengaku bahwa mereka “dipertemukan secara <i>random</i>”. Seiring jalan, mereka menjembatani batasan geografis dengan membentuk grup virtual “<i>emerging writers</i>” dan mengomunikasikan rencana mereka untuk menyusun <i>Tank Merah Muda</i>.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>DEWI KHARISMA MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalian berenam berproses dan studi di
Yogyakarta. Sementara kita tahu, ada juga sekian juta anak muda memilih
kuliah di Yogya, bukan berarti mereka akan bikin kolektif seperti
kalian, dan belum tentu juga akan angkat tema yang membahas perempuan
atau isu-isu yang kalian usung dalam <i>Tank Merah Muda</i>. Meski
kalian sudah menuliskannya dalam epilog buku, boleh ceritakan kembali
bagaimana kalian dipertemukan dan membentuk Perkawanan Perempuan
Menulis?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA JUNDA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Awalnya, saat ada pembukaan hibah Cipta
Media Ekspresi, Raisa baru pulang dari kuliahnya S2 di Leiden, saat itu
dia di Aceh dan aku di Sidoarjo, kami sama-sama di kampung dan saling
kontak. Dari sana tercetus ide, sepertinya seru deh untuk bikin cerpen
bareng, yang ringan-ringan, dan kalau bisa, ajak teman lain. Saat itu,
kami sudah berpikir untuk mencari teman dari berbagai daerah yang
berbeda. Raisa dari Aceh, aku Jawa Timur, Ruhaeni dari Semarang, Ratih
dari NTT, Dhany dari Makassar, dan Tuti dari Maluku Utara. Begitulah,
pembentukan PPM disemangati untuk berkumpul dari berbagai daerah, dari 6
provinsi ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA KAMILA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dulu aku kuliah di Yogya, enggak pernah
ketemu Ratih, Dhany, atau Tuti, apalagi Intan, sama Natia juga cuma 2-3
kali ketemu, enggak pernah benar-benar intens. Sewaktu aku S2, seorang
temanku, Brita cerita tentang Natia, kami punya hal yang bisa kami bagi
bareng. Kami mulai sering ngobrol, Natia kirim cerpennya ke aku, terus
aku baca.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku merasa kayaknya seru kalau kita
bisa belajar bareng kayak begini. Jadi serasa ada visinya. Terus,
ngobrol-ngobrol, waktu ada pembukaan hibah CME, aku pas sedang baca
arsip tahun 1990-an, dari sana kami terpikir, “Kayaknya seru, deh,
menggarap sesuatu tentang periode 1990-an”. Terus, ya, akhirnya, “Ayo,
kita bikin sesuatu bareng, yang bisa antardaerah.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Waktu itu, dalam bayanganku, pengin
bikin sesuatu yang bisa menghasilkan karya. Bisa jadi kayak semacam
kolektif. Memberi alternatif terhadap pemahaman sejarah, periode
1990-an, dan sejarah di daerah masing-masing.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Terus, kami coba ajak Intan, Ratih, Dhany, Tuti. Dan terkumpullah kami di grup WhatsApp yang kami namai “<i>emerging writers</i>”, tanpa tahu kenapa harus bikin nama grup itu. Awal mulanya sangat <i>random</i>, tapi kami enggak punya beban besar di awal harus bagaimana ke depannya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Jadi, kalian akhirnya sepakat mau menulis soal sejarah. Lalu, kalian <i>apply </i>hibah dari CME. Kalau dari Dhany, Intan, dan Ratih, setelah mendapat kabar itu, bagaimana berprosesnya di grup <i>emerging writers </i>itu?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MARGARETH RATIH FERNANDEZ</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sewaktu diajak, aku belum benar-benar terang kita mau bikin <i>output</i>
apa. Aku antusias, karena saat itu awal 2018, aku baru mau dua tahun
lulus dan kerjaku masih serabutan. Karena terlalu sibuk kerja sana-sini
dan merasa kurang gaul dengan teman-teman di luar circle kuliah, jadi,
waktu diajak, aku pikir, oke juga ada <i>circle</i> pertemanan baru ini. Walau setelah masuk PPM pun, jadi merasa, “Oh, <i>circle-nya</i> tetap di situ-situ saja, ternyata.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Begitu diajak, kita memang berproses dari nol banget. <i>Clue </i>di
awal hanya tema Reformasi. Tapi kemudian kenapa kita memutuskan cerpen,
dan kenapa perlu melakukan riset kembali ke kampung halaman
masing-masing, semuanya berproses banget. Senang, karena bisa memulai
sesuatu dari dasar.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RUHAENI INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Waktu itu, aku dapat pesan dari Raisa,
aku belum menghasilkan karya apa pun, jadi masih merasa minder, “Kok,
aku dipilih, kenapa, ya?” Terus, Raisa bilang dia ajak aku karena dia
baca blogku. Di awal itu, memang proyek ini belum mengerucut mau
mengangkat cerpen sejarah seputar reformasi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ARMADHANY</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Saya kenal dari Natia. Kebetulan saya
studi di Jogja dan ikut komunitas menulis, Bengkel Gerakan Literasi
Indonesia (GLI). Waktu itu, diajak Natia pas saya masih di Thailand.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ASTUTI N. KILWOUW</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebenarnya proses kami dipertemukan sangat <i>random</i> karena kebetulan kami punya <i>mutual-friend</i>
yang sama. Misalnya, dari keenam kawan, sebelumnya saya hanya mengenal
Natia dan Dhany. Kami beberapa kali ketemu di agendanya GLI. Setelah
lulus S2, saya kembali ke Ternate dan dihubungi Natia untuk menggarap
kumpulan cerpen bareng lima kawan lainnya.</span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> <br /></span></span></span></p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b>Ekosistem Menulis Sastra di Enam Provinsi </b></span></span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebagai negeri kepulauan, ketimpangan
akses antara satu wilayah dan wilayah lain sudah setua usia republik.
Sudah jadi rahasia umum, bahkan di era keterbukaan informasi seperti
sekarang, seorang anak daerah harus bekerja ekstra agar bisa masuk
konstelasi sastra Indonesia. Bukan hanya jarak yang perlu ditempuh
dengan sekian kali ganti kendaraan, mendapatkan akses atas informasi
(sayembara, lomba, hibah, kesempatan karier di gelanggang sastra ataupun
industri perbukuan, hingga ke akses penerbitan) ataupun “menyesuaikan
selera” dengan ukuran-ukuran kesusastraan lembaga sastra tingkat
nasional kerap perlu mereka upayakan ekstra.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dalam khazanah sastra negeri ini, lazim
kita ketahui kisah tentang Chairil Anwar dari Payakumbuh yang merantau
ke Jakarta dan menginap saban hari di kantor Balai Pustaka. Delapan
puluhan tahun kemudian, para penulis Indonesia masih perlu menempuh
perjalanan kultural yang sama agar mendapat akses ke sastra Indonesia.
Termasuk di dalam rombongan itu adalah para penulis perempuan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Hingga berangkat studi ke Yogyakarta,
Ratih mengaku tidak tahu satu pun komunitas sastra di daerahnya. Barulah
pada 2013, ia mengenal Komunitas Dusun Flobamora, dan itu pun dari
biodata buku puisi Mario F. Lawi, <i>Memoria</i>, lantas ia cari
secara acak informasinya dari Facebook. Dari sanalah ia kemudian
mengenal komunitas lainnya, Komunitas Kahe di Maumere, komunitas yang
melakukan penggalian dan pengembangan budaya lokal. Setelahnya, Ratih
intens mengikuti pertumbuhan komunitas berbasis literasi dan budaya di
daerahnya. Termasuk Simpa Sio Institut di Larantuka yang digagas oleh
Eda Tukan bersama ayahnya, seorang penulis dan budayawan lokal, dengan
fokus pada perawatan dan akses arsip terkait budaya suku Lamaholot di
Kabupaten Flores Timur.<br />
</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sementara, Raisa terlibat dalam
aktivitas komunitas sastra di Banda Aceh sedari remaja, persisnya saat
ia melewati masa-masa rehabilitasi dan rekonstruksi sesudah bencana
tsunami. Ia sempat ikut kelas menulis yang diadakan oleh Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh, Seuramoe Teumuleh lantas
Sekolah Dokarim yang diadakan Komunitas Tikar Pandan. Belakangan, ia
terlibat aktif di perpustakaan komunitas Rak Baca T36 yang rutin
mengadakan diskusi buku di kalangan pegiat literasi di Aceh.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Amanatia pun beberapa waktu terakhir
mengamati perkembangan ekosistem sastra di Sidoarjo yang semakin
dinamis, dari Dewan Kesenian Sidoarjo yang berperan menumbuhkan bakat
baru di daerahnya, lewat grup WhatsApp Majelis Sastra Sidoarjo, hingga
terbitan buku bertajuk panorama sastra Sidoarjo.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Apa yang mereka rasakan sebagai “gadis
daerah”, dulu dan kini, serta bagaimana kolektif Perkawanan Perempuan
Menulis ini bersiasat menghadapi berbagai keterbatasan di lingkup
ekosistem sastra daerah mereka dan di lingkup kampus?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Memang terasa banget bahwa Perkawanan
Perempuan Menulis ini, kan, berangkat dari semangat untuk menjadi suatu
kolektif yang sama-sama belajar lebih dalam seputar dunia tulis-menulis.
Meski kalian tentunya juga sudah memulainya masing-masing secara
informal, kalian menulis di blog pribadi dan semacam itu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Bagaimana pandangan kalian tentang
ekosistem dan dunia tulis-menulis di Indonesia sebelum kalian akhirnya
punya buku tunggal ataupun buku debut kolektif bersama ini? Bagaimana
kalian melihat dunia sastra sehingga, kok, kalian merasa “Oh, kita
perlu, nih, berkawan dan belajar menulis bareng,” dan lalu berproses di
PPM?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku belajar menulis sejak sebelum
kuliah, pas SMA, waktu aku masih di Aceh. Pas aku di Aceh juga sudah
lumayan terpapar sama penulis-penulis dari Yogya dan penulis-penulis
dari Jakarta. Jadi, waktu itu karena sudah baca karya-karya Puthut Ea,
Eka Kurniawan, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, jadi aku
merasa, sebagai gadis daerah, “masuk ke sastra” tuh berat, untuk menjadi
penulis yang diterbitkan, rasanya kayak mau jadi selebriti. Kayaknya
susah banget. Itu kayak suatu industri yang jauh dan enggak terjangkau.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Apalagi waktu di Aceh, aku sempat
belajar di Sekolah Dokarim yang digarap Komunitas Tikar Pandan. Memang
mereka kerap mengundang orang-orang dari luar Aceh untuk mengisi <i>workshop</i>
dan kelas belajar. Tapi aku malah makin merasa kalau untuk menjadi
penulis itu susah banget. Entah itu perempuan, entah lelaki, orang
daerah rasanya susah untuk menembus. Aku merasa dulu kayak ada batasan,
ada banyak pos satpam yang harus dilewati untuk menjadi penulis yang top
di Jakarta, yang kayak sekaliber Dewi Lestari. Terus, kayaknya harus
pintar, harus bisa bahasa Inggris, harus baca <i>Don Quixote</i>, apalah.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Melihat infrastruktur daerahku waktu di
Aceh, baru sehabis tsunami aku belajar menulis yang agak serius. Tahun
2007 itu enggak ada toko buku, bahkan Gramedia aja baru ada tiga tahun
lalu di Aceh. Jadi, memang susah banget. Nah, karena itu juga habis
tsunami, aku juga sempat belajar menulis sendiri di Medan. Aku sempat
tinggal di Medan selama 6 bulan. Karena sekolahku lumayan dekat Gramedia
dan waktu itu lagi ngetren <i>teenlit</i> segala macam, aku sempat pengin bikin <i>teenlit</i>
yang diterbitkan Gramedia. Aku coba menulis dengan komputer pinjaman di
rumah tanteku. Lalu, naskah itu kukirim, dan gagal, terus aku merasa,
“Oh, ternyata memang susah nerbitin buku.” Ya, susahlah, tulisanku juga
jelek banget.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sewaktu aku di Yogya dan berinteraksi
dengan teman-teman di komunitas sastra, perasaannya bukan “aku orang
daerah yang enggak pernah baca buku apa-apa”, tapi ditambah juga “aku
perempuan dan rentan”. Karena di komunitas sastra kadang-kadang suka
diskusi sampai tengah malam—aku enggak ada masalah sama orang merokok
atau mabuk-mabukan—tapi aku enggak merasa nyaman dan aman jadi
perempuan, saat itu sendirian, dan harus menoleransi itu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Waktu itu, aku juga jadi terpikir, “Ada
enggak, ya, penulis perempuan yang punya keluarga?” Karena waktu itu
kayaknya yang aku dengar dari mana-mana, tuh, penulis perempuan itu
enggak usah menikah, enggak usah punya anak, karena nanti enggak bisa
berkarya. Jadi rasanya pengalaman belajar di Jogja dan Aceh itu kayak
dipersulit. Harus pintar, harus garang, harus melawan segala hal, harus
siap mabuk kapan saja. Sori, ya. Terus, semacam ada keharusan untuk
dapat pengakuan dari satpam-satpam sastra, dapat petunjuk dari mereka:
“oh, aku harus baca karya yang ini”, “harus minta pendapat ke oom yang
ini, ke abang yang ini”. Beberapa kali ada momen yang enggak
menyenangkan dengan penulis laki-laki, tua dan muda, yang mereka
kadang-kadang <i>patronizing</i> diri mereka, di Aceh, di Jakarta, di
Yogya, entah kenapa aku ketemu terus. Sial banget. Dan untuk bisa ketemu
orang yang pengin belajar aja, dan melihat aku sebagai <i>partner</i> yang setara, rasanya susah banget.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span></span></span></span></p><a name='more'></a><p></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Menarik, pengalaman Raisa dari Aceh.
Banyak harus dan banyak oom-oom, banyak abang-abangan, apakah itu
terjadi juga di tempat lain?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau aku, mungkin agak beda
pengalamannya dengan Raisa. Waktu mengenal komunitas menulis di Jogja
juga, meski sebenarnya hampir mirip, punya keinginan belajar menulis
sedari remaja. Enggak punya akses, enggak tahu harus mulai dari mana.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau Raisa di Aceh lebih gaul, aku
lebih kuper di Sidoarjo. Aku enggak tahu ada satu pun komunitas menulis
saat itu. Sebenarnya kenapa aku memilih kuliah di Jogja itu pun
motivasinya bukan karena UGM atau nama besar kampus. Bukan. Aku justru
gara-gara waktu SMP sempat di pesantren, dan pesantren itu cuma punya
perpustakaan seukuran satu lemari kecil. Isinya didominasi novel-novel
dari teman-teman Forum Lingkar Pena. Tahun 2004-2005-an, saat itu aku
menemukan banyak sekali profil singkat penulis yang mencantumkan
domisili mereka di Yogya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku dengan polosnya terpikir, “Wah,
kalau begitu, di Jogja ada banyak penulis, ya.” Wah, ini berarti kotanya
orang menulis. Jadi kupikir, kalau orang ingin menulis, perginya ke
sana. Motivasinya sesimpel itu. Hanya karena baca profil-profil singkat
dari novel-novel islami. Saat SMA, aku enggak ketemu komunitas menulis.
Kecuali, aku juga seperti Michellia, gabung di situs web <a href="http://kemudian.com">http://kemudian.com</a>.
Kenal beberapa orang di sana. Tapi, kan, aku masih hanya melihat
Kemudian.com seperti Facebook, sebuah ruang yang isinya khusus buat kita
menampilkan puisi atau cerpen, begitu doang. Enggak yang benar-benar
bisa saling <i>sharing</i> dan belajar bareng.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sewaktu di Yogya, kocak banget, yang
aku cari pertama di sana adalah Forum Lingkar Pena. Dan aku enggak
diterima, enggak lolos wawancara mereka. Aku enggak paham, “Kenapa, ya?”
Waktu itu ditanya, “Sebutkan tiga penulis Indonesia yang kamu suka?”
Saat itu, karena referensiku masih bacaan semasa remaja, aku menyebut
nama-nama penulis yang <i>random</i> banget. Andrea Hirata, J.K.
Rowling, dan Asma Nadia. Nama-nama itu, kan, enggak ketemu frekuensinya,
ya? Jadi, kacaulah. Aku enggak diterima, dan merasa, “Masuk komunitas
menulis itu sebegini susah, ya? Harus ada <i>interview</i>-nya, dan segala macam.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Selain itu, aku juga sempat terlibat di
pers mahasiswa. Tapi waktu itu aku enggak aktif karena aku enggak
merasa ruang itu sebagai komunitas menulis. Bentuknya sudah sangat
hierarkis, sangat berjenjang, dan kita sebagai junior masuk persma sudah
langsung diberi tugas. Hanya berisi penugasan dan penugasan. Semacam
masuk ke organisasi yang sudah mapan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Nah, terus, sempat masuk bengkel
menulis atas ajakan teman-teman saat itu, GLI belum terbentuk. Ada Dwi
Cipta, Mahfud Ikhwan, dan Bosman Batubara. Konsep bengkel menulis itu
menawarkan tiga fasilitator itu dan teman-teman yang mau belajar dan <i>sharing</i>
bareng. Menurutku, bengkel menulis itu bagus banget sistemnya. Hanya
saja, bengkel menulis itu hanyalah pintu masuk untuk memprospek
teman-teman yang masih polos-polos penuh idealisme ini untuk ke sebuah
organisasi kebudayaan yang sangat besar dengan cita-cita yang begitu
idealis dan sebagainya. Jadi, kayak, ya itu hanya pintu masuk, ikut <i>workshop </i>beberapa
sesi saja. Meski itu cukup memberi pengaruh buatku sebenarnya. Cara
bengkel menulis memposisikan peserta atau angkatan juga cukup egaliter.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Jadi, sebenarnya pencarianku atas
komunitas menulis cukup mengalami kebuntuan. Bahkan di Yogya selama
tujuh tahun, mungkin aku yang kurang berusaha mendekati kantong-kantong
kolektif kebudayaan. Aku belum menemukan <i>prototype</i> komunitas menulis yang benar-benar bisa kunikmati.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Saat aku pulang kampung ke Sidoarjo, aku merasa tercerabut dari komunitasku. Enggak punya<i>circle </i>,
benar-benar memulai dari nol. Mungkin Raisa juga merasakan begitu saat
kembali ke Aceh. Waktu di Sidoarjo, aku merasa bisa melakukan sesuatu,
tapi di satu sisi aku juga merasa sendirian. Aku enggak punya teman <i>sharing</i> tulisan atau <i>circle </i>dengan
frekuensi yang sama. Setelah aku bertumbuh di PPM, aku merasa rupanya
tidak perlu mengidealkan satu kota atau satu komunitas, karena ternyata
kami bisa tumbuh dalam satu ruang virtual, enggak harus ada patron besar
di dalamnya. PPM ini ruang yang asyik; kami memulai ini dengan semangat
<i>borderless</i>.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku senang banget dengan penjelasan
Raisa dan Natia. Kami jadi bisa ikut ngerasa Perkawanan Perempuan
Menulis memang murni kolektif yang pengin belajar bareng, karena itu ya
mabuk-mabukan bareng cuma bonus.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pas Amanatia tadi menjelaskan soal FLP, lucu deh, kita jadi tahu kalau <i>gatekeeper</i> itu ada di mana-mana. Kalau sudah mapan memang rawan dengan <i>gatekeeper</i>. Jadi, rasanya, kayak… apakah kita enggak usah jadi mapan?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sama, tadi seru juga bahasannya, benar
juga, kita di grup virtual bisa tumbuh. Bayangin, kita sekarang di
tengah pandemi, menumbuhkan cara kerja dan berkomunitas yang virtual.
Lucunya, kita sudah memulai itu sebelum pandemi, sebagai cara
menjembatani antara kita yang tinggal di daerah berbeda.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebelum kuliah, aku masih melihat
sastra secara naif dan romantis. Dari kecil, mengenal nama-nama J.K.
Rowling atau Andrea Hirata yang diberitakan “Dari Menulis, Jadi
Jutawan”. Masa lalunya juga “martir” banget, Rowling korban KDRT,
bercerai, dia menulis dengan kertas-kertas potongan, dan setelah menulis
dia jadi jutawan. Andrea Hirata anak miskin di Belitung, belajar sampai
ke luar negeri, terus dia menulis <i>Laskar Pelangi</i> yang
menginspirasi jutaan anak negeri untuk rajin sekolah. Aku melihat dunia
kepenulisan bisa dijadikan profesi dan aku merasa punya talenta.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Saat kuliah, sama seperti Natia, aku
mencari komunitas yang bisa membersamaiku belajar. Pilihanku jatuh ke
LPM Ekspresi. Kakakku yang mengusulkan, dia wartawan sampai sekarang.
Dia menganjurkan aku masuk persma. Waktu masuk persma, aku kaget sekali.
Aku hanya ingin belajar menulis, tapi kok terus ada jenjang hierarki
dan program kerja yang sangat ketat. Di AD/ART Ekspresi sendiri, mereka
tidak hanya menyebut diri mereka sebagai organisasi pers mahasiswa, tapi
juga sebagai suatu bentuk gerakan, dan itu tersurat di AD/ART. Jadi
merasa, “Aduh, kok rumit sekali.” Belakangan pas sudah lebih dewasa aku
menyadari bahwa yang namanya organisasi memang butuh manajemen yang
ketat agar arah pertumbuhannya jelas, seperti yang kudapati di Ekspresi.
Tapi memang pertama kali masuk lumayan kaget dengan iklimnya yang
sangat baru buatku.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku mencoba untuk <i>fit in</i>,
karena enggak punya referensi lain tentang bagaimana bisa menjadi
penulis yang bagus. Aku ikuti iklim di sana, termasuk diskusi sampai
malam, sering banget baca filsafat yang jadi semacam “bacaan wajib”. Di
satu sisi aku merasa berat banget, tapi karena aku enggak punya
referensi bagaimana caranya jadi penulis dengan cara yang lain, aku
berusaha untuk menyesuaikan. Aku berusaha belajar filsafat, meski
kemudian akhirnya aku tahu aku enggak bisa, aku enggak cocok dengan
bacaan-bacaan semacam itu. Berusaha aktif di program kerja, tapi
jatuhnya jadi terlalu fokus ke mengurus organisasi saja. Jadi
terkungkung akhirnya, aku fokus hanya di sana. Ini masalah manajemen
waktu dan diri juga sih. Kemampuan menulisku saat itu hanya mengikuti
patron atau kurikulum di Ekpresi saja. Padahal, kan, ada banyak cara dan
banyak metode juga karakteristik.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Belajar di Ekspresi memberi banyak
manfaat tentunya, misalnya mempelajari struktur dan logika penulisan
berita, analisis sosial, manajemen <i>event</i>, berkenalan dengan
banyak buku-buku bagus dan tentu saja koneksi dengan banyak pihak. Tapi
memang ada beberapa hal terkait sistemnya yang tampaknya tidak begitu
cocok untuk orang sepertiku.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Begitu lulus dari UNY dan LPM Ekspresi, mulai masuk ke <i>circle </i>lain,
makin terbuka pikirannya, “Oh, iya, ada banyak cara sebenarnya untuk
menulis.” Tapi di awal kelulusan yang aku temukan masih setipe Ekspresi
walaupun enggak persis-persis banget. Diskusi sampai larut malam bahkan
pagi, kalau ketemu harus di jam-jam yang sebenarnya saatnya orang
istirahat. Terus, memangnya harus banget, ya nongkrong di kafe yang
cahayanya remang-remang? Harus ngerokok banget? Aku enggak bermasalah
dengan merokoknya kalau hanya satu dua orang. Tapi semua orang di sana
itu merokok. Jadi, aku merasa kenapa biar “jadi lebih pinter” aku harus
menahan mataku perih karena terpapar asap rokok terus? Dan, kenapa harus
baca filsafat terus? Aku menikmati reportasenya Linda Christanty, juga
menikmati Pram. Mereka juga sebenarnya membicarakan karya-karya seperti
itu pastinya, tapi beberapa senior terlalu menempatkannya sebagai suatu
“benda suci”. Ada beberapa orang yang berperilaku <i>Book-shaming</i> banget, bacaan harus ini-itu. Masih setipe dengan Ekspresi kadang-kadang.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Di tahun 2017-2018 itu, aku mulai masuk ke <i>circle-</i>nya
KBEA, Mas Puthut dan kawan-kawan. Secara karakteristik, rada mirip
dengan lingkungan sebelumnya karena kebanyakan di sana anak persma juga,
tapi menurutku lebih luwes dan beragam. Akhirnya, aku jadi tahu kalau
ternyata konstelasi dunia kepenulisan memang cukup kompleks, dan tidak
sesederhana yang aku bayangkan sebelum kuliah.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ketemu PPM, apa yang aku rasakan jadi
valid. Yang kualami di Ekspresi dan yang lainnya itu bukan perasaanku
saja, memang bukan sistem yang seutuhnya cocok denganku. Dulu, saat aku
merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, aku merasa diriku bodoh. Aku
merasa aku tidak mampu. Tapi, ternyata itu hanya soal kecocokan dengan
sistem.. Bukan berarti aku bilang cara itu buruk. Untuk orang lain, itu
mungkin cocok, tapi belum tentu cocok untukku.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pola di komunitas seperti PPM ini yang
cocok buatku dan membuatku lebih percaya diri secara intelektual dan
emosional tanpa menafikan pengalaman organisasiku sebelum-sebelumnya.
Efek positif dari ruang-ruang tadi pastinya ada banyak, tapi aku merasa
lebih nyaman di model seperti PPM ini. Walaupun pastinya ada banyak
kekurangan yang harus terus-terusan kami perbaiki biar bisa bertahan dan
makin bermanfaat.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ASTUTI</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Melihat situasi atau ekosistem dunia
sastra hari ini, terutama di Indonesia, memang masih didominasi oleh
patronase figur dan maskulinitas. Perempuan dan individu yang jauh dari
akses “kekuasaan sastra” kian jauh menjangkau <i>passion</i>-nya dan
kerap kali karyanya tidak mendapatkan tempat. Kupikir, inilah salah satu
alasan kami membangun kolektif untuk saling menunjang dan menopang
sebagai penulis perempuan pemula.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Betul. Kalau aku, aku merasa merangkum
pengalaman Raisa, Natia, dan Ratih. Aku alami semua itu juga. Awal
gabung di PPM, aku merasa ibarat anak ayam hilang yang masih bimbang.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Awal mulaku mengenal dunia
tulis-menulis sejak aku di pers mahasiswa. Persis seperti yang
diceritakan Natia, pers mahasiswa sangat hierarkis. Posisi junior-senior
sangat kentara. Persma memang mengajarkan banyak buatku menulis. Tapi,
yang aku enggak dapatkan adalah <i>peer group</i>. Ketika aku jadi
junior, seniorku hanya memberi tugas dan obrolannya hierarkis, terasa
enggak enak. Ada patronase, “Kamu harus baca ini, supaya kamu jadi
senior.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Karena kebutuhan mencari <i>peer group</i>,
aku mencari tempat lain. Kebutuhanku ini mengantarkanku kenal komunitas
di Semarang, mereka punya kolektif yang cukup progresif, ada satu dosen
yang mau ikut bareng dengan mahasiswa dan benar-benar mengajarkan cara
menulis. Dia buka kelas, <i>mentoring</i> dan semuanya gratis. Menurutku itu progresif.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Tapi, yang aku rasakan, pengalamanku
sama dengan Raisa. Isi komunitas itu abang-abangan semua. Waktu itu, aku
masih belum menyadarinya. Aku belum melek soal isu-isu perempuan, masih
belajar, dan mempertanyakan, “Aku enggak nyaman, tapi kenapa aku merasa
enggak nyaman?”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pertanyaan-pertanyaan itulah yang
akhirnya terjawab saat aku di PPM. Ternyata, aku enggak nyaman ketika
ada di komunitas yang isinya cowok semua, dan kita sebagai cewek merasa
kayak “ditelanjangi dari atas sampai bawah lewat tatapan mata”. Belum
lagi kalau kita masuk obrolan mereka. Seolah-olah, kalau kita aktif di
situ, kita bisa didekati atau digoda. Cuma waktu itu aku belum punya
instrumen untuk mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah soal itu. Dari
sana, aku sempat pindah <i>peer group</i> ke teman-teman kolektif
anarko di Salatiga. Hampir satu angkatan seusia. Tidak ada hierarki
junior-senior atau abang-abangan. Tapi, saking progresifnya, yang mereka
bahas adalah soal bagaimana caranya bikin molotov, atau ayo kita besok
demo, <i>free love</i>, yang begitu-begitu. Kan, aku jadi merasa kayak, “Aaa, apa ini?”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku juga enggak merasa itu cocok
bagiku. Aku enggak merasa mendapatkan apa yang aku butuhkan. Baru dari
sana aku tahu, aku juga membutuhkan ruang aman supaya aku bisa belajar.
Akhirnya, waktu aku pindah ke Yogya, aku kenal Raisa dan Natia, lalu
teman-teman PPM, ternyata apa yang kualami pernah mereka alami. Aku
merasa PPM adalah ruang yang mendekati ideal, tempat buatku belajar,
tanpa ada junior-senior, tanpa ada hierarki, terus enggak ada <i>gatekeeping</i> “kamu harus baca ini, kamu harus baca itu”, dan enggak digodain abang-abangan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Polanya bisa sama begitu, ya, di banyak
tempat. Komunitas menulis diisi dan dipatronase sama abang-abangan yang
pengin modus ke anggota perempuannya….</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ARMADHANY</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Hampir sama dengan teman-teman yang
lain, yang paling aku ingat dari bengkel kelas menulis difasilitasi
dengan laki-laki. Ketika saya mencoba menjelaskan ide cerita, saya
dijuluki “misionaris” dan ketika mencoba menjelaskan cerita dengan
bahasa yang sedikit vulgar, mereka langsung bilang, “Kamu baca Ayu Utami
aja, baca <i>Saman</i>.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Saya enggak tahu apa-apa dan memang
baru belajar. Lalu saya baca itu cerita tentang laki-laki yang meminta
keperawanan dari pacar perempuannya. Terus, dalam cerita yang saya baca
itu, ada pertanyaan tentang apa salahnya kalau memang cowoknya suka?
Padahal, bagi saya, “Loh, itu kan salah.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ketika akhirnya saya menulis di <i>Tank Merah Muda</i>, saya mendapatkan tanggapan berbeda. “Bagus, nih. Sampai ngeri.” Lalu ada <i>feedback</i>
yang bilang, “Oh ini aman, ya, untuk ditulis?” Komentar-komentar ini
berbeda dengan tanggapan ketika saya di bengkel menulis yang dulu. Saya
merasa aman bertemu dengan PPM. Kita benar-benar menulis dengan bahasa
kita sendiri, bahasa perempuan banget, dan enggak harus dibahasakan ke
bahasa laki-laki.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalian mengupas tentang bagaimana
ekosistem di dunia sastra—juga sekelumit tentang pengalaman di
ekstrakurikuler kampus seperti terlibat di lembaga pers mahasiswa.
Sementara itu, kalau dipikir lagi, dengan demikian apakah menurut kalian
situasi kampus tidak mendukung terbentuknya kelompok belajar bersama
sehingga kalian merasa perlu bikin kolektif untuk mengisi kekosongan?
Belakangan, kita juga mendengar tentang maraknya kasus perempuan
mengalami pelecehan seksual di kampus. Apakah dapat kita katakan
sebenarnya hal itu secara paralel menunjukkan juga bahwa kampus tidak
menyediakan ruang yang aman untuk belajar menulis? Kalau menurut kalian
iya, mengapa menurut kalian kampus tidak menyediakan ruang bagi
perempuan atau mendukung perempuan mendalami tema-tema tersebut?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebenarnya kalau di kampusku, Filsafat
UGM, lebih ada keleluasaan untuk belajar apa pun di luar filsafat. Kita
bisa belajar sastra, seni rupa, film, teater, bebas. Dan memang lebih
sering diinisiasi oleh mahasiswa, lebih hidup juga diskusinya dibanding
di kelas, tapi pas awal kuliah aku jarang ikutan karena minder dan cupu,
hahaha. Pas udah di tahun kedua dan ketiga mulai punya teman untuk
inisiasi kegiatan belajar di kampus, tapi memang belum fokus banget ke
isu perempuan. Dan sejujurnya waktu itu juga, biarpun udah sedikit
terpapar soal feminisme, bacaanku masih mentok di buku-buku terjemahan
dan Jurnal Perempuan aja. Lebih banyak diskusi malah dengan teman-teman
luar kampus, dan belum kepikiran juga mau bikin kolektif, apalagi yang
khusus untuk perempuan belajar sastra.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku kurang begitu ingat bagaimana
situasi kampus 10 tahun yang lalu berkaitan dengan ruang bagi perempuan.
Topik sastra dan perempuan rasa-rasanya selama aku kuliah belum pernah
mengalami perkembangan sedinamis beberapa tahun belakangan ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>PPM sebagai kolektif sebenarnya bukan
berangkat dari kekosongan kelompok belajar perempuan atau kurangnya
diskusi mengenai wacana gender, menurutku. Bagaimanapun, awalnya saat
kami berenam berkumpul, semuanya telah lulus kuliah dan sedang berjuang
dengan pilihan hidup masing-masing. Tuti yang balik ke kampung halaman
dengan semangat aktivismenya, Raisa yang baru pulang dari Leiden dan
perlu berkontribusi terlebih dahulu di Aceh sebelum menemukan lingkungan
yang benar-benar pas baginya, Intan yang nekat kerja di Yogya setelah
lulus dari Semarang (meski UMP 11:12 dengan Yogya), saat kami kopdar ia
masih seorang pemandu di museum dan harus berangkat pagi sekali ke kaki
gunung Merapi. Ratih yang juga bertahan untuk subsisten di Yogya setelah
lulus dari kuliah S1, Dhany yang akhirnya kembali lagi ke Yogya–setelah
menjadi seorang guru di Thailand. Hingga saya yang juga mirip seperti
Dhany, memilih kembali ke Yogya setelah mengalami krisis identitas di
kampung halaman sendiri. Jadi, saya renungkan kembali, kami berenam
berada di situasi yang hampir sama, pasca-lulus kuliah dan merasa rentan
menghadapi lingkungan yang seringkali tidak memihak bahkan cenderung
tidak berkeadilan gender.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ASTUTI</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau di kampusku, terutama untuk
bidang keilmuan yang kugeluti, Ilmu Hukum, memang sangat terbatas dan
kaku, tipikal maskulin, sehingga tidak sefleksibel jurusan lain.
Sebenarnya tidak hanya perempuan, laki-laki pun demikian. Jadi kalau
bicara keterbatasan gender kurang lebih samalah dengan kondisi situasi
di dalam kelompok masyarakat patriarkis lainnya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ARMADHANY</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Seingatku, di kampus ada beberapa
kelompok yang mendiskusikan tentang sastra, hanya saja kelompok itu
didominasi oleh laki-laki, sehingga ketika ada seorang perempuan berada
di antara laki-laki yang sedang asyik merokok itu bakal kelihatan agak
tabu. Tapi, kampus tetap menyediakan panggung-panggung untuk berdiskusi
tentang sastra. Sedangkan PPM bagiku menjadi tempat yang cukup aman dan
nyaman untuk menyampaikan ide-ide atau berbagi pandangan tentang karya
sastra yang tentunya dari sudut pandang perempuan. Kampus pun sedikit
tabu dengan isu-isu yang membawa nama-nama feminisme, maklumlah aku
kuliah di kampus islami, jadi wajar ketika kami berusaha membahas
tentang kesetaraan gender, maka banyak yang memilih untuk tidak ikut
tahu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau di kampusku, jelas sangat tidak
mendukung, bahkan enggak cuma untuk perempuan, laki-laki juga. Aku
kuliah di Politeknik yang notabene disiapkan untuk segera lulus dan
bekerja. Sastra, yang mungkin dianggap bukan industri yang mapan, tidak
masuk kurikulum; UKM bidang sastra pun enggak ada kalau di kampusku
dulu. Makanya, aku kemudian mencari ruang belajar menulis di pers
mahasiswa. Sastra di kampusku tuh kayak alien, “Apa itu sastra, tidak
penting dan tidak mendatangkan uang.” Uniknya, di perpustakaan kampusku,
banyak buku sastra dan non-sastra yang bagus. Salah satu yang dulu
sempat aku temukan di perpustakaan adalah laporan investigasi tentang
tambang emas Freeport di Papua.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku enggak pernah benar-benar paham
kenapa persisnya enggak ada ruang yang kondusif buat perempuan dalam
bidang ini di kampusku dulu. Aku juga nggak begitu ingat apakah ada
komunitas di bidang tertentu di kampus yang isinya perempuan saja. Tapi
seingatku, kayaknya memang pembahasan soal gender di kampusku dulu
khususnya di kalangan mahasiswa belum seluas diskursus gender hari ini,
ya. Dalam artian, kalau membicarakan soal hak perempuan, ya sebatas
perempuan bebas melakukan apa pun di ruang publik, tapi kurang ada
diskusi dan perhatian lebih dalam tentang ketika perempuan sudah boleh
ngapain aja di ruang publik, dia tetap mengalami tantangan yang tidak
dialami lelaki. Ya, misalnya, ketika pengin belajar menulis. Ada ancaman
dilecehkan atau rentan di-<i>mansplaining</i>.</span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span></span></p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b>Refleksi Kembali dan Pijakan untuk Karya Mendatang</b></span></span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dalam kumpulan cerita pendek <i>Tank Merah Muda</i>,
keenam perempuan ini menghadirkan berbagai kisah yang tercecer dan
mengumpulkannya dalam 18 cerita pendek. Masing-masing dari mereka
menulis tiga cerita pendek yang mengangkat suara perempuan dari daerah
mereka.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Astuti dari provinsi Maluku Utara
menggambarkan konflik horizontal berbasis agama yang terjadi pada 1999
antara dua suku, yakni Makian dan Pagu, yang semula dipicu oleh
perebutan tapal batas di wilayah lingkar konsesi pertimbangan emas.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ratih menuliskan kisah perihal
bagaimana setidaknya 200.000 lebih warga Timor Timur pro-integrasi
mengungsi ke Pulau Timor bagian barat yang termasuk dalam Kawasan NTT.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dari Sidoarjo, Amanatia mengingat
bagaimana harga susu kalengan yang dikeluhkan ibunya tumpang tindih
dengan kampanye pemilu di Jawa Timur yang dimenangkan oleh pasangan Gus
Dur dan Megawati. Begitu juga, cerita-cerita mengenai pembantaian dukun
santet dan teror ninja mendorongnya meriset ke Surabaya, Jember,
Banyuwangi, dan Lumajang.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sementara, Armadhany melukiskan tragedi
April Makassar Berdarah (AMARAH), politik perkoncoan antara pejabat
daerah, serta tren kebijakan desentralisasi. Tak luput, ia menelusuri
soal asal-usul kue kering “kue krismon” yang populer di kotanya sebagai
kudapan hari raya di tengah melonjaknya harga bahan sembako.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Begitu pula Intan menceritakan kondisi
psikis warga keturunan Tionghoa di Semarang, yang mendapatkan teror
berupa ancaman perkosaan. Ia juga mendengar cerita tentang pengusaha
lokal keturunan Tionghoa yang menimbun barang saat krisis, hingga
beberapa kelompok yang mengadakan pasar-pasar murah “Pasar Krempyeng”.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Di Aceh, Raisa menelusuri ingatan masa
kecilnya sembari bertemu beberapa perempuan dengan latar belakang
beragam (dosen, pekerja LSM, pegiat posyandu, aktivis, ibu rumah tangga)
yang melewati masa remaja di Banda Aceh pada masa Reformasi</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau tadi kita refleksi balik ke
belakang banget, sebelum kalian masuk ke PPM, sekarang mari kita
berefleksi ke depan. Setelah beberapa tahun <i>Tank Merah Muda </i>terbit,
apa pendapat kalian soal tulisan-tulisan di sana? Apakah ada perubahan
drastis saat ini, atau kalian sudah merasa bahwa karakteristik kalian
dalam buku ini akan kalian pertahankan di buku-buku mendatang?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Karena kebetulan <i>Tank Merah Muda</i>
adalah kumpulan cerpen, di proyek inilah aku mempelajari struktur
cerpen dengan lebih rapi. Sebelumnya, aku enggak ada cukup kesempatan
menulis fiksi. Dalam proses ini, aku mempelajari penulisan cerpen dengan
lebih serius, termasuk juga pra-penulisannya. Untuk pra-penulisan,
riset yang kulakukan enggak sekadar riset. Ada metodologi yang dipakai,
perspektif yang seperti apa. Aku enggak bisa bawa hipotesis yang terlalu
kuyakini, karena aku harus melihat bagaimana konstelasi yang sebetulnya
terjadi di tempat aku meriset.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Jadi, aku lebih belajar soal kebutuhan
pra-menulis dan teknik menulisnya. Ada banyak faktor yang kemudian aku
pertimbangkan dan pelajari sewaktu terlibat di proyek ini. Ke depannya,
memang kalau ingin menyajikan sebuah karya, itu enggak bisa satu dimensi
saja. Manusia atau individu, kan, sangat kompleks. Kompleksitas itu
sebaiknya jangan direduksi. Memang dalam karya sastra, kita tidak bisa
menyajikan kompleksitas itu secara lengkap. Tapi setidaknya perspektif
yang dipakai jangan sampai mereduksi kompleksitas karakter tersebut,
atau situasi dan latar tempat/waktu. Aku banyak belajar hal ini untuk
cerpen-cerpenku selanjutnya. Tempo hari, aku sempat menyesali karena
menyederhanakan konflik di salah satu cerpenku pasca-<i>Tank Merah Muda</i>
terbit. Tapi ya, tidak apalah, itu kan proses. Setidaknya aku sadar apa
yang kurang dari karya-karya yang kubuat. Kemarin sempat ikut menulis
untuk <i>Berita Kehilangan</i>, menulis buat satu-dua media <i>online</i>, dan ini juga sedang ikut proyek cerita pendek kerjasama dengan Universitas Wailalak di Thailand.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sama seperti Ratih, sebelumnya aku
menulis dengan intuitif. Apa yang ada di pikiran, membayangkan sekilas
tentang tokohnya. Tapi enggak pernah berpikir soal struktur, atau
strategi naratif apa yang kira-kira cocok, termasuk perspektifnya dan
segala macam. Di PPM, aku merasa lebih punya ruang eksperimen
dibandingkan belajar menulis di tempat lain. Di tempat lain, sepertinya
sudah selalu ada pakem tentang, “Ini yang namanya karya bagus” atau “Ini
karya jelek”. Di PPM saat berproses di <i>Tank Merah Muda</i>, kami lebih memberi <i>feedback</i>
ke satu sama lain. Kita ingin tahu tentang kenapa si penulis memutuskan
si tokoh melakukan tindakan tertentu dalam ceritanya atau sebenarnya
apa yang mau diceritakan. Yang dicek adalah gagasan apa yang mau
dihadirkan dalam cerita.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Selama berproses dalam PPM, aku
mengecek itu: gagasan apa yang pengin dihadirkan, lalu bagaimana cara
menghadirkan gagasan itu. Aku jadi merasa lebih berani untuk
menyampaikan gagasan, memikirkan semua elemen dalam tulisan. Menilai
karyaku di <i>Tank Merah Muda</i>, aku enggak merasa sangat puas, tapi
aku senang karena sudah melalui suatu proses yang aku enggak pernah
bayangkan bisa dilakukan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Penulis kadang serasa seperti nabi: suatu hari dia dapat wahyu dan dia menulis selama berminggu-minggu lalu jadi buku <i>bestseller</i>. Pas di <i>Tank Merah Muda</i>,
jujur aku merasa cukup kesulitan, karena sudah lama enggak menulis,
lalu menemukan cara baru untuk belajar. Aku punya cara-cara lama
menulis, tapi aku harus melepas itu semua, dan memulai cara-cara baru
dalam menulis. Walau dari sisi estetika, aku merasa belum menemukan cara
untuk sampai ke titik yang aku inginkan. Aku pengin menulis novel kayak
<i>The Vegetarian</i>, tapi bagaimana caranya? Rasanya itu masih
belum ketemu, tapi enggak apa, namanya juga proses. Enggak akan bagus
sekarang, mungkin bagusnya saat aku sudah mati.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Setelah <i>Tank Merah Muda</i>, aku menulis untuk bukuku sendiri, <i>Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?</i>, menulis juga untuk <i>Berita Kehilangan</i>, juga serial <i>Perkara Keramat </i>untuk
Kumparan+, dan aku masih belum menemukan estetika yang ingin aku olah
atau hadirkan di tulisanku. Tapi yang aku bawa dari proses di PPM lebih
ke cara kerja, cara menemukan gagasan, <i>desktop research</i>, memastikan apakah aku sudah yakin dengan gagasanku, lebih ke proses dan belum menemukan karakteristikku.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>PPM kupikir adalah sebuah
eksperimentasi yang cukup berhasil. Dalam artian, selama ini saat aku
menemukan antologi cerpen yang berisikan beberapa penulis, aku merasa
kebanyakan masih belum punya benang merah yang sangat kuat. <i>Tank Merah Muda</i>
ini berproses dari ide ke buku dalam waktu yang cukup lama, mengalami
tahapan-tahapan eksperimentasi yang aku sendiri secara pribadi belum
pernah terpikir akan menulis cerpen dengan seserius ini, atau seberat
ini. Terdengar sedikit tendensius, karena membawa beban “merekam ingatan
sejarah”. Apalagi seperti Ratih atau Raisa, selama ini menulis cerpen
secara instingtif. Pada suatu momen, ingin menulis apa, lalu duduk, dan
selesai. Ini mungkin bisa dikatakan cerpen termahal yang pernah aku
bikin karena punya ongkos produksi yang luar biasa.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku terjun di lapangan, ke kota-kota
seperti Banyuwangi dan Jember, seolah-olah aku mau menulis skripsi atau
esai sejarah yang panjang. Nah, inilah hasilnya. Mungkin di satu sisi
belum optimal, tapi dari sudut pandangku kalau ini dikatakan
eksperimental, menurutku ini sudah cukup berhasil, terkait variasinya,
benang merahnya. Kami sangat bersyukur ketemu editor <i>Tank Merah Muda</i>, Ninus Andarnuswari, yang wow; ada masukan dari Ninus untuk menulis ulang beberapa hal. Proses yang menantang banget.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Debut cerpen-cerpen di sini bagiku
pribadi seperti suatu proses menyiapkan mentalku untuk menulis sesuatu
yang panjang dan lebih jauh penelusurannya. Penelusuran tentang suatu
ruang. Selama ini aku punya mimpi kecil bikin novel tentang Porong, tapi
macet karena terlalu banyak ikatan emosional. Dengan proses eksperimen
di PPM, aku melihat satu ruang itu jadi berbeda; ruang yang bisa
dieksplorasi dan menjadi narasi fiksi yang kompleks dan matang. Okelah,
aku dari Jawa Timur, Sidoarjo, tapi sebelumnya aku bahkan belum pernah
sama sekali ke Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Terus mau enggak mau
saat memilih tema Reformasi, aku ke sana dan itu membuka perspektif
lain. Sifat keruangan itu dan saat kita melacaknya sampai jauh ke
sejarah, dan melihat orang-orang biasa di dalamnya itu pernah mengalami
apa, menurutku menarik. Itu sumber narasi yang kuat untuk diceritakan
dalam bentuk fiksi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Jujur, aku sangat terbantu secara emosional dan intelektual.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Cukup kaget memang saat <i>Tank Merah Muda</i>
rilis. Saat awal menulis, aku masih merasa kemampuan riset dan
mengerjakan fiksi secara serius masih sangat kurang. Di PPM, aku belajar
kalau mengerjakan fiksi memang ada cara kerjanya. Enggak yang tiba-tiba
dapat inspirasi, terus menulis. Ada langkah-langkahnya yang harus
ditempuh.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku terbantu memahami soal sejarah dan
lokalitas. Ada perspektif yang berubah. Sebelum mengenal PPM, aku merasa
tokohku sangat mengawang-awang, alias enggak punya identitas. Padahal,
kan—ya ini diperdebatkan, sih—ada banyak lapisan yang membentuk seorang
tokoh, salah satunya adalah di mana si tokoh itu tinggal.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dalam dua kali lokakarya PPM, tema yang
dibahas adalah soal sejarah dan lokalitas. Sangat membantuku untuk
mendalami, “Ternyata, faktor di mana tokohku ini akan tinggal, di mana
tokoh yang lain itu tinggal, sangat mempengaruhi cara dia berpikir, cara
dia nanti mengambil keputusan di novel itu.” Dan akhirnya, itu yang
membuat suatu bangunan cerita jadi logis. Itu yang aku dapat banget di
PPM. Itu dari segi <i>crafting</i>.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ASTUTI</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kami cukup kaget saat mendapatkan respons publik yang luar biasa positif atas <i>Tank Merah Muda</i>.
Sampai sekarang masih saja ada yang menanyakan bisa beli di mana buku
fisiknya, padahal sudah dua tahun sejak terbit. Kami memang bersepakat
untuk tidak mengomersialisasinya dan memilih memublikasinya dengan
menggunakan teknologi yang tersedia saat ini, sehingga setiap orang bisa
mengakses dan membaca <i>e-book</i>-nya secara mudah dan gratis. Saya
pribadi baru saja menyelesaikan sebuah naskah novel yang sedikit banyak
merupakan bagian dari hasil temuan dan riset yang kami lakukan untuk
proyek <i>Tank Merah Muda</i>.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ARMADHANY</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau untuk saya, jujur saja, di antara
teman-teman yang lain, saya sebelumnya enggak punya karya. Tapi saya
akhirnya termotivasi untuk menciptakan karya. Lalu, akhirnya itu dibaca
teman-teman PPM, saya jadi tahu, “Oh, untuk membangun karakter harus
seperti ini, ya.” Memang, bahasa perempuan itu berbeda. Saya jadi
mendapatkan pandangan, “Oh, ya, perempuan Sulawesi itu seperti ini.”
Jadi, dari cerpen itu, saya bisa mendeskripsikan karakter perempuan di
masa pasca-Reformasi. Saya jadi memikirkan tentang apa yang terjadi di
tahun-tahun itu dan mencoba kilas balik, apa yang perlu disampaikan ke
publik, juga mencari tahu cerita-cerita Reformasi bagaimana yang
diketahui oleh orang-orang di luar sana. Saya mencoba merangkai
karakteristik, cerita, dan alur melalui ingatan saya sendiri, cerita
keluarga, lalu dari arsip yang saya temukan di perpustakaan-perpustakaan
Makassar. Saya juga sempat mewawancarai salah satu saksi sejarah,
penulis tentang tragedi Amara. Dia menceritakan posisi perempuan waktu
itu, aktivis di Amara, dan akhirnya saya bisa belajar banyak membangun
kisah itu. Menulis fiksi ternyata enggak gampang, ada berjuta-juta kali
editan dan masukan dari Ninus. Saya mendapatkan masukan dari editor
perempuan, dan saya sangat bersyukur. Kalau editornya laki-laki, mungkin
perspektifnya akan berbeda.</span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span></span></p><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span style="color: #3d85c6;">Suara Perempuan dalam <i>Tank Merah Muda</i></span> </b></span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pertimbangan untuk menelusuri ingatan
dan pengalaman perempuan menjadi pijakan penting untuk melihat sejarah
Reformasi. Bagi kolektif Perkawanan Perempuan Menulis, narasi sejarah
yang beredar secara institusional di Indonesia hampir selalu memaknai
berbagai era dari perspektif dan keterlibatan laki-laki. Sedari periode
“Kebangkitan Nasional”, kemerdekaan, revolusi fisik, kudeta 1965, dan
seterusnya, sosok perempuan kerap hanya hadir sebagai pelengkap, di
antaranya sebagai pendiri sekolah putri seperti R. A. Kartini, penyiar
radio seperti Ktut Tantri, penjahit bendera merah putih seperti
Fatmawati, putri yang menjadi tameng ayahnya seperti Ade Irma Suryani,
atau pendamping kepala negara seperti Siti Hartinah. Di luar itu,
perempuan seringkali hadir tanpa nama atau sebagai tumbal dalam berbagai
narasi sejarah. Pada masa pendudukan Jepang, perempuan menjadi budak
seks, kejahatan serupa kembali terulang pada perempuan anggota Gerwani
dan berafiliasi dekat degan PKI, hingga para perempuan Tionghoa pada
1998.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dalam bayangan para anggota Perkawanan
Perempuan Menulis, keadaan hari ini adalah bentuk yang lebih ekstrem
dibandingkan masa-masa sebelumnya: di satu sisi, kesadaran perempuan
terhadap kesetaraan yang mengakar pada prinsip-prinsip feminisme semakin
menguat. Sementara, di sisi lain, penolakan terhadap gagasan kesetaraan
dan partisipasi perempuan dalam praktik ekstremisme serta konservatisme
agama juga semakin meluas. Karena itulah, situasi ini menciptakan
kebutuhan untuk mencatat Reformasi dari sudut pandang perempuan, baik
yang berada di dalam, di luar, maupun di antara dua kutub itu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Begitu, ya, jadi kalau editornya laki-laki, ada kemungkinan perspektifnya akan berbeda.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Misi utama kalian di proyek <i>Tank Merah Muda</i>
ini memang cukup agung, besar, dan berat, ya; “merekam ingatan
perempuan masa Reformasi dalam cerita pendek”. Penekanan pada “rekaman
ingatan perempuan” mengindikasikan betapa pentingnya bagi publik untuk
mengakses cerita-cerita yang luput dari pengetahuan kita bersama,
mempelajari lagi peran, posisi, pengalaman perempuan dalam masa transisi
yang berdarah-darah di masa Reformasi, lalu bagaimana mereka mengalami
transisi ekonomi politik juga.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Saat kalian menggarap karya <i>Tank Merah Muda</i>
ini, sebenarnya apa yang kalian rasa membedakan suara perempuan dari
suara laki-laki? Mengapa menurut kalian suara perempuan itu penting
dalam penceritaan sehingga kalian kedepankan?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kami bersepakat dalam narasi sejarah
utamanya, enggak cuma 1998, tapi juga dalam narasi prakolonial dan
pascakolonial, kita jarang banget menemukan suara atau cerita yang
berasal dari ingatan perempuan. Enggak usah ingatan perempuan, ingatan
orang biasa saja terbilang jarang. Kalau kita lihat narasi sejarah yang
kita pelajari di sekolah, sumbernya adalah arsip negara atau militer.
Jarang banget kita temukan catatan dari orang biasa, terutama perempuan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kami pengin tahu kalau suara perempuan
ini kita dengar, ingatan perempuan ini kita lihat, istilahnya, kita
proyeksikan ke layar, apa isi rekaman ingatan perempuan ini? Kami
penasaran, apakah ini akan memberi ingatan yang berbeda tentang suatu
periode? Seringkali, kita melihat soal periode itu hanya kisah
revolusioner, heroik, sesuatu yang mengubah dunia.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sementara, kalau kita lihat di karya
sastra mengenai era 1998, memang ada yang fokusnya di ingatan atau
pengalaman perempuan yang mengalami tindak kekerasan atau pemerkosaan
dan segala macamnya, tapi juga enggak kalah banyak yang merayakan
aktivisme mahasiswa—yang kami sepakat itu memang penting—tapi kami
penasaran kalau orang yang bukan aktivis dan mengalami periode itu,
bagaimana? Apalagi kalau misalnya dia berada di luar pusat kekuasaan, di
luar Jakarta, enggak mengalami demonstrasi dan segala macamnya, apalagi
kalau dia perempuan. Bagaimana pengalaman mereka? Apa yang mereka lihat
atau alami/pikirkan?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kenapa kemudian pengalaman perempuan perlu dikasih semacam <i>spotlight</i>?
Perempuan memang dibentuk oleh sistem untuk menjadi pasif. Walau dalam
kasus tertentu ada perempuan yang cukup berani menentang, tapi secara
sistemik perempuan diposisikan seperti itu. Mungkin ini juga yang
menyebabkan ada banyak hal atau kejadian besar yang sepi dari
keterlibatan perempuan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Terkait juga perubahan rezim, perempuan
yang ada di narasi besar banyak juga, tapi kemudian perempuan-perempuan
yang di luar narasi besar itulah yang menurutku juga penting kita lihat
sudut pandangnya. Laki-laki memang diposisikan selalu harus bisa
meraih tujuan. Tapi kalau perempuan, mereka bisa lebih menikmati proses,
harus bernegosiasi, dan berdinamika. Hal itu membuat perempuan bisa
lebih peka terhadap detail-detail yang luput dari pandangan laki-laki,
karena mereka terlalu fokus mengurusi hal-hal yang besar dan agung, atas
nama rakyat dan lain sebagainya. Ada hal-hal kecil yang mungkin dialami
oleh perempuan-perempuan di pinggiran ini yang sebenarnya bertalian
erat dengan apa yang disebut sebagai “narasi besar.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebagian penulis feminis percaya akan adanya suatu “tulisan feminin” (<i>écriture feminine</i>),
yakni suatu tulisan yang secara khas bersifat perempuan. Apakah kalian
setuju tentang adanya sifat khas tulisan perempuan yang membedakannya
dari tulisan laki-laki? Apakah menurut kalian tulisan perempuan hanya
bisa dihasilkan oleh perempuan, atau juga dapat dihasilkan oleh
laki-laki?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dulu ada kejadian yang lucu banget di
sebuah forum sastra yang diadakan di Yogyakarta. Aku lupa tepatnya lagi
bahas apa, tapi diskusi kemudian berlanjut dengan tanya-jawab bersama
peserta. Ada satu peserta, laki-laki, dengan gagah berani dia kurang
lebih bilang kalau, “Tulisan perempuan itu kan memang kebanyakan
menye-menye, ya.” Dari penjelasan dia, yang aku tangkap adalah, dia mau
bilang kalau tulisan jelek itu yang bikin adalah penulis perempuan.
Dengan demikian, kalau tulisan laki-laki, maka akan selalu bagus. Marah
banget waktu aku dengar soal itu. Dari peristiwa ini, aku malah jadi
berkaca pada diri sendiri. Dulu, sebelum aku mengenal tentang isu
perempuan dalam sastra, aku juga punya pikiran terselubung seperti
peserta itu. Ada semacam pola pikir <i>gatekeeping</i> di dalam
kepalaku sendiri yang akhirnya membatasiku untuk mengenal
penulis-penulis perempuan yang luar biasa jago di luar sana. Di
pikiranku pada masa jahiliyah itu, kalau pengin jago menulis, ya,
artinya mesti baca buku-buku A, B, C, D yang tanpa kusadari semuanya
ditulis oleh penulis laki-laki. Lama setelah peristiwa ini berlalu, aku
kemudian berpikir, laki-laki sebetulnya bisa aja menulis tentang
perempuan, sebagaimana perempuan juga bisa menulis tentang laki-laki.
Tetapi, ekosistem kita sudah terlalu lama menyediakan posisi yang lebih
mapan bagi penulis laki-laki, sehingga melahirkan ketimpangan bahkan
sejak di dalam kepala para pembaca. Aku lebih percaya kalau laki-laki
atau perempuan bisa menuliskan kedua-duanya. Yang jadi PR bersama
adalah, bagaimana caranya tulisan yang dihasilkan itu tidak <i>male-gaze</i>, tidak seksis, tidak misoginis, tidak mengabaikan suara perempuan, tidak melanggengkan sistem yang menindas?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku percaya ada banyak detail tentang
kehidupan yang lebih bisa perempuan narasikan sendiri ketimbang
laki-laki. Mungkin laki-laki bisa melakukannya dengan sama baiknya kalau
dia benar-benar mau melepas segala doktrin patriarkat yang dilekatkan
padanya sedari lahir. Dan itu pastinya butuh usaha luar biasa. Aku
merasa perempuan lebih detail dan peka dengan hal-hal kecil yang
sebetulnya sangat esensial. Karena dari lahir perempuan dikondisikan
jadi makhluk yang memelihara serta harus selalu menyalakan <i>survival mode</i>-nya
karena dunia berbahaya bagi mereka. Jadilah, perempuan itu lebih luwes,
bisa negosiasi, dan pada akhirnya peka dengan hal-hal kecil tadi.
Sementara laki-laki dikondisikan jadi penakluk, yang sulit sekali
bernegosiasi terhadap banyak hal. Obsesi penakluk ini menurutku membuat
mereka jadi tidak peka dengan detail-detail, termasuk ketika hendak
menuliskan sesuatu. Banyak teman lelakiku yang mengakui bahwa ketika
mereka membaca karya penulis perempuan, terasa sekali detail-detail yang
enggak pernah mereka temukan dalam karya penulis laki-laki walaupun itu
mengangkat isu perempuan sekalipun.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Jika perempuan memiliki karakter
tulisan yang khas yang membedakannya dari laki-laki, apakah kalian
memandang perlu suatu penghargaan sastra khusus bagi perempuan yang
punya ukuran-ukuran perempuan dalam menilai mutu karya?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Jika penghargaan sastra khusus bagi
perempuan dapat memberi stimulus untuk kemunculan perempuan penulis yang
semakin beragam di Indonesia, kenapa tidak?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Menurutku yang membedakan karya laki-laki dan perempuan, ya, prosesnya. Dalam kehidupan patriarkis <i>par excellence</i>,
laki-laki bisa menghabiskan 24 jam untuk memikirkan karya, diskusi
sampai subuh, hidup seadanya, dan dimaklumi karena “demi sastra”. Tapi
untuk perempuan, untuk sekadar melakoni aktivitas yang sama kadang butuh
perjuangan lebih, harus hidup seorang diri, kalau tidak ya harus
meminta izin serta pemakluman dari keluarga (orang tua, pasangan atau
anak), kadang masih harus mengurus perkara domestik, belum lagi harus
melawan stigma ini itu (<i>karya perempuan perkara domestik melulu, sastrawangi, </i>dan
seterusnya). Prosesnya berbeda, pertaruhannya berbeda. Dan penghargaan
sastra, mau di Indonesia atau luar negeri kayaknya juga enggak melihat
prosesnya, jadi ya menurut aku yang lebih penting daripada penghargaan
sastra khusus untuk perempuan adalah adanya ekosistem belajar dan
berkarya yang inklusif dan aman. Dan lebih banyak dukungan, baik dalam
bentuk pendanaan, penyediaan ruang dan waktu berkarya (residensi), atau <i>daycare </i>murah khusus penulis yang sudah berkeluarga.</span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span></span></p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b>Kisah Pasca-Reformasi dari Luar Jakarta</b></span></span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Para anggota Perkawanan Perempuan
Menulis mengakui, sebagai kanak-kanak—rata-rata dari mereka berusia
paruh akhir 20-an saat menulis 18 cerpen di <i>Tank Merah Muda</i>—kata
“Reformasi” pada 1998-an nyaris tidak bermakna apa-apa. Jelang usia
remaja, pelan-pelan mereka mulai paham bagaimana Reformasi dan Orde Baru
berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat hari ini. Mereka mulai
mengingat kembali berbagai hal yang terjadi di masa kecil mereka:
teman-teman bersuku Jawa yang mendadak pindah ke luar kota, jumlah
provinsi yang berubah-ubah, hingga foto presiden di ruang kelas yang
berganti-ganti. Reformasi, tak ayal, telah membawa beragam perubahan
pada kehidupan banyak orang di Indonesia. Saat menggali lebih dalam
lagi, dari berbagai penelitian, film, novel, cerita pendek, lagu, hingga
puisi yang ditulis mengenai hari-hari menjelang dan sesudah Reformasi,
mereka menemukan cukup banyak kisah yang ditulis dengan latar “dari luar
kota kelahiran saya”, sebutlah dari Jakarta, Solo, dan Yogyakarta.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dari sanalah, pertanyaan itu hadir:
“Mengapa catatan yang ada hanya sekitar tempat dan kejadian yang itu-itu
saja? Apakah kejadian di tempat lain pada periode yang sama tidak cukup
penting?” hingga “Kenapa sulit menemukan catatan mengenai kejadian di
tempat lain pada periode yang sama? Bagaimana sebaiknya kejadian
tersebut dicatat?” dan berbagai pertanyaan tersebut lantas mereka coba
jawab melalui kumpulan cerita pendek yang merangkum ingatan para
perempuan di tempat asal mereka: Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Selain periode
Reformasi/Pasca-Reformasi, kalian berfokus tentang cerita-cerita di
daerah, mengenai kisah di daerah masing-masing, di provinsi Aceh, Jawa
Timur, NTT, dan Maluku Utara. Selain pendekatan mengedepankan suara
perempuan, hal apa yang kalian temukan di daerah masing-masing perihal
periode ini? Apa proses unik yang terjadi di tiap daerah dalam periode
pasca-Reformasi ini?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku sangat terbantu dari riset arsip
yang kulakukan. Pintu masukku dari arsip, sebelum menemui beberapa
narasumber. Setelah melakukan campuran berbagai riset itu, dari arsip,
pustaka, ataupun terjun langsung di lapangan, aku melihat transisi
politik Reformasi di Jawa Timur sebenarnya sangat berwarna.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Selama ini, di <i>Tank Merah Muda</i>
kami semacam menjauhi pusat, menulis dari pinggiran, mengeksplorasi
cerita-cerita dari perempuan biasa dan sebagainya. Dari temuanku saat
itu, ada tiga hal yang menarik terkait sejarah pasca-Reformasi ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pertama, di Jawa Timur, sejarah
kekerasannya terbilang sangat dominan. Terutama di daerah Banyuwangi,
Jember, dan sekitarnya, karena ada pembantaian dukun santet dan ulama di
situ. Peristiwa itu benar-benar traumatis, mengingatkan lagi pada masa
keguncangan politik tahun 1965. Situasinya gelap sekali, sampai saat aku
riset ke sana pun belum ada rekonsiliasi yang benar-benar total terkait
pembantaian dukun santet dan ulama. Di Banyuwangi pembantaian itu sudah
dianggap sebagai sebuah masa lalu yang gelap, masyarakat enggak mau
mengungkit itu lagi. Bahkan Komnas HAM pernah datang ke sana dan disuruh
pulang. Karena, ya, itu, mereka ingin mem-<i>branding</i> Banyuwangi sebagai kota wisata, satelitnya Bali, sehingga luka masa lalu itu harus ditutup meski belum sembuh.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Lalu, ada sejarah penderitaan, terkait
soal ekonomi. Krisis moneter benar-benar gila-gilaan. Sementara
Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, itu kantong industri. Di sana
banyak juga buruh pabrik perempuan dan mereka ikut terdampak. Bahkan
sampai di level rumah tangga. Aku menemukan kliping koran, tingkat
perceraian naik saat krisis moneter karena faktor ekonomi ini. Nasib
perempuan, cara dia ingin mempertahankan rumah tangga, dan sebagainya,
juga sangat diintervensi oleh situasi rezim yang sedang mencoba
beradaptasi dengan setelan yang baru.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Lalu, ada juga sejarah perjuangan. Aku
menemukan dua hal menarik. Di Kediri, tahun 1999 Muktamar NU setelah
Reformasi, pertama kalinya, perempuan-perempuan NU berkonsolidasi untuk
protes, karena mereka merasa tidak ditempatkan dalam suatu kepengurusan
inti yang didominasi oleh kyai-kyai, yah, laki-laki, ulama. Aku pikir
itu momen yang bersejarah banget, karena Jawa Timur bagaimanapun
cikal-bakal NU. Peristiwa para ulama perempuan protes menurutku luar
biasa meski saat itu belum berhasil mengubah struktur kepengurusan NU
yang lebih sadar gender, Hal menarik lainnya, di sebuah desa di Sidoarjo
untuk pertama kalinya pilkades dimenangkan oleh perempuan, kisruhnya
sampai ada satu orang yang tewas.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Perspektifku soal Jawa Timur jadi
semakin terbuka. Dalam sejarah pasca-Reformasi, terutama di masa
transisi 1998-2004, perempuan menempati posisi yang krusial. Ada
penyintas, korban, atau bahkan motor, salah satu motor yang juga
mendorong makna Reformasi sendiri, termasuk partisipasi politik dan
sebagainya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Komprehensif banget. Aku jadi ingat cerpenmu yang cerita tentang Kades perempuan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Mempertemukan Ibuisme ala PKK, seperti
tulisan Julia Suryakusuma, dengan perwakilan perempuan baru. Aku
membayangkannya itu agak mirip seperti Khofifah zaman muda mungkin, ya.
Tahun 1998 itu, dia sudah vokal banget di parlemen.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Setelah Reformasi, enggak sengaja
ketemu kliping artikel pendek PKK (Perempuan Kurang Kerjaan?), kayak
begitu judulnya. Secara ide, bahkan tentang ibuisme pun sudah mulai
digugat pas 1998, di artikel-artikel yang mungkin sebenarnya enggak
terlihat besar, enggak terlihat serius.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau Ratih di NTT bagaimana?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebenarnya cukup banyak, tapi mungkin satu yang muncul di <i>Tank Merah Muda</i>
tentang bagaimana setelah Orde Baru runtuh, di awal-awal Reformasi ada
banyak kekacauan, ternyata NTT banyak didatangi pengungsi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ada semacam anggapan bahwa NTT kayak
jadi ruang aman buat pengungsi lain dari Ambon, atau dari Maluku secara
umum. Terus, dari Timor Timur, karena dekat banget secara geografis.
Bahkan beberapa orang Tionghoa dari Jakarta ada yang kabur ke Larantuka,
salah satunya teman sekolah abangku. NTT kerap jadi tempat pengungsi
ini melarikan diri. Mungkin mereka tidak punya <i>budget</i> yang
cukup untuk kabur sampai ke luar negeri atau ke mana, ternyata NTT jadi
kawasan untuk mencari tempat aman. Walaupun pastinya tidak sepenuhnya
aman karena ada gesekan dengan warga lokal juga.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Selebihnya, terkait kebangkitan masyarakat adat. Memang agak jauh, maksudnya enggak persis di periode kajian buat <i>Tank Merah Muda</i>.
Tapi, pas proses riset, aku menemukan bahwa memang setelah Reformasi,
kebangkitan masyarakat adat dan agama lokal benar-benar terasa. Bukan
bangkit dalam artian banyak pengikut, melainkan upaya memperjuangkan hak
masyarakat adat atau penganut agama lokal makin bergaung pasca
reformasi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sementara, kalau di Semarang, ketika
teman-teman sudah mendapatkan topik yang mau diangkat, aku belum dapat.
Karena enggak ada kerusuhan di wilayah Jawa Tengah. Jadi aku bilang ke
teman-teman, “Bagaimana ini nulisnya, kan enggak ada kerusuhan…”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Tapi, dari hasil riset yang kulakukan,
aku dapat satu temuan menarik. Meski kerusuhan di Solo enggak sampai ke
Semarang dan Jawa Tengah sekitarnya, tapi ketegangan itu ternyata
menjalar sampai Semarang, ke kota-kota kecil di Jawa Tengah lain.
Orang-orang tetap merasa ngeri, apalagi yang akhirnya kutulis di cerpen <i>Gedor-Gedor:</i>
seorang ibu dari etnis Tionghoa sampai takut banget, kemudian
menitipkan anaknya, biar dia bisa kabur sementara waktu ke luar negeri.
Padahal, kan, di Semarang enggak ada apa-apa. Tapi ketegangan terasa
sampai kota ini. Ternyata masih terasa sampai aku wawancara, masih ada
ketakutan yang sama, padahal sudah berlalu berapa puluh tahun lalu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Cerpenmu dengan kuat mengangkat tentang etnis Tionghoa di Semarang dan Pasar Krempyeng, ya…</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Iya, Pasar Krempyeng. Dari temuanku,
enggak ada kesimpulan bahwa Pasar Krempyeng memang diadakan untuk
mencegah adanya stigma ke etnis Tionghoa. Itu kesimpulan yang aku tarik
sendiri, karena memang pasar itu diadakan secara—bukan serentak, ya
tapi—di berbagai tempat pasar semacam itu ada. Seminggu kemudian di
daerah A, tiga hari kemudian di daerah B, waktunya berdekatan, sebelum
akhirnya Reformasi di Mei 1998. Dan aku baca itu dari kliping-kliping
koran, ada pengumuman yang bertuliskan kalau yang mengadakan pasar-pasar
itu adalah pengusaha dari etnis Tionghoa. Kayak, menekankan identitas
begitu. Dari situ aku merasa, “Oh, sepertinya ini bisa, sih, aku bikin,
kalau memang ada upaya dari etnis Tionghoa supaya di Semarang tidak
terjadi peristiwa seperti di kota-kota besar lain.” Bahwa karena ada
kecurigaan dan segala macam itu, akhirnya mereka bikin pasar murah.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Itu karakteristiknya, ya. Enggak ada
kerusuhan, tapi ada Pasar Krempyeng. Kalau Raisa, apa yang unik dari
Aceh di periode Reformasi, yang membedakan dari peristiwa di Jakarta,
misalnya?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Yang aku pelajari dari riset kecil
kemarin adalah dalam masa Reformasi itu organisasi masyarakat sipil
menguat. Sebelumnya, pertentangan antara orang Aceh dan orang Jakarta
diwakili cuma sama organisasi perlawanan (GAM) dengan pemerintah. Tapi
setelah Reformasi, atau di masa-masa Reformasi, mulai ada organisasi
sipil, gerakan mahasiswa, dan gerakan perempuan yang beberapanya justru
mengkritik GAM maupun pemerintah Indonesia; yang dikritik adalah
militerisme di kedua belah pihak. Menurutku, ini yang berbeda di Aceh
dibandingkan kehidupan sebelum Reformasi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebelum itu, seolah-olah orang-orang
dipaksa untuk memilih, “Kamu pro-pemerintah Indonesia atau pro-GAM?”
Setelah ada organisasi masyarakat sipil kayak begitu, kita bisa melihat
kalau dua-duanya enggak memberikan solusi yang baik. Keduanya ingin
berperang yang membuat masyarakat sipil jadi korban. Kalau mungkin dari
sisi pemerintah Indonesia dengan operasi militer segala macam, mereka
membuat orang-orang Aceh harus mengungsi, harus pakai KTP merah-putih,
segala macamnya. Di sisi lain, orang-orang GAM juga menjadikan
orang-orang yang identitasnya dianggap bukan Aceh, seperti orang Jawa,
harus mengungsi keluar juga dari Aceh. Seingatku, ada 19.000 kepala
keluarga (KK) yang harus mengungsi. Orang Jawa yang harus mengungsi.
Banyak teman-temanku yang orang Jawa juga harus keluar dari Aceh.
Padahal mereka lahir dan besar di Aceh. Cuma karena enggak bisa bahasa
Aceh, jadi mengalami semua itu. Jadi, ada kritik dari masyarakat sipil
tentang bagaimana GAM maupun pemerintah Indonesia ini menyelesaikan
konflik. Itu yang pertama.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Yang kedua, menurutku mungkin ini
kelihatan banget, sih, sekarang ini. Sehabis Reformasi, ada otonomi
daerah. Terus bagaimana otonomi daerah itu digunakan sama orang-orang
Aceh untuk kepentingan yang sangat berpusat pada cita-cita islami
ala-ala laki-laki, membuat peraturan syariah yang kalau menurutku
semakin hari semakin membuat perempuan hilang dari ruang publik. Dalam
cerita-cerita di <i>Tank Merah Muda</i>, aku berusaha fokus pada <i>setting</i>
ruang. Bagaimana perempuan ada dan enggak ada di kedua ruang: ruang
publik dan ruang domestik itu. Terus bagaimana misalnya orang-orang yang
bukan Islam harus ikut menertibkan diri mereka dalam peraturan kayak
begitu supaya mereka enggak mengalami diskriminasi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau kita lihat, pas di awal
Reformasi, peraturan syariah belum sesistematis sekarang. Kalau
sekarang, mungkin sudah jelas, hukuman itu ditangkap, ditahan, dicambuk,
segala macam. Kalau dulu, belum ada aturan yang seketat itu, tapi sudah
mulai ada amuk massa. Maksudnya, kayak, orang-orang yang dipukuli,
orang-orang yang ditangkap. Lagi berduaan, disiram pakai air got, yang
semacam itu. Jadi aku melihat Reformasi dan Otonomi Daerah semacam itu
jadi ruang untuk melihat bagaimana keseharian yang tadinya santai,
misalnya perempuan mau ke kolam renang atau ke pantai berdua sama
pacarnya masih dianggap wajar, menjadi kaku karena hal-hal semacam itu
bisa dilihat sebagai tindakan yang kriminal di mata peraturan yang baru.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ASTUTI</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pada periode itu, kondisi di Maluku
Utara dan Maluku secara luas memang terbilang ekstrem. Orang-orang
saling bantai atas nama agama dan suku. Perempuan memiliki cerita khusus
di dalam konflik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan
keperempuanannya di tengah kultur yang patriarkis dan misoginis.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Cerita tentang Nursyakila, misalnya.
Sudah menjadi rahasia umum bagaimana kekerasan seksual terjadi dengan
melibatkan oknum-oknum tentara sebagai pelaku yang bermotif pacaran.
Sayangnya, publik Maluku Utara yang patriarkis justru menyalahkan para
korban yang umumnya masih berusia belasan tahun. Ada kasus yang
korbannya lantas jadi gila dan ada juga yang bunuh diri karena tidak
tahan dengan stigma dan reviktimisasi yang mereka terima.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ARMADHANY</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Di Makassar, soal ekonomi tidak begitu
signifikan, karena memang Reformasi sudah lebih dulu digaungkan di kota
ini sebelum 1998. Sedari 1996, sudah ada AMARA, Peristiwa April Makassar
Berdarah. Dari situ sudah mulai ada gejolak di Makassar. Untuk cerpen
saya di <i>Tank Merah Muda</i>, saya hanya menuliskan bagaimana
seorang ibu bertahan hidup di masa krisis dengan cara waktu itu saya
ingat pas Lebaran, ada pengalaman tentang bagaimana supaya hidangan
Lebaran tetap ada, walaupun mengalami masa-masa krisis. Karakteristiknya
ya begitu: perempuan di Sulawesi dituntut di dapur dan memikirkan
bagaimana caranya agar makanan di dapur harus ada, semuanya harus
tersedia.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Proses transisi ekonomi di Makassar
enggak signifikan juga. Hanya beberapa yang saya temukan arsipnya,
misalnya tentang ibu rumah tangga yang menanggalkan karier demi
keluarga. Jadi, enggak ada yang terlalu besar di Makassar tahun 1998
itu. Malah yang besar di tahun 1996.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Tadi poinmu tentang arsip berita
tentang ibu-ibu yang menghadapi krismon. Kelihatannya memang seperti
peristiwa kecil begitu, ya. Tapi kalau kita gali tiap keluarga mengalami
hal yang sama, efeknya lumayan juga, ya. Maksudku, mempengaruhi si anak
bisa kuliah atau enggak, atau siapa yang jadi pengangguran, atau siapa
yang bunuh diri. Jadi, sebenarnya, kan, ada banyak cerita yang bergulir
dari Krismon itu saja.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Menurut kalian, perubahan signifikan
apa yang terjadi selama 23 tahun ini? Dan menurut kalian, agenda-agenda
apa yang belum selesai meski ekonomi Indonesia tumbuh pesat selama 23
tahun terakhir?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Berat banget, sih, pertanyaannya,
berasa mau jadi presiden, deh. Hahahaha. Yang menurutku signifikan:
pemerintah bikin Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan ada pemilihan umum
langsung. Rasa-rasanya orang lebih bebas untuk berpendapat, berdiskusi,
dan menyampaikan kritik, biarpun ternyata ada syarat dan ketentuan yang
berlaku.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kalau agenda yang belum selesai, duh
banyak banget. Kalau di Aceh, berkat UU Pemerintah Aceh, ada Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang biar pun belum sempurna, tapi
setidaknya bisa mengupayakan keadilan untuk korban konflik di Aceh.
Sebenarnya pernah ada UU KKR Nasional, yang bisa jadi harapan untuk
rekonsiliasi korban pembunuhan massal 1965, tragedi Mei 1998, tragedi
Tanjung Priok, dan lainnya. Tapi kemudian dibatalkan dan beginilah kita,
mau bicara kejahatan negara di masa lalu harus bisik-bisik melulu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebetulnya aku ragu bisa menjawab
pertanyaan ini karena aku sendiri tidak memperhatikan secara khusus
perkembangan politik dari tahun 1998 sampai sekarang. Yang jelas, sampai
detik ini negara masih sering bikin ulah, masih merepotkan warganya,
masih menyebalkan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Banyak banget agendanya, dari RUU PKS dulu deh yuk kapan yuk bisa disahkan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ARMADHANY</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Perubahan signifikan tidak begitu
banyak, karena saya merasa kebebasan berpendapat itu masih sangat
mengkhawatirkan. Jadi saya rasa, tidak banyak yang berubah,
komunitas-komunitas perempuan pun tidak begitu dipandang oleh negara
ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Hmm, kalau perubahan besar aku enggak
bisa jawab dengan yakin karena hanya hidup enam tahun di masa reformasi,
ya. Tapi kalau dari yang kupelajari, pastinya kebebasan berpendapat
jadi lebih terbuka di beberapa waktu walaupun tetap ada
kelompok-kelompok tertentu yang bisa merepresi suara pihak lain.
Belakangan negara malah pelan-pelan jadi balik represif kayak dulu
secara sistematis.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sementara, agenda yang belum selesai
kayaknya banyak banget. Tapi sebagai orang yang akhirnya bergelut di
bidang kebudayaan, menurutku laju produksi pengetahuan dan kebudayaan di
bidang literasi atau disiplin ilmu sosio-humaniora lain kayaknya belum
terlalu menggembirakan. Akses buku belum merata seluruh negeri walaupun
sekarang masyarakat sudah banyak yang bisa mengusahakannya sendiri lewat
komunitas-komunitas. Begitu juga produksi kebudayaan lain semisal film,
musik, dan lainnya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ASTUTI</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pembungkaman. Tidak akan ada banyak
perubahan ke depan selama arah sistem demokrasi kita masih konsisten
memberikan ruang yang besar terhadap kekuasaan yang oligark dan berwatak
maskulin.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pada tahun-tahun itu mestinya kalian
masih remaja, masih imut-imut banget. Suara atau ingatan apa yang kalian
punya sebagai remaja saat itu?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Tahun 1997-1999 itu aku masih imut
banget sih, baru umur 6 tahun. Tapi ingatanku soal periode itu di Aceh
lumayan kuat. Soal Reformasi, aku cuma ingat nonton televisi bareng
kakak dan ibuku waktu Soeharto mengumumkan akan mundur. Sekali waktu
pernah mau ikut ibuku ke pasar, tapi enggak dibolehin karena aku pakai
celana pendek, katanya nanti bisa digunduli orang karena enggak menutup
aurat. Selain itu, ingatanku yang paling kuat juga soal aspirasi
Referendum di Aceh. Beberapa teman di sekolah mulai ajak ngobrol pakai
bahasa Aceh karena mendengar desas-desus “sebentar lagi kita juga bakal
merdeka”. Ada hari-hari libur karena aksi massa besar-besaran, banyak
helm pecah di jalan, banyak tentara di mana-mana, jam malam mulai
santer, banyak teman-teman yang mendadak pindah ke luar kota.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Saat
reformasi aku masih kelas 2 SD. Memori paling kuat mengenai masa
peralihan rezim ini tentu saja krisis moneter. Harga penghapus karet
tiba-tiba naik dua kali lipat. Bagi anak SD, itu perubahan yang
mencengangkan dan penting. Selebihnya, saat kampanye pemilu pertama
sejak reformasi, PDI heboh sekali. Pawai di jalan raya, saya dan
kawan-kawan menyaksikan dari pos pantau yang terbuat seperti gardu
tinggi. Lalu mereka menggelar orkes dangdut dan atraksi Reog Ponorogo di
lapangan desa. Saya menikmati momen itu dulu seperti layaknya hadir di
sebuah festival.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ARMADHANY</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ingatan yang paling membekas saat itu,
saya menangis kerena tahu kalau Soeharto sudah digantikan. Sebelumnya
saya tidak tahu seperti apa pemerintahan saat itu, tapi bapak saya
bilang kalau Soeharto yang menyejahterakan para PNS di tempat kami. Pada
kenyataannya, tidak juga. Yang paling membekas ketika salah seorang
teman laki-lakiku, seorang anak perwira, menusukkan pensil yang telah
diraut tajam ke leher temanku, seorang anak PNS. Dan yang diskors adalah
si anak PNS—justru bukan anak perwira itu, padahal jelas-jelas saya
melihat kalau si W itu—si anak perwira—yang dengan sengaja mengganggu
temanku si I—si anak PNS. Dari situ saya baru sadar kalau ternyata
Soeharto itu tidak baik, karena mempengaruhi keputusan-keputusan yang
ada di sekolah. Saya ingat waktu itu ancaman dari bapak si W itu kalau
ia bisa menahan bapak si I.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Tahun 1998 itu, usiaku masih 3 tahun.
Ingatanku, itu pun sudah di tahun 2000-an ya, tentang politik
pasca-Reformasi adalah Gus Dur bikin liburan semester jadi 1 bulan
penuh. Ada masa ketika beliau sudah tidak menjabat lagi dan liburannya
balik ke 2 minggu lagi, aku bertanya-tanya, kok liburnya enggak 1 bulan,
ya? Ini momen yang sangat berimbas ke diriku secara personal, karena
liburan semester adalah saat aku bisa menghabiskan waktu bersama ayah
setelah terpisah selama berbulan-bulan (kami tidak tinggal satu rumah).
Jadi bisa dibilang, keputusan Gus Dur berdampak bahkan sampai ke relasi
anak dan ayah waktu itu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Tahun 1998, khususnya pada bulan Mei
ketika suasana makin panas, aku hanya ingat satu hal. Waktu itu aku
masih TK, menjelang lulus. Aku tidak ingat tanggal persisnya, tapi di
suatu hari saat hendak pulang sekolah, kami tidak bisa menyetop angkot
di halte biasa karena kawasan itu dipakai mahasiswa berdemonstrasi.
TK-ku berdekatan dengan kampus Universitas Katolik Widya Mandira yang
terletak di kawasan Merdeka, Kota Kupang. Tapi sampai sekarang aku tidak
tahu persis apakah demonstrasi itu hanya diikuti mahasiswa Unwira atau
ada juga mahasiswa perguruan tinggi lain di Kupang. Yang jelas saat
itulah untuk pertama kalinya aku tahu kata “demonstrasi”. Sesuatu yang
disebut “demonstrasi” ini juga kulihat di TV bahkan dalam skala yang
tampak lebih seram. Oh ya, pada momen-momen itu pula aku baru tahu ada
yang namanya “Polisi Militer”, karena mereka tampak berjaga-jaga di
beberapa titik di Kota Kupang yang dilewati oleh angkot yang membawaku
ke sekolah. Meski begitu, aku tidak banyak tahu seperti apa gesekan
antara gerakan mahasiswa di Kupang dengan militer.</span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span></span></p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b>Fokus Kolektif di Tema Sejarah dan Lokalitas</b></span></span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Momen keruntuhan Orde Baru membuka
babak baru demokrasi di negeri ini. Periode ini pun menjadi ilham bagi
para penulis untuk menghasilkan berbagai karya sastra, di antaranya <i>Saman</i> oleh Ayu Utami, <i>Pulang</i> dan <i>Laut Bercerita</i> oleh Leila S. Chudori, <i>Sekuntum Nozomi</i> oleh Marga T., hingga trilogi <i>Soekram</i> oleh Sapardi Djoko Damono. <i>Tank Merah Muda </i>merespons
sejarah yang sama dari perspektif yang berbeda, lebih menekankan
sejarah dan lokalitas. Kedua tema ini terus berlanjut dalam kegiatan PPM
di kemudian hari.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dimulai dari <i>Tank Merah Muda</i>,
lalu kalian membuat PPM gelombang kedua, dengan lokakarya yang lantas
diikuti oleh 25 peserta, fokus penulisan kalian pun masih seputar tema
sejarah dan lokalitas dari perspektif perempuan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kenapa kalian fokus banget di sejarah
dan lokalitas dalam kekaryaan? Sejak awal, kalian memilih tema itu dan
masih melanjutkan itu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ASTUTI</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Mungkin karena kami punya pengalaman
personal yang lebih lekat dengan sejarah dan lokalitas masing-masing.
Selain itu, menurutku, “biasanya” sebuah karya akan lebih memiliki “ruh”
ketika berangkat dari pengalaman personal si “pencipta” sendiri.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>ARMADHANY</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Di cerpen antologi lain mungkin banyak
yang menggambarkan feminisme atau perlawanan perempuan. Tapi ketika
kisah para perempuan ini dihadapkan ke wilayah lokalnya, menurutku ini
memberi nuansa baru. Dengan menggabungkan unsur perempuan dan lokal,
cerita yang bisa disampaikan tidak akan habis-habisnya, akan ada banyak
cerita yang bisa disampaikan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Mungkin aku merasakan juga ini <i>problem</i>
yang cukup umum, terkait dengan bagaimana generasi kita dan generasi ke
depan mengalami diskontinuitas untuk mengetahui sebenarnya apa yang
terjadi di generasi ayah-ibu atau kakek-nenek kita. Misalnya, sebelum ke
lokakarya, waktu kita balik ke daerah masing-masing baru terasa, “Kok
kita baru tahu, ya, kalau ternyata ada hal ini dan hal itu?” Itulah
kenapa aku pikir kita perlu menggali sisi historis dan lokalitas dari
akar hidup kita sendiri, untuk mengetahui sebenarnya kenapa di zaman ini
kita mengalami keadaan seperti ini. Kayak kita baca <i>Bumi Manusia</i>;
itu kan Minke dibuat terbingung-bingung dengan identitasnya, dan itu
tahun 1800-an akhir. Ternyata lebih dari satu abad kemudian, kita masih
mengalami hal yang sama.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Itulah kenapa aku pikir poin historis
dan lokalitas penting untuk terus digali, karena berkaitan dengan faktor
epistemik. Dunia, kan, semakin mengglobal, semakin kosmopolit. Oke,
kita jadi warga dunia, tapi sebenarnya sampai ke tahap itu, kita
sebenarnya dari mana? Ini mungkin <i>debatable</i>, ya, mungkin ada juga orang yang merasa enggak perlu juga untuk menggali asal-usulnya. “Aku, ya, <i>citizen of the world</i>,”
kalau begitu, ya sudah. Tapi mungkin untuk konteks Indonesia sendiri
yang memang sangat heterogen, kupikir sangat penting untuk menggali
lokalitas, biar enggak ada lagi yang namanya <i>stereotype</i>,
simplifikasi, generalisasi, dan sebagainya. Karena memang harus
ditekankan ke siapa pun, mungkin ke generasi setelah kita, “Ya, begini,
negara kita memang sangat beragam. Jadi, kalau ada seseorang yang beda
sama kamu, jangan dianggap sebagai hal yang buruk.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kayaknya, nih, kenapa pada mulanya dan sampai sekarang masih berkutat soal sejarah dan sisi lokal, yang tertuang di <i>Tank Merah Muda</i>
atau tema lokakarya kita di gelombang kedua PPM, kukira karena
posisinya memang… perempuan jarang dituliskan dalam sejarah secara
beragam.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Misalnya, kenapa, sih, kok kita mau
ambil tema pasca-Reformasi 1998? Impresi dan ingatan kita terkait sastra
tema itu—yang menautkan sastra dan perempuan—kan sastra wangi. Itu pun
juga kiasan yang kami enggak mau terjebak di situ.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Terus ada cerita-cerita tentang
kota-kota besar, aktivisme, kerusuhan, pemerkosaan perempuan etnis
Tionghoa. Kami tetap menganggap itu penting, tapi itu jadi satu <i>tone</i>,
sehingga akhirnya impresi yang tertinggal terkait satu momen sejarah
itu jadi satu kayak gitu. Kami berusaha untuk mengisi celah ruang
kosong, bahwa kami punya keyakinan di daerah-daerah lain di Indonesia
bisa jadi punya ceritanya sendiri. Perempuan di sana juga punya
ceritanya sendiri. Itulah kenapa kami tetap bertahan di tema lokal ini.
Ada keinginan untuk menghadirkan semakin banyak perempuan, terlepas dia
tokoh fiksi atau perempuan biasa atau dia perempuan penulis pemula. Kami
ingin menghadirkan keberagaman, kemajemukan itu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Semoga ini tidak memberatkan, bisa
bagikan beberapa tulisan yang menurut kalian menarik terkait tema
sejarah dan lokalitas dari wilayah kalian masing-masing?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ini pertanyaan sulit buatku, karena
biasanya aku memilih membaca buku bukan berdasarkan latar tempat atau
lokasinya. Mungkin aku bisa menyebut novel-novel Mahfud Ikhwan sebagai
favorit saat membayangkan masyarakat <i>rural</i> di Jawa Timur berserta konflik dan intriknya. Ada <i>Ulid Tak Ingin ke Malaysia</i>, <i>bildungsroman</i> yang dapat menggambarkan perubahan desa akibat bergesernya mata pencaharian serta teknologi. Ada pula <i>Kambing dan Hujan</i>,
roman percintaan yang dibaluri ketegangan dua ormas terbesar di
Indonesia, NU dan Muhammadiyah (bagaimanapun Jawa Timur yang sarat
pesantren tidak bisa dilepaskan dari identitas keormasan ini), serta <i>Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu</i>,
novel tipis yang lagi-lagi menyajikan lanskap hutan desa di Pantura
Jawa, konflik antar kelas… dan cara Mahfud Ikhwan melekatkan nuansa
lokal dalam novel-novelnya tampak seperti seorang pencerita ala warung
kopi yang sarat dengan <i>satire</i>.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Beberapa judul, terkait sejarah Aceh dan lokalitas, ya? Beberapa karya perempuan soal itu, fiksi dan non-fiksi antara lain:</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Petemun.</i> karya Arami Kaseh (Pen.er.bit, 2020), <i>Pulang Melawan Lupa</i> karya Zubaidah Djohar (Lapena, 2012), <i>Dari Jawa Menuju Aceh</i> karya Linda Christanty, <i>Sovereign Women in a Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641-1699</i> karya Sher Banu Khan (Cornell University Press, 2017), dan <i>Gender, Islam, Nationalism, and the State in Aceh: the Paradox of Power, Co-Optation, and Resistance</i> karya Jaqcualine Aquino Siapn (Routledge: 2006).</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RATIH</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Perjalanan Mencari Ayam</i>,
kumcer Armin Bell terbitan Dusun Flobamora, terbit tahun 2018.
Cerpen-cerpen dalam buku ini membuat saya berbahagia karena pengalaman
dan kabar yang akrab dengan masa kecil dan remaja saya akhirnya ada yang
menuliskan dengan cara yang mengesankan. Armin banyak mengangkat topik
khas NTT seperti budaya mahar yang “menyiksa”, KDRT, hingga keagamaan
yang memang sangat kental di sana.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Rabies</i>, novel karya Maria
Mathildis Banda terbitan Asosiasi Tradisi Lisan bekerja sama dengan Care
International, terbit tahun 2002. Novel ini bercerita tentang wabah
rabies yang menyerang sedaratan Flores pada awal dekade 2000-an.
Konfliknya berpusat pada kebijakan pemerintah, dalam hal ini Dinas
Kesehatan, yang menginstruksikan untuk membunuh anjing-anjing agar
penularannya tidak semakin parah. Namun, kebijakan ini mendapat
resistensi dari sebuah desa di Kabupaten Ngada yang memiliki relasi
sangat dekat dengan anjing karena sangat membantu aktivitas berburu
mereka.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba era 1965-1998 </i>karya
Martha Hebi. Buku ini berisi tentang rekam jejak 15 perempuan dengan
beragam latar belakang yang berkarya untuk kepentingan masyarakat lokal
di Sumba. Buku ini sangat menarik karena memperlihatkan usaha para
perempuan ini bersiasat dengan keadaan sekitar mereka yang sangat bias
gender, bias kelas, dan represif. Baik yang disebabkan oleh kebijakan
negara, lembaga agama, maupun adat yang banyak merugikan kaum rentan
seperti perempuan dan anak-anak.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930-an-1980-an</i>
karya Gerry van Klinken. Buku ini meneliti kebangkitan sebuah kelas
menengah di Kupang, kota provinsi yang letaknya jauh dari ibu kota.
Mulai dari masa akhir kolonial hingga masa awal era Orde Baru. Ada
banyak narasi yang saya dengar sejak kecil, sau per satu terangkai untuk
menjelaskan konteks lebih luas terkait modalitas kekuasaan dari
kalangan non-elite di kota menengah seperti Kupang. Meski fokus ke
Kupang, Gerry juga memaparkan konteks di kawasan lain di NTT yang
berpengaruh pada fokus penelitiannya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Nadus dan Tujuh Belas Pasung</i>
karya Marto Rian Lesit, dkk. Buku ini merupakan antologi cerpen
bertemakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diambil dari hasil
kompetensi menulis tentang tema tersebut yang digagas oleh Klinik Jiwa
Renceng Mose, Ruteng dan Yayasan Klub Buku Petra. Bukunya sendiri
diterbitkan oleh Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Meskipun
problem-problem gangguan kejiwaan yang diangkat dalam antologi ini belum
terlalu luas (<i>mental illness</i> yang diangkat masih itu-itu
saja), tapi menyajikan latar realitas yang sangat sistemik dan kompleks
yang dapat memengaruhi kondisi psikis masyarakat NTT. Realitas seputar
kesejahteraan, kesetaraan, hingga perdagangan manusia.</span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span></span></p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b>Bagaimana Cara Mereplikasi Semangat Kolektif?</b></span></span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pada September 2020, publik sastra
ribut lantaran daftar Nomine Penghargaan Sastra 2020 dari Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) diisi hanya oleh nama
penulis laki-laki. Penulis Feby Indirani mempertanyakan perihal ini,
begitu pula Anindita S. Thayf yang mengemukakan pengalamannya sebagai
penulis. Selain dituntut menunjukkan kemampuan lebih daripada penulis
laki-laki, para penulis perempuan pun tidak mendapat dukungan dari
lembaga negara. Kasus ini menunjukkan ketimpangan yang jelas nyata.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>“Perempuan susah dapat waktu untuk
menulis karya yang matang. Dalam prosesnya, mereka sering tersingkir
dari sistem yang ada. Perempuan punya proses berbeda. Dan proses yang
berbeda ini, saya melihatnya seperti gerakan, ada perempuan yang dengan
sadar menjadi penulis, menyiasati ekosistem, jadi harus tetap ada
pernyataan,” ujar Raisa <a href="https://mediaindonesia.com/fokus/360863/meretas-ruang-sastra-bagi-perempuan" rel="noopener" target="_blank">dalam sebuah wawancara</a>.
Kolektif ini, menurutnya, adalah sebuah pernyataan sikap atas
ruang-ruang sastra yang masih teramat maskulin. Dengan aspirasi dan visi
kelompok yang agaknya penting digalakkan di banyak tempat, bagaimana
caranya mereplikasi semangat kolektif ini?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebagai sebuah kolektif, PPM ini
menarik banget untuk direplikasi, demi menghadirkan kemajemukan dengan
lebih intens lagi. Kalian sudah bikin gelombang kedua yang disambut
dengan begitu banyak pendaftar. Ada 341 pendaftar, dan kalian mesti
menyeleksi menjadi 25 peserta. Selain apa yang perlu dipelajari, apa
yang kalian persiapkan untuk bikin kelas lokakarya yang mendatangkan 25
penulis ini?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>INTAN</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Kami sebenarnya tidak menyangka
perkembangan kami sebagai kolektif bisa sampai sejauh ini. Tadinya, ya,
bikin cerpen aja, kelar. Tapi ternyata ada kebutuhan lain, dan keinginan
untuk melakukan hal lain. Untuk masih terus lanjut sama PPM. Karena
kami juga tidak meniatkan dari awal, akhirnya kami juga ikut bertumbuh
sebagai kolektif, dan banyak banget yang perlu kami benahi dan tata
ulang.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dari lokakarya kemarin, bisa dibilang
acara pertama kami yang melibatkan orang lain, maksudnya orang di luar
kami berenam. Yang paling jadi PR kami adalah soal manajemen waktu, ,
apalagi kami berenam yang punya kesibukan masing-masing dan tinggal di
tempat berbeda. Berkaca dari lokakarya sebelumnya, kami masih abu-abu,
belum ada pijakan pasti kita mau ke mana.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>AMANATIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Mungkin ini juga jadi pertanyaan bersama. Kami masih bergerak <i>based on project</i>.
Saat ada kesempatan dan kami dipercaya memegang suatu dana produksi
kegiatan, kupikir sebagai kolektif yang sangat pemula, ini cukup
berhasil untuk menjadi varian baru di dalam ekosistem kebudayaan dan
sastra di Indonesia.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Tapi, aku jadi merasa penasaran juga.
Maksudku, sejumlah kolektif belakangan ini tumbuh dengan sangat masif.
Katakan seperti komunitas Ruang Perempuan dan Tulisan, atau festival
yang tidak hanya mengacu ke kota besar, seperti festival sastra di
Sangihe. Apakah momen ini bisa dibaca sebagai desentralisasi
infrastruktur saat orang-orang di daerah sudah mendirikan beragam
komunitas kebudayaan?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Jadi, menurutku ada dua hal yang mendorong upaya replikasi semangat kolektif ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Pertama</i>, ruang virtual menguat. Contohnya, PPM yang <i>borderless</i>,
tadinya belum pernah ketemu, lalu bisa bikin kegiatan bareng. Terus,
ditambah ada pandemi kemarin, mau enggak mau lokakarya kami juga mesti
berjalan <i>online</i> semuanya, dan ternyata itu bisa berjalan dengan cukup efektif. <i>Kedua</i>,
memang ada penguatan virtual, tapi apakah akses ini akan cukup jika
tidak ada arus deras dana ke daerah-daerah dan komunitas? Jangan-jangan
festival, <i>workshop</i>, yang banyak bermunculan belakangan ini
hanya ada karena didorong keterbukaan negara dan lembaga donor, yang
akhirnya percaya dan mau memberi kepercayaan yang sangat besar ke banyak
kolektif pemula seperti kami? Jadi, yah, kita tidak bisa melepaskan isu
ini dari dana, karena arus dana yang masuk ke daerah semakin sporadis.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku sepakat dengan Natia soal dana. Ini
juga bisa bikin kita mikir: kalau dulu sebelum ada desentralisasi ini,
memang untuk bisa berkarya atau produktif diperlukan kemudahan akses
terhadap dana. Di Indonesia, jangankan hidup dari menulis, berproses
untuk menulis pun susah banget; kita masih bergantung pada pihak-pihak
donor. Ini semakin menjelaskan kenapa dulu timpang banget penulis dari
luar Jakarta. Biar pun ada banyak komunitas di Aceh atau Sumatera Barat,
tapi kan lagi-lagi penerbitnya itu di Jawa. Kita bicara soal alat
produksi dan segala macamnya. Jadi ya, menurutku di satu sisi bagus ada
banyak aliran dana baru sekarang ini untuk menyiasati infrastruktur
sastra yang timpangnya bertahun-tahun. Tapi di sisi lain agak berbahaya:
kalau ini semua hilang, mau ngapain kita? Apakah kita bisa mandiri? Itu
juga yang menjadi pertanyaan dan ketakutan kami.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Di tahun 2000-an dulu, penerbit memang
menjamur karena ada dana. Tapi lantas penerbit-penerbit itu tiarap
setelah dananya dipotong. Artinya, enggak ada strategi dari pihak-pihak
itu untuk menyimpan dananya atau memutarnya lagi. Itu kayaknya yang
kalau kita menjadikan itu pelajaran; semestinya kita ambil dana itu, dan
lalu memutarnya lagi, entah bagaimana caranya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>RAISA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Oh ya, aku mau menambahkan sedikit. Tadi belum sempat menjelaskan soal bagaimana mempersiapkan <i>workshop</i>. Dulu kami saat menggarap <i>Tank Merah Muda</i>,
kami menggodok kepada siapa kami ingin belajar menulis. Karena kita
berangkat dari pengalaman berbeda, juga pengalaman akademik berbeda.
Kami ingin punya titik pijak yang sama, jadi kami memikirkan siapa yang
bisa mengisi kelas <i>creative writing</i>, atau kelas metodologi riset, dan kelas sejarah. Itu kami pikirkan bareng.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Di <i>workshop</i> kedua, yang bareng
dengan 25 penulis pemula ini, enggak mungkin mengajak mereka semua
untuk diskusi. Jadi, kami merasa itu tanggung jawab kami untuk
menentukan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pas bikin <i>Tank Merah Muda</i>,
karena keterbatasan waktu, kami memilih satu orang untuk mengisi kelas
penulisan kreatif, kami minta AS Laksana. Tapi di lokakarya ini, karena
lebih fleksibel dan enggak perlu ketemu fisik, jadi yang mengisi ada
Okky Madasari, Erni Aladjai, Norman Erikson Pasaribu, Sabda Armandio,
dan Mahfud Ikhwan. Kami juga tambahkan kelas sejarah sastra: perempuan
itu dalam sastra kayak bagaimana, ada enggak penulis perempuan dan
bagaimana itu digambarkan. Kami bersyukur banget bisa dapat waktunya
Grace Leksana, Tita Salina, Manneke Budiman dan Intan Paramaditha.
Manneke memberi fondasi yang bagus banget, peserta di awal jadi semakin
paham posisi mereka sebagai perempuan yang menulis. Intan juga mengajak
kami untuk membongkar cara kerja ekosistem dan pemahaman tentang
karya-karya sastra yang maskulin dengan konsep “Perkakas Nyai”, yang
diadopsi dari tulisan Audre Lorde, <i>“The master’s tools will never dismantle the master’s house”. </i>Saat
kami memilih siapa yang mengisi kelas penulisan kreatif, kami juga
memikirkan latar belakang pengisi materinya. Misalnya, seperti Okky
Madasari yang banyak menulis gugatan perempuan terhadap tradisi dan
agama, Erni Aladjai yang fokusnya banyak tentang pengalaman perempuan
dengan persona lokal, Norman Erikson Pasaribu dan soal-soal
heteronormativitas, Sabda Armandio dan ruang eksperimen dalam sastra.
Kami berusaha membuat kelas jadi beragam. Tiap orang kan punya <i>concern </i>berbeda,
kami berusaha menghadirkan keberagaman itu. Kami menyiapkan itu dengan
senang dan kami berenam ikut semua kelas itu, karena jadi proses belajar
kami juga.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>MICHELLIA</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Aku berterima kasih banyak untuk waktu
teman-teman Perkawanan Perempuan Menulis. Semoga teman-teman yang
membaca percakapan ini bisa mereplikasi semangat baik kolektif semacam
ini ke depan.</span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span></span></p>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-43383616913619094912021-11-17T12:46:00.004+07:002021-11-22T22:41:29.939+07:00Teratai Merah Isan<div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> <br /></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Cerita pendek ini juga dimuat di <a href="https://www.bacapetra.co/teratai-merah-isan-dewi-kharisma-michellia/" target="_blank">Bacapetra.co</a></span></span></div><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br /></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Di siang yang terik
itu, Paman Hansa pulang bersama Kalaya dan Phichai dengan membawa bahan dan racikan
bumbu untuk membuat som tam. Saat mereka datang, Ibu masih mengurai serat-serat
teratai di teras rumah. Baru pagi tadi lagi-lagi aku mendengar Ayah mengeluhkan
kepada Ibu soal panen teratai yang hampir gagal karena hama siput. Awalnya
siput-siput itu dibudidayakan untuk diekspor ke Eropa dan menjadi makanan, tapi
lambat laun justru berkembang menjadi hama. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Pada tahun-tahun di
masa silam, kain-kain sutra terbaik memang lebih banyak diimpor oleh
orang-orang di negeri ini dari Suzhou. Kualitas kepompong dan teknik pengolahan
kain sutra mereka jadi alasan pemerintah mengimpor. Pada kenyataannya, kami
tahu itu hanya gara-gara harganya murah saja. Karena itu, kami tak gentar
bersaing. Produksi sutra dari teratai kami pikir bisa diteruskan, karena kami
bersaing dengan memproduksi sutra organik dan dengan pewarna alami. Begitulah
kemudian orang-orang di desaku terus berusaha untuk memperbaiki kualitas. Teratai
dibudidayakan dan dirawat dengan lebih telaten. Untuk pewarnaan kain, Ayah
memasok nila, kayu nangka, akar jinten, lumut, buah beri, dan kulit pohon
kunyit yang memberikan warna kuning khas dan menjadikan kain produksi kami tak
dipandang remeh. Kini, Ayah hanya tinggal berurusan dengan bagaimana caranya
mengatasi hama-hama itu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Satu demi satu lagu
Carabao terlantun di udara saat Paman Hansa melepas helai demi helai pakaian
yang dikenakannya. Dapat kulihat beberapa bekas luka di punggungnya yang telah
lama mengering. Entah apakah Kalaya sempat melihat beberapa luka yang telah
lama mengering itu, tapi dengan tangkasnya adik perempuanku itu segera membawa
tumpukan baju kotor dengan baskom untuk dicuci di belakang rumah. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Sementara melihat
mereka membersihkan diri, aku masih terpekur di ayunan rumah kami, menikmati
kesendirianku dengan buku bacaanku, karya Jit Phumisak pemberian Paman Hansa
beberapa pekan lalu. Phichai, adik lelakiku, tak lama kemudian ikut duduk di
ayunan di hadapanku. Dia menyerahkan sepiring som tam ke arahku. Kutaruh buku
di pangkuan dan lantas menyuapi sesendok untuknya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Enak? Bagaimana
perjalanan kalian sepekan ini?” tanyaku.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Paman Hansa adalah
seorang petualang. Usianya sudah 60 tahun sekarang, dan sejak kami kecil
masing-masing dari kami sudah menemani Paman untuk melakoni berbagai pekerjaan
serabutan mengelilingi negeri.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dari menumpang van dan
pikap atau bus yang lewat untuk menjual rajutan sutra ibu di Pasar Phahurat,
berdagang bunga di Sang Khom yang hanya bakal laku keras pada hari-hari
Festival Loi Krathong, hingga menjadi pemandu wisata bagi farang di pasar malam
Patpong. Atau, sekadar iseng pasang judi togel tiap minggu kedua dan keempat di
Rayong atau Nakhon Ratchasima.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dari cerita Phichai, aku
jadi tahu Paman Hansa sempat menghajar sampai babak belur seorang penipu di
Patpong. “Oh, ya?” tanyaku terbahak. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Ya, dan kita tahu
Paman punya lebih banyak teman preman setempat. Tentu dia yang menang.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Seru sekali, bertemu
banyak <i>chao-poh</i>,” komentarku. “Seandainya aku ikut.”</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Kakak sudah siap untuk
ujian?” tanya Phichai.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Aku mengangguk, dan
Phichai memberikan senyumnya yang begitu lebar.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Pekan depan, aku yang
akan pergi ke Bangkok dengan Paman Hansa, tapi tidak seperti biasanya, kali ini
untuk mengikuti ujian masuk Universitas Thammasat. Sementara aku ikut ujian,
Paman sudah merencanakan dia akan menjual jimat (<i>phra khrueang</i>)<i> </i>atau
membacakan rasi bintang (<i>jyotisha</i>) para pengunjung di pasar dekat kampus
Tha Phra Chan. Dia selalu tahu apa yang bisa dijual dan bagaimana cara membawa
uang pulang ke rumah, atau sekadar mengganti ongkos perjalanan kami
pulang-pergi Bangkok.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Sebetulnya aku tidak
merasa cukup pintar untuk perlu melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, Paman
Hansa memaksaku karena kebetulan beberapa bulan lalu dia menang judi togel. Ia
menukar simbol yang ia lihat dalam mimpinya dengan satu tiket lotere pemerintah
seharga 40 baht, dan aku masih ingat wajahnya yang sumringah saat memenangkan
hadiah lotere 100.000 baht itu. Saat itu, ia langsung yakin ia harus
menggunakan hadiah itu untuk membiayai kuliahku.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Maka, begitulah, kini
aku diwarisinya buku-buku Jit Phumisak yang selama ini disimpannya rapat-rapat
di dalam lemari. Paman ingin aku mengenal tiga generasi gerakan radikal di
negeri ini. “Dan kita harus bangga orang kita pernah turun ke jalan menjadi
Kaus Merah,” ujarnya saat memberikan buku itu kepadaku, <i>Wajah Sejati
Feodalisme Thailand</i>.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Sebagian besar generasi
pertama radikal ini adalah komunis Tiongkok-Thailand yang punya hubungan dekat
dengan Partai Komunis di Tiongkok dan Vietnam sebelum dan selama Perang Dunia
II. Beberapa dari mereka ikut mendirikan Partai Komunis Siam pada 1930, yang
kemudian menjadi Partai Komunis Thailand pada 1952. Jit, idola Paman Hansa,
lahir tahun 1930. Generasi kedua adalah kalangan intelektual urban yang
menyebarkan sosialisme ke seantero negeri. Dan generasi ketiga terdiri dari
para aktivis mahasiswa yang menentang rezim militer Thanom Kittikachorn dan terlibat
baku hantam dengan pasukan paramiliter dalam kerusuhan Oktober 1976, lantas
masuk ke hutan dan menjalankan gerakan klandestin.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Paman Hansa adalah
salah seorang aktivis dari generasi ketiga, ikut dalam gelombang kerusuhan itu,
dan masih menyimpan banyak bacaan radikalnya semasa di kampus Thammasat dulu. Kekasihnya
sejak masa sekolah menjadi korban yang tewas dalam kerusuhan dan Paman Hansa karena
demikian mencintainya lantas memutuskan hidup selibat.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Kisah hidup Paman Hansa
berbeda dengan banyak temannya yang dituduh komunis dan kini menjadi biksu
Buddhis. Salah seorang temannya yang biksu, selain membantu pembangunan desa,
malah dengan berani berurusan dengan <i>chao poh</i> setempat di Dataran Tinggi
Korat. Sementara Paman Hansa memilih hidup biasa-biasa saja mengurus para
keponakannya.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"><span></span></span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"><span></span></span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"><span></span></span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"><span></span></span></span></span></p><a name='more'></a><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Aku, Kalaya, dan
Phichai lebih banyak menghabiskan waktu dengan Paman dibandingkan Ayah dan Ibu
yang sibuk dengan bunga-bunga teratai mereka. Kami tumbuh besar dengan
kisah-kisah pergerakan Paman dan lagu-lagu perjuangan yang didendangkannya.
Tentang mengapa orang-orang Isan tersisihkan, sementara Kawasan Thailand dan
Bangkok tengah dan makin bersinar di kejauhan. Tentang kebijakan pemerintah yang
menjadikan wilayah kami kering. Atau tentang beberapa penduduk asli Isan yang
berhasil memperoleh jabatan politik lebih tinggi, tapi lantas didiskriminasi
oleh negara. </span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Pada 2009, saat usia
Paman barulah 50 tahun, ia ikut turun ke jalan bersama gelombang Kaus Merah
yang berasal dari Isan dan tidak menerima Thaksin Shinawatra digulingkan dari
pemerintahan. Thaksin melakukan banyak perubahan bagi wilayah kami. Sangat aneh
bila kami tidak membalas balik jasa baiknya. Puluhan ribu orang menduduki
Bangkok dan menyerbu parlemen. Beberapa pemimpin kelompok ditangkap, beberapa
demonstran lainnya tewas, dan Paman Hansa lagi-lagi dapat menyelinap kabur dari
kerusuhan itu tanpa perlu menghadapi masa-masa penangkapan. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Sebagai orang
Sakonnakhorn, Paman selalu bangga mendapuk diri anti-monarki dan sekaligus
anti-junta militer. Di desa kamilah, Desa Nongkung, Jit dibunuh dan patungnya
lantas didirikan untuk memperingati hari wafatnya. Aku masih ingat bagaimana
Paman Hansa mengajak kami bertiga untuk mampir, sekadar untuk mengenal patung
itu. Sementara, Paman hanya tersenyum saja saat melihat warga setempat meminta
petunjuk lotere dengan memberi sesajen kepada patung itu berupa rokok dan bir
yang dipercayai sebagai kesukaan Jit.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Terlalu banyak cerita,
latar belakang, dan alasan hingga kenapa kemudian Paman merasa aku perlu
menjadi terdidik dan melek politik. Meski sebelum ia memenangkan lotere, kami
tidak tahu bagaimana hal itu mungkin. Keluarga kami terlalu miskin untuk
mengirimku lanjut sekolah.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">*</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Akhirnya, aku ikut tes
masuk universitas, dinyatakan lulus, dan tinggal siap berangkat ke Bangkok.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Aku tertipu teman,”
tapi begitulah petang itu Paman Hansa menyampaikan kepada kami saat makan malam
bersama. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Aku berusaha menelan
habis hor mok yang masih kukunyah sembari menatap Paman Hansa lekat-lekat.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Uang judi lotere yang
semestinya untuk biaya kuliah Somchai tadinya mau kuputar dengan judi kripto
yang dijanjikan temanku, aku percaya dan memberikan semuanya, tapi semuanya
ludes,” lanjutnya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Paman Hansa mengira
100.000 baht dapat ia putar menjadi 1.000.000 baht lantaran iming-iming itu.
Paman memang sangat gemar berjudi, dari sabung ayam, adu kerbau, taruhan saat
lomba perahu, hingga judi kuda pernah disambanginya. Aku sungguh tak heran jika
ia kemudian tertarik mencoba berjudi kripto. Wajahnya begitu pucat saat
menyampaikan pengalamannya tertipu itu kepada kami. Seakan-akan ia menjelma orang
paling jahat dalam hidup kami lantaran tak menepati janji.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Aku tidak masalah untuk
tidak usah pergi ke Bangkok dan melanjutkan studi. Hidup menganggur dan
sewaktu-waktu berkeliling Thailand untuk mencari peruntungan sudah menjadi
jalan hidup yang kubayangkan akan kulakukan selama puluhan tahun ke depan. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Hanya saja, aku tidak
menyangka malam itu adalah kali terakhir aku melihat Paman Hansa bernyawa. Pagi
itu, sepucuk surat tergeletak di meja sebelah ranjangnya. Ada sebuah wasiat dan
surat asuransi jiwa menyertai surat itu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Saat Kalaya dan Phichai
menangis di ranjang Paman Hansa, jasad sang paman tengah diotopsi di ruang
jenazah. Ia dinyatakan tewas tertabrak truk. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Aku tidak pernah
membayangkan seorang sosok dengan pemikiran revolusioner sepertinya akan pernah
repot-repot mengurus kepemilikan surat asuransi jiwa. Tapi, sekarang aku paham
apa yang membuatnya begitu gigih setiap bulan selalu berkeliling Thailand untuk
mengais rejeki, dan melakukan pekerjaan apa pun, bahkan memasang judi lotere.
Dia menyisihkan sebagian besarnya untuk surat asuransi ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dalam suratnya yang
khusus dia tujukan untukku, ada permintaan maafnya, “Masih banyak hal yang
belum kulakukan dalam hidup yang singkat ini. Dapatkah kau melanjutkannya untuk
Paman? Lagipula aku sudah terlalu tua untuk tetap hidup,” ujarnya dalam surat,
dan amanatnya agar aku menggunakan uang yang kami peroleh dari asuransi jiwanya
untuk melanjutkan studi. Air mataku menitik di atas kalimat perpisahannya,
“Hiduplah dengan berani.” </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Aku tidak pernah
memenuhi amanatnya untuk melanjutkan kuliahku dan menyobek surat itu. Seluruh
uang asuransi diambil oleh Ayah dan Ibu untuk melanjutkan produksi industri
sutra teratai keluarga kami. Selain untuk ritual pemakaman Paman Hansa, Ayah
mempergunakan sisa uang selanjutnya untuk berurusan dengan hama siput yang
mengganggu bunga-bunga teratainya.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Aku masih tidak tahu
apa yang akan kulakukan di masa depan. Meski tidak terdidik di kampus dan melek
politik dengan berorganisasi seperti Paman Hansa, kurasa aku masih dapat
melanjutkan kebiasaan yang dulu pernah diwariskannya, sembari benar-benar
memikirkan apa yang betul-betul penting dalam hidup ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Paen Din</span></i><span lang="IN" style="line-height: 107%;">, lagu Carabao favorit Paman Hansa, masih kuputar setiap
pagi ketika mengajak Kalaya dan Phichai berkelana ke sepenjuru Thailand. Hanya
saja, kali ini, sepeninggal Paman, kami menamai diri Teratai Merah Isan dan
membawa potret wajah Paman Hansa bersama kami dalam setiap kegiatan mengais rejeki
yang kami lakukan. [*]</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-36685917298338009922021-08-19T11:56:00.005+07:002021-10-28T19:50:07.048+07:00Sabda Armandio: Berkeliling Semesta Spekulatif<p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sabda Armandio mulai dikenal di jagat perbukuan Indonesia sejak menerbitkan novel debutnya <i>Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya</i>
pada 2015. Manuskrip novel itu dirampungkannya sejak di bangku SMA dan
baru dimatangkannya pada akhir 2013, dan lantas ia unggah di blog pada
2014. Takdirnya mujur karena entri blognya itu kelak dibaca oleh Dea
Anugrah, yang lantas menjadi editor untuk novel debut Dio dan dengan
lekas menjadi karibnya. Enam tahun berselang, Dio yang kerap berseloroh “<a href="https://crafters.getcraft.com/id-articles/sabda-armandio" rel="noopener" target="_blank">menulis itu sebenarnya memuakkan</a>”, kini telah menerbitkan tiga buku lain, novel <i>24 Jam Bersama Gaspar</i>: <i>Sebuah Cerita Detektif</i> (2017), novela<i> Dekat dan Nyaring</i> (2019), dan kumpulan cerita <i>Kisah-Kisah Suri Teladan</i> (2019).</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Berbeda dari karakter tokoh di dua buku pertamanya yang tampak ringan dengan pendekatan cerita menyambut masa bujang (<i>coming of age</i>) dan pertualangan detektif partikelir memecahkan masalah yang ganjil, novel terakhirnya <i>Dekat dan Nyaring</i>
menghadirkan tragedi hidup manusia dibalut kemiskinan yang begitu
kompleks, lebih kompleks daripada cerita detektif ala Gaspar. Dari buku
terakhirnya ini, kita dapat ikut merasakan betapa kemiskinan begitu
dekat dan nyaring. Masih sama dengan karya-karyanya yang lain,
bagaimanapun, Dio dengan kuat menjajal humor dan ironi—dua unsur yang
kental dalam gaya narasinya—untuk menggarap karakter para penghuni Gang
Patos itu. Dengan mulusnya ia menceritakan bagaimana orang-orang
bergulat bertahan hidup dengan moda apa pun, tak tanggung-tanggung novel
ini menegaskan tagar #jakartaitukeras dengan pembuka novelnya yang
menghadirkan percakapan perihal daging ular asap hingga ganja palsu dari
bunga bokor—hal-hal yang akrab dalam hidup warga di wilayah kumuh
tersebut.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Lewat <i>Mongrel</i>, cerita bersambungnya yang <a href="https://kumparan.com/kumparan-plus/mongrel-007-detektif-1vtDDpmoRFC" rel="noopener" target="_blank">terbit berkala di Kumparan+</a>, Dio masih memberi nama aneh bagi karakternya, sebutlah “Wortel”, dan bercerita tentang paguyuban, <i>cybercommunism</i>,
alam kuantum, botani, mimpi dan alam bawah sadar yang diprogram secara
sosial, bebek dengan empat kaki dan empat sayap, kode biner dan ASCII
yang mesti dipecahkan sebuah Forum Federasi Pelajar, dan hal-hal lain
yang terasa “begitu Dio”: abstrak, anomali, dan acak. Namun, dari
keacakan itu, ia berhasil menghadirkan keutuhan, sebuah harmoni dalam
semesta yang <i>chaos</i>. Membaca <i>Mongrel</i>, kita mungkin akan mengingat bagaimana <i>24 Jam Bersama Gaspar</i>
juga bercerita soal kotak hitam misterius yang konon bisa membuat
pemiliknya kaya raya, toko emas milik Wan Ali, motor Kawasaki KZ200
Binter Mercy keluaran 1976, dan kronologi perampokan yang dihadirkan
dalam wujud transkrip wawancara.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Bagaimana kekhasan bercerita dan narasi-narasinya yang spekulatif ini
bermula? Sejak kapan Dio menemukan “suara kepenulisan ala Dio” ini?
Dalam obrolan berdurasi 2 jam ini, Dio menceritakan tentang bagaimana ia
tumbuh besar dengan cerita-cerita yang dikisahkan saat bersepeda dengan
kakeknya, ketertarikannya pada dunia komputer lantaran terbiasa melihat
pekerjaan ayahnya yang mereparasi komputer pelanggan, hingga bagaimana
tanggapan Dio tentang masalah umat manusia hari-hari ini: dari
kebangkitan fasis hingga perubahan iklim. Berikut ini adalah obrolan
Dewi Kharisma Michellia dari <i>Tengara</i> dengan Sabda Armandio.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;">Bersepeda dengan Kakek</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Beberapa penulis tumbuh dengan cerita yang dituturkan oleh orang tua
mereka. Dio, dengan kedua orang tua yang sibuk, memperoleh itu dari sang
kakek maternal yang seorang dalang.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DEWI KHARISMA MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Di beberapa wawancara, kamu cerita tentang kakek maternalmu. Apakah
sedemikian membekasnya bagimu punya kakek seorang dalang? Kamu juga
bilang, di keluargamu tradisi lisan lebih kuat daripada tradisi tulisan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">SABDA ARMANDIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Nah, kalau ditelusuri, kebiasaanku mendengarkan cerita lahir dari
lingkungan di sekitarku. Jadi, ya betul, kakekku adalah dalang, dia
anggota Bakoksi Pekalongan. Periode pertengahan 1960an, dia pergi dari
Pekalongan, ke Garut, dan terus dari Garut langsung menetap di Jakarta
di atas tahun 1965. Mungkin sekitar tahun 1967an. Aku lupa. Pokoknya,
setelah itu, keluarga kami pindah. Mamaku menikah, dan pindah ke
Tangerang, dan aku lahir di Tangerang. Kakekku ikut pindah ke rumah
kami. Dari Manggarai—dulunya kami tinggal di Manggarai—jadi tinggal di
Ciledug, Tangerang. Mamaku menikah tahun 1989, dan sudah mulai tinggal
di Ciledug. Papaku kerja di daerah Pasar Ciledug, di wilayah bisnis di
sana.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Waktu itu, pembangunan lagi masif. Mamaku juga buka semacam salon,
jadi, kira-kira kayak begitu. Kakekku pindah ke rumah kami. Waktu itu
aku masih TK, tahun 1996-1997. Rumah kami ada di antara pusat Kota
Ciledug—kalau istilah itu ada—dari sana kamu tinggal naik sepeda. Kalau
mau lihat pembangunan, Bintaro baru dibangun, atau ke sektor di sekitar
Stasiun Sudimara itu, tinggal naik sepeda.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, kakekku, selama tinggal di rumah kami—saat Mama lagi mengurus
adikku, Papa di kantor—biasanya mengajak aku keliling-keliling naik
sepeda. Di perjalanan itu, dia sambil bercerita. Mungkin dia juga kangen
bercerita. Aku juga baru tahu dia dalang sewaktu aku SMP-SMA. Aku juga
enggak pernah tahu sebelumnya dia bekerja apa. Yang aku tahu, dia ada di
rumah, dan suka mengajak main.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Enggak pernah pentas lagi, begitu? Apa enggak ada wahana bagi dia untuk menyalurkannya di sanggar-sanggar di Ciledug?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Enggak pernah. Kan, Bakoksi dibubarin, ya?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Setelah menetap di Jakarta, dia memilih profesi lain untuk menghidupi
keluarganya. Kakekku, ya, suka mengajak aku jalan-jalan, dan cerita.
Dia suka membenturkan dongeng-dongeng yang dia ceritakan, dengan
kejadian yang lagi hangat sehari-hari. Atau, ya, lebih ke merespons
mobil atau <i>bulldozer </i>yang kami lihat di jalan, misalnya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sekitar 1999, aku pindah-pindah. Dari Ciledug, sempat di Pamulang,
terus sempat di Bojongsari. Lalu, menetap di Bogor, karena di tahun 1998
papaku kena PHK. Jadi, dia cari akses pekerjaan yang lebih gampang.
Bagiku waktu itu, kerugian yang aku alami adalah aku jadi susah punya
teman. Waktu itu aku baru kelas 1 atau 2 SD, posisi kakekku jadi penting
karena dia yang menemaniku main, dia ikut pindah-pindah terus dengan
keluarga kami.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sampai, akhirnya, menetap di Bogor, masuk SD dan SMP, dari sana
mungkin, ya. Pas di Bogor, karena waktu itu zamannya judi togel,
orang-orang yang suka pasang judi togel itu menganggap aku pintar. Kalau
ke orang lain, biasanya, kan, suka ditanya mimpinya apa. Kalau aku,
dikasih angka, disuruh bantu ngecak kode, menghitung secara matematis.
Dari situ, mereka sering cerita, dari mana mereka mendapatkan kode atau
wangsit untuk judi-judi mereka itu. Mereka juga suka bertingkah aneh,
ada yang memancing kodok, tidur di kuburan, atau makan bubur di
pemakaman Cina. Semuanya yang mereka lakukan terkait sesuatu yang
mistik. Kalau dipikir-pikir mirip kultus Pythagoras. Waktu itu, aku
enggak punya opini apa-apa soal itu. Aku lihat mereka cuma
abang-abangan, yang suka bercerita ke anak kecil.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span></span></span></span></p><a name='more'></a><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">Disiplin Menulis Selama Pandemi</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Mengakui sangat mencintai dunia penulisan, dan kalau menulis “enggak
bisa buru-buru”, Dio telah menerapkan disiplin menulis dan patuh dengan
aturan yang ia buat untuk dirinya sendiri itu, dan begitu pula hal itu
ia lakoni selama pandemi ini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Oh ya, sebelum membahas lebih jauh tentang pengalaman masa kecilmu,
dan bagaimana kamu mulai menulis, mungkin kamu bisa cerita, bagaimana
kabarmu sekarang? Di masa pandemi ini, ada banyak banget hal yang
berubah, mungkin kamu bisa ceritain apa saja yang kamu lakukan selama
pandemi ini? Terkait dengan dunia penulisan, apa ada ritual menulis yang
berubah? Termasuk juga, apa yang kamu rasakan terhadap pemerintah?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kabarku baik dan aku sudah divaksin satu kali. Nanti hari Rabu, aku
akan vaksin kedua. Kalau kegiatan sehari-hari, sebetulnya, pasti ada
kegiatan yang berubah. Perubahannya enggak terlalu signifikan. Dari
sebelum pandemi pun, kerjaanku memang cuma duduk doang. Duduk dan enggak
ngapa-ngapain.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Paling lebih ke intensitas melakukan hal-hal di luar pekerjaan. Misalnya, kayak <i>game </i>atau
menonton film, aku pilih yang semakin aneh. Kalau dulu, sebelum
pandemi, aku cenderung cari film yang baru, mau menonton film yang belum
pernah ditonton. Kalau ini, kan aku di kantor yah, isolasi di kantor
(media Tirto), karena di kosku ada beberapa yang positif C-19 juga,
jadi, di kantor ada aku, Beni Satriyo, Windu Jusuf. Kadang-kadang ada
teman main, ada Gisela Swaragita, dia suka ke kantor, karena rasanya
enggak ada tempat lain yang aman buat ngobrol selain di sini. Jadi, kami
suka pilih film-film yang aneh. Maksudnya, yang dulu sudah pernah
ditonton, kemudian ditonton lagi. Atau tahu-tahu maraton <i>Death Race</i>,
1 sampai 5. Dan, aku enggak tahu, ya, itu mungkin cuma wujud dari rasa
frustrasi, bosan, dan segala macam. Tapi secara garis besar, hidup aku
sudah ngebosenin sebelum pandemi. Jadi, kayaknya<i>,</i> ya udahlah.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau untuk ritual menulis, sebenarnya juga enggak ada. Cuma, sebelum
pandemi aku sudah disiplin. Maksudnya, aku berusaha mendisiplinkan diri
untuk menulis. Misalnya, dulu sebelum pandemi, pas jam siang aku akan
menulis sekitar 1 jam. Itu biasanya untuk riset. Terus, nanti pas sore, 2
jam aku pakai untuk menulis draf, atau apa pun. Malamnya, aku periksa,
apa saja yang aku tulis dalam sehari itu. Terus, aku coba rapikan
sedikit-sedikit. Walaupun itu draf yang kasar banget. Memang sebelum
pandemi sudah seperti itu, rutinitas yang sudah aku lakukan sejak 8 atau
9 tahun terakhir. Sejak aku keluar rumah lah, pokoknya. Karena aku
sudah enggak salat, sudah enggak punya ritual keagamaan yang
berulang-ulang, jadi aku membiasakan diri untuk disiplin dalam satu hal.
Minimal ada satu yang aku percaya, diriku bisa mengatur itu, <i>take control of myself</i>, yaitu waktu untuk menulis dan membaca.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Di masa pandemi ini, rentang bacanya jadi lebih banyak, menulisnya
jadi lebih sedikit. Misalnya, aku bangun tidur, tahu-tahu aku lagi baca.
Suka enggak sadar aja, kadang suka keluar dari jamnya. Siang-siang,
tahu-tahu lagi ngelihatin jurnal. Muncul kegiatan-kegiatan <i>random</i>, yang sebelumnya aku merasa enggak kayak begitu. Itu aja, sih, paling.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau olahraga, aku enggak suka olahraga. Itu buruk, ya? Iseng-iseng main <i>skate</i>,
dan aku, kan, pernah patah kaki, jadi aku punya trauma kaki. Takut
ngebayangin main bola, atau lari, eh ntar kaki gue copot. Main <i>skate</i>, tuh, senang aja. Karena dari sebelum patah kaki, aku pernah main <i>skate,</i> terus enggak pernah main lagi, sampai bertahun-tahun kemudian, dan baru berani main lagi, sekitar tahun 2017-2018.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dalam menulis, tentu enggak cuma stamina yang perlu dijaga dengan olahraga. Kamu juga pernah <a href="https://crafters.getcraft.com/id-articles/sabda-armandio" rel="noopener" target="_blank">bahas di Getscraft</a>, kamu tipe penulis yang bisa menulis dengan gawai (<i>gadget</i>) macam apa pun, dan sembari menulis di ponsel, kamu dengerin musik. Boleh tahu musisi atau lagu favoritmu saat menulis? Tiap <i>genre</i> cerita beda penyanyi, atau bagaimana?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku pernah bahas soal ini di Twitter. Saat aku menulis, aku lebih
banyak mendengarkan yang enggak ada vokalnya, yang instrumental aja.
Musik <i>game</i>, tuh, membantu banget, sih, karena memang didesain
buat konsentrasi, kan? Jadi, biasanya yang instrumental aja, yang
penting enggak ada vokalnya. Kalau dangdut enggak ada vokalnya, aku
bakal dengar juga.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau soal menulis di <i>device</i>, karena untuk <i>survive</i> aja,
dulunya. Dulu, kan, aku harus kerja yang cepat dan segala macamnya.
Kebiasaan mengetik, dari zaman Android terus pindah ke iPhone, biar
cepat. Lama-lama, itu jadi kebiasaan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kadang juga suka merekam suara sendiri. Kalau punya ide, biasanya direkam.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Trivia aja, nih. Kemarin, kan, pembukaan Olimpiade di Tokyo. Banyak <i>game </i>musik. Kamu bisa tebak semua enggak, lagu-lagu <i>game</i> itu?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku kemarin enggak nonton <i>opening</i> itu. Kebetulan ada kerjaan, bahkan enggak sempat nyobain main <i>game</i> yang ada di Google itu. Sayang banget. Tapi, kan, mereka punya <i>archive</i>. Mungkin nanti bisa diakses, mungkin hari ini, atau malam nanti. Kalau ada waktu, bisa sekalian menebak-nebak. Paling ada <i>Chrono Trigger</i>, <i>Final Fantasy</i>, yang aku kebayang lagu-lagu begitu. Kalau mereka lebih <i>edgy</i>, mungkin ada <i>Metal Gear</i>. Kalau yang banyak simfoni, kan, <i>Final Fantasy Series</i> atau <i>Chrono Trigger</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">Mulai Menulis Cerita Lewat Komik</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Di bangku SD, mengaku menggandrungi berbagai tayangan di televisi saat kecil dulu, Dio mulai menemukan kesukaannya menggarap <i>spinoff</i>, penceritaan kembali dari produk kebudayaan populer yang dinikmatinya dari televisi.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kamu, kan, suka main <i>game</i>. Ada RPG, <i>game </i>yang bercerita juga, dan banyak <i>genre</i>-nya.
Artinya, mungkin kamu sudah sejak kecil banget, ya, pengin menulis?
Bagaimana, sih, kamu memulai karier menulismu? Bisa cerita dari
pengalaman menulis sebelum menjadikannya profesi, dan kapan kamu mulai
pijakan profesional?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Iya, aku sering dapat pertanyaan ini. Tapi, aku sering enggak tahu,
kapan sebenarnya? Pada dasarnya, aku suka banget komik, film kartun, dan
terutama <i>game</i>. Dari kecil aku mengonsumsi banyak media yang tujuannya adalah untuk <i>storytelling</i>. Jadi, mungkin pengkondisian seperti itu yang bikin aku suka dengan cerita. Aku enggak tahu secara spesifik soal kapan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Yang aku ingat, aku pernah bikin serial detektif sewaktu SMP, dan itu
dibeli orang. Maksudnya, aku menjualnya. Rencananya adalah aku akan
bikin cerpen setiap hari, terus aku akan jual dua ribu rupiah. Ternyata,
enggak ada yang beli, karena mungkin enggak ada yang tertarik. Pas SMP,
di zamanku, mading sudah enggak terlalu jalan. SD-ku, kan, di
kabupaten, jadi dulu aku membayangkan, kayak di film-film, kalau di
kota, mungkin madingnya isi cerpen setiap hari, ada TTS, atau ada apa.
Pas SMP di kota, ternyata semua itu enggak ada.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Bukannya kamu di Bogor, ya?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Iya, SD-ku di kabupaten Bogor-nya. Dan lalu SMP aku sekolah di kota
Bogor. Di SMPN 6 Kota Bogor. Dari rumah ke sekolah, tuh, lumayan jauh,
sih.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Waktu itu, aku membayangkan pas SMP aku bisa menulis.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi di SD, kan, ada komik ketengan. Ada komik-komik <i>Dragon Ball</i> bajakan, yang di-<i>scan</i>, difotokopi, terus dijual secara ketengan. Temanku yang jago gambar, pernah bikin komik iseng-iseng. Misalnya, jadi <i>spinoff</i>-nya Dragon Ball, atau <i>spinoff-</i>nya Satria Baja Hitam. Aku pikir aku senang bikin komik begitu, dan pas SMP aku pikir akan menemukan <i>environment</i> yang menumbuhkan bakatku di situ. Ternyata, enggak. Jadinya, ya, aku senang menulis sendiri aja.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku juga enggak mengerti kapan tepatnya aku suka bercerita. Tapi dari kecil aku punya kesadaran itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sewaktu SD, kamu bikin komik itu, pakai <i>tools</i> komputer khusus, begitu? Atau menggambar sendiri?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Di kertas. Dulu pernah bikin parodinya Ultraman, lawan monster yang ternyata <i>plot twist-</i>nya
monster itu dibayar si Ultraman untuk menghancurkan kota. Setelah
menghancurkan kota, si Ultraman minta sumbangan. Nanti, hasilnya dibagi
dua dengan si monster. Aku bikin itu sewaktu kelas 6 SD, bareng temanku.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sebenarnya, yang enak dari saat SMP adalah aku tinggal di kota, dan
akses untuk dapat komik lebih gampang, karena di Pasar Merdeka (dekat
Stasiun Merdeka), pas aku keluar sekolah, ada ruko-ruko yang jual
pernak-pernik dan toko-toko buku kecil non-Gramedia. Dulu, kan, sempat
ada tren toko-toko kecil dan mereka jual komik juga. Dulu ada terbitan
Cosmic, terbitan Indo, waktu aku kelas 3 SMP. Ada kompetisi komik. Dari
situ, jadi tahu lebih banyak soal dunia perkomikan. Dan, terutama, <i>storytelling</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dari begitu banyaknya buku atau komik, adakah satu judul yang
memantik kamu dan bikin kamu bilang, “Ah, gue pengin jadi penulis komik
kayak begini, nih.”?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Detektif Kindaichi. Di Kindaichi juga, kan, ada banyak referensi
detektif Eropa. Waktu itu, aku tahunya Sherlock Holmes doang. Dulu, di
forum internet, ada pembahasan soal ini, katanya “Kindaichi, tuh,
ternyata mengambil referensinya dari Agatha Christie.” Dan dari situ
baru, “Oh, ternyata ada penulis yang namanya Agatha Christie,” dan
seterusnya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Karena, kan, sejujurnya akses novel di perpustakaan sekolah terbatas
banget. Aku tahu ada Agatha Christie, tapi aku enggak pernah tahu kalau
dia menarik. Misalnya, kayak begitu. Dari pertemuanku dan akses
internet, jadi tahu, “Oh ternyata ini begini.” Begitu, sih.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tapi <i>24 Jam Bersama Gaspar</i> itu enggak sekonvensional cerita-cerita detektif biasanya, ya? Kasusnya pun <i>problem solving</i>-nya juga beda.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Itu, kan, sebenarnya novel yang harusnya jadi parodi, dilihat secara <i>ironic</i>
gitu. Aku enggak mendesain itu untuk membuat orang jadi suka cerita
detektif. Aku lebih fokus ke detektif yang mengeksploitasi keinginan, <i>the deepest desire</i>, yang lebih gelap. Arahnya lebih ke begitu. Seperti cerita <i>Héctor Belascoáran</i>-nya Paco Taibo, penulis dari Meksiko.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">Pertemuan dengan <i>Game</i> dan Internet</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sebagian besar orang memiliki kepercayaan absolut tentang apa yang
mereka sudah percayai sejak lama. Dio memilih bersilangan jalan dengan
orang-orang itu. Seiring bertambahnya informasi baru yang diaksesnya
melalui internet, Dio memilih untuk merevisi beberapa pandangannya yang
usang.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Di awal, kamu membahas tentang abang-abangan judi togel. Kalau opinimu sekarang soal interaksimu saat kamu kecil itu, bagaimana?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Seru-seru aja, sih. Opiniku sekarang, “Oh, ya. Ternyata kayak gitu.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi aktivitasku waktu kecil banyaknya di rumah, dengan adikku. Lebih
banyak menonton TV. Kalau berteman, sama bapak-bapak atau kakak-kakak
yang suka judi togel itu. Jadi, apa pun yang ada di tayangan TV swasta
saat itu, aku tonton semua. Yang penting, pulang sekolah, nonton TV.
Makan, nonton TV. Bangun tidur, aku enggak pernah tidur siang, sambil
nonton TV. Dipasangin TV sebentar buat tidur, tapi malah enggak tidur,
malah nonton. Sore-sore, nonton telenovela sama Nenek. Malam-malam,
nonton sinetron apa aja. Banyak banget nonton TV.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kebiasaan itu bertahan sampai aku kelas 6 SD, sudah ada Playstation 1
waktu itu, sudah ada rental di dekat rumah, aku suka main ke sana. Aku
jadi ingat, kalau dulu waktu kecil aku suka main Nintendo. Perasaan
senang itu muncul lagi. Sewaktu aku main PS, aku jadi sering keluar.
Terus, papaku jadi memperbaiki <i>playstation</i>, <i>dibawain</i> untuk
aku biar main di rumah. Aku baru punya PS sendiri waktu kelas 2 SMP.
Jadi, dari kelas 6 SD-2 SMP, aku di luar, main PS. Kenal sama game-game
RPG.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ini yang menarik. Cara pikirku banyak terpengaruh dari masa-masa ini,
saat aku merasa dunia game keren banget. Jadi, kalau aku ingat-ingat,
kalau kita main Mario, Super Mario Bros, misalnya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Itu waktu kelas 1 SD, kita mainnya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Misalnya kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kita main, Mario jatuh kecemplung di lubang. Kita enggak bakal
bilang, “Eh, sialan, Mario gue mati.” Kita bakal bilang, “Sialan, gue
mati.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i>Game</i> itu sangat imersif buat aku waktu itu. Jadi, aku bisa membayangkan aku betul-betul tokoh di <i>game</i> itu. Kurasa, itu juga kebiasaan banyak orang yang main <i>game</i>. Misalnya, sewaktu dia main <i>game</i>, dia enggak bakal bilang karakternya yang mati, dia bakal bilang dia yang mati di dalam <i>game.</i>
Menurutku, itu jadi kunci penting bagiku. Waktu itu belum kepikiran
begini tentu. Tapi, aku merasa, setelah aku ingat-ingat, kenapa aku suka
bikin karakter, aku bikin <i>map, timeline</i>, juga <i>world building</i>, kemudian, kenapa aku bisa punya kebiasaan begitu, justru dari RPG. RPG membantu aku untuk berpikir secara sistematis. Karena <i>rules-</i>nya
jelas. Perbedaan karakter-karakternya signifikan. Itu kenapa aku punya
semacam obsesi untuk bikin karakter-karakter baru. Kayak di Gaspar, kan,
banyak banget karakternya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, RPG membantu aku untuk bikin dunia yang sistematis dan bikin
aku nyaman, merasa aman ketika memikirkan cara bercerita itu. Dari situ,
muncul ketertarikan, di usia 18-19 tahun, minat terhadap teknologi.
Terutama soal sejarah-sejarah. Seperti sejarah Soviet, soal bagaimana
mereka bikin teknologi. Cuma, waktu itu masih agak <i>biased</i>. Karena
apa yang aku bisa dapat saat itu adalah buku-buku yang ditulis oleh
orang-orang antikomunis, atau orang-orang yang anti-Lenin/anti-Stalin,
anti-Soviet secara umum. Buku-buku itu masih ada ketika aku berumur
20-an.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, aku lebih melihat zaman Perang Dingin, Amerika lebih keren
daripada Soviet. Kemudian, internet ini berkembang luas, dan ada banyak
informasi yang bisa aku dapat, aku akhirnya merevisi pikiran itu dan
mulai <i>concern</i> ke teknologi yang <i>obsolete</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kapan kamu mulai merevisi pemikiran ini?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Di atas umur 20. Mulai tertarik untuk mempelajari sejarah yang bukan versi Barat. Karena lebih menyambung ke sana, tentang <i>cyberspace</i>,
aku mulai ngulik-ngulik di situ. Bagaimana cara menggunakan teknologi
yang lebih berguna buat banyak orang? Yang aku ingat, sekitar 2011-2012,
“Inilah yang aku cari-cari selama ini.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;">Menulis dengan Medium Digital</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kehadiran digital Dio barangkali dapat disamakan dengan bagaimana Omi
Intan Naomi mengisi blognya di Geocities dengan berbagai informasi yang
menyangkut ketertarikannya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sementara itu, bagi sebagian besar generasi Dio, blog ataupun forum
penulisan yang marak kala itu, seperti Kemudian.com, menjelma semacam
laboratorium kepenulisan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Di era internet, bacaan bermutu hanya sejentikan jari di layar.
Dengan akses yang begitu luas, Dio mengaku cukup rajin untuk mencari
referensi buku dan penulis baru, “Aku lebih suka mencari tahu, penulis
yang aku suka menyukai siapa, nanti baru aku cari tahu lagi,” dan begitu
juga membagikan tulisan-tulisan terbarunya di medium digital.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kamu bikin blog sejak kapan, sih?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sudah lama. Dari zaman Multiply, 2010an-2011. Aku <i>blogging</i> rutin sekitar tahun 2010an. Sebelumnya cuma lihat-lihat aja. Kalau pun harus baca informasi, ya tentang <i>game</i> yang aku main. Waktu SMP, aku main <i>Ragnarok Online</i>. Beberapa tahun belakangan mulai <i>switch</i>
pandanganku tentang cerita-cerita itu, soal teknologi yang dikembangkan
Soviet saat itu. Aku mulai cari tahu, apa yang mungkin bisa jadi cerita
yang lebih segar. Waktu itu, aku belum ketemu jawabannya, tentang
kenapa Soviet selalu dikaitkan dengan Komunisme. Kenapa <i>free market</i> enggak? Padahal <i>free market</i> dan kapitalisme bisa jadi cerita distopia yang jauh lebih buruk.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kenapa jarang banget ada yang bikin wujud penerimaan mereka terhadap pasar, melahirkan individu yang menyerah, kayak di <i>Cyberpunk</i>, justru mengembalikan mereka ke ranah yang lebih aristokratik, kayak <i>Steampunk</i>? Genre-genre yang justru melebur.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, jawaban tentang dunia yang baik, tuh, enggak ada di dalam skema
itu. Kenapa? Pertanyaanku lebih ke situ, yang bikin aku terus
menunda-nunda untuk bikin cerita fiksi ilmiah.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau ditanya soal itu, tradisi menulis yang aku jalani, ya, lewat
itu. Aku berusaha untuk merevisi sendiri pandanganku dan aku enggak
keberatan kalau ada orang yang lebih tahu, dan bikin aku berpikir, “Oh,
itu <i>make sense</i>.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Itu alasan kenapa baru sekarang berani menulis <i>scifi</i>. Ada
beberapa pertanyaan yang aku baru sekarang bisa ketemu sedikit-sedikit
jawabannya, dan ada catatannya juga. Oh, kayaknya aku merasa sudah
cukup, jadi mencoba yang baru.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Makanya sekarang kamu mulai menulis <i>sci-fi</i> <i>cli-fi</i> begitu, ya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Imajinasi tentang <i>hi-tech</i> itu memang keren banget, sih. Kalau aku umur belasan, masih remaja, aku melihat <i>Blade Runner</i>, dengan hologram dan semua itu, bakal keren banget.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sementara, untuk yang membicarakan alam, atau pandangan yang menjaga bumi, mereka cenderung <i>anti-civilization</i>
atau anti-peradaban. Membayangkan kehidupan bergaya pastoral. Imajinasi
Amerika, padang rumput luas, orang memelihara kuda. Membosankan…</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Transendentalisme ala Ralph Waldo Emerson. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">He eh. Apa istilah dia? <i>Self-reliance</i>?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan, kenapa harus kayak begitu? Kenapa enggak ada imajinasi yang
lain? Kalau mau diterapkan di sini, kita kan enggak punya. Ya, mungkin
punya imajinasi reaksioner kayak begitu. Cuma, itu pertanyaan yang harus
aku jawab: apa aku mau masa depan yang individualis kayak begitu?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Yang kedua adalah, lebih ke pertanggungjawaban ke diriku sendiri.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Petualanganmu periode SMA, lulus SMA, ke masa usia kuliah, itu
petualanganmu untuk merevisi berbagai pengetahuan dan sejarah. Itu, kan,
perihal substansi.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau soal medium, anak-anak sekarang lebih pakainya medium digital.
Kamu sempat menyebut beberapa kali, di blog atau di wawancara kamu
bilang enggak bakal nerbitin buku kalau enggak ada Dea Anugrah. Kamu
sebelumnya berpikir untuk cukup menerbitkan karya di blog saja.
Bagaimana pandanganmu terkait penerbitan? Bagaimana keterlibatan Dea
sehingga kemudian kamu, “Oke, mau nih, diterbitin,” dan akhirnya,
diterbitin terus?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sebelumnya, aku cuma ngeblog. Dulu, aku enggak ada terpikirkan format buku. Karena aku menikmati <i>fanfiction</i>, anime/manga, itu kebanyakan dalam format digital. Jarang banget ada <i>fanfiction</i>
yang bisa aku akses bukunya (malah kayaknya enggak ada?), kalau ada itu
mewah banget buatku. Saat aku sekolah, aku berpikir, aku cuma senang
kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tapi tadi kamu bilang waktu SMP kamu mau jualan, tuh, satu cerpen, dua ribu rupiah sehari. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, kan enggak laku. Haha. Waktu itu aku belum kenal banget internet,
aku enggak pernah tahu ada dunia tulis-menulis, sastra, atau apalah.
Terus, ya, di kemudian hari, yang aku tahu kalau mau menulis, ya menulis
di blog saja. Kalau mau baca, ya silakan. Kalau enggak, ya enggak apa
juga.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, ya, enggak kepikiran ide tentang mengirim cerpen ke redaktur koran.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Enggak pengin duit dari koran? Diganjar sejuta rupiah, loh, untuk satu cerpen.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku bahkan enggak tahu kalau nerbitin cerpen itu ada duitnya juga. Aku benar-benar ada di dalam <i>bubble</i>-ku yang jauh dari sastra Indonesia. Aku sebenarnya saat itu enggak terlalu peduli juga, sih.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Yang aku tahu, kalau mau cari uang, ya kerja saja, di <i>agency</i>, atau jadi ilustrator. Itu pekerjaan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sampai kemudian aku suka baca cerpen koran, yang versi digital. Dulu
ada blog-blog yang mengumpulkan cerpen dari koran. Atau, dulu di
Multiply juga suka ada orang-orang yang me-<i>reupload</i> cerpen-cerpen
di Multiply atau di Tumblr. Aku kemudian baru tahu ternyata dunia yang
diomongin guru Bahasa Indonesia ini ada dan serius. Sejujurnya pelajaran
Bahasa Indonesia di sekolah kan bikin sastra jadi cuma formalitas,
numpang lewat aja.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">Dari Dunia Digital ke Dunia Cetak</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dengan hadirnya banyak <i>platform </i>yang memungkinkan suatu teks
bertahan di ranah digital tanpa perlu dicetak ke medium kertas, tentu
menerbitkan karya menjadi suatu buku cetak membutuhkan logika berpikir
tersendiri di kalangan anak muda hari ini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, kamu benar-benar anak blog lah, ya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Terus, bagaimana bisa sampai ditemukan oleh Dea? Atau menemukan Dea?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dea, nemunya dari blog. Jadi, ada teman Dea kerja di Moka. Salah satu pekerja di Moka adalah pembaca blogku.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Siapa, tuh?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku lupa namanya. Sebentar, aku ingat-ingat. Ah, Wulan. Namanya Wulan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Waktu itu Dea nanya, “Ini mau diterbitin atau enggak?”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Terus, “Ya, ya udah. Kalau mau diterbitin, ya udah.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan waktu itu novel pertama itu judulnya masih aneh banget. Judulnya <i>Sendok</i>. Aku, kan, menulis di blog. Jadi, menurutku medium menulis di blog itu, ya, buat lucu-lucuan aja gitu. Jadi, judulnya <i>Sendok</i>, dan ya, <i>keyword-</i>nya, ya, apa aja. Terus, Moka Media rupanya tertarik menerbitkan novelnya, ya, dari situ, sih.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Karena berangkatnya dari situ, aku jadi berteman dengan Dea. Kami banyak ngobrol, aku juga jadi banyak <i>input</i> tentang editorial dan kepenulisan. Banyak tukar-tukaran rekomendasi. Ngobrolin hal-hal di dunia kepenulisan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dengan metode yang aku merasa nyaman. Terutama itu, sih, aku merasa nyaman.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Apakah penting untuk berteman untuk editor? Penting banget buatku. Untuk manuskrip buku puisi terbaruku, <i>Nektar</i>, naskah itu diedit Syarafina Vidhyadana. Itu pengalaman <i>editing</i>
yang menurutku menyenangkan, meski lama banget waktu yang dibutuhkan
untuk mengedit. Hampir setahun. Dan itu bukan karena mengeditnya susah.
Itu karena kami sama-sama mencari waktu luang.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku merasa santai, dan jadinya lebih masuk. Misalnya, editor tidak
suka dengan tulisanku, ada waktu bagi dia untuk mengelaborasi. Aku juga
punya waktu untuk merevisi.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Metode yang sama aku terapkan sewaktu aku jadi editor di <i>Berita Kehilangan</i>, itu jadi <i>behavior</i>
yang enggak bisa hilang. Penulisnya mungkin bingung mau menulis
bagaimana, beberapa cerpen agak susah terbaca. Aku tahu gagasannya apa,
tapi struktur kalimatnya atau caranya bercerita menyulitkan untuk
penyampaian. Jadi aku <i>approach </i>penulisnya, aku ajak mengobrol. Aku menyertakan catatan. Aku senang melakukan itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Bersahabat banget, ya. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Beberapa memang sudah jadi penulis profesional. Mereka sudah tahu mau
bagaimana ABC-nya menulis. Tapi, ada beberapa yang gagasan atau
premisnya bagus, dan perlu pengolahan lagi.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku enggak percaya kalau hanya karena tanda baca yang salah atau karena <i>typo</i>,
maka tulisan jadi jelek. Atau, soal kalimat terbalik-balik, paragraf
terbalik-balik—aku enggak percaya hal-hal itu bisa mengindikasikan
tulisan jadi jelek atau bagus. Aku lebih percaya, aku baca dan bisa
meraba-raba apa mau penulisnya. Kalau aku pikir itu bisa digarap, ya
bisa diselesaikan bareng. Soal teknis, kan, urusan kesekian dari
keseluruhan proses menulis.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Perkara hal-hal teknis begitu, aku tidak terlalu memusingkan. Dari
awal, aku tumbuh bukan sebagai penulis yang lahir dari hal-hal teknis.
Aku cuma punya apa yang aku pikirkan, dan aku tulis.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan ketika Dea menemukan itu, Dea mengisi <i>gap</i> teknis itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">Editor yang Menjelma Karib Menulis</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dari kolaborasinya sebagai editor-penulis, Dio-Dea melanjutkan
interaksi mereka dengan membagi semesta fiksi bersama dan saling berbagi
bacaan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Teknis yang kamu maksud diisi oleh Dea ini, kayak bagaimana, misalnya?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kata yang <i>typo</i>, atau kalimat yang subjeknya terbalik. Atau
titik yang salah. Atau cara bikin paragraf. “Mestinya enggak begini,
nih.” Nah, hal-hal yang kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dea percaya aku punya hal yang bagus tentang novelku, tapi aku harus membenahi <i>skill</i>-ku
menulis. Dan dia memberi aku kepercayaan untuk itu, dan aku jadi, “Oh,
ya udah, oke, aku akan belajar juga untuk kayak gitu.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan aku pikir, kalau sejak awal prinsipnya adalah “menulis yang bagus
adalah kalimat beres”, mungkin aku enggak bakal ada di sini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, aku ya cuma punya ini. Kemudian aku bisa belajar hal baru tentang
kepenulisan, itu berkat orang lain mau mengajarkannya ke aku. Aku juga
menerapkannya di penyuntingan buku <i>Berita Kehilangan</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tadi kamu cerita soal pengaruh teknis. Sebenarnya, ya, kalau
teman-teman melihat, interaksimu dengan Dea melampaui itu. Masuk ke
novel pertamamu aja, misalnya. Kamu dan Dea, kan, berbagi semesta fiksi.
Ada <a href="https://web.archive.org/web/20170404055212/https:/agrariafolks.wordpress.com/2016/01/08/siapakah-arthur-harahap/" rel="noopener" target="_blank">tokoh bernama Arthur Harahap</a>, di novel pertamamu, tokoh itu jadi penulis suatu judul buku <i>Yang Terbaik Adalah Tidak Ada yang Terbaik</i>. Semesta fiksi ini hadir di karyanya Dea juga.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kami tahu, kalian sama-sama menggemari Arthur Schopenhauer. Apakah ada kaitannya dengan itu?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Terus, apakah dengan semesta fiksi yang saling terkait ini, kalian merencanakan sesuatu?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan jika iya, di karya luar, kan, ada karya-karya kanon, seperti karya Arthur Conan Doyle, yang lantas ada banyak <i>fanfiction</i>-nya. Atau seperti semesta Lovecraftian-nya H.P. Lovecraft dengan <i>cosmic horror</i>-nya,
katakanlah. Menimbang itu, apakah penulis lain boleh nimbrung,
menggunakan Arthur di karya mereka, dan membawa cerita itu ke ujung yang
berbeda dari yang semula kalian bayangkan? Atau kalian sudah punya
gambaran besar?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Buat ngomongin Arthur Harahap, kita harus kembali ke konsep dasar Arthur Harahap yang aku buat, sebelum aku ketemu Dea.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Oke, ceritain versi kanonnya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, pas zaman sekolah, kayak aku bilang, aku tidak selalu terpapar
sastra Indonesia. Yang paling dekat, mungkin, Chairil Anwar atau Idrus.
Karya-karya yang bisa aku dapat di perpustakaan. Atau, karya itu
diomongkan oleh guru sastra Indonesia. Kira-kira kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Apa yang biasanya aku baca dan aku temui tentang sastra Indonesia
lahir dari kanon-kanon yang dibicarakan guru bahasa Indonesia, atau yang
dibahas di forum-forum internet di atas tahun 2010an, kayak Kaskus atau
blog kritikus dan <i>reviewer</i> buku. Saat itu, nama-nama yang sering
muncul kayak Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang. Aku
ingat di sekitar tahun 2011, gempar banget cerita Seno Gumira Ajidarma,
yang <i>Sepotong Senja untuk Pacarku</i>. Karya itu terkenal banget di jagat internet, karena <i>mindblowing</i>. Tulisan mereka diceritakan ulang, atau dianalisis secara mendalam.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan di saat yang sama, karena aku lebih dekat dengan dunia <i>game</i>,
itu adalah era saat aku benar-benar memikirkan soal Avatar—manifestasi
manusia di dalam ruang digital. Si Avatar ini punya sejarahnya sendiri,
kayak karakter-karakter di RPG, punya identitas baru, punya pengalaman
dan alam pikir yang konsisten dengan pengalaman hidupnya. Terus, dari
situ, aku terpikir menyambungkan tren sastra Indonesia yang populer;
cowok, Jawa, atau dari suku semacam itu, dan juga suka mengutip jurnal
dan nama-nama penulis luar negeri, namanya juga nama yang agung. Kayak
Goenawan Mohamad, itu kan nama yang seolah kamu dilahirkan buat jadi
seorang penulis.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku jadi membayangkan, bagaimana kalau ada penulis Indonesia juga,
dengan ciri yang sama. Namanya maskulin dan agung, pintar mengutip
nama-nama Barat dan istilah <i>obscure</i>, punya banyak karya tapi
namanya enggak pernah terdengar. Namanya tenggelam, dan enggak masuk
kanon. Atau, karena dia kurang kompetitif. Atau karena satu dan lain
hal, nasibnya buruk. Dan segala macamnya. Jadi, si Arthur enggak masuk
kanon dan dilupakan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Bagaimana kalau ada penulis seperti itu? Lalu, dia <i>revive</i> lagi ketika era internet mulai masuk ke Indonesia. Namanya <i>revive</i>,
dan orang-orang mulai ketemu namanya, dan diunggah. Tapi, lagi-lagi,
karena enggak ada yang kenal namanya, jadi dia dilewatkan begitu saja.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Posisinya, aku membayangkan manifestasi Arthur Harahap di dalam dunia
internet ini, sudah lama mati, bahkan kita enggak tahu juga ada atau
enggak. Karena orang mengunggah karya dengan namanya, dan membicarakan
dalam skala yang kecil, Arthur Harahap beneran ada. Semua orang yang
enggak pede menerbitkan cerita, akan pakai Arthur Harahap sebagai nama
pena mereka. Jadi, orang-orang bekerja sama mengumpulkan, mengarsip
karya Arthur Harahap. Yang mana enggak dianggap penting. Jadi, terus,
kayak.. orang-orang ini ngapain, sih?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, ya, Arthur Harahap ini jadi kayak karakter parodi. Dikesankan
dia memenuhi semua stereotip penulis besar Indonesia, yang waktu itu aku
tahu. Terus, dia mengamplfikasi sekularisme. Dia suka mengomel kalau
melihat anak-anak muda liberal, padahal dia sendiri yang mempromosikan
liberalisme. Orang tua yang merongseng sendiri apa yang dia lakukan
sendiri.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Namanya aku masukkan di novel <i>Kamu</i>, terus Dea ketemu itu, “Wah, konsepnya menarik, nih.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dea pernah baca di tempat lain, ada yang menggunakan teknik yang
sama, lalu dia memberi rekomendasi. Dari situ kami diskusi, awalnya
namanya Arthur S. Harahap. Biar kayak Udo Z. Karzi, Puthut E.A., atau
A.A. Navis. Tapi Dea enggak setuju, katanya, “Ribet.” Akhirnya,
singkatan nama itu dihilangkan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku lebih tertarik karena Dea memberi aku beberapa bacaan yang
akhirnya membuka peluang mengembangkan karakter itu lebih jauh. Awalnya,
enggak ada rencana Dea bakal merespons Arthur Harahap, atau aku
merespons Rudi Rodom di novel terbaru Dea.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Itu terjadi karena aku membaca tulisannya dia, dan rasanya asyik kalau aku bikin juga. Jadi awalnya enggak ada <i>plan </i>besar.
Atau kayak pembentukan band fiktif yang anggotanya fiktif semua. Lebih
ke perayaan, bikin senang diri sendiri. Iseng, bagaimana kalau ternyata
dulu Arthur Harahap adalah tokoh yang seperti ini? Bagaimana kalau Rudi
Rodom dulunya anggota Golkar?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau kemudian karakter tokoh Arthur ini dibelokkan sama sekali?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Enggak apa. Konsep awalnya sangat <i>fluid</i>. Jadi, kalau ada yang bikin Arthur Harahap adalah peternak gurame di Cirebon, enggak apa.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Itu justru akan bikin lebih seru, dan menambah dimensi si Arthur
Harahap, tentang siapa, dan akhirnya orang tahu sebenarnya dia karakter
fiktif aja.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;">Dari <i>24 Jam Bersama Gaspar</i> ke Karya Selanjutnya</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dalam enam tahun sejak karya debutnya beredar, Dio tidak hanya
menerbitkan empat buku tunggal lainnya, dan berbagai terbitan
kolaborasi, tetapi juga diganjar berbagai penghargaan prestisius. Pada
2019, Majalah Tempo memilih <i>Dekat & Nyaring</i> sebagai karya sastra prosa terbaik 2019 dan Dio pun terpilih sebagai Tokoh Seni Pilihan Tempo di tahun yang sama. Novelnya <i>24 Jam Bersama Gaspar</i> juga sedang dalam proses difilmkan oleh Yosep Anggi Noen. Bagaimana Dio memandang “anak-anak rohani”-nya ini?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sementara itu, buku keduamu, <i>24 Jam Bersama Gaspar</i>, bakal dan
sedang difilmkan oleh Yosep Anggi Noen. Selamat, ya. Seberapa jauh kamu
terlibat dalam pembuatan film ini? Kudengar, Irfan Ramli jadi penulis
skenarionya. Apa ada pilihan sinematik yang kamu bisik-bisikkan ke
mereka?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Enggak, sih. Aku serahkan semua ke mereka. Karena di saat bersamaan, aku sedang menggarap <i>Mongrel</i>. Dan aku sudah <i>move on</i>
dari Gaspar, terserah mau diapakan. Mau referensi sinematiknya kayak
apa, atau cerita kayak gimana. Tapi nanti aku bakal baca juga, supervisi
interpretasinya Irfan. Kalau terlibat secara langsung, enggak. Aku
menyerahkan kepercayaanku kepada mereka.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau prosesnya sendiri, bagaimana penggodokannya sehingga novel ini yang terpilih?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku juga enggak tahu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Waktu Irfan ngobrol sama aku, yang dia tawarkan adalah <i>24 Jam Bersama Gaspar</i>. Jadi, mereka punya ide, “Saya tertarik dengan novel Anda. Yang ini, tapi.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">“Oh ya udah, silakan aja.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan ada Mojok, Mojok aku libatkan sebagai semacam <i>agency</i>. Jadi aku juga enggak perlu pusing memikirkan <i>deal-deal</i>-nya
dan segala macam. Aku serahkan ke Mojok, semuanya. Aku mau fokus ke
novelku yang terbaru. Biasanya kalau aku lagi asyik, aku lupa. Jadi, aku
takut kalau aku ikut-ikutan, justru bikin prosesnya lebih susah.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kamu malah tipe orang yang terlibat bangetnya di pengerjaan bukumu, ya. Maksudku, ini kan alih wahana.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sementara, kalau untuk proses pengerjaan buku, buat <a href="https://www.goodreads.com/book/show/45287802-dekat-dan-nyaring" rel="noopener" target="_blank">sampul buku terakhirmu <i>Dekat dan Nyaring</i></a>,
kudengar juga, ilustratornya diganjar mahal, ya? Kenapa kamu sangat
punya ketertarikan visual tertentu? Bahkan sedari buku pertamamu, ada
teman-teman ilustratormu yang terlibat, ya?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Itu gara-gara aku dekat dengan dunia visual grafis. Kerjaanku di situ dari dulu. <i>Website</i> dan visual.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Teman-temanku banyak di bidang itu, orang-orang yang aku kagumi banyak di bidang itu. Aku kerja di sana, jadi aku merasakan <i>problem</i> di dunia itu, terutama soal desain <i>cover</i> buku, atau ilustrasi dalam buku. Misalnya, kasus sepele, satu penerbit meng-<i>hire</i> ilustrator untuk bikin satu<i> cover</i>
dan dibeli putus, bukunya dicetak seribu, setelah bukunya habis dan
masuk cetakan kedua, ada beberapa kasus ilustratornya enggak dapat
bayaran lagi, dan aku pikir itu aneh. Karena kalau cetakan kedua dan
seterusnya masih pakai yang sama, harusnya desainer dapat uang juga. <i>Problem </i>kayak gitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Belum lagi kalau kliennya resek, misalnya minta revisi aneh-aneh, ngasih<i> brief</i>
enggak jelas, kurang lebih aku mengerti susahnya menjadi desainer di
sini. Terutama, ketika kamu ada di tempat orang-orang yang
menggampangkan pekerjaan kamu, menggampangkan orang mendesain. Kamu
ilustrator yang fokus ke fisik manusia, gambar-gambar manusia, tapi kamu
tiba-tiba disuruh bikin logo. Menurutku itu aneh banget.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku ada di bidang ini, aku ingin mengapresiasi orang yang kerja di bidang ini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Lagipula juga, karena ngobrol dengan ilustratornya, aku tahu visi dia
tentang ceritaku kayak bagaimana, dan aku bisa memberi masukan, jadi
lebih seru buat ngobrol-ngobrolnya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Untuk karyamu selanjutnya, beberapa kali kamu <i>posting</i> di Twitter, kamu bilang bakal bikin karya sastra dalam wahana <i>game</i>. Minatmu juga—orang-orang tahu—luas banget, dunia tulis-menulis, <i>game</i>,
visual grafis, musik juga—kamu bikin musik sama Galih Nugraha Su—belum
lagi bikin boneka dinosaurus kemarin itu, eh boneka Godzilla ding.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, apakah ada proyek <i>game</i> yang sedang atau akan berjalan? Atau, yang sudah kamu rencanakan?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Iya, ya, aku jadi mikir, banyak banget yang aku kerjain. Aku suka banyak hal, jadi aku kayak bingung menjelaskan. <i>Anyway</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Proyek yang lagi jalan, yang belakangan, aku lagi kepikiran bikin bot AI yang bisa men-<i>generate</i> haiku dari lirik-lirik Iwan Fals. Sebenarnya ide ini dari Beni. Beni membayangkan, gimana caranya bikin <i>Twitter bot</i>, tapi kita enggak usah nge-twit, dia nge-twit otomatis. Jadi, aku kasih contoh beberapa yang sudah aku bikin.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">“Oh, bisa, kayak gini. Tapi gue maunya lirik Iwan Fals, tapi haiku,” kata Beni.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi aku ngerasa, kayaknya seru, nih. Jadi bisa mengulik-ulik juga. Di saat yang sama aku lagi belajar tentang <i>artificial intelligence</i> yang didesain untuk menulis novel atau fiksi. Proyek itu <i>open source</i>,
aku bisa utak-atik juga. Yang pertama aku pikirkan, mau coba. Dulu aku
pikir mau bikin dari karya-karya GM, karena GM arsipnya paling lengkap,
PDF-nya banyak, dia juga punya tipikal, tulisannya ada <i>pattern</i>-nya,
kita tahu dia bakal menyebutkan apa, apa, dan apa. Dia bisa diprediksi.
Jadi, karena dia bisa diprediksi, ada kemungkinan aku bisa bikin AI
yang menirunya. Itu yang kepikiran, terus diutak-atik.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tapi, Beni kasih ide kayak gitu. Lah iya, ya, kenapa harus GM? Kenapa bukan Iwan Fals aja? Ya sudah, ganti Iwan Fals. Aku <i>post</i> di FB, ada satu hasil <i>generate</i>-nya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sebenarnya enggak ada proyek yang harus jadi. Aku takut malah, kalau
satu proyek kujadikan hal serius, jadi profesi aku, mungkin aku sudah
enggak sesenang itu lagi. Jadi kepikiran ke situ.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Bikin <i>game </i>ini enggak satu orang, ya. <i>Game developer</i>, kan, ada banyak banget orang. <i>Game narrative</i>, <i>game designer</i>. Jika membuat <i>game</i>, kamu akan memposisikan dirimu sebagai apa? Apakah kamu belajar <i>programming</i> juga?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Pertama kali aku tertarik tentang proses bikin <i>game</i> tahun 2012, ada game <i>Runescape</i>, seru banget sistemnya. Di Youtube waktu itu lagi ada populer <i>Stickman On Crack</i>, <i>stickman</i> gerak-gerak. Dari baca-baca, katanya dia dibikin pakai <i>flash</i>. Terus aku yang kayak, oke, aku akan belajar <i>flash</i>. Game pertamaku <i>game</i> format<i> flash</i>. Setahuku beberapa web <i>browser</i>-ku sudah enggak mendukung web <i>flash</i>. Di tahun 2015an, aku mulai belajar mengoperasikan <i>game engine</i>, Unity. Pengin nyobain <i>text base </i>kayak <i>Zork</i>, waktu itu bikin game <i>text base</i>, game <i>chat</i> dan segala macam, bikin yang <i>rougelike</i>,
pakai ASCII. Karena, walau aku suka gambar, gambar tanganku jelek
banget. Jadi, aku lebih nyaman dengan format ASCII dan 8bit. Karena aku
cuma perlu mencari simbol yang merepresentasikan apa yang aku pikirkan
tentang objek. Enggak usah memikirkan bentuk detailnya dan segala macam.
Jadi ya sudah, fokus ASCII saja. “Eh, ini, bentuknya kayak tamiya, oke
itu tamiya.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Iya, sih. Lebih ke menghafal kode-kode ASCII-nya, ya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Iya, akhirnya lebih ke situ. Aku enggak pernah punya proyek yang
serius banget soal game. Aku menjalani ini lebih ke karena aku senang
saja. Senang cerita, seneng bikin karakter, seneng mengulik basic
coding. Sejauh ini, aku belajar Unity, dan kemajuannya tentu saja tidak
signifikan. Karena sambil iseng mengerjakannya. Tapi, aku mungkin bakal
menerapkannya untuk pertama kali di buku puisi yang lagi aku garap.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Buku puisi <i>Nektar</i> ini, ya. Kalau soal buku puisi, aku ingat banget, dalam salah satu wawancara, kamu bilang, <a href="https://crafters.getcraft.com/id-articles/sabda-armandio">puisi bukan bidangmu</a>. Mengapa kemudian sekarang kamu bikin ASCII art, dalam bentuk puisi, dan akan menerbitkan buku puisi?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Terus, kamu kan rencananya akan menerbitkan buku puisi dalam bentuk
ASCII art, terus ada tata letak tepi seperti cetakan mesin faks… blogmu
juga, aduh, retro banget, sih. Sepertinya teknologi retro itu banyak
banget mempengaruhi inspirasi artistikmu. Pandanganmu soal semua ini,
bagaimana?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Yang pasti, aku berangkat dari. . .di awal, aku pikir itu keren dan kayaknya akan bikin aku seneng.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, jawabanmu di wawancara lain juga begitu. Karena berangkat dari kekerenan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;">Dunia Komputer yang Memesona</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Seandainya Dio punya kesempatan untuk mendalami satu bidang, maka
bidang itu adalah ilmu komputer. Dia berbagi kecintaan yang sepadan
dengan dunia komputer seperti halnya para penulis dunia di genre fiksi
ilmiah, sebutlah John F.X. Sundman dengan seri novelnya <i>Mind Over Matter</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Untuk pekerjaan sehari-hari yang dilakoninya, pada awalnya Dio
menggunakan keterampilan HTML untuk melamar pekerjaan pertamanya, dan
itu terus berlanjut hingga hari ini. Saat ini, Dio bertanggung jawab
sebagai manajer multimedia untuk perusahaan media Tirto.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tapi, apa, ya, aku cerita sedikit, papaku dulu punya kerja sampingan.
Dia kerja sebagai pegawai, tapi kalau di rumah dia punya toko servis
alat-alat elektronik. Waktu itu, di Tangerang tahun 1996an, kami masih
pakai TV tabung. Hampir semua mainan yang aku punya saat itu—dari SNES,
Nintendo Family yang kotak, <i>gamewatch</i>, tamagochi, dan segala macamnya—adalah benda-benda elektronik yang diservis di tempat papaku.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ada beberapa yang enggak ditebus, karena kemudian masuk 1998,
orang-orang enggak mampu untuk menebus benda-benda itu, dan ada urusan
lain yang lebih genting, atau apalah, aku enggak tahu. Jadi, waktu itu,
banyak banget benda-benda yang kemudian ada di rumah. Di rumah,
benda-benda itu jadi menumpuk kayak sampah.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ayahmu ngapain, sih? Kok, kerja sampingannya itu? Dia mendalami bidang Teknik Elektro?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dia teknisi, ahli kelistrikan. Di zaman itu, aku jadi ikut-ikutan tertarik dengan <i>device</i> elektronik yang bisa aku jumpai seperti <i>tamagotchi</i>, <i>gamewatch</i>, <i>laserdisc</i>, bahkan diajari menyordel. Akhirnya, aku jadi baca modul-modul radio, dan <i>tape</i>,
juga modul-modul TV tabung. Meski aku enggak ngerti, tapi kan ada
gambar-gambarnya, ada gambar sirkuit—sirkuit TV tabung SONY, aku ingat
ada gambarnya, dan ada kayak peta gitu. Dari situ.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Bahkan, karena. . .aku, kan, enggak bisa diam, jadi walau ada banyak
mainan elektronik yang bisa aku mainkan sesuai usiaku saat itu, aku
nyobain yang lain. Misalnya, sampai yang paling fatal, aku pernah
mencolokkan obeng ke colokan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Parah. Pasti kesetrum itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kesetrum, terus aku lompat dan nangis. Kayak begitulah.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sampai aku kemudian dewasa, aku kenal komputer, aku merasa
jangan-jangan ini mainan aku yang paling benar. Jangan-jangan aku suka
ini. Jadi, mungkin itu asal mula aku tertarik dengan komputer.
Komputerku dulu juga bekas servisan orang.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ada yang lagi benerin monitor tabung, komponennya sudah enggak ada.
Orangnya ternyata penipu, jadi dia hilang tiba-tiba. Aku main <i>game</i>
saja di situ. Waktu itu aku pakai PS 1, TV cuma 1 di rumah. Dan ada
monitor itu. Terus aku pikir, “Bisa enggak, sih, TV-nya dialihkan ke
monitor itu.” Jadi, saat itu aku sudah mulai kepikiran untuk yang kayak
begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau mungkin, saat aku lulus SMA, terus aku cukup pintar, aku mungkin akan masuk <i>computer engineering</i>. Atau aku mungkin akan mengambil yang sejenis.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tapi, kan, kamu pintar. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Waktu itu, selain itu, juga, aku kan enggak punya uang untuk kuliah.
Banyak banget kepentingannya. Jadi, kayak. . .Mungkin kalau aku punya
uang lebih, aku akan masuk <i>computer engineering</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi <i>passion-</i>mu seperti ayahmu, ya. <i>Computer engineering</i>, untuk jurusan kuliah.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Mungkin itu. Dulu, ya. Pas aku lulus SMA, kalau aku punya uang,
aksesnya dekat, dan aku tahu di mana kampus yang punya jurusan ini
selain ke Bandung.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, waktu itu, satu-satunya <i>skill</i> yang aku punya saat meninggalkan rumah adalah bikin <i>website</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Pakai Adobe Dreamweaver?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Enggak lah, mewah banget itu. Aku pakai plain HTML. Dan waktu itu, itu jadi <i>skill</i>, aku datang melamar ke kantor. “Tapi kamu bisa bikin <i>website</i>?” Oke. Kayak begitu, proses yang aneh, tapi begitulah. Waktu itu, juga, kenal dengan ASCII Art. Untuk membayar <i>skill</i> gambarku yang jelek, aku jadi mengulik banyak soal ASCII Art, gimana cara bikin objek.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Seberapa cepat kamu dulu bikin satu objek gambar dalam ASCII Art?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Lupa, ya. Tapi seneng cari referensi di <i>website</i> orang, coba bikin sendiri, gagal, meleyot-meleyot, terus coba lagi. Kadang kangen juga sama prosesnya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Yang enak dari ASCII ini, aku enggak perlu <i>gear</i> yang mahal, atau komputer yang canggih untuk bisa grafis. Menurutku, itu keren banget.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kayak <i>game</i> 2D, kan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">He eh.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dari situ, aku mulai baca literatur tentang komputer dan ngobrol sama teman-teman yang enggak pernah aku temui.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Apa saja yang kamu baca?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i>Basic </i>aja. Buku-buku <i>how to </i>yang sifatnya lebih <i>practical</i> dan buat <i>survive</i>.
Cara bikin iklan, bikin logo, atau yang kayak begitu. Ngobrolin sama
teman, bagaimana tips bikin aplikasi sederhana, manajemen media sosial,
juga SEO. Tahun 2011, SEO baru masuk ke <i>agency</i>, jadi kerjaannya aneh banget. Ngumpulin <i>keyword</i>
banyak banget. Dan ganti-ganti dengan cepat. Apa yang aku pelajari bisa
berubah dengan cepat. Karena aku waktu itu masih 19-20 tahun, ya, masih
semangat belajar dan tahan banting.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sampai titik itu, aku punya keyakinan, “Whoah, ini adalah jawaban.” Kamu kerja, dan kamu diselamatkan oleh <i>skill</i> kamu di internet, di <i>website</i>. Jasa bikin <i>website</i>.
Jadi, waktu itu aku pikir, jawabannya, aku kerjanya mesti yang kayak
begini aja. Punya kesadaran kayak begitu. Makin jauh dari orang-orang,
pulang kerja langsung ke kosan buat belajar, menulis, baca, atau kalau
capek banget ya main <i>game</i>, besoknya kerja lagi, setiap Sabtu dan
Minggu hiburannya cuma bikin komposisi musik. Terus kesepian, tapi
enggak kerasa. Waktu sadar kalau aku sebetulnya kesepian, di situ aku
merasa kayaknya ada yang salah dari cara kerjaku dan aku mulai merevisi.
Mungkin di situ pertama kali aku memutuskan buat bikin jadwal yang
ketat dan disiplin dalam hal menulis dan membaca.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Pilihan estetik di buku puisi itu lebih ke situ, sih. Untuk
mengingatkan ke aku, ada zaman ketika aku merasa diselamatkan dari hidup
yang kayak begitu pakai <i>skill</i> seadanya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sumpah, aku kayak merinding mendengarnya. “Aku diselamatkan,” kayak. . .wow.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Makanya, ini berasal dari keyakinan itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Maksudnya. . .itu, kan, delusi ya, bahwa kamu bisa selamat dari teknologi. Itu, kan, salah ya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Enggak, itu benar banget, cara kamu menyimpannya dalam puisi. Aku <i>appreciate</i> banget.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, kalau suatu hari aku berpikir aneh-aneh, jadi <i>buzzer</i> misalnya, aku punya semacam pengingat ke diri sendiri.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">Mitos Usang “Teknologi yang Menyelamatkan”</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kendati sangat merasa dekat dengan teknologi, terutama serba-serbi
dunia komputer, keresahan Dio menyangkut pemanasan global dan perubahan
iklim, serta arahan ekonomi politik yang cenderung melihat kemajuan
ekonomi sebagai hal yang mutlak untuk dijalankan membuatnya merevisi
beberapa pandangannya terdahulu mengenai “kecanggihan teknologi”.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Berhubung kita membahas soal teknologi, bagaimana pandanganmu soal
pemikiran Unabomber— John Kaczynski, tentang teknologi akan membawa kita
ke suatu masa, dengan tidak adanya batasan segala macamnya?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Pertama, aku tidak sepakat dengan Kaczynski. Aku enggak percaya
teknologi bisa menyelamatkan manusia. Tapi, aku juga enggak percaya
bahwa semua teknologi harus dihancurkan, kayak yang dia tulis di <i>Industrial Society and Its Futur</i>e. Bahwa peradaban ini menuju ke hal yang buruk, dan harus di-<i>restart</i>
dari awal, aku enggak percaya itu. Yang aku percaya adalah kontradiksi
dari perkembangan teknologi dan dinamikanya dengan makhluk; dengan
manusia, hewan, dan tumbuhan. Dengan lingkungan. Kontradiksi itu yang
harus dijaga, untuk bisa terus <i>progress</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, kalau hari ini belum bisa, belum ada teknologi A, misalnya
masyarakat butuh mesin parut kelapa, teknologi harus bisa menjawab itu.
Enggak boleh keluar dari kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Supaya apa yang sudah diusahakan, riset dan segala macam yang sudah
dicurahkan di situ, enggak terbuang percuma. Kayak, bikin, misalnya,
mesin penggaruk punggung. Aku membahas isu ini banyak di <i>Mongrel</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Menurutku, hari ini teknologi didesain dan berkembang dalam logika yang perlu didesain ulang. Hampir semua <i>engineers</i>
dan desainer tumbuh dalam logika pasar dan kapitalisme. Yang berangkat
dari keyakinan bahwa mereka bisa membayangkan apa saja, di dunia yang
tidak terbatas. Padahal, ya, imajinasi memang tidak terbatas, tapi <i>resource</i> dan sumber daya alam terbatas banget.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, aku pikir penting untuk punya kesadaran bahwa, “Kita itu ada di
dunia yang terbatas, loh,” saat merancang suatu teknologi, supaya bisa
menjawab kebutuhan manusia dan non-manusia. Supaya enggak mubazir. Dan
kemubaziran ini, kan, yang jadi akar masalah perubahan iklim, ya. Jadi,
aku pikir penting untuk berpikir ke arah situ.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku bukan <i>engineer</i>, aku enggak pernah sekolah formal tentang
keinsinyuran. Tapi aku penggemar berat karya-karya mereka dan aku suka
baca buku-buku tentang itu. Makanya, dari kecil aku tumbuh dengan
kesadaran, teknologi harus bisa membantu manusia. Poinnya membantu itu,
bukan sentral.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Mungkin aku ketularan saja dari papaku. Dia kan orang yang kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Balik lagi aku tertarik dengan beberapa teknologi sudah dilupakan. Seperti <i>wifi</i> jarak jauh, <i>website </i>yang pakai tenaga surya. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Onno W. Purbo masih, tuh, pakai itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dulu aku juga baca buku-buku Pak Onno, banyak banget itu dulu di
Gramedia hahaha. Apa, ya, dalam konteks yang kita bicarakan hari ini,
saat terjadi <i>climate change</i>, soal beberapa teknologi yang dianggap <i>obsolete</i> atau kuno—itulah kenapa aku suka sama Soviet, sejarah teknologi di Soviet—kalau diletakkan di isu <i>climate change</i>, mungkin mereka justru menyimpan pengetahuan untuk membangun teknologi yang menjamin keberlanjutan manusia dan non-manusia.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Belakangan, sehabis Revolusi Industri, manusia jadi egois banget.
Sewaktu mereka bikin teknologi, mereka enggak menganggap spesies lain
penting, misalnya kayak hewan-hewan yang sudah didomestifikasi, kayak
kucing, anjing, sapi. Mereka jadi kategori <i>liyan</i>; makhluk yang lain.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Apa, ya, karena sudah ada dalam logika seperti itu dan secara
terus-menerus, akhirnya itu bikin kita jadi memisahkan diri dari alam.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Martin Burber sekali. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ada anggapan, kalau manusia punah, Bumi jadi lebih baik. Anggapan
yang cenderung narsistik, ya. Dan, aku pikir itu keliru. Harus ada
pemikiran bahwa itu bukan hal yang natural. Itu terasa natural karena
kita terbiasa saja.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Salah satu faktor, alasan, kenapa proses empati perlu ada di dalam
desain teknologi, saat mendesain sebuah teknologi, aku rasa lebih ke
situ, bahwa kita sudah terlalu lama menganggap kita spesial, manusia itu
spesial.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tapi, sulit juga, ya. Ini, kan, kita bahas soal etika. Kalau perkara
etis, aku enggak tahu bagaimana persisnya, tapi dua analis Etika di
Google saja cabut, padahal mereka, kan, representasi perusahaan gede.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Nah, berhubung kita sudah membicarakan soal <i>Mongrel</i>, saat ini
cerita bersambung ini sedang tayang di Kumparan. Kamu terbiasa
membagikan referensi bacaan ketika menulis suatu karya tertentu, selama
pengerjaan <i>Mongrel </i>ini, kamu baca apa, fiksi dan nonfiksi?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ursula Le Guin, <i>The Dispossed</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Octavio Butler, <i>Parable of the Shower</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i>Wings of Renewal</i>, antologi kisah-kisah naga.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i>Walkaway</i>, Cory Doctorow.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i>Vacuum Flowers</i>, pionir <i>cyberpunk</i>. Aku merasa perlu baca itu untuk perbandingan <i>cyberpunk</i> di sana apa masih setia. Perbedaan yang signifikan <i>cyberpunk</i> di Amerika, <i>western cyberpunk</i>,
dan yang ada di Jepang. Apakah itu bisa jadi metode yang efektif di
sini. Secara estetik, keren banget, bisa tuh dibikin, tapi apakah itu
bisa dibikin di sini?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aldous Huxley, <i>Island</i>. Orang-orang ngomongin <i>Brave New Word</i>, tapi Huxley keren banget menurutku.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Iya, aku juga suka Huxley, termasuk baca kiprah kakeknya Huxley—Thomas Henry Huxley—soal jadi <i>bulldog</i>-nya Darwin itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau nonfiksi, aku baca kebijakan <i>environmental</i> di era Stalin, judulnya <i>Environmentalism</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i>The Planiverse</i></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i>Computer Contact with a Two-Dimensional World</i></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Di dalam <i>Mongrel</i>, aku bikin interaksi dengan <i>higher dimension</i>. Itu juga kenapa aku baca ulang <i>Flatland</i> dan <i>The Planning Verse</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Itu sebenarnya novel, tapi kayaknya aku masukin itu ke dalam nonfiksi aja deh.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Beberapa bukunya Nick Dyer-Witherford, yang paling keren menurutku yang <i>Inhuman Power, AI and Capitalism</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Oh ya, aku suka banget bukunya Vijay Prashad, yang diterjemahkan Marjin Kiri, <i>Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku juga suka banget itu. Apa pengaruh buku itu di <i>Mongrel</i>?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Lebih ke membayangkan apa yang waktu itu kita rasakan. Dan ketika itu akan terjadi lagi. . .karena <i>Mongrel</i>,
kan, sebenarnya cerita tentang bagaimana para pekerja di kota balik
membangun sistem bernama paguyuban, semacam gerakan sosialisme akar
rumput yang secara aktif menghajar kapitalisme dan negara. Paguyuban itu
ceritanya ada banyak dan skalanya internasional. Bagaimana cara mereka
membangun jejaring itu? Jadi, banyak membantu soal <i>shift </i>persepsi
soal dunia, selain kalau misalnya katakanlah Soviet enggak runtuh, atau
kalau misalnya komunisme bisa dicapai pada tahap tertentu di tahun
2020, misalnya. Itu membantu untuk bikin memikirkan itu; apa yang
mungkin bisa diperbaiki; apa yang mungkin enggak, apa yang sudah bagus
dan apa yang enggak. Kira-kira kayak begitu aja.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Terus, terakhir, <i>Posthuman Ecologies</i>, Rosi Braidotti.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Selain buku-buku ini, aku juga baca kamu sering menerjemahkan. Dalam <a href="http://tentangdedik.blogspot.com/2015/04/wawancara-dengan-sabda-armandio-selama.html" rel="noopener" target="_blank">percakapan dengan Dedik Priyanto</a>, kamu menerjemahkan Kurt Vonnegut. Sekarang kamu menerjemahkan sesuatu juga enggak yang memberi pengaruh?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan kalau kamu menerjemahkan, apa yang jadi indikator karya sehingga kamu pilih untuk diterjemahkan?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sekarang aku sudah enggak menerjemahkan. Maksudnya, sudah jarang
banget, selain yang berkaitan dengan pekerjaan. Kadang, kangen juga
untuk mengerjakan itu. Jadi, jawabannya adalah, saat ini, saya sedang
enggak mengerjakan penerjemahan apa-apa. Beberapa proyek yang pernah di-<i>upload</i>, ya sudah, berhenti begitu saja.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Apa proses penerjemahan itu, kamu rasa, memberi pengaruh proses kamu menulis?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Lebih ke senang saja. Waktu baca, aku senang Kurt Vonnegut, dan aku
merasa cocok kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Atau, misalnya,
Dea atau siapa, sedang baca apa, dan merekomendasikan untuk baca
sesuatu, ya sudah, itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">Sastra yang Lebih Inklusif</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tidak terlalu memusingkan label “sastra” atau “bukan-sastra”, Dio
balik mengajukan pertanyaan dan gugatannya tentang definisi sastra,
bagaimana politik dihadirkan dalam dunia sastra, hingga tema-tema yang
relevan untuk dibicarakan dalam karya sastra hari ini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau terkait dunia penulisan secara umum, tadi kita bahas rencanamu bikin puisi dengan estetika ASCII, terus wahana <i>video game</i>, menurutmu apakah mungkin karya sastra hidup di medium di luar buku? Apa pandanganmu soal polemik <i>cybersastra </i>yang dulu terjadi?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Pertama, aku enggak mengerti sastra itu apa. Jadi, apa definisinya?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Definisimu sendiri soal sastra, apa?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, selain upaya kanonisasi untuk memperkuat imajinasi bahwa yang
dimaksud sebagai sastra Indonesia itu ada. Dan modelnya adalah
orang-orang yang ada di daftar kanon—Apa?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kedua, aku enggak mengikuti polemik <i>cybersastra</i>. Yang aku tahu
memang polemik itu sudah ada sejak 1990an. Saut Situmorang dan
kawan-kawannya pernah nulis soal ini di Cyber Graffiti, aku suka sekali
dan banyak dapat input dari situ. Tapi setelah itu rasanya enggak ada
publikasi dengan wacana serupa, ya? Atau aku yang enggak terlalu
memperhatikan? Aku enggak tahu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kamu senang ada di dunia <i>cyber</i> tanpa terlibat di <i>cybersastra</i>. Begitu, ya?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Iya, asyik aja membayangkan. Sastra sebagai seni tinggi, atau punya
lingkaran dan geng-geng di dunia nyata, mungkin nantinya akan jadi
enggak relevan, dan jadi enggak ngomongin itu lagi. Saat internet berada
di tangan warga dan kelas pekerja, kekuasan ‘sastra’ dan kanon ini
sudah enggak terpusat. Dan upaya monopoli yang paling sastra, siapa yang
paling sastra, cerita siapa yang paling bagus, atau kompetisi yang
toksik di dunia sastra itu, mungkin nanti jadi enggak relevan lagi.
Setiap orang membaca dan menulis yang mereka sukai, memberi kritik dan
apresiasi secara terbuka, jadi bisa dipelajari orang-orang yang peduli
dengan dunia literatur.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Saat ini mungkin yang aku bisa harapkan sebagai seseorang yang ada di
situ—menggunakan medium blog—adalah muncul kritikus-kritikus yang bikin
kritik tentang kenapa ini salah dan kenapa ini benar, yang lebih
konstruktif tentang sastra <i>cyber</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Seru banget, sih, itu. Harapan yang kayak begini, mendekonstruksi,
desentralisasi sastra kanon ini justru perbincangan yang lebih menarik
soal sastra <i>cyber</i>, kan!</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan, apa ya, kalau misalnya enggak ada kritikus, katakanlah, mungkin akan jadi <i>chaos </i>saja, mungkin akan jadi <i>noise</i> saja. Dan, dalam waktu dekat dan yang paling realistis, enggak semua yang terdesentralisasi itu kayaknya bagus.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Terus bagaimana, dong?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, aku enggak tahu. Setidaknya sampai distribusi kekuasaannya bisa
merata, sih. Aku enggak bisa membayangkan kalau tiba-tiba desentralisasi
sementara akses alat dan pengetahuan dan segala macam masih timpang.
Atau, ya, mungkin karena imajinasiku aja yang mentok.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Suatu hari mungkin akan ada, atau malah sedang berjalan, proses yang
seperti itu. Aku percaya sastra yang lebih inklusif, atau yang lebih
terbuka. Katakanlah, dulu <i>sci-fi</i>, horor, enggak masuk ke genre sastra. Jadi, semuanya boleh ditulis, dan bisa dibaca. Bisa dibaca sebagai teks.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Oke, tadi kamu menyebut soal dulu beberapa genre enggak masuk sebagai
sastra. Sementara, kalau teman-teman baca, kamu sangat genre banget.
Maksudnya, kamu suka <i>sci-fi</i>, terus <i>Mongrel</i> juga <i>cli-fi</i>, terus menulis juga genre detektif. Semua <i>genre</i>
itu kelihatan punya tempat khusus dalam karya-karyamu. Atau, di hatimu
mungkin, ya—aku enggak tahu, koreksi aku kalau aku keliru.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Bagi sebagian orang, tadi kita bahas juga, fiksi genre ini enggak
dianggap sastra. Sebagian lagi, seperti Bolaño justru bekerja dalam
fiksi genre, menulis fiksi detektif juga. Atau paling enggak, dia punya
imajinasi soal itu. Kalau pendapatmu sendiri soal pemilahan ini,
bagaimana?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Pertama, aku enggak peduli apakah <i>sci-fi</i> atau horor masuk sastra. Karena balik lagi ke definisinya apa, dan siapa yang kasih definisi?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kedua, aku suka <i>genre bending</i>, karena aku tumbuh dengan pikiran yang kayak aku ceritakan, dari kecil aku <i>mix and match</i> media, komik dan segala macam. Jadi, <i>sci-fi</i> sangat mewadahi keinginanku untuk itu. Itulah kenapa aku jatuh cinta sama <i>sci-fi</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau kamu baca tulisan-tulisan Ursula Le Guin, bahkan di dalam
fantasi butuh komitmen politik untuk memikirkan dunia hari ini, apa yang
dianggap normal, pikiran-pikiran heteronormatif, konsep keluarga
nuklir, dan membawa konsep-konsep normal itu ke dalam fiksi dan diubah,
bahwa itu bukan hal normal, bahwa masih ada alternatif lain yang mungkin
bisa lebih menarik atau enggak <i>harmful</i> buat orang lain.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i>Obviously</i>, dulu aku tertarik <i>sci-fi</i> karena <i>fancy</i>, teknologinya <i>fancy</i>,
gambar-gambarnya, dan segala macam. Atau idenya tentang dunia itu keren
banget menurutku. Tapi, kemudian, setelah berusaha belajar lagi. .
.apa, ya. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h2 style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">Sastra & Politik: Lingkungan Hidup dan Dunia Non-Heteronormatif</span></span></span></h2><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Selain menghadirkan lingkungan sastra yang lebih inklusif, baginya
sastra semestinya juga hadir untuk membicarakan persoalan-persoalan
mendasar hari ini: dari urusan lingkungan hidup, masalah kebangkitan
fasis, hingga ajuannya atas sastra yang lebih banyak mengedepankan
pengisahan dunia non-heternormatif.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kamu jadi lebih <i>concern</i> tentang lingkungan hidup. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">He eh, tentang lingkungan hidup. Terutama pas aku udah punya keponakan. Dua keponakan. Haha.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kemampuan imajinatif untuk terlibat di dalam realitas sosial dan
politik itu kemudian memberi pengaruh ke keputusanku untuk mencari
bentuk <i>sci-fi</i> apa yang cocok sama aku. Dulu aku baca Lovecraft karena senang dan merasa <i>resonate</i>
dengan ketakutannya, tapi kemudian ketika aku tahu dia rasis, dan
menyadari itu, jadi ada batasannya dulu, bahwa beberapa karyanya mesti
dibaca dalam cara yang seperti apa.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku enggak tahu, ya, maksudnya, kemampuan yang fantastis atau dalam
genre payung fiksi ilmiah secara umum, potensi radikal yang ada di
dalamnya itu justru ada di dalam hal-hal fantastis seperti itu,
bagaimana caranya untuk mengaktualisasikan dunia di luar realitas dari
yang kita jalani hari ini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Terus, lewat cerita fiksi ilmiah, spesifik kayak horor, aku melihat
sesuatu yang biasanya familiar jadi tampak lebih aneh dan jauh, dan
sebaliknya. Kalau, misalnya, mau menariknya lebih jauh, kesannya jadi
bisa dibaca sebagai menantang stabilitas kenyataan hari ini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, cerita-cerita dalam payung fiksi ilmiah itu menggagalkan
aturan-aturan yang disepakati kelas dominan atau kelas opresif hari ini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sangat spekulatif, ya. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau imajinasi sosial manusia Indonesia sudah dikebiri
bertahun-tahun sama Orde Baru dan penerusnya. . .aku merasa buatku
cerita-cerita fantastis itu jadi masuk akal, untuk keluar dari pikiran
yang buntu itu, untuk keluar dari imajinasi yang dikebiri itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Jadi, kalau kata Arundhati Roy, <i>another world is possible</i>, ya kita bisa tulis itu di dalam karya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Oh, kamu <i>possibilist</i> juga, ya. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dalam banyak hal, aku kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan begitu, sih, lebih membuka peluang tentang dunia baru dan
bagaimana cara membacanya secara kritis. Walaupun aku bisa bilang aku
cukup pesimis, tapi pesimisnya dalam arti kemudian aku bukannya enggak
melakukan apa-apa. Aku lebih ke. . .ya, aku sudah ada di kondisi begini
di hari ini. Mungkin di masa depan ada orang yang cara berpikirnya lebih
baik lagi dibanding aku. Tapi, paling enggak, cerita fantastis atau <i>sci-fi</i>-ku saat ini punya tawaran itu, kemungkinan lain yang kelak bisa dibaca untuk membaca kondisi hari ini.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan kalau yang kayak begitu bukan disebut sastra, aku enggak tahu terus fungsinya apa?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku berkali-kali mendengar politik darimu. Aku jadi pengin tahu, apa pandanganmu tentang sikap politik dalam sastra?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Bagaimana kamu menilai kecenderungan prosa Indonesia mutakhir yang
banyak mengangkat isu politik kemanusiaan, apakah karya-karya itu
terbaca telanjang di matamu? Apakah kamu punya pandangan tertentu soal
bagaimana politik hadir dalam sastra?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Selain tadi, kamu kan <i>ngasih</i> referensi banyak banget, tuh. Tapi kalau pandanganmu sendiri, sehingga kamu tuangkan dalam karya, itu seperti apa?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Pertama, cerita-ceritaku, biasanya aku berangkat dari kesadaran bahwa
aku pengin bikin cerita tentang kesaksian orang, saksi mata, jadi dia
lewat pengakuan-pengakuan naratif, akan melihat itu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dari korban atau juga dari penguasa, atau?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dari korban.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan, itu akan mengembangkan arahnya ke program jangka panjang. Jadi,
dalam urusan politik, aku selalu berpikir tentang jangka panjang. Aku
pikir, merespons isu-isu kemanusiaan tanpa memberi <i>stance</i> politik yang jelas cuma akan menambah <i>noise</i>
dalam diskusi tentang situasi hari ini. Atau, yang aku selalu
khawatirkan, dan belakangan aku benar-benar takut, adalah memberi
impresi yang salah ke pembaca.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Misalnya, sederhana saja, iya betul bahwa beberapa penulis <i>concern</i>
ke pembantaian PKI 1965, atau isu kemanusiaan lainlah. Tapi sekaligus
mereka secara aktif melanjutkan propaganda antikomunisme khas Perang
Dingin dalam selubung kemanusiaan atau apalah. Aku enggak tahu apa
alasannya.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tapi, jadi muncul pertanyaan, katakanlah partai komunis betulan ada,
atau ada partai progresif yang berpihak ke kelas pekerja, atau
orang-orang tertindas. Atau, enggak usah partai, deh, misalnya
gerakan-gerakan yang mendorong perubahan sistematik secara masif, apakah
penulis-penulis ini atau tokoh-tokoh publik ini mau menyerahkan kepala
mereka buat dipenggal karena mereka misalnya cukong atau mereka punya
urusan sama pemerintah, atau mereka punya banyak tanah, misalnya? Apa
mereka mau mengorbankan sejauh itu?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kedua, enggak ada yang lebih menyedihkan dari situasi politik dan
dunia hari ini. Karena di saat ini, informasi jadi lebih gampang
didapat. Itu bikin aku jadi pesimis secara politik. Tapi penting untuk
membedakan pesimisme yang aku rasakan dengan menyerah. Kalau aku ngomong
tentang pesimisme, aku enggak maksud aku enggak semangat lagi atau aku
sudah mau menyerah. Tapi, karena informasi sudah semakin mudah, segala
tantangan yang dihadapi orang-orang, kan, jadi gede banget. Dan aku
pikir perlu siasat lain selain mengolah situasi politik aktual ke dalam
fiksi. Aku enggak tahu apa formatnya dan aku belum ngerti.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Karena, begini ya, kecenderungan politik Indonesia, misalnya,
pemerintah menghadapi pandemi saja. Semakin mereka sadar negara masuk
krisis, mereka justru enggak aktif. Mereka justru balik, apa ya
istilahnya, jadi lebih dekaden. Jadi lebih sadis—penindasan yang
dilakukan lebih jelas terang-terangan ke orang-orang yang ekonominya
lemah.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Makin despotis, ya. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Iya. Dan. . .apa, ya. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku malah jadi kayak bikin slogan, bukan kayak <i>interview</i>.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, pandanganmu secara umum kegambar banget, sih, menghadapi pandemi sekarang, bagaimana menuangkannya dalam karya. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kita, tuh, ada di tahun ketika menjadi fasis jadi menarik banget,
dibandingkan sejak tahun 1930. Maksudnya, tahun 1930 sudah ada ide kayak
begitu, dan sekarang jadi tahun yang paling subur untuk memikirkan,
“Wah, ide fasis jangan-jangan oke. Jangan-jangan, ini adalah jawaban.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Dan kita, kan, enggak mau kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Maksudnya, kalau melihat tren, katakanlah, partai-partai <i>centrist</i>
di Eropa, kan, sudah mulai tumbang. Kemarin sebelum Biden, ada Trump,
terus ada massa 212, mungkin kamu juga ingat soal Rizieq, bagaimana
dukungan soal Rizieq penuh, relasi sokong-menyokong khilafah, terus
Biden kepilih, terus sanksi-sanksi di Kuba makin diberatkan, terus orang
kayak Bolsonaro justru punya peran. . . .</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, betul, pandemi ini mengekspos betapa bobrok kapitalisme,
misalnya. Atau betapa bobrok sistem yang ada saat ini. Tapi, situasi
5-10 tahun ke belakang juga menguntungkan ideologi yang opresif,
ideologi kanan. Jadi, ya itu tadi, aku bakal bilang, jadi. . .seram aja,
misalnya melihat anon (anonim) di Twitter, dia tertarik sama ide-ide
fasis, atau ide-ide neo-fasis. Atau di Ukraina, neo-fasis lagi
gede-gedenya banget, lagi kampanye.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku seram, sih. Dan aku berangkatnya dari situ aja—ketika aku mau
merespons isu politik, apakah itu akan berpengaruh dalam jangka panjang?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Artinya… mungkin itu memang cuma fiksi, ya, tapi mungkin bisa
diperiksa sebagai dokumen sejarah; apakah akan bisa ada gunanya untuk
nanti, atau itu cuma reaksi aku sebagai orang yang lihat situasi hari
itu dan itu cuma akan jadi <i>noise</i> saja?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku lebih hati-hati aja di situ, pas punya kesadaran kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kalau tanggapanku pribadi soal itu, bagaimana kamu memilih <i>stance </i>untuk dihadapkan ke <i>follower</i>-mu, itu sudah baik. Maksudnya, kamu sudah tahu, “Oke masa depan akan jadi sefasis itu.” Kamu kayak, “Gue enggak mau <i>follower</i> gue melihat gue sebagai sosok yang mendukung itu, maka gue tunjukkan <i>stance </i>gue.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, aku lebih ke situ. Apalagi soal polemik belakangan di dunia
kepenulisan juga lebih mengarah ke. . . bahwa semua orang pengin dilihat
netral. Padahal, enggak. Bahkan, ketika kamu terlihat netral, kamu lagi
memihak ke yang lebih kuat.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ya, ketika kita apolitis, itu adalah pilihan politik sendiri.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Oke, karena sudah mau dua jam, pertanyaan terakhir dan pertanyaan
pengandaian, jika kamu dipilih menjadi kurator seri terbitan oleh sebuah
penerbit, apa saja tema yang menurutmu paling menarik dan relevan hari
ini?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Pertama, perubahan iklim. Pendekatan, cara orang membayangkan
perubahan iklim itu, kayak bagaimana, sih? Dari tadi aku ngomongin soal
aku terus, aku pengin tahu orang lain melihatnya kayak bagaimana.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kedua, kebangkitan fasis. Cara orang merespons itu kayak bagaimana?</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Ketiga, dunia non-heteronormatif. Maksudnya, dunia yang kalian anggap
aneh dan selama ini kalau diungkapin ke orang itu bakal bikin kamu
dijauhi orang-orang, ya udah, ceritain aja. Enggak apa-apa. Aku pengin
baca tema-tema kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Keempat, mungkin tentang kelas pekerja dan gerakan perempuan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kelima, mungkin tema-tema cerita yang lebih santai aja, sih. Tema-tema yang menggambarkan dunia yang santai itu kayak bagaimana.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Karena, kayak. . .sudah kena pandemi, terus diminta membaca cerita suram. Hm, “coba. . .kasih saya cerita yang lebih santai.”</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">MICHELLIA</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Terima kasih, Sabda Armandio, untuk wawancara selama dua jam ini.
Semoga semua pandangan politik ini bisa jalan terus untuk jangka
panjang, dan semoga ada yang mau ambil tema-tema buku ini untuk
dibukukan.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">DIO</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Aku akan sangat senang kalau ada yang mau DM, kalau mereka punya proyek kayak begitu.</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Mau baca, sih.</span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tulisan ini tayang juga di situs web kritik sastra DKJ, <a href="http://Tengara.id" target="_blank">Tengara.id</a>. </span></span></p>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-14275327243340977152021-07-28T11:45:00.016+07:002021-08-24T12:12:24.092+07:00Mengunjungi Buku Cerita Anak Lawas<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-ID</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="false"
DefSemiHidden="false" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="376">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="header"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footer"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of figures"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope return"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="line number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="page number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of authorities"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="macro"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="toa heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Closing"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Message Header"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Salutation"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Date"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Note Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Block Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="FollowedHyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Document Map"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Plain Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="E-mail Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Top of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Bottom of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal (Web)"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Acronym"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Cite"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Code"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Definition"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Keyboard"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Preformatted"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Sample"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Typewriter"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Variable"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Table"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation subject"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="No List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Contemporary"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Elegant"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Professional"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Balloon Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Theme"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" QFormat="true"
Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" QFormat="true"
Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" QFormat="true"
Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" QFormat="true"
Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" QFormat="true"
Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" QFormat="true"
Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="41" Name="Plain Table 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="42" Name="Plain Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="43" Name="Plain Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="44" Name="Plain Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="45" Name="Plain Table 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="40" Name="Grid Table Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="Grid Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="Grid Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="Grid Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="List Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="List Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="List Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hashtag"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Unresolved Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Link"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri",sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Perkenalan saya
dengan dongeng dan fabel bermula dari cerita ayah dan ibu setiap petang, mereka
bertukar peran untuk mendongeng (yang hebatnya, mereka hafalkan), juga
terkadang nenek (yang bukan membacakan, melainkan menyanyikan kisah tentang
katak), dan ketika saya sudah cukup umur untuk membaca sendiri kisah-kisah
tersebut, maka dimulailah petualangan saya dengan beberapa buku cerita anak.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #3d85c6;"><b><i><span lang="IN">Panchatantra</span></i></b></span><span lang="IN"> adalah teman pertama yang menumbuhkan
rasa sayang, saya bawa ke mana pun, dan membuat saya menangis di jok belakang
mobil saat membacanya karena salah satu ceritanya yang menyentuh. Tahun 1996
lalu, versi bahasa Indonesianya saya peroleh dari sebuah toko buku kecil dengan
rak-rak berdebu di Denpasar. </span><a href="https://en.wikisource.org/wiki/The_Panchatantra_(Purnabhadra%27s_Recension_of_1199_CE)" target="_blank"><span lang="IN">Versi gratis berbahasa Inggris dari fabel
tipis</span></a><span lang="IN"> dari wikisource ini
kurang-lebih sama dengan yang saya baca dulu. Meliputi lima payung besar cerita
yang saling terkait tentang kehidupan hewan. Barangkali setara dengan fabel
Aesop. Dari buku ini, kita dapat belajar kejiwaan manusia; sikap persahabatan,
kelicikan yang tersembunyi dan bagaimana menghindar dari petaka yang
disebabkannya, hingga pentingnya bersikap cerdik dan hati-hati.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kawan selanjutnya
adalah <b><i><span style="color: #3d85c6;">Mahabharata</span> </i></b>dari RA Kosasih (Penerbit Erlina). Komik
wayang hitam putih tebal dan berukuran besar ini diberikan ayah karena dia
sudah bosan saya mintai mendongeng tentang kisah panca pandawa sebagai dongeng
sebelum tidur. Gubahan oleh RA Kosasih ini sudah diterbitkan sejak tahun
1950-an, mengambil cuplikan kisah dari <span> </span>Adiparwa, salah satu bagian dari Astadasaparwa
(delapan belas bagian) epos Mahabharata yang dikarang oleh Bhagawan Byasa.
Bermula dari Dewi Gangga yang melahirkan Bhisma, hingga ke kehadiran lima
pandawa dan seratus korawa. Darinya saya belajar tentang <i>karmaphala</i>,
konsep mengenai karma (sebab-akibat) yang berlaku dalam kehidupan. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dua buku itu dari
masa taman kanak-kanak hingga awal sekolah dasar. Setelahnya, ada begitu banyak
buku cerita anak yang sama menariknya. Dari buku-buku cerita bergambar yang
saya sudah tak ingat lagi apa judulnya atau siapa pengarangnya hingga banyak
judul populer lainnya yang sepertinya masih digandrungi hingga saat ini. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Komik <span style="color: #3d85c6;"><b><i>Mafalda</i></b></span>
karya Quino (Kepustakaan Populer Gramedia, 2009) saya temukan belakangan, saat menggandrungi
blog sastra Amerika Latin & Iberia (Sastra Alibi) yang diasuh Ronny
Agustinus di masa-masa awal kuliah di Yogya satu dasawarsa lalu. Generasi saya
mungkin adalah generasi yang sudah muak dengan hipokritnya penyelenggara
negara, dan karenanya beberapa kawan yang sangat politis justru memilih berada
di garis apolitis. Komik yang bisa dibaca oleh segala kelompok usia ini
tampaknya bisa menjadi <i>antidote</i> bagi pahitnya kenyataan politik ini. Humor-humor
politik bocah ini jenaka, lincah, dan begitu mengalir. Ini membuat saya
membayangkan bagaimana jika kita punya generasi muda yang melek politik dan
bisa menyampaikannya dengan jalan sesantai (alias seringan dan seasyik) Mafalda?
Dan tentunya, saya membayangkan, bagaimana jika saya dan kawan-kawan sepantaran
saya sudah membaca buku ini sedari kami kanak-kanak dulu?</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Lebih belakangan
lagi, sekira tahun 2018 lalu, Penerbit Ultimus melibatkan saya dalam sebuah rencana
penerbitan ulang, untuk menyunting buku <b><i><span style="color: #3d85c6;">Pak Supi: Kakek Pengungsi</span> </i></b>(Penerbit
Ultimus, 2018), cerita anak karangan S. Rukiah Kertapati yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka tahun 1958. <i>Pak Supi</i> berkisah tentang gerombolan anak yang
bertemu seorang kakek misterius, yang terlilit masalah dengan para tetangganya
yang memfitnahnya, tetapi lantas mendapatkan pembelaan dari para bocah
petualang yang menyaksikan banyak peristiwa ini, menguntit sang kakek bak
detektif partikelir. Rukiah rupanya pernah mengasuh majalah anak-anak, Majalah
Kutilang, yang terbit di tahun 1960-an dan bersamaan dengan itu dia juga menerbitkan
banyak judul buku anak, di antaranya <i>Si Lenting Kuning</i> dan <i>Sekumpulan
Cerita Bunda</i>. Membicarakan kiprah S. Rukiah Kertapati dalam kerangka “buku
cerita anak” rasanya bisa menghasilkan satu telaah khusus tersendiri, dan
mungkin rekomendasi “lima judul buku cerita anak” tersendiri.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Saat pandemi ini,
saya bertukar surel dengan kawan lama, yang menceritakan betapa gembiranya dia
menemukan buku yang dia sukai dan dibacanya saat SMP dulu, <b><i><span style="color: #3d85c6;">Undangan dari
Planet Mars</span> </i></b>(Gramedia Pustaka Utama, 1974). Karena penasaran, maka saya
memesannya dari <i>marketplace</i>. Buku ini adalah terjemahan bahasa Perancis
oleh Sundari Hoesen dari karangan Philippe Ebly, <i>Et Les Martiens Inviterent
Les Hommes</i>. Tentang geng remaja yang suka sains, terlibat dengan profesor
dan piring terbang, beberapa dasawarsa lebih dulu mereka dengan antusias ingin
mengunjungi Mars dibandingkan Elon Musk dan SpaceX-nya. Yang menariknya lagi,
buku ini adalah buku nomor 36 dalam seri bacaan bermutu, Seri Elang, yang dulu
digagas GPU. Saya jadi tertarik mengumpulkan satu per satu buku-buku cerita
anak dalam seri ini.</span></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"><span></span><span></span></span></span></span></p><a name='more'></a><span style="font-size: small;"> </span><p></p>
<p></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Tulisan ini tayang juga di laman <a href="https://www.facebook.com/pulauimaji/posts/378564133890716" target="_blank">Facebook Yayasan 17.000 Pulau Imaji</a>.</span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"></span></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><iframe allowfullscreen="" class="BLOG_video_class" height="398" src="https://www.youtube.com/embed/_lky-7Pb_8Y" width="480" youtube-src-id="_lky-7Pb_8Y"></iframe></span></div><span style="font-size: small;"><br /><span><br /></span></span><p></p>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-81137548345959523532021-06-02T17:32:00.005+07:002021-06-02T18:19:54.543+07:00Rahasia dari Kramat Tunggak<p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">DIA menutup pintu apartemen. Tubuhnya lebih letih dari hari-hari yang lain,
tapi begitu melihat tumpahan bir dan botol-botol yang tergeletak di lantai, dan
asbak dengan belasan puntung rokok di meja makan, dia merasa sanggup membanting
apa saja.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Saat membanting pintu kamar, dia sempat mendengar suara kasur reot,
genjotan demi genjotan dan lenguhan demi lenguhan dari kamar sebelah. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sudah ratusan kali dia ingatkan ibunya untuk tak menjajakan tubuh di hunian
mereka. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Enam bulan lalu, kabar buruk itu datang di lapo langganan mereka, saat dia
sedang khusyuk mengunyah babi panggang Karo favoritnya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Bantu Ibu,” pinta ibunya saat itu. “Kita lunasi utang ke para rentenir
itu,” sambil mengunyah babi panggang, sang ibu dengan yakin ingin melanjutkan
profesi lawasnya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Merasa tidak perlu memberi persetujuan, dia menyudahi obrolan itu, “Ibu
selesaikan urusan Ibu sendiri. Ini bukan utang yang harus aku tanggung.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Lamunannya terusik ketika perempuan itu memanggil nama Tuhan dari ruangan
sebelah, lantas berteriak kesetanan. Ibunya, dan pelanggannya yang entah siapa,
kembali bergulat seperti hewan liar, seperti malam-malam sebelumnya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Ibumu ini dulu primadona Kramtung,” ujar ibunya bangga saat dia beranjak
dari kursinya. “Kita bisa dapat banyak.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dahinya mengernyit. Dia bisa menghidupi dirinya sendiri, bahkan dialah yang
selama ini membayar sewa rumah kontrakan mereka. <i>Dapat banyak?</i> Dia tak
merasa butuh lebih! </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia kepalang gengsi meminta penjelasan bagaimana bisa ibunya berutang
banyak. Dia merasa dialah yang selama ini bekerja paling keras. Yang dia tahu, dia
tak ingin punya urusan dengan Kramat Tunggak. Meski tak
betul-betul mengingat semua detail masa kanak-kanaknya di sana, dia tahu itu
bukan masa-masa yang indah untuknya, juga untuk ibunya.<span> </span></span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Saat lebih dewasa dia tahu bahwa Kramat Tunggak adalah mantra yang
mewujudkan keajaiban Jakarta. Dengan duit dari lokalisasi itu, gubernur
membiayai sebagian pembangunan, dari jalan tol ibukota sampai kompleks kesenian
Taman Ismail Marzuki.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tapi baginya segala polesan informasi dan pembenaran itu tak memperbaiki
apa pun. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Aku masih cantik dan tidak perlu kerja terlalu banyak.<span> </span>Tiga tamu sehari cukup untuk bayar utang dan
membiayai hidup kita,” Ibunya masih berusaha memberi penjelasan.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Kramtung itu masa lalu kita!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Kita enggak kembali ke sana!” tegas ibunya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dan, di sinilah mereka, pindah ke tower apartemen yang disewa per bulan di
Kalibata. Dia terus menunjukkan keengganannya, tapi seperti yang sudah-sudah, dia mengikuti
keputusan ibunya. Untuk membayar biaya apartemen, dia harus merelakan tabungan
biaya semesteran kuliahnya ludes. Sembari memaki dalam hati, dia pindah ke
Kalibata dengan berbagai prasangka buruk.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dengan lidah pedasnya dia sebut tempat itu Taman Hidung Belang. Tempat itu
ramai, semua jenis manusia tinggal di sana; para pekerja kantor, juga pedagang,
juga pelajar, juga bandar, juga pekerja seks. Sebutan tempat itu apartemen,
mentereng, dengan pusat perbelanjaan, dan kedai kopi, dan lapangan basket, tapi
tempat itu juga sarang nyawer dan jajan lendir, markas bandar gelek dan
pengedarnya, tempat seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 8 karena patah
hati. Ringkasnya: tempat itu <i>kolong dunia</i><i> </i><i>terkutuk</i>. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Semua itu cocok jadi amunisinya jika sewaktu-waktu mesti melontarkan
amarah, “<i>Kenapa kita pindah ke tempat terkutuk ini?!</i>”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Di pagi saat mereka pindahan, seorang pria berusia sepantarannya sedang
bugil menggedor-gedor pintu kamar sebelah. Tampak mabuk, si pria bugil
tersenyum menyapa ke arah mereka, “Wah, tetangga baru. Sori, gue dikerjain
orang-orang sinting di dalam karena kalah taruhan.” Sambil memegang karton
bekas untuk menutupi selangkangannya, ia sibuk menggedor dan menggedor.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Kamar sebelah ditempati lima orang buruh yang bekerja untuk kontraktor di
kamar sebelahnya lagi. Pergi pagi, pulang larut malam dengan berpeluh-peluh dan
pakaian dekil berlumpur. Kepulan asap rokok mengisi sepanjang lorong saat
mereka bersantai di petang hari. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Mendapati tetangga semacam itu, dalam hitungan hari, dia justru merasa
betah. Dengan cepat dia mengakrabi mereka, berbagi bungkus rokok atau saling
pinjam korek dengan si pria bugil dan teman-teman buruh dan kontraktornya.
Sempat pula salah satu buruh menawarinya pil koplo, tapi dia menolak dengan
halus. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sementara itu, ibunya berjejaring dengan lebih cepat lagi. Walau tak muda
lagi, tamu yang butuh layanannya terus bertambah, dari oom-oom bau domba sampai
bocah SMA bau kencur. Ibunya memang masih molek. Tapi dia tahu betul ibunya
akan butuh riasan, pakaian baru yang cukup bagus, ataupun pakaian dalam seksi
yang membangunkan hasrat nakal lelaki paling alim sekalipun. Dia tahu ibunya
butuh uang darinya sebagai modal.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sehari diniatkannya melayani tiga pria, meski
tak selalu begitu karena pelanggannya datang manasuka, semestinya mereka
bisa tajir. Tapi karena ini upaya mendadak demi membayar utang, dan karena dia
tidak pernah benar-benar setuju akan keputusan ini, dia berserah saja saat
semua penghasilan masuk ke rekening ibunya. Dia hanya dapat ampas-ampasnya:
lenguhan, jeritan, barang-barang terdengar berjatuhan, dan kegiatan
beres-beres.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Kali ini, dia tidak membantu beres-beres. Dia terlalu lelah untuk memulai
ritus bertengkar.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tamu terakhir ibunya pulang pukul 2 pagi. Namanya dipanggil karena ibunya
tahu dia masih mengetik. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Tadi Ibu beli nasi padang buat kamu. Kok, masih utuh? Enggak enak, lho, kalau
basi.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sementara si anak menyendok nasi padangnya, si ibu yang masih segar seusai
melayani tiga pria pergi keluar membawa bungkusan plastik besar berisi sampah. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Seisi ruang apartemen sudah bersih, seolah tidak pernah dipenuhi asap rokok
atau tumpahan bir. Tapi tetap saja, tempat itu berbau apak. Dinding-dindingnya
dingin berjamur.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Hingga nasi padangnya tandas, ibunya masih di luar. Tahu kebiasaan
ibunya untuk menikmati dini hari dengan menelusuri jalan, dan dengan jalur
berbeda-beda setiap kalinya, dia menyalakan televisi dan memutar film sembari
menunggunya kembali.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Kualitas keping DVD bajakan baru ini buruk sekali. Andai punya cukup waktu,
dia ingin mengajari ibunya mengunduh film bajakan dari <i>torrent</i> agar
tidak harus memandangi tontonan kualitas rendah begini.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tapi mereka sama-sama sibuk. Saat lulus SMA, dia hampir tak lanjut kuliah.
Mengirim anak perempuannya ke kampus memang impian sang ibu, tapi uang adalah
penghambat segalanya. Dia bekerja menjadi SPG di mal, dengan izin yang
diberikan ibunya dengan berat hati. Dua tahun kemudian, setelah menderetkan
kampus-kampus swasta murah, dan dengan tabungan hasil kerjanya, dia akhirnya
berani mendaftarkan diri.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia mengambil jurusan akuntansi supaya saat lulus bisa cepat mendapat kerja
lagi. Semula dia merasa lebih cocok dengan seni rupa, tapi ibunya menyanggah
minatnya, “Jurusan itu hanya untuk anak-anak orang tajir yang enggak butuh
lihat duit lagi.” </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sementara ibunya bekerja jadi buruh cuci untuk tiga rumah tetangga dan
menitipkan masakan di kantin kampus, dia tetap bekerja paruh waktu di kafe
bilangan Cikini, dekat wilayah mereka tinggal. Dari sana dia mendapat
uang untuk membayar tagihan-tagihan di rumah dan membiayai penuh
perkuliahannya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Hidup berdua dengan kebutuhan tidak banyak, dia sebenarnya masih bertanya-tanya,
bagaimana mungkin ibunya dikejar-kejar rentenir? Bukankah dia mencicil
biaya kuliahnya sendiri? Selain paruh waktu di kafe, dia juga mendapat upah
dari mengetik transkrip untuk dosen fakultas sebelah. Namun, lantaran gengsi
untuk terlalu peduli, dia memutuskan untuk tidak bertanya lagi.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia sadar betul mereka miskin. Sejak kecil, dia diajak
berpindah-pindah tinggal dari satu gang kumuh ke gang kumuh lain, dari pinggir
sungai ini ke pinggir sungai itu, berkawan dengan bocah-bocah preman sepenjuru
Jakarta. Dia tak sempat menanyakan mengapa mereka miskin, di mana ayahnya, dan
bagaimana bisa ibunya melonte di Kramat Tunggak.</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span></span></span></span></p><a name='more'></a><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"> </span></span><p></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">SAAT pulang pukul 4 pagi, ibunya membawa bungkusan belanjaan dari pasar;
bahan-bahan untuk memasak sayur lodeh dan seekor ayam yang dipotong empat
bagian. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Hari ini kita makan enak lagi,” ujarnya sambil membantu ibunya
mengeluarkan bahan masakan ke meja lalu mencuci sayur dan ayam.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Tamu terakhir menyelipkan bonus cepek-ceng sebelum pergi,” jawab ibunya
tersipu. “Kerja di hotel, <i>shift </i>pagi, jadi dia pulang buru-buru.
Katanya, biar ketemu bininya dulu.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Tadi sebelum pulang, aku beli selusin pak kondom lagi, sudah kutaruh di
laci, bayarnya nanti saja kalau aku butuh duit. Ibu jadi cek ke Puskesmas?” </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Beberapa pekan ini, ibunya mengeluh sering keputihan dan mereka khawatir
ada kista atau malah rajasinga. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tidak diperantarai oleh germo, ibunya tahu dirinya harus bertindak mandiri.
Ibunya menyimpan catatan harian berisi nama-nama pelanggan dan profil
ringkasnya. Karena terbiasa melakukannya sejak di Kramat Tunggak dulu, ibunya juga
mencatat gaya seks apa, berapa lama durasinya, berapa kali mengganti gaya,
apakah tamunya menolak menggunakan kondom, apakah tamunya memaksa memuncratkan
air mani di mulutnya atau mau <i>bukkake</i>, hingga catatan masa suburnya dan
hasil cek kesehatan berkala di Puskesmas, dan terutama, catatan khusus jika ada
sesuatu yang terasa janggal. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Kalau bisa energik seperti hari ini, sepertinya tidak sampai sifilis.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Energik,” dia mendengus. “Bukan energik lagi, Ibu tadi berteriak
kesetanan. Aku hampir mau mendamprat.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Ibunya tertawa lantang. Rona wajahnya tampak cerah, dengan keringat tipis
di dahi. Padahal, pekan lalu ibunya menggigil di balik selimut dan dia sampai
bolos kerja demi mengompres dahinya setiap beberapa jam. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia ingat, saat demam begitu, ibunya meracau tentang Kramat Tunggak.
Barangkali mengulangi profesi ini membawa banyak ingatan dari masa lalu.
Berkali-kali pula ibunya salah memanggil nama anaknya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Ibu terus menyebut nama orang dan Kramtung.” </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia dibesarkan dengan sedikit informasi, dan selama ini dia tidak peduli,
tapi kali ini dia merasa ingin mendengar ibunya bercerita tentang masa lalunya.
</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Jadi, bagaimana ceritanya Ibu dulu sempat di sana? Dan mengapa akhirnya
berhenti?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Setahunya, usia pensiun lulusan Kramat Tunggak mestinya sekitar 35 tahun.
Tetapi, dia lahir saat ibunya berusia 26 tahun dan dia tak punya ingatan tumbuh
besar sebagai anak primadona. Mereka tinggal di Kramat Tunggak hingga usianya
enam tahun. Saat itu ibunya bekerja menjadi buruh cuci untuk warga di sana.
Baru saat lebih dewasa, dia tahu ibunya pernah menjadi bagian dari pekerja seks
Kramat Tunggak, dan bahwa ibunya primadona, dan betapa legendaris tempat
tinggal masa kecilnya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Potongan-potongan besar labu siam, terong, tomat, kacang panjang, melinjo,
ebi, dan gelondongan jagung muda dituangkan ke panci. Ibunya mulai mengolah
potongan-potongan ayam yang sudah direndam di baskom. Pukul 6 pagi, sajian
sudah siap di meja. Nasi hangat mengepul. Janji ibunya untuk bercerita
membuatnya duduk manis dan segera menyendok nasi dan sayur lodeh yang baru
matang ke piringnya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tapi, ibunya justru memulai cerita dengan pengakuan; bahwa mereka tidak
pernah dikejar-kejar rentenir. Uang yang dihimpun dari tamunya selama enam
bulan ini bukan untuk membayar utang, tapi untuk mengumpulkan dana kabur ke
luar negeri, modal mereka ikut agen buruh migran. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Bu, sebentar lagi aku lulus kuliah. Kita bakal naik derajat. Aku bakal kerja di
bank, dan nanti gajiku puluhan juta sebulan. Buat apa lagi kita
cari kerja ke luar negeri?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Duit jadi buruh migran lebih tinggi, Nak,” ujar ibunya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Ya, dan risikonya juga. Ibu enggak nonton berita ratusan TKW negara kita
pulang tinggal nama? Banyak yang mati disiksa, banyak yang diperkosa.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Begini, kamu ndak usah jadi pembantu. Ibu saja yang kerja begitu. Kamu lanjut
kuliah S2... atau kamu cari kerja dengan ijazahmu. Dengan begitu, kita malah
bisa saling jaga.” </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Kalau Ibu mau duit banyak, Ibu lanjut saja melonte, dan lulus kuliah nanti aku kerja
di bank. Aman, kan?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Kita pindah."</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Bu!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Ayahmu,” ibunya akhirnya mengakui. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Dia tahu kita di mana, dia sinting dan bisa melakukan segalanya. Ibu ndak mau
menakut-nakutimu, tapi Ibu yakin dia mau bunuh kita.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Ayahnya, pria yang tak pernah ditemuinya sepanjang hidupnya. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Beberapa kali dia bertanya, dan ibunya selalu menjawab dengan cerita
berbeda. Terkadang dibilangnya ia bekerja jadi kontraktor ke luar kota dan tak
pulang-pulang lagi, atau kabur menikahi perempuan lain, dan kali terakhir,
telah mati tertabrak truk. Dan sekarang ibunya tiba-tiba menghidupkan ayahnya
dari kematian. Dia bukan Yesus, kan? </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Aku enggak merasa kita perlu kabur dari lelaki pengecut,” dia menyendok nasi lodehnya.
“Kalau dia benar masih hidup, dia enggak punya alasan untuk tiba-tiba datang
setelah 22 tahun hilang! Dan mau membunuh kita? Yang benar saja!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Dia akan keluar dari penjara bulan ini.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br /></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">KRAMAT TUNGGAK, 1988, bukti pertama ayahnya bisa melakukan segalanya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Lampu-lampu sudah dipadamkan. Hingar-bingar musik dangdut yang sejak sore
memekakkan telinga telah digantikan suara tetes hujan. Seorang pria muncul di
teras depan sebuah rumah bordil dan melepas topi distronya. Begitu masuk ruang tengah,
dia segera menuju meja germo. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Kancut! Barang dahsyat begitu lu umpetin!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia baru mendengar dari cerita teman-temannya yang juga pelanggan, seorang diva
Kramat Tunggak baru diantarkan dari rumahnya di Indramayu. Orang tuanya
di desa tertipu dan bangkrut, dan dengan derai air mata mereka terpaksa
menjualnya. Sementara pekerja lain dari Kuningan, Cimahi, atau Sukabumi banyak
yang sudah janda, si diva baru ini berusia delapan belas dan dia masih
perawan.<span> </span>Teman si pria menjadi tamu
pertama yang membayar mahal untuk darah perawan sang primadona. “Perawan dan
goyangannya juara! Buruan lu ke sana, lu telat dikit nanti lobangnya tambah
lebar!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Germo berperawakan gendut dan bermata sipit di hadapan
pemuda itu tersenyum kecut, “Kau saja yang sudah jarang mampir, he! Sudah jadi
bos, sekarang punya perempuan rumahan, ya? Dasar anak kolong, kok tidak dari
dulu saja ngerumahin aktris eksekutif!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Rumah bordil di kompleks ini memang tak bisa disamakan dengan motel atau
hotel mewah tempat pekerja seks kelas atas. Tapi, rumah tempat ibunya bekerja
adalah yang terbesar di sana. Dengan 20 meja dan 100 kursi tunggu, arena joget
dengan lampu disko dan musik dangdut yang tak habis-habis, dan bar yang
menawarkan berbagai jenis bir dan soda. Terkadang, orang hanya duduk-duduk saja
menikmati bir. Maklum saja, harga minuman di sana lebih murah daripada
di bar atau diskotek.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Kamar-kamar itu sempit dengan ranjang besi dan kelambu yang kusam, dengan
cermin di toilet yang dekil tak terurus. Handuk bekas tamu sebelumnya masih
tergantung dan tidak langsung dicuci meski sudah dipakai sekian kali. Bau
pesing kencing, bir yang tumpah, dan asap rokok membaur di beberapa
ruangan.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Terkadang ada gendak dari salah seorang pekerja yang mabuk dan kesetanan
karena cemburu. Mereka berani membunuh meski sudah dilarang membawa senjata
tajam atau senjata api. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Baru beberapa hari bekerja di sana, ibunya sudah menyaksikan orang tertusuk
badik,<span> </span>tersungkur dengan darah berlumur
dan rentetan usus keluar dari perut. Situasi bertambah kacau ketika petugas
keamanan melepas tembakan dan raungan sirine ambulans terdengar mendekat.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Jangan banyak cing cong! Sudah banyak yang pesan doi? Gue mau sampai
pagi!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Si germo tahu tidak akan ada yang sanggup menolak pesona kemolekan
perempuan Sunda-Cina peranakan itu. Apalagi, di Kramat Tunggak, jarang tampil
wujud amoy macam “anak kesayangan”-nya itu.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Sudah mau tutup. Dia sudah capek. Lagipula, dia laris. Sampai minggu depan
saja, kau masih perlu antre, he.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Antre, antre! Ini duit segepok, berapa banyak lagi lu butuh?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Bawa pulang duitmu, he, mana mau aku kehilangan langganan! Kau lihat ini,
daftar panjang sampai minggu depan? Prosedur <i>is </i>prosedur, Mister!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Colt 45 terkokang di pelipis si germo, “Berani lu bilang prosedur lagi?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Papan berisi daftar nama tamu si germo terjatuh di meja. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Soal lelaki itu rajin menyaru sebagai anak kolong, persisnya anak jenderal,
germo seantero Kramat Tunggak sudah saling berkabar. Bahwa rumor itu bisa saja
keliru, si germo tak pernah bertanya. Lelaki itu, toh, kini memegang
senjata.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sementara logam dingin itu masih di pelipisnya, si germo mengayunkan tangan
dengan gemetar memanggil perempuan yang menontoni mereka di sudut ruangan. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Primadona Kramat Tunggak yang kala itu mengenakan daster tipis tembus
pandang itu tidak gentar. Anehnya, dia justru merasa terpanggil oleh tamu yang
berani memperebutkannya hingga mengokang senjata.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dan pertemuan pertama terjadi.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Kisah itu dimulai dari uluran tangan perkenalan
ibunya yang bersahabat, yang langsung dibalas dengan lumatan bibir dan dorongan
ke tembok, lalu ciuman bertubi di sekujur tubuh perempuan itu, sementara si
germo masih mengamati dengan menggigil, dan kuluman di tetek membuatnya<span> </span>melenguh lemah dan jatuh di pelukan si pria
yang tanggap menuntunnya ke ranjang.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sentuhan malam itu adalah yang terganas,
terliar, dan ternikmat yang pernah dirasakan ibunya. “Dua jam tanpa henti,
ditambah dua jam lagi,” ujar ibunya lirih. Kesan pertama yang tak pernah dia
temukan di pelanggan mana pun.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Ibunya meringkas dalam satu helaan napas; sekian purnama kencan di bawah
temaram bulan di pelataran Stasiun Senen, pagutan demi pagutan di bibir dan
lelucon-lelucon konyol yang mengundang tawa di balik becak yang mereka
tumpangi, setiap restoran mewah yang pernah mereka singgahi, dan ranjang yang
semakin liar dari waktu ke waktu.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sejak berpacaran dengan lelaki itu, dia jadi jijik melihat tamu-tamu lain
yang selesainya lama, yang sesudahnya masih terkapar puas dan tidak mau
cepat-cepat meninggalkan kamar. Karena itu dia sengaja berlaku dingin kepada
para tamunya. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tidak lagi dia memijat burung pelanggannya dengan minyak oles agar bisa
tahan lama. Sudah dilupakannya kebiasaannya keluar belanja
ratus rapet bersama teman-temannya. Meski ada yang menawarkan <i>Amor Rose</i> atau <i>Shanghai
Lotion</i> cuma-cuma padanya, dia menampik.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia tak mengerti bagaimana bisa teman-temannya yang juga punya pacar, atau
malah memelihara gendak, masih bisa melayani tamu mereka dengan gelora hasrat
yang sama.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tamunya bisa saja merasa puas dan mencrot, hingga air maninya
muncrat-muncrat membasahi kasur, tapi dia tidak pernah lagi mengalami perasaan
penuh itu selain dengan pacarnya. Saat sang tamu menjerit dengan puas, dia
hanya menatap kosong ke langit kamar yang kehitam-hitaman. Membayangkan wajah
sang pacar.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Banjir hadiah dari sang pacar, berlusin-lusin kolor Wacoal dan beha Triumph—meski
versi KW—hadiah lipstik Mirabella, dan daster tembus pandang, sampai ciuman
mesra setiap singgah, membuatnya tak lagi kerasan bekerja di sana.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Kali ini dia menarik napas, “Cukup. <span>Jangan
cerita soal seksnya</span>,” pintanya. “Fokus di bagian jahatnya saja. Jangan
bubuhi cerita manis.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Maka, ibunya segera melompat ke kisah dua tahun sesudahnya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Si germo yang terkenal tidak pernah kalah beradu catur kini terpaku di
ruang tengah rumahnya. Hampir empat jam ia menghadapi bidak-bidak catur yang
mengepungnya dari sana-sini. Sebungkus rokok kretek dan tiga cangkir kopi telah
tandas. Dan ia tetap tak bisa bergerak. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">"Skakmat.”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Malam itu ia terkalahkan. Dan dengan refleks, si germo memukul meja.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Sebagai impasnya, si pemuda tengik itu memboyong pulang diva kesayangannya.
Ia punya enam puluh anak asuh, dan ia sanggup kehilangan siapa pun di antara
mereka, tapi tidak yang satu ini. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Apalagi, yang memboyongya adalah gendaknya, manusia yang semakin lama
semakin tak berguna, yang kerjanya menipu, terkapar konyol di jalanan karena
mabuk, main judi, dengan kontol yang melonte ke sepenjuru Kramat Tunggak. Ia
tahu anak asuhnya itu sering menggunakan hasil sawerannya untuk ngentot dengan
si gendak. Dan sekarang, ia akan pergi dengannya. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Ambil air, ambil air, aiiiiir…” perintahnya ke pesuruhnya. Ketika
perempuan paling cantik di rumah bordilnya melakukan langkah tolol itu, ia
merasa seluruh tubuhnya mendidih. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tapi saat itu ibunya merasa sangat bahagia, akhirnya dia bisa
memilih jalan hidupnya sendiri. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Ibunya dan si gendak lantas tinggal bersama, dalam
enam tahun rumah tangga yang dijalani dengan tumpahan nafsu yang semakin
menjadi, liar dan seakan tak berkesudahan. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Jadi Ibu memilih si gendak hanya karena puas ngewe dengan
dia?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Ibunya tersenyum masam. “<span>Di
pelataran parkir, di bioskop, di kolam renang Tirta Mas, di tangga rumah sakit,
di belakang panggung TIM, di belakang mushola, di kakus gereja<i>…</i>”</span></span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia memejamkan mata dan mengangkat tangannya, tanda menyerah. Ibunya
berhenti mendaftar tempat kencannya. Saat membuka mata, sambil menghela napas
berat, dia memastikan, “Dan kalian tentu enggak pernah mengharapkan aku lahir?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Ibunya menarik napas.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia melotot jijik dan terhenyak mundur, “Dia ingin punya anak?
Dia menginginkan aku?!”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Ibunya menggeleng. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><i>Syukurlah</i>. Dia tidak pernah diinginkan oleh ayah
yang tak pernah ada dalam hidupnya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Saat itu mereka tetap mengontrak rumah di daerah Kramat Tunggak. Ibunya
berhenti menjajakan tubuh dan mendukung keuangan rumah tangga dengan menjadi buruh
cuci, sementara si gendak semakin tak berguna. Ketika ibunya sangat
menginginkan kehadiran seorang anak dan gendaknya tak tertarik, si gendak
semakin betah di luar rumah dan justru sengaja berulah. Suatu kali, si gendak
membawa beberapa perempuan dan memaksa mereka ngentot ramai-ramai, di waktu
lain ia membiarkan ibunya digerayangi lelaki lain untuk membayar utang si
gendak, di waktu lain si gendak pulang mabuk menggedor-gedor pintu seperti
kesetanan, dan saat pintu terbuka ia muntah di tubuh ibunya.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dengan setiap perlakuan dan perkataan si gendak yang tak bisa diatasinya
lagi, berkali-kali ibunya ingin pergi, tapi berkali-kali pula niatnya gagal. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Ketika menyadari dirinya mengandung, dan yakin akan diminta menggugurkan, ibunya
semakin putus asa. Dia tahu anak yang dikandungnya bisa selamat,
dan dirinya bisa bebas, hanya jika si gendak mati atau masuk penjara. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia meneguk sebanyak-banyaknya air di gelasnya. “Jadi alasan dia bakal
memburu dan membunuh kita karena Ibu yang mengirimnya ke penjara? Apa yang Ibu
lakukan?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Tragedi, dengan caranya, terkadang memberi berkah. Suatu hari si gendak
pulang bersama temannya dalam keadaan mabuk. Temannya masuk ke kamar ibunya dan
mengajaknya main. Ibunya menolak dan dia dipukul. Ibunya
meronta dan tubuh gempal teman si gendak terus menindihnya. Teriakannya semakin
kencang saat si gendak masuk dan menarik temannya. Si gendak terkejut telah menemukan
temannya berlumuran darah, sebuah gunting tertancap di lehernya. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia terkejut dan memandang ibunya lekat-lekat.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Ibu membunuhnya?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Dia mendapat jawaban dari pejaman mata.</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Mereka terdiam. Di piring mereka masih ada sisa nasi dan sayur lodeh yang
belum dihabiskan. Hanya terdengar dengung pendingin udara dan detak jarum jam
dinding yang mengisi keheningan. </span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">“Dan Ibu menuduh dia yang melakukannya?”</span></span></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">Kali ini, dia mendapat jawaban dari pelukan ibunya yang demikian erat.
Pundaknya basah. [*]</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"> <i>Cerita pendek ini dimuat dalam </i>Cerita Cerita Jakarta <i>(Penerbit POST Press, 2021) dan sebelumnya versi terjemahan bahasa Inggris atas cerita ini dimuat dalam </i>The Book of Jakarta <i>(Comma Press, 2020). </i></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><i>Penulis menghaturkan terima kasih atas kesempatan penerbitan naskah ini, terutama kepada Maesy Ang dan Teddy W. Kusuma yang telah membantu proses penyuntingan, juga kepada Jafar Suryomenggolo atas berbagai masukan perbaikan dalam proses penulisan naskah.</i></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-size: small;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><iframe allowfullscreen="" class="BLOG_video_class" height="389" src="https://www.youtube.com/embed/gMKDKusmKuw" width="469" youtube-src-id="gMKDKusmKuw"></iframe></span></div><span style="font-size: small;"><br /><span style="font-family: verdana;"><br /> </span></span><p></p><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-89746513606685288422019-12-17T19:08:00.010+07:002023-08-01T19:19:57.049+07:00Mekanika Penjagalan Massal: Kasus yang Mendudukkan Penjagalan di Indonesia sebagai Genosida <p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span><!--[if !mso]>
<style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style>
<![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Jess Melvin</span></b></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Macmillan Centre, Yale University, New Haven, CT, Amerika Serikat</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN">Abstrak</span></b><span lang="IN"></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Artikel ini menyajikan selayang pandang bukti baru yang ditemukan dari
arsip milik bekas Badan Intelijen Negara di Banda Aceh yang mampu membuktikan,
untuk kali pertama, keterlibatan militer di balik penjagalan 1965-66 di
Indonesia. Berkas-berkas ini menunjukkan bahwa jajaran pimpinan militer
memprakarsai dan melaksanakan penjagalan sebagai bagian dari operasi militer
nasional yang terkoordinasi. Operasi militer ini digambarkan oleh para petinggi
militer sebagai “operasi pemusnahan” dan dilaksanakan dengan maksud yang
dinyatakan untuk “memusnahkan sampai ke akar-akarnya” saingan politik utama
militer, Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukti baru ini secara mendasar
mengubah apa yang kini mungkin diketahui tentang penjagalan 1965-66, khususnya
terkait pertanyaan tentang niat militer. Demikian juga, proses di mana kelompok
sasaran militer diidentifikasi dan ditargetkan untuk dihancurkan kini dapat
dipahami dengan menempatkan militer sendiri sebagai pelaku di balik bagaimana
proses penjagalan ini terjadi. Artikel ini mengetengahkan bahwa bukti baru ini
memperkuat argumen, yang diajukan oleh para pakar genosida sejak awal 1980-an,
bahwa penjagalan 1965-66 harus didudukkan sebagai kasus genosida.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN">Kronologi pemuatan</span></b></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Artikel diterima pada 16 Februari 2017</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Artikel disetujui pada 23 September 2017</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN">Kata kunci</span></b></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; margin-top: 0cm; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: 8.0pt; mso-margin-top-alt: 0cm; text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Genosida Indonesia, penjagalan massal 1965-66; Aceh; Sumatra; militer
Indonesia; Partai Komunis Indonesia (PKI)</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN"> </span></b></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><b><span lang="IN">Pengantar</span></b></span></span><span lang="IN"></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejak peristiwa penjagalan
1965-66, para pengamat politik dari Indonesia dan luar negeri telah
memperdebatkan istilah yang sesuai untuk melabelinya.<a href="#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[1]</span></span></span></span></a>
Skala penjagalan—diyakini telah merenggut hingga satu juta jiwa—beserta
pernyataan para jagal yang bertujuan untuk “menumpas sampai ke akar-akarnya”
kelompok masyarakat tak bersenjata agaknya telah menggiring banyak pihak untuk
menyelidiki apakah penjagalan 1965-66 merupakan kasus genosida. Sejak awal
1980-an, para pakar kunci mengenai genosida berpendapat bahwa penjagalan 1965-66
tampaknya memenuhi definisi genosida sesuai Konvensi </span><span lang="IN">Genosida 1948. Kesulitan terbesar untuk mendukung klaim ini adalah dalam membuktikan
niat militer di balik penjagalan ini dan menguatkan argumen bahwa kelompok
sasaran militer dapat dipahami sebagai kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi.
Artikel ini menyediakan selayang pandang mengenai bukti-bukti kunci dari
Provinsi Aceh yang dapat menjelaskan “persoalan bukti” ini. Dengan menggunakan
catatan dari pihak militer sendiri, artikel ini akan menunjukkan bagaimana
penjagalan dimulai dan diterapkan sebagai bagian dari operasi militer yang
disengaja. Artikel ini juga akan menunjukkan bagaimana militer secara eksplisit
mengidentifikasi kelompok sasarannya melampaui batasan “kelompok politik”—dikecualikan
dari perlindungan di bawah Konvensi—untuk mengidentifikasi kelompok sasaran ini
termasuk kelompok nasional yang dibentuk secara ideologis (“kelompok komunis”
Indonesia) dan sebagai anggota kelompok agama (sebagai “kaum ateis”).<a href="#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[2]</span></span></span></span></a>
Dengan landasan itu, artikel ini berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya
dapat dipahami sebagai kasus genosida.</span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Kisah tentang bagaimana kasus ini terungkap tampaknya adalah suatu kebetulan karena nasib mujur saya. Pada 2010, saya pergi ke bekas kantor arsip Badan Intelijen Negara di Banda Aceh. Saya telah mewawancarai para penyintas dan pelaku penjagalan di provinsi tersebut sebagai bagian penelitian disertasi doktoral saya. Lantaran tidak dapat mengakses arsip secara langsung, saya meminta untuk melihat katalognya dan memesan sejumlah berkas berdasarkan tanggal pembuatannya. Saya hampir tidak bisa percaya ketika saya kemudian disodorkan sebuah kotak berisi 3.000 halaman berkas rahasia militer. Berkas-berkas ini, digabungkan dengan laporan yang dihasilkan oleh komando militer Aceh,<a href="https://www.blogger.com/#">[3]</a> adalah berkas-berkas awal yang ditemukan dari sepenjuru Indonesia. Berkas-berkas ini lantas dikenal sebagai berkas genosida Indonesia.</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span></span></p><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Soal
Pembuktian</span></b></span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></h3><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Tantangan
terbesar yang dihadapi para peneliti penjagalan 1965-66 adalah kurangnya berkas
yang tersedia untuk bahkan sekadar menetapkan kronologi dasar atas peristiwa,
apalagi untuk mengetahui rantai komando yang jelas di balik terjadinya peristiwa
kekerasan ini. Selama setengah abad terakhir, militer Indonesia mengutarakan
kekerasan sebagai akibat dari pemberontakan “spontan” oleh “rakyat”,<a href="#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[4]</span></span></span></span></a>
dan “ledakan” lantaran “bentrokan komunal yang berakibat pada pertumpahan darah
di beberapa wilayah di Indonesia”.<a href="#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[5]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, penyebutan spesifik tentang siapa pelaku di balik peristiwa
jagal ini justru dihindari. Komando Militer Aceh menjelaskan: “gerakan spontan
rakyat di seluruh Aceh secara bersamaan menghancurkan PKI [Partai Komunis
Indonesia] sampai mayoritas anggota PKI terbunuh ….”<a href="#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[6]</span></span></span></span></a>
Tujuan dari laporan resmi oleh Komando Militer Aceh ini adalah untuk menolak
bahwa penjagalan oleh operasi ini mendapatkan komando dan disengaja oleh
militer. Seperti dikemukakan oleh Vedi Hadiz, dukungan jagal dan perubahan
rezim yang dipengaruhi peristiwa ini tetap menjadi “pembenaran” berlakunya
tatanan sosial Indonesia saat ini.<a href="#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[7]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Penolakan ini
berlanjut hingga hari ini. Pada April 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Luhut Pandjaitan, secara bersamaan
menyangkal bahwa jagal berskala massal telah terjadi selama peristiwa penjagalan
1965-66, sekaligus menegaskan kembali penolakan pemerintah untuk menerbitkan
pernyataan permohonan maaf kepada para korban jagal.<a href="#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[8]</span></span></span></span></a>
Bangsa Indonesia juga lanjut membungkam dan mengintimidasi mereka yang ingin
menentang narasi propaganda resmi tentang peristiwa kekerasan tersebut.<a href="#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[9]</span></span></span></span></a>
Pada September 2017, pihak kepolisian di Jakarta menutup diskusi akademik
tentang kekerasan 1965-66 di perkantoran salah satu organisasi masyarakat sipil
yang paling disegani, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).<a href="#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[10]</span></span></span></span></a>
Para polisi menyerah pada tuntutan demonstran anti-komunis yang, dengan
dukungan dari jajaran kunci pimpinan militer, telah mengepung kantor-kantor
LBH, menjebak para peserta diskusi di dalam sementara secara keliru menyatakan
bahwa kelompok tersebut tidak memperoleh “izin” untuk berkumpul. Para aktivis
HAM mengecam Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memperuncing sentimen
anti-komunis ini dengan mengumumkan pada Juni 2017 bahwa ia akan “menggebuk”
Partai Komunis Indonesia (PKI), yang telah dilarang oleh pemerintah Indonesia
sejak 1966, jika mereka berani “muncul kembali”.<a href="#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[11]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Selama hampir
lima puluh tahun, diyakini bahwa betapa sedikit bukti dokumenter tersedia terhitung
sejak masa penjagalan lantaran tidak ada catatan yang pernah dibuat. Sejak
setidaknya dasawarsa 1970-an, dikatakan bahwa tidak ada perintah tertulis
dikeluarkan oleh pimpinan militer untuk mengoordinasikan penjagalan.<a href="#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[12]</span></span></span></span></a>
Pada 2010, dinyatakan bahwa “tidak ada bukti” atas penyimpanan catatan
sistematis mengenai penjagalan,<a href="#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[13]</span></span></span></span></a>
sementara pada 2012, dinyatakan bahwa penjagalan terjadi “tanpa dukungan
berarti dari birokrasi untuk memproses dan mengadili musuh yang ditargetkan
(yang semestinya meninggalkan jejak tertulis)”.<a href="#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[14]</span></span></span></span></a>
Artinya, mereka mempercayai bahwa perintah resmi tertulis tidak pernah dikeluarkan,
dan juga meyakini bahwa penjagalan dilakukan tanpa dukungan dari negara dan
struktur pemerintah sipil.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Catatan awal
mengenai periode 1965-66 yang ditulis oleh para Indonesianis berfokus pada
upaya memahami tindakan dan motif di balik Gerakan 30 September (G30S)—upaya
kudeta yang gagal pada 1 Oktober pagi yang kesalahannya dilemparkan pada PKI
dan digunakan sebagai “dalih” atas kudeta yang dilakukan oleh militer sendiri
dan menjadikannya sebagai serangan terhadap PKI—alih-alih sekadar terjadinya pembunuhan
biasa. Adapun, pertanyaan tentang apakah PKI bertanggung jawab atas G30S tidak
bisa terjawab hingga tahun 2006, melalui penerbitan teks terobosan John Roosa, <i>Dalih
Pembunuhan Massal</i>.<a href="#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[15]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, pertanyaan tentang apakah militer melaksanakan penjagalan,
sebagai bagian dari operasi militer yang disengaja, atau tidak tetap menjadi
debat terbuka hingga penemuan berkas penjagalan Indonesia.<a href="#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[16]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejak awal
1980-an, terlepas dari kurangnya informasi, para peneliti seputar genosida
berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya merupakan kasus genosida.<a href="#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[17]</span></span></span></span></a>
Pada 1981, Leo Kuper memasukkan penjagalan 1965-66 dalam studi fundamentalnya, <i>Genocide:
It’s Political Use in the Twentieth Century</i>. Melalui penelitian ini, ia
menolak laporan resmi Indonesia bahwa penjagalan terjadi sebagai akibat dari
kekerasan horizontal spontan sebagai respons atas G30S.<a href="#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[18]</span></span></span></span></a>
“Sebaliknya”, ia berpendapat, “tentara terlibat aktif dalam operasi, terlibat langsung
dalam pembantaian, dan secara tidak langsung dalam mengatur dan mempersenjatai
pembunuhan sipil.” Penjagalan itu, ia menyarankan, harus dipahami sebagai kasus
genosida lantaran skalanya yang besar dan dilakukan secara sengaja.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Ia menjelaskan
bahwa hambatan utama untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida
adalah pengucilan “kelompok politik” dari perlindungan berdasarkan Konvensi
Genosida 1948<a href="#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[19]</span></span></span></span></a>—definisi
hukum standar genosida berdasarkan hukum internasional. Bagaimanapun, ia
mengusulkan bahwa “dalam pembantaian para komunis, kriteria afiliasi masa lalu
memiliki finalitas dan ketetapan yang cukup sebanding dengan pembantaian
berdasarkan ras dan itu didasarkan pada penerapan tanggung jawab kolektif yang
sama.”<a href="#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[20]</span></span></span></span></a>
Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan, penjagalan melampaui batas-batas konflik
antarkelompok, dengan tambahan perbedaan “kelas” dan “agama” di antara para
korban dan pelaku.<a href="#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[21]</span></span></span></span></a>
Demikian juga, etnisitas juga merupakan faktor, sebagaimana dibuktikan dengan
penjagalan “pedagang Tionghoa dan keluarga mereka.”<a href="#_ftn22" name="_ftnref22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[22]</span></span></span></span></a>
Dengan demikian, ia menduga bahwa kelompok sasaran militer secara substansial
lebih luas daripada sekadar kelompok politik dan mengandung unsur-unsur
identitas antargenerasi yang mendalam.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Penjagalan 1965-66
juga tercantum dalam studi klasik 1990 karya Frank Chalk dan Kurt Jonassohn, <i>The
History and Sociology of Genocide: Analyses and Case Studies</i>. Sebagaimana
Kuper, mereka mengutarakan peristiwa penjagalan itu sebagai genosida dan
mengusulkan bahwa kelompok sasaran militer lebih daripada sekadar kelompok
politik. Mereka menjelaskan: “Sementara genosida ini ditujukan pada suatu
partai politik,” dan karenanya, secara signifikan, tidak sesuai dengan definisi
hukum mengenai genosida, “kasus genosida ini menghadirkan perdebatan ganjil terkait
karakter etnis, agama, dan ekonomi.”<a href="#_ftn23" name="_ftnref23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[23]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, mereka mengusulkan bahwa rintangan utama untuk memahami penjagalan
1965-66 sebagai kasus genosida adalah “adanya banyak informasi yang saling
bertentangan” ketika itu berkaitan dengan bagaimana penjagalan itu dijalankan.<a href="#_ftn24" name="_ftnref24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[24]</span></span></span></span></a>
Persoalan banyaknya “informasi yang saling bertentangan” ini kini telah
terselesaikan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Bagian berikut
ini akan menyediakan tinjauan umum tentang bukti baru yang kini tersedia untuk
membuktikan keterlibatan militer di balik peristiwa penjagalan, sebelum kembali
pada pertanyaan tentang bagaimana bukti baru ini dapat mengatasi masalah yang
diajukan oleh Kuper, Chalk, dan Jonassohn.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Persiapan
Militer untuk Merebut Kekuasaan Negara di Sumatra sebelum 1 Oktober 1965</span></b></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejak awal
1960-an, para petinggi militer Indonesia mulai membuat rencana khusus untuk “reorientasi”
negara Indonesia.<a href="#_ftn25" name="_ftnref25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[25]</span></span></span></span></a>
Pada 1964, untuk memfasilitasi rencana ini, para petinggi militer berhasil
melobi Sukarno agar mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengimplementasikan
rancangan undang-undang yang dikenal sebagai “Keputusan Peningkat Pelaksanaan
Dwikora”. Undang-undang baru ini, yang secara resmi diperkenalkan sebagai
sarana pendukung kampanye Sukarno “Ganyang Malaysia”, memberi militer kekuatan baru
untuk melakukan pembasmian yang sebagian besar mencerminkan undang-undang
darurat militer Indonesia, dengan memberikan kemampuan untuk memobilisasi
struktur militer dan paramiliter setempat.<a href="#_ftn26" name="_ftnref26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[26]</span></span></span></span></a>
Yang paling penting, ini memberikan militer kemampuan untuk menerapkan
peraturan darurat militer secara internal, tanpat terlebih dahulu harus
berkonsultasi dengan Sukarno.<a href="#_ftn27" name="_ftnref27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[27]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejak Maret 1965,
militer mulai melakukan pelatihan-pelatihan militer di Aceh dan seluruh Sumatra
untuk menguji kesiapan struktur-struktur baru ini.<a href="#_ftn28" name="_ftnref28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[28]</span></span></span></span></a>
Pada bulan Agustus, militer meresmikan struktur komando militer baru di
provinsi tersebut, yang dinamai “Kodahan: Komando Daerah Pertahanan”.
Setelahnya, tinggal menunggu dalih yang tepat untuk melancarkan agenda
perebutan kekuasaan negara ini.<a href="#_ftn29" name="_ftnref29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[29]</span></span></span></span></a>
Aksi G30S pada jam-jam awal 1 Oktober 1965 menyediakan dalih ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada 1 Oktober,
ketika pemimpin militer nasional masih mengulur waktu untuk memutuskan
bagaimana mesti bereaksi atas peristiwa G30S, pemimpin militer di Aceh
“mengaktifkan” perintah Kodahan, yang kemudian dinamai “Kohanda: Komando
Pertahanan Daerah”.<a href="#_ftn30" name="_ftnref30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[30]</span></span></span></span></a>
Kohanda ini kemudian melancarkan serangannya terhadap PKI dan melancarkan
perebutan kekuasaan negara di provinsi Aceh. Seperti yang dijelaskan komandan
militer Aceh:</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejak terjadinya Peristiwa GESTOK (sebutan alternatif untuk G30S) pada 1
Oktober 1965, seluruh kekuatan Kohanda Aceh telah dimobilisasi untuk melancarkan
operasi penghancuran terhadap GESTOK… Operasi ini benar-benar berhasil.<a href="#_ftn31" name="_ftnref31" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[31]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Penjelasan ini
menegaskan bahwa kasus genosida ini dilancarkan sebagai kebijakan negara.
Sementara saya tidak percaya bahwa militer harus mengantisipasi skala
penjagalan yang terjadi, bagaimanapun mereka punya niat dan sarana untuk
melancarkan apa yang dikatakan sebagai “operasi pemusnahan” sejak 1 Oktober.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"><span></span></span></span></span></p><a name='more'></a><p></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">1 Oktober:
Perintah Awal Militer</span></b></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dari berkas-berkas
militer yang kini tersedia, tampak memungkinkan untuk melihat bahwa koordinasi
militer pada 1 Oktober 1965 jauh lebih intensif daripada yang sebelumnya
diketahui. Sebelumnya, satu-satunya perintah yang diketahui berasal dari
Suharto pada 1 Oktober dikirim pada jam 9 malam, ketika ia menyatakan:
“sekarang kita dapat mengendalikan situasi baik di pusat maupun di daerah.”<a href="#_ftn32" name="_ftnref32" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[32]</span></span></span></span></a>
Tidak diketahui apa yang dimaksud Suharto dengan pernyataan ini. Berkas-berkas
genosida menunjukkan bahwa perintah dan arahan tambahan dikirim sebelum ini.
Kini diketahui, misalnya, bahwa pada pagi hari 1 Oktober, Suharto, bertindak
sebagai komandan angkatan bersenjata, mengirim telegram kepada komandan militer
Aceh, Jenderal Ishak Djuarsa, seorang anti-komunis tulen,<a href="#_ftn33" name="_ftnref33" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[33]</span></span></span></span></a>
menyatakan bahwa “gerakan kudeta” telah terjadi di ibukota.<a href="#_ftn34" name="_ftnref34" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[34]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Ini adalah
perintah pertama yang diketahui dan menyatakan bahwa kudeta telah terjadi,
didahului oleh beberapa jam deklarasi G30S tentang “Dewan Revolusi”, yang tidak
terjadi hingga pukul 2 siang, umumnya dilihat sebagai titik paling awal peristiwa
G30S dapat digolongkan sebagai upaya kudeta. Perintah ini juga bukti bahwa
Suharto dan para petinggi militer sedang berkomunikasi ketika itu. Di sini saya
tidak menyiratkan bahwa Suharto karena suatu alasan memilih untuk terlebih
dahulu menghubungi Djuarsa, tetapi dapat diasumsikan bahwa perintah ini dikirim
ke semua komandan militer provinsi pada saat itu.<a href="#_ftn35" name="_ftnref35" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[35]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Perintah kedua
kemudian diterima oleh Djuarsa, dikirim oleh komandan militer antarwilayah,
Letnan Kolonel Ahmad Mokoginta. Mokoginta, seorang anti-komunis tulen, memainkan
peran penting dalam persiapan militer di Sumatra sebelum 1 Oktober 1965.<a href="#_ftn36" name="_ftnref36" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[36]</span></span></span></span></a>
Perintah ini menginstruksikan Djuarsa untuk: “Menunggu perintah/instruksi dari
[Mokoginta].”<a href="#_ftn37" name="_ftnref37" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[37]</span></span></span></span></a>
Petunjuk yang dijanjikan dalam perintah Mokoginta disampaikan pada tengah malam
itu, ketika Mokoginta menyampaikan pidato di Medan dan memerintahkan agar
“semua anggota angkatan bersenjata harus dengan tegas dan sungguh-sungguh
memusnahkan agenda kontrarevolusi ini… sampai ke akar-akarnya.”<a href="#_ftn38" name="_ftnref38" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[38]</span></span></span></span></a>
Ini adalah perintah pertama yang diketahui dikeluarkan oleh militer untuk “memusnahkan”
gerakan 30 September.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Perintah-perintah
ini adalah bukti bahwa sejak pagi hari 1 Oktober, Suharto telah berkontak dan
mengirim arahan kepada komandan militer antarwilayah dan provinsi. Hal ini juga
menjadi bukti bahwa militer melancarkan serangan militer pada tengah malam
tanggal 1 Oktober dan menyerukan “penghancuran total” Gerakan 30 September.
Selain itu, seperti yang telah diuraikan di atas, kini jelas bahwa militer
mengaktifkan struktur komando baru pada pagi hari 1 Oktober untuk memfasilitasi
serangannya terhadap PKI. Mereka menamai operasi ini “Operasi Berdikari”. Istilah
ini tampaknya telah menjadi sandi resmi yang digunakan oleh militer untuk
menyebut peristiwa genosida di Aceh.<a href="#_ftn39" name="_ftnref39" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[39]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"> </span></span></span></span></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Koordinasi
Awal</span></b></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Jajaran pimpinan
militer di Aceh kemudian lanjut mengomunikasikan perintah-perintah ini kepada
para pemimpin militer dan sipil tingkat kabupaten dan kecamatan. Konsolidasi
ini dimulai di Banda Aceh. Tercatat dalam berkas militer bahwa pada pukul 8
malam pada 4 Oktober, Pantja Tunggal Aceh dan perwakilan para pemimpin militer
ini berkumpul di ruang pertemuan gubernur di Banda Aceh.<a href="#_ftn40" name="_ftnref40" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[40]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pantja Tunggal,
atau “Lima dalam Satu”, adalah dewan eksekutif puncak pada tingkat provinsi dan
kabupaten. Dewan ini adalah gabungan perwakilan pemimpin militer dan sipil, dan
merupakan penghubung utama antara para pemimpin militer dan pemerintah sipil di
tingkat provinsi dan kabupaten. Badan ini diperhitungkan lantaran para
anggotanya adalah komandan militer tingkat provinsi (atau kabupaten), gubernur
(atau bupati tingkat kabupaten), kepala penuntut umum, kepala polisi dan
perwakilan partai politik masyarakat dari Front Nasional. Ulf Sundhaussen
menjelaskan bahwa Pantja Tunggal pada awalnya didirikan sebagai sarana bagi
“kaum komunis dan kelompok kiri” untuk bertindak sebagai “penyeimbang” di
provinsi-provinsi.<a href="#_ftn41" name="_ftnref41" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[41]</span></span></span></span></a>
Namun, begitu Dwikora diberlakukan, Pantja Tunggal bertindak mengelompokkan
pemerintah provinsi dan kabupaten di bawah kendali militer, dan secara efektif
menerapkan suatu bentuk darurat militer secara <i>de facto</i>.<a href="#_ftn42" name="_ftnref42" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[42]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pertemuan
kemudian menghasilkan serangkaian berkas. Berkas pertama adalah “Deklarasi
Pantja Tunggal untuk Daerah Istimewa Aceh”, yang ditandatangani oleh anggota
Pantja Tunggal. Dewan ini menyatakan niat untuk “dengan sepenuhnya memusnahkan
yang menyebut dirinya sebagai Gerakan 30 September beserta antek-anteknya.”<a href="#_ftn43" name="_ftnref43" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[43]</span></span></span></span></a>
Operasi pemusnahan oleh para petinggi militer ini selanjutnya disetujui oleh
dewan Pantja Tunggal Aceh, yang lantas menjalankan kendali atas pemerintahan
sipil Aceh, suatu perkembangan yang memperluas operasi genosida militer ini ke
dalam arena politik sipil sebagai aspirasi masyarakat.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Berkas kedua
kemudian dibuat, juga pada 4 Oktober. Berkas ini berjudul “Pengumuman:
Pengumuman Khusus dari P.T.” dan dirancang untuk dibaca sebagai pengumuman
publik. Berkas ini, ditandatangani juga oleh Pantja Tunggal Aceh, menyatakan:
“Ini adalah kewajiban bagi setiap orang untuk membantu dalam setiap upaya untuk
sepenuhnya memusnahkan… Gerakan Tiga Puluh September bersama dengan para
antek-anteknya.”<a href="#_ftn44" name="_ftnref44" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[44]</span></span></span></span></a>
Pengumuman ini bahkan melangkah lebih jauh dari berkas pertama dengan
menyatakan, pertama kalinya tercatat, bahwa “wajib hukumnya” bagi warga untuk terlibat
dalam operasi pemusnahan oleh militer. Dalam tiga hari yang singkat, Pantja
Tunggal Aceh mengeluarkan instruksi bagi warga untuk membunuh sesama warga.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Setidaknya pada
titik ini negara sudah tidak mungkin lagi mengklaim bahwa militer tidak secara
langsung menghasut penduduk untuk terlibat dalam penjagalan yang segera akan
terjadi. Jelas juga bahwa tidak peduli seberapa antusiasnya dukungan dari beberapa
warga untuk operasi militer ini, relasi semacam ini pada akhirnya bersifat
memaksa, karena pada kenyataannya warga diperintahkan untuk terlibat.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Hasutan dan
Mobilisasi: Koordinasi Keliling Djuarsa</span></b></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Setelah pertemuan
ini, Djuarsa memulai koordinasi keliling provinsi. Selama perjalanan ini,
Djuarsa pertama-tama bertemu dengan para pemimpin militer kabupaten setempat,
sebelum mengadakan pertemuan dengan para pemimpin pemerintahan sipil kabupaten.
Ia kemudian mengadakan serangkaian pertemuan publik di lapangan olah raga, tempat
ia mengeluarkan ultimatum kepada warga setempat—“Bunuh PKI atau kalian akan
jadi sasaran,” sebuah pembalikan yang menyesatkan dan menjadi pernyataan
propaganda populer untuk membuat warga percaya mereka harus membunuh, karena
bila tidak, “mereka akan dibunuh” oleh PKI. Tanggal-tanggal dengan warna
abu-abu pada <span style="color: red;">Gambar 1 </span>adalah tanggal-tanggal
kedatangan Djuarsa di setiap kabupaten, atau, dalam kasus Aceh Selatan, yang
tidak dikunjungi Djuarsa, adalah tanggal pertemuan koordinasi awal pimpinan
militer setempat untuk membahas dukungan bagi operasi pemusnahan oleh militer
di kabupaten tersebut.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Djuarsa
meninggalkan Banda Aceh pada 7 Oktober untuk memulai perjalanan koordinasi ini.
Ia melakukan perjalanan pertama ke Aceh Utara, dan ia bertemu dengan Daud Beureueh,
mantan gubernur militer Aceh (1945-53) dan mantan pemimpin Pemberontakan Darul
Islam di provinsi tersebut, yang berlangsung sejak 1951 hingga 1962. Pada
pertemuan ini, Beureueh dikatakan telah memberikan dukungannya bagi operasi
militer ini dan berjanji: “Saya akan memerintahkan rakyat Aceh untuk membantu
Anda, Jenderal [Djuarsa].”<a href="#_ftn45" name="_ftnref45" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[45]</span></span></span></span></a>
Pada hari yang sama, pamflet-pamflet mulai beredar di stasiun kereta Lhokseumawe
yang memicu kekerasan.<a href="#_ftn46" name="_ftnref46" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[46]</span></span></span></span></a>
Pamflet-pamflet ini menyerukan “tanggapi penculikan dengan penculikan, dan <i>pertjentjangan</i>
dengan <i>pertjenjangan</i>.”<a href="#_ftn47" name="_ftnref47" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[47]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"><br /></span><span lang="IN"></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Gambar 1. Koordinasi Keliling Djuarsa. Sumber: Gambar direproduksi dengan izin dari © Robert Cribb.</span><span style="font-size: small;"><span lang="IN"></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kemudian pada
hari yang sama, Djuarsa melakukan perjalanan ke Takengon, Aceh Tengah. Di sana,
seperti yang terjadi di Aceh utara, Djuarsa pertama-tama bertemu dengan
pemimpin militer Aceh Tengah sebelum bertemu dengan pemerintah kabupaten Aceh
Tengah (DPRD II). Djuarsa lantas mengadakan pertemuan publik di lapangan olah
raga Alon Ishak. Ibrahim Kadir, seorang guru sekolah pada 1965 yang menghadiri
pertemuan ini, mengingat Djuarsa mengumumkan: “PKI adalah kafir, saya [Djuarsa]
akan menghancurkan mereka sampai ke akarnya! Jika di kampung kalian menemukan
para anggota PKI, tetapi tidak membunuh mereka, kalianlah yang akan kami
hukum!”<a href="#_ftn48" name="_ftnref48" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[48]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada 8 Oktober,
Djuarsa berkunjung ke Meulaboh, Aceh Barat. Di sana, Djuarsa juga bertemu
dengan pimpinan militer Aceh Barat dan DPRD II Aceh Barat. T. M. Yatim, yang
pada 1965 adalah asisten bupati di Johan Pahlawan, dan yang menghadiri
pertemuan itu, mengenang:</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Ketika Panglima [Djuarsa] datang kemari untuk pertemuan itu, kami semakin
jelas tentang langkah-langkah apa yang telah diambil oleh PKI… [Ia mengatakan]
ayo kita pergi ke lapangan, kita tidak butuh lagi pertemuan, wo, wo, wo [dengan
suara kian kencang].<a href="#_ftn49" name="_ftnref49" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[49]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pertemuan publik
lantas diadakan di lapangan olah raga Teuku Umar oleh Djuarsa, di mana, Yatim
mengenang, Djuarsa mengumumkan: “Jika kalian tidak membunuh [PKI], mereka akan
menjadi orang yang melakukan pembunuhan [<i>kalua tidak bunuh, mereka yang
membunuh</i>].”<a href="#_ftn50" name="_ftnref50" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[50]</span></span></span></span></a> Yatim
menjelaskan pengumuman Djuarsa ketika itu dipahami sebagai “perintah… untuk
membunuh PKI.”<a href="#_ftn51" name="_ftnref51" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[51]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Djuarsa lantas
kembali ke Banda Aceh. Konsolidasi, bagaimanapun, berlanjut di Aceh Barat
setelah kepergian Djuarsa. Rincian lebih lanjut tentang tahap konsolidasi di
Aceh Barat berikutnya diketahui karena, untuk alasan yang tidak diketahui,
lebih banyak berkas yang selamat dari kabupaten ini dibandingkan dari
kabupaten-kabupaten lain.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dari
berkas-berkas ini diketahui bahwa tiga hari kemudian, pada 11 Oktober, “Sesi
Khusus Pemerintah Provinsi Aceh Barat” diadakan. Selama pertemuan ini, perintah
awal Djuarsa dan Mokoginta diperdebatkan di kalangan pemerintah DPRD II Aceh
Barat sebelum serangkaian berkas lainnya dibuat. Salah satu dari berkas ini,
dibuat pada 11 Oktober, adalah deklarasi yang disebut “Deklarasi, No. 4” yang
mengumumkan: “[DPRD II Aceh Barat] meminta semua lapisan masyarakat untuk
meningkatkan kesadaran dan … kewaspadaan mereka sembari membantu ABRI untuk
memusnahkan dan sepenuhnya menghilangkan Gerakan 30 September bersama dengan
organisasi-organisasi yang terafiliasi dengannya….”<a href="#_ftn52" name="_ftnref52" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[52]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Seperti yang
sebelumnya terjadi di Banda Aceh, deklarasi ini menyetujui instruksi bahwa
warga sipil harus membantu operasi penghancuran oleh militer. Deklarasi ini
kemudian dikirim ke Djuarsa, Pantja Tunggal Aceh, gubernur Aceh, semua bupati,
walikota, dan kepala daerah di Aceh, semua badan pemerintah di Aceh Barat,
Sukarno, para menteri di Jakarta dan Radio Republik Indonesia cabang Banda
Aceh.<a href="#_ftn53" name="_ftnref53" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[53]</span></span></span></span></a>
Dengan demikian, tidak ada tingkat pemerintahan di Aceh atau dalam skala
nasional yang tidak mengetahui apa yang terjadi di Aceh Barat pada titik ini.
Tampaknya, seperti halnya berkas-berkas lain yang dihasilkan pada masa ini,
sirkulasi berkas yang luas tersebut barangkali memiliki tujuan ganda, yaitu
menunjukkan loyalitas badan penerbitan kepada Suharto dan operasi pemusnahan
oleh militer, sementara juga menghasut badan-badan pemerintah lain untuk
melakukan tindakan serupa.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Meski Djuarsa
kembali ke Banda Aceh setelah pertemuannya di Meulaboh pada 8 Oktober, fase konsolidasi
di Aceh Timur dan Selatan meniru pola yang sangat mirip dengan di provinsi
lainnya. Djuarsa berada di Langsa, Aceh Timur pada 1 Oktober pagi.<a href="#_ftn54" name="_ftnref54" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[54]</span></span></span></span></a>
Secara kebetulan, pada pagi itu, Djuarsa bersama dengan seluruh pimpinan
militer dan sipil Aceh telah berada di Langsa untuk “pertemuan massal” yang menandai
kedatangan wakil Indonesia. Perdana Menteri Subandrio dan anggota Politbiro PKI
nasional Nyoto, yang telah melakukan “sosialisasi” berkeliling Sumatra
sepanjang minggu.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada 1 Oktober
pagi, Subandrio dan Nyoto telah melakukan perjalanan dari Medan, Sumatra Utara,
dengan Mokoginta, komandan militer Sumatra Utara Daryatmo dan gubernur Sumatra
Utara Sitepu, sebelum bertemu Djuarsa dan anggota Pantja Tunggal Aceh di
perbatasan provinsi pada pukul 1 siang dan tiba bersama di Langsa pada pukul 2
siang.<a href="#_ftn55" name="_ftnref55" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[55]</span></span></span></span></a>
Kelompok ini kali pertama mendengar berita tentang G30S melalui radio antara
pukul 6 dan 8 pagi, sebelum melakukan perjalanan ke Langsa, ketika pertemuan
telah berjalan sesuai rencana sampai Djuarsa menyela sesaat setelah pukul 2
siang untuk menyatakan bahwa “kudeta” telah terjadi di ibukota.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada titik ini,
pertemuan dihentikan dan para delegasi diperintahkan oleh Djuarsa untuk kembali
ke posisi mereka, dengan alasan: “Jika [upaya kudeta Gerakan 30 September] dapat
terjadi di pusat, itu bisa terjadi dengan mudah di daerah.”<a href="#_ftn56" name="_ftnref56" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[56]</span></span></span></span></a>
Ini berarti bahwa pimpinan militer sipil dan militer Aceh Timur mengetahui
anggapan pimpinan militer terhadap peristiwa-peristiwa di Jakarta sejak 1
Oktober pagi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada 5 Oktober,
mengikuti pola yang terjadi di tempat lain di provinsi ini, konsolidasi ini
diperkuat melalui pertemuan pimpinan militer dan sipil Aceh Timur. Hari
berikutnya, perwakilan dari enam partai politik Aceh Timur bertemu dengan
Pantja Tunggal Aceh Timur. Pada pertemuan ini, “Keputusan Bersama” dikeluarkan,
menyerukan “tindakan tegas dan proporsional” untuk diambil terhadap “mereka
yang telah jelas-jelas terlibat dalam pengkhianatan terhadap bangsa.”<a href="#_ftn57" name="_ftnref57" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[57]</span></span></span></span></a>
Nada yang lebih moderat dari deklarasi ini tampaknya menjadi refleksi atas
penghargaan yang lebih besar yang dimiliki PKI di kabupaten ini, yang dihuni sebagian
besar anggota serikat terbesar masyarakat perkebunan di Aceh. Kesamaan dari
fase inisiasi militer di kabupaten, sementara itu, menunjuk pada koordinasi
menyeluruh di balik respons militer di seluruh provinsi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Djuarsa tidak
melakukan perjalanan ke Aceh Selatan selama periode setelah 1 Oktober, yang
hingga hari ini masih merupakan daerah yang sangat terpencil. Pada 1965, hanya
ada satu atau dua radio di kabupaten itu, yang menerima sinyal melalui antena
yang digantung di puncak pohon kelapa.<a href="#_ftn58" name="_ftnref58" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[58]</span></span></span></span></a>
“Hamzah,” yang pada 1965 adalah seorang petani, mengenang bahwa pada awalnya
terjadi kebingungan di kabupaten itu. Hanya satu pengumuman radio yang
terdengar di kabupaten itu pada 1 Oktober, yang agaknya adalah pengumuman asli
Gerakan 30 September. Pengumuman ini adalah pengumuman tentang gerakan pukul 2 siang
yang telah menyatakan pembentukan Dewan Revolusi di ibukota. Tanpa mendengar
pengumuman lebih lanjut, “Hamzah” mengenang bahwa ia, seperti orang lain di
kabupaten itu, “ingin bergabung” pada apa yang tadinya mereka pikir sebagai
pemberontakan PKI.<a href="#_ftn59" name="_ftnref59" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[59]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sekitar “satu
minggu” setelah 1 Oktober, tampaknya setelah menerima instruksi lebih lanjut
dari pimpinan militer provinsi, pimpinan militer Aceh Selatan berusaha untuk meluruskan
perkara. Selama masa ini, pimpinan militer kabupaten menjelaskan kepada warga
bahwa mendukung pemberontakan PKI yang gagal bukan gagasan yang masuk akal dan
bahwa “PKI telah melakukan kudeta.”<a href="#_ftn60" name="_ftnref60" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[60]</span></span></span></span></a>
Selanjutnya, “Hamzah” menjelaskan, “kami diajarkan bagaimana caranya
‘menghancukan PKI’.”<a href="#_ftn61" name="_ftnref61" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[61]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, anggota PKI diminta untuk melaporkan diri mereka ke militer.<a href="#_ftn62" name="_ftnref62" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[62]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada saat ini
telah memungkinkan untuk melihat meledaknya kekerasan di berbagai kabupaten.
Operasi pemusnahan oleh militer di provinsi ini bergeser dari fase inisiasinya
ke fase kekerasan publik.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> <br /></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Terjadinya
Kekerasan Publik</span></b></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pola utama yang
dapat dilihat dalam penyebaran kekerasan publik di seluruh Aceh selama periode
ini adalah sebagai berikut. Setelah koordinasi keliling Djuarasa dan pertemuan
koordinasi di setiap kabupaten, pertunjukan/demonstrasi dihadiri oleh warga,
termasuk mahasiswa, anggota partai politik non-komunis dan pasukan jagal yang
disponsori militer, diadakan di bawah pengawasan dan dengan dorongan dan
koordinasi militer.<a href="#_ftn63" name="_ftnref63" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[63]</span></span></span></span></a>
Poster dan grafiti mulai muncul di jalanan. Anggota-anggota militer lokal dan
pimpinan daerah setempat berbicara kepada para demonstran, beberapa pihak
menyatakan jumlahnya mencapai ribuan bahkan puluhan ribu. Para demonstran
kemudian berbaris di kantor-kantor dan rumah-rumah PKI sebelum
bangunan-bangunan ini digeledah dan dihancurkan. Orang-orang yang dianggap
terkait dengan PKI beserta keluarga mereka kemudian “ditangkap”<a href="#_ftn64" name="_ftnref64" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[64]</span></span></span></span></a>
dan “menyerah” kepada militer.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada tahap ini,
orang-orang mulai menghilang. Beberapa dari mereka dibunuh di rumah jagal atau
tempat tak dikenal sebelum jenazahnya dibuang di jalanan. Korban lainnya
dijagal langsung di jalanan. Mayat-mayat itu dibiarkan di depan umum.
Penjagalan ini terjadi dalam konteks arahan militer kepada penduduk bahwa
mereka “wajib membantu militer untuk memusnahkan” para anggota kelompok sasaran
ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Penjagalan ini
didokumentasikan dengan sangat rinci oleh militer. Mereka dicatat dalam
Kronologi Militer dan “Peta Penjagalan”, dengan pencantuman nama, usia, dan afiliasi
organisasi mereka. Namun, tidak ada keterlibatan yang dikaitkan dengan
penjagalan korban dalam catatan-catatan ini; kekerasan agaknya digambarkan
bersifat “spontan”, dengan rekaman yang mencatat bahwa “mayat telah ditemukan”
dengan “pembunuh tidak diketahui”.<a href="#_ftn65" name="_ftnref65" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[65]</span></span></span></span></a>
Klaim-klaim spontan seperti ini dan kurangnya informasi mengenai identitas
pelaku jelas menyembunyikan fakta.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejumlah 1.941 kematian
warga dicatat oleh pihak militer terjadi selama periode ini di seluruh Aceh.<a href="#_ftn66" name="_ftnref66" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[66]</span></span></span></span></a>
Tujuan dari kekerasan ini adalah untuk melegitimasi penggunaan kekerasan
ekstra-peradilan (di luar putusan peradilan) terhadap anggota PKI. Jelas bahwa
militer memicu kekerasan ini, alih-alih secara langsung terlibat dalam
pelaksanaannya. Tentu saja memungkinkan untuk melihat korelasi antara pertemuan
koordinasi Djuarsa dan terjadinya kekerasan ini. Seperti yang ditunjukkan <span style="color: red;">Gambar 2</span>, penjagalan publik tidak dimulai sampai
setelah kunjungan Djuarsa. Tanggal-tanggal yang ditunjukkan dengan warna
abu-abu gelap adalah tanggal yang tercantum dalam Kronologi Militer yang
mencatat terjadinya penjagalan publik di setiap kabupaten. Kekerasan ini
mendapat dukungan langsung dari pimpinan militer.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Eskalasi
Kekerasan</span></b></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Hasil dari
tindakan kekerasan ini, serta operasi penangkapan dan penyerahan diri yang
menyertainya, adalah besarnya jumlah penduduk yang terkurung di sepenjuru
provinsi. Pemimpin militer dihadapkan pada pertanyaan tentang apa yang harus
dilakukan atas orang-orang ini. Para pemimpin ini memilih untuk memusnahkan
mereka. Agar tampak logis, mereka melakukannya dengan mengeluarkan perintah
militer untuk “memusnahkan” PKI dan organisasi yang terafiliasi. Tampaknya
keputusan ini dibuat untuk meneror masyarakat, demi memfasilitasi perebutan
kekuasaan, juga, secara harfiah, untuk menumpas saingan politik utama militer.
Ini adalah periode operasi pemusnahan oleh militer yang secara memadai dapat dipahami
sebagai genosida.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Di beberapa
daerah, seperti Aceh Tengah, kehancuran ini hampir menyeluruh. Menurut
keterangan saksi mata di kabupaten ini, hanya satu orang yang selamat dari
operasi penangkapan dan penjagalan oleh militer.<a href="#_ftn67" name="_ftnref67" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[67]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, di Banda Aceh, diyakini bahwa hanya satu anggota struktur
pimpinan PKI Aceh yang selamat.<a href="#_ftn68" name="_ftnref68" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[68]</span></span></span></span></a>
Di semua kabupaten di Aceh, sangat sulit untuk menemukan korban yang selamat.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Menyusul titik
balik penting dalam operasi militer ini, tampaknya memungkinkan untuk melihat
adanya peningkatan tajam terjadinya kekerasan, dengan militer yang mulai
memainkan peran langsung dan terbuka. Pergeseran ini, yang menandai awal fase
ketiga operasi pemusnahan oleh militer, ditandai dengan penjagalan massal yang
sistematis. Hal ini tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya perintah sebelumnya
dan fase inisiasi serta pertunjukan kekerasan.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Pembentukan
Ruang Perang</span></b></span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pada 14 Oktober,
sepekan setelah terjadinya kekerasan publik di Banda Aceh, Djuarsa mengeluarkan
instruksi “menetapkan pembentukan RUANG YUDHA [Ruang Perang] untuk [semua] unit
militer.”<a href="#_ftn69" name="_ftnref69" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[69]</span></span></span></span></a> Ruang
perang ini, laporan itu menjelaskan, “memungkinkan KODAM I untuk melakukan
perang NON-KONVENSIONAL sesuai dengan Konsep Perang Teritorial [dan memungkinkan
untuk] menyukseskan pemusnahan mereka [‘GESTOK’] bersama dengan warga.”<a href="#_ftn70" name="_ftnref70" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[70]</span></span></span></span></a>
Pimpinan militer di Aceh menggunakan Ruang Perang ini untuk mengoordinasikan
penjagalan massal sistematis yang meletus sejak periode ini dan selanjutnya
akan menjadi ciri genosida secara nasional.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"><br /></span><span lang="IN"></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Gambar 2. Terjadinya kekerasan publik. Sumber: Gambar direproduksi dengan izin oleh © Robert Cribb.</span></span></p><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"> </span><span style="font-size: small;"><span lang="IN"></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Penjagalan
Massal Sistematis di Situs Jagal yang Dikendalikan Militer</span></b></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Penjagalan massal
yang sistematis di lokasi-lokasi penjagalan yang dikendalikan militer akan
menjadi karakteristik fase berikutnya dari operasi pemusnahan oleh militer.
Penjagalan ini terjadi di setiap kabupaten di Aceh dengan pola yang sangat
mirip. Unsur-unsur utama dari pola ini termasuk penangkapan individu-individu
yang ditargetkan yang belum ditahan di penjara-penjara yang dikendalikan
militer atau tempat penahanan lainnya; penahanan para tahanan di penjara yang
dikendalikan militer dan tempat-tempat penahanan lainnya; transportasi bertahap
para tahanan ini ke lokasi-lokasi jagal yang dikontrol militer; dan penjagalan
sistematis berikutnya atas para tahanan ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Operasi penangkapan
dikoordinasikan dari Banda Aceh oleh militer. Diketahui dari Kronologi Militer,
misalnya, bahwa pada 20 Oktober 1965, Djuarsa memberikan “pengarahan” kepada
perwakilan dari semua partai politik dan organisasi massa, Pantja Tunggal dan
kepala dinas sipil di Banda Aceh di Ruang Audiensi (Pendopo), di mana ia
menyediakan “penjelasan tentang situasi terkait G30S”.<a href="#_ftn71" name="_ftnref71" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[71]</span></span></span></span></a>
Penjelasan ini didasarkan pada “Keputusan” yang ditandatangani oleh Djuarsa
pada hari yang sama.<a href="#_ftn72" name="_ftnref72" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[72]</span></span></span></span></a>
Keputusan ini melarang semua pihak yang dinyatakan terkait dengan PKI untuk
“meninggalkan tempat mereka [tempat tinggal]” sementara menyatakan bahwa “wajib
bagi semua pemimpin Partai Politik/Organisasi Massa untuk melaporkan diri
mereka ke Pepelrada/Polisi Militer/Polisi di daerah mereka selambatnya pada 25
Oktober.<a href="#_ftn73" name="_ftnref73" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[73]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Individu yang
ditargetkan dan tidak melaporkan diri mereka kemudian dijemput dalam operasi
penangkapan besar-besaran. Operasi-operasi ini dilakukan langsung oleh militer,<a href="#_ftn74" name="_ftnref74" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[74]</span></span></span></span></a>
dengan patroli malam yang dilakukan oleh organisasi paramiliter sipil<a href="#_ftn75" name="_ftnref75" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[75]</span></span></span></span></a>
dan oleh anggota pasukan jagal yang disponsori militer.<a href="#_ftn76" name="_ftnref76" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[76]</span></span></span></span></a>
Dalam beberapa kasus, orang-orang yang ditargetkan ini dipaksa untuk menemani
personil militer dalam operasi penangkapan berikutnya demi membantu proses
identifikasi orang-orang lainnya yang ditargetkan.<a href="#_ftn77" name="_ftnref77" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[77]</span></span></span></span></a>
Dalam kasus-kasus itu, daftar keanggotaan dan daftar penerima bantuan yang
disita oleh militer digunakan sebagai daftar periksa (<i>checklist</i>) oleh
militer.<a href="#_ftn78" name="_ftnref78" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[78]</span></span></span></span></a> Dalam
kasus-kasus lain, daftar dihasilkan dari proses interogasi.<a href="#_ftn79" name="_ftnref79" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[79]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Setelah
penangkapan mereka, para tahanan lantas ditahan di penjara-penjara yang
dikendalikan militer dan pusat-pusat penahanan di seluruh Aceh. Contoh-contoh
situasi penahanan yang dikendalikan militer yang digunakan untuk tujuan ini di
provinsi ini termasuk markas besar Polisi Militer,<a href="#_ftn80" name="_ftnref80" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[80]</span></span></span></span></a>
tempat pelatihan militer di Mata Ie,<a href="#_ftn81" name="_ftnref81" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[81]</span></span></span></span></a>
kantor-kantor pemerintah<a href="#_ftn82" name="_ftnref82" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[82]</span></span></span></span></a>
di Banda Aceh, penjara yang dikelola pemerintah dan markas militer tingkat
kabupaten di Aceh Utara,<a href="#_ftn83" name="_ftnref83" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[83]</span></span></span></span></a>
penjara militer dan enam pusat penahanan yang digambarkan sebagai “kamp
konsentrasi” di Aceh Tengah,<a href="#_ftn84" name="_ftnref84" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[84]</span></span></span></span></a>
penjara yang dikelola pemerintah dan kantor-kantor pemerintah di Aceh Barat,<a href="#_ftn85" name="_ftnref85" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[85]</span></span></span></span></a>
markas militer tingkat kabupaten di Aceh Selatan<a href="#_ftn86" name="_ftnref86" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[86]</span></span></span></span></a>
dan markas militer tingkat kabupaten di Aceh Timur.<a href="#_ftn87" name="_ftnref87" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[87]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Selanjutnya
adalah tinjauan umum tentang lokasi dan operasi yang dilakukan di situs-situs
penjagalan yang dikelola oleh militer di Aceh. Ini bukan daftar lengkap dari
situs-situs tersebut, tetapi ini adalah situs-situs yang menyimpan pengalaman
dari para narasumber saya, baik sebagai pelaku, penyintas, ataupun saksi mata
selama penjagalan, dan situs-situs ini adalah yang setidaknya mereka ketahui
secara langsung. Dalam beberapa kasus, para narasumber saya mendengar tentang situs-situs
ini ketika mereka ditahan atau situs-situs ini adalah tempat penjagalan
orang-orang yang mereka cintai atau kerabat mereka. Saya menduga situs-situs
ini mewakili sebagian kecil dari jaringan situs penjagalan yang dikendalikan
militer yang jauh lebih besar dan beroperasi di provinsi ini ketika itu.
Sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa contoh kecil kasus, lokasi-lokasi
penjagalan ini dapat ditemukan di setiap kabupaten di Aceh dan semuanya
menunjukkan pola operasi yang sangat mirip.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Situs-situs penjagalan
yang dikendalikan militer di Banda Aceh ini termasuk situs penjagalan di Pantai
Lhoknga, 15 kilometer dari pusat Banda Aceh.<a href="#_ftn88" name="_ftnref88" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[88]</span></span></span></span></a>
Di lokasi ini, para tahanan, yang dibawa ke lokasi dengan ditaruh berdesakan di
belakang truk, “dibunuh, dipenggal satu per satu,” atau ditembak oleh anggota
Polisi Militer, sebelum dimakamkan di kuburan massal di lokasi.<a href="#_ftn89" name="_ftnref89" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[89]</span></span></span></span></a>
Di tempat pelatihan militer di Mata Ie, para tahanan dibebaskan pada waktu yang
telah ditentukan sebelumnya untuk menunggu anggota pasukan penjagal, yang
membantai mereka di jalan.<a href="#_ftn90" name="_ftnref90" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[90]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Di Aceh Utara, sebuah
situs pembunuhan yang dikendalikan militer terletak di Meunasah Lhok, 30
kilometer sebelah barat di sepanjang pantai dari Lhokseumawe. Di sini para
tahanan dibawa pada malam hari untuk dibunuh oleh para algojo sipil yang
dipilih dari warga setempat oleh komandan militer kabupaten.<a href="#_ftn91" name="_ftnref91" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[91]</span></span></span></span></a>
Situs lain terletak di Blang Padang, di mana para anggota yang dilatih oleh
militer, hansip (pertahanan sipil) tingkat desa dari organisasi paramiliter
diperintahkan oleh militer untuk menggali kuburan massal sebelum membunuh para
tahanan dengan “meretas” mereka hingga mati atau memotong leher mereka.<a href="#_ftn92" name="_ftnref92" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[92]</span></span></span></span></a>
Para tahanan yang selamat dari proses ini dilaporkan dikubur hidup-hidup.<a href="#_ftn93" name="_ftnref93" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[93]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, situs lain berlokasi di Cot Panglima, suatu tebing curam yang
terletak di sepanjang jalan gunung ke Aceh Tengah, tempat para tahanan dibawa
langsung dari penjara di Bireuen sebelum leher mereka digorok dan tubuh mereka
dibuang dari sisi tebing.<a href="#_ftn94" name="_ftnref94" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[94]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Di Aceh Tengah,
militer mengangkut tahanan di belakang truk ke beberapa lokasi penjagalan yang
dikendalikan oleh militer di sepanjang jalan pegunungan Burlintang, tempat para
tahanan, dengan karung goni menutupi kepala mereka dan tangan mereka diikat di
hadapan mereka, ditembak atau dipenggal, sebagian besar dilakukan langsung oleh
militer.<a href="#_ftn95" name="_ftnref95" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[95]</span></span></span></span></a> Mayat-mayat
itu kemudian dibuang dari sisi gunung, dan situs penjagalan dipindah lebih jauh
di sepanjang lintasan gunung ketika situs-situs tertentu mulai berbau “terlalu
busuk”. Situs lain yang terletak di Karang Debar, tempat penduduk desa dipaksa
menggali lubang besar untuk digunakan sebagai kuburan massal, sebelum para
tahanan digorok lehernya dan dibuang ke dalam lubang. Penjagalan juga terjadi
di Jembatan Tritip, jembatan terakhir menuju Takengon yang dapat ditempuh hanya
sepuluh menit dari pusat kota. Di sana, para tahanan dijagal oleh militer
dengan bantuan penduduk desa, sebelum dimakamkan di kuburan massal dekat dengan
pangkal jembatan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Di Aceh Barat,
para tahanan diangkut di belakang truk ke lokasi penjagalan yang dikendalikan
militer “di dekat laut” dan “di pegunungan”.<a href="#_ftn96" name="_ftnref96" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[96]</span></span></span></span></a>
Situs-situs penjagalan ini didirikan oleh komando militer kabupaten, yang
memberi perintah kepada pejabat pemerintah kabupaten untuk bantu memfasilitasi
transportasi para tahanan ke situs-situs ini.<a href="#_ftn97" name="_ftnref97" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[97]</span></span></span></span></a>
Setelah diturunkan dari truk, para tahanan dipaksa berjalan menuju kuburan
massal tempat mereka ditembak dalam barisan oleh regu tembak.<a href="#_ftn98" name="_ftnref98" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[98]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Di Aceh Selatan,
situs penjagalan yang dikendalikan militer terletak di Ujung Batu, tempat para
tahanan diangkut di belakang truk di tengah gelap sebelum dijagal langsung oleh
militer dan dimakamkan di kuburan massal.<a href="#_ftn99" name="_ftnref99" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[99]</span></span></span></span></a>
Situs lain terletak di Alu Bane, 76 kilometer sebelah barat laut di sepanjang
pinggiran barat pantai dari Tapaktuan.<a href="#_ftn100" name="_ftnref100" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[100]</span></span></span></span></a>
Para anggota Front Nasional ditekan untuk “membantu” militer dalam melakukan
penjagalan ini.<a href="#_ftn101" name="_ftnref101" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[101]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sementara itu, di
Aceh Timur, situs penjagalan yang dikendalikan militer terletak di “Gunung X”
(nama dan lokasi “Gunung X” dirahasiakan demi melindungi identitas para
narasumber).<a href="#_ftn102" name="_ftnref102" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[102]</span></span></span></span></a>
Tahanan dibawa ke situs ini oleh anggota militer, dan dijagal dan dibuang di
kuburan massal.<a href="#_ftn103" name="_ftnref103" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[103]</span></span></span></span></a>
Situs lain terletak di Gunung Seunodok, yang kini dikenal oleh warga lokal
sebagai “Gunung PKI” dan dikatakan berhantu lantaran banyaknya korban anggota
PKI yang ditimbun di sana.<a href="#_ftn104" name="_ftnref104" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[104]</span></span></span></span></a>
Sebagian besar tahanan lain juga diangkut ke perkebunan lokal, tempat para
tahanan itu bekerja, untuk dijagal.<a href="#_ftn105" name="_ftnref105" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[105]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Tujuan dari
adanya situs penjagalan yang dikendalikan militer ini adalah untuk memfasilitasi
pemusnahan sistematis populasi tahanan. Niat ini diungkapkan dengan cara
terorganisir, individu-individu yang ditargetkan dikelompokkan bersama di
tempat-tempat penahanan dan kemudian diangkut bergiliran ke situs-situs yang
dirancang khusus untuk penjagalan. Setelah penangkapan mereka, individu yang
ditargetkan memenuhi giliran yang harus dibuang seefisien mungkin. Di mata
militer, orang-orang ini, tanpa identitas mereka, tidak lagi memiliki harapan
hidup lain selain dihadapkan pada kematian. Di beberapa daerah, kehancuran ini
hampir menyeluruh.<a href="#_ftn106" name="_ftnref106" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[106]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Niat ini juga
diungkapkan dalam berkas pemerintah dan militer yang dihasilkan pada saat itu.
Tujuan dari operasi militer, sebagaimana dijelaskan oleh satu berkas yang
dibuat di Aceh Utara, adalah “pembersihan/pemusnahan G30S.”<a href="#_ftn107" name="_ftnref107" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[107]</span></span></span></span></a>
“Penghancuran ini,” lanjutan penjelasan dalam berkas itu, “telah aktif dan
tercapai dalam kaitannya dengan pihak angkatan bersenjata.”<a href="#_ftn108" name="_ftnref108" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[108]</span></span></span></span></a>
Ini adalah fase operasi pemusnahan oleh militer yang dapat dipahami sebagai
genosida.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Mengapa
Genosida?</span></b></span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Bagian di atas
memberikan bukti jelas bahwa militer memprakarsai dan melaksanakan penjagalan
1965-66 sebagai kebijakan yang disengaja untuk memusnahkan lawan politiknya dan
membawa militer ke tampuk kekuasaan. Tapi bisakah penjagalan itu dipahami
sebagai kasus genosida? Bagi para peneliti seperti Kuper, Chalk, dan Jonassohn,
yang menganggap penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida yang potensial
sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi Genosida 1948, rintangan utama untuk
mengonfirmasi temuan ini adalah “adanya banyak informasi yang saling
bertentangan” untuk digunakan menilai apakah kasus tersebut dapat memenuhi
ketatnya persyaratan definisi istilah tersebut. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Genosida, menurut
Konvensi Genosida 1948, adalah tindakan menyerang anggota-anggota kelompok
sasaran tertentu dengan maksud untuk menghancurkan kelompok sasaran ini “sedemikian
rupa.”<a href="#_ftn109" name="_ftnref109" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[109]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, kelompok sasaran genosida harus terdiri atas kelompok utuh yang
dapat digambarkan dalam kategori “bangsa, etnis, ras, atau agama tertentu”. Oleh
karena itu, anggota suatu kelompok politik tidak dapat menjadi sasaran
genosida, kendati afiliasi politik bisa jadi tumpang tindih dalam kelompok
tersebut. Dalam kasus penjagalan 1965-66, tidak jelas apakah kedua persyaratan
ini dapat diterapkan.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Konvensi Genosida
1948, tentu saja, bukan satu-satunya lensa yang dengannya kekerasan genosida
dapat dipahami.<a href="#_ftn110" name="_ftnref110" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[110]</span></span></span></span></a>
Dirk Moses mengamati bahwa Konvensi dapat memainkan peran dalam
“mendepolitisasi” bagaimana kekerasan genosida dibicarakan dan dipahami.<a href="#_ftn111" name="_ftnref111" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[111]</span></span></span></span></a>
Pertanyaan sentral bagi para peneliti genosida sedapatnya adalah untuk memahami
mengapa kekerasan semacam itu terjadi. Genosida, Helen Fein berpendapat, diterapkan
untuk mencapai tujuan politik,<a href="#_ftn112" name="_ftnref112" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[112]</span></span></span></span></a>
sementara Martin Shaw mengusulkan bahwa genosida paling baik dipahami sebagai
suatu “bentuk perang” yang diterapkan untuk menghancurkan “kekuatan kelompok
sosial musuh.”<a href="#_ftn113" name="_ftnref113" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[113]</span></span></span></span></a>
Bertumpu murni pada pembuktian apakah suatu kasus kekerasan genosida tertentu
memenuhi ketatnya persyaratan definisi Konvensi atau tidak, dapat membatasi
diskusi ini sekadar sebagai debat yang sempit soal perkara semantik.<a href="#_ftn114" name="_ftnref114" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[114]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Namun demikian, Konvensi
ini tidak dapat diremehkan, karena ia penting sebagai sarana utama akses ke
sistem hukum internasional. Lebih jauh lagi, dalam kasus penjagalan 1965-66,
persoalan apakah kasus tersebut dapat dipahami sebagai kasus genosida di bawah
Konvensi memerlukan pembuktian tambahan, lantaran melalui perbandingan dengan
Konvensi ini maka kasus ini justru macet karena soal nihilnya pembuktian. Para
peneliti Indonesia belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan para peneliti
genosida, yang mengarah pada persepsi bahwa penjagalan 1965-66 adalah kasus
abu-abu (<i>borderline</i>) atau kasus genosida yang bermasalah.<a href="#_ftn115" name="_ftnref115" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[115]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"> </span></span></span></span></span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Niat untuk
Menghancurkan</span></b></span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dalam kasus
penjagalan di Indonesia, niat militer untuk menghancurkan kelompok sasarannya
“secara menyeluruh atau sebagian” kini dapat dibuktikan. Berkas-berkas genosida
menyediakan bukti bahwa, dari paling tidak tengah malam pada 1 Oktober 1965,
dalam kata-kata komandan militer antarwilayah Sumatra, “semua anggota angkatan
bersenjata” telah “diperintahkan” untuk “sepenuhnya memusnahkan Gerakan 30
September”, yang digambarkan dalam perintah ini sebagai kontrarevolusi, “sampai
ke akar-akarnya.”<a href="#_ftn116" name="_ftnref116" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[116]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, sekarang juga dapat dibuktikan bahwa pimpinan militer
menggambarkan operasi ini sebagai “operasi untuk memusnahkan GESTOK”.<a href="#_ftn117" name="_ftnref117" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[117]</span></span></span></span></a>
Komandan militer Aceh menjelaskan operasi ini dilancarkan pada 1 Oktober 1965
dan dikenal dalam internal militer sebagai “Operasi Berdikari”. Maksud operasi
ini adalah untuk menghancurkan kelompok sasaran militer secara fisik.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Bahwa istilah
“menghancurkan” dan “memusnahkan” tidak dimaksudkan secara metaforis oleh
pimpinan militer dapat dilihat dalam tindakannya setelah 1 Oktober. Setelah
memerintahkan warga sipil pada 4 Oktober untuk “membantu” militer “dalam setiap
upaya untuk sepenuhnya memusnahkan Gerakan 30 September yang kontrarevolusioner
bersama dengan antek-anteknya,”<a href="#_ftn118" name="_ftnref118" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[118]</span></span></span></span></a>
komandan militer Aceh memulai koordinasi keliling provinsi sejak 7 Oktober.
Selama berkeliling, ia bertemu dengan para pimpinan militer dan pemerintah
setempat dan mengadakan pertemuan massa publik di mana ia secara eksplisit
memerintahkan warga sipil untuk “membunuh” orang yang dianggap terkait dengan
PKI.<a href="#_ftn119" name="_ftnref119" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[119]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, berkas lain yang ditemukan sebagai bagian dari berkas genosida
Indonesia menunjukkan bahwa militer mengerahkan dan mempersenjatai ribuan
anggota paramiliter untuk berpartisipasi dalam Operasi Berdikari.<a href="#_ftn120" name="_ftnref120" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[120]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pihak militer
kemudian mengawasi periode penjagalan publik ini di provinsi tersebut antara
tanggal 7 dan 13 Oktober. Militer mendukung penjagalan ini dan mencatat
perkembangan mereka pada diagram alur dan “Peta Penjagalan”. Bersamaan dengan
operasi penjagalan publik ini, anggota pasukan jagal yang disponsori militer
berpartisipasi dalam operasi “penangkapan” ekstra-peradilan, dan pada saat itu
sejumlah besar individu yang menjadi sasaran diculik dan kemudian “diserahkan”
kepada militer. Orang-orang ini kemudian ditahan di penjara yang dikendalikan
militer dan “kamp konsentrasi” yang berakibat pada adanya populasi tahanan yang
besar di provinsi tersebut.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejak 14 Oktober,
militer mulai melaksanakan kampanye penjagalan sistematis yang dimaksudkan
untuk menghancurkan populasi tahanan ini. Pada tanggal ini, komandan militer
Aceh mengeluarkan “instruksi” yang menetapkan pembentukan “Ruang Perang” yang
dimaksudkan untuk “memungkinkan” pimpinan militer untuk “melakukan perang
NON-KONVENSIONAL” untuk “berhasil memusnahkan” kelompok sasarannya.<a href="#_ftn121" name="_ftnref121" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[121]</span></span></span></span></a>
Sejak saat itu, militer mulai memainkan peran langsung dalam penjagalan di
Aceh. Orang-orang yang menjadi target, yang telah diburu dan secara
ekstra-peradilan “ditangkap” dan ditahan di penjara-penjara yang dikendalikan
militer dan “kamp-kamp konsentrasi” selama dua pekan pertama operasi militer,
kini diangkut ke jaringan situs-situs penjagalan yang dikendalikan militer. Setiap
malam, truk-truk tahanan dikirim ke situs-situs ini, tempat mereka dijagal,
baik secara langsung oleh militer ataupun oleh paramiliter dan perwakilan
warga. Tujuan dari operasi penjagalan ini adalah untuk memusnahkan populasi
tahanan secara sistematis.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><h3 class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Kelompok
Sasaran Militer</span></b></span></span></span></h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pertanyaan apakah
korban penjagalan 1965-66 adalah kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi
Genosida 1948 diperumit dengan berbagai nama yang diberikan kepada kelompok
ini. Berkas genosida Indonesia menunjukkan bahwa kelompok ini pada awalnya
diidentifikasi pada 1 Oktober sebagai “kontrarevolusi”,<a href="#_ftn122" name="_ftnref122" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[122]</span></span></span></span></a>
sebelum diidentifikasi, dan sejak 4 Oktober sebagai “apa yang menyebut diri
sebagai ‘Gerakan 30 September’.” Sementara itu, sejak 6 Oktober, kelompok ini
dinamai “PKI dan berbagai organisasi di bawah panjinya.”<a href="#_ftn123" name="_ftnref123" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[123]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Daftar resmi
organisasi “yang terafiliasi”, sebagaimana diresmikan oleh Suharto pada 31 Mei
1966, termasuk organisasi yang berafiliasi secara resmi dengan PKI, seperti
organisasi pemuda PKI Pemuda Rakyat; Barisan Tani Indonesia (BTI); Serikat
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI); dan organisasi kebudayaannya,
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Daftar ini juga meliputi
organisasi-organisasi yang kendati tidak secara resmi berafiliasi dengan PKI,
tetapi memiliki visi politik yang serupa bagi Indonesia, yakni Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani) dan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
(Baperki), organisasi massa bagi masyarakat Melayu-Tionghoa yang diidentifikasi
sebagai pro-komunis.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dalam konteks
ini, label “PKI” digunakan untuk merujuk pada kader PKI dan anggota “organisasi
yang terafiliasi” (lihat <span style="color: red;">Gambar 3</span>). Label ini
juga dipakai untuk merujuk pada keluarga para anggota “organisasi yang
berafiliasi”. Selain itu, label juga digunakan untuk merujuk pada kawan-kawan
dan kolega dari individu-individu ini serta populasi desa tertentu dan, pada
waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu, kepada masyarakat etnis
Melayu-Tionghoa.<a href="#_ftn124" name="_ftnref124" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[124]</span></span></span></span></a>
Dengan demikian, jelas bahwa kelompok sasaran militer secara signifikan lebih
luas daripada sekadar anggota organisasi PKI.<a href="#_ftn125" name="_ftnref125" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[125]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kelompok sasaran
yang luas ini juga secara kolektif diidentifikasi sebagai “komunis” (kaum
komunis, lit. “kelompok komunis”),<a href="#_ftn126" name="_ftnref126" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[126]</span></span></span></span></a>
“kontra-revolusioner”,<a href="#_ftn127" name="_ftnref127" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[127]</span></span></span></span></a>
kafir dan tidak beragama, dan ateis atau anti-Tuhan. Label kolektif ini
dimaksudkan untuk memproyeksikan gagasan bahwa kelompok target ini berpadu secara
internal dan memiliki struktur kepercayaan dan identitas diri bersama. Hubungan
aktual dari orang-orang yang ditargetkan ini dengan tindakan-tindakan Gerakan
30 September—justifikasi resmi untuk penargetan militer terhadap kelompok
ini—dengan demikian hanyalah gagasan sampingan bahwa orang-orang semacam itu
harus menjadi sasaran hanya berdasarkan tuduhan, begitu militer mulai menyerang
mereka. Sementara itu, orang-orang yang ditargetkan ini, umumnya dituduh
sebagai anggota kelompok sasaran hanya berdasarkan dugaan atau asosiasi, begitu
mereka diidentifikasikan pada kalangan tertentu, tidak ada jalan lain untuk
menggagalkan pelabelan ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Gambar 3. Kelompok Sasaran Militer</span><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN"></span></b></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejumlah peneliti
berpendapat bahwa para korban penjagalan 1965-66 ditargetkan sebagai kelompok
politik dan bahwa kelompok ini tidak dapat, dengan demikian, dipahami sebagai
kelompok yang dilindungi di bawah Konvensi Genosida 1948.<a href="#_ftn128" name="_ftnref128" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[128]</span></span></span></span></a>
Pengecualian kelompok politik dari perlindungan Konvensi ini menarik perhatian
yang signifikan karena secara moral tidak dapat dibenarkan<a href="#_ftn129" name="_ftnref129" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[129]</span></span></span></span></a>
dan berdasarkan pada anggapan usang bahwa identitas kebangsaan, etnis dan ras (secara
tradisional dipandang bersifat utuh dan bawaan) secara fundamental berbeda dari
identitas politik (secara tradisional dilihat sebagai tidak kekal dan
diciptakan secara sosial).<a href="#_ftn130" name="_ftnref130" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[130]</span></span></span></span></a>
Scott Straus, sementara itu, berpendapat bahwa kelompok pelakulah dan bukan
kelompok korban yang akhirnya menentukan “sifat esensial” dari kelompok
sasaran,<a href="#_ftn131" name="_ftnref131" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[131]</span></span></span></span></a> saat
ini membuat perbedaan antara identitas kelompok sasaran tidak dapat
dipertahankan. Meski demikian, kelompok politik tetap dikecualikan dari
perlindungan berdasarkan Konvensi.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Berdasarkan karya
Barbara Harff, John Roosa memgusulkan bahwa penjagalan 1965-66 harus dipahami
sebagai kasus “politisida”<a href="#_ftn132" name="_ftnref132" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[132]</span></span></span></span></a>—istilah
yang dirancang untuk menghindari debat soal pengecualian kelompok politik dalam
Konvensi.<a href="#_ftn133" name="_ftnref133" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[133]</span></span></span></span></a> Andrei
Gomez-Suarez, menulis tentang penjagalan anti-komunis di Kolombia, justru
menentang pengambilan istilah itu, menyebutnya sebagai “kompromi” yang
memperkuat kurangnya konsensus dalam studi genosida.<a href="#_ftn134" name="_ftnref134" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[134]</span></span></span></span></a>
Penghancuran genosidal atas kelompok komunis di negara-negara pascakolonial, di
mana kelompok komunis adalah mereka yang memainkan peran integral dalam
pengembangan ideologi nasionalis, akan tampak secara khusus mengungkap dikotomi
palsu antara identitas kebangsaaan tradisional yang berbasis etnis dan
identitas kebangsaan modern yang berbasis ideologi.<a href="#_ftn135" name="_ftnref135" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[135]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kendati benar
bahwa para korban penjagalan 1965-66 menjadi sasaran sebagian karena dugaan
afiliasi mereka dengan kelompok politik (PKI), saya beranggapan bahwa para
korban penjagalan 1965-66 ini juga ditargetkan sebagai bagian dari kelompok
yang lebih luas. Bagian berikut ini memberi gambaran mengapa kelompok sasaran
militer dapat dilihat sebagai kelompok berdasarkan kebangsaan dan agama.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Kelompok
Nasional yang Terbentuk Secara Ideologis</span></b></span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejak 2001, Cribb
telah menjadi pendukung utama argumen bahwa penjagalan 1965-66 dapat dilihat
sebagai kasus genosida sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi Genosida 1948.
Menurutnya, kasus di Indonesia mampu “menjelaskan fenomena genosida” dengan
menunjukkan sifat bermasalah dari perbedaan artifisial yang ditentukan
berdasarkan konsep ras, etnis, identitas nasional dan identitas politik dalam
interpretasi utama Konvensi.<a href="#_ftn136" name="_ftnref136" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[136]</span></span></span></span></a>
Pemahaman tradisional tentang ras, identitas etnis dan kebangsaaan sebagai
“bersifat tetap” dan “tidak berubah”, baginya, sudah ketinggalan zaman dan
tidak lagi didukung oleh pemahaman “konstruksionis” terhadap
identitas-identitas ini.<a href="#_ftn137" name="_ftnref137" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[137]</span></span></span></span></a>
Pemahaman ini, ia usulkan, mampu memberikan “jembatan yang kokoh antara
genosida etnis ‘klasik’ dan genosida politik’, dengan menunjukkan kesamaan
antara dua bentuk identitas ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dalam kasus
Indonesia, Cribb berpendapat bahwa kategori “kelompok nasional”, sebagaimana
didefinisikan sebagai kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi, dapat
diperluas untuk mencakup kelompok nasional yang terbentuk secara ideologis. Ia
berpendapat, ini karena “sifat identitas kebangsaan Indonesia menunjukkan
dengan cara tak lazim betapa pembersihan politik juga dapat dilihat sebagai
pembersihan etnis.” Untuk mendukung argumen ini, ia memberikan tinjauan rinci
tentang pengembangan identitas kebangsaan Indonesia sebagai perwujudan dari
tiga pembeda “kebangsaan berdasarkan niat”, atau “ekspresi” atas identitas ini.<a href="#_ftn138" name="_ftnref138" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[138]</span></span></span></span></a>
Ketiga “ekspresi” ini—yang diidentifikasi sebagai “Komunis”, “Islamis”, dan
“Pembangunanis”—tidak hanya dibedakan berdasarkan antagonisme budaya, sosial,
ataupun ideologis, tetapi juga berdasarkan lapisan lain yakni pertentangan
ekonomi dan kelas.<a href="#_ftn139" name="_ftnref139" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[139]</span></span></span></span></a>
Dengan demikian, ia mengusulkan agar “kelompok komunis” Indonesia dapat dilihat
sebagai kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi, dan sementara itu menurutnya
perspektif ini juga akan mampu memberikan analisis mendalam tentang konflik
antarkelompok di Indonesia.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">International
Peoples Tribunal for 1965 (IPT-65) atau Pengadilan Rakyat Tragedi 1965 bergerak
selangkah lebih maju dengan argumen ini, memimpin investigasi yang tidak
mengikat secara hukum atas penjagalan 1965-66 di Den Haag pada November 2015.
Berdasarkan argumen Cribb, IPT-65 mengusulkan bahwa “kelompok nasional
Indonesia” menjadi sasaran genosida karena “sebagian dari mereka” telah menjadi
korban yang keberadaannya dihapuskan.<a href="#_ftn140" name="_ftnref140" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[140]</span></span></span></span></a>
Pendekatan serupa juga telah dipakai oleh Daniel Feierstein dalam kasus
Argentina untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa represif yang terjadi di negara
tersebut antara tahun 1974 dan 1983.<a href="#_ftn141" name="_ftnref141" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[141]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Namun, pendekatan
ini mandek di antara para pemikir hukum genosida. Ahli hukum internasional
William Schabas, misalnya, menjelaskan bahwa “penjagalan massal yang
membingungkan dari anggota kelompok pelaku sendiri dengan genosida tidak sesuai
dengan tujuan Kovensi, yang melindungi minoritas bangsa ini dari kejahatan yang
berdasarkan kebencian etnis.”<a href="#_ftn142" name="_ftnref142" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[142]</span></span></span></span></a>
Hukum internasional menetapkan bahwa Konvensi ini tidak berlaku untuk anggota
kelompok bangsa atau etnis yang sama—fenomena yang terkadang disebut sebagai
“auto-genosida”.<a href="#_ftn143" name="_ftnref143" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[143]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Ini bukan posisi
yang diambil Cribb. Penjelasan Cribb menunjukkan bahwa “kelompok komunis
Indonesia”, dan bukan “kelompok nasional Indonesia” yang secara keseluruhan
menjadi target operasi pemusnahan militer. “Kelompok komunis” ini, ia
berpendapat, merupakan kelompok kuasi-etnik sebagai kelompok nasional atau
kelompok sub-nasional tersendiri yang terbentuk secara ideologis. Bahwa militer
secara eksplisit mengidentifikasi kelompok komunis Indonesia (kaum komunis)
untuk menjadi target operasi penghancurannya didukung oleh bukti yang ditemukan
dalam berkas genosida Indonesia.<a href="#_ftn144" name="_ftnref144" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[144]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"> </span></span></span></span></span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Kelompok Agama</span></b></span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Para korban
penjagalan 1965-66 juga menjadi sasaran penghancuran berdasarkan dugaan
identitas mereka sebagai “ateis” (anti-Tuhan) dan “orang yang tidak beriman”
(kafir, tidak beragama). Adapun, seperti data baru yang dikumpulkan selama saya
melakukan penelitian mengungkapkan,<a href="#_ftn145" name="_ftnref145" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[145]</span></span></span></span></a>
ini akan menjadi cara utama penjagalan dibenarkan pada saat itu, baik oleh
militer dalam pengumuman publik dan oleh warga yang terlibat.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sebagian besar
aspek penargetan militer atas “PKI”, sampai saat ini, masih belum diselidiki.
Hal ini disebabkan oleh betapa sensitifnya topik ini. Ateisme tidak diakui oleh
negara Indonesia.<a href="#_ftn146" name="_ftnref146" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[146]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, para penyintas kerap ingin menjauhkan diri dari tuduhan bahwa
mereka “ateis”, baik karena persyaratan hukum ini dan karena mereka menganggap
diri mereka mempraktikkan Muslim (atau Hindu, atau Kristen).<a href="#_ftn147" name="_ftnref147" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[147]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Yurisprudensi ada
untuk menyatakan bahwa ateisme dapat diterima sebagai “Kelompok Agama” di bawah
Konvensi. Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (The International
Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR), dalam kasus Akayesu, mendefinisikan
kelompok agama sebagai “orang yang anggotanya memiliki agama, denominasi, atau
cara ibadah yang sama.”<a href="#_ftn148" name="_ftnref148" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[148]</span></span></span></span></a>
Definisi ini, ahli hukum Matthew Lippman dan David Nersessian berpendapat,
meliputi juga kelompok-kelompok ateis. Lippman, misalnya, berpendapat bahwa:
“Kelompok-kelompok agama mencakup komunitas teis, non-teis, dan ateis yang
dipersatukan oleh satu cita-cita spiritual.”<a href="#_ftn149" name="_ftnref149" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[149]</span></span></span></span></a>
Sementara itu, David Nersessian berpendapat: “Konsep kelompok-kelompok
keagamaan harus cukup fleksibel untuk mencakup ateis dan non-teis lain yang
ditargetkan untuk genosida, berdasarkan pada ‘kepercayaan’ internal mereka atau
‘cara ibadah’ fungsional mereka (tidak menyembah sama sekali).”<a href="#_ftn150" name="_ftnref150" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[150]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Argumen bahwa
kelompok sasaran militer harus dipahami sebagai “kelompok agama” semakin
diperkuat oleh pemahaman bahwa kelompok ini menganggap dirinya sebagai kelompok
teis yang “disatukan oleh cita-cita spiritual tunggal”, sesusai definisi
Lippman. Gerakan komunis Indonesia muncul pada 1920-an sebagai cabang dari gerakan
anti-kolonial Hindia Belanda. Sejak saat itu, mayoritas anggota PKI dan
penganut komunisme Indonesia mengidentifikasikan diri baik dengan Marxisme
maupun “Islam Merah”, alias Islam yang berbeda yang diartikulasikan oleh “Haji
Merah”, Haji Mohammad Misbach, yang berkotbah bahwa Islam dan Komunisme
sepadan.<a href="#_ftn151" name="_ftnref151" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[151]</span></span></span></span></a></span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dengan demikian,
dimungkinkan untuk berargumen bahwa para korban penjagalan 1965-66, sebagian
besar, teridentifikasi dihancurkan sebagai suatu kelompok religius, baik karena
begitulah mereka diidentifikasikan oleh militer (sebagai “ateis”) ataupun
karena begitulah kelompok ini mengidentifikasikan diri mereka (sebagai penganut
“Islam Merah”). Demikian pula, sesuai argumen Cribb, adalah mungkin untuk
berargumen bahwa para korban penjagalan 1965-66 dijadikan sasaran anggota
kelompok nasional atau sub-nasional yang secara ideologis merupakan bagian dari
“kelompok komunis” Indonesia. Sementara itu, dalam kasus korban etnis Melayu-Tionghoa
pada penjagalan massal 1965-66, para korban juga, pada waktu-waktu tertentu dan
di tempat-tempat tertentu, dijadikan sasaran sebagai anggota kelompok etnis
atau ras tertentu.<a href="#_ftn152" name="_ftnref152" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[152]</span></span></span></span></a>
Ketika dihadirkan bersamaan dengan bukti yang jelas bahwa militer memiliki dan
bertindak berdasarkan niatan untuk menghancurkan kelompok ini “sedemikian
rupa”, bukti baru ini memperkuat argumen, yang diajukan oleh para peneliti
genosida sejak awal 1980-an, bahwa penjagalan 1965-66 dapat dipahami sebagai
kasus genosida.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><b><span lang="IN">Kesimpulan</span></b></span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Penemuan berkas
genosida Indonesia ini telah secara mendasar mengubah apa yang sekarang mungkin
diketahui tentang penjagalan 1965-66, khususnya terkait pertanyaan tenang niat
dan pertanggungjawaban militer. Demikian juga, proses identifikasi kelompok
sasaran militer dan penargetan mereka untuk dihancurkan kini dapat dipahami
melalui sudut pandang militer sendiri mengenai bagaimana proses ini terjadi.
Pembuktian yang kuat untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida
kini dapat dibuat. Genosida sebagai konsep memang tidak sempurna. Meski begitu,
berkas genosida ini dapat menjadi alat yang penting untuk meminta
pertanggungjawaban pelaku penjagalan massal yang secara sistematis disponsori
oleh negara.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kekeliruan yang
sengaja dilanggengkan oleh negara Indonesia dan sekutunya di Washington,
London, dan Canberra untuk menjadikan kasus genosida di Indonesia tampak
sebagai kekerasan yang dilakukan secara spontan, dan hal ini terbilang
berbahaya. Selain memungkinkan para pelaku genosida untuk menikmati impunitas
penuh (kebal hukum) atas tindakan mereka, ini memungkinkan militer untuk terus
menghasut terjadinya konflik antar-kelompok di Indonesia sembari terus mencuci
tangan atas konsekuensinya. Sudah saatnya penjagalan 1965-66 diakui sebagaimana
adanya: sebagai salah satu genosida paling brutal pada abad kedua puluh yang
disponsori negara. </span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN"> </span></b></span></span></p><p align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN">Ucapan Terima Kasih</span></b></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dirk
Moses dan dua pengulas anonim yang mengomentari versi sebelumnya dari artikel
ini.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN">Pernyataan Tertulis</span></b></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Tidak ada potensi konflik kepentingan dilaporkan
oleh penulis.</span></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><p align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN">Catatan tentang Kontributor</span></b></span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span lang="IN" style="line-height: 107%;">Jess Melvin adalah <i>Henry Hart Faculty Fellow</i> di
Southeast Asian Studies dan <i>postdoctoral fellow</i> di Genocide Studies di
Macmillan Centre, Yale University. Minat penelitiannya termasuk sejarah militer
Indonesia, Perang Dingin di Asia Tenggara, dan kekerasan politik.</span>
</span></span><div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br clear="all" /></span></span>
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[1]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Versi dari artikel ini dipresentasikan
pada “1965’s Today: Living with the Indonesian Massacres,” Amsterdam, 2 Oktober
2015. Artikel bahasa Indonesia ini adalah terjemahan Dewi Kharisma Michellia dan diterbitkan dalam <i>1965 pada Masa Kini: Hidup dengan Warisan Peristiwa Pembantaian Massal</i>.<br /></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn2">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[2]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Saya berpendapat bahwa di tempat lain
etnis Tionghoa yang menjadi korban penjagalan 1965-66 juga ditargetkan sebagai
anggota kelompok etnis atau ras. (Jess Melvin, “Why Not Genocide? Anti-Chinese
Violence in Aceh, 1965-66,” Journal of Southeast Asian Affairs (GIGA) 23, no. 3
(2013): 63-91; juga Jess Melvin, <i>The Army and the Indonesian Genocide:
Mechanics of Mass Murder</i> (New York: Routledge, 2018)).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn3">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[3]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Saya berterima kasih sedalam-dalamnya
kepada Douglas Kammen yang telah mengirimi saya “Laporan Tahunan Lengkap” yang
diproduksi oleh Komando Militer Aceh pada 1965, yang tampaknya secara misterius
muncul di Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV)
untuk dipindai sebagai bagian dari proyek Perpustakaan Digital Aceh.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn4">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[4]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> 40 hari kegagalan ‘G.30.S’: 1 Oktober-10
November 1965, edisi kedua. (Jakarta: Staf Pertahanan Keamanan Lembaga
Sedjarah, 1966; kali pertama diterbitkan pada Desember 1965), 111.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn5">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[5]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh,
Upaya Kudeta dari ‘Gerakan 30 September’ di Indonesia (Jakarta, n.p., 1967),
77.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn6">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[6]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Fairus, ed., Kodam Iskandar Muda: sejarah
dan pengabdian (Banda Aceh: Dinas Penerangan Kodam Iskandar Muda, 2004), 92.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn7">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[7]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Vedi R. Hadiz, “The Left and Indonesia’s
1960s: The Politics of Remembering and Forgetting,” Inter-Asia Cultural Studies
7, no. 4 (2006): 555.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn8">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[8]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “1965 Symposium: Indonesia’s Way to Face
Its Dark Past,” Jakarta Post, 19 April 2016, http://www.thejakartapost.com/news/2016/04/19/1965-symposium-indonesias-way-to-face-its-dark-past.html.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn9">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[9]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Indonesia: Stop Intimidating
Participants in Events Concerning 1965 Human Rights Violations,” Amnesty
International, pernyataan publik, 9 Agustus 2017.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn10">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[10]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Serangan terjadi pada 16 September 2017.
Nurkholis Hidayat, “Democratic Emergency? Hardliners, Communism and the Attack
on LBH,” Indonesia di Melbourne, 18 September 2017,
http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/democratic-emergency-hard-liners-communismand-the-attack-on-lbh/.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn11">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[11]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Dwi Andayani, “LBH kaitkan pengepungan
dengan seruan Jokowi ‘Gebuk PKI’,” DetikNews, 18 September 2017. Komentar
Jokowi dibuat di Facebook.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn12">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[12]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Harold Crouch, <i>The Army and Politics
in Indonesia</i> (Jakarta: Equinox Publishing, 2007; kali pertama diterbitkan
pada 1978), 141-2.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn13">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[13]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Robert Cribb, “Political Genocides in
Postcolonial Asia,” dalam <i>The Oxford Handbook of Genocide Studies</i>, ed.
Donal Bloxham dan A. Dirk Moses (Oxford: Oxford University Press, 2010), 453.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn14">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[14]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Douglas Kammen dan Katharine McGregor,
“Pengantar,” dalam <i>The Contours of Mass Violence in Indonesia</i>, 1965-68,
ed. Douglas Kammen dan Katharine McGregor (Singapura: NUS Press, 2012), 8.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn15">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[15]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> John Roosa menjelaskan bagaimana Gerakan
30 September digunakan sebagai “dalih” oleh militer untuk melancarkan serangan
yang telah lama dinantikan terhadap PKI. John Roosa, <i>Pretext for Mass
Murder: The 30 September Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia</i>
(Madison: Universit of Wisconsin Press, 2006).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn16">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[16]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Lihat Robert Cribb, “Unresolved Problems
in the Indonesian Killings of 1965-1966,” Asian Survey 42, no. 4 (2002): 551-2.
Untuk contoh-contoh sebelumnya, lihat Lucien Rey, “Dossier of the Indonesian
Drama,” New Left Review no. 36 (1 April 1966): 35; dan Benedict R. Anderson dan
Ruth T. McVey, <i>A preliminary analysis of the October 1, 1965, coup in
Indonesia</i> (Ithaca, NY: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1971).
Rey, yang menulis pada 1966, menyatakan bahwa militer telah “mendorong”
gerombolan bersenjata “untuk mengambil keuntungan dari iklim anti-PKI” setelah
peristiwa 1 Oktober 1965. “Tekniknya,” ia menjelaskan, “adalah dengan mengirim
pasukan untuk masuk ke desa, memaksa kepala desa untuk memberikan nama semua
anggota dan simpatisan PKI, mengumpulkan mereka dan kemudian membiarkan para
ekstremis Muslim dan Kristen sayap kanan mengetahui kapan mereka akan
dibebaskan. Ketika mereka dilepaskan dari penjara, mereka dicincang dengan kait
dan parang.” Teknik ini agaknya digunakan oleh militer, seperti diuraikan di
atas. Apa yang tidak dijelaskan, karena belum diketahui, adalah bahwa ada
keterlibatan militer pada peristiwa penjagalan ini. McVey dan Anderson,
sementara itu, menulis pada 1971, menggambarkan penjagalan sebagai “operasi
sistematis untuk memutus akar Partai Komunis.” Mereka menjelaskan, “Angkatan Darat
jelas bermaksud untuk menghancurkan partai dari cabang hingga akar-akarnya.”
Bagaimanapun, mereka menahan diri untuk menyediakan analisis tentang bagaimana
operasi ini dilaksanakan, di luar menjelaskan bahwa “PKI dengan cepat ditangkap
dan dihancurkan” dengan bantuan kelompok-kelompok yang main hakim sendiri dan
dilatih oleh militer. Sementara, informasi mengenai bagaimana operasi ini
dijalankan dan metode apa yang diterapkan masih belum dijelaskan dan tidak
dapat diketahui.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn17">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[17]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Di Indonesia, penjagalan 1965-66 kali
pertama mulai digambarkan sebagai kasus genosida pada akhir 1990-an. Lihat,
misalnya, Wimanjaya W. Liotohe, <i>Mengadili diktator Suharto in absentia:
pengadilan rakyat semesta-pengrata</i> (Jakarta: n.p., [diterbitkan sendiri],
1999).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn18">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[18]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Leo Kuper, <i>Genocide: Its Political Use
in the Twentieth Century</i> (New Haven, CT: Yale University Press, 1981),
152-3.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn19">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[19]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 138.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn20">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[20]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 154.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn21">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[21]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn22">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[22]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid., </i>153.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn23">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref23" name="_ftn23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[23]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Frank Chalk dan Kurt Jonassohn, <i>The
History and Sociology of Genocide: Analyses and Case Studies</i> (New Haven,
CT: Yale University Press, 1990), 382.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn24">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref24" name="_ftn24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[24]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 35.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn25">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref25" name="_ftn25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[25]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Roosa, <i>Pretext for Mass Murder</i>,
189-91.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn26">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref26" name="_ftn26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[26]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Keputusan peningkat pelaksanaan
Dwikora,” Keppres/Plm Tert. ABRI/KOTI/KOTOE No. 52/KOTI tahun 1964, mb 14 Sept.
1964, dalam <i>Ketetapan MPRS dan peraturan negara jang penting bagi anggauta
Angkatan Bersendjata</i>, ed. Muhono, ‘<i>Decision for the enforcement of the
implementation of Dwikora</i>’ dalam ‘<i>Decisions of the Provisional People’s
Consultative Council and government regulations relevant to members of the
Armed Forces</i>’ (Jakarta: Tentara Nasional Indonesia, 1966).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn27">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref27" name="_ftn27" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[27]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Niat Sukarno yang jelas adalah untuk
menggunakan undang-undang Dwikora yang baru untuk membatasi kekuatan militer
dengan menempatkan sekutunya sendiri dalam mengendalikan perintah ini dan untuk
memberikan penyeimbang pada monopoli militer atas senjata dengan memberikan
pelatihan senjata dasar demi operasi yang diusulkan, dengan 21 juta
sukarelawan. Ulf Sundhaussen, <i>The Road to Power: Indonesian Military
Politics, 1945-1967</i> (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982), saya
berpendapat bahwa dukungan Sukarno untuk pelatihan senjata ini dianggap telah
melewati “garis merah” oleh para pimpinan militer, sehingga mempercepat rencana
pihak militer untuk merebut kekuasaan negara.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn28">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref28" name="_ftn28" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[28]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Crouch, <i>The Army and Politics in
Indonesia</i>, 45-8.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn29">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref29" name="_ftn29" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[29]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Untuk diskusi lengkap tentang bagaimana
tindakan Gerakan 30 September digunakan sebagai dalih oleh pimpinan militer,
lihat Roosa, <i>Pretext for Mass Murder</i>.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn30">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref30" name="_ftn30" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[30]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Laporan tahunan lengkap Kodam-I/Kohanda
Atjeh tahun 1965 (Banda Aceh: Kodam-I, 1966), 17.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn31">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref31" name="_ftn31" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[31]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn32">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref32" name="_ftn32" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[32]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Pidato radio Pimpinan Sementara Angkatan
Darat Major Djendral Soeharto,” Pimpinan Sementara AD Republik Indonesia, Major
Jendral Soeharto, 1 Oktober 1965, dalam Alex Dinuth, Dokumen terpilih sekitar
G.30.S/PKI (Jakarta: Penerbit Intermasa, 1997), 59-60.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn33">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref33" name="_ftn33" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[33]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Djuarsa menjalani pelatihan di US Command
and General Staff College di Fort Leavenworth di Kansas, Amerika Serikat. Bryan
Evans III, “The Influence of the United States Army on the Development of the
Indonesian Army (1954-1964),” Indonesia no. 47 (April 1989): 28.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn34">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref34" name="_ftn34" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[34]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Chronologis kedjadian2 jang berhubungan
dengan Gerakan 30 September di daerah Kodam-I/Atjeh,” dalam <i>Laporan Tahunan
Lengkap</i>, 92.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn35">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref35" name="_ftn35" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[35]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Diketahui, misalnya, bahwa perintah ini
juga dikirim melalui komandan militer antardaerah untuk Sumatra, Letnan
Jenderal Ahmad Mokoginta. “Chronologis,” 1.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn36">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref36" name="_ftn36" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[36]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Mokoginta menjalani pelatihan di US
Command and General Staff College di Fort Leavenworth, di sana ia akan muncul
sebagai tokoh terkemuka dalam jajaran pimpinan militer nasional. Dia sebelumnya
juga menjabat sebagai Kepala Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD).
Evans III, “The Influence of the United States Army”, 28.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn37">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref37" name="_ftn37" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[37]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Tetap tenang dan penuh kewaspadaan
terhadap setiap anasir jang merusak dan ingin menghantjurkan
Pantjasila-revolusi-negara dan bangsa kita, baik dari luar maupun dari dalam,”
dalam Letdjen A. J. Mokoginta, Koleksi pidato2/kebidjaksanaan Panglima Daerah
Sumatra (Medan: Koanda Sumatera, 1966), 152.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn38">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref38" name="_ftn38" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[38]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 152.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn39">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref39" name="_ftn39" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[39]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Jess Melvin, <i>The Army and the
Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder</i> (New York: Routledge, 2018).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn40">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref40" name="_ftn40" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[40]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Chronologis”, 92.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn41">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref41" name="_ftn41" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[41]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Sundhaussen, <i>The Road to Power</i>,
185-6.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn42">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref42" name="_ftn42" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[42]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Melvin, <i>The Army and the Indonesian
Genocide</i>, 45.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn43">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref43" name="_ftn43" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[43]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Pernjataan Pantja Tunggal Daerah
Istimewa Atjeh,” Banda Aceh, 4 Oktober 1965, 1; lihat juga berkas <i>Chain of
Command</i>, berkas genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn44">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref44" name="_ftn44" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[44]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Pengumuman: Peng. No. Istimewa P.T.,”
Banda Aceh, 4 Oktober 1965; lihat juga berkas <i>Chain of Command</i>, berkas
genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn45">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref45" name="_ftn45" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[45]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Ishak Djuarsa: sejak 1967, Pak Harto
sudah seperti imam yang batal wudu,” Tempo, 2 April 2000, 39. Pernyataan ini
telah dikuatkan secara independen oleh Dahlan Sulaiman, yang mengaku bepergian
dengan Djuarsa ke Pidie dan kemudian ke Lhokseumawe. Wawancara dengan Dahlan
Sulaiman, Banda Aceh, 29 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn46">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref46" name="_ftn46" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[46]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Chronologis”, 3.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn47">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref47" name="_ftn47" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[47]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn48">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref48" name="_ftn48" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[48]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon,
Aceh Tengah, 7 Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn49">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref49" name="_ftn49" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[49]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh,
Aceh Barat, 3 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn50">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref50" name="_ftn50" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[50]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn51">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref51" name="_ftn51" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[51]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn52">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref52" name="_ftn52" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[52]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Pernjataan, No: 4/Dprdgr/AB/1965,”
Meulaboh, Aceh Barat, 11 Oktober 1965, 2; lihat juga berkas <i>Rantai Komando</i>;
berkas genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn53">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref53" name="_ftn53" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[53]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 3.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn54">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref54" name="_ftn54" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[54]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Melvin, <i>The Army and the Indonesian
Genocide</i>, 78-87.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn55">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref55" name="_ftn55" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[55]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Menyusul kesimpulan dari pertemuan ini,
yang Djuarsa minta untuk ditutup setelah menginstruksikan kepada jajaran
pimpinan militer dan pemerintahan Aceh untuk kembali ke kabupaten masing-masing
dan menunggu perintah lebih lanjut, Subandrio dan Nyoto pergi ke Medan dengan <i>speedboat</i>.
Setibanya di pelabuhan Belawan, tepat begitu mendekati Medan, mereka
ditempatkan di bawah “tahanan perlindungan” Mokoginta dan Daryatmo. Anderson G.
Bartlett III dkk., <i>Pertamina: Indonesian National Oil</i> (Singapura:
Amerasian Ltd, 1972), 240.<span> </span></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn56">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref56" name="_ftn56" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[56]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Teuku Ali Basja, Simpang
Surabaya, Banda Aceh, 28 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn57">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref57" name="_ftn57" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[57]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Peristiwa apa jang menamakan dirinja
‘Gerakan 30 September’,” Langsa, Aceh Timur, 5 Oktober 1965; lihat juga berkas <i>Rantai
Komando</i>, berkas genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn58">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref58" name="_ftn58" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[58]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Hamzah”, Tapaktuan,
Aceh Selatan, 6 Desember 2011. (Nama-nama yang tertulis dalam tanda kutip
adalah nama-nama samaran).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn59">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref59" name="_ftn59" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[59]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn60">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref60" name="_ftn60" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[60]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 7.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn61">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref61" name="_ftn61" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[61]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 9.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn62">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref62" name="_ftn62" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[62]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 3.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn63">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref63" name="_ftn63" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[63]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Misalnya, “Chronologis”, 2-7.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn64">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref64" name="_ftn64" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[64]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Penangkapan ini dilakukan secara
ekstra-peradilan.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn65">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref65" name="_ftn65" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[65]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Misalnya, “Chronologis”, 4, 5, 6, 8, 15,
dan 16. Untuk diskusi tentang fenomena ini, lihat Melvin, <i>The Army and the
Genocide Indonesia</i>, 274.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn66">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref66" name="_ftn66" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[66]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Laporan Tahunan Lengkap</i>, 6-7.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn67">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref67" name="_ftn67" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[67]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon,
Aceh Tengah, 7 Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn68">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref68" name="_ftn68" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[68]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Asan, Hong Kong, 31
Oktober 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn69">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref69" name="_ftn69" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[69]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Laporan Tahunan Lengkap</i>, 17.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn70">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref70" name="_ftn70" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[70]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 85 (penekanan pada
aslinya).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn71">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref71" name="_ftn71" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[71]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Chronologis”, 9.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn72">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref72" name="_ftn72" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[72]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Surat-Keputusan No: KEP/PEPELRADA
29/10/1965,” Banda Aceh, 20 Oktober 1965. Lihat, “Arsip Dokumen Banda Aceh”,
berkas genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn73">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref73" name="_ftn73" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[73]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn74">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref74" name="_ftn74" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[74]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Ramli”, Sumatra Barat,
15 Desember 2011; juga wawancara dengan “Tjoet”, Kampung X, Bireuen, 11
Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn75">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref75" name="_ftn75" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[75]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Hamid”, Lhokseumawe,
Aceh Utara, 19 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn76">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref76" name="_ftn76" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[76]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh,
Aceh Barat, 3 Desember 2011. Pasukan jagal yang disponsori militer dibentuk di
seluruh kabupaten selama bulan Oktober. Keanggotaan mereka terdiri dari
organisasi mahasiswa anti-komunis yang telah menerima pelatihan paramiliter
dari militer sebelum 1 Oktober.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn77">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref77" name="_ftn77" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[77]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Karim” dan “Aminah”,
Desa 2, Tamiang, Aceh Timur, 12 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn78">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref78" name="_ftn78" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[78]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Jamil”, Kampung X,
Bireuen, 11 Februari 2009; juga wawancara dengan “Abdullah”, Takengon, Aceh
Tengah, 9 Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn79">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref79" name="_ftn79" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[79]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Jamil”, Kampung X,
Bireuen, 11 Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn80">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref80" name="_ftn80" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[80]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Ramli”, Sumatra Barat,
15 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn81">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref81" name="_ftn81" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[81]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"><span>
</span>Wawancara dengan Dahlan Sulaiman, Banda Aceh, 29 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn82">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref82" name="_ftn82" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[82]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Zainal Abidin, Banda
Aceh, 14 Februari 2009; dan wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh, Aceh Barat,
3 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn83">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref83" name="_ftn83" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[83]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Tjoet”, Kampung X,
Bireuen, 11 Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn84">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref84" name="_ftn84" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[84]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon,
Aceh Tengah, 7 Februari 2009; dan wawancara dengan “Abdullah”, Takengon, Aceh
Tengah, 9 Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn85">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref85" name="_ftn85" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[85]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh,
Aceh Barat, 3 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn86">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref86" name="_ftn86" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[86]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Chronologis”, 19.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn87">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref87" name="_ftn87" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[87]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid</i>., 8.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn88">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref88" name="_ftn88" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[88]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Ramli”, Sumatra Barat,
15 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn89">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref89" name="_ftn89" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[89]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid</i>.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn90">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref90" name="_ftn90" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[90]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Dahlan Sulaiman, Banda
Aceh, 29 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn91">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref91" name="_ftn91" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[91]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Hamid”, Lhokseumawe, 19
Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn92">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref92" name="_ftn92" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[92]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Syam”, Lhokseumawe, 19
Desember 2011; dan wawancara dengan “Hamid”, Lhokseumawe, 19 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn93">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref93" name="_ftn93" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[93]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Hamid”, Lhokseumawe, 19
Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn94">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref94" name="_ftn94" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[94]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Jamil”, Kampung X,
Bireuen, 11 Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn95">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref95" name="_ftn95" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[95]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon,
Aceh Tengah, 8 Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn96">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref96" name="_ftn96" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[96]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh,
Aceh Barat, 3 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn97">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref97" name="_ftn97" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[97]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn98">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref98" name="_ftn98" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[98]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn99">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref99" name="_ftn99" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[99]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Ali”, Sama Dua, Aceh
Selatan, 6 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn100">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref100" name="_ftn100" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[100]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Ali”.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn101">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref101" name="_ftn101" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[101]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Chronologis”, 11.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn102">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref102" name="_ftn102" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[102]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Karim” dan “Aminah”,
Desa 2, Tamiang, Aceh Timur, 12 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn103">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref103" name="_ftn103" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[103]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid</i>.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn104">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref104" name="_ftn104" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[104]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan “Saifuddin”, Idi, Aceh
Timur, 18 Desember 2011.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn105">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref105" name="_ftn105" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[105]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid</i>.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn106">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref106" name="_ftn106" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[106]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Sangat sulit menemukan orang yang selamat
dari operasi penangkapan dan penjagalan militer di Aceh. Di provinsi lain di
Indonesia, lebih banyak jumlah penyintas dapat ditemukan. Di beberapa daerah,
kamp-kamp penahanan jangka Panjang didirikan. Para tahanan di fasilitas ini
akhirnya dikategorikan. Tahanan “Kategori A” dijagal ketika tahanan “Kategori
B” dan “Kategori C” dibebaskan, kerap setelah bertahun-tahun disiksa dan
dianiaya. Tahanan “Kategori A” adalah kelompok sasaran inti militer dan
terbunuh sebagai bagian dari genosida. Justus M. Van der Kroef, “Indonesia’s
Political Prisoners”, Pacific Affairs 49, no. 4 (1976-77): 628; lihat juga
Melvin, <i>The Army and the Indonesian Genocide</i>.<span> </span></span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn107">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref107" name="_ftn107" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[107]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Pertahanan Sipil/Hanra”, dalam Laporan
Bupati Kepala Daerah T. Ramli Angkasah dalam memimpin Pemerintahan Kabupaten
Aceh Utara mulai April 1965 s/d Mei 1966 disampaikan dalam siding paripurna
ke-1/1966 DPRD-GR Kabupaten Aceh Utara di Lhokseumawe tanggal 15 Juni 1966, 32.
Formulasi serupa dapat ditemukan dalam “Pernjataan”, Djulok, Aceh Timur, 28
Oktober 1965, 2; dan “Pernjataan kebulatan tekad rakjat ketjamatan Idi Rajeuk,
Kabupaten Atjeh Timur, tentang peristiwa apa jg menamakan dirinja ‘Gerakan 30
September’,” Idi, Aceh Timur, 30 Oktober 1966. Sebuah laporan yang ditulis oleh
Bupati Aceh Utara, ditandatangani 15 Juni 1965 [sic. 1966].</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn108">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref108" name="_ftn108" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[108]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Pertahanan Sipil/Hanra”, 32. Sebuah
laporan yang ditulis oleh Bupati Aceh Utara, ditandatangani pada 15 Juni 1965
[sic. 1966].</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn109">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref109" name="_ftn109" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[109]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Convention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide”, diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa pada 9 Desember 1948. Istilah “dengan demikian” menyampaikan
persyaratan niat khusus (<i>dolus specialis</i>) dari kejahatan tersebut.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn110">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref110" name="_ftn110" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[110]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Untuk tinjauan umum tentang definisi yang
berbeda, lihat Chalk dan Jonassohn, <i>The History and Sociology of Genocide</i>,
8-11.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn111">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref111" name="_ftn111" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[111]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> A. Dirk Moses, <i>The Problems of
Genocide</i> (Cambridge: Cambridge University Press, akan terbit).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn112">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref112" name="_ftn112" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[112]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Helen Fein, “Revolutionary and
Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State Murders in Democratic
Kampuchea, 1975 to 1979, and in Indonesia, 1965 to 1966,” Comparative Studies
in Society and History 35, no. 4 (1993): 801.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn113">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref113" name="_ftn113" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[113]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Martin Shaw, <i>War and Genocide:
Organised Killing in Modern Society</i> (Oxford: Blackwell, 2003), 44-5.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn114">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref114" name="_ftn114" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[114]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Saya berpendapat di tempat lain untuk
menerapkan pemahaman yang lebih inklusif tentang genosida pada penjagalan
1965-66. Melvin, Angkatan Darat dan Genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn115">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref115" name="_ftn115" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[115]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Lihat Israel W. Charny, ed., <i>Genocide:
A Critical Bibliographic Review</i>, vol. 1 (New York: Facts on File, 1988),
55, 331; Helen Fein, ed., <i>Genocide Watch</i> (New Haven, CT: Yale University
Press, 1992), 18.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn116">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref116" name="_ftn116" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[116]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Tetap tenang dan penuh kewaspadaan”,
152.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn117">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref117" name="_ftn117" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[117]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Laporan Tahunan Lengkap</i>, 16-17.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn118">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref118" name="_ftn118" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[118]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Pengumuman: Peng. No. Istimewa P.T.,”
Banda Aceh, 4 Oktober 1965.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn119">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref119" name="_ftn119" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[119]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon,
Aceh Tengah, 7 Februari 2009; wawancara dengan “Latifah”, Banda Aceh, 15
Februari 2009.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn120">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref120" name="_ftn120" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[120]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Daftar: Kekuatan ABRI
HANSIP/HANRA/SUKWAN di Kohanda Atjeh”, 2. Sebuah laporan yang ditulis oleh
Bupati Aceh Utara, ditandatangani pada 15 Juni 1965 [sic. 1966].</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn121">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref121" name="_ftn121" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[121]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Laporan Tahunan Lengkap</i>, 17.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn122">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref122" name="_ftn122" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[122]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Tetap tenang dan penuh kewaspadaan”,
152.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn123">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref123" name="_ftn123" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[123]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Keputusan Bersama: No. lst.
II/Pol/Kpts/1965”, Banda Aceh, 6 Oktober 1965, 1; lihat juga arsip dokumen <i>Rantai
Komando</i>, berkas genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn124">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref124" name="_ftn124" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[124]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Jess Melvin, “Why Not Genocide?
Anti-Chinese Violence in Aceh, 1965-1966,” Journal of Southeast Asian Affairs
(GIGA) 32, no. 3 (2013): 63-91; lihat juga Melvin, <i>The Army and the
Indonesian Genocide</i>.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn125">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref125" name="_ftn125" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[125]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Evolusi dalam penamaan kelompok sasaran
militer ini konsisten dengan pemahaman bahwa militer telah merencanakan untuk
menciptakan pertikaian dengan PKI, saingan politik utamanya, dan bahwa serangan
ini dimaksudkan sebagai gerakan defensif, reaksi terhadap dalih yang tersedia
yang kekeliruannya dapat ditujukan kepada partai.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn126">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref126" name="_ftn126" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[126]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Misalnya, “Panitia Aksi Gerakan Massa
Ummat Bertuhan untuk Mempertahankan Pantjasila”, Idi, Aceh Timur, 14 Oktober
1965; lihat juga berkas Pasukan Jagal, arsip genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn127">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref127" name="_ftn127" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[127]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Misalnya, “Pernjataan No.
12/Pernj/Dprd/1965”, Langsa, Aceh Timur, 28 Oktober 1965; lihat juga berkas
Pasukan Jagal, berkas genosida Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn128">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref128" name="_ftn128" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[128]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Lihat Robert Cribb dan Charles A. Coppel,
“A Genocide That Never Was: Explaining the Myth of Anti-Chinese Massacres in
Indonesia, 1965-66,” Journal of Genocide Research 11, no. 4 (2009): 447-65;
lihat juga Ben Kiernan, “Twentieth-Century Genocides”, dalam <i>The Spectre of
Genocide: Mass Murder in Historical Perspective</i>, ed. Robert Gellately dan
Ben Kiernan (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 46.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn129">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref129" name="_ftn129" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[129]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Beth van Schaack, “The Crime of Political
Genocide: Repairing the Genocide Convention’s Blind Spot,” Yale Law Journal
106, no. 7 (1996): 2259-91.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn130">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref130" name="_ftn130" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[130]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Cribb, “Political Genocides in
Postcolonial Asia,” 446.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn131">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref131" name="_ftn131" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[131]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Scott Straus, “Contested Meanings and
Conflicting Imperatives: A Conceptual Analysis of Genocide,” Journal of
Genocide Research 3, No. 3 (2001): 366.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn132">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref132" name="_ftn132" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[132]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Roosa, <i>Pretext for Mass Murder</i>,
224.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn133">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref133" name="_ftn133" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[133]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Barbara Harff dan Ted Gurr, <i>Ethnic
Conflict in World Politics</i> (Boulder, CO: Westview Press, 1998), 224.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn134">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref134" name="_ftn134" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[134]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Andrei Gomez-Suarez, “Perpetrator Blocs,
Genocidal Mentalities and Geographies: The Destruction of the Union Patriotica
in Colombia and Its Lessons for Genocide Studies”, Journal of Genocide Research
9, no. 4 (2007): 638. Gomez-Suarez, seperti Shaw, melihat hubungan antara
perang yang memburuk dengan perkembangan mentalitas genosidal, yang berguna
ketika dipakai memeriksa penghancuran genosidal kelompok-kelompok komunis di
Amerika Latin.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn135">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref135" name="_ftn135" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[135]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Sifat problematis dari pengucilan
kelompok-kelompok komunis dari definisi tradisional genosidal dalam kasus Asia
pascakolonial telah dikemukakan oleh Cribb, “<i>Political Genocides in
Postcolonial Asia</i>”, 445-65; dan dalam kasus Amerika Latin pascakolonial
oleh Daniel Feierstein, “National Security Doctrine in Latin America: The
Genocide Question,” dalam Bloxham dan Moses, <i>The Oxford Handbook of Genocide
Studies</i>, 489-508. Dapat dikatakan bahwa “doktrin keamanan nasional”, yang
dipakai untuk membenarkan kehancuran kelompok-kelompok komunis di Amerika
Latin, kali pertama diujikan di Indonesia.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn136">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref136" name="_ftn136" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[136]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Robert Cribb, “Genocide in Indonesia,
1965-1966”, Journal of Genocide Research 3, no. 2 (2001): 221. </span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn137">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref137" name="_ftn137" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[137]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid.</i>, 221-2.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn138">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref138" name="_ftn138" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[138]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid</i>., 226.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn139">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref139" name="_ftn139" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[139]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> <i>Ibid</i>., 227.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn140">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref140" name="_ftn140" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[140]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “Final Report of the IPT 1965: Findings
and Documents of the IPT 1965,” 20 Juli 2016.
http://www.tribunal1965.org/en/final-report-of-the-ipt-1965/ </span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn141">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref141" name="_ftn141" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[141]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Daniel Feierstein, “Political Violence in
Argentina and Its Genocidal Characteristics”, Journal of Genocide Research 8,
no. 2 (2006): 149-69.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn142">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref142" name="_ftn142" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[142]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> William A. Schabas, <i>Genocide in
international Law: The Crimes of Crimes, </i>edisi pertama. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), 119.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn143">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref143" name="_ftn143" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[143]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Penjagalan 1975-79 di Kamboja
dipertimbangkan sebagai contoh auto-genosida.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn144">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref144" name="_ftn144" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[144]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Lihat, misalnya, “Panitia Aksi Gerakan
Massa Ummat Bertuhan untuk Mempertahankan Pantjasila”, Idi, Aceh Timur, 14
Oktober 1965.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn145">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref145" name="_ftn145" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[145]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Lihat Melvin, <i>The Army and the
Indonesian Genocide</i>.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn146">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref146" name="_ftn146" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[146]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Kendati untuk menghayati gagasan-gagasan
ateis <i>per se</i> tidak ilegal, mengekspresikannya di tengah umum
dikategorikan sebagai ilegal dan dapat dikenai sanksi undang-undang penistaan
agama. Larangan ekspresi ateis dapat ditelusuri pada perundang-undangan
Indonesia, yang mengakui “kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa” sebagai dasar
negara Indonesia. Kecaman terhadap ateisme dilembagakan di bawah Orde Baru dan
sejak 1966 terkait dengan pelarangan PKI dan “Marxisme-Leninisme”. Ismail
Hasani, “The Decreasing Space for Non-Religious Expression in Indonesia: The
Case of Atheism”, dalam <i>Religion, Law and Intolerance in Indonesia</i>, ed.
Tim Lindsey dan Helen Pausacker (London: Routledge, 2016), 197-210.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn147">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref147" name="_ftn147" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[147]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Pada 2010, 87,2 persen orang Indonesia
diidentifikasi sebagai Muslim; 9,9 persen adalah Kristen; 1,7 persen adalah
Hindu; dan -1 persen (0,9 persen Buddha, 0,4 persen tidak dapat ditentukan). Di
Aceh, sekitar 98 persen populasi mengidentifikasi diri sebagai Muslim.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn148">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref148" name="_ftn148" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[148]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> “The Prosecutor versus Jean-Paul
Akayesu,” International Criminal Tribunal for Rwanda, 2 September 1998,
paragraf 515, 210.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn149">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref149" name="_ftn149" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[149]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Matthew Lippman, “The 1948 Convention on
the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide: Forty-Five Years Later”,
Temple International and Comparative Law Journal 8, no. 1 (1994): 1.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn150">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref150" name="_ftn150" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[150]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> David L. Nersessian, <i>Genocide and
Political Groups</i> (New York: Oxford University Press, 2010).</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn151">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref151" name="_ftn151" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[151]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Melvin, <i>The Army and the Indonesian
Genocide</i>.</span></span></span></p>
</div>
<div id="ftn152">
<p class="MsoFootnoteText"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="#_ftnref152" name="_ftn152" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[152]</span></span></span></span></span></a><span lang="IN"> Saya belum mencantumkan sebuah perbincangan
di sini tentang bagaimana anggota masyarakat etnis Melayu-Tionghoa menjadi
sasaran serangan selama penjagalan, seperti yang telah saya jelaskan di
kesempatan lain. Lihat Melvin, “<i>Why Not Genocide?</i>”; Melvin, <i>The Army
and the Indonesian Genocide</i>.</span></span></span></p>
</div>
</div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-8934274238400109722019-06-24T22:23:00.009+07:002021-06-02T15:17:25.179+07:00Wanita Tamansiswa: Api Narasi Ibu sebagai Guru<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"></span></span><blockquote><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>ZH-CN</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<w:DoNotOptimizeForBrowser/>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="false"
DefSemiHidden="false" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="376">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="header"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footer"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of figures"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope return"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="line number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="page number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of authorities"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="macro"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="toa heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Closing"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Message Header"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Salutation"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Date"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Note Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Block Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="FollowedHyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Document Map"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Plain Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="E-mail Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Top of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Bottom of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal (Web)"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Acronym"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Cite"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Code"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Definition"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Keyboard"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Preformatted"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Sample"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Typewriter"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Variable"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Table"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation subject"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="No List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Contemporary"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Elegant"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Professional"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Balloon Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Theme"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" QFormat="true"
Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" QFormat="true"
Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" QFormat="true"
Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" QFormat="true"
Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" QFormat="true"
Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" QFormat="true"
Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="41" Name="Plain Table 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="42" Name="Plain Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="43" Name="Plain Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="44" Name="Plain Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="45" Name="Plain Table 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="40" Name="Grid Table Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="Grid Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="Grid Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="Grid Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="List Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="List Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="List Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hashtag"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Unresolved Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Link"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Calibri",sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<br />
</span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><i><span lang="AF"><blockquote>Prakarsa para ibu guru Tamansiswa yang melampaui
zamannya, menggugat status quo, demi pendidikan anak perempuannya.</blockquote></span></i></span></span></span></span></div></blockquote><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><i><span lang="AF"></span></i></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Pada 22-25
Desember 1928, dua bulan setelah ikrar Sumpah Pemuda, Kongres Perempuan
Indonesia nasional pertama dihelat di Yogyakarta. Tanggal penyelenggaraan
kongres, 22 Desember, pun ditetapkan sebagai Hari Ibu. Tiga puluh organisasi
perempuan hadir dalam kongres ini. Penggagasnya, R. A. Sutartinah, adalah
seorang perintis organisasi Wanita Tamansiswa, akrab dikenal dengan nama Nyi
Hadjar Dewantara, nama panggilannya sebagai istri Ki Hadjar Dewantara. Nyi dan
Ki, demikianlah murid-murid Tamansiswa memanggil para guru yang mereka hormati.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Nyi Hadjar
Dewantara melibatkan rekan-rekan gurunya yang juga bergiat di organisasi Wanita
Tamansiswa dalam kepengurusan awal kongres, di antaranya Siti Sukaptinah
Sunaryo Mangunpuspito, Sunaryati Sukemi, dan Sri Mangunsarkoro. Mereka aktif
menghasilkan sejumlah artikel dan naskah orasi bertemakan pendidikan anak
perempuan. Dalam kepengurusan kongres, mereka lantas mengajak juga dokter
Sukonto, perwakilan Wanita Utomo, dan Suyatin, perwakilan Puteri Indonesia agar
berbagai organisasi perempuan kala itu turut terlibat dan dapat merumuskan
persoalan-persoalan perempuan kala itu.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Dalam waktu
singkat, mereka berhasil menarik organisasi perempuan lain seperti Aisyiyah,
Wanita Katolik, Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, hingga Jong Java Dames
untuk terlibat, hingga terkumpul tiga puluh organisasi. Organisasi-organisasi
perempuan ini lantas bersepakat mengajukan mosi mengenai reformasi perkawinan
dan pendidikan, yang kemudian disepakati dalam kongres. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Kongres pertama
itu menyetujui berdirinya badan federasi bernama Perikatan Perkumpulan
Perempuan Indonesia (PPPI). Meski mosi tentang reformasi perkawinan dan
pendidikan diterima dalam kongres, ketegangan tetap timbul di antara
organisasi-organisasi perempuan Islam yang menentang usulan koedukasi, yakni
kesempatan setara bagi lelaki dan perempuan untuk bersekolah dalam satu kelas,
dan organisasi-organisasi perempuan Kristen dan nasional yang menuntut
penghapusan poligini.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Sengkarut
perdebatan ini membuktikan, jauh sebelum kehadiran Isteri Sedar pada 1930,
organisasi perempuan paling radikal pada zaman itu yang tak mau berkompromi
soal masalah-masalah poligini dan perceraian, berbagai organisasi Kristen dan
nasional di PPPI telah bertentangan langsung dengan organisasi-organisasi
perempuan Islam menyoal urusan perkawinan. Beberapa organisasi perempuan sayap
Islam dalam kongres dengan terang-terangan menentang gagasan penolakan praktik
poligini.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Selain soal
internal organisasi, pelantikan ketua dan kepengurusan, serta anggaran dasar
ataupun kebijakan teknis organisasi, kongres ini juga menghasilkan keputusan di
beberapa bidang meliputi soal-soal yang berhubungan dengan masalah perkawinan,
perburuhan, kesehatan, hingga politik dan hubungan dengan luar negeri.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Ellena Ekarahendy
dan Maesy Angelina dari POST</span> Bookshop<span lang="AF"> menggagas inisiatif untuk mengetik ulang dan memperkenalkan pemikiran para
perempuan anggota organisasi Wanita Tamansiswa yang menyangkut
persoalan-persoalan dalam kongres tersebut dan perkembangan pemikiran para
tokoh ini sesudah kongres. Ellena dan Maesy mengajak beberapa kawan dari
berbagai latar belakang terlibat dalam pembacaan kembali arsip-arsip ini, dan
melakukan pengetikan atas tulisan anggota organisasi ini. Hasil tilikan mereka
atas arsip-arsip tersebut membantu untuk memahami dinamika perempuan pada
periode pra-kemerdekaan.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Gagasan kelompok
membaca ini bermula seusai Ellena menjalani residensi di Yogyakarta dalam
program Sekolah Salah Didik dari KUNCI Cultural Studies pada 2017. Sekolah
Salah Didik adalah proyek KUNCI yang lahir dari pengalaman mereka mengelola
beragam ruang-ruang belajar selama 19 tahun. Wadah pendidikan alternatif SSD
ini ditujukan untuk mempertanyakan kembali relasi hierarkis guru-siswa, ataupun
penyeragaman pedagogi dalam kelas-kelas formal, hingga kurikulum sekolah formal
yang hanya menekankan pada kegunaan ilmu sehingga membatasi imajinasi. Dengan
penekanan pada makna belajar bagi para peserta program, sekolah ini menawarkan
suatu ruang belajar yang cair dan fleksibel. Para peserta, termasuk Ellena,
dimungkinkan untuk bereksplorasi sebebas-bebasnya mengimajinasikan pengetahuan
yang bermakna baginya.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Pertemuan Ellena
dengan berbagai organisasi dalam program ini mendorongnya untuk menelusuri
arsip majalah <i>Poesara</i>, terbitan bulanan Tamansiswa. Ellena lantas
terpantik mengumpulkan sejumlah tulisan anggota Wanita Tamansiswa yang ditulis
dalam periode 1932-1940, dan mengajak Maesy dari Toko Buku POST untuk
mengumpulkan kawan-kawan yang tertarik melakukan pembacaan ulang
artikel-artikel ini.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="AF">Narasi Perempuan
Proto-Indonesia</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Sejak April 2019,
inisiatif “Membaca Ulang Perempuan Tamansiswa” menggandeng Agnes Indraswari,
Farhanah, Kania Mamonto, Khanza Vinaa, Nin Djani, Nur Janti, dan Rebecca Nyuei
untuk membaca, mengetik, dan membicarakan kembali tulisan-tulisan berjudul
“Arti <i>Cultuur</i> dalam Pergerakan Perempuan Indonesia”, “Soal Poligami”,
“Meninggikan Derajat Rumah Tangga”, hingga “Pekerjaan Tangan sebagai Alat
Pendidikan”.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Pembacaan dan
pengetikan dilakukan secara mandiri dalam sebulan, pertemuan mereka laksanakan
dua kali di POST Bookshop yakni pada Sabtu, 13 April 2019 yang terbatas bagi
para peserta inisiatif, dan pada Sabtu, 18 Mei 2019 dalam rangka membagikan
hasil diskusi mereka kepada pembaca yang lebih luas.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Bagi mereka,
tulisan-tulisan ini menarik karena memuat wacana pembebasan perempuan yang
relevan hingga masa kini</span>. K<span lang="AF">endati
tulisan-tulisan itu tentu masih kental memunculkan corak kepatuhan perempuan
karena berasal dari para ibu yang dinaungi organisasi perguruan Tamansiswa.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Sebagai badan Perguruan
Tamansiswa, Wanita Tamansiswa dirintis oleh Nyi Hadjar Dewantara pada 1922
sebagai wadah bertukar gagasan untuk menguatkan pendidikan di kalangan
perempuan. Badan ini resmi didirikan pada 31 Maret 1931 di Gedung Wisma Rini,
Mataram pada Konferensi Jawa Tengah, dengan ketua Nyi Hadjar Dewantara, Nyi
Mangunsarkoro sebagai wakil pusat di Jawa Barat, dan Nyi Sujarwa sebagai wakil
pusat di Jawa Timur.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Sebagian besar
anggotanya adalah guru atau istri guru. Sama seperti istrinya dan para anggota
Wanita Tamansiswa yang peduli akan gerakan pendidikan bagi anak perempuan, Ki
Hadjar Dewantara, melihat pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, pun
menggubah tembang berisi nasihat bagi remaja putri “Wasita Rini” yang kerap
dilantunkan dalam perguruannya. Dukungan kuat Ki Hadjar Dewantara terhadap
organisasi yang dirintis oleh istrinya ini juga diamini oleh sebagian besar
anggota perguruan Tamansiswa. Kaum lelaki di perguruan itu juga berpendapat
bahwa tenaga perempuan sangat diperlukan dalam mendidik dan mengajar anak-anak.
Pendek kata, bagi mereka, pendidikan anak-anak tidak dapat sempurna andaikata
hanya dijalankan oleh kaum bapak atau para lelaki saja. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Bagaimanapun,
kekhususan lantas diterapkan dalam jalannya pendidikan anak perempuan di Tamansiswa,
yakni lewat pengajaran kepandaian putri, pemeliharaan anak gadis, pemahaman
tentang adab dan kesopanan, pandangan mengenai kesucian, kesusilaan tingkah
laku, hingga kesusilaan pakaian perempuan. Nyi Sri Mangunsarkoro, penulis
sebagian besar arsip Wanita Tamansiswa, menekankan dua kewajiban anggota Tamansiswa,
yakni memperbaiki nasib perempuan melalui pendidikan dan mendidik anak untuk
mencapai cita-cita Indonesia Baru. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><a name='more'></a><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Dengan landasan
itu, kita bagaimanapun dapat melihat tulisan-tulisan para anggota Wanita Tamansiswa
menempatkan perempuan dalam konteks sebagai istri atau ibu dalam perannya
sebagai istri dari bapak guru ataupun ibu guru, bukan sebagai perempuan mandiri
tanpa konteks relasi. Sebagai ibu, mereka ingin agar pendidikan bagi anak
perempuan bisa membebaskan generasi mendatang demi jati dirinya sendiri-sendiri
dan terbebas dari kungkungan sosial yang tak mendukung proses perkembangan
mereka.</span></span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;">
<span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="AF">Dari Pekerjaan
Tangan hingga Soal Poligami</span></b></span></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Kania Mamonto,
moderator </span>sekaligus salah satu pengetik ulang <i><span lang="AF">Membaca Ulang Perempuan Tamansiswa</span></i><span lang="AF">, membuka diskusi dengan memaparkan
refleksinya ketika membaca teks, dan baginya ini mewakili sebagian besar
pembaca seusianya hari ini. “Kita berasal dari profesi dan latar belakang
berbeda, disatukan dalam wadah membaca ulang ini, sempat cari tahu dan terbantu
banget dengan pengetahuan sejarah teman-teman lain yang terlibat,” ujarnya.
Refleksi bersama itu, baginya, membantunya berusaha memahami konteks sejarah
dengan membaca lebih banyak lagi narasi sejarah di luar artikel yang diketiknya. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Rentang tema
artikel mereka sesuai dengan semangat Kongres Perempuan Indonesia pertama itu,
memang meliputi cakupan teramat luas, dari reformasi pendidikan terkait hal-hal
teknis pekerjaan tangan hingga pendidikan olah batin, hingga soal-soal perceraian
dan poligami yang menjadi isu hangat kala itu di tengah berbagai organisasi
perempuan.</span></span></span></span></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF"> </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Maesy Angelina
mengetik ulang artikel “Pekerjaan Tangan sebagai Alat Pendidikan” oleh Ni
Soesilowati, yang memuat ajakan untuk mengajarkan kerja tangan (<i>handenarbeid</i>)
dan jangan hanya kerja otak (<i>hersenarbeid</i>) pada anak, baik di sekolah
maupun di rumah. Ni Soesilowati berargumen, demi menjadikan anak sebagai
pribadi yang tangkas dan dapat menahan hawa nafsu, ia harus mendapat pengajaran
keterampilan. Ini juga untuk menghindarkan ketimpangan kelas antara kalangan
terdidik dengan kelas pekerja. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">“Ini
memperlihatkan bagaimana perempuan waktu itu membikin sekolah pekerjaan tangan,
ada kritik kelas terhadap perempuan itu sendiri, juga kritik terhadap para
suami… pandangan-pandangan ini membantu memeriksa lagi gerakan perempuan <i>intersectional</i>
dan <i>call out culture</i> antara para feminis hari ini,” ujar Maesy.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Maesy melihat
artikel ini sebagai otokritik pula dari Ni Soesilowati terhadap kalangan
perguruan Tamansiswa. Artikel ini tentu memang mampu bergerak sejauh itu,
karena merupakan pidato kongres dengan sebagian besar audiensnya berasal dari
kalangan priayi. Ajakan pendidikan keterampilan ini, ditanggapi oleh Nur
Janti—wartawan Historia, peserta kelompok pembacaan ulang ini—mendorong para
ndoro dan priayi kelompok perguruan Tamansiswa agar tidak selalu menyuruh
‘babu’-nya bekerja, juga supaya ada bekal bagi anak perempuan kalangan ningrat
itu untuk bertahan hidup, sebab ketika itu mayoritas perempuan priayi
dipersiapkan menjadi nyonya, bukan untuk bertahan mandiri. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Masih di ranah
pendidikan, Nin Djani memaparkan tentang penguasaan batin perempuan yang
membedakannya dari laki-laki, bahwa pendidikan perempuan ditekankan pada aspek
pengusaan diri. Berdasarkan artikel “Arti <i>Cultuur</i> dalam Pergerakan
Perempuan Indonesia Bag. I” oleh Nyi Sri Mangunsarkoro, “<i>cultuur</i>”
dinyatakan sebagai perihal merawat batin dan menghindarkan diri dari kehidupan
lahiriah yang merusak. Nin melihat artikel ini relevan dengan permasalahan
perempuan hari ini yang masih dituntut untuk selalu bisa menjaga perkataan,
memberi senyum, dan bersikap luhur. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Istilah Nyi Sri
Mangunsarkoro, <i>vrouwenlogica</i>, yakni akal keibuan yang merujuk pada
cara-cara berpikir dan bertindak yang salih bagi para perempuan, menunjukkan
sikap luhur yang mesti dibina ini. Betapa, baginya, perempuan mesti lebih
perasa daripada laki-laki. Tentu, pandangan ini tidak bisa tidak bias, karena
standar pengukuran perasaan ini sendiri tidak dapat ditentukan selain dengan
intuisi. Nin menjabarkan enam jalan pemenuhan kebutuhan jiwa tersebut mesti
ditempuh melalui jalan keagamaan, filsafat, ilmu jiwa, kesenian, pendidikan,
dan kesusilaan. Sementara, kebutuhan lahiriah terpenuhi melalui ilmu
pengetahuan, teknik, politik, dan ekonomi. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Farhanah lantas
melanjutkan pembahasan artikel pada bagian kedua, mengenai “<i>cultuur</i>” dan
kaitannya dengan peran intuisi perempuan dalam pergerakan, bagaimana pergerakan
revolusi fisik juga didorong oleh peran perempuan dan intuisinya. Agnes
Indraswari, mengomentari betapa kuatnya perempuan kala itu dalam memperjuangkan
hak-haknya dan memberi pengaruh pada pergerakan revolusi fisik, justru
mengatakan “Kita tampaknya malah mundur dibandingkan eranya Maria Ulfah yang
bikin demo besar-besaran pada tahun 1950-an,” ujarnya. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Itulah mengapa
menurut Kanzha Vinaa, kala itu, perempuan perlu mengatur suatu serikat
organisasi Tamansiswa dengan kewajiban mendidik anak perempuan dan
memperjuangkan kebutuhan-kebutuhan perempuan. Serikat organisasi membakar
semangat para perempuan ini untuk menyampaikan pemikiran mereka secara
kolektif. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Artikel “Meninggikan
Derajat Rumah Tangga” oleh Nyi Sri Mangunsarkoro yang diketik Ellena Ekarahendy
senada dengan pandangan yang memusatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga.
“Barangkali ini memang terdengar kompromistis, tetapi Nyi Sri Mangunsarkoro
memang kerap menyatakan bahwa peran perempuan di rumah tangga sebagai “selaras
dengan kodrat kita”, dan sulit untuk mengomentari soal ini secara objektif,”
ujarnya. Tetapi, Ellena mengatakan, penekanan artikel ini adalah bahwa posisi
perempuan di rumah tangga dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Bahwa, peran
rumah tangga sama pentingnya dengan peran-peran lain dalam kehidupan.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Wacana semacam
ini menurut Ellena justru semakin relevan dalam ranah teori sosial saat ini.
Hal yang dinyatakan dalam artikel Nyi Sri Mangunsarkoro menunjukkan betapa
penilaian masyarakat mengenai kerja-kerja ini belum banyak berubah. “Meski
perempuan saat itu memang tidak bisa bergerak lebih radikal, seperti saat ini,”
ujar Ellena. Teori reproduksi sosial menjadi landasan utama penghargaan bagi
kerja-kerja reproduksi perempuan di rumah dan masyarakat. Dalam masyarakat
patriarkis, Ellena menyebutkan, “kerja” yang dianggap sebagai kerja produktif
dan berharga hanyalah kerja-kerja di luar rumah (kerja upahan dalam konteks
relasi ekonomi-politik, atau kerja-kerja kemerdekaan pada masa itu), dan
sebagian besar kerja-kerja itu dilakukan oleh laki-laki. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Tulisan lainnya
dari Nyi Sri Mangunsarkoro dipaparkan oleh Nur Janti yang mengetik ulang
artikel “Soal Poligami”. Artikel yang terbit pada 1934 ini menuding hasrat
manusia sebagai akar penyebab poligami atau poligini. Cora Vreede de Stuers
dalam <i>Sejarah Perempuan Indonesia</i>, dikutip oleh Janti, memaparkan angka
poligini Jawa pada 1939 tertinggi dibandingkan wilayah lain, sementara di
Sumatera dengan total poligini mencapai 69.790 kasus, di Sulawesi mencapai
22.378 orang, dan di Bali juga Lombok 14.061 kasus. Hampir satu abad
setelahnya, berdasarkan data terakhir Departemen Agama, angka poligami di
Indonesia pada 2016 sebanyak 643 kasus.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Hasrat lelaki memiliki
istri banyak menjadi titik tolak penindasan dalam hidup perempuan saat berumah
tangga, dan hal ini menjadi lumrah lantaran kaum bangsawan diperkenankan punya
istri dengan jumlah tak terbatas untuk ditempatkan di keputren. Dalam
penjelasan Nyi Sri Mangunsarkoro mengenai kebiasaan bangsawan lelaki ini,
terlihat bahwa perempuan dari kalangan rakyat justru lebih punya posisi tawar
perihal poligini. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Dalam kalangan
rakyat biasa, perempuan dan lelaki sama-sama bekerja, kebanyakan sebagai
petani. Urun daya di antara dua gender terlihat setara terutama pada masa
penjajahan dengan kesulitan ekonomi keluarga. Pembiasaan ini cenderung
menempatkan relasi perempuan-lelaki di kalangan rakyat pada posisi setara,
terutama karena kaum lelaki sudah merasa kebutuhan hidup saja sulit untuk
dipenuhi, sehingga tak punya kesempatan untuk kawin lagi. “Kalau lelakinya
macam-macam, para perempuan rakyat ini bisa memutuskan hubungan dengan aman,”
ujar Janti. Ia memberi contoh keterangan Maria Ulfah ketika menangani biro
konsultasi bentukan KPI, mengenai perempuan kalangan rakyat yang mengajukan
cerai.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Sebagai penutup,
Rebecca Nyuei, mengantarkan pembacaan artikel pada konteks Kongres Perempuan
Indonesia Kedua yang diselenggarakan di Jakarta pada 1935, yang masih seputar
penyelidikan tentang relasi buruh perempuan dalam lingkup kerja dan perdebatan
soal poligami. Isteri Sedar, sebagai organisasi paling radikal membahas
poligami, memilih mogok tanding (<i>walk out</i>) dari kongres. Selain keras
terhadap soal perkawinan, Isteri Sedar adalah satu-satunya organisasi yang
secara terbuka dan sistematis mengecam politik pemerintah kolonial Belanda, dan
mendukung perjuangan anti-kapitalisme, serta menyatakan nasib perempuan
proletar harus diperbaiki. Dengan mogok tandingnya Isteri Sedar, maka hanya ada
13 organisasi yang kemudian menandatangani mosi dalam kongres, dengan pengaduan
utama terkait ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Selanjutnya,
untuk menangani masalah reformasi perkawinan, pada 1939 dibentuk sebuah badan
yang bertugas meneliti hak-hak perempuan dalam perkawinan, baik menurut adat,
hukum Islam (<i>fiqh</i>), maupun hukum Eropa. Sebelum badan yang bertugas
menangani perihal poligami ini bekerja dengan penuh, dalam rangka menerapkan
kompromi antara golongan Islam dan bukan Islam, pada 1942 Indonesia diduduki
Jepang. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF">Kongres Perempuan
Indonesia kelak akan tetap terselenggara hingga kali keempat pada 1941 di
Semarang. Dan pada masa pendudukan Jepang, semua organisasi perempuan Indonesia
dilarang, dan hanya Fujinkai, organisasi perempuan di bawah kekuasaan Jepang,
yang dibiarkan tetap berjalan. Beberapa organisasi perempuan kala itu terpaksa
bergerak di bawah tanah, sementara organisasi Wanita Tamansiswa bekerja di
bawah payung Perguruan Tamansiswa. Barulah setelah Indonesia merdeka, kongres
mulai diadakan kembali pada Desember 1945, disusul pada tahun-tahun berikutnya,
kongres kelima pada 1946, kongres keenam pada 1947, dan kongres kedelapan pada
1948. Sejak 1946, hingga hari ini, kongres ini lantas dikenal sebagai Kowani. </span></span></span></span></span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="AF"><span><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">{*}</span></span></span></span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-8914087189836112202019-03-04T01:35:00.008+07:002021-06-02T15:18:09.853+07:00Tentang Kakek: Perjalanan dan Ingatan<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-ID</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="false"
DefSemiHidden="false" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="375">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="header"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footer"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of figures"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope return"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="line number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="page number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of authorities"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="macro"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="toa heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Closing"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Message Header"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Salutation"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Date"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Note Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Block Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="FollowedHyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Document Map"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Plain Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="E-mail Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Top of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Bottom of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal (Web)"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Acronym"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Cite"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Code"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Definition"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Keyboard"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Preformatted"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Sample"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Typewriter"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Variable"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Table"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation subject"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="No List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Contemporary"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Elegant"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Professional"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Balloon Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Theme"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" QFormat="true"
Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" QFormat="true"
Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" QFormat="true"
Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" QFormat="true"
Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" QFormat="true"
Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" QFormat="true"
Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="41" Name="Plain Table 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="42" Name="Plain Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="43" Name="Plain Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="44" Name="Plain Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="45" Name="Plain Table 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="40" Name="Grid Table Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="Grid Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="Grid Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="Grid Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="List Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="List Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="List Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hashtag"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Unresolved Mention"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri",sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<br />
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><i><span lang="IN" style="line-height: 107%;"></span></i></span></span></span></span></span></span></div><blockquote><div class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><i><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Pembacaan atas </span></i><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Keledai
yang Mulia<i> dan beberapa Puisi Mario F.
Lawi</i></span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><i><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Kaularungkan doa dari pesisir diri dengan perahu yang kaukayuh sendiri</span></i><span lang="IN" style="line-height: 107%;">.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">– “Hiri”, <i>Keledai yang Mulia</i> (Mario F. Lawi, Shira
Media, 2019)</span></span></span></span></span></span></span></div></blockquote><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;"></span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Mario F. Lawi adalah penyair yang dikenal dengan alusi
biblis dalam puisi-puisinya. Latar belakangnya di seminari menengah dan
pendarasannya atas teks-teks Latin, mata pelajaran yang diajarkan kepadanya
enam jam sepekan, membuat ingatan kita mengenalnya tak terpisahkan dari Alkitab
dan tradisi gereja.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Ia sendiri sebenarnya tumbuh besar dalam dua tradisi yang
sama kuatnya. Ini, terkadang, membuat beberapa puisinya hadir dengan tegangan
dua tradisi ini. Selain sebagai seorang pendaras Alkitab dengan seorang ibu
yang erat memeluk Katolik, kakek maternalnya adalah seorang Kenuhe, Imam atau
petinggi dalam Jingitiu, kepercayaan penghayat di Kepulauan Sabu, Nusa Tenggara
Timur.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dengan latar belakang ini, dalam puisi-puisinya tentu
akan mudah ditemukan pula banyak metafora dari kisah-kisah ritual tradisi Sawu
atau Sabu (Hawu, dalam penyebutan lokal). Jingitiu adalah latar yang membentuk
kepribadian masyarakat Sawu. Ritual-ritualnya membentang dari kelahiran hingga
kematian, dengan ajaran-ajaran yang mengarahkan para penghayatnya akan
kebenaran dan kebaikan. Bagi Mario, khazanah biblis dan kearifan tradisi lokal
Jingitiu ini sama-sama memiliki kekuatan untuk mengarahkan para penganutnya
pada pesan keselamatan—keutamaan yang hendak ia sampaikan dalam puisi-puisinya.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Ia percaya kearifan lokal Jingitiu tercermin gamblang
dalam kepribadian kakeknya. Kakeknya, sebagai seorang Kenuhe, dengan tanpa
beban menyerahkan seluruh keluarganya melepaskan identitas Jingitiu untuk
memeluk Katolik, demi menunjukkan kepada siapa pun yang mengetahui kisahnya,
bahwa iman jauh lebih penting daripada agama. Ibu Mario sendiri menjadi Katolik
bersama keenam saudara-saudarinya berkat baptis misionaris Austria, Pater Franz
Lackner, SVD.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Menyoal Jingitiu, puisi yang hadir persis dengan judul
itu termaktub dalam <i>Lelaki Bukan Malaikat</i>
(Gramedia Pustaka Utama, 2015). Puisi ke-29 berjudul “Jingitiu” berkisah tentang
pergulatan kakeknya menghadapi putra-putrinya melepaskan identitas Jingitiu,
yang dibukanya dengan, “Sebelum meninggalkan ketujuh anaknya di depan pintu
Gereja, kakek sempatkan berterima kasih kepada tiga belas cahaya yang membopong
tubuhnya,” dan lantas ia menggambarkan bagaimana misionaris membaptis
orang-orang di kampung itu, “Misionaris putih itu mulai menumpahkan isi
buli-bulinya. Ia datang dari sebuah tempat yang jauh, dan ia tak mengenal Kika
Ga.”</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Ia menggambarkan pula bagaimana kakeknya disemayamkan
sebagai seorang Jingitiu, “Kakek pun menekukkan lututnya, membetulkan kain yang
digunakannya, sebelum meneteskan air matanya. Ia pun diangkat ke surga. Ke
tempat yang lama ia nantikan untuk melihat mata kail yang menyangkuti Kika Ga
sebelum Rai Hawu diciptakan. Ke tempat ia akan berjumpa Rai Ah—manusia pertama
yang diciptakan Sang Mahakuasanya.”</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dalam keluarga inti kakeknya, hanya kakek Mario yang
meninggal sebagai Jingitiu dan dikuburkan dalam sebuah kubur berbentuk bulat
dalam posisi tubuh sedang duduk. </span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Orang Sabu percaya bahwa kematian adalah perjalanan roh
dari dunia ini ke dunia yang lain, dengan menumpang perahu bernama <i>Ama Piga Laga</i>. Upacara mencoret gendang
dan lagu duka <i>banyo</i> menuturkan
keberangkatan dan pelayaran roh, di mana ia dijemput oleh para leluhur. Tempat
berangkatnya adalah Teluk Uba Aae, di pantai selatan Mehara, pada setiap bulan
Banga Liwu, menuju ke Sumba. Barangkali itu pulalah yang membuat Mario kerap
menggunakan lema “Selatan” dalam beberapa puisinya yang menoleh pada
kenangannya akan kakeknya.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Puisi sebelumnya pada buku yang sama, puisi ke-28
berjudul “Penenun”, ditutupnya dengan pengalamannya dengan kakeknya yang
membuat kita merasa dekat, “Bertahun-tahun kemudian, ia mendengar cerita
tentang Hercules dari seorang cucunya yang lama menetap di kota. Kepada
cucunya, ia berulang kali berkata, manusia adalah turunan ketiga belas setelah
dewa-dewi diciptakan oleh Mara Mea.”</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Bahwa betapa tradisi Jingitiu yang dipeluk kakeknya dapat
selalu dihidupkan dan berkait dengan hal-hal mutakhir pada zaman ini yang kelak
diketahui cucunya.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Kenangan dekat yang sama dapat kita lihat dalam puisinya
“Gela” pada <i>Ekaristi </i>(Plotpoint,
2014), “Di dahiku masih ada tanda salib, dioleskan kakek dengan rasa haru yang
harum, sepotong kelapa, serta adonan sirih dan pinang dari mulutnya,” pada
puisi ini, dikutipkan mantra ritus inisiasi tradisi Jingitiu yang seiring
dengan jalan kakeknya mengoleskan tanda salib pada dahi si cucu, “<i>Wo Deo Muri, ne ta herae ta hero’de ri nyiu
wou mangngi, mita rui kedi ihi kuri, mita haga dara, mita ju medera, kelodo pa
taga rihi dula</i>,” yang bermakna “Ya Allah sumber kehidupan, anak ini dioles-usapi
dengan kunyahan kelapa yang harum agar kuat dan segar tubuh serta mentalnya,
supaya bertambah besar dan tinggi, supaya mendapat status yang tinggi/terhormat
dalam keluarga dan marga.”</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dalam puisi “Bui Ihi”, Mario kembali mengutip mantra yang
merupakan ritus inisiasi Jingitiu, “<i>Ana
appu ya de tape wede pa loko pa da’I ta mahhe rim one b’aga</i>,” yang
terjemahannya bermakna, “Anak cucuku ini disanjung dalam cinta dan jodoh,
semoga ia mendapat jodoh seseorang yang kaya akan sawah dan lumbung.”</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dalam <i>Mendengarkan
Coldplay </i>(Gramedia Widiasarana Indonesia, 2016), Mario menuliskan lagi
tentang kakeknya, tentang pertanyaan yang barangkali diujarkan oleh si kakek
kepada cucunya yang terus menggali memorinya untuk menemukan kakeknya. Dalam
puisinya ini, Mario menyebut dirinya sendiri dalam kata ganti <i>Ama Peke</i>. “Mengapa kau mencariku, Ama
Peke?” dengan pertanyaan itu, yang diujarkan sang kakek kepada si cucu, puisi
ke-19 dalam buku tersebut dibuka, dan lantas dilanjutkan dengan dongeng—yang
agaknya berkaitan dengan kisah Mara Mere yang disebutkan oleh kakeknya dalam
sahutannya atas kisah Hercules si cucu:</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Ada sebongkah dunia, seorang
lelaki dan sesosok dewi. Ada perang kecil ketika segumpal tanah dibentangkan
menjadi sebuah daratan luas. Doa pertama mengambang ketika seekor ikan gagal
terpancing. Sebuah jalan memanjangkan dirinya di atas datar lautan. Berkilau
dan menyilaukan. <i>Aku memikirkanmu</i>.
Telah kukenal semesta yang lain, yang mengapungkan angin gelap dan mencurahkan
hujan yang anomali. <i>Di dalam kepalaku
sepasang dunia melingkupimu</i>. Telah tersesat aku dalam ceritamu, ketika para
leluhur mengajakmu terbang ke berbagai belahan dunia dengan sayap-sayap yang
terbuat dari anyaman lontar yang dilapisi serat-serat tembakau, daun sirih dan
kulit pinang. Langit sudah tak membutuhkan warna. Mimpi sudah tak perlu menjadi
tanda. <i>Ke mana jalan itu membawamu</i>?
Ada air mata yang jatuh dari sepasang sudut matamu ketika tangan kakimu dijepit
tiang penyangga. Ada mutiara di dalam kerang yang kaududuki di dalam kubur di
sudut kiri depan rumah itu.”</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dalam cuplikan panjang di atas, Mario secara sengaja memberi
penekanan pada ingatan (<i>aku memikirkanmu</i>)
dan perjalanan (<i>ke mana jalan itu
membawamu</i>). Selanjutnya, ia masih akan mengulang “Mengapa kau mencariku,
Ama Peke” dua kali lagi, dan memberikan penekanan pada “kesedihan aneh yang
mengusikku” dan berbagai hal yang tampak di hadapan si Ama Peke yang mencari,
di antaranya: hitam, kering, pinang, tanah, merah, rumah, belangga, kayu,
pagar, batu, sirih, keriput, bayi, rakit, laut, panen, kuda, ilalang, aspal,
botol, perempuan, gigi, celah, timba, lemari, asap, langit, dan kau. Simbol-simbol
yang bagi si Ama Peke lekat dengan kampungnya.<span> </span></span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><a name='more'></a><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dalam buku puisi yang sama, pada puisi ke-21, saya lanjut
menemukan bagaimana langit, ayah, luka, cinta, ibu, dan bumi memberikan tanda
bagi “kamu” atau si cucu—atau malah tanda bagi sang kakek—pada kening, pipi,
tangan, hati, tumit, dan kakinya. Sirih pinang dan bisa seekor ular yang remuk
adalah dua tanda konkret yang khas dalam puisi itu, menggambarkan di mana
tradisi penandaan itu terjadi, Nusa Tenggara Timur. Tanda, yang diberikan kepada
kita, adalah hal yang akan terus melekat—kita ingat dan kita bawa dalam
perjalanan.</span></span></span><br />
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dan pada puisi pamungkas dalam buku ini, yakni puisi
ke-27, Mario kembali menuliskan mengenai relasinya dengan kakeknya dan
pencariannya atas sang kakek:</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Aku berdiri di sini, Kakek,
menunggu di bagian luar sisi selatan pagar tanaman rumahmu. Jatuhkan bahasa,
rupa, dari segala semesta yang pernah melingkupimu dengan kuasa dan tanda.”</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Di puisi ini, ia membahas tentang bentang langit, tenung
dan rasa dengki yang mengepung kampung, kesetiaan menjaga mata air yang
dianggap sebagai awal mula dunia, sebuah tempat yang disebutkan sebagai: “Ia
adalah rumah dewasa yang menyambutmu dengan kenangan masa kanak-kanak yang
selalu penuh, dengan irisan panjang lemak babi terbaik yang memang dipelihara
hanya untuk dikorbankan, dengan bagian terbaik dari cinta yang menolak untuk
diberi nama, dengan tetes pertama air susu ibumu.” </span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Kedekatan Mario dengan kakeknya dan tradisi Jingitiu
sebagai latar belakang tampaknya kembali menjadi benang merah bagi beberapa
puisi dalam <i>Keledai yang Mulia</i>, yang lagi-lagi
dapat ditautkan pada dua perkara: perjalanan dan ingatan. </span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><b><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Perjalanan dan
Ingatan</span></b></span></span></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Judul buku puisi teranyarnya, <i>Keledai yang Mulia </i>(Shira Media, 2019), mengingatkan kita pada dua
puisi yang pernah ditulisnya dalam <i>Lelaki
Bukan Malaikat </i>seperti “Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga” dan “Seekor
Keledai di Depan Lubang Jarum” ataupun dalam beberapa puisinya di <i>Mendengarkan Coldplay </i>yang menyitir
keledai. Baru pada puisi-puisi yang ditulisnya setelah <i>Ekaristi</i>, alusi biblis mengenai keledai ini tampak kerap
dimunculkan. Puisi “Keledai yang Mulia” ini sendiri dibuka dengan “setelah
menempuh perjalanan panjang, ia merasa telah menjadi Kristus” dan ditutup
dengan “Si Keledai yang Mulia pun kian yakin, Dunia memang akan benar-benar
diselamatkan.”</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Kisah tentang Yesus yang mengendarai keledai menuju
Yerusalem lazim menjadi memori kolektif para penekun Injil. Diceritakan pada
Kisah Minggu Palem (Injil Yoh 12:14-15) bahwa Yesus lebih memilih menunggangi
keledai alih-alih kuda, lantaran keledai adalah sewujud penggambaran kekuatan
yang dapat ditanggungkan ketika ia menanggung beban macam apa pun, sementara
kuda adalah tunggangan yang cenderung teramat pilih-pilih. Kisah Yesus ini
tertulis pula dalam Matius 21:8 dan Lukas 19:36, menjabarkan orang-orang di
jalanan yang melemparkan kain ketika keledai itu melintas bersama Yesus.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dalam buku puisi teranyarnya ini, beberapa kisah
perjalanan dalam wujudnya yang lain, terutama yang berkait dengan kakek dan
tradisi Jingitiu, ataupun ingatan akan sesuatu yang hilang, kembali termaktub melalui
puisi “Meninggalkan Kupang”, “Ina Tana”, “Ecclesia penitens”, “Pulang, “Bekas
Sebuah Sungai”, dan “Ecce Homo”.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Pada “Meninggalkan Kupang”, kita melihat seorang lelaki kecil yang meminta
seseorang atau sesuatu agar tetap tinggal. Saya menafsirkan lelaki kecil ini
sebagai Mario, sebagai cucu, yang menyentuh pintu kenangan kakeknya,
memanggilnya. Atau, lelaki kecil ini adalah Mario, yang berhadapan dengan
tradisi, terutama lantaran pada bait-bait “engkau tahu, sepenuhnya, tak sanggup
ia menandingi tiga orang lelaki yang telah menumpahkan darah ayam, membekalimu
dengan potongan kecil kopra, kacang hijau, dan memperdengarkan suara sekelompok
orang yang telah menyentuhmu dengan cinta yang ajaib dan keras kepala”
menggambarkan betapa yang dibicarakan adalah tentang “seseorang” atau “sesuatu”
yang tidak dapat dilepaskan dari “tiga orang lelaki” atau “tiga patriark” dalam
tradisi Jingitiu, yang memberikan kepadanya perlambang darah ayam, potongan
kecil kopra, dan kacang hijau.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Sementara “Ina Tana” adalah perjalanan yang bergerak ke arah berseberangan.
Puisi dibuka dengan “Mencintaimu sebagai keselamatan, aku pun pergi”, “aku suka
caramu yang santun ketika berdosa, kulitmu yang menguarkan wangi dupa dan
sukacitamu yang membumbung ke langit”, lantas “menyayangimu adalah dosa,
meninggalkanmu adalah celaka”, hingga ditutup dengan “hingga biarkanlah Cinta
menjadi alasan bagiku untuk menjaga jalan yang kautinggalkan”. Tanpa mengetahui
makna “ina tana” adalah “ibu tercinta”, lantaran puisi ini dibuka dengan menyatakan
kepergian menuju yang lain demi jalan keselamatan, saya menafsirkan puisi ini
menggambarkan pergulatan yang dialami oleh ibu Mario beserta saudara-saudarinya
yang mesti melepaskan tradisi Jingitiu, dan menganggap jalan yang ditempuhnya
sebagai penemuan kembali, dan terlepas dari letih yang dialami dalam perjalanan
itu, ia tetap menyimpan Cinta bagi tradisinya yang telah ditinggalkannya.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Ecclesia penitens” menceriterakan bagaimana seorang tua
menghampiri ayah Dope Ga, karakter dalam puisi ini yang berasal dari penamaan
karakter Jingitiu, menyentuhkan telunjuknya yang berlumur liur sirih pinang ke
sepasang pipi ayah Dope Ga. Ayahnya adalah orang yang kelak menjabarkan kepada
Dope Ga nama-nama tumbuhan sebelum ia mengenal kisah dalam tradisi Jingitiu tentang
dewa kesuburan dan manusia pertama yang menyentuh tempatnya kini berpijak. </span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Penduduk Sabu diturunkan dari leluhur Hawu Ga (Kika Ga).
Dalam genealoginya, urutan sesudah kedatangan orang Sabu menunjukkan pemisahan
antara manusia dan tumbuhan. Pohon tumbuh dari tubuh Rai Ae, seorang perempuan,
yang mati dan dari bagian-bagian tubuhnya menjelmalah berbagai jenis tumbuhan.
Di Mehara, muncul tujuh macam tumbuhan, kelapa dari tempurung kepala, pinang
dari biji mata, sirih dari jari, pohon lontar dari kemaluan, kacang dari
ginjal, nila dari empedu, dan mengkudu dari ludah. Karena itu, ketujuh jenis
tumbuhan ini pun penting kedudukannya dalam kehidupan orang Sabu.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">“Pulang” adalah puisi yang sejak pembukanya pun telah menghamparkan
rasa hangat, “kau tahu laut begitu ramah padamu, mempersembahkan hasil-hasilnya
ketika kau berdiri di pantai saat paceklik mencekik kampungmu,” dan “kau tahu
seorang cucu sepenuhnya menyukai segala yang ada padamu, menjadi seseorang yang
sama sekali tak mengenal kata “pulang” dalam bahasa daerah ayah maupun ibunya,
tapi merawat cintanya”. Dua kuplet ini menunjukkan bagaimana si cucu mencoba
menjabarkan tentang kakeknya. Kemesraan penggambaran ini berlanjut dengan
berbagai persepektif lain, “kau tahu langit mengerti rahasiamu”, “kau tahu
cerita seorang santa pernah mengisi masa kecilmu”, “kau tahu istrimu begitu
terpesona pada”, “kau tahu para penggantimu akan”, “kau tahu airmata yang
mengucur dari jasadmu”, hingga ditutup dengan “kau tahu ibu selalu berharap kau
bahagia di dalam sana dan di atas sana”. Ia menutup puisi persembahan untuk
kakeknya ini dengan kisah betapa ibunya masih menyampaikan doa-doa kepada Tuhan
sang kakek, tentang hal-hal yang tak kunjung dipahami si kakek semasa hidup. </span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
<span><span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Dua puisi terakhir “Bekas Sebuah Sungai” dan “Ecce
Homo” menggambarkan tentang ingatan akan masa lalu dan refleksi akan waktu-waktu
yang telah lewat, hingga perasaan tentang kehilangan sesuatu yang paling
berharga. “Bekas Sebuah Sungai” dibuka dengan menyebutkan, “Kupelihara masa
lalu dengan canggung” dan menjelaskan bahwa “rumah bagi waktu adalah alirannya,
tempat kita ikut hanyut, menyisihkan apa saja yang kita anggap berharga hingga
semuanya benar-benar tiada”. Sementara “Ecce Homo” dengan sendu mengatakan,
“Kupadamkan cahaya sekeliling untuk mengingatmu di tengah malam yang cerah
ini”, kesedihan terkatakan dalam “semesta diriku dulu punya nama dan bahasa,
dan seketika kehilangan sesuatu yang paling berharga dari dirinya”. Apabila
kita berpikir bahwa terkadang Mario menujukan pernyataan-pernyataannya dalam
kedua puisi ini kepada kakeknya yang telah tiada, agaknya itu adalah sublimasi
kesedihan seorang cucu yang mengenang kakeknya dan terkatakan dengan begitu
indah. {*}</span></span></span></span></span></span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-27466362053716672252019-02-21T17:16:00.010+07:002023-08-01T19:19:53.355+07:00Sin Po: Koran Nasionalis Kiri Tionghoa<blockquote><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-ID</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="false"
DefSemiHidden="false" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="375">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="header"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footer"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of figures"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope return"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="line number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="page number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of authorities"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="macro"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="toa heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Closing"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Message Header"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Salutation"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Date"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Note Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Block Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="FollowedHyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Document Map"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Plain Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="E-mail Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Top of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Bottom of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal (Web)"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Acronym"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Cite"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Code"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Definition"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Keyboard"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Preformatted"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Sample"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Typewriter"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Variable"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Table"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation subject"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="No List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Contemporary"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Elegant"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Professional"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Balloon Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Theme"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" QFormat="true"
Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" QFormat="true"
Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" QFormat="true"
Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" QFormat="true"
Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" QFormat="true"
Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" QFormat="true"
Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="41" Name="Plain Table 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="42" Name="Plain Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="43" Name="Plain Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="44" Name="Plain Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="45" Name="Plain Table 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="40" Name="Grid Table Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="Grid Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="Grid Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="Grid Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="List Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="List Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="List Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hashtag"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Unresolved Mention"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri",sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<br /></span></span>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span lang="IN">Monash University
meluncurkan koleksi digital </span></i><span lang="IN">Sin Po Ekelijksche Editie<i>.</i></span><span lang="IN"> </span><i><span lang="EN-US">Ini adalah jalan awal
bagi penelusuran lebih lanjut atas media Indonesia-Tionghoa terbesar pada masanya.</span></i></span></span></span></div></blockquote><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span lang="EN-US"></span></i></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Pers
Indonesia-Tionghoa </span><span lang="EN-US">lahir</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">lewat surat kabar <i>Li Po</i> </span><span lang="EN-US">pada </span><span lang="IN">1901 di Sukabumi.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[1]</span></span></span></a>
Surat kabar ini terbit mingguan dan banyak mengabarkan perihal kegiatan sekolah
Tionghoa, Tiong</span><span lang="EN-US"> H</span><span lang="IN">oa Hwe Koan (THHK).</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Sebelum Perang
Dunia II, selain <i>Li Po</i> yang
berorientasi pada dunia pendidikan, terbit pula surat kabar yang menaungi
kebutuhan kalangan Tionghoa dalam urusan niaga. Ketika itu, kebanyakan orang
Tionghoa di Jawa menjadi pedagang perantara dan eceran bermodal kecil sehingga
terbit <i>Kabar Perniagaan</i>.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Pemegang surat
kabar <i>Perniagaan</i> ini adalah para
opsir Tionghoa yang berpandangan kolot. Kebanyakan dari mereka tidak bersimpati
terhadap ajaran Sun Yat Sen</span><span lang="EN-US">, penggerak nasionalisme dan revolusi Tiongkok,</span><span lang="IN"> dan berselisih dengan angkatan muda yang
revolusioner.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span lang="IN">Perniagaan</span></i><span lang="IN"> bahkan tidak menyokong pergerakan nasional
Indonesia sehingga kerap dicap sebagai surat kabar yang pro-Belanda. Pada 1917,
<i>Perniagaan</i> mendukung rencana
partisipasi tokoh-tokoh Tionghoa menjadi anggota parlemen Belanda dalam
Volksraad</span><span lang="EN-US"> (Dewan Rakyat
Hindia Belanda)</span><span lang="IN"> dan Indie
Weerbaar</span><span lang="EN-US"> (barisan
pertahanan Hindia)</span><span lang="IN"> yang
mewajibkan warga Tionghoa mengikuti milisi tentara kolonial Belanda. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Orientasi politik
<i>Perniagaan</i> ini banyak mendapat kritik
dari <i>Sin Po</i>, yang baru berdiri pada 1
Oktober 1910, menjelang Revolusi Xin Hai 1911, revolusi yang dipimpin Sun Yat
Sen dan banyak memengaruhi pemikiran para Tionghoa perantau sekalipun.</span></span></span></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN"> </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><h3 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="IN">Surat Kabarnya Kelompok Nasionalis Tionghoa</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span lang="IN">Sin Po</span></i><span lang="IN"> (makna: <i>Surat Kabar Baru</i>) hadir
dengan orientasi pada nasionalisme Tiongkok, di bawah pimpinan Lauw Giok Lan
dan Yoe Sin Gie. Lauw Giok Lan pernah bekerja untuk surat kabar <i>Perniagaan</i> dan tanpa persetujuan
atasannya, ia menerbitkan <i>Sin Po</i>.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Surat kabar ini lantas
menjadi saingan terbesar bagi surat kabar <i>Perniagaan</i>.
<i>Sin Po</i> mendukung gagasan Revolusi Xin
Hai sekaligus anti-imperialisme, dan mengaitkannya dengan upaya membantu
perjuangan Indonesia merdeka.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[2]</span></span></span></a></span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Dua tahun setelah
berdiri, <i>Sin Po</i> mulai terbit harian
dengan pemimpin redaksi J. R. Razoux Kohr</span><span lang="EN-US">,</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">sementara Lauw Giok Lan
berperan sebagai asisten.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Dalam empat tahun
pertama, <i>Sin Po</i> lantas mengatur
terbitan dengan adanya rubrik tajuk rencana, halaman Hindia Nederland, berita
luar negeri, ruangan pajak, ulasan berita, pojok </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Djamblang Kotjok</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN"> dan</span><span lang="EN-US"> rubrik komik</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Put On</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="EN-US">Setelah
meningkatkan modal, p</span><span lang="IN">ada 12
Februari 1921, <i>Sin Po</i> menerbitkan edisi
bahasa Tionghoa</span><span lang="EN-US">, <i>Sin Po Chineesche Editie</i>. E</span><span lang="IN">disi bahasa Melayu </span><span lang="EN-US">diperuntukkan bagi</span><span lang="IN"> golongan peranakan dan edisi Tionghoa
untuk golongan totok. Sejak 1922, <i>Sin Po</i>
juga menerbitkan beberapa harian tambahan: <i>Bin
Seng</i></span><span lang="EN-US">, versi lebih
murah dari harian <i>Sin Po</i></span><span lang="IN"> (1922-1923), <i>Sin Po Oost Java Editie</i></span><span lang="EN-US">, edisi Jawa Timur yang kelak berubah menjadi <i>Sin Tit Po</i></span><span lang="IN"> (Juli
1922), <i>Weekblad Sin Po</i></span><span lang="EN-US"> atau <i>Sin Po Wekelijksche Editie</i>, <i>Sin
Po </i>edisi mingguan</span><span lang="IN"> (April
1923), dan majalah triwulan berbahasa Belanda <i>De Chineesche Revue</i> (Januari 1927).</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span lang="IN">Sin Po</span></i><span lang="IN"> terbit selama 55 tahun (1910-1965). Selain dua periode pemimpin redaksi,
Lauw Giok Lan dan Kwee Kek Beng, periode kehadiran Ang Yang Goan adalah babak
penting di keredaksian Sin Po. Dalam memoarnya,</span><span lang="IN"> </span><i><span lang="EN-US">Memoar Ang Yoan</span></i><span lang="EN-US">,</span><span lang="IN"> logo <i>Sin Po</i>
tampil dengan fotonya diikuti subjudul “Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli
Pembangunan Bangsa Indonesia”. Ia memang punya peran besar perkembangan surat
kabar ini sejak diajak bergabung oleh Tjoe Bouw San pada 1921.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Ketika Tjoe Bouw
San meninggal pada 1925, Kwee Kek Beng ditunjuk sebagai pemimpin redaksi untuk
menggantikan, sementara Ang Jan Goan </span><span lang="EN-US">m</span><span lang="IN">emimpin perusahaan</span><span lang="EN-US">. K</span><span lang="IN">eduanya memimpin <i>Sin Po</i> 25 tahun lamanya.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="EN-US">Selepas</span><span lang="IN"> masa pendudukan Jepang (1942-1945), </span><span lang="EN-US">arah</span><span lang="EN-US"> </span><i><span lang="IN">Sin Po </span></i><span lang="IN">semakin jelas. Pembaca surat kabar kala itu
terbagi dalam dua golongan, yang sayap kanan dengan <i>Keng Po</i> dan sayap kiri dengan <i>Sin
Po</i>.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[3]</span></span></span></a>
Kedua surat kabar ini juga berdiri dengan majalahnya, <i>Pantjawarna</i> </span><span lang="EN-US">milik</span><span lang="EN-US"> </span><i><span lang="IN">Sin Po</span></i><span lang="IN"> sedangkan <i>Star Weekly</i> </span><span lang="EN-US">milik</span><span lang="EN-US"> </span><i><span lang="IN">Keng Po</span></i><span lang="IN">. Surat kabar di luar Jakarta juga terbagi
berdasarkan haluan politiknya, seperti <i>Kuang
Po</i> (Semarang, 1953) berhaluan kanan, <i>Sin
Min</i> dan <i>Trompet Masjarakat</i>
(Surabaya, 1947) berhaluan kiri.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Pada masa
Demokrasi Terpimpin, seturut ketentuan pemerintah</span><span lang="IN"> </span><span lang="EN-US">terkait integrasi masyarakat keturunan Tionghoa sebagai warga negara
Indonesia berdasarkan asas <i>ius soli</i></span><span lang="IN">, <i>Sin
Po</i> berganti nama menjadi <i>Pantja Warta</i>
di bawah pimpinan Kwa Sien Biauw, lantas menjadi <i>Warta Bhakti</i> di bawah pimpinan Abdul Karim Daeng Patombong (A.
Karim D. P.) dan Tan Hwie Kiat, hingga ditutup pada Oktober 1965 dengan tuduhan
terlibat G30S.</span></span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Saking
berpengaruhnya <i>Sin Po</i>, terdapat
julukan <i>Sinpoisme</i> untuk menggambarkan
aliran politik peranakan Tionghoa </span><span lang="EN-US">yang</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">ber</span><span lang="IN">pedoman “sekali Tionghoa tetap Tionghoa”. <i>Sin Po</i> mendukung setiap gerakan
nasionalis bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga secara finansial. Apa
yang mendorong gerakan nasionalis ini?</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<a name='more'></a></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"></span><h3 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="IN">Koloni Kelima: Cara Pemerintah Hindia Belanda Sudutkan
Tionghoa</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Pramoedya Ananta
Toer dalam <i>Hoa Kiau di Indonesia</i>
menyebutkan bahwa pada permulaan abad ke-18, golongan Hoakiau menjadi “golongan
yang tidak disukai” oleh pemerintah Hindia Belanda dan ditempatkan sebagai
“koloni kelima”. Sikap anti-Tionghoa dikembangkan oleh golongan penguasa,
berlanjut ke golongan borjuasi, para pemodal non-Tionghoa, lantas oleh golongan
politik sebagai senjata menjatuhkan.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Pada 1821,
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan Surat Jalan (<i>Passenstelsel</i>) yang menentukan bahwa
setiap orang Tionghoa perlu memiliki izin perjalanan. Secara implisit,
peraturan ini ditujukan untuk membatasi ruang gerak masyarakat Tionghoa. </span><span lang="EN-US">I</span><span lang="IN">ni dibarengi edaran Peraturan Kependudukan (<i>Wijkenstelsel</i>) yang menetapkan bahwa
orang Tionghoa </span><span lang="EN-US">harus</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">tinggal di wilayah yang dikhususkan bagi mereka.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Hal ini diperkuat
dengan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang tak memberikan
kesempatan bagi anak Tionghoa untuk bersekolah. Kesengajaan untuk
menghalang-halangi pendidikan bagi kalangan </span><span lang="EN-US">bumiputera atas pemahaman tentang Tionghoa</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">juga </span><span lang="IN">tampak dari fakta bahwa barulah pada 1928, sebuah mata pelajaran tentang
orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda tercantum dalam pendidikan BB <i>ambtenaren</i></span><i><span lang="IN"> </span></i><span lang="EN-US">(</span><span class="MsoHyperlink"><a href="https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Binenlandsch_Bestuur&action=edit&redlink=1" title="Binenlandsch Bestuur (halaman belum tersedia)">Binenlandsch Bestuur</a></span>,
administrasi domestik, rekomendasi pribadi pejabat)<span lang="IN">.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><i><span class="MsoFootnoteReference"><b><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[4]</span></b></span></i></span></a></span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Intimidasi </span><span lang="EN-US">pemerintah </span><span lang="IN">kolonial Belanda ini menggerakkan orang Tionghoa
untuk </span><span lang="EN-US">mengarahkan</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">dan menggantungkan harapan </span><span lang="IN">ke Tiongkok. Salah satu aspirasi
nasionalisme kultural Tiongkok ini adalah terbitnya buku-buku cerita atau roman
Tiongkok dalam bahasa Melayu-Betawi dan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan</span><span lang="EN-US"> (THHK)</span><span lang="IN"> pada awal abad ke-20.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="IN">Upaya Patahkan Penindasan Kolonial</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">THHK didirikan
pada 17 Maret 1900 dan secara resmi dibuka pada 3 Juni 1900.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[5]</span></span></span></a>
Pada 1 September 1901, THHK membuka sekolah berbahasa Inggris. </span><span lang="EN-US">Lalu p</span><span lang="IN">ada Desember 1904, kedua jenis sekolah, baik yang
berbahasa Melayu dan berbahasa Inggris, digabungkan.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Bersamaan dengan
berdirinya THHK, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Biro Urusan Tionghoa yang
bertugas </span><span lang="EN-US">menasihati</span><span lang="IN"> pemerintah dalam menjalankan politik
terhadap orang Tionghoa di Hindia Belanda. Kekhawatiran pemerintah Belanda
akibat perkembangan pesat THHK mendorong Dewan Hindia mengusulkan pendirian
sekolah-sekolah Belanda. Sekolah dengan pengantar bahasa Belanda ini didirikan
pada 1908 dengan nama Hollandsch Chineesche School (HCS).</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Perlahan, sekolah
THHK terdesak oleh HCS dan masyarakat Tionghoa terpecah menjadi mereka yang
berpendidikan Belanda dan yang berpendidikan Tionghoa. Pada saat bersamaan, di
Tiongkok sedang berlangsung perjuangan revolusioner Sun Yat Sen dan kelompok
nasionalis yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Dinasti Ch’ing.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Paham Sun Yat Sen
yang dikemukakan dalam buku <i>San Min Chu I</i>,
yakni paham yang mengupayakan kemerdekaan nasional, menjadi pegangan kalangan
nasionalis Tionghoa pada masa pra-kemerdekaan Indonesia. Kalangan peranakan
Tionghoa pada umumnya memaknai isi buku Sun Yat Sen bahwa rakyat Tiongkok mesti
mendukung rakyat di mana ia berada untuk mencapai kemerdekaan penuh—demikian
juga pegangan kalangan perantau Tionghoa di Indonesia pada masa
pra-kemerdekaan.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="EN-US">K</span><span lang="IN">ita</span><span lang="EN-US"> pun</span><span lang="IN"> dapat melihat rakyat Tionghoa mendukung penuh usaha-usaha perjuangan
kemerdekaan Indonesia dari Belanda karena mereka memandang</span><span lang="EN-US">nya</span><span lang="IN"> selaras dengan gagasan anti-kolonialisme dan
anti-imperialisme dalam pemikiran Sun Yat Sen.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span lang="IN"> </span></b></span></span></span></div><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="IN">Ang Yan Goan: Tokoh Pers Tionghoa dan Gagasan
“Serba Pertama” di Keredaksian</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Ang Yan Goan
adalah tokoh di balik banyak pembaruan dalam keredaksian <i>Sin Po</i>.<span class="MsoFootnoteReference"> <a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[6]</span></span></a></span> Dalam
memoarnya, Ang bercerita tentang kerja-kerja keredaksian <i>Sin Po</i> dan haluannya</span><span lang="EN-US">.</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">Salah satunya</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">ketika WR Supratman mengaku bahwa banyak redaksi media kala itu tidak
bersedia memuat lirik lagu </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Indonesia Raya</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">WR Supratman
mendatangi kantor <i>Sin Po</i> dan
memainkan biola, menyanyikan larik-larik lagu tersebut di depan Ang. Kelak,
ketika beberapa media berhaluan nasionalis menghujat mengapa lagu tersebut
diterbitkan di <i>Sin Po</i>, Ang selalu
terkenang akan hari biola digesekkan kala itu dan bagaimana keputusan redaksi
berperan penting dalam menghadirkan nasionalisme awal bangsa, melalui </span><span lang="EN-US">publikasi lirik </span><span lang="IN">lagu!</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Tiap harinya, Ang
memacak </span><span lang="EN-US">target </span><span lang="IN">bahwa <i>Sin
Po</i> harus menerbitkan ta</span><span lang="EN-US">j</span><span lang="IN">uk rencana dan
tulisan yang berbobot. Tiap pekan, Pak Kwee </span><span lang="EN-US">selaku redaktur </span><span lang="IN">ditugaskan menulis tiga tajuk rencana dengan
mengulas peristiwa dalam negeri, sementara Pak Go menulis ulasan tentang
peristiwa di Tiongkok. Saat itu, belum ada koran di Indonesia yang menerbitkan
tajuk rencana setiap hari, dan pilihan Ang ini memberi kekhasan pada <i>Sin Po</i> dan memulai tradisi baru.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Koran ini juga
mulai membuat komik yang kemudian menjadi lebih terkenal daripada koran itu
sendiri, yakni serial </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Put On</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">, bercerita tentang karakter </span><span lang="EN-US">anak </span><span lang="IN">kecil yang banyak
tingkah, dengan ibu berikut kedua adiknya, dan teman-temannya yang kocak. Lagi-lagi,
ketika itu, <i>Sin Po</i> menjadi
satu-satunya koran yang memuat komik ciptaan bangsa sendiri. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Langkah-langkah
strategis dicanangkan oleh Ang untuk menampilkan keistimewaan <i>Sin Po</i></span><span lang="EN-US">. D</span><span lang="IN">i antaranya untuk <i>Sin Po </i>edisi
bahasa Tionghoa, mereka mempekerjakan koresponden yang bekerja di beberapa kota
di Tiongkok seperti di Provinsi Fujian dan Guangdong, maupun di Hong Kong,
Shanghai, dan Singapura untuk mengirimkan tulisan setempat. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Pada 1926, <i>Sin Po</i> membeli seluruh berita dari Aneta
News Agency dan mendulang sukses karena langganan surat kabar ini meningkat
hampir 100 persen. Mereka juga mengganti cara mencetak manual dengan mesin,
plat rata diganti dengan cetak rol baru. Ang memutuskan membeli sebuah mesin
Linotype yang digunakan mingguan dan meminta perusahaan Linotype untuk melatih
dua karyawan mudanya agar bisa jadi operator. Kembali lagi, <i>Sin Po</i> menjadi koran pertama berbahasa
Melayu di Indonesia yang menggunakan mesin ini. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Ia juga
mempelajari pembuatan pelat untuk menaruh foto pada pelat cetak. Dengan
menggunakan foto-tustel, ia bereksperimen, lantas menghubungi seorang importir
untuk memperoleh bahan-bahan kimia pembuatan pelat dari Hunter and Penrose Co.
di London. Dengan hadirnya pelat cetak foto ini, edisi <i>Sin Po</i> lebih sering memuat foto, bahkan pada <i>Sin Po</i> berbahasa Tionghoa yang terbit tiap Sabtu, mereka
menyisipkan halaman khusus penuh foto. Ini menjadikan <i>Sin Po</i>, sebelum Perang Dunia II, satu-satunya koran berbahasa
Tionghoa di Indonesia yang punya bengkel pembuatan pelat sendiri.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Selain hal-hal
yang “serba pertama” itu, Ang juga mengutamakan kesejahteraan karyawannya. Pada
</span><span lang="EN-US">19</span><span lang="IN">20-an, pajak pendapatan karyawan yang telah
bertugas lebih dari lima tahun ditanggung oleh perusahaan, dan 20 persen dari
keuntungan bersih perusahaan mesti dibagikan kepada karyawan. Tiap tahun, <i>Sin Po</i> menaikkan gaji para karyawan
secara rutin tanpa diminta oleh para pekerjanya. Ia juga mengusulkan dana
kesejahteraan hari tua bagi karyawan (semacam uang pensi</span><span lang="EN-US">u</span><span lang="IN">n), karyawan tidak perlu melakukan iuran</span><span lang="EN-US"> dana pension ini</span><span lang="IN"> karena setiap bulan perusahaan
menyediakan dana yang jumlahnya ditentukan pemegang saham.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></span></div><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span></span><div class="MsoNormal"><span style="color: #3d85c6;"></span><span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="IN"> </span></b></span></span></span><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="IN">Menengok Koleksi <i>Sin Po</i></span></b><b><span lang="EN-US">,</span></b><b><span lang="EN-US"> </span></b><b><span lang="IN">Merelevankan Arsip</span></b></span></span></span></span><span style="font-family: verdana;"></span></span></div><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal"><span style="font-size: medium;">
</span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Upaya </span><span lang="EN-US">digitalisasi arsip <i>Sin Po </i>edisi mingguan oleh </span><span lang="IN">Monash University adalah terobosan
penting. Sama seperti banyak arsip lainnya, perlu usaha untuk </span><span lang="EN-US">menyangkutpautkan</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">arsip-arsip tersebut agar tidak hanya berhenti sebagai arsip yang tidak </span><span lang="EN-US">tergapai</span><span lang="IN">. Banyak hal menarik yang bisa digali </span><span lang="EN-US">dan dipelajari </span><span lang="IN">dari <i>Sin Po</i>.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Soal bagaimana <i>Sin Po</i> mendukung nasionalisme, kita akan
menemukan catatan panjang tentang </span><span lang="EN-US">persaingannya</span><span lang="IN"> dengan </span><i><span lang="EN-US">Keng Po</span></i> dan <i>Perniagaan</i><span lang="IN"> ataupun koran-koran berhaluan kanan</span><span lang="EN-US"> lain</span><span lang="IN">. Pe</span><span lang="EN-US">nelusuran </span><span lang="IN">atas
ideologi para pendiri <i>Sin Po</i> dan </span><span lang="EN-US">isi penerbitannya</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">menunjukkan</span><span lang="IN"> bagaimana orang-orang kiri Tionghoa saat itu mendukung
kemerdekaan Indonesia. Sikap pers Melayu Tionghoa dan pers Melayu untuk saling
menghormati dengan menulis kata “Indonesia” dan “Tionghoa” untuk menggantikan
kata “Inlander” dan “Tjina” juga menjadi catatan penting.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Berdasarkan penuturan berbagai sumber, <i>Sin
Po</i> juga memperhatikan kesenian, Ang mengakui dalam memoarnya bagaimana ia
mengajak para seniman untuk menghadirkan tata artistik yang khas. <i>Sin Po</i> kerap hadir dengan seni lukis
dari banyak seniman ternama untuk halaman muka, seperti oleh Basuki Abdullah,
Lee Man Fong, dan Agus Djaja. Beberapa rubrik pun menarik untuk ditelusuri
kembali, dengan daya tarik terbesar untuk anak-anak adalah “Ko Put On” yang
diasuh oleh Kho Wan Gie ataupun rubrik “Djamblang Kotjok” asuhan Kwee Kek Beng
yang menulis sindiran terhadap kejadian-kejadian dan tokoh-tokoh penting pada
masa itu. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="EN-US">B</span><span lang="IN">erbagai upaya “serba pertama” menjadikan <i>Sin Po</i> terdepan </span><span lang="EN-US">pada masanya. P</span><span lang="IN">emuatan karya-karya nasionalis seperti lirik lagu
WR Supratman, perekrutan kontributor di negara-negara berbahasa Tionghoa, pe</span><span lang="EN-US">nggunaan</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">ilustrasi dan foto, pengadaan pelat cetak serta mesin khusus, hingga
perhatiannya atas kesejahteraan karyawan menjadikan <i>Sin Po</i> sebagai media yang teramat penting untuk dilacak proses
kerja keredaksiannya.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><h3><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span lang="IN">Kepustakaan</span></b></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36pt; text-indent: -36pt;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Ang Yan Goan. (2009).
“Koran Keng Po” dan “Pembaruan Sin Po” dalam <i>Memoar Ang Y</i></span><i><span lang="EN-US">an G</span></i><i><span lang="IN">oan: Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa
Indonesia</span></i><span lang="IN">. Jakarta: Yayasan Nabil dan Hasta Mitra.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36pt; text-indent: -36pt;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Benny G. Setiono (ed.).
(2008). <i>Tionghoa
dalam Pusaran Politik</i>. Jakarta: Transmedia Pustaka.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36pt; text-indent: -36pt;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Leo Suryadinata. (2010).
“Pers Indonesia-Tionghoa di Jawa dan Pergerakan Kemerdekaan, 1901-1942” dalam <i>Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia:
Sebuah Bunga Rampai 1966-2008</i>. Jakarta: Penerbit Kompas.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36pt; text-indent: -36pt;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Myra Sidharta. (2009).
“Pers Melayu Tionghoa” dalam Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan
Budaya. Jakarta: PT Intisari Mediatama dan Komunitas – Lintas Budaya Indonesia.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36pt; text-indent: -36pt;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Onghokham. (2005).
“Terjadinya Suatu ‘Minoritas’” dalam <i>Riwayat
Tionghoa Pe</i></span><i><span lang="EN-US">r</span></i><i><span lang="IN">anakan di Jawa</span></i><span lang="IN">. Depok: Komunitas Bambu.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br clear="all" /></span></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[1]</span></span></span></span></a><span lang="IN"> Leo Suryadinata, “Pers Indonesia-Tionghoa
di Jawa dan Pergerakan Kemerdekaan, 1901-1942” dalam <i>Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai
1966-2008</i>, hlm. 10-21.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[2]</span></span></span></span></a><span lang="IN"> Benny G. Setiono (ed.), “Tionghoa Hwe
Koan” dalam <i>Tionghoa dalam Pusaran
Politik</i>, hlm. 444-447.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[3]</span></span></span></span></a><span lang="IN"> Myra Sidharta, “Pers Melayu Tionghoa”
dalam Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya, hlm. 112-129.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[4]</span></span></span></span></a><span lang="IN"> Onghokham, “Terjadinya Suatu ‘Minoritas’”
dalam <i>Riwayat Tionghoa Peanakan di Jawa</i>,
hlm. 34.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[5]</span></span></span></span></a><span lang="IN"> Benny G. Setiono (ed.), <i>Ibid</i>, hlm. 306-311.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">[6]</span></span></span></span></a><span lang="IN"> Ang Yan Goan, “Koran Keng Po” dan
“Pembaruan Sin Po” dalam <i>Memoar Ang Yan Goan:
Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa Indonesia</i>, hlm. 67 dan
hlm. 73-83.</span></span></span></span></div>
</div>
</div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-52524433437264377652019-02-21T17:13:00.005+07:002021-06-02T15:21:22.574+07:00Bicara Pascakolonial: Kabar soal Selatan dari Selatan<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span lang="IN" style="line-height: 107%;"></span></i><p> </p><blockquote><i><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Demokrasi pengetahuan di kalangan </span></i><i><span lang="EN-US" style="line-height: 107%;">dunia </span></i><i><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Selatan
menghendaki pengetahuan berkembang dari, oleh, dan untuk Selatan.</span></i></blockquote><i><span lang="IN" style="line-height: 107%;"></span></i></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">“Kekeliruan untuk
tidak mengambil teknologi tercanggih yang ada telah banyak merugikan sebagian
negara sosialis; kerugiannya dalam hal pembangunan dan persaingan di pasar
dunia.”</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Tokoh
revolusioner Kuba, Che Guevara, menekankan bahwa mengambil pengetahuan dan
teknologi dari negara di luar Kuba adalah suatu keniscayaan. Namun, sebelum
itu, ia mengajukan sederet prioritas untuk meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia di negaranya.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Pendidikan,
karena ia pandang sebagai kunci utama kemajuan, menjadi mandat gerakan
revolusionernya. Hanya dalam waktu singkat setelah Kuba ditinggalkan oleh
banyak orang terpintarnya, bagai suatu eksodus besar-besaran “para pengkhianat
revolusi”, Che tidak ambil pusing dan mulai melatih orang-orang yang tersisa
dan bersedia bertahan demi revolusi yang dibayangkannya. Ia menganjurkan
kelas-kelas peningkatan kemampuan dan memberikan tes untuk mengukur kinerja buat
peningkatan produktivitas.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Che sendiri,
konon, menyiapkan papan tulis dan penghapus, dan meminta profesor matematika
Universitas Havana, Salvador Vilaseca, untuk mengajarinya aljabar,
trigonometri, geometri analitis, dan kalkulus diferensial untuk mempersiapkan
diri sebagai Presiden BNC</span><span lang="EN-US">.</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">“Ketika revolusi menempatkanmu pada sebuah jabatan, satu-satunya yang bisa
diperbuat adalah menerimanya, belajar, dan bekerja sebagaimana harusnya,”
katanya.</span></span></span></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN"> </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Keresahan yang
dialami di masa Che tentang teknologi tercanggih itu kembali terjadi pada
hari-hari ini, terutama saat gagasan tentang kemajuan dan pembangunan bergerak
di luar kendali kita.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Dengan kesadaran
bahwa selama ini pengetahuan dan teknologi masih mengacu pada para pemikir
negeri Barat, konon kita perlu mengoreksi pemahaman kita tentang kebangsaan dan
standar-standar berbangsa. Apakah Jakarta benar membutuhkan kemajuan seperti
yang sekarang terjadi? Dan apakah Papua, tempat terjauh di Indonesia dari skala
Jakarta, perlu meniru jejak pembangunan Jakarta demi modernitas? Akan tetapi,
modernitas itu sebenarnya apa?</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Ataukah kita
perlu </span><span lang="EN-US">mengartikan dan
mengukur</span><span lang="IN"> kembali kesiapan
menghadapi modernitas?</span></span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Atas soal-soal
itu, kajian pascakolonial yang berkembang saat ini kembali berusaha mempertanyakan
asumsi-asumsi mendasar kita tentang modernitas—yang sebagian besar berasal dari
pengetahuan Barat, termasuk gagasan kita seputar kemajuan dan pembangunan. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Sejalan dengan
itu, para pengkaji pascakolonial memegang asumsi bahwa kita mesti menggali
etika kehidupan bersama yang bersifat non-Eurosentris, non-korporat, dan
mengedepankan kekuatan pengetahuan Timur.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="EN-US">Wacana </span><i><span lang="IN">Global
South</span></i><span lang="IN"> dan semangat <i>South-South Cooperation </i>membuka
kesempatan bagi berbagai negara pascakolonial untuk mengkaji masalah-masalah
modernitas itu. Dua istilah terkini ini pula yang dipakai para pengkaji
pascakolonial untuk menekankan rasa solidaritas di tengah masyarakat dari
negara-negara bekas jajahan dan di bawah situasi ekonomi yang terhimpit
perkembangan kapitalisme global.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Istilah <i>global south</i> ini tidak digunakan dengan
pemahaman geografis, tetapi lebih pada upaya penguatan negara-negara di “Selatan
global”, meski negara-negara yang <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Global_South" target="_blank">termasuk dalam daftar</a> ini
terletak di belahan bumi Selatan. <i>South-south
Cooperation</i> memungkinkan berbagai negara di bawah payung Selatan global
untuk menggali pengetahuannya sendiri—sebagai suatu upaya “dekolonisasi
pengetahuan”. Dengan pengetahuan dari diri sendiri itulah mereka menentukan
arah perkembangan bangsanya dan bermodalkan ini, bila menggunakan contoh di
awal, kita akan dapat menentukan modernitas versi Papua, bukan Jakarta.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Dengan pendekatan
<i>South-South Cooperation</i>, kita perlu menelaah
klaim eurosentris tentang universalitas—kecenderungan kita memeluk pemahaman </span><span lang="EN-US">bahwa standar baik adalah tunggal</span><span lang="IN"> sehingga membuat budaya menjadi homogen</span><span lang="EN-US"> ditentukan oleh standar Barat</span><span lang="IN">. </span><span lang="EN-US">D</span><span lang="IN">i satu sisi, kita perlu pula membongkar mitos tentang perspektif yang
berfokus pada partikularisme global dan relativisme kultural, bahwa jalan yang
dipakai untuk melawan </span><span lang="EN-US">penyeragaman</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">budaya adalah dengan menutup rapat-rapat pintu rumah kita dari kebudayaan
asing.</span><span lang="EN-US"> Menurut forum
ini, bagaimanapun,</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">k</span><span lang="IN">laim-klaim oposisi biner ini bertahan membuat
negara-negara di luar Eropa tetap “menggunakan perspektif Barat dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan Timur”. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Forum Goethe
Insititut Indonesien Jakarta</span><span lang="IN">
</span><span lang="IN">mengetengahkan perdebatan
tentang sudut pandang pascakolonial ini</span><span lang="EN-US">—</span><span lang="IN">kendati</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">ironis karena tempat penyelenggara diskusi
dengan tema ini bukan pusat kebudayaan negara-negara yang masuk dalam daftar <i>South-south Cooperation</i>. Forum mengajak
para pemikir di bidang ini untuk menelaah proses “dekolonisasi pengetahuan”
dengan menyoroti bagaimana pengetahuan Barat masih ditiru, bertahan, dan
dipakai untuk memarginalisasikan non-Barat, dan karenanya praktik-praktik ini
perlu dikritisi. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Forum terbuka </span><span lang="EN-US">bertajuk </span><span lang="IN">“Perspektif Pasca-kolonial dari Belahan Selatan
Dunia”</span><span lang="EN-US"> ini</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">mempertemukan para kurator, sosiolog, dan sejarawan dari Amerika Selatan,
Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Pada hari pertama, 24 Januari 2019,
hadir Chua Beng Huat (Singapura) yang membahas tentang perspektif pascakolonial
di Asia Tenggara dan Divya Dwivedi (India) dengan perspektif dari Asia Selatan.
Pada hari berikutnya, 25 Januari 2019, agenda diisi oleh Gabi Ngcobo (Afrika
Selatan) untuk membahas perspektif pascakolonial di Afrika dan Laymert Garcia
dos Santos (Brazil) dari Amerika Selatan. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Pada panel
pertama, Chua Beng Huat, profesor Departemen Sosiologi National University of
Singapore, membicarakan tentang betapa langkanya tulisan-tulisan terkait
pemikiran pascakolonial dari wilayah Asia Tenggara. Pendekatan yang dipakai
ketika membahas pascakolonial di Singapura umumnya berasal dari Asia Selatan—lantaran
masyarakat Singapura memang terdiri atas masyarakat etnis yang majemuk—dengan
pembahasannya mengenai pendudukan imperium Inggris di India. Padahal, soal-soal
pembangunan, perbedaan pendapatan, hingga kapitalisme global menjadi soal
genting sehingga perlu </span><span lang="EN-US">dibahas</span><span lang="IN"> dalam literatur-literatur tentang
pascakolonialisme di Asia Tenggara hari ini. Namun, ironi ini dijawab sendiri
olehnya, karena menurutnya sejak 1970, bahkan tampaknya sekadar pembahasan
tentang kapitalisme global di Singapura saja tidak begitu dianggap urgen. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
</div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><a name='more'></a><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN"> </span></span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Andi Achdian,
redaktur pelaksana Jurnal Sejarah Indonesia, sependapat dengan Chua Beng
mengenai terbatasnya sumber-sumber kritis yang membahas keadaan negara-negara
di Asia Tenggara pascakolonial. Ia menyampaikan kesamaan sejarah yang dialami
oleh Indonesia dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Utamanya ia membahas
tentang rezim Orde Baru yang mewarisi ideologi konservatif dan pendekatan
sejarah yang berpusat pada pengetahuan kolonial Belanda dan hal ini dipakai dalam
tradisi penulisan sejarah di Indonesia. Pendekatan konservatif dan tidak
kreatif dalam penulisan sejarah semacam ini, menurut Andi, barulah menemukan
lawannya ketika Onghokham menghadirkan metode penulisan sejarah yang menekankan
ideologi individual atas sejarah. Metode dilakukan dengan menghadirkan
tulisan-tulisan progresif yang menantang narasi sejarah yang telah mapan, dan
karenanya, ini menjadikan Onghokham sejarawan yang kuat dalam melawan penindasan
rezim Orde Baru.</span></span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
</p><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Hilmar Farid,
sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, melanjutkan dengan menekankan perlunya alternatif dari cara kita
memandang masyarakat. Menurutnya, masyarakat Indonesia perlu mencari akar
persoalan sebelum melancarkan kritik pada model pembangunan kapitalis. Saat
ini, kesalahan utama orang-orang kiri ialah bahwa mereka cenderung gagap
membaca masyarakat, dan karenanya gagal untuk melakukan perubahan sosial yang
berarti. Untuk menemukan alternatif dari hal ini, misalnya, ia menyebut betapa
kuatnya karya-karya </span><span class="MsoHyperlink"><a href="https://jurnalruang.com/read/1503458107-max-lane-menghadirkan-indonesia-di-bumi-manusia" target="_blank">PramoedyaAnanta Toer</a></span><span lang="IN"> dalam
membongkar mitos masyarakat dan mematahkan pengaruh perspektif Belanda bagi
Indonesia.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Karena itu,
menurut Hilmar, kita perlu untuk melakukan dua perkara. <i>Pertama</i> yakni mendiskusikan kembali para pemikir Indonesia, seperti,
ia sebut, Ki Ageng Suryomentaram, ataupun upaya-upaya serius lainnya dalam
menemukan cara berpikir masyarakat Indonesia, lewat pertemuan-pertemuan pada
masyarakat skala lokal dan menyerap energi intelektual dari penduduk setempat.
Kumpulan dari interaksi dengan masyarakat ini, dan penggalian atas pengetahuan
para pemikir terdahulu, lantas dapat dikompilasikan menjadi semacam sejarah
intelektual bangsa.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Panel dilanjutkan
dengan pemaparan dari sudut pandang pascakolonial dari Asia Selatan. Divya
Dwivedi, filsuf dari India Institute of Technology Delhi menjelaskan teorinya
tentang “<i>calypsology</i>”, suatu terma
yang dirujuknya dari epik Yunani <i>Odyssey</i>
yang bertemu Calypso, sosok gadis cantik dalam mitologi Yunani yang tinggal di
Pulau Ogygia, tempat di mana Odysseus ditahan selama tujuh tahun. Merujuk pada
kisah dalam epik ini, ia memaknai istilah <i>Calypsology
</i>sebagai penjelasan tentang kondisi di wilayah pascakolonial ketika
masyarakatnya memiliki suatu kehendak “melupakan” dalam upaya untuk
“mengingat”. Istilah ini dipakai Divya untuk menjelaskan keterkurungan
masyarakat bekas jajahan oleh penjajahnya, dan bagaimana upaya melepaskan diri
dari kolonial akan mengandaikan masyarakat perlu “melupakan” sejarah kelam
penjajahan untuk “mengingat” jati dirinya.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Baginya, suatu cara
berpikir sebagai masyarakat pascakolonial akan berkembang setelah masyarakat
melupakan persoalan yang pernah dihadapinya di masa penjajahan. Lantas, apabila
setelahnya masyarakat dapat menjadi agen yang aktif atas penceritaan tentang
daerahnya, kendati narasi-narasi itu akan tetap memuat karakteristik terkait keteraturan
dan sistematika pemikiran yang telah dipupuk oleh pendudukan kolonial.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Divya lantas mengkritik
tajam para pemikir pascakolonial di India yang sebelumnya telah membawakan
konsep tentang <i>subaltern</i>, seperti
Homi Bhabha dan Gayatri Spivak.</span><span lang="EN-US"> Teori-teori subaltern yang dikembangkan mereka memfokuskan perhatian
pada kalangan marginal dari sudut pandang hegemoni budaya.</span><span lang="IN"> Menurutnya, konsep <i>subaltern</i> dikembangkan oleh kaum pemikir elitis yang bersepaham
dengan gagasan Barat dan tidak memiliki kedekatan dengan gagasan pendekatan
pascakolonial dengan perspektif Marxisme</span><span lang="EN-US"> tentang kelas, atau pendedahan secara
ekonomi-politik</span><span lang="IN">. Itulah,
menurutnya, yang menjadi sebab mengapa kajian subaltern mengetengahkan isu-isu
yang terbatas pada kajian identitas dan tidak membongkar lebih jauh tentang
ketimpangan</span><span lang="EN-US"> ekonomi</span><span lang="IN"> di tengah masyarakat</span><span lang="EN-US"> ataupun</span><span lang="IN"> berdasarkan persoalan kelas.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Soal kelas ini,
Divya menyinggung sistem kasta di India yang menempatkan kalangan pariah ke
dalam strata paling rendah dan ini bahkan berlanjut pada masa kolonial dan
setelahnya. Hadirnya kolonialisme di India, rupanya, tidak berhasil untuk
mematahkan sistem kasta itu dan justru memperkuatnya. Oleh karena itu, ia
merasa perlu untuk menciptakan narasi-narasi baru, terutama sebagaimana yang
dipropagandakan oleh Mahatma Gandhi, tentang kekuatan suatu bangsa untuk
melepaskan dirinya dari belenggu kolonial ataupun belenggu perbedaan kasta di
tengah masyarakat.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Simon Soon,
sejarawan seni di University of Malaya, dan Manneke Budiman, wakil dekan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menyampaikan tanggapan mereka atas
teori “<i>calypsology</i>” Divya bahwa
konsep identitas individual tidak perlu dilepaskan dari konteks keberagaman dan
pembahasan tentang kelas. Jadi, ia tidak sepenuhnya menyepakati penolakan Divya
terhadap penekanan “identitas” dalam teori-teori subaltern, dan karenanya Simon
mengajukan bahwa pendekatan kolektif atas identitas-identitas berbeda—kemajemukan
masyarakat—diperlukan dalam proses “mengingat” dan “melupakan” yang diajukan
Divya.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Simon, dengan
mengangkat konteks kepulauan yang didiami oleh masyarakat Asia Tenggara,
menekankan bahwa tidak perlu ada proses isolasi dalam menghasilkan suatu cara
berpikir alternatif di kalangan masyarakat untuk menghadapi globalisasi.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN">Terkait istilah <i>cal</i></span><i><span lang="EN-US">y</span></i><i><span lang="IN">psology
</span></i><span lang="IN">oleh Divya, Manneke </span><span lang="EN-US">merespons</span><span lang="IN"> dengan mengambil contoh sejarah Indonesia dalam
menjelaskan tiga persoalan: <i>pertama</i>
adalah polemik kebudayaan yang mengangkat arah kebudayaan Indonesia antara
Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, <i>kedua</i>
adalah upaya generasi muda pada 1928 melepaskan dirinya dari kolonialisme
dengan menyatakan sumpah pemuda, dan <i>ketiga</i>
surat pernyataan kepercayaan gelanggang yang dicanangkan oleh para seniman muda
dengan menyatakan dirinya sebagai “pewaris kebudayaan dunia”. Dengan ketiga
contoh peristiwa sejarah ini, ia hendak menekankan bahwa proses “mengingat” dan
“melupakan” berlaku sangat cair dalam mencetak babak-babak terpenting sejarah. {*}<br /></span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-16884654357943687362019-02-21T17:10:00.003+07:002021-06-02T15:24:43.600+07:00Unjuk Rasa: Seni adalah Panglima<blockquote><span style="font-family: verdana;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-ID</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="false"
DefSemiHidden="false" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="375">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="header"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footer"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of figures"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope return"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="line number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="page number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of authorities"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="macro"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="toa heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Closing"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Message Header"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Salutation"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Date"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Note Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Block Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="FollowedHyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Document Map"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Plain Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="E-mail Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Top of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Bottom of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal (Web)"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Acronym"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Cite"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Code"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Definition"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Keyboard"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Preformatted"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Sample"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Typewriter"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Variable"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Table"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation subject"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="No List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Contemporary"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Elegant"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Professional"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Balloon Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Theme"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" QFormat="true"
Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" QFormat="true"
Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" QFormat="true"
Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" QFormat="true"
Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" QFormat="true"
Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" QFormat="true"
Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="41" Name="Plain Table 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="42" Name="Plain Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="43" Name="Plain Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="44" Name="Plain Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="45" Name="Plain Table 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="40" Name="Grid Table Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="Grid Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="Grid Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="Grid Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="List Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="List Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="List Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hashtag"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Unresolved Mention"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri",sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<br /></span>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;">
<i><span><span style="font-size: small;"> </span></span></i></span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><i><span><span style="font-size: small;">Apakah seni masih punya taji untuk merespons hal-hal yang
tampak keliru dengan dunia kita hari ini? Dalam enam tahun terakhir, setidaknya
kita bisa merunut tiga perkara.</span></span></i></span></div></div></blockquote><div class="MsoNormal"><div style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><i><span><span style="font-size: small;"></span></span></i><br /></span></div>
</div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;">
<span><span style="font-size: small;"> </span></span></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;">Pada pameran bertajuk “<span class="MsoHyperlink"><span lang="IN"><a href="https://www.balairungpress.com/2018/08/pembenahan-diri-dan-lingkungan-dalam-sujud-tisna-sanjaya/" target="_blank">PotretDiri sebagai Kaum Munafik</a></span></span>” di Galeri Nasional pada 2018 lalu,
sajadah bersimbah darah menjadi simbol yang dipilih Tisna Sanjaya untuk
mengacungkan jari tengah terhadap kemunafikan masyarakat. <span lang="IN">Kita sebagai penonton, dapat memaknainya dengan apa
yang kita hadapi hari ini: kita menyaksikan seseorang bersembahyang demikian
taat, tampak religius dan menampilkan aura kebajikan, dan menyadari bahwa orang
yang sama dapat menjadi pembunuh keji mengatasnamakan agama.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pameran Tis</span><span lang="EN-US">n</span><span lang="IN">a ini, misalnya, mau tidak mau mengingatkan kita
pada <span class="MsoHyperlink"><a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44124947" target="_blank">aksi bom bunuh diri seorangibu di Surabaya</a></span>—terjadi dua bulan sebelum pameran Tisna—yang
menggendong putrinya menghadapi maut dengan mengatasnamakan agama.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Mundur dua tahun
sebelumnya, pada 12 April 2016, <span class="MsoHyperlink"><a href="https://www.rappler.com/indonesia/129199-ibu-kendeng-tanam-kaki-semen" target="_blank">ibu-ibu
dari pegunungan <span lang="EN-US">k</span>arst,
Kendeng, Jawa Tengah menanam kakinya pada semen</a></span> untuk menggambarkan
betapa pabrik semen yang akan dibangun di wilayah mereka seakan-akan sedang
bergerak menimbun tubuh mereka hidup-hidup dengan semen. Begitu lamanya mereka
menolak pembangunan pabrik Semen Indonesia ini, aksi menanam kaki pada semen
itu mereka lakukan setelah setahun mereka membunyikan lesung tanda bahaya di
depan Istana Presiden.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Menanamkan kaki
pada semen adalah upaya tersirat mereka membongkar belenggu semen yang merusak
alam dan mengancam keberlangsungan hidup para petani di sepanjang pegunungan
Kendeng. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kembali mundur
dua tahun, pada 2014, <span class="MsoHyperlink"><a href="https://regional.kompas.com/read/2014/08/06/16225191/Sumur.Kering.Warga.Jogja.Aksi.Mandi.Tanah.di.Depan.Hotel" target="_blank">DodokPutra Bangsa menggelar aksi seni kejadian dengan mandi pasir</a></span> untuk
menggambarkan kekeringan yang terjadi di sumur-sumur warga Miliran, Umbulharjo.
Aksinya ini bertujuan menolak pembangunan Fave Hotel di dekat permukimannya. Respons
yang diterimanya kemudian adalah penjelasan tentang perizinan pembangunan sumur
air tanah yang dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta untuk hotel
ini.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Aksi ini
mengungkit perihal apa yang tak dibicarakan lebih dulu oleh pihak pemberi izin
(pemerintah daerah ataupun B</span><span lang="EN-US">adan Lingkungan Hidup</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">Yogyakarta) kepada
masyarakat setempat.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Bahwa orang-orang
yang mengatakan dirinya mewakili rakyat tidak pernah benar-benar mewakili
rakyat.</span><span lang="EN-US"> Dan karena itu
rakyat berhak menggugat.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Ketiga aksi ini
menunjukkan betapa seni telah begitu lumrah menjadi cara penyampaian kritik
sosial di ruang publik. </span></span></span></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span><b><span lang="IN">Sensitivitas untuk Melancarkan Kritik Sosial</span></b></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Buku <i>Unjuk Rasa</i> </span><span lang="EN-US">berkabar</span><span lang="IN"> tentang bagaimana masyarakat bisa berdaya demi melakukan perubahan sosial
dengan jalan berkesenian</span><span lang="EN-US">.
L</span><span lang="IN">ewat berbagai upaya yang tak
hanya dilakukan seniman mapan, tetapi juga digelar oleh berbagai inisiatif di
luar arus utama.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Komunitas-komunitas
seni ini </span><span lang="EN-US">boleh saja
tampak </span><span lang="IN">bergerak dalam diam
tetapi siap hadir dan memekakkan telinga, menyuarakan berbagai persoalan </span><span lang="EN-US">melalui</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">beragam medium, dari upaya rekonsiliasi, seni rupa, musik, sastra,
aktivisme bioskop,</span><span lang="EN-US"> klub
baca selepas kerja bagi para buruh migran,</span><span lang="IN"> pelestarian tradisi lisan, hingga arsitektur.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Enam belas
kontributor dalam buku ini mengajak pembaca melampaui pengertian yang sudah
lumrah tentang lema “unjuk rasa” yang kerap dimaknai sekadar sebagai tangan
terkepal ke udara dan barisan buruh melakukan mogok. Sementara, orang yang
sekadar lewat dan sepintas melihat aksi-aksi semacam ini kerap tak menangkap
esensi kegiatan itu dan meremehkan gerakan-gerakan semacam ini.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Redefinisi “unjuk
rasa</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN"> ini dilakukan untuk mengembalikan esensi
itu, bahwa aktivisme </span><span lang="EN-US">(</span><span lang="IN">unjuk rasa</span><span lang="EN-US">)</span><span lang="IN">, sebelum hadir dengan wujud tangan yang terkepal, pertama-tama hadir
melalui suatu proses “menunjukkan” (unjuk) “perasaan” atau “sensitivitas”
(rasa). Buku ini hendak mengatakan bahwa kunci dari gerakan sosial pada awalnya
digerakkan oleh </span><span lang="EN-US">orang-orang
yang bergerak dengan </span><span lang="IN">sensitivitas
serupa</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">atas persoalan di tengah masyarakat.</span></span></span><br /></span>
<span style="font-family: verdana;"><br /></span>
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dari pengertian itu,
buku ini lantas memberi penjelasan bagaimana seni berhasil memantik
sensitivitas atas persoalan masyarakat dan bagaimana masyarakat dapat berdaya
lewat seni. Keenam belas artikel menjelaskan tentang proses berkesenian yang mengantarkan
para seniman dan non-seniman untuk terlibat dalam proses demokratisasi lewat
seni—ketika negara tidak hadir atau memang tidak dibutuhkan hadir. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Brigitta Isabella,
yang lama terlibat dalam kerja riset-aksi dengan fokus produksi pengetahuan
secara partisipatoris bersama <a href="http://kunci.or.id/" target="_blank">KUNCI CulturalStudies Center</a>, dalam pengantar editorialnya, menyebutkan “pengertian unjuk
rasa sebagai praktik estetiko-politik yang akan diketengahkan buku ini ialah: <i>berbagai cara tutur menubuh yang
mengaktifkan sensibilitas dan agensi politik kolektif untuk berpikir kritis,
menunjukkan realitas empiris, dan mengambil peran dalam pengorganisasian
transformasi sosial</i>.”</span></span></span><br /></span>
<span style="font-family: verdana;"><br /></span>
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dari uraiannya
itu, maka <i>pertama</i>, konteks buku ini
adalah persoalan yang dihadapi orang Indonesia hari ini. Sebagai negara berdaulat
dalam barisan geopolitik </span><span lang="EN-US">d</span><span lang="IN">unia </span><span lang="EN-US">k</span><span lang="IN">etiga dengan sejarah kolonial yang panjang, lantas melewati fase rezim
militeristik Soeharto di bawah cetak biru developmentalisme periode Orde Baru,
Indonesia memiliki kondisi khas yang juga dialami oleh negara-negara dunia
ketiga yang menghadapi ketimpangan ekonomi Utara-Selatan (pandangan tentang </span><span lang="EN-US">d</span><span lang="IN">unia </span><span lang="EN-US">k</span><span lang="IN">etiga digeser sebagai
negara-negara <i>Global South</i>).</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Sejarah panjang
ini menjadikan rezim hari ini masih berparadigma pembangunan yang pro-investor;
perekonomian di tengah masyarakat semakin timpang, sementara pembangunan terus
berkelanjutan. Artikel-artikel dalam buku ini menghadirkan upaya masyarakat
dalam berdialog secara kritis dengan persoalan diskrepansi ekonomi ini.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><i><span lang="IN">Kedua</span></i><span lang="IN">, keadaan perekonomian negara yang pro-investor ini menyebabkan beberapa
kota menjadi semacam gelembung pusat kebudayaan, seperti Jakarta, Bandung, dan
Yogyakarta. “Jarak” antar</span><span lang="EN-US">a</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">beberapa kota yang menjadi “pusat” ini dengan kota lainnya berimbas pada
bagaimana orang-orang yang tinggal di kota-kota besar kerap mengesampingkan
pergulatan orang-orang di “daerah” yang dipandang sebagai “pinggiran”.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Artikel yang
melingkupi tempat-tempat yang menjangkau banyak wilayah di Indonesia ini
ditujukan untuk menata ulang hubungan </span><span lang="EN-US">pusat-pinggiran </span><span lang="IN">yang hierarkis.
Yayasan Kelola dengan beberapa inisiatif rekanannya seperti Forum Lenteng,
In-Docs, dan Koalisi Seni Indonesia memiliki rekam jejak dalam menumbuhkan
jaringan antar kantong-kantong kebudayaan di Indonesia ini. Dengan dua konteks
ini, pembahasan dalam buku lantas dibagi ke dalam enam bagian: </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Mengasah Tubuh</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">, </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Setelah Penyadaran dan Pemberdayaan</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">, </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Me(ruang)</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">, </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Sub-kultur dan Budaya
Populer</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">, </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Mengulik Teknologi Tradisi</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">, dan </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Estetika Berkomunitas</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">.</span></span></span></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span><b><span lang="IN">Seni adalah Panglima </span></b></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Setelah polemik
budaya pada era awal kemerdekaan, dan berbagai perseteruan antara seniman Lekra
dan Manifes Kebudayaan, para seniman Indonesia pernah menghadapi momen saat seni
dan budaya pada masa Orde Baru dinyatakan harus bersih dari politik. Cholil Mahmud
dalam artikel “Musik dan Peristiwa Musik sebagai Medium Aktivisme” menyatakan
betapa negara menyadari musik sebagai alat propaganda yang efektif untuk
menyebarkan gagasan. Meski berbeda ideologi politik, Soeharto mengambil taktik
Sukarno dalam membungkam kebebasan berkesenian. Namun, para seniman idealis
tidak pernah bersedia dihalang-halangi. Cholil mengutip JeremyWallach yang mencatat para musisi populer yang tak mau tunduk dan,
bagaimanapun, tetap melawan pemerintah Orde Baru dengan melancarkan berbagai
kritik sosial, seperti John Tobing dengan lagu “Darah Juang” atau grup musik
Swami yang digawangi Iwan Fals dengan “Bento” dan “Bongkar”.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Pasca-1998, intensi
para musisi untuk terlibat dalam politik tampak semakin jelas. Beberapa
kelompok musik seperti Navicula, Seringai, Koil, Homicide,
<span class="MsoHyperlink">Superman
is Dead</span>, <span class="MsoHyperlink">The
Brandals</span>, <span class="MsoHyperlink">Jogja
Hip Hop Foundation</span>, dan E<span lang="EN-US">fek Rumah Kaca</span> berpusar
dalam semangat yang serupa. Ia menyebutkan, pada aksi Kamisan pun, musik dan
penampilnya </span><span lang="EN-US">turut</span><span lang="IN"> meningkatkan dukungan publik.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Musik pun menjadi
terapi dan medium penyemangat bagi korban ketidakadilan dan penindasan. Paduan
Suara Dialita, yang beranggotakan para ibu eks-tahanan politik atau kerabat
dari mereka yang pernah ditahan ataupun terkena dampak pembantaian massal 1965,
merilis album <i>Dunia Milik Kita</i> (2016)
untuk mengawetkan ingatan kolektif mereka tentang peristiwa yang melukai hati,
didukung oleh para musisi muda seperti Sisir Tanah dan Frau.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><a name='more'></a><p><span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Bergerak ke ranah
seni rupa, Alia Swastika bercerita dalam “Dari Penyadaran ke Pengarusutamaan”
tentang bagaimana Moelyono, seniman penggerak praktik “seni aktivisme”. Jika
Lekra umumnya menyebut praktik mendekat ke masyarakat sebagai “turba” atau
turun ke bawah, Mulyono menyebutnya “hidup bersama rakyat”. Ia merapat ke
jaringan aktivis bawah tanah dan kelompok aktivis pembela buruh. Ia pun
terlibat dengan Komunitas Papua, membicarakan tentang genealogi praktik
penindasan di Papua, dan mendampingi performans yang secara kolektif
menampilkan keprihatinan atas situasi di Papua lewat mengoleksi kaki dengan
bubuk emas.</span></span></span><br /></span>
</p><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Dalam perkara
teater, untuk menghadapi rezim Soeharto, para seniman telah lumrah berkesenian
lewat teater rakyat yang kerap dibandingkan dengan teater kaum tertindas
Augusto Boal yang berorientasi pada perubahan situasi masyarakat terpinggir.
Dalam peristiwa pementasan Teater Rakyat, penonton melatih diri untuk bergerak
dalam tindakan nyata. Seniman bergerak sebagai fasilitator yang membantu menginisiasi</span><span lang="EN-US">nya</span><span lang="IN"> dan menemani masyarakat untuk menyiapkan segala
kebutuhan. Joned Suryatmoko memaparkan bagaimana ia terlibat dalam model teater
rakyat ini, misalnya, dengan pentas di atas b</span><span lang="EN-US">u</span><span lang="IN">s kota yang berkeliling Yogya, ataupun menghadirkan teater di mal dan bertukar
cerita dengan para pengunjung. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Lain lagi cerita
Arsitek Komunitas (Arkom) Makassar. Sejak 2010, mereka memetakan persoalan
ruang dan mencari solusi arsitektur bersama. Gerakan partisipatoris ini
dilakukan dengan mengumpulkan faktor historis, ekonomi, serta keluarga dan
budaya yang menjadi alasan utama warga kampung kota menetap, bertahan hidup,
dan mempertahankan imajinasi mereka. Sedangkan, warga kampung yang tinggal di
kota kerap bersaing satu sama lain, nilai-nilai kebersamaan ditukar dengan nilai-nilai
yang didasarkan pada transaksi untung-rugi. Dari pemahaman inilah, Muhammad
Cora menyebut dalam artikelnya “Rekonstruksi Kedaulatan Pengetahuan Ruang Hidup
Warga Kampung Kota Makassar” upaya-upaya Arkom dalam menggali akar kuat
pengetahuan empiris warga kampung di perkotaan terkait dengan penataan
arsitektural di daerah asalnya. Dengan ingatan kolektif ini, mereka berupaya
membangun imajinasi tentang ruang masa depan. </span></span></span></span></div><div class="MsoNormal"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN"> </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><h3>
</h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;">
</span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><h3>
<span style="font-family: verdana;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span><b><span lang="IN">Kepada Siapa Buku Ini Ditujukan?</span></b></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;">Sepintas, kita akan terkecoh, menyangka buku ini sama dengan
buku seni eksklusif pada umumnya yang hadir dengan tampilan <i>collectible</i> hanya bagi kalangan
menengah atas yang mendaku pencinta seni. Dengan wujud buku setebal 237
halaman, penataan tipografi dan tata letak artistik—perpaduan palet warna tanah
dengan jenis huruf yang ramah bagi mata, serta sampul keras bertekstur belahan
batang pohon, dan harga yang lumayan (meski memperoleh pendanaan dari Yayasan
Kelola dengan dukungan Kedutaan Besar Denmark di Indonesia, versi fisik buku
ini dibandrol seharga Rp150.000), ia akan tampak sebagai buku yang terlalu
mewah untuk mengusung tema aktivisme dan gerakan progresif. Anggapan ini lumrah
karena gagasan aktivisme kerap dan umumnya datang dalam wujud cetakan stensilan
dan zine komunitas, lantaran cetakan semacam ini terjangkau banyak kalangan.
Namun begitu, terlepas dari tampilan rilis fisiknya, materi buku ini dapat
diperoleh secara cuma-cuma karena berlisensi publik <i>creative
commons</i> atribusi-berbagiserupa (CC BY-SA).</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US">Sementara
itu, g</span><span lang="IN">aya </span><span lang="EN-US">bahasa buku ini menghadirkan
pertanyaan serupa tentang kepada siapa buku ini ditujukan. D</span><span lang="IN">engan mengutip beberapa pemikir dan
istilah-istilah yang ditransliterasikan begitu saja</span><span lang="EN-US">, misal, penggunaan istilah “estetiko” yang
tentu memiliki makna sangat spesifik</span><span lang="IN">, menjadikan buku ini, bagaimanapun, cukup berat untuk dinikmati oleh
kalangan awam.</span><span lang="EN-US"> Padahal</span><span lang="IN">, di luar beberapa upaya berkesenian oleh
para seniman yang dikutip di atas</span><span lang="EN-US">—yang hadir dengan peristilahan sangat spesifik pada bidangnya
masing-masing</span><span lang="IN">, buku ini menawarkan
perspektif dan juga pengalaman nyata yang begitu kaya tentang bagaimana seni
hidup di tengah masyarakat, dan kesadaran kolektif yang terbangun berkat seni
dapat menjadi senjata yang begitu tangguh untuk menghadapi persoalan-persoalan
kita hari ini.</span><span lang="IN"> </span>Ini
menjadikan buku ini perlu dibaca masyarakat awam sekalipun.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Kita yang bukan
seniman akan tetap nyaman membaca kisah Morika Tetelepta tentang segregasi
ruang di kota Ambon dan bagaimana aktivisme Paparisa Ambon Bergerak
menjembatani persoalan ini. Mereka berupaya menyembuhkan luka kekerasan masa
lalu lewat aksi jalan kaki bersama melintasi lorong-lorong permukiman kota yang
tersekat-sekat akibat konflik.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="IN">Manuel Alberto
Maia, sosok muda lainnya, bergerak dalam ranah film untuk mengungkapkan
keresahannya tentang bagaimana wilayah timur digambarkan secara eksotis lewat
film-film yang diproduksi belakangan ini oleh industri film arus utama.
Berangkat dari pengalaman Komunitas Film Kupang, ia menuturkan proses kerja
bersama dalam mengelola kolektivismenya membangkitkan semangat budaya menonton,
memproduksi tontonan alternati</span><span lang="EN-US">f</span><span lang="IN">, dan membangun
infrastruktur film yang berupaya memberi warna baru bagi ruang sinema
Indonesia.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><br /></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span><span style="font-size: small;"><span class="MsoHyperlink"><span lang="IN">Hikmat
Darmawan</span></span><span lang="IN">,
pemerhati komik, mencatatkan gerakan komik Islami dan membincangkan dimensi
politik identitas keagamaan dalam komik-komik itu.</span><span lang="EN-US"> Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong yang
memilih meluangkan waktunya dalam Klub Baca Selepas Kerja ataupun BMI di
Singapura dengan Voice of Singapore’s Invincible Hands, mereka mencoba memahami
bagaimana sastra dapat meneduhkan hidup dan menjadi jalan penyaluran narasi
kehidupan rantau mereka. Betapa interaksi antara para buruh migran ini penting
dalam membentuk pengetahuan dan nasionalisme, sebagaimana dituturkan dalam
artikel Asri Saraswati.</span><span lang="IN"> Juga,
ada Erni Aladjai yang mencurahkan perhatiannya pada ingatan kolektif masyarakat
dalam suatu tradisi bernama <i>Paupe</i>,
seni melantunkan petuah di kalangan masyarakat Banggai untuk menyampaikan
kritik sosial</span><span lang="EN-US">, dan
bagaimana tradisi ini coba dipertahankan</span><span lang="IN">. {*}<br /></span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-47699810926565641342019-01-24T03:02:00.004+07:002021-06-02T15:26:23.654+07:00Menggali Roman Medan<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"></span></span><blockquote><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-ID</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="false"
DefSemiHidden="false" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="375">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="header"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footer"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of figures"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope return"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="line number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="page number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of authorities"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="macro"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="toa heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Closing"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Message Header"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Salutation"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Date"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Note Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Block Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="FollowedHyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Document Map"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Plain Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="E-mail Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Top of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Bottom of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal (Web)"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Acronym"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Cite"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Code"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Definition"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Keyboard"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Preformatted"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Sample"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Typewriter"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Variable"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Table"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation subject"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="No List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Contemporary"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Elegant"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Professional"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Balloon Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Theme"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" QFormat="true"
Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" QFormat="true"
Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" QFormat="true"
Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" QFormat="true"
Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" QFormat="true"
Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" QFormat="true"
Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="41" Name="Plain Table 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="42" Name="Plain Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="43" Name="Plain Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="44" Name="Plain Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="45" Name="Plain Table 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="40" Name="Grid Table Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="Grid Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="Grid Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="Grid Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="List Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="List Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="List Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hashtag"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Unresolved Mention"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri",sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<br />
</span></span><div align="center" style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span lang="IN">Lewat </span></i><span lang="IN">Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan<i>, kita runut perkara
pemberangusan buku ke belakang, dan menggali kembali kekayaan roman Medan yang
pernah sengaja dihapuskan dari sejarah oleh rezim kolonial Hindia Belanda
karena dianggap melancarkan perlawanan halus terhadap politik rezim kala itu.</i></span></span></span></span></div></blockquote><div align="center" style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span lang="IN"><i></i></span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="center" style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><p>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sejak pendirian komisi bacaan rakyat (Commissie voor de Inlansche School en
Volkslectuur), pada 1917 pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai membatasi
peredaran ribuan judul buku di tanah jajahannya. Seorang periset kesusastraan
pra-Indonesia dengan fokus penelitian mengenai terbitan sastra Melayu Tionghoa,
Claudine Salmon, membikinkan anotasi dari 3.005 judul buku yang diberangus oleh
rezim pemerintah kolonial Belanda dalam <i>Literature
in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography</i>.
Sebagian besar karya yang dibatasi ini adalah karangan peranakan Melayu
Tionghoa yang dipandang menghasilkan bacaan liar berstandar rendah.</span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> </span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Roman-roman ini terbit di beberapa daerah Indonesia dengan perkembangan
literasi dan modal penerbitan cukup baik, di antaranya di kalangan masyarakat
yang memiliki percetakan sendiri. Pada periode kolonial, kalangan Tionghoa
memiliki cukup privilese untuk menerbitkan karya mereka lewat berbagai penerbit
dan usaha percetakan mereka yang telah mereka miliki sejak paruh akhir abad
ke-18, yang merupakan ekses dari kebutuhan penerbitan karya-karya jurnalistik
mereka. Penerbitan karya roman di Medan pun banyak diinisiasi oleh kalangan
ini.</span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Koko Hendri Lubis—seorang peneliti sejarah roman Medan—dalam buku
terbarunya <i>Roman
Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan</i> (Gramedia Pustaka Utama, rilis
31 Desember 2018) secara spesifik menggali bacaan-bacaan roman terbitan Medan
yang dipandang sebagai karya Melayu Rendah oleh pemerintah kolonial.</span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Bukunya ini merangkum roman Medan yang terbit pada 1930-1965, meliputi
serial roman dari majalah mingguan, dwimingguan, dan bulanan yang terbit pada
periode itu. Beberapa majalah roman yang terkenal itu adalah <i>Roman Indonesia </i>(Padang,
1939–1940), <i>Loekisan
Poedjangga</i> (Medan, 1939–1942), <i>Roman
Pergaoelan </i>(Bukit Tinggi, 1939–1941), <i>Doenia Pengalaman (</i>Medan,
1938–1941), <i>Perjuangan
Hidup </i>(Bukit Tinggi, 1940), <i>Tjendrawasih
</i>(Medan, 1940–1942), <i>Doenia
Pergerakan</i> (Medan, 1940), <i>Doenia
Pengalaman</i> (Solo, 1938–1941), <i>Goebahan
Maya</i> (Medan, 1939), dan <i>Moestika
Alhambra</i> (Medan, 1941). Roman Medan pernah mengalami masa keemasan
pada periode 1930-1942 dan 1947-1965. Terbitan mereka bersaing dengan buku-buku
bacaan yang dikeluarkan gubernemen—pemerintah kolonial Hindia Belanda—melalui
Balai Pustaka.</span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sejumlah karya yang menjadi penghiburan masyarakat terbit dan menghasilkan
oplah baik bagi penerbitan mereka karena pada mulanya, penerbitan roman Medan
belum begitu menjadi perhatian pihak gubernemen. Polemik mulai muncul ketika
menurut pihak gubernemen diperlukan penyikapan terhadap pendapat umum yang
mengatakan roman Medan membantu penyebaran ideologi komunis ataupun
mencantumkan cerita-cerita dengan muatan ideologi politik antikolonialis. Sejak
kecurigaan ini bermula, pihak gubernemen terus berupaya mencari kesalahan
redaksi dari terbitan-terbitan roman Medan ini. Dan karenanya pemolesan cerita
mulai dilakukan oleh para redaksi majalah dan penerbit buku roman Medan ini
demi menghadapi penyaringan ketat yang menjadi prasyarat izin terbit mereka.</span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Di kemudian waktu, kerepotan redaksional ini ditambah dengan ancaman para
intel dari PID (Politieke Inluchtinge Diens, Dinas Intelijen Politik pemerintah
kolonial Hindia Belanda) yang dengan otoritas mereka menangkap dan menyita
berbagai hal berkaitan dengan penulisan dan penerbitan roman yang tidak sesuai
dengan standar pemerintah kolonial. Selanjutnya, stigma sebagai bacaan buruk
terhadap roman Medan dilancarkan dengan menyatakan bahwa isi karangan mereka
hanyalah mengangkat tema-tema kekerasan dan percintaan cabul, sehingga tentunya
bertentangan dengan kaidah moral masyarakat pada umumnya, dan karenanya patut
diberangus.</span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
</p><a name='more'></a><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dari momen di atas, kita dapat melihat bagaimana Balai Pustaka didirikan
dengan upaya menghadang laju penerbitan kisah-kisah roman oleh penerbit
partikelir di Medan dan beberapa daerah lain di Hindia Belanda yang digolongkan
sebagai “roman picisan” (<i>stuiver
roman</i>). Lewat Komisi Bacaan Rakyat, D. A. Rinkes menyusun surat
edaran yang menyebutkan kriteria yang berterima oleh komisi tersebut: (1)
netral terhadap persoalan agama; (2) tidak boleh mengandung pandangan politik
yang bertentangan dengan pemerintah; (3) tidak menerima sastra yang bersifat
cabul; (4) karya harus ditulis dalam bahasa Melayu tinggi karena karya tersebut
akan dibawa ke sekolah-sekolah; dan (5) sastra semestinya menerapkan penokohan
yang lazim: karakter hitam-putih. Pemerintah kolonial Belanda terbilang
berhasil menerapkan aturan-aturan itu dan mengasingkan bacaan peranakan Melayu
Tionghoa.</span></span><span style="font-size: small;"><br />
<br />
<span><span>Setelah menerapkan pembatasan, Balai Pustaka mulai memasuki pasar dengan
melansir beberapa terbitan yang tidak lagi dalam bahasa Belanda, tetapi telah
mulai menerapkan bahasa Melayu khas gubernemen, yakni dengan penerbitan <i>Hikayat Pandji Semirang</i>,
<i>Kisah Pelajaran
Abdoellah ke Negeri Djoedah</i>, hingga <i>Hikayat Seriboe Satoe Malam</i>. Mereka
selanjutnya turut campur dalam penyetujuan isi cerita-cerita rakyat Nusantara
yang sengaja dijauhkan dari masalah politik—dan mulai menyeleksi karya-karya
berbahasa Melayu tinggi yang dapat dimasukkan ke dalam daftar karya kanon dan
beredar di sekolah-sekolah.</span></span><br />
<br />
<span><span>Di luar perkara ideologis, para pengarang roman Medan sendiri menulis
berdasarkan gambaran kehidupan masyarakat di kota Medan lewat beragam genre dan
gaya. Koko mengambil pendekatan yang berjarak dari pandangan Balai Pustaka
terhadap roman, ia justru mengangkat berbagai kekuatan roman Medan dengan
standar moralnya yang memberikan pembaca suatu kekayaan pengalaman. Dijelaskan
olehnya, roman Medan disukai masyarakat kebanyakan karena penggunaan langgam
bahasanya yang sederhana dan pencuplikan berbagai tema yang terasa dekat, di
antaranya tentang perjuangan hidup, sikap mandiri, dan tanggung jawab dalam keluarga.
Singkatnya, gambaran kehidupan dalam karya roman itu mewakili apa yang
dirasakan benar-benar oleh setiap orang Medan kala itu.</span></span><br />
<br />
<span><span>Rata-rata penulis roman ini belajar menulis secara otodidak, karya-karya
awal mereka biasanya terbit di media cetak. Terutama bagi mereka yang bekerja
di media cetak, kebanyakan dari mereka yang berprofesi sebagai wartawan kerap
menggunakan nama pena demi menghindari susupan PID yang berupaya mencari
celah-celah kesalahan mereka.</span></span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span> </span></span><br />
<span><span>Pengarang roman Medan yang terkenal dan memperoleh tanggapan baik dari
pembaca ketika itu di antaranya Joesoef Sou’yb, Abdoe’l Xarim M. S., Sjamsudin
Lubis, Surapati, Matu Mona, Emnast (nama pena dari Mochtar Nasution), Meraju
Sukma, A. Damhoeri, Yusdja (nama pena Yusuf Djajad), S. Djarens, Rifai Ali, S.
M. Taufik, Dhalika Tadaus, hingga Narmin Suti—biografi singkat dari nama-nama
ini dipaparkan oleh Koko, sebagaimana Leo Suryadinata memaparkan nama-nama para
<i>prominent Chinese</i>
dalam bukunya.</span></span><br />
<br />
<span><span>Selain perincian tentang biografi singkat para penulis, Koko juga mengulas
beberapa penerbit di wilayah Sumatera. Salah satu yang disebutkannya ialah
Penjiaran Ilmoe, yang terbitan pertamanya adalah roman berjudul <i>Student Dokter</i>
karangan Thaher Samad. Dalam perkembangan bisnisnya, penerbit ini mengembangkan
divisi bernama <i>Roman
Pergaoelan </i>yang khusus menerbitkan karya fiksi dari berbagai
pengarang termasuk dalam dan luar Sumatera.</span></span><br />
<br />
<span><span>Koko mengambil beberapa terbitan divisi <i>Roman
Pergaoelan</i> dan menceritakan ulang kisah-kisah yang termuat dalam
karya-karya roman Medan tersebut, berbagai jenis tulisan seperti kisah romantis
ataupun tragedi dipaparkannya rinci, tapi Koko tak menjawab satu persoalan: apa
urgensinya membaca kembali roman-roman ini hari ini?</span></span><br />
<br />
<span><span>Setelah penjelasan tentang periode 1930-1942 di mana pengarang roman Medan
mengalami pembatasan oleh Balai Pustaka, Koko membawa pembaca pada periode
1947-1965, ketika pengaruh Lekra begitu kuat di ranah kesenian Medan, yang
banyak didukung peran Bakri Siregar sebagai ketua Lekra Sumatera Utara dalam
kebudayaan Sumatera Utara. Dominasi Lekra di ranah kesenian ini mempengaruhi
corak terbitan roman Medan pada periode itu yang lebih mengangkat semangat
persaudaraan dan sosialisme.</span></span><br />
<br />
<span><span>Pada Konferensi NasionaI I Lembaga Sastra Lekra yang berlangsung di Gedung
Olahraga, Jalan Bali Medan, banyak seniman Medan yang tertarik dengan kehadiran
para seniman Lekra pusat di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Njoto, dan
Soegiarti Siswadi. Namun, artikel Soegiarti berjudul “Literatur Kanak-kanak”
terbit 18 Mei 1963 yang mengecam terbitan buku-buku komik, cerita silat, cerita
detektif, dan cerita spionase sempat membuat panas para seniman Medan.
Selanjutnya, seniman Medan kemudian terbelah ketika Manifesto Kebudayaan
menyatakan pendiriannya pada 1963. Ibrahim Sinik dan Asri Muchtar adalah di antara
seniman Medan yang mendukung manifes kebudayaan.</span></span><br />
<br />
<span><span>Murid Bakri Siregar, Bokor Hutasuhut—seorang prosais—pun berhadapan dengan gurunya karena ia menjadi salah seorang
penandatangan Manifes. Dukungan pada manifes kebudayaan ini berlanjut pada
Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia pada 1-7 Maret 1964 di Jakarta, dengan
Bokor Hutasuhut menjadi Sekretaris Jenderal penanda tangan Ikrar Pengarang
Indonesia kala itu.</span></span><br />
<br />
<span><span>Selain kontestasi antara seniman Lekra dan Manifes kebudayaan, negara yang
sedang menggalang dukungan untuk menghadang kekuatan neo-imperialis juga turut
mempengaruhi penciptaan cerita-cerita roman Medan kala itu. Cerita tentang
Dwikora terselip dalam karya <i>Terbongkarnja
Rahasia di Gg. 13 </i>yang terbit pada masa itu. Sentimen kebangsaan
tergambar tegas dalam karya-karya terbitan periode itu.</span></span><br />
<br />
<span><span>Terlepas pembahasan konteks ideologis, pengenalan pada para pengarang dan
penerbit, berbagai redaksi majalah yang menerbitkan roman Medan, serta konteks
historis penerbitan karya yang diikuti oleh sinopsis dari masing-masing cerita
roman Medan unggulan yang merupakan representasi kekaryaan tiap pengarang yang
diulasnya, Koko juga menjabarkan lebih detail tentang kerja-kerja teknis
penerbitan dalam pengadaan kertas, pemilihan tata grafis, hingga penyebaran
roman Medan di tengah masyarakat kala itu.</span></span><br />
<br />
<span><span>Meski gaya penuturan Koko dalam buku ini pada banyak bagian terlampau
deskriptif dan meletihkan untuk diikuti, pembahasan buku ini penting sebagai
dokumentasi perkembangan roman Medan pada periode awal republik (pra-kemerdekaan
maupun beberapa dasawarsa setelahnya) kendati tidak lagi berlanjut setelah
peristiwa 1965. Mengenai periode terhentinya penerbitan karya ini per tahun
1965, tentu dapat menjadi satu lokus penelitian tersendiri. {*}</span></span><br />
</span></span></p><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-77768800144963345892018-12-15T23:25:00.003+07:002021-06-02T15:29:30.789+07:00KKI 2018: Sejauh Mana Pemajuan Kebudayaan Kita?<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span></span></span></span></span><blockquote><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-ID</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="false"
DefSemiHidden="false" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="375">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="header"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footer"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="index heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of figures"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="envelope return"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="footnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="line number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="page number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote reference"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="endnote text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="table of authorities"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="macro"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="toa heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Bullet 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Number 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Closing"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="List Continue 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Message Header"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Salutation"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Date"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text First Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Note Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Body Text Indent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Block Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="FollowedHyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Document Map"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Plain Text"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="E-mail Signature"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Top of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Bottom of Form"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal (Web)"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Acronym"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Address"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Cite"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Code"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Definition"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Keyboard"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Preformatted"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Sample"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Typewriter"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="HTML Variable"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Normal Table"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="annotation subject"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="No List"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Outline List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Simple 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Classic 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Colorful 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Columns 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Grid 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 4"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 5"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 7"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table List 8"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table 3D effects 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Contemporary"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Elegant"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Professional"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Subtle 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 2"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Web 3"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Balloon Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Table Theme"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" QFormat="true"
Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" QFormat="true"
Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" QFormat="true"
Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" QFormat="true"
Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" QFormat="true"
Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" QFormat="true"
Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" SemiHidden="true"
UnhideWhenUsed="true" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="41" Name="Plain Table 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="42" Name="Plain Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="43" Name="Plain Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="44" Name="Plain Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="45" Name="Plain Table 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="40" Name="Grid Table Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="Grid Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="Grid Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="Grid Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="Grid Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="Grid Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="Grid Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="Grid Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="Grid Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="Grid Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="Grid Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46" Name="List Table 1 Light"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51" Name="List Table 6 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52" Name="List Table 7 Colorful"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="46"
Name="List Table 1 Light Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="47" Name="List Table 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="48" Name="List Table 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="49" Name="List Table 4 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="50" Name="List Table 5 Dark Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="51"
Name="List Table 6 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="52"
Name="List Table 7 Colorful Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Mention"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Smart Hyperlink"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Hashtag"/>
<w:LsdException Locked="false" SemiHidden="true" UnhideWhenUsed="true"
Name="Unresolved Mention"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri",sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<br />
</span></span></span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><i><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Tulisan ini juga dimuat di <a href="http://bit.ly/2zXe0n2">Jurnal Ruang</a></span></i></span></span><span><br />
<span><span><i><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;"> </span></i></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><i><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Subjek utama kebudayaan adalah masyarakat. Kebudayaan adalah hal yang cair
dan tidak bisa diformalisasikan. Pemajuan bukan semata-mata proteksi.</span></i></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span></span></span></span></span></div></blockquote><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">“Kita hanya punya satu bumi yang
dapat dihuni, di tengah demikian banyak galaksi,” P</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">re</span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">mana W. P</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">re</span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">madi mengingatkan
bahwa saat ini kita telah memasuki masa antroposen. <i>Antroposen</i>, periode geologis ketika manusia dan berbagai
kebudayaannya punya dampak lebih besar bagi bumi daripada yang mereka
bayangkan. Ilmuwan Soviet mulai jamak memakai istilah ini sejak 1960-an untuk mengantisipasi</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">
laju industri jelang</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;"> </span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">periode pasca-Fordisme pada awal 1970.
Hari ini, berbagai protokol perlindungan alam dirilis untuk merespons perubahan
iklim dan kerusakan alam, sementara para peneliti terus dengan penasaran
berupaya mencari tempat lain di luar bumi. Sehari-hari, kita melihat kemajuan teknologi
sekian kali lebih cepat dari apa yang dapat kita bayangkan beberapa dasawarsa
lalu. Dengan kesadaran itu, P</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">re</span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">mana mengajak
kita mempertanyakan lagi, sejauh apa kita hendak melakukan pemajuan “kebudayaan
manusia”? </span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">P</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">re</span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">mana memberi
saya bekal pertanyaan itu selama mengikuti rangkaian Kongres Kebudayaan
Indonesia 2018—yang mengusung semangat “pemajuan kebudayaan”. Kuliah umum
bertajuk “</span><span class="MsoHyperlink"><span lang="IN"><a href="https://www.youtube.com/watch?v=NhzfJPT9-84" target="_blank">Mendedah Antroposen</a></span></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">” itu
sendiri adalah salah satu kelas dalam rangkaian kongres.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Saya lantas teringat bagaimana
Sukarno mendukung kemajuan teknologi dengan mengirim anak-anak terbaik bangsa
untuk berkuliah ke beberapa negara dengan ikatan dinas, atau </span><span lang="IN">bagaimana para pendiri bangsa menaruh
perhatian di ranah kebudayaan</span><span lang="EN-US">. </span><span lang="IN">Sukarno mengoleksi
lukisan-lukisan para maestro seni rupa Indonesia di istana negara, Nyoto demikian
senang bercengkerama dengan para seniman dan mahir memainkan saksofon, D. N.
Aidit menulis sanjak-sanjak indah untuk istrinya. Seandainya mereka ada di
tengah kita hari ini, apakah preferensi dan selera mereka atas hobi itu masih
akan sama? Ketika segala hal kini dengan mudah bisa mereka akses lewat layar,
ketika teknologi bergerak demikian cepatnya.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Kita selalu punya gagasan tersendiri tentang apa arti kebudayaan, bisa
dimaknai secara personal ataupun komunal, juga tentang sejauh mana kita dapat
mengembangkan ataupun memajukannya. Apalagi pada hari-hari ini. Barangkali, itu
pula yang menjadi alasan mengapa gagasan pemajuan kebudayaan perlu dikembangkan
dari masyarakat itu sendiri, sebagai suatu upaya partisipatoris yang melibatkan
kesadaran lebih banyak orang. Seperti halnya warga Kampung Tongkol berinisiatif
menata ulang ruang tinggal mereka demi menghindari penggusuran, atau warga
Kulon Progo mengupayakan sumur renteng untuk menyuburkan lahan pasir pantai
yang kering. Karena, mereka dan hanya mereka yang tahu bagaimana tetap menjaga
alam ketika di saat bersamaan daya karsa mereka mencipta sesuatu yang baru—demi
mendorong maju kebudayaan.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><b>Sejarah Undang-Undang Pemajuan
Kebudayaan</b></span></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Sepanjang 1985-2015, pembahasan tentang Rancangan Undang-undang Pemajuan
Kebudayaan terus mengemuka di media. Dengan kesadaran tentang pencarian bentuk
identitas keindonesiaan dalam merespons satu per satu kebudayaan lokal yang
terancam tumbang, dengan kerangka besar globalisasi yang menghomogenisasikan
berbagai budaya dalam lingkup mondial, pihak Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada 2017 berhasil mendorong legislasi undang-undang tersebut.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">“Negara perlu memberi kompas dan arahan, tetapi rincian strategi itu perlu
dikembangkan sendiri oleh daerah,” tegas Ferdiansyah, wakil Komisi 10 DPR RI,
dalam penjelasannya di kuliah umum </span><span lang="EN-US">“</span><span lang="IN">Sejarah UU Pemajuan
Kebudayaan</span><span lang="EN-US">”</span><span lang="IN">. Dikatakan olehnya, pembangunan nasional
kita selama</span><span lang="EN-US"> ini</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">menjadikan ekonomi sebagai panglima—ini tentu merujuk pada agenda Ali
Moertopo dengan cetak biru dari ekonom Mafia Berkeley;<span style="mso-themecolor: text1;"> </span>demikian juga penyusunan rencana-rencana
kebudayaan di daerah selama ini tidak dibarengi dengan strategi dari masyarakat
sendiri. Inisiasi UU Pemajuan Kebudayaan, dengan demikian, konon berupaya
menjadikan budaya sebagai panglima—dan yang dimaksudkan sebagai panglima adalah
masyarakat itu sendiri</span><span lang="EN-US">.</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">“Negara seharusnya tidak memosisikan diri sebagai empunya kebudayaan
nasional. Negara seharusnya memainkan peran sebagai pandu masyarakat,” ujar
Ferdiansyah.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Ferdiansyah punya satu kegelisahan: ia menganggap selama ini suara yang
diangkat oleh daerah pada umumnya hanya wacana tentang “<i>local wisdom</i>” tanpa pendalaman apa yang dimaksud sebagai “kearifan
lokal" itu. Seakan-akan, “kearifan lokal" yang dimaksudkan hanya
berupaya untuk melanggengkan suatu kebudayaan, bukan memajukannya.<span style="mso-themecolor: text1;"> Kini, ia berpendapat, UU Pemajuan
Kebudayaan menjalankan peran itu: mengubah posisi negara dan relasinya dengan
masyarakat dalam upaya pemajuan kebudayaan.</span></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Upaya pendataan kebutuhan pokok
terkait kebudayaan dilakukan langsung oleh masyarakat, beserta strategi
kebudayaan yang memungkinkan untuk mewujudkan resolusi itu, dan negara berperan
untuk menguatkan upaya-upaya di akar rumput itu. Merujuk pada Pasal 32 (1) UUD
1945 bahwa negara mendukung pemajuan kebudayaan, </span><span lang="IN">Ferdiansyah, menegaskan mengapa UU No. 5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan diperlukan. Sama seperti Hilmar Farid</span><span lang="EN-US"> nantinya</span><span lang="IN"> dalam sidang pleno KKI 2018</span><span lang="EN-US"> di hari terakhir rangkaian kongres</span><span lang="IN">, ia menyebutkan perihal tujuh isu pokok
pemajuan kebudayaan dan strategi yang perlu dilaksanakan untuk merespons
ketujuh isu tersebut.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><h3>
<span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><b>Kongres Kebudayaan
Indonesia 2018: Sebuah Prakarsa Masyarakat</b></span></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Pada Minggu sore, 10 Desember 2018, dokumen
strategi kebudayaan dan resolusi kongres diserahkan kepada presiden Ir. Jokowi
oleh wakil tim perumus Nungki Kusumastuti dan I Made Bandem. Beberapa jam
sebelumnya, di Ruang Plaza Insan Berprestasi, para anggota tim perumus yang
terdiri dari 17 ahli yang diketuai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir
Effendy, mengadakan sidang pleno untuk memaparkan rumusan strategi kebudayaan.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Sidang pleno ini membahas resolusi
pra-kongres dari tingkat kabupaten/kota yang telah menghasilkan beberapa
dokumen </span><span class="MsoHyperlink"><span lang="IN"><a href="http://kongres.kebudayaan.id/pra-kongres-kebudayaan-2018/" target="_blank">pokokpemikiran kebudayaan daerah (PPKD)</a></span></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">. Jalan untuk
menghasilkan dokumen mencakup visi pemajuan kebudayaan selama 20 tahun ini
tentu melibatkan upaya yang cukup meletihkan. Kegiatan pra-kongres untuk
menghasilkan PPKD ini, dijelaskan oleh Hilmar Farid, berlangsung lewat 300
pertemuan yang melibatkan 7000 orang</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">.</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;"> </span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">“Ini
adalah strategi yang napasnya adalah prakarsa masyarakat,” ujar Hilmar Farid</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">
dalam sidang</span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Kendati bertajuk 100 tahun kongres
kebudayaan, yang diutamakan pada kongres tahun ini bukan soal perayaan satu
abadnya, melainkan bahwa kongres ini tercatat sebagai kongres kebudayaan pertama
yang dilangsungkan setelah undang-undang pemajuan kebudayaan disahkan pada
2017. Senapas dengan undang-undang tersebut, perumusan strategi kebudayaan kali
ini dilakukan dari akar rumput dan diteruskan ke tangan presiden. Dalam kongres
ini, untuk kali pertama, strategi kebudayaan dirumuskan langsung dari tangan
masyarakat, dan memiliki kekuatan hukum melalui penetapan oleh presiden, yang
dapat menjadi dasar penyusunan dokumen-dokumen teknokratik kerja pemerintah
seperti RPJPN, RPJMN, sampai RKP dan RKPD. Untuk kali pertama pula, perspektif
kebudayaan menjadi dasar pembangunan nasional setelah sekian lama negara ini
berada di bawah komando pembangunan ekonomi Orbais ala Ali Moertopo.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan
yang disebutkan dalam sidang pleno, yakni: 1) menguatnya isu identitas
primordial sektarian di tengah masyarakat, 2) modernisasi yang tidak dibarengi
kesiapan masyarakat, 3) disrupsi teknologi informatika di segala bidang—dalam
beberapa tahun, 47% pekerjaan yang dianggap mapan di tengah masyarakat
diramalkan akan hilang, 4) ketimpangan relasi budaya—masyarakat Indonesia
cenderung banyak mengonsumsi hasil budaya dari negara lain (importir
kebudayaan), 5) pembangunan yang mengorbankan ekosistem alam dan budaya—laporan
menunjukkan kegiatan pembangunan di daerah berpengaruh pada ketahanan budaya,
6) tata kelembagaan budaya yang belum optimal, </span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">dan </span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">7) desain
kebijakan yang belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaan. Tujuh
agenda strategis pemajuan kebudayaan untuk merespons tujuh isu pokok tersebut
ikut dijabarkan, di antaranya penyediaan ruang yang mendukung kemajemukan
budaya—demi menghindari isu sektarian primordial—dan penyimpanan data pokok
kebudayaan sebagai ruang arsip kebudayaan nasional. </span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><a name='more'></a><h3><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"></span></span></h3><h3 style="text-align: left;"><span style="background-color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span></span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><h3>
<span style="background-color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><b>Kongres Kebudayaan 1918: Satu
Abad dalam Lembar Sejarah</b></span></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Beberapa kongres tercatat menjadi
tonggak penting perjalanan sejarah kebangsaan, di antaranya Kongres Boedi
Oetomo 1908, Kongres Pemuda 1926 dan 1928, Kongres Perempuan 1928, Kongres
Pendidikan 1935 dan 1937, serta Kongres Bahasa 1938. Kongres Kebudayaan I,
sebagai tonggak awal kongres kebudayaan, digagas oleh Java Instituut (resmi
berdiri pada 1919 dan bubar pada 1948), berlangsung pada 5-7 Juli 1918 di
Bangsal Kepatihan Keraton Solo dengan R. Sastrowidjono, anggota Boedi Oetomo, ditunjuk
sebagai Ketua Panitia Penyelenggara. Nama resmi kongres ini adalah <i>Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling</i>
(Kongres Guna Membahas Pengembangan Kebudayaan Jawa).</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Pangeran Prangwadono mengusulkan
pembicaraan kongres mengenai pemajuan kebudayaan Jawa demi menengahi perdebatan
antara Radjiman Wediodiningrat yang bersikeras menekankan kebudayaan Jawa asli
dengan Raden Sastrowidjono yang cenderung mendukung pendidikan pro-Barat. Ini
tampaknya adalah kelanjutan dari perdebatan antara Soetatmo dan Tjipto
Mangoenkoesoemo tentang paham nasionalisme—sebagaimana dicatat oleh Takashi
Shiraishi dalam “The Disputes Between Tjipto Mangoenkoesoemo and Soetatmo
Soeriokoesoemo: Satria vs Pandita”.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Kongres Kebudayaan I ini dapat
dikatakan adalah penentu arah pengembangan kebudayaan bangsa. Kaum elite
terpelajar kala itu mendorong keputusan kongres agar memiliki makna strategis
dan politis. Keputusan Pangeran Prangwadono memilih menyelenggarakan Kongres
Kebudayaan Jawa dan menolak instruksi Batavia—yang berada di bawah instruksi
pemerintah kolonial Hindia Belanda—untuk menyelenggarakan Kongres Bahasa Jawa
adalah salah satu langkah bersejarah. Gagasan kongres yang berlangsung satu
abad lalu ini pun senada dengan gagasan kongres kebudayaan hari ini: upaya
pemajuan kebudayaan.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal"><h3 style="text-align: left;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><b>Literatur dalam KKI 2018</b></span></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Selain pembahasan utama mengenai upaya pemajuan kebudayaan, beberapa panel
bertajuk literatur dibuka dalam bentuk diskusi seri inspirasi, kuliah umum,
hingga debat publik, di antaranya diskusi inspirasi <i>Jejaring Aksara Nusantara dan Anak Muda</i> bersama Sinta Ridwan. Sinta
dikenal </span><span lang="EN-US">lantaran</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">inisiatifnya menggagas situs Aksakun dan ajakannya belajar #1hari1aksara
demi menguatkan kecintaan generasi muda pada aksara kuna. Kuliah umum <i>Kegamangan Puisi: Antara Bahasa Ibu, Bahasa
Indonesia, dan Bahasa Asing</i> bersama M. Aan Mansyur membahas tentang
bagaimana corak, dialek, dan warna bahasa lokal masih tampak pada beberapa
karya kesusastraan yang ditulis dalam bahasa nasional—menjadi sebuah ajakan
bagi kita untuk membaca lebih tekun karya-karya sastra itu dan menyadari betapa
bahasa daerah</span><span lang="EN-US">, selain
pengaruh bahasa asing sebagaimana dikatakan oleh Remy Sylado,</span><span lang="IN"> memperkaya bahasa Indonesia, dan kuliah
umum <i>Peningkatan Sastra & Budaya
Daerah: Kasus Naskah dan Panji</i> bersama Wardiman Djojonegoro dengan upayanya
mengajukan naskah cerita panji, cerita rakyat Jawa klasik, sebagai warisan
ingatan kolektif dunia dalam daftar </span><span lang="EN-US">Memory of the World</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">UNESCO.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Sementara panel-panel yang dapat diakses daring dengan tautannya ke video
yang diunggah oleh @budayasaya (akun resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan) di
antaranya:</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Debat publik <span class="MsoHyperlink"><i><a href="https://www.youtube.com/watch?v=GvEac4DoYBw" target="_blank">Serapan: EksplorasiPengayaan Bahasa Indonesia</a></i></span>, mendatangkan dua pembicara—Ivan
Lanin dan Afrizal Malna. Ivan menceritakan pengalamannya mulai menyukai upaya
pemadanan kata dan peristilahan. Penjelasannya melingkupi upayanya dalam melakukan
penyerapan bahasa dengan menggali kosakata daerah ataupun mengupayakan
penerjemahan kosakata asing, sejauh mengikuti kaidah-kaidah penyerapan kosakata.
Lima syarat penyerapan dirincikan oleh Ivan, yakni 1) tepat menggambarkan
konsep dari kata yang dimaksudkan, 2) singkat, 3) memiliki makna konotatif yang
bagus, 4) eufonik, dan 5) seturut urutan vokal dalam bahasa Indonesia.
Sementara itu, Afrizal menjelaskan upayanya menjembatani dua metode yang
dilakukan dalam penyerapan bahasa, yakni 1) yang dilakukan oleh orang yang
berwenang terkait perihal bahasa, dan 2) yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam
kaidah linguistik, ia tampaknya mengulik perihal linguistik preskriptif dan
deskriptif dalam upaya menggali kosakata.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Selain soal bahasa, Afrizal lebih lanjut membahas pula perkara literasi
masyarakat yang memungkinkan suatu kosakata tercipta. Ia mencuplik satu periode
di Jepang, Restorasi Meiji, yang dengan radikal mengubah budaya bangsa mereka;
dan dengan contoh itu, ia mempertanyakan bagaimana masyarakat Indonesia hari
ini telah melompati satu prosedur, yakni bergerak dari tradisi lisan ke tradisi
digital—tanpa melalui tradisi tulisan sebagai prosedur yang seharusnya
dilewati. Poin yang perlu dicatat berikutnya adalah Ivan yang membahas frekuensi
dan kecepatan sebuah lema baru dipergunakan di tengah masyarakat—bagaimana lema
<i>lini masa</i> untuk terjemahan lema <i>timeline</i> jamak dipergunakan begitu
diperkenalkan oleh Hasan Aspahani sementara lema <i>mangkus</i> yang bermakna <i>efisien</i>
tidak banyak dipakai.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><iframe allowfullscreen="" class="YOUTUBE-iframe-video" data-thumbnail-src="https://i.ytimg.com/vi/GvEac4DoYBw/0.jpg" frameborder="0" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/GvEac4DoYBw?feature=player_embedded" width="320"></iframe></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
<br />
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Mungkinka</span><span lang="EN-US">h</span><span lang="IN"> sejarah coba digali melalui
surat-menyurat? Bonnie Triyana menceritakan bagaimana ia terpikir untuk mengadakan
pameran dokumen ego para pendiri bangsa berupa surat-surat, ataupun buku harian
para tahanan politik 1965 dalam kuliah umum <span class="MsoHyperlink"><i><a href="https://www.youtube.com/watch?v=d_dMV0-8EBk" target="_blank">Dokumen Ego sebagai SumberPenulisan Sejarah</a></i></span>. Istilah “dokumen ego” kali pertama
diperkenalkan oleh sejarawan Belanda, Ja</span><span lang="EN-US">c</span><span lang="IN">ques Presser. Ia menjelaskan tentang bagaimana dokumen personal atau
pribadi dapat dipergunakan sebagai sumber penulisan sejarah yang lebih intim.
Tentunya, dengan dibarengi sikap skeptis peneliti yang mesti melakukan
verifikasi atas dokumen ego tersebut.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Bonnie memaparkan beberapa sumber dokumen ego para pendiri bangsa, di
antaranya surat-menyurat Hatta dengan Roestam Effendi terkait Polemik
Trotskyisme di Indonesia lantaran Roestam menuding Hatta sebagai Trotskyis dan
kolaborator Jepang, dokumen surat-menyurat Hatta dengan Johannes Eduard Post
yang menyuplainya buku-buku bacaan ke pengasingannya di Banda Neira, ataupun </span><span lang="EN-US">s</span><span lang="IN">urat Sjahrir dari Boeven Digoel tentang
kesepiannya kepada istrinya Maria Duchateau di Belanda, serta buku harian
tahanan politik 1965.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="background: yellow none repeat scroll 0% 0%; mso-ansi-language: IN; mso-highlight: yellow;"><br /></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><iframe allowfullscreen="" class="YOUTUBE-iframe-video" data-thumbnail-src="https://i.ytimg.com/vi/d_dMV0-8EBk/0.jpg" frameborder="0" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/d_dMV0-8EBk?feature=player_embedded" width="320"></iframe></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="background: yellow none repeat scroll 0% 0%; mso-ansi-language: IN; mso-highlight: yellow;"><br /></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Isu literasi, ketersediaan bacaan di berbagai wilayah Indonesia, dan
terutama perihal kapasitas masyarakat hari ini dalam mengakses literasi digital
kembali dibahas dalam forum. Debat publik <span class="MsoHyperlink"><i><a href="https://www.youtube.com/watch?v=S-TGPnis7R0" target="_blank">Literasi Digital: KebudayaanHari Ini dan Esok</a></i></span>, mengundang Roy Thaniago dan Shafiq Pontoh. Roy
memulai bahasannya dengan mengulik soal literasi media, tentang perlunya akses masyarakat
untuk mengevaluasi pesan media. Dengan memahami itu, maka masyarakat akan
memahami bagaimana literasi dalam konteks digital bekerja.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Di ranah digital, ekosistem media dengan logika algoritma tertentu membentuk
cara masyarakat mengakses media. Informasi yang kita terima bergantung pada
algoritma yang mencatat preferensi kita. Kerap kali, algoritma dihitung
berdasarkan jejaring pertemanan, alih-alih hal-hal yang difavoritkan. Dengan
demikian, melanjutkan Roy, menurut Shafiq berliterasi digital berarti seseorang
perlu menentukan sendiri algoritma media sosialnya dengan memperkuat </span><span lang="EN-US">jejaring pertemanannya begitu pula </span><span lang="IN">preferensinya.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Pada era digital ini, seseorang perlu bersikap otonom dalam bermedia. Roy lebih
menyepakati bila masyarakat dapat dengan sendirinya bersikap kritis sehingga
tidak melulu bergantung pada otoritas pendapat tertentu di media. Ia juga
menekankan pentingnya ruang untuk perjumpaan dengan yang berbeda—</span><span lang="EN-US">dan </span><span lang="IN">media massa semestinya dapat menjadi ruang
imajiner untuk mempertemukan beragam perbedaan ini. Meski, sayangnya, </span><span lang="EN-US">ia menyebut, </span><span lang="IN">media sudah telanjur kerap dikooptasi kepentingan
politik. Menurutnya, banyak isu penting dan krusial yang tidak mendapat tempat
semestinya—karena itu, kesadaran berliterasi menempatkan pentingnya menghadirkan
agenda-agenda masyarakat. Di sini, bersamaan dengan masyarakat yang telah dapat
otonom dalam bermedia, termasuk pula menghadapi kabar hoaks, negara tetap dilihat
perlu berperan mengevaluasi media. </span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><iframe allowfullscreen="" class="YOUTUBE-iframe-video" data-thumbnail-src="https://i.ytimg.com/vi/S-TGPnis7R0/0.jpg" frameborder="0" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/S-TGPnis7R0?feature=player_embedded" width="320"></iframe></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="background: yellow none repeat scroll 0% 0%; mso-ansi-language: IN; mso-highlight: yellow;"><br /></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Debat publik <span class="MsoHyperlink"><i><a href="https://www.youtube.com/watch?v=RKc5aAssRrw" target="_blank">Kanon Sastra Indonesia:Perlukah?</a></i></span> menghadirkan Faruk HT, Zen Hae, Esha Tegar Putra, Jamal
D. Rahman, dan Saut Situmorang. Tidak seperti yang dibayangkan umum, bahwa akan
terjadi perdebatan sengit paling tidak antara Saut dan Jamal—dengan kasus 33
tokoh sastra, di mana nama Denny JA menyempil dalam sebuah upaya kanon—acara
ini berlangsung jauh panggang dari api: adem ayem saja. Beberapa hari setelah
acara ini dilangsungkan, media sosial ramai dengan kritik tentang bagaimana
“debat publik” tampak telah dirancang sebagai “tempat pengumuman proses kanon
yang sudah berjalan”.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Faruk HT menjelaskan beberapa soal seputar sastra dan sastrawan hari ini
yang membuat kita memerlukan “bacaan baru” di sekolah-sekolah, Zen Hae
memerikan bagaimana ia terlibat dalam penyusunan karya kanon yang akan masuk ke
sekolah-sekolah, yang kemudian disentil oleh Saut dengan pernyataan bahwa: “kritik
terhadap kanon sastra mempertanyakan kedahsyatan karya sastra yang dipilih,
apakah itu sudah dipenuhi?”</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Setelahnya, Saut membacakan esai lawasnya “<span class="MsoHyperlink"><a href="https://beritaseni.wordpress.com/2007/10/18/politik-kanonisasi-sastra/" target="_blank">PolitikKanonisasi Sastra</a></span>” dengan menambahkan pembahasan kasus pencatutan
nama Denny JA dalam kanonisasi sastra beberapa tahun silam. Sementara, Jamal D.
Rahman menekankan bahwa setiap orang telah membawa kerangka kanonik tersendiri,
dan karenanya kontroversi dan bias akan selalu mengemuka dalam penentuan kanon
sastra. Esha Tegar Putra membahas perihal kanon dengan lebih taktis lewat
ajakannya untuk menengok kesusastraan pra-Indonesia, seperti yang dilakukan
Pramoedya Ananta Toer saat menerbitkan bukunya <i>Tempo Doeloe</i>—tentang upaya untuk mengangkat tema-tema nasionalisme
dalam penyusunan kanon sastra Indonesia. Dalam ulasan yang disiapkannya untuk
acara ini, </span><span lang="EN-US">Esha</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">juga membahas secara detail tentang pengaruh para pelaku sastra Minang terhadap
preferensi terbitan Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya kanon sastra
Indonesia. </span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN"> </span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div style="text-align: center;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div style="text-align: center;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div style="text-align: center;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div style="text-align: center;">
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div style="text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><iframe allowfullscreen="" class="YOUTUBE-iframe-video" data-thumbnail-src="https://i.ytimg.com/vi/RKc5aAssRrw/0.jpg" frameborder="0" height="266" src="https://www.youtube.com/embed/RKc5aAssRrw?feature=player_embedded" width="320"></iframe></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Selain panel-panel diskusi, KKI 2018 juga mengundang Afrizal Malna dan
Ugeng T. Moetidjo untuk kurasi pameran bertajuk literatur. Pameran ini mengusung
tema “Suara-suara Bahasa”. Mendengar dua nama ini, kita tentu punya bayangan
sejauh apa mereka akan bereksperimen dengan bahasa dan rupa. Afrizal pernah
menampilkan puisi-puisi HTML-nya dalam <i>Berlin
Proposal</i>, atau mempertunjukkan Mesin Heidegger seperti yang
dipresentasikannya di Teater Kecil TIM tempo lalu, dan Ugeng bereksperimen
dengan permainan rupa dalam kertas pada pamerannya di Galerikertas Studiohanafi.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Dua maestro ini mewujudkan beberapa panel arsip plus instalasi untuk
mengungkit memori dan pemaknaan kita atas bahasa. Arsip-arsip diambil dari
dokumen PDS HB Jassin, di antaranya surat Manifes Kebudayaan, arsip proses
penulisan Merahnya Merah oleh Iwan Simatupang, terlihat beberapa kutipan filsuf
eksistensialis seperti Jaspers dan Sartre serta fenomenolog Merleau-Ponty—nama-nama
yang rupanya punya pengaruh bagi sastrawan kita pada dasawarsa ’60-an.
Selebihnya, adalah arsip suara dari beberapa daerah—sesuatu yang membuat
selintas kita teringat pada Walter J. Ong dan teori-teorinya tentang sastra
lisan, prasasti yang membuat kita bertanya-tanya bagaimana orang zaman dulu
membaca “perintah raja” yang tertulis pada prasasti itu, perdebatan tentang
bahasa nasional yang terjadi di antara para sastrawan lelaki tersohor, dan yang
cukup mengejutkan adalah kehadiran dokumen ilustrasi Gedung Teater Sandiwara
Sunda Miss Tjijih.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN">Apa kaitannya gedung ini dengan perjalanan bahasa kita? Pegiat sandiwara
ini telah beberapa kali berpindah pentas di sekian gedung. Kali terakhir, yang
saya sambangi dalam satu pertunjukan teaternya, mereka melakukan pentas di
wilayah Cempaka Putih. Kita tahu bahwa sandiwara Miss Tjijih menginspirasi
cerita <i>Si Manis Jembatan Ancol</i> atau
cerita-cerita horor film yang diperankan Suzanna, tetapi kehadiran arsip ini di
tengah-tengah tajuk pameran ini tampaknya tak punya benang merah yang kuat—jika
dan hanya jika tidak didukung <i>caption </i>yang
memadai</span><span lang="EN-US">—untuk
menjelaskan bahwa sandiwara ini merupakan bagian dari tradisi lisan (?)</span><span lang="IN">. Meski, yang paling janggal adalah
menemukan beberapa “perahu bahasa” dipajang </span><span lang="EN-US">begitu saja </span><span lang="IN">sebagai sebuah panel pameran yang menampilkan sobekan-sobekan
peta dari buku atlas yang dilipat seumpama perahu, dan diberikan penjelasan
sederhana</span><span lang="EN-US"> yang
kira-kira berbunyi</span><span lang="IN"> “bahasa di
Nusantara ini berkembang dari pulau ke pulau dengan bantuan perahu”. Hanya itu?
Saya, tentu saja, </span><span lang="EN-US">berharap</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="IN">lebih, mungkin</span><span lang="EN-US"> bila
ada cukup waktu, bisa ada</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">panel berupa </span><span lang="IN">kelindan arsip yang dikawankan dengan beberapa
tilikan terhadap riset-riset seri buku linguistik terbitan ILDEP?</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><b><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;"> </span></b></span></span></span></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><b><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Setelah KKI 2018,
Lalu Apa</span></b><b><span lang="IN" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b><b><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">dan Siapa?</span></b></span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Sehari setelah KKI 2018, untuk
memenuhi aspirasi yang mengemuka dalam sidang panel kongres, pada Senin, 11
Desember 2018 sore, Jokowi mengundang 40 budayawan</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;"> dan </span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">seniman
ke Istana Merdeka dan menyampaikan komitmennya untuk mengalokasikan dana abadi
bagi kegiatan kebudayaan. Rencananya, alokasi dana ini akan dianggarkan pada
2019, dengan anggaran 5 triliun </span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">rupiah </span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">untuk lima tahun
pertama.</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Berikutnya, adalah perkara siapa
yang akan menjalankan strategi-strategi taktis di lapangan agar lema “strategi
kebudayaan” tidak sekadar menjadi konsep abstrak. Melanjutkan kabar ini, pemerintah
akan membentuk lembaga pengelola dana abadi kebudayaan dalam bentuk badan
layanan umum (BLU) dengan manajemen yang lebih cair karena pelaksanaan
kegiatannya dapat melibatkan orang-orang di luar birokrasi kementerian. Orang
seperti apa yang diperlukan menjalankannya?</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">Hilmar Farid, selaku Dirjen
Kebudayaan, punya semangat besar untuk menjalankan gagasan pemajuan kebudayaan
ini</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">: ia punya perkiraan tentang berapa lama strategi ini perlu dijalankan
dan, tampaknya, membayangkan orang seperti apa yang dapat menjalankannya</span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">. Dalam </span><span class="MsoHyperlink"><span lang="IN"><a href="https://beritagar.id/artikel/berita/hilmar-farid-kebudayaan-harus-diperbincangkan-pada-pilpres-2019" target="_blank">wawancaraterbarunya dengan Muammar Fikrie untuk Beritagar</a></span></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">, ia
menyampaikan gagasannya tentang mengapa visi strategi pemajuan kebudayaan perlu
dicanangkan selama 20 tahun. Ia menyebut Gelombang Hallyu (budaya pop korea
2.0) yang mulai pesat kita dengar sejak 2017, yang strategi kebudayaannya sudah
lama didorong oleh pemerintah Korea Selatan—sesuatu yang mereka rencanakan
tepat 20 tahun lalu. </span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">Untuk perkara orang seperti apa, k</span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">ita bisa
mengutip </span><span class="MsoHyperlink"><span lang="IN">wawancara
lawasnya di Indoprogress</span></span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;"> tentang perlunya imajinasi politik,
sosial, dan kultural</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;"> masyarakat</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;"> </span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">demi</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;"> </span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;">pemajuan sebuah
bangsa. </span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-themecolor: text1;">Ia bilang,</span><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN; mso-themecolor: text1;"> “S</span><span lang="IN">ederhananya begini: orang kesulitan membayangkan
sistem politik atau bentuk masyarakat yang ideal. Kita sering dengar orang
bicara sosialisme, tapi yang dimaksud itu apa? Masyarakat sosialis di Indonesia
hari ini artinya apa? Jangan dulu kita bicara tentang kesadaran rakyat secara
umum, di kalangan aktivis saja saya kira soal ini belum jelas. Dan ini warisan
Orde Baru yang hebat, kemiskinan imajinasi.”</span></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>
</span></span></span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-56684079690047979642018-06-19T22:35:00.002+07:002022-05-04T12:39:32.288+07:00Feminis Transnasional dan Jugun Ianfu: Testimoni Sejarah Kelam Pendudukan Militer Jepang<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:DoNotShowRevisions/>
<w:DoNotPrintRevisions/>
<w:DoNotShowInsertionsAndDeletions/>
<w:DoNotShowPropertyChanges/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
text-align:justify;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<br />
</span></span><div class="MsoNormalCxSpFirst" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menuai
kontroversi pada 2007 lantaran ia mengangkat kasus <i>jugun ianfu</i> (<i>comfort women</i>
atau perempuan budak seks perang) sebagai persoalan kemanusiaan yang perlu
dituntaskan pada masa pemerintahannya. Pernyataannya ini didukung oleh berbagai
riset yang sejak tahun 1990 telah menunjukkan bahwa pemerintah Jepang wajib
bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan yang terjadi pada masa Perang Dunia
II tersebut. Sebelumnya, pengadilan terkait kejahatan perang yang menampung
pula tujuh dokumen laporan khusus tindak kekerasan seksual oleh militer Jepang
telah dilakukan oleh Pengadilan Tokyo pada 3 Mei 1946.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[1]</span></span></a>
Namun, persidangan tersebut berakhir tanpa penyelesaian. Dokumen inilah yang dibuka
pada riset-riset di dekade 1990, dan kembali pada 2007 di masa pemerintahan
Abe.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[2]</span></span></a>
Kembali terulang, para anggota parlemen ultra-kanan (konservatif) menyatakan
tidak ada bukti kuat bahwa para perempuan ini dipaksa untuk memenuhi kebutuhan
seksual balatentara Jepang. Bagaimanapun usaha Abe, kelompok ultra-kanan di Jepang
berusaha menghapus fakta-fakta riset tersebut. Resolusi dari pihak perwakilan
rakyat di Jepang pada Juli 2007 (H. Res. 121) dan pengunduran diri Abe dari
jabatannya tampak menunjukkan kasus ini berakhir tanpa penyelesaian—kecuali
fakta bahwa pemerintah Jepang membayar sejumlah ganti rugi kepada beberapa
negara.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[3]</span></span></a></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Selain nihilnya hasil persidangan di tahun 1946, kontroversi
dan penolakan dari kelompok ultra-kanan dilancarkan sejak 1980-an. Pada 1982,
menteri pendidikan Jepang memerintahkan penghapusan sejarah tentang <i>jugun ianfu</i> dari buku-buku teks
referensi terkait agresi dan korban perang yang melibatkan Jepang.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[4]</span></span></a>
Namun, ingatan para korban tidak bisa dibungkam begitu saja, pada Desember
1991, seorang <i>jugun ianfu</i> dari Korea
Selatan, Kim Hak Sun, mengungkapkan pengalamannya dan mengajukan perkara ke
pengadilan. Pernyataannya ini diikuti oleh beberapa korban perempuan lainnya
dari sepenjuru Asia, termasuk beberapa korban dari Indonesia. Langkah berani
mereka mendorong para aktivis perempuan Jepang untuk mengorganisir dukungan. Riset
menunjukkan bahwa di antara tahun 1928 hingga 1945, terdapat sekitar 150.000
hingga 200.000 perempuan yang dijadikan sebagai budak seks oleh pihak militer
Jepang.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[5]</span></span></a>
Pemerintah Jepang lagi-lagi membantah tuntutan tersebut, menolak meminta maaf,
dan bahkan menolak untuk melakukan peninjauan lebih lanjut.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[6]</span></span></a></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Sepanjang sejarah perang, pemerkosaan dan beragam
kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terjadi tanpa kendali—serta
pembungkaman atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap mereka terus berlanjut.
Kekejaman balatentara Jepang terhadap budak seks dari Indonesia menjadi satu
contoh dari sekian banyak kekerasan serupa yang juga terjadi dalam perang-perang
lainnya. Tindakan pendukung HAM transnasional untuk mengambil kendali pada
situasi perang semacam itu semestinya perlu dipertimbangkan. Dengan latar
belakang ini, artikel ini berupaya memaparkan bagaimana sejarah kelam
kolonialisme <i>jugun ianfu</i> digambarkan
dalam kesusastraan Indonesia yakni dengan mengambil <i>Mirah dari Banda</i> oleh Hanna Rambe dan <i>Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer</i> oleh Pramoedya Ananta Toer
sebagai pembuktian sejarah, dilanjutkan dengan pemaparan pandangan para feminis
atas dominasi seksual para lelaki terhadap perempuan di masa perang,
pembungkaman kasus <i>jugun ianfu</i> ini,
dan bagaimana para feminis berupaya menggerakkan suatu gelombang transnasional
untuk memecahkan persoalan kemanusiaan semacam ini agar mendapatkan pertimbangan
pihak-pihak lembaga maupun masyarakat internasional.</span></span></span></span></span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"> </span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"> <br /></span></span></div><h3><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"></span></span><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="ES"><i>Mirah dari Banda</i> dan <i>Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer</i></span></b></span></span></span></span></span></h3><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Novel<i> Mirah
dari Banda</i> oleh Hanna Rambe adalah kisah pertemuan antara Mirah dan cucunya
yang hilang. Mirah, diculik dari rumahnya di Jawa saat berusia lima tahun,
dijadikan budak pemetik buah pala di Bandaneira pada masa penjajahan Belanda.
Jelang dewasa, ia menjadi nyai (gundik) bagi Tuan Besar Ulupitu, dan lantas
pekerja seks atau <i>jugun ianfu</i> bagi
para balatentara di masa penjajahan Jepang. Dari hubungannya dengan Tuan Besar
Ulupitu, Mirah sempat memiliki dua orang putri yang lantas diculik darinya.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[7]</span></span></a>
Salah seorang putrinya yang hilang tersebut melahirkan seorang anak yang kelak
bernama Rowena “Wendy” Morgan-Higgins—nama yang diperoleh setelah ia diangkat
anak oleh keluarga Higgins. Wendy, cucu Mirah, menjadi “bayi perang” lantaran
ia tak pernah mengetahui ibu dan ayah kandungnya—yang ia ketahui hanyalah fakta
bahwa ayahnya adalah seorang Jepang dan ibunya, anak Mirah, adalah seorang Indo-Belanda.
Wendy tumbuh dewasa, dan berkesempatan mengunjungi Banda, nasib mengantarnya
berjumpa Mirah, neneknya. Namun demikian, Mirah dan Wendy bertemu sebagai dua
orang asing, dan kemudian berakhir sebagai dua orang asing yang tidak saling
mengetahui relasi darah di antara mereka.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><i><span lang="ES">Mirah dari Banda</span></i><span lang="ES"> bergerak melintasi tiga periode sejarah,
pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga jauh melewati masa
kemerdekaan. Mirah yang hidup pada tiga zaman itu menceritakan kekejaman di
masa perang—saat seseorang dipandang memiliki derajat jauh lebih rendah,
selayaknya barang untuk diperjualbelikan. Dalam cerita ini, Mirah adalah tokoh yang
dipandang rendah itu: ia tidak dapat menikmati kebebasannya sebagai manusia
karena kebebasan itu telah dirampas darinya sedari kecil. Ia dipaksa memenuhi
hasrat tuan besar, seorang Belanda, sembari bekerja memetik pala. Selanjutnya
di masa kedatangan “saudara tua” Indonesia, ia lantas dijadikan budak seks. Rambe
menampilkan sejarah kelam kolonialisme di Indonesia timur melalui kisah fiksi,
tetapi meski kisahnya sendiri hampir mendekati kenyataan, penekanan sejarah
khususnya mengenai para <i>jugun ianfu</i>
dapat kita telusuri melalui <i>Perawan
Remaja dalam Cengkeraman Militer</i> karya Pramoedya Ananta Toer.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><i><span lang="ES">Perawan Remaja</span></i><span lang="ES"> adalah dokumentasi kesaksian Toer atas kisah
para perempuan remaja di Indonesia yang dijadikan budak seks oleh balatentara
Jepang pada Perang Dunia II. Dalam pembuangan ke Pulau Buru di tahun 1969, Toer
bersaksi bahwa ia dan kawan-kawannya menemukan sebuah wilayah sabana (area ini
menjadi kamp konsentrasi para buangan politik tanpa persidangan pada rezim Orde
Baru) yang telah ditinggali oleh sekumpulan perempuan remaja yang ditelantarkan
oleh balatentara Jepang. <i>Perawan Remaja</i>
menyusun kronik kedatangan para remaja perempuan tersebut ke wilayah Kepulauan
Ambon.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[8]</span></span></a></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Sebuah pengumuman pemerintah Jepang pada 1943
menyerukan kepada setiap orang tua untuk mendaftarkan dan lantas menyerahkan
anak gadisnya yang masih perawan berusia di antara 15-17 tahun untuk
disekolahkan oleh Pemerintah Dai Nippon. Remaja-remaja perempuan ini dijanjikan
belajar di Singapura ataupun di Jepang. Siapa pun yang melanggar perintah ini
dinyatakan sebagai bertindak membelot terhadap <i>Tenno Heika</i> (kaisar Jepang). Para pejabat daerah bahkan hingga
perlu menyerahkan anak-anak gadis mereka demi memberi contoh kepada masyarakat
untuk juga melakukan hal serupa. Seiring perjalanan waktu, diketahui bahwa
janji pemerintah Jepang tersebut tidak pernah terlaksana.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><a name='more'></a><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br />
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES"> </span></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Balatentara Jepang menyeberang pulau dengan
membawa para perempuan remaja itu, lantas mereka berhenti di wilayah Kepulauan
Ambon. Para balatentara Jepang menyatakan bahwa mereka akan diberi pelajaran
ilmu kebidanan untuk menjadi bidan di wilayah Ambon. Pada praktiknya, setiap
remaja perempuan yang diserahkan kepada pihak Jepang ditempatkan pada sebuah
bilik bernomor. Bilik-bilik itu dijaga oleh seorang <i>heiho</i> sebagai ibu asrama bagi mereka. Setiap serdadu Nippon yang
berhajad seks datang ke kamar berdasarkan pada karcis berisikan nomor bilik,
dan mereka mengantre hingga datang kesempatan menyetubuhi para gadis itu. Para
perempuan remaja ini tidak memperoleh bayaran sepeser pun, kecuali uang
rekreasi yang sesekali saja diberikan.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Begitu pihak Jepang kalah dari sekutu pada Perang
Dunia II, balatentara Jepang segera meninggalkan para remaja perempuan itu
dalam situasi terombang-ambing. Mereka dilepas tanpa tanggung jawab, tanpa
pesangon, dan dibiarkan untuk melanjutkan hidupnya terserah jalan mereka
sendiri-sendiri, bahkan tidak mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum dari
para pejabat RI yang ketika itu disibukkan dengan upaya untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa. Begitu Indonesia merdeka, para tokoh politik bangsa ini
lantas lanjut disibukkan dengan urusan pertentangan antarpartai. Akibatnya,
hingga tahun 1979 atau ketika mereka berusia sekitar 35 tahun (juga ketika Toer
menyusun buku ini), mereka praktis terlupakan. Sebagian besar dari mereka
menganggap hidupnya telah gagal sehingga tidak berupaya untuk kembali ke
keluarganya.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Beberapa perempuan yang masih tertinggal itu
akhirnya berusaha menyatu dengan para penduduk lokal di sekitar wilayah Pulau
Buru yang ketika itu masih dihuni oleh suku Arafuru yang bergerak nomaden. Toer
menggambarkan bagaimana para remaja perempuan yang tadinya hidup dalam adab
Jawa itu perlu kembali ke kebiasaan hidup primitif para suku di wilayah itu
demi bisa diterima dan melanjutkan hidupnya. Bahkan, beberapa dari mereka
menikah dengan penduduk setempat dan kemudian membesarkan anak-anak mereka,
hingga kedatangan Toer dan kawan-kawannya. Singkatnya, mereka telah sama sekali
melupakan kehendaknya untuk kembali ke rumah mereka di Jawa.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: left;"><h3>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></h3></div><h3 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span></span></h3><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: left;"><h3>
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="ES">Laki-laki sebagai Simbol
Perang dan Perempuan sebagai Budak Seksnya</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Fenomena perempuan budak seks pada masa perang
tidak hanya terjadi di antara pihak militer Jepang dan korban jajahannya.
Militer Jerman SS (<i>Schutzstaffeln</i>)
mengelola sejumlah 500 rumah bordil di tahun 1942, militer Inggris di Tripoli,
Libya mengelola rumah bordil privat untuk pasukan kulit putih maupun kulit
berwarna mereka. Militer Amerika Serikat, sama seperti militer Inggris dan
militer Australia, juga mengembangkan rumah bordil yang dikelola oleh warga
untuk menghindari balatentaranya terkena penyakit menular seksual dalam masa
Perang Dunia II. Pada masa pendudukan terhadap Jepang, militer Amerika Serikat bahkan
memakai layanan perempuan budak seks yang disediakan oleh militer Jepang secara
khusus untuk mereka.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[9]</span></span></a></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">B</span>erbagai
teori feminisme mengenai pemerkosaan dalam situasi perang umumnya menyelidiki
perihal wacana dominasi di antara kedua gender, atau narasi umum yang menyertai
terjadinya kekerasan seksual tersebut. Judith Butler mengemukakan soal matriks
heteroseksual, suatu konstruksi biner atas gender dan seksualitas, yang
meyakini bahwa heteroseksualitas adalah norma, dengan demikian kedua gender
terhabituasikan lewat aturan dan arahan tertentu, baik melalui konvensi sosial
ataupun norma masyarakat. Adanya sistem patriarkis, hegemoni maskulinitas, dan
kepercayaan negatif mengenai seks, seksualitas, ataupun gender dengan demikian
memberi pengaruh pada proses tumbuh kembang para lelaki untuk melihat bahwa
mereka berhak melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap para perempuan.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="line-height: 150%;"><span class="MsoFootnoteReference">[10]</span></span></span></a></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Mengaitkan pandangan Butler dengan sistem patriarkis yang masih berlangsung
di Jepang, sebenarnya begitu regulasi restorasi Meiji diajukan sejak awal 1870,
kaum lelaki intelektual maupun politisi telah menolak pandangan Konfusianis
mengenai <i>danson jyohi</i> (superioritas
kaum lelaki) lantaran para intelektual masa “pencerahan” (<i>“keimo”</i>) ini terpengaruh oleh gagasan-gagasan dunia Barat. Namun
demikian, mereka masih mempertahankan konsep mengenai perempuan sebagai istri
dan ibu (nilai-nilai Barat dari era Victoria), dan ini menjadi idealisasi dan
berkembang sebagai ideologi <i>ryosai kenbo</i>
(istri dan ibu yang baik).<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[11]</span></span></a>
<span lang="ES">Pada masa perang, ideologi
ini menekankan perlunya perempuan menjadi “reproduser kekuatan militer dan ibu
bangsa”.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[12]</span></span></a>
Distingsi perempuan kelas atas dan perempuan kelas bawah pun diperkuat. Eksploitasi
terjadi pada para perempuan kelas bawah sementara para perempuan kelas atas
mendapat perlindungan sedemikian rupa dengan adanya konsep <i>ryosai kenbo</i>. Citra perempuan kelas bawah sebagai perempuan penghibur
mendorong adanya regulasi prostitusi pada masa perang—dengan catatan, regulasi
ini telah berkembang di Jepang pada 1870-an, meski konon telah muncul pula
jejaknya sejak era Muromachi (abad ke-14) atau era Kamakura (abad ke-12 hingga
ke-14).<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[13]</span></span></a></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
<span><span><span lang="ES"><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"> </span></span>
</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Hadirnya struktur perempuan kelas atas dan kelas
bawah ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual pada masa perang didukung juga
oleh sistem kerja masyarakat patriarkis pada kehidupan sehari-hari—bagaimana
masyarakat patriarkis Jepang memperlakukan perempuan kelas bawah terkait erat
dengan bagaimana mereka kelak memperlakukan para perempuan di negara jajahannya
pada masa perang, dan ini pada puncaknya membolehkan adanya suatu “budaya
pemerkosaan” (<i>rape culture</i>). </span>Ruth Seifert turut memberi sumbangsih penting pada
bidang ini karena ia menjelaskan <span lang="ES">bagaimana </span>pembenaran atas tindak
kekerasan seksual<span lang="ES"> dihasilkan
oleh para pelaku kejahatan seksual itu,</span> sebagaimana dijelaskan Butler. Menurutnya, pemerkosaan memang dipandang
sebagai suatu “bentuk budaya tersendiri” pada hampir setiap peristiwa perang. Ia
menyebutkan bahwa bagi para pelaku itu, (1) pemerkosaan adalah “aturan perang”;
(2) penyiksaan atau perlakuan kejam terhadap perempuan adalah suatu elemen
komunikasi lelaki di tengah konflik; (3) pemerkosaan adalah puncak maskulinitas
yang dipandang perlu menyertai perang; (4) pemerkosaan di masa perang bertujuan
untuk menghancurkan kebudayaan musuh; dan (5) pemerkosaan di masa perang adalah
ekspresi peenghinaan terhadap perempuan yang telah berakar secara kultural, dan
diperkuat pada masa krisis—yakni pada masa perang.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="line-height: 150%;"><span class="MsoFootnoteReference">[14]</span></span></span></a> </span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;"><h3 style="text-align: left;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b>Penutup: Feminis Transnasional dan
Testimoni Sejarah Kelam Perang</b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Dalam sistem ekonomi kapitalisme transnasional, dengan kesadaran
pascakolonial melalui Konferensi Asia Afrika pada 1955, pemahaman ekonomi
negara-negara berkembang dihadapkan pada tolak ukur ekonomi lebih jelas yakni dengan
mengecek penghasilan per kapita (GDP) yang menunjukkan seberapa produktif suatu
negara. Dalam situasi ekonomi transnasional ini, kompetisi pasar bebas dan
konsumerisme teknologi informasi berkembang sedemikian rupa, dan negara
berkembang berupaya menghadapi laju ini—baik dengan penegasan posisi nonblok
ataupun sekadar program-program perbaikan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Selanjutnya, kita dapat lihat juga pengaruh kajian pascakolonial beserta berbagai
pemahaman akan situasi ekonomi dalam memperlihatkan bahwa peran perempuan tidaklah
sama. Jika Simone de Beauvoir dalam pengantar <i>Le Deuxi</i><i>è</i><i>me Sexe</i>-nya menyangsikan mengenai persaudaraan antara
perempuan (<i>sisterhood</i>), maka feminis
transnasional pada masa ini berusaha mewadahi kekurangan ini.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Transnasionalisme pada masa awal perang memberi para perempuan Jepang suatu
ruang untuk mempengaruhi kebijakan negara menyoal absennya hak sipil nasional. <span lang="ES">Berbagai organisasi transnasional
bergerak dalam garda depan perjuangan aktivisme hak-hak warga
negara, dan pada akhirnya bersinggungan dengan soal-soal imperialisme, rasisme,
dan nasionalisme.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[15]</span></span></a>
Pergeseran paradigma dalam sejarah perempuan di tahun 1980-an dari paradigma
“perempuan sebagai korban” menjadi “perempuan sebagai agen” terjadi begitu
kesadaran tentang <i>jugun ianfu</i>
diperbincangkan di Asia Timur. Pembacaan historis mengenai peran perempuan
sebagai agen terkait kebebasan seksualnya memperlihatkan bahwa tindakan militer
Jepang dalam menciptakan rumah-rumah bordil <i>jugun
ianfu</i> sebagai kejahatan yang perlu dituntaskan dalam pembicaraan skala
transnasional dan hal ini mendorong menguatnya gerakan perempuan di Jepang pada
dekade tersebut.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[16]</span></span></a></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Feminisme global memberi penekanan pada
keberagaman agen (<i>agency</i>) perempuan
alih-alih pada model kebebasan perempuan (<i>women’s
liberation</i>) dengan ide-ide individualitas dan modernitasnya. Para feminis
transnasional ini dapat dikenali dari sifatnya yang memberi penekanan pada
pentingnya politik koalisi, anti-nasionalis, dan anti-eksploitatif—sehingga
mereka dapat dibedakan dari para feminis yang mengklasifikasikan kalangannya
pada kelas, ras, kewarganegaraan tertentu.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[17]</span></span></a>
Demi kepentingan penuntasan kasus <i>jugun ianfu</i>,
misalnya, para feminis transnasional ini menyelenggarakan konferensi bertajuk
“Comfort Women of World War II” yang melancarkan kritik terhadap politik
imperialis pemerintah Jepang yang menyetujui adanya <i>jugun ianfu</i>, tetapi justru melakukan penyangkalan atas keterlibatan
mereka.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[18]</span></span></a>
Politik koalisi dilakukan oleh para aktivis feminis dari kebangsaan Asia dan
Amerika, mereka melebur sebagai gerakan feminis transnasional, untuk mengungkit
kasus dikaburkannya persoalan <i>jugun ianfu</i>
dalam sejarah militerisme Jepang di negara-negara yang diduduki mereka pada
Perang Dunia II.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Dalam sebuah artikel, “Resisting Autobiography:
Out-Law Genres and Transnational Feminist Subjects”, Kaplan menggunakan
observasi Jacques Derrida tentang “<i>the
law of genre</i>”—suatu metode untuk menjelaskan sekiranya jenis-jenis subjek
kesusastraan, dan genre atau jenis subjek kesusastraan “<i>outlaw</i>” (berbagai hal yang menyoal tindak kejahatan antarindividu) adalah suatu subjek yang autobiografinya
berbicara dalam ranah transnasional, sehingga menantang konsep-konsep modernis
mengenai subjektivitas individual, nasionalisme patriarkis, ataupun kapitalisme
multinasional. Penelusuran genre <i>outlaw</i> umumnya
dapat ditelusuri melalui memoar penjara, testimoni pelaku, ataupun tilisan
etografis, “biomitografi” (<i>biomythography</i>),
autobiografi budaya, ataupun psikobiografi regulatif (<i>regulative psychobiography</i>).<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[19]</span></span></a></span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="ES">Alih-alih hanya membicarakan pendekatan subjek
perorangan, jenis-jenis literatur ini mengangkat kesamaan persoalan banyak
orang yang terlibat dalam masalah kejahatan tertentu. Sebutlah, tulisan Toer
dalam <i>Perawan Remaja</i> menghadirkan narasi
korban yakni para <i>jugun ianfu</i>
Indonesia pada masa pendudukan Jepang—demikian juga banyak narasi lain dari
korban-korban militer Jepang di Korea Selatan, Australia, ataupun negara-negara
lain di Asia Tenggara. Demikian pula narasi-narasi testimoni ini dihadirkan
dalam konferensi yang mengundang para <i>jugun
ianfu</i> untuk berbicara di tengah forum. Wadah konferensi ini sendiri pula
dipandang menjadi suatu bentuk dokumen autobiografi kultural mengenai para <i>jugun ianfu</i> yang menjadi korban
pendudukan militer Jepang di negara-negara yang bersengketa pada Perang Dunia
II.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span lang="EN-US">Kepustakaan</span></b></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="EN-US">Dolgopol, Ustinia. “Women’s Voices, Women’s
Pain” dalam <i>Human Rights Quarterly 17
(1995) 127-154</i>.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Hanna Rambe<span lang="FR">. (2010).</span><span lang="FR"> </span><i>Mirah dari Banda</i><span lang="FR">. </span>Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="EN-US">Hayashi, Hirofumi. “Japanese comfort women
in Southeast Asia” dalam <i>Japan Forum
10(2) 1998: 211-219</i>.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="EN-US">_______________.</span> “Disputes in Japan over the Japanese Military “Comfort Women” System and
Its Perception in History” dalam <i>The
Annals of the American Academy of Political and Social Science Vol 617</i>
(Mei, 2008), h. 123.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; margin: 0in 0in 0in 0.5in; mso-layout-grid-align: none; text-align: left; text-autospace: none; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Henry, Nicola<span lang="EN-US">.</span> “Theorizing Wartime
Rape: Deconstructing Gender, Sexuality, and Violence” dalam <i>Gender & Society, Vol. 30 No. 1,
February 2016</i>, h. 44-56.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Kimura, Maki<span lang="EN-US">. (2016).</span><span lang="EN-US"> </span><i>Unfolding the ‘Comfort Women’ Debates:
Modernity, Violence, Women’s Voices</i><span lang="EN-US">. </span>New York: Palgrave Macmillan.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="EN-US">Molony, Barbara. (2010). “Crossing
boundaries: Transnational feminisms in twentieth-century Japan” dalam <i>Women’s Movement in Asia: Feminisms and
transnational activism</i>. Abingdon: Routledge.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Pramoedya Ananta Toer<span lang="ES">. (2007).</span><span lang="ES"> </span><i>Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer</i><span lang="ES">, seri catatan Pulau Buru.</span> Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia<span lang="EN-US">.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; margin: 0in 0in 0in 0.5in; mso-layout-grid-align: none; text-align: left; text-autospace: none; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Seifert, Ruth<span lang="EN-US">.</span> “The second front: The
logic of sexual violence in wars” dalam <i>Women’s Studies International Forum </i>19,
1996, h. 35-43.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="EN-US">Thoma, Pamela, “Cultural Autobiography,
Testimonial, and Asian American Transnational Feminist Coalition in the
‘Comfort Women of World War II’ Conference” dalam <i>Frontiers: A Journal of Women Studies, Vol. 21 No. 1/2, Asian American
Women (2000)</i>, h. 30-32.</span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span lang="EN-US">Tony
Firman, “Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa Penjajahan Jepang” dalam situs web </span><span lang="EN-US"><a href="https://tirto.id/jugun-ianfu-budak-wanita-di-masa-penjajahan-jepang-cgZz">https://tirto.id/jugun-ianfu-budak-wanita-di-masa-penjajahan-jepang-cgZz</a></span><span lang="EN-US">,
terakhir diakses pada 18 Juni 2018. </span></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br clear="all" /></span></span></span></span>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><br /></span></span>
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[1]</span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="ES">Tony Firman, “Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa
Penjajahan Jepang” dalam </span><span lang="EN-US"><a href="https://tirto.id/jugun-ianfu-budak-wanita-di-masa-penjajahan-jepang-cgZz"><span lang="ES">https://tirto.id/jugun-ianfu-budak-wanita-di-masa-penjajahan-jepang-cgZz</span></a></span><span lang="ES">,
terakhir diakses pada 19 Juni 2018. </span></span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[2]</span></span></span></a><span lang="ES">
Dokumen resmi ini diserahkan oleh pemerintah Belanda, Perancis, dan China,
dengan kesimpulan bahwa militer Jepang secara langsung memaksa para perempuan
untuk bekerja di beberapa rumah bordil di wilayah-wilayah Indonesia, China,
Timor Leste, dan Vietnam.</span></span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[3]</span></span></a> Hayashi,
Hirofumi, “Disputes in Japan over the Japanese Military “Comfort Women” System
and Its Perception in History” dalam <i>The
Annals of the American Academy of Political and Social Science Vol 617</i>
(Mei, 2008), h. 123.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[4]</span></span></a> Hayashi,
Hirofumi<span lang="EN-US">,</span> h. 126.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[5]</span></span></span></a><span lang="EN-US"> Dolgopol, Ustinia, “Women’s Voices, Women’s Pain” dalam <i>Human Rights Quarterly 17 (1995) 127-154</i>.</span></span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[6]</span></span></a> <span lang="EN-US">Hayashi, Hirofumi,</span> h. 127.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[7]</span></span></a> Deskripsi
ini merupakan ikhtisar novel Hanna Rambe, <i>Mirah
dari Banda</i> (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, <span lang="EN-US">edisi ketiga, </span>2010).</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[8]</span></span></a> Deskripsi
ini merupakan ikhtisar dari seri catatan Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, <i>Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer</i>
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007).</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[9]</span></span></span></a><span lang="EN-US"> Hayashi, Hirofumi, “Japanese comfort women in Southeast Asia” dalam
<i>Japan Forum 10(2) 1998: 211-219</i>.</span></span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn10">
<div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: left; text-autospace: none;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[10]</span></span></a> Henry, Nicola<span lang="EN-US">,</span><span lang="EN-US"> </span>“Theorizing
Wartime Rape: Deconstructing Gender, Sexuality, and Violence” dalam <i>Gender & Society, Vol. 30 No. 1,
February 2016</i>, h. 44-56.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn11">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[11]</span></span></a> Kimura, Maki<span lang="EN-US">,</span><span lang="EN-US"> </span><i>Unfolding the ‘Comfort Women’ Debates: Modernity,
Violence, Women’s Voices</i> (New York: Palgrave Macmillan, 2016), h. 73.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn12">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[12]</span></span></a> Kimura, Maki,
h. 73.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn13">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[13]</span></span></a> Kimura, Maki,
h. 74. Distingsi perempuan perawan dibandingkan dengan perempuan pelacur ini
sendiri telah muncul pada masyarakat Eropa awal abad ke-18 dan disiplin tubuh
pun diterapkan pada masa itu, sebagaimana yang dikemukakan Michel Foucault
dalam teori-teorinya tentang seksualitas.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn14">
<div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: left; text-autospace: none;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[14]</span></span></a> Seifert, Ruth. “The second front: The logic
of sexual violence in wars” dalam <i>Women’s Studies International Forum </i>19,
1996, h. 35-43.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn15">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[15]</span></span></span></a><span lang="EN-US"> Molony, Barbara, “Crossing boundaries: Transnational feminisms in
twentieth-century Japan” dalam <i>Women’s Movement
in Asia: Feminisms and transnational activism</i> (Abingdon: Routledge, 2010),
h. 90-109.</span></span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn16">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[16]</span></span></span></a><span lang="EN-US"> Molony, Barbara, h. 90-109.</span></span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn17">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[17]</span></span></span></a><span lang="EN-US"> Thoma, Pamela, “Cultural Autobiography, Testimonial, and Asian
American Transnational Feminist Coalition in the ‘Comfort Women of World War
II’ Conference” dalam <i>Frontiers: A
Journal of Women Studies, Vol. 21 No. 1/2, Asian American Women (2000)</i>, h.
30-31.</span></span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn18">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[18]</span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="ES">Thoma, Pamela, h. 32.</span></span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn19">
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference">[19]</span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="ES">Thoma, Pamela, h. 33. </span></span></span></span></span></div>
</div>
</div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-59918951326884643842018-01-13T02:53:00.005+07:002023-08-01T19:20:10.183+07:00Perjalanan Menuju Roma<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Entah siapa yang berceletuk tentang
guna merutinkan diri berolahraga selama 41 hari dan hasil dari rutinitas itu
adalah sebuah kebiasaan yang tidak pernah terputus, tapi saya dan ibu semang
kemudian meyakininya dan melakoninya—bahkan melakoninya setiap pagi: berlari
selama satu jam mengelilingi danau sebelum melanjutkan rutinitas lain-lain.</span></span><br />
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Kira-kira pada hari ke-22 kami
merutinkan diri berolah raga, di perjalanan menuju taman, saya mengoreksi apa
yang kami tahu dan percaya, “Ada temuan lain di web yang lain, di web ini
dibilang, 21 hari pun sudah cukup untuk membentuk kebiasaan. Jadi, kita tidak
perlu payah-payah lari rutin selama 41 hari.”</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Dia memperhatikan ujaran saya, dan
merespons sekenanya. Tapi saya tahu itu tidak akan berhasil membuat tekadnya
putus di tengah jalan. Jadi, karena ibu semang saya adalah tipikal orang yang
tidak akan berhenti di tengah jalan saat sudah memutuskan melakukan sesuatu,
maka kami perlu menyelesaikan hari-hari rutin olahraga kami hingga hari ke-41.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Lantaran rutinitas kami berolahraga
di taman, saya punya kedekatan tersendiri dengan taman-taman di Paris dan banlieu-nya.
Beberapa taman penting kota ini menjadi tempat berjalan setapak dan
menghabiskan waktu untuk apa saja, termasuk untuk menulis fragmen-fragmen
cerita. Di antara taman-taman itu, yang paling menarik bagi saya adalah Parc de
Floral, sebuah taman yang terletak dekat Kastil Vincennes. Belakangan taman itu
dibuka menjadi taman untuk para nudis, sayangnya saya tidak berkesempatan untuk
ke sana lagi setelah membaca berita tentang pembukaan taman nudis itu. Dan,
bagaimanapun menariknya taman-taman lain, yang paling dekat di hati tentulah
taman Lac de Creteil, taman yang mengitari sebuah danau di Creteil, dekat
tempat tinggal saya—karena ke sanalah kami, saya dan sang ibu semang, biasanya
menghabiskan waktu.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Tetapi pada pagi tanggal 31 Agustus
itu kami tidak menuju taman mana pun, dari arah apartemen kami, ibu semang
memutuskan berjalan kaki saja terus ke arah timur. Saya menyusuri jalan lebih
cepat darinya. Tapi hingga sekian meter kemudian, dia baru berkata bahwa di
dekat tikungan jalan itu terletak pemakaman suaminya. Begitu spontan saja. Saya
mengajukan diri untuk berziarah. Maka kami berbelok arah dan sampailah di
sebuah pekuburan.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Kami melewati cukup banyak nisan
untuk sampai tepat di nisan itu. Rumput liar merambat di sekelilingnya. Sebuah
pohon sudah tumbuh di tengah-tengah tanah gembur itu. Itu pohon liar juga, kata
ibu semang. Tanpa perintah sebagai ancang-ancang, ia mulai mencabuti rumput-rumput,
saya bersolidaritas dengan ikut mencabut-cabuti rumput, sampai kemudian
berusaha keras mencabut pohon yang akarnya sudah menancap dalam. Itu
menjelaskan sudah berapa lama nisan ini tidak dikunjunginya lagi. Mungkin ibu
semang terlalu sibuk, yang jelas ia tidak mungkin tidak merindu lagi kepada
suaminya yang bersemayam di sana.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">“Jadi, bagaimana, kapan mau memesan
tiket? Kamu jadi tidak, sih, mau ke Roma?” ujarnya di perjalanan kami ke rumah.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Ada banyak jalan menuju Roma, kata
sebuah adagium, dan mulanya saya memang bersepakat untuk berjumpa kawan yang
juga sedang menjalani residensi di Roma. Tapi pada tanggal 31 Agustus, ia sudah
kembali ke Indonesia. Saya tidak berhasil berjumpa dengannya sebelum ia
kembali, tentu karena sederetan keraguan demi keraguan untuk menempuh
perjalanan yang tidak pasti di negeri orang. Jadi, menimbang untuk pergi saat
itu, tentu akan sia-sia saja. Tapi, dari pertanyaan itu, saya teringat sudah
pernah membikin janji untuk menginap di rumah seorang kenalan di Roma—pasangan
aktivis yang saya kenal di Yogya, sang istri kini bekerja di kantor pusat FAO
di Roma. Lantas, terpikir bahwa ada pula rentetan kota lain yang sekalian perlu
dikunjungi, di Bussum, Belanda pada 9 September, akan ada sebuah presentasi
dari kawan tentang relasi Jepang dan Belanda pada periode kolonial Belanda di
Indonesia dan pada 10 September seorang kenalan baik akan meluncurkan buku
novelnya di Amsterdam, dan sejak tanggal 6 September, akan ada festival sastra
Berlin yang menghadirkan Arundhati Roy. Justru akan menarik bila saya merancang
perjalanan yang bisa memuat kepentingan-kepentingan itu sekalian.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Maka, sepulang dari berziarah ke
kuburan, ibu semang dengan bermurah hati menyediakan waktu untuk membantu
memesankan tiket-tiket perjalanan ke Berlin lantas Den Haag lantas Roma untuk
kemudian kembali ke Paris—tentu dengan pertimbangan panjang: mau naik kereta,
bis, atau pesawat; dari stasiun dan bandara itu bagaimana cara mencapai rumah
kawan yang menjadi tempat menginap; dan apa yang kira-kira penting untuk
dilakukan di sana berkaitan dengan riset penulisan fiksi; perjalanan ditempuh
dari tanggal berapa sampai tanggal berapa, dan seterusnya.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Secara ringkas, perjalanan saya dari
Paris ke Berlin pada tanggal 5 September dengan bus cukup menyenangkan, saya melihat
diri sendiri berada pada titik di Googlemap yang berpindah dengan cepatnya dari
satu area ke area lain bebarengan dengan melihat pemandangan di luar: sebuah
gedung atau sebuah pabrik yang bercahaya sendirian karena jarak antara ia
dengan gedung atau pabrik lain lumayan jauh. Melintasi Brussels Belgia, lalu
melewati Eindhoven Belanda, untuk masuk ke area Jerman bagian Barat. Petugas
yang mengecek paspor mulai membangunkan penumpang yang tidur, dan terjadi
cekcok lumayan panjang antara sederet penumpang yang berpaspor kedaluwarsa,
tapi pada akhirnya penumpang itu tidak diturunkan di tengah jalan. Itu pastilah
seorang imigran gelap yang mencoba mencari peruntungan di Berlin, begitu pikir
saya, tapi setelah si petugas beralih pada saya dan saya menunjukkan paspor,
saya kembali melanjutkan tidur dan tidak ambil pusing lagi. Dibutuhkan suatu
kesadaran diri yang mantap untuk istirahat yang cukup, karena sembilan hari ke
depan, saya akan melakoni perjalanan dari kota ke kota—dan tidak boleh merengek
sedang sakit atau apa (saat itu saya baru pulih dari diare dan mimisan lantaran
sedikit alergi dingin). </span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Tiga hari saya lewati di Berlin,
untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Den Haag pada 8 September. Seharian
itu hujan, sepulang dari Museum Yahudi, saya segera menuju ZOB Berlin, terminal
bus yang akan membawa pergi. Di sana, saya bertemu seorang gadis mabuk yang
saya lupa siapa namanya, meski kami sempat berkenalan, bercerita betapa
sendirinya hidupnya. Yatim piatu, anak tunggal, dengan kehidupan cinta yang payah,
dan cita-cita yang kandas, dan pekerjaan yang ia rasa mengantarkannya ke
kegagalan demi kegagalan. Ia dari Sofia, Bulgaria dan tinggal delapan belas
bulan di Berlin karena bekerja di bidang teknik, dan kini memutuskan akan
mengadu nasib di Amsterdam. Saya ingin sekali bilang, “Hei, aku sejenis
denganmu,” tapi tampaknya itu tidak lucu, maka saya biarkan dia terus
mengelupas dirinya di depan saya, tanpa saya balik memperkenalkan diri. Sopir
dan kondektur, yang sama galaknya dengan yang saya temui di terminal Gallieni
Paris, kemudian memerintahkan kami segera masuk. Tidak bisa lanjut mendengarkan
ceritanya lagi. Saya menawarkan diri agar si gadis duduk dekat-dekat saja, tapi
pada akhirnya kami berpisah kursi. Banyak kursi kosong, menurutnya akan lebih
lega bila kami duduk sendiri-sendiri, dan istirahat di perjalanan bisa lebih
nyaman bagi kami. Saya menghela napas karena yakin bahwa kami akan berpisah,
dia akan turun di Amsterdam sementara saya turun di Den Haag. Dan saya tertidur
pulas malam itu, sampai akhirnya bus berhenti di terminal lebih cepat satu jam
dibandingkan jadwal yang tertera di tiket. Di sana saya menyadari betapa
kedisiplinan Prusia, yang berasal dari kedisiplinan ala Kantian, bagi warga
Jerman masih terwaris dengan amat baik.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Perjalanan ke Roma pada 12 September
tampaknya lebih menguji nyali. Layanan pesawat paling murah tersedia pagi-pagi
betul, karena itu saya pikir pada pukul lima saya sudah mesti mengantre check-in.
Hari-hari itu, Belanda sedang dilanda badai. Dari Leiden, saya menuju Rotterdam
dengan guyuran hujan yang tidak main-main. Bandaranya kecil saja, seukuran atau
malah lebih kecil daripada bandara Radin Inten II Lampung yang pernah saya
singgahi. Rupanya ketika saya sampai di bandara pukul sebelas malam itu, sudah
ada banyak orang seperti saya juga yang memutuskan untuk bermalam. Motel paling
murah hanya sepuluh euro semalam, tapi jaraknya jauh dari bandara, dan di kala
badai seperti ini dan jadwal bus jadi tidak menentu, memang sangat berisiko
untuk ketinggalan pesawat apabila nekat memesan penginapan, maka wajar saja
bandara penuh sesak orang yang bermalam untuk menunggu penerbangan paling pagi.
Beberapa orang berkeluyuran, berjalan-jalan dengan tak santai mengelilingi
bandara dari satu sudut ke sudut lain, tapi sebagian besar memutuskan
beristirahat seperti saya. Pukul empat pagi, pintu bandara sudah dibuka dan
terdengar koper-koper yang digeret masuk. Saya melanjutkan tidur untuk menunggu
jadwal check-in yang saya pikir dimulai tepat pukul lima pagi. Tapi dalam
hitungan menit bandara semakin ramai, dan saya memutuskan mengecek situasi.
Antrean panjang mengular pukul lima pagi itu, untuk penerbangan yang sama
dengan saya pukul enam pagi. Tidur di bandara tidak menjadikan saya orang
pertama yang mengantre jatah lepas landas. </span><span>Tapi tidak mengapa, akhirnya
saya pergi ke Roma.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Menyelesaikan perjalanan bukan hal
yang ingin saya capai ketika memulai perjalanan, tetapi setiap pejalan tahu
bahwa akan selalu ada akhir dari setiap perjalanan. Sembilan hari perjalanan
telah lewat, dua hari terakhir saya habiskan di Roma. Saya memotret antrean di
bandara Fiumicino, Roma menuju Orly pagi itu. Saya kirimkan sebuah foto dan
pesan singkat kepada ibu semang, menyatakan saya akan pulang. Sembari mencatat
di catatan pribadi: “Akhirnya misi tertuntaskan. Memang ada banyak jalan menuju
Roma. Termasuk jalan memutar dari Paris, Berlin, Den Haag, dan Rotterdam.”</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Catatan:</b></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Di Berlin, Jerman selama tiga hari
saya menghadiri sebuah festival pengarang, bertemu Pak Triyanto Triwikromo yang
sedang menjalani program residensi penulis juga, dan dengannya diajak untuk
berjumpa seorang penerjemah Jerman, Gudrun Fenna Ingratubun. Saya menumpang
tinggal dengan penerjemah Jerman tersebut dan membicarakan banyak hal tentang
kesusastraan Indonesia maupun Jerman. Perjalanan saya tempuh dengan bus dari
terminal Gal</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">l</span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">ieni Paris dan tiba di Berlin ZOB
pada 6 September 2017. Di Berlin, saya berkesempatan juga mengunjungi beberapa
museum di Kompleks Museumsinsel (mengunjungi Altes Museum dan Neues Museum),
serta mengunjungi Museum Yahudi. Seluruh diskusi dalam festival sastra Berlin
yang saya ikuti dilakukan dalam bahasa Jerman, saya tidak begitu memahaminya,
tetapi cukup berguna bagi saya untuk memahami festival pengarang skala
internasional. Seorang penulis Indonesia, Okky Madasari, diundang menjadi
pembicara di festival itu, tetapi saya tidak kesampaian untuk berjumpa beliau
karena jadwal yang berbeda: tapi setidaknya saya membaca nama beliau tertulis
di sebuah buku tebal terkait festival sastra Berlin itu. Selanjutnya, saya mengunjungi
Bussum, Belanda pada 9 September 2017 untuk menghadiri sebuah konferensi
mengenai relasi Jepang-Belanda pada masa pendudukan Belanda di Indonesia,
beberapa eksil perempuan hadir dan menjadi pembicara, dan seorang kawan saya di
UGM Yogyakarta, Raisa Kamila, memberikan presentasi. Senang sekali mendengarkan
penuturan-penuturannya dalam forum itu. Di Belanda, selain konferensi, saya
berkesempatan mengunjungi Tropenmuseum, Amsterdam, dan masuk museum dengan
gratis berkat kemurahan hati Aliansyah Caniago yang meminjamkan kartu museum,
dan juga sempat menghadiri acara peluncuran kumpulan cerita pendek Joss
Wibisonoo pada 10 September 2017. Di Belanda, saya menginap di apartemen kawan
saya yang berkuliah di Universitas Leiden sehingga akses saya untuk mampir ke
universitasnya pun dipermudah. Setelah itu, saya bertolak ke Roma, Italia pada
12 September 2017, di sana saya berkesempatan bertemu dengan dosen-dosen STF
Driyarkara, di antaranya Romo Frumen Gions, Romo Albertus Pur, dan Romo Fellyanus
Dogon yang sedang menempuh studi di Instituto Nazionale Di Studi Romani, dan
mengunjungi Museum Vatikan dan beberapa ikon bersejarah kota Roma. Selama di
Roma, saya menginap di apartemen sepasang suami-istri aktivis yang saya kenal
di Yogyakarta, Fajar Kelana dan Noor Alifa Ardianingrum yang kini bekerja di
kantor pusat Food and Agriculture Organization (FAO) PBB.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-325777640071654452017-12-22T00:35:00.003+07:002021-06-02T15:38:02.241+07:00Rasionalitas Peradaban Mesopotamia Kuno<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>
</span></span><span style="font-size: small;"><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Enûma
Eliš </i>dari Peradaban Babilonia kuno merupakan peninggalan kuneiform yang
paling banyak dirujuk sebagai peninggalan tertua yang membahas perkara
asal-usul alam semesta dan penciptaan manusia. Sir Austen Henry Layard adalah
arkeolog yang mengekskavasi reruntuhan Nimrud, sebuah kota Asiria kuno, dan
Niniwe—dan hasil ekskavasinya termasuk tujuh tablet lempung <i>Enûma Eliš</i> (dari abad ke-7 SM, meski
perumusannya barangkali berasal dari abad ke-18 SM pada era Bangsa Kassite) dari
Perpustakaan Ashurbanipal, Niniwe.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[1]</span></span></a>
Kisah epik dalam tujuh tablet lempung tersebut memuat masing-masing 115 dan 170
baris teks kuno kuneiform, sistem penulisan yang digunakan oleh bangsa Sumeria,
Mesopotamia—dengan isi yang memaparkan pandangan dunia peradaban Babilonia
kuno, yang berpusat pada supremasi Marduk sebagai penguasa dan penciptaan
manusia untuk memenuhi kehendak para dewa yang sedang memiliki masalah dengan
raksasa-raksasa yang diciptakannya—epik ini bertujuan untuk menunjukkan kuasa
Marduk melebihi para dewa-dewi Babilonia dalam kepercayaan Mesopotamia secara
keseluruhan.</span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
</div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Selain <i>Enûma Eliš</i>, terdapat banyak mitologi lain dari berbagai daerah di
sepenjuru dunia tentang asal-usul alam semesta, ataupun teks-teks religius yang
menjelaskan kisah-kisah genesis. Seiring waktu, peradaban manusia berkembang ke
arah sains alam yang teramat taktis, meneruskan pandangan positivis-logis sejak
masa pencerahan, dan berusaha lepas dari pandangan dunia yang masih mistis
ataupun metafisis, demi beranjak menuju dunia yang bertumpu pada pandangan
sains. Segala hal perlu dibuktikan secara rigor, rumusan ulang untuk menemukan
asal-usul semesta pun dilanjutkan. <span lang="ES">Tapi pengetahuan peradaban manusia masih terbentur dengan tidak
terjelaskan secara rigornya asal-muasal alam semesta.</span> Hingga hari
ini, teori Hermann Minkowski tentang ruang-waktu yang empat dimensi menjadi
penting bagi pandangan saat ini, tapi itu pun tidak bisa menjelaskan fenomena
semesta secara rigor, diteruskan oleh Albert Einstein lewat teori relativitas
khususnya—yang menyatakan bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan ada dalam
satu-kesatuan dan hanyalah kesadaran manusia yang bergerak sehingga melihatnya
sebagai masa-masa berlainan.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sama halnya seperti mitologi kuno,
peradaban modern kontemporer kita pun kembali menghadapi titik itu, ketika
manusia pada akhirnya terbentur pada ketiadaan jawaban. Sebelumnya pada masa
kuno, ia mendayagunakan segenap imajinasinya, dan setelah masa pencerahan, ia
mendayagunakan segenap rasionya, tetapi rasio itu masih tidak mampu memberikan
fakta empiris. Karena, apa bedanya pandangan mitologi ataupun astrologi kuno di
masa Babilonia dengan penemuan Minkowski tentang kesadaran manusia yang ilusif
dalam menghadapi ruang-waktu? Hal ini semestinya dapat membuat peradaban modern
ini berandai-andai, dengan konsep Minkowski dan konsekuensinya dalam kehadiran
teori multijagad, bahwa mungkin saja di ruang-waktu itu ada pula berbagai
semesta paralel yang terhubung ke dunia bawah (sebagaimana konsep Babilonia
tentang <i>underworld</i>) ataupun surga
(konsep Babilonia tentang <i>heaven</i>),
seperti halnya teramat mungkin untuk menemukan sekian ratus kemungkinan lain
keberadaan manusia di semesta paralel itu.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Apabila yang diunggulkan oleh
astronomi modern adalah perhitungan matematisnya yang ketat—yang menjelaskan
proses terciptanya alam semesta melalui <i>big
bang</i> hingga ramalan kapan alam semesta itu akan berakhir dalam suatu keadaan
setimbang/harmoni, pada kenyataannya selain <i>Enûma
Eliš</i> ataupun <i>Enūma Anu Enlil</i>
(catatan astronomis yang berupa pertanda-pertanda langit), peradaban kuno
Mesopotamia sendiri tidak sepenuhnya lepas dari perhitungan-perhitungan rigor
yang berkembang pada zaman itu. Kronologi perkembangan astrologi Babilonia menunjukkan
perhitungan letak benda-benda langit; bintang (bahkan mengukur bujur dan
lintangnya), bulan, dan planet-planet; dan perhitungan kalender. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Astrologi Babilonia terbagi
berdasarkan penelusuran astronomis yang dilakukan masing-masing kekaisaran.
Kronologi yang ditemukan oleh para ahli peradaban Mesopotamia (umumnya menyebut
diri mereka sebagai <i>Assyriolog</i>) menjelaskan
dari Dinasti Pertama di Babilonia (berdasarkan penanggalan Ammi-saduqa I = sejak
tahun 3700 SM), Dinasti Kedua di Isin, Percampuran Dinasti (Nabu-nasir, Sargon—Dinasti
Akkadia, hingga Kandalanu), Dinasti Kasdim, Dinasti Asiria, Dinasti Akhemeniyah
(Persia lama), Dinasti Makedonia, Dinasti Seleukia (Yunani-Makedonia), hingga
Dinasti Arsakid (Armenia). Penelusuran atas peninggalan astronomis tersebut umumnya
dilakukan melalui dekodefikasi atas tinggalan berupa kuneiform.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Astrologi Mesopotamia ini sendiri
memiliki peran penting untuk perkembangan agama dan budaya. Di antara para Assyriolog,
terdapat perdebatan mengenai agama resmi Mesopotamia. Seorang ahli, Hugo
Winckler, menegaskan bahwa sistem religius dan budaya Babilonia sepanjang
sejarah peradaban Asia Barat Daya Kuno (<i>ancient
near east</i>) mendapatkan karakteristiknya dari pengamatan yang tekun atas
fenomena langit. Leo A. Oppenheim di tahun 1964 adalah ahli yang menolak untuk
mengklasifikasikan agama peradaban Mesopotamia secara tunggal. Menurutnya,
dengan adanya lebih dari 2.100 dewa yang disembah, dan juga kurun waktu yang
berbeda untuk keberadaan dinasti-dinasti di Mesopotamia, maka agama yang dianut
oleh masyarakat tidak mungkin tunggal. Jean Bottero, sebaliknya, melalui <i>Religion in Ancient Mesopotamia</i> menolak
pendapat Oppenheim tersebut. Menurutnya, tidak perlu ada kategorisasi “agama
resmi”, “agama privat”, ataupun “agama bagi kaum terpelajar”—apakah suatu
klasifikasi dilakukan berdasar wilayah, Ebla Mari, Asiria, ataukah dilakukan
berdasar periode waktu, Kekaisaran Seleukia (<i>Seleucid</i>), Kekaisaran Akhemeniyah (<i>Achaemenid</i>), periode Kasdim
(<i>Chaldean</i>) dalam Kekaisaran Babilonia
Baru, Kekaisaran Asiria Baru (<i>Neo-Assyrian</i>),
ataukah periode Bangsa Kassite, Babilonia Kuno, Sumeria Baru, ataukah Periode
Akkadia Kuno—karena bagi Bottero, tidak terdapat perbedaan signifikan dari
agama-agama mereka selain fakta bahwa pewarisan kekuasaan dalam dinasti-dinasti
tersebut mewariskan juga sistem religius yang sama. Bagi Bottero,
memisah-misahkan agama di Mesopotamia adalah upaya yang sia-sia belaka.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[2]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Seperti dinyatakan di atas, terkait
betapa pentingnya astrologi dalam sistem agama dan budaya di Mesopotamia,
Winckler hadir dengan pendapatnya yang kemudian menegaskan bahwa klasifikasi
agama dapat dirujuk melalui adanya pengamatan astrologis yang dilakukan secara
ekstensif di Mesopotamia. Pandangan ini dikenal sebagai pandangan
Panbabilonisme (<i>Panbabylonism</i>), yakni
anggapan bahwa budaya dan agama peradaban Asia Barat Daya kuno berakar dari
mitologi Babilonia yang dapat dirunut dari pengamatan astronomi Babilonia kuno.
Selain Hugo Winckler, Friedrich Delitzsch, Peter Jensen, dan Alfred Jeremias
merupakan figur terkemuka dari pandangan Panbabilonisme ini.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[3]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ini menunjukkan pengaruh penting
ilmu perbintangan pada pemaknaan akan kehadiran manusia di tengah semesta yang
saat itu mula-mula belum benar-benar dipahami di peradaban Mesopotamia. Bahwa
sejatinya peradaban Mesopotamia telah pula memiliki pandangan sains yang tidak
bisa dipandang remeh. Agaknya mesti dibayangkan bahwa diperlukan sejarah
teramat panjang untuk menciptakan suatu hukum bahasa yang kemudian memungkinkan
kuneiform dituliskan dan diwariskan hingga hari ini, juga simbol matematika
hingga perhitungan matematis yang ketat mengenai jarak bintang-bintang di
langit. Tujuan artikel ini adalah untuk memaparkan jejak-jejak astrologis dan
astronomis peradaban kuno Sumeria tersebut. Selanjutnya, penulis akan
menghadirkan refleksi atas semua paparan itu dikaitkan dengan perkembangan
teori tentang alam semesta di masa kontemporer ini.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
</div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><a name='more'></a><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><h3 style="text-align: left;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b>Astrologi Babilonia dan Pertanda (<i>Omens</i>)</b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Orang-orang di peradaban
Mesopotamia percaya bahwa Tuhan akan mengabarkan tentang peristiwa-peristiwa di
masa depan kepada umat manusia. Oleh karena itu, mereka mempercayai beragam
cara pertanda itu disampaikan: jejak yang tertinggal pada hewan kurban dalam
suatu upacara persembahan, bentukan minyak yang dituangkan ke air, pertanda dalam
kejadian sehari-hari, ataupun melalui fenomena langit (atmosferis maupun
astronomis).<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[4]</span></span></a> Pertanda
dalam fenomena langit ini menyangkut raja, dinasti, ataupun politik
sehari-hari. Gerhana bulan adalah salah satu pertanda bahaya, oleh karenanya
terdapat ritual pada hari tersebut untuk menghapuskan marabahaya. Hal ini
tertulis dalam tablet periode Kekaisaran Seleukia dari Uruk, di mana sebuah
drum perak dipergunakan dalam ritual tersebut.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[5]</span></span></a>
Peramalan adalah kegiatan intelektual penting di Mesopotamia, metode yang
biasanya digunakan adalah “Bila x (diobservasi), maka y (konsekuensi)”,
observasi dilakukan dengan mengandalkan pada pengamatan atas fenomena
atmosferis ataupun astronomis.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[6]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><b><span style="font-size: small;"><span><i>Tahun
2000 SM: Periode Babilonia Kuno, Babilonia Pertengahan, dan Akkadia Pertengahan</i></span></span></b><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sebagian besar peninggalan pada
periode Babilonia Kuno berfokus pada gerhana bulan, seperti ditemukan dalam
empat tablet yang membahas hal ini. Keempat tablet ini adalah prototipe bagi
kelanjutan teks yang dikumpulkan dalam <i>Enūma
Anu Enlil</i>. Temuan ini juga ditemukan di luar wilayah Babilonia, yakni di
Mari, Emar, Ugarit, dan Alalah. Sebuah temuan di barat Mesopotamia, yakni di
Hattušsa justru menemukan pertanda berkaitan dengan gerhana matahari,<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[7]</span></span></a>
dan sebuah temuan lain di Nuzi menunjukkan pertanda berkaitan dengan gempa
bumi.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[8]</span></span></a>
Dari Mesopotamia sendiri, hanya sedikit tablet yang memuat tentang kaitan
antara pertanda dan amatan akan fenomena langit, hanya terdapat lima temuan.
Dua tablet berasal dari peninggalan masa transisi Babilonia Kuno ke Babilonia
Baru, tiga lainnya hadir berdekatan dengan perumusan <i>Enūma Anu Enlil</i>.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<b><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Tahun
1500 SM: </i>Enūma Anu Enlil<i>, Teks
Non-kanonik, dan Panduan Peramalan</i></span></span></span></b></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Teks pada periode ini menyangkut
peninggalan tablet Dinasti Asiria Baru. Pada awal 1500 SM, pertanda tentang
langit dikumpulkan dalam tablet bernama <i>Enūma
Anu Enlil</i>, kemungkinan dikumpulkan pada periode Kassite (1595-1157 SM),
meski sebagian prototipe berasal dari masa yang lebih tua lagi pada periode
Babilonia kuno (1950-1595 SM). Kontennya adalah tentang peredaran bulan,
fenomena terkait matahari, musim, dan gerakan bintang dan planet. Tiga belas
tablet menjelaskan tentang bulan dan variasi penampakannya pada hari-hari
tertentu. Tablet ke-15 hingga ke-22 berisi tulisan tentang gerhana bulan,
tanggal kemunculannya, dan ramalan wilayah kemunculannya. Tablet ke-23 hingga
ke-29 berisi penampakan matahari, warna, tanda-tandanya, dan kaitannya dengan
langit. Gerhana matahari dibahas dalam tablet ke-30 hingga ke-39. Tablet ke-40
hingga ke-49 berisi tentang fenomena alam berupa cuaca dan gempa bumi, dengan
perhatian khusus pada kemunculan halilintar. Dua puluh tablet terakhir berisi
tulisan tentang bintang dan planet.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[9]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><b><br />
</b></span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<b><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Tahun
500 SM: Proto-horoskop dan </i>Hypsomata</span></span></span></b></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Pada paruh akhir 500 SM, horoskop
bermula di Babilonia. Rochberg-Halton (1989) memberikan informasi tentang 32
horoskop yang dipergunakan sejauh ini. Dalam soal <i>hypsomata</i>, istilah Babilonia <i>asar
nisirti or bit nisirti</i> secara harfiah bermakna “tempat rahasia” muncul
beberapa kali untuk menjelaskan posisi planet-planet. Kemunculan pertama pada
teks Esarhaddon dari Asiria, yang menjelaskan bahwa Jupiter menyentuh <i>asar nisirti</i> pada bulan <i>Pet-babi.</i> Pada saat itu, letak Jupiter
adalah di antara rasi bintang Cancer dan Leo, yang berarti Jupiter ada pada 91
bujur derajat. Dalam artian ini, dikatakan bahwa penggambaran ini menunjukkan
planet-planet pada <i>hypsomata</i>-nya.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: left;"><h3>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></h3></div><h3 style="text-align: left;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;">
<span><span>
</span></span>
</span></span></span></h3><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: left;"><h3>
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b>Astronomi Babilonia </b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<b><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Periode
Awal: Astronomi dalam </i>Enuma Anu Enlil</span></span></span></b></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-autospace: none;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Periode astronomis ini
berkaitan pula dengan tablet ke-63 dari <i>Enuma
Anu Enlil</i>, yang menggambarkan posisi Venus.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[10]</span></span></a>
Tablet ini menunjukkan letak planet pada bulan tertentu, seperti tablet-tablet
lainnya yang diamati. Periode ini secara terperinci menghasilkan temuan-temuan
terkait Astrolab, Teks “Tiap Tiga Bintang”, MUL.APIN, I.NAM.GIŠ.HUR.AN.KI.A,
Teks Bintang Ziqpu, Teks GU, Teks DAL.BA.AN.NA, hingga Teks Pengawasan-waktu.
Terlalu rumit untuk membahasakannya kembali, tetapi paling tidak pada periode
ini diketahui bagaimana cara membedakan antara planet dan bintang dalam
penjelasan MUL.APIN sebagai planet yang merupakan “benda yang terus mengubah
posisinya dan bercahaya menyentuh bintang-bintang di langit”, dikatakan lebih
lanjut bahwa adanya lima planet di langit sebagai “enam dewa yang memiliki
posisi sama”.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[11]</span></span></a> Sementara
teks dalam tablet I.NAM.GIŠ.HUR.AN.KI.A mencakup posisi bulan dan spekulasi
pengaruh bulan atas hari-hari di bumi,<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[12]</span></span></a>
teks DAL.BA.AN.NA menjelaskan situasi dari bintang-bintang,<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[13]</span></span></a>
dan teks <span style="line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">pengawasan-waktu
dalam prismagading berisi penjelasan kalender mengenai waktu yang diukur
berdasarkan </span><i><span style="line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN;">bēru </span></i><span style="line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN;">dan UŠ merentang siang hingga malam
pada kedua belas waktu musiman. Setiap representasi waktu harian <i>nychdiemeron</i> terdiri atas 24 jam; di
sinilah pembagian waktu 12 jam siang dan 12 jam malam ditentukan.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: left; text-autospace: none;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<b><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Tahun
1000 SM: Observasi dan Prediksi Periode Sargonid</i></span></span></span></b></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Para periode ini ditemukan catatan harian astronomis dan
almanak perbintangan. Surat dan laporan menyangkut pertanda langit dikabarkan
oleh kaum terpelajar kota kepada raja Dinasti Asiria di Niniwe. Observasi
tentang matahari dan bulan yang berada dalam posisi oposisi di pertengahan
bulan adalah hal yang kerap dikabarkan dalam surat tersebut,<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[14]</span></span></a>
selanjutnya adalah prediksi tentang planet-planet dan konstelasinya.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[15]</span></span></a>
Sementara itu, catatan harian astronomis merekam hasil observasi dan komputasi
setiap periode dalam setengah tahun, rekaman tertua berasal dari 652 SM, tapi
di Babilonia disinyalir telah dikemban<span style="line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">gkan sejak era </span><span style="line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN;">Nabû-nâçir pada 746 SM. Ada dugaan
bahwa tujuan kompilasi catatan harian ini bukan lagi untuk melakukan pembacaan
pertanda, tetapi sudah lebih ditujukan pada interpretasi untuk keperluan
pengembangan ilmu astronomi.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[16]</span></span></a></span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<b><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i>Periode
Teks Teoretis : Siklus “Saros”, Siklus 19-Tahunan, Teks Proto-prosedural</i></span></span></span></b></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Peradaban Mesopotamia mengembangkan
beberapa jenis siklus, di antaranya adalah siklus Saros (terkenal lantaran
Edmund Halley menerapkan nama ini untuk siklus gerhana pada 1691) yang
diberikan dengan perumusan sebagai berikut: satu siklus terjadi dalam 223 bulan
sinode = 242 bulan drakonitik = 239 bulan anomali = 241 bulan sidereal = 18
tahun. Dalam tahun solar, diberikan perhitungan yang lebih akurat, yakni 18
tahun lebih 10,40 hari. Sementara itu, Siklus-19 Tahunan terkenal dari
sumber-sumber Yunani di Atena oleh seorang astronom Meton, perhitungan ini
dipergunakan juga dalam kalender Yahudi, menerangkan bahwa satu siklus
19-tahunan = 235 bulan sinodik. Pada periode ini, perhitungan noda-noda planet
dan bintang dihitung dengan ketepatan letak lintang dan bujurnya yang
menunjukkan kehadiran suatu teks proto-prosedural dalam meneliti benda-benda langit.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><h3 style="text-align: left;">
<span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b>Kosmologi Babilonia</b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Ini adalah bagian paling menarik
dari suatu peradaban kuno: bagaimana mereka menciptakan cerita untuk memberikan
makna kehadiran mereka di dunia. Peradaban Mesopotamia kuno lewat <i>Enûma Eliš</i> menjelaskan tegangan dari
realitas purba (Apsû yang merepresentasikan air tawar dan Tiamat yang
merepresentasikan samudera), diciptakan tujuh dewa di antaranya Ea dan
saudara-saudaranya yang mengganggu Tiamat dan Apsû. Dari persoalan itu, terjadi pertentangan
yang amat serius, dengan Ea membunuh Apsû, Ea menjadi dewa tertinggi, menikahi
Damkina, dan memiliki putra bernama Marduk. Lantas, terjadi pembalasan dendam
dari Tiamat yang kemudian menciptakan sebelas monster. Namun, Marduk memiliki
strategi untuk melemahkan serangan dengan mengajukan penawaran kepada para
monster. Tiamat menantang Marduk, dan Marduk lantas membelah tubuh Tiamat
menjadi dua, dari sana tercipta langit dan bumi. Marduk lantas menciptakan
kalender, mengatur peredaran planet dan bintang, dan bulan, matahari, juga
cuaca.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[17]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Selain peninggalan kuneiform yang
menghadirkan kosmologi <i>Enûma Eliš</i>,
peradaban Mesopotamia juga memiliki peninggalan berupa <i>Enūma Anu Enlil</i> yang memberi penjelasan tentang fenomena langit,
dikaitkan dengan gerak semesta terkait dengan keberuntungan atau marabahaya
yang barangkali dihadapi oleh dinasti-dinasti di peradaban Mesopotamia kuno.
Dalam perkembangannya pada kurun lebih dari seribu tahun, pengamatan sederhana
sekadar melalui melihat titik-titik kecil di langit berkembang menjadi
perhitungan yang semakin serius. Meski mulanya amatan atas fenomena langit
tersebut digunakan sebagai cara untuk meramalkan sesuatu (sebagai pertanda—<i>omen</i>), dan kemudian sebagai suatu
proto-horoskop, lantas lewat astrolab terdapat perkembangan dalam melihat
letak-letak benda langit, perhitungan-perhitungan yang kian serius tersebut
mengarah pada dan memberikan pendasaran astronomis yang dapat dikatakan serius.</span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
</div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Lantaran keterbatasan waktu dan
sumber, penulis hanya mengajukan pertanyaan hipotetis: mengandaikan bahwa semua
penemuan astrologi dan astronomi—dengan kalkulasinya yang amat rigid—tersebut
bisa jadi terwariskan pada peradaban-peradaban lain, atau memberikan pengaruh
pada peradaban lain yang berkembang setelah masa dinasti-dinasti Mesopotamia
kuno. Dengan demikian, penulis memandang suatu warisan yang amat kaya telah
disumbangkan oleh peradaban Mesopotamia kuno pada perkembangan astronomi—yang
kemudian memungkinkan manusia memperhitungkan banyak hal lainnya, termasuk
menjelajahi keberadaan planet dan bintang-bintang dalam semesta, untuk dapat
membayangkan posisi manusia di semesta.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dari ajuan hipotetis tersebut,
penulis menolak memandang peralihan narasi mitis ke sains sebagai peralihan
cara pikir tidak rasional ke cara pikir rasional. Kembali jauh ke periode
Mesopotamia kuno, kendati masyarakat dalam peradaban itu pada mulanya
menggunakan pengamatannya atas fenomena langit untuk tujuan yang agaknya
terhitung mitis (meramalkan marabahaya melalui <i>omen</i> ataupun menerapkan penggunaan horoskop), mereka telah
menerapkan perhitungan matematis yang rigid. Kehadiran dewa-dewi ataupun adanya
tujuh tingkat semesta adalah irasional, tetapi itu bila dikaji melalui semata-mata
penalaran empiris. Pada kenyataannya, justru dengan pemahaman mitis itu, mereka
memiliki kebijaksanaan untuk menjaga Bumi. Lebih tepat untuk mengatakan bahwa
peradaban Mesopotamia kuno menerapkan cara pikir (rasionalitas tersendiri) yang
berbeda dengan cara pikir peradaban kontemporer setelah zaman pencerahan—dan bukan
berarti mereka tidak rasional. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b>Kepustakaan</b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpFirst" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Bottero, Jean. (2001). <i>Religion
in Ancient Mesopotamia</i>. Chicago: University of Chicago Press. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Foster, Benjamin R. (1995). <cite>From Distant Days: Myths, Tales,
and Poetry of Ancient Mesopotamia. <b>vi</b>. Bethesda</cite><cite><span style="font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">. Maryland: CDL Press.</span></cite></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><cite><span style="font-style: normal;">_________________. </span></cite>(2005). <i>Before
the Muses: An Anthology of Akkadian Literature</i> Maryland: CDL Press.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span class="reference-text">Gold,
Daniel. (2003). <i>Aesthetics and Analysis in Writing on Religion: Modern
Fascinations</i>. California: University of California Press.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Hunger, Hermann dan David
Pingree. (1999). <i>Astral Sciences in
Mesopotamia: Handbook of Oriental Studies. </i>Leiden: Koninklijke Brill.<cite></cite></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><cite><span style="font-style: normal;">Jacobsen, T. (1976).</span></cite><cite> The Treasures of Darkness : A History of
Mesopotamian Religion. </cite><cite><span style="font-style: normal;">New Haven: Yale University Press.
</span></cite><cite> </cite><cite></cite></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span class="reference-text">Scherer,
Frank F. (2015). <i>The Freudian Orient: Early Psychoanalysis, Anti-Semitic
Challenge, and the Vicissitudes of Orientalist Discourse</i>. Maryland: Kanarc
Books.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Smith, George. (1876). <span class="reference-text"><i>The Chaldean Account
of Genesis</i>. (London, 1876) dalam <a href="http://www.sacred-texts.com/ane/caog/index.htm">http://www.sacred-texts.com/ane/caog/index.htm</a>.
</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span>
</span></span><div class="MsoFootnoteTextCxSpLast" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span class="reference-text">Swerdlow,
N. M. (2014). The Babylonian Theory of the Planets. (New Jersey: Princeton
University Press.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><br />
<span><span>
</span></span>
</span></span><div>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br clear="all" /></span></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpFirst" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[1]</span></span></a>Lih. George Smith, <span class="reference-text">"The Chaldean Account of Genesis" (London,
1876), <a href="http://www.sacred-texts.com/ane/caog/index.htm">http://www.sacred-texts.com/ane/caog/index.htm</a>.
</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[2]</span></span></a> Lih. Jean Bottero. <i>Religion
in Ancient Mesopotamia</i> (Chicago, 2001). </span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[3]</span></span></a> Lih. <span class="reference-text">Gold, Daniel. <i>Aesthetics and Analysis in Writing on
Religion: Modern Fascinations</i>. <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/University_of_California_Press" title="University of California Press"><span color="windowtext" style="text-decoration: none; text-underline: none;">(California, 2003)</span></a>, hlm.
149-158 dan Scherer, Frank F. <i>The Freudian Orient: Early Psychoanalysis,
Anti-Semitic Challenge, and the Vicissitudes of Orientalist Discourse</i>
(London, 2015), hlm. 18.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[4]</span></span></a> Lih. Hermann Hunger dan
David Pingree. <i>Astral Sciences in
Mesopotamia: Handbook of Oriental Studies </i>(Leiden, 1999), hlm. 5.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[5]</span></span></a> <i>Ibid</i>, hlm. 6.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[6]</span></span></a> Lih. Benjamin R. Foster. <i>Before the Muses: An Anthology of Akkadian
Literature</i> (Maryland, 2005), hlm. 36.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[7]</span></span></a> Lih. Hermann Hunger dan
David Pingree. <i>Astral Sciences in
Mesopotamia: Handbook of Oriental Studies </i>(Leiden, 1999), h. 9. </span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[8]</span></span></a> <i>Ibid</i>, h. 11.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[9]</span></span></a> Lih. <span class="reference-text">N. M. Swerdlow, <i>The
Babylonian Theory of the Planets</i></span><span class="reference-text"><i> </i></span><span class="reference-text"><span lang="EN-US">(New Jersey, 2014)</span></span><span class="reference-text">, hlm.<i> </i>45 dan </span>Hermann Hunger dan David Pingree. <i>Astral Sciences in Mesopotamia: Handbook of
Oriental Studies </i>(Leiden, 1999)<span class="reference-text">, hlm. 12-26.</span></span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn10">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[10]</span></span></a> Lih. Hermann Hunger dan
David Pingree. <i>Astral Sciences in
Mesopotamia: Handbook of Oriental Studies </i>(Leiden, 1999), h. 32.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn11">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[11]</span></span></a> <i>Ibid</i>, h. 73.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn12">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[12]</span></span></a> <i>Ibid</i>, h. 84.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn13">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[13]</span></span></a> <i>Ibid</i>, h. 101.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn14">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[14]</span></span></a> <i>Ibid</i>, h. 116-122.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn15">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[15]</span></span></a> <i>Ibid, </i>h. 123-138.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn16">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpMiddle" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[16]</span></span></a> <i>Ibid,</i> h.139.</span></span></span></div>
</div>
<div id="ftn17">
<div align="left" class="MsoFootnoteTextCxSpLast" style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference">[17]</span></span></a> Lih. <cite><span style="font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">Foster, B.R.</span> From
Distant Days : Myths, Tales, and Poetry of Ancient Mesopotamia</cite><cite><span style="font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;"> (Maryland, 1995),</span> </cite><cite><span style="font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">hlm. 438 dan Jacobsen, T. </span>The
Treasures of Darkness : A History of Mesopotamian Religion. </cite><cite><span style="font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">(New Haven, 1976)</span>. </cite><cite><span style="font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">hlm. 273.</span></cite></span></span></span></div>
</div>
</div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span>
</span></span><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:DoNotShowRevisions/>
<w:DoNotPrintRevisions/>
<w:DoNotShowInsertionsAndDeletions/>
<w:DoNotShowPropertyChanges/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
text-align:justify;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]--></span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-23655236749047536852017-10-20T16:40:00.004+07:002023-08-01T19:20:07.677+07:00Perjalanan Pertama di Paris<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><span><span>Saat saya pulang pada pukul setengah sepuluh petang, ibu
semang saya sedang menyimak televisi dalam siaran berbahasa Perancis, sebelum
kemudian berganti ke tayangan berbahasa Mandarin ketika saya mengambil makanan.
Masih ada beberapa bahasa lagi yang dipergunakannya secara aktif, di antaranya
bahasa Rusia, Jepang, dan Spanyol, dan tampaknya sedikit bahasa Arab. Tapi yang
paling menguntungkan bagi saya adalah karena ia berbicara dengan saya dalam
bahasa Indonesia.</span></span></span></span><br /></span></span>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>“Jadi, bagaimana petualanganmu di hari perdana ini?” Dia
bertanya.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Saya menyendok menu makan malam di hadapan saya, dan mulai
bercerita tentang pertemuan saya dengan seorang perempuan Maroko bernama Nesha.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>“Oh, orang Maroko. Di sini memang banyak orang-orang Afrika,
mereka pernah jadi koloni Perancis,” sahut ibu semang saya.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Ayah Nesha meninggal enam tahun lalu, dan dia baru saja
menjenguk ibunya yang sedang sakit—ibunya tinggal di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">banlieue</i> juga seperti saya sementara Nesha tinggal di area
Trocadero dekat Menara Eiffel. Dia sempat berbelanja bahan makanan, lalu
kebetulan bertemu saya di stasiun RER C Les Saules.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Nesha membantu saya membuat kartu transportasi umum berlanggan
bulanan yang dapat memudahkan saya yang tinggal di pinggiran Paris—istilah
lokal, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">banlieue</i>—untuk mencapai Paris
dengan tarif terjangkau. Orang-orang di Paris dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">banlieue</i> terbiasa berjalan kaki—atau menggunakan otoped ataupun
sepeda—dan untuk jarak jauh mereka memilih menggunakan transportasi umum:
metro, RER (untuk mengantarkan ke wilayah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">banlieue</i>
A hingga D), bus, dan trem dengan sistem SNCF yang menggunakan kartu atau tiket
Navigo. Tentunya, dibantu membuat kartu Navigo oleh warga lokal menjadikan
pengalaman di hari perdana itu sebagai bentuk perkenalan yang menyenangkan
dengan kota ini.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Saya memilih Paris sebagai tujuan residensi penulis, sebuah
program beasiswa yang digagas oleh pemerintah, dan karena alasan membutuhkan keringanan
finansial saya kemudian memutuskan tinggal di wilayah Orly, di pinggiran
selatan Paris. Ibu semang saya menjelaskan sekelumit tentang tempat kami
tinggal, yang baginya dapat diistilahkan sebagai “cukup kiri”. Di daerah kami,
pemerintah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">municipal</i> mewajibkan apartemen
privat (dalam artian, semacam apartemen yang dihuni oleh orang-orang kaya) dan
apartemen pemerintah (semacam apartemen yang disubsidi oleh negara) untuk
dibangun saling berdampingan—dan beberapa nama pemikir ataupun politisi kiri
Perancis menjadi nama <i style="mso-bidi-font-style: normal;">rue</i> dan<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> avenue</i> daerah itu. Ibu semang saya menyewa
apartemen pemerintah dengan tarif relatif terjangkau bagi seorang pensiunan
sepertinya, di avenue Adrien Raynal, yang diambil dari nama seorang komunis
militan.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Setelah membantu saya dengan kartu transportasi umum itu,
Nesha bilang dia ingin ke kebun binatang, yang terletak di salah satu stasiun
yang akan saya lewati juga, sebelum pulang ke rumah, dan menawari saya untuk menyertainya.
Saya mengiyakan ajakannya. Kami akan berhenti di stasiun metro Gare
d’Austerlitz, sebelum saya melanjutkan perjalanan ke stasiun metro Crimée,
untuk mendaftarkan diri ke sebuah tempat kursus bahasa Perancis, dan dia pulang
ke Trocadero.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Tempat kursus bahasa Perancis murah itu terletak di bilangan
kanal Villette. Saya pikir, mengikuti kursus akan membuat saya punya alasan
untuk sekali jalan menuju pusat kota Paris, meriset ke perpustakaan ataupun
museum, yang jaraknya satu jam perjalanan metro dari rumah kos saya di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">banlieue</i>, sekaligus berinteraksi secara
wajar dan rutin dengan penghuni kota. Dengan berbagai pembenaran untuk
mengeluarkan sepeser uang demi kursus, saya menambahkan satu alasan yang terdengar
bijaksana bagi diri sendiri: jika kelak saya ingin iseng menerjemahkan karya
sastra Perancis ke bahasa Indonesia, bekal bahasa ini bisa membantu saya.
Nantinya ketika pulang ke Indonesia, saya tinggal mendalami lagi.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Beberapa pekan setelahnya, saya bertemu Johanna Lederer,
seorang pendiri sebuah komunitas pencinta kebudayaan Indonesia, Komunitas Pasar
Malam—nama yang disitir dari buku Pramoedya Ananta Toer <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Bukan Pasar Malam</i>, ia bersepakat untuk menerjemahkan dua cerita
pendek saya ke dalam bahasa Perancis dan menerbitkannya dalam jurnal terbitan
mereka. Pertemuan itu membuat saya berpikir, mengapa tidak, untuk punya impian membalas
jasa dengan menerjemahkan karya sastra Perancis juga suatu saat nanti?</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Sepanjang perjalanan, saya memperhatikan orang-orang di
sekeliling saya. Banyak, teramat banyak gelandangan—entah itu warga lokal yang
menjadi pengangguran dan tak mampu menyewa hunian lagi ataupun imigran yang
menggelandang karena tak memperoleh perlindungan pemerintah.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Ada juga banyak wisatawan, karena Paris adalah destinasi pertama
dunia dalam hal wisata: para wisatawan kaya yang tampak dari dandanannya—yang
tentu didominasi oleh orang-orang China—dan para wisatawan miskin yang
menggendong ransel lusuh dan menggeret kopernya ke mana pun, barangkali sedang
mencari hostel murah lainnya yang bisa disewa untuk beberapa hari.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Lantas, warga lokal yang membawa tas belanjaan penuh barang,
atau menuntun anjing yang lehernya diikat tali, atau mendorong troli bayi, atau
menjinjing otoped, atau memanggul sepeda dan helmet.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Orang dari ras berbeda bercampur baur: kulit hitam, kulit
sangat hitam, kulit kuning, kulit putih, kulit sangat putih, rambut merah,
rambut pirang, rambut hitam, rambut warna-warni, dengan gaya berpakaian yang
berbeda-beda, dengan tatapan dan gestur janggal yang tak terpahami, ataupun
dengan suara keras terdengar sedikit berteriak di telepon. Soal kebiasaan
bertelepon ini, di hampir setiap pinggir jalan, kita akan mendapati orang-orang
kulit hitam yang getol mengobrol dengan lawan bicaranya di telepon dengan
bahasa yang campur baur: Arab, Perancis, Inggris, dan entah apa lagi.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Di tengah banyak orang yang menarik bagi saya dan ingin saya
ajak bicara satu persatu tapi tidak memungkinan untuk melakukannya, pertemuan
dengan Nesha mencukupi rasa penasaran saya untuk mengenal <i style="mso-bidi-font-style: normal;">yang lain</i>.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Nesha mengaku bahwa dia menjadi warga negara Perancis karena
orang tuanya menetap dan membesarkannya di sana, walaupun pada mulanya itu
bukan perkara mudah—sebagaimana yang terjadi pada imigran-imigran negara Afrika
bekas koloni Perancis juga. Lantaran cerita yang saya dengar darinya, dia menjadi
orang pertama yang membuat saya berpikir untuk menulis kisah-kisah tentang
orang-orang imigran—dan kemudian mengunjungi museum imigran, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">musée national de l’histoire de
l’immigration</i>.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Sore sebelumnya, di hari pertama saya tiba di Paris, ibu semang
juga telah mengajak saya berkenalan dengan orang-orang perahu (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">boat people</i>). Pertemuan yang entah
disengaja atau tidak, karena ia memang berencana menjamu kedatangan saya dengan
makan nasi goreng ikan teri pedas di sebuah restoran Vietnam favoritnya—orang-orang
di restoran itu adalah mereka yang pernah mengalami derita mengapung di lautan
lepas selama berhari-hari demi menyelamatkan diri dari Perang Vietnam, “Saat
mengapung itu, kami selama tiga hari tidak makan dan tidak mungkin meminum air
laut,” begitu katanya.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Kami berjalan melintasi taman dan Nesha tiba-tiba
mencerocos, “Cowok-cowok Perancis itu brengsek, tuh kamu lihat, mereka bakal
merayu ceweknya dengan barang murah. Setelah si cewek berhasil dijerat hatinya,
si cowok nantinya pasti mengajak makan, tapi maunya minta dibayarin si cewek
saja.”</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tapi, bukankah
kebanyakan laki-laki memang seperti itu atau tidak seperti itu atau berada di
irisan itu?</i> Melakukan generalisasi adalah perilaku yang payah ketika hidup
di tengah orang-orang dengan berbagai latar belakang seperti ini. Sejauh ini,
memang tak terjadi perselisihan antara warga lokal dan pendatang. Tapi apa yang
saya tahu? Seorang penulis kontemporer Perancis, Michel Houellebecq, dalam karya
terbarunya menunjukkan kebenciannya pada imigran dan semacam fobia terhadap
Islam, dan entahlah apakah ia akan mempengaruhi lebih banyak orang lagi atau
tidak. Perdana menteri Perancis, Manuel Valls, dalam sebuah wawancara bahkan
berani menyatakan, “Perancis itu bukan Houellebecq, Perancis bukan negeri
intoleran, penuh kebencian dan rasa takut.” Meskipun, sebenarnya masih
kontroversial apakah Houellebecq ini melancarkan kritik pada Islam secara umum,
ataukah hanya militan Islam seperti karakter yang dipilihnya dalam novelnya.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Saya menatap wajah Nesha sungguh-sungguh, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">apakah dia pernah dibuat patah hati oleh
seorang pemuda Perancis</i>? Pada akhirnya, saya mendapati alasannya menjadi
sesinis itu, karena kemudian dia bilang dia tak pernah menikah, dan tak sedang
punya pacar—di usianya yang sudah memasuki usia pensiunan. Sialnya, dia tampak
tiga puluh tahun lebih muda dari usia biologisnya.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Tampaknya dia bisa kelihatan semuda dan seenergik itu karena
sangat menikmati hidup. Pemerintah Perancis memastikan para pensiun dan para
penganggur untuk dapat mengunjungi tempat-tempat publik yang berbayar dengan
gratis. Bukan hanya tempat wisata, saya dengar beberapa tempat makan pun dapat
memberikan makanan gratis kepada para penganggur. Untuk soal kunjungan gratis
setiap saat ke tempat-tempat wisata, Nesha memanfaatkan statusnya sebagai
pensiunan dengan sebaik-baiknya. Hampir setiap hari, dia berkunjung ke kebun
binatang.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>“Kenapa bukan ke museum atau tempat wisata lain yang lebih
disukai turis?” tanya saya.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Dia sendiri merasa janggal menjawab pertanyaan saya, baginya
itu adalah caranya mengisi kekosongan ditinggal mati ayahnya yang semasa hidup
gemar mengunjungi kebun binatang.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Semua pekerja di tempat itu mengenalnya, menyapanya dengan
ramah saat Nesha lewat. Dia bahkan secara sukarela menjadi pemandu yang
menjelaskan tentang segala tabiat binatang di sana kepada para pengunjung yang
datang. Saya menyukai berjalan di sisinya, memandang orang-orang yang mengagumi
pengetahuan Nesha tentang kebun binatang itu. Kami bertahan di sana hingga jam
tutup kebun binatang, dan berpisah di stasiun metro setelah bertukar nomor
kontak. </span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Saat sendirian tanpa ditemani Nesha di dalam metro di
perjalanan ke tempat kursus ataupun perjalanan pulang ke rumah, saya mulai merasa
terasing.</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Dengan jas ataupun pakaian formalnya, saya bertanya-tanya
apakah salah seorang dari orang-orang yang membaca buku-buku tebal di hadapan
saya itu mengajar di universitas bergengsi? Ataukah orang parlemen? Apakah di
antara mereka yang membaca buku itu, salah seorangnya adalah penulis muda Perancis
dan sedang meniti kariernya?</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><br /></span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;"><span><span>Di dalam metro ini, bukan hanya soal ras dan warna kulit,
ataupun kepercayaan yang dianut, orang-orang kaya dan orang-orang miskin, para
figur publik dan orang biasa tampak tidak keberatan untuk saling membaur—dan
saya, meski terasing, entah kenapa sekaligus juga merasa turut membaur di
tengah keberagaman ini. Tidak seorang pun dari kami memandang aneh kepada satu
sama lain, terlepas dari demikian banyak perbedaan secara fisik, dan hanya
karena itu, di akhir hari saya merasa seperti tidak sedang berada di tempat
asing. [*]</span></span></span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: verdana;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-53822735761046234552017-04-28T18:59:00.001+07:002021-06-02T19:06:20.381+07:00Kita Bahkan Tidak Perlu Berbisik<p style="text-align: center;"> </p><p style="text-align: center;"> <span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i><b>(Cerpen ini dimuat di Jurnal Perempuan No. 93/2017) </b></i></span></span><br /></p><p><span style="font-family: verdana;"></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br />SEPULUH
tahun telah lewat bagi kami. Itu adalah waktu saya untuk mulai
menyukainya, mencintainya, dan menjalin hubungan, hingga merelakan ia
pergi selamanya dari hidup saya. <br /><br />Sore itu hujan, saya mendorong
kursi roda kekasih saya itu. Ia bersikeras meminta saya meninggalkannya
sendiri di kamar rumah sakit yang pengap oleh bau obat-obatan. Saya
bilang saya tak cukup nyali untuk harus kehilangannya tanpa
sepengetahuan saya. <br /><br />“Aku ingin makan bubur di kafeteria,”
ujarnya pada hari terakhir itu. Sementara dibiarkannya senampan makanan
dari rumah sakit tak tersentuh. <br /><br />Sepanjang perjalanan menuju
kafeteria, kami melihat banyak burung gereja beterbangan di langit,
“Besok aku akan menjadi salah satunya,” katanya. Saat itu ia seolah-olah
sepenuhnya menyerah akan hidup. <br /><br />Entah apa yang ada di
pikirannya. Yang jelas, lama setelah menerima kabar mengenai kanker yang
ia derita, saya menyadari tak lama lagi saya akan kehilangan kekasih
saya. Dan hanya bisa mendorong kursi roda pria itu saat ia sedang merasa
hampir mati membuat saya merasa tak berguna. <br /><br />Sepuluh kilogram
bobot tubuhnya turun selama setahun ia menjalani kemoterapi. Kanker otak
yang ia derita baru kami ketahui ketika sudah menjelang stadium akhir. <br /><br />“Seandainya
kita bisa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu,” ujarnya saat itu.
“Mungkin seharusnya kita tidak pernah bertemu. Waktumu terbuang sia-sia,
sepuluh tahun kamu habiskan hanya untuk menemani pria yang akan mati.” <br /><br /> </span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br />KAMI
sampai di kafetaria rumah sakit. Saya memesan dua mangkuk bubur ayam
dan dengan sigap mengambil dua botol air ukuran sedang. <br /><br />Darah
mengucur dari hidung kekasih saya. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya
untuk menghapus darah itu. Dua minggu sebelumnya, kedua tangannya mulai
lumpuh. <br /><br />“Kita seharusnya benar-benar tidak usah bertemu,”
rajuknya. Darah dari hidungnya terus mengucur dan tak berhenti. Saya
ambil tumbukan daun sirih dari wadah plastik di dalam ransel dan saya
letakkan di lubang hidungnya. Beberapa saat, darahnya berhenti. <br /><br />“Atau, seandainya kita segera menikah di tahun pertama perkenalan kita.” Ia masih meneruskan kelakarnya. <br /><br />Saya
terpaku mendengar kalimat terakhirnya. Barangkali kami memang sebodoh
itu karena meniru kisah percintaan Jean Paul Sartre dan Simone de
Beauvoir. Kami melewatkan sepuluh tahun hanya untuk berpacaran, bekerja,
dan bervakansi menjelajahi tempat-tempat asing. Kami terlalu banyak
membual soal kehidupan berumah tangga, merencanakan jumlah anak, dan
rumah idaman, tanpa pernah merealisasikannya. <br /><br />“Kita bahkan belum dikaruniai keturunan,” lanjutnya. <br /><br />“Seandainya
kamu bisa mendonorkan spermamu sebelum meninggal,” saya mencandainya.
Ia tertawa, tapi tawanya tidak bisa selincah sebelum kanker bersarang di
otaknya. Dulu setiap saya berlelucon, saya selalu menerima kecupan
mesra darinya di kening. <br /><br />“Carilah pria lain setelah aku meninggal,” pintanya. <br /><br />“Bagaimana
dengan opsi mengadopsi seorang anak?” jawab saya, “Dan menamainya
dengan namamu atau nama orang-orang yang kita idolakan?” <br /><br />Ia tersenyum, tetapi air mata jatuh di pipinya. Itu hari pertama dan hari terakhir saya melihat air mata di wajahnya. </span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /><br />SAYA
akhirnya mengadopsi seorang anak dan membangun usaha sendiri. Anak itu
saya namai Gandhi, sebagaimana kekasih saya dan saya mengagumi Mahatma
Gandhi. Lima tahun telah berlalu semenjak saat itu. Saya sudah tidak
mampu mengingat lagi bagaimana perasaan saya sewaktu melihat jenazah
kekasih saya di ranjang rumah sakit. Usaha yang saya rintis membuat saya
sepenuhnya melupakan impian berumah tangga. <br /><br />Saya selalu membuka
toko buku dan kafe setiap pukul enam pagi lewat sedikit, dan menutupnya
ketika sudah larut. Terkadang, saya juga tidak menutupnya sama sekali.
Selalu ada orang-orang yang bermalam di kafe karena larut dalam
pembicaraan. Pagi ini sekitar tiga atau empat pasangan kekasih memesan
kopi dan menu sarapan ringan setelah semalaman tak pulang. Buku-buku
bacaan ringan dari toko buku menumpuk di meja, masih bersegel, menjadi
bantal tidur mereka. <br /><br />“Ini masih bisa dilakukan sendiri. Biarkan saya yang angkat,” terdengar suara seorang pria tua dari kejauhan. <br /><br />Pukul
tujuh pagi, tetangga saya sudah banyak bicara di teras rumahnya sewaktu
saya membereskan kafe dan mengantarkan pesanan pelanggan. Saat saya
lihat, pria yang berusia delapan puluhan itu dengan keras kepala
menurunkan kursi roda dari mobil pick up seorang diri. Diabaikannya
kurir pengantar yang berniat membantu. <br /><br />Selepas kepergian kurir
itu, ia berdiam diri lama demi memandangi kursi rodanya. Saya sudah
membereskan piring dan gelas terakhir, dan mengganti taplak meja, ketika
ia akhirnya duduk, mencoba mendorong-dorong kursi roda. Ada keriangan
kanak-kanak dari caranya tergelak menertawakan diri sendiri saat duduk
di kursi roda itu, dan dari caranya mengibaskan tangan sewaktu ia
mendapati saya memandang ke arahnya. <br /><br />Ia barangkali akan cocok dengan ayah saya. Semalam saya menjemput Ayah di bandara. Saya minta ia tinggal bersama saya. <br /><br />Keputusan
itu muncul di benak saya pada kunjungan terakhir saya ke rumah. Saat
itu seluruh rumah bau kotoran tikus, lampu-lampu dibiarkan menyala
sepanjang hari, dan botol-botol bir menumpuk di kamar Ayah. Sebagai anak
tunggal, saya tak akan tega membiarkan Ayah hidup seperti itu. <br /><br />Sebenarnya
ibu dan ayah saya sudah bercerai sejak saya merantau kuliah dan bekerja
di Jakarta. Namun, beberapa bulan lalu sesudah Ibu wafat, kata tetangga
kami, kerja Ayah hanya bermurung diri dan keluar rumah untuk
menghabiskan uang pesangon. Saya tak menyangka Ayah menjadi begitu tak
menghargai hidup setelah mengetahui kepergian Ibu. Ia dipecat dari
perusahaan tekstil tempatnya bekerja dan tak mencari pekerjaan lagi.
Ayah bahkan tak bisa mencuci baju sendiri ataupun merawat diri. <br /><br />Saya
senang karena akhirnya ia mau ikut pindah. Meski semalam saat saya
jemput, di perjalanan kembali dari bandara, ia memaksa berhenti di
swalayan 24 jam dan membeli berkerat-kerat bir. Di kamarnya, kini Ayah
pasti masih belum terjaga. Beberapa minggu ke depan, ia tampak masih
akan menghabiskan waktunya lebih banyak untuk merokok dan minum bir
sebelum tidur. Saya tak mencegahnya. Hanya saja, sebelum kepindahan
kami, saya minta ia lebih bisa berlaku mandiri. <br /><br />“Penghasilan
saya belum banyak. Saya baru menjalankan usaha toko buku dan tempat
makan ini selama lima tahun,” ujar saya di dalam taksi. <br /><br />Ayah yang duduk di sebelah saya tampak tak acuh. <br /><br />“Keuntungan dari usaha ini bahkan belum menutup hutang pinjaman saya di bank. Jadi, tolonglah, saya minta kerjasama Ayah.” <br /><br />“Sudah
kubilang, kau tak usah ajak aku ikut pindah,” jawab ayah saya, “kau
tinggal biarkan aku mati di rumahku kalau kau mau terus larang aku beli
bir.” <br /><br />“Saya mana tega membiarkan Ayah mati. Memangnya Ayah mau
bikin saya jadi yatim piatu? Ayah bisa tinggal bersama saya, tapi tolong
mengerti keadaan saya juga. Bir-bir itu, rokok-rokoknya, tolong
dikurangi.” <br /><br />“Capek aku dengar keluh kesah kau, Denada. Terima
kasih kau ajak aku turut pindah, tapi jangan kau atur terlalu banyak
hidupku,” jawab Ayah naik pitam. <br /><br /> <br /><br />SAAT saya menyetelkan
televisi ke<i> channel </i>yang banyak menampilkan kartun-kartun hari Minggu,
tetangga saya datang dengan kursi rodanya. Orang-orang memanggilnya
Markus. Saat itu ia mengetuk pintu kafe. Wajah riangnya tampak tersenyum
di pintu kafe, sebelum kemudian ia mendorong sendiri pintu itu. <br /><br />“Kursi roda baru?” tanya saya. <br /><br />Kursi
roda itu tampak istimewa. Barang-barang yang ia miliki memang rata-rata
bermerek mahal. Istrinya meninggal tiga tahun lalu, tetapi ia tampak
baik-baik saja dengan ditemani barang-barang itu. Hingga hari ini,
ketujuh anaknya—yang kesemuanya menjadi orang sukses—masih rajin
mengiriminya uang dan barang. Ia hampir selalu datang bercerita ke kafe
saya setiap ada kiriman yang datang. Dari yang saya lihat, barang-barang
itu membuatnya bahagia. <br /><br />“Anak-anakku ini kelakuannya
betul-betul sudah, cerewetnya keterlaluan. Mereka kirimkan benda ini
dengan pesan agar aku gunakan kursi roda ini kalau sewaktu-waktu aku
capek berjalan. Sepertinya mereka mau ayahnya cepat-cepat tidak bisa
berdiri.” Markus menjawab dengan bercanda. Seperti biasa, perkataannya
dibarengi tawa. <br /><br />“Mau minum susu dengan stroberi? Sekontainer
buah segar baru datang pagi tadi. Stroberi, semangka, pisang, apel,
nanas, mangga, anggur,” saya hampir merinci semua buah. <br /><br />“Apa
saja boleh, tapi stroberi favoritku. Asalkan kamu tidak bilang ke anakku
kalau aku minum itu. Bisa-bisa dia kirim koki masakan vegetarian dan
dokter gizi khusus diabetes kalau dengar ayahnya banyak konsumsi yang
manis-manis dari kafe tetangga.” <br /><br />“Kenapa tidak mencarikan ayahnya istri baru saja, kalau begitu?” canda saya sembari menyuguhkan susu stroberi. <br /><br />“Mungkin
mereka pikir ayahnya bisa mati di ranjang waktu bercinta dengan istri
barunya,” sahutnya sambil tertawa. “Kulihat kamu mengajak seorang lelaki
paruh baya tadi malam? Dia siapamu?” <br /><br />“Itu ayah saya. Semalam ia terlalu banyak minum bir, sepertinya sekarang ia masih tidur di kamarnya.” <br /><br />“Ah,
siapa bilang? Pagi-pagi buta ia sudah keluar rumah, terakhir kulihat ia
duduk di lapangan rumput, menonton anak-anak main sepak bola sambil
pegang botol bir di tangan.” <br /><br />“Pak Markus tidak mengajaknya bicara?” tanya saya. <br /><br />“Aku
masa bodoh saja tadi. Aku tak suka dengan orang yang dari tubuhnya
menguar bau minuman keras. Ayahmu kelihatan frustrasi betul. Tapi
seandainya saja aku tahu ia ayahmu, aku pasti sudah tarik lelaki
bangkotan itu pulang kemari. Gila saja, gadis sebaik kamu punya ayah
berkelakuan begitu.” <br /><br />Saya terpingkal sejadi-jadinya. “Ibu
meninggal enam bulan lalu. Mungkin itu banyak mempengaruhi Ayah,
walaupun mereka sudah lama bercerai.” <br /><br />“Tidak usah murung begitu.
Lupakan saja ayahmu. Ayo, bicarakan yang lain. Kau lihat gunung di
seberang itu? Pagi ini tampak cantik dan agung sekali. Mungkin bisa
membuatmu lebih ceria.” <br /><br />Mungkin juga tidak. Ada banyak kenangan
dari gunung itu. Saya pernah mendakinya langsung bersama kekasih saya
yang meninggal lima tahun lalu. Hanya berdua dari Jakarta, kami
mengelilingi kota ini. Pada hari itu, Johan secara spontan mengajak saya
menaklukkan gunung di seberang itu. Apa yang kami lakukan hari itu yang
menuntun saya ke kota ini. <br /><br />Ada para pecinta yang akan menantang
dunia dan bersedia dunia membencinya agar ia bisa bersama dengan orang
yang dicintainya. Dulu kami melakukannya, sama-sama tak peduli dengan
identitas suku dan agama yang berbeda di antara kami. Selama sepuluh
tahun kami menjauh dari keluarga yang menolak hubungan kami. Selama itu,
satu kali pun tak pernah membersit di pikiran saya untuk mewujudkan
harapan Johan menikahi saya. Ia sudah merayu saya berkali-kali untuk
menikah pada tahun kelima hubungan kami. Ia bilang, dengan tabungannya,
ia sudah bisa membeli rumah sendiri dan menafkahi saya. <br /><br />Sayalah
yang bodoh dan menyia-nyiakan kehadirannya. Sebagai anak tunggal, dengan
kedua orang tua yang bercerai, saya susah menyanggupi permintaan Johan.
Saat mengingat masa-masa itu, terkadang saya menangis di pojok kafe
setiap tak ada pengunjung. Membenamkan wajah saya di balik buku dan
tertidur pulas sampai ada pengunjung atau karyawan shift yang datang dan
membangunkan saya. <br /><br />“Kenapa jadi tambah murung?” Markus tampak heran. “Mana Gandhi? Hari Minggu kau taruh ia di Sekolah Minggu lagi?” <br /><br />“Ia suka di sana. Hobinya menggambar mendapatkan wadah di tempat itu.” <br /><br />“Atau
jangan-jangan ia betah karena ia menemukan ayah baru di sana?” goda
Markus. “Carikanlah anakmu itu ayah baru. Kamu masih empat puluhan,
cantik, cergas memasak. Andai usiaku bisa dikorting empat puluh tahun,
aku pasti melamarmu.” <br /><br />Bagaimana bisa membayangkan memberi ayah
baru untuknya? Saya mengadopsi Gandhi yang berusia tiga tahun dan sejak
saat itu membiarkannya tumbuh besar tanpa ayah. Dia sudah terbiasa
tumbuh tanpa seorang ayah. Saya bilang ayahnya diplomat, yang
pekerjaannya selalu mengharuskan berpindah-pindah negara. Setiap hari
ulang tahunnya, Gandhi mendapatkan kiriman dari teman-teman saya di luar
negeri. Ada nama kekasih saya, Johan Winangun, di setiap kartu ucapan
selamat. Saya bilang itu nama ayahnya. <br /><br />Gandhi tak banyak bertanya lagi sejak hari pertama ia dikirimkan satu kardus berisi kamus bergambar. </span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span></span></span></p><a name='more'></a><span style="font-size: small;"><br /><br />PERTIWI
dan Kinanti akhirnya datang untuk mengambil honor dan mengisi shift
jaga kafe. Markus lebih suka berbicara dengan mereka. Dua gadis itu saya
rekrut bekerja di kafe karena mereka bisa mengayomi tetangga saya itu,
selain juga karena memang cekatan memasak. <br /><br />Saya tinggalkan
Markus dengan mereka, dan berpamitan pergi ke Sekolah Minggu. Sebenarnya
Markus benar. Di sana ada seorang pria yang membuat jantung saya
mencelos setiap hari Minggu tiba. Pria di Sekolah Minggu itu mengajari
Gandhi membuat lukisan alam, potret diri, mengenali warna dan bentuk,
hingga mengajaknya berkunjung ke galeri-galeri lukisan saat Gandhi
senggang. Beberapa kali ia sempat mengajak saya ikut, hanya saja Gandhi
bilang ia lebih suka berjalan berdua dengan gurunya itu. <br /><br />Baru
kali ini Gandhi memaksa saya untuk menungguinya hingga kelas selesai.
Saya menyanggupi. Saya membawakannya sekotak makan siang dan satu kotak
yang penuh berisi permen untuk ia bagi-bagikan dengan teman sekelasnya. <br /><br />Sekolah
Minggu terletak tidak seberapa jauh dari kaki gunung Kaliurang. Di
teras rumah sanggar itu ada deretan stoples kaca yang sepertinya
berjumlah ratusan. Pada tiap permukaan stoples tertempel kertas
warna-warni dengan tulisan berisi nama-nama singkat, seperti Kiko, Koi,
Kei, Mei, dan banyak lagi. <br /><br />Ada seekor ikan kecil dengan ragam
bentuk dan warna berenang pada tiap stoples. Seorang perempuan tua
selalu mengajaknya berbincang dan memberi mereka pakanan. Dari yang saya
dengar, perempuan itu selalu bicara perihal kehilangan dengan ikan-ikan
itu. Suaminya meninggal tujuh tahun lalu karena serangan jantung. Sejak
saat itu dia tinggal dengan anak bungsunya. Lantaran hutang yang
ditinggalkan mendiang suami, dia dan anak-anaknya terpaksa pindah
menghuni sebuah rumah sederhana di wilayah Turi. Anak bungsunya itulah
yang kemudian mendirikan Sekolah Minggu, tempat Gandhi belajar melukis. <br /><br />Selain
ikan-ikan dalam stoples, perempuan tua itu juga merawat tanaman dalam
pot-pot kecil. Dia menyiraminya saban sore. Di belakang rumah, juga ada
kucing dan anjing, kelinci, burung-burung yang berkicau, juga belasan
pigura foto yang terpajang pada dinding rumah yang sudah berlumut.
Perasaan kesepian yang dirasakan ayah saya mungkin masih kalah
dibandingkan dengan perasaan yang dialami perempuan itu. <br /><br />Darsana,
guru menggambar Gandhi, terbilang sabar menghadapi ibunya itu. Ia kukuh
menolak permintaan keluarga untuk mengirimkan ibunya ke rumah sakit
jiwa atau panti jompo. Mungkin di keluarganya, hanya Darsana yang
melihat ibunya sebagai sosok yang waras. <br /><br />“Tak ada satu pun
ikan-ikannya yang mati. Begitu sudah tumbuh besar, mereka akan
dituangkan ke kolam,” cerita Darsana pada kunjungan pertama saya
beberapa tahun lalu. “Ibu saya mencintai mereka, dan seolah melihat diri
ayah saya pada ikan-ikan itu.” <br /><br />“Diri ayahmu?” waktu itu saya bertanya. <br /><br />“Itu
kepercayaan ibu saya. Saya mempercayainya dan tumbuh besar dengan
dongeng-dongengnya. Menurut ibu, jiwa dapat terbelah banyak dan bahkan
terlahir kembali dalam ratusan bentuk. Kebetulan saja, mereka terlahir
ke dalam wujud ikan-ikan itu.” <br /><br />Penjelasan Darsana selanjutnya
tak banyak mengalihkan bayangan yang muncul di pikiran saya. Tentang
Johan yang mungkin bisa mewujud seribu kura-kura yang menetas di tepian
pantai. Bahkan pada pertemuan pertama kami, saya sudah bisa menceritakan
tentang Johan dan banyak hal lainnya kepada Darsana. <br /><br />Hari ini
suara gamelan terdengar dari arah belakang rumah. Bahkan dari telinga
saya yang awam, tabuhannya terdengar tidak akur dan seperti ada banyak
kesalahan notasi. “Ibu masih seperti itu. Kemarin beliau tiba-tiba minta
dibelikan gamelan saat saya ajak dia jalan-jalan ke pasar kerajinan.”
Pagi ini Darsana menyambut saya dan meninggalkan anak-anak didiknya di
balai sanggar lukis. “Kata Gandhi, kamu akhirnya mengajak ayahmu tinggal
bersama kalian?” <br /><br />“Saya tak mungkin membiarkan ayah saya hidup sendiri.” <br /><br />“Dulu
kamu sudah banyak cerita ke saya tentang keluargamu. Kapan kamu akan
ceritakan yang sebenarnya ke Gandhi? Kemarin saya dibawakan cokelat yang
katanya dikirimkan ayahnya dari Swiss. Saya tak tega mendengarnya. Kamu
sudah berkali-kali membohonginya.” <br /><br />“Mungkin sampai saya menemukan ayah yang tepat untuknya?” <br /><br />Darsana
merangkul saya. Genggaman tangannya dan bagaimana jemarinya mengusap
tangan saya membuat dada saya terasa hangat. “Saya pikir kamu sudah
cukup kuat untuk merelakan kepergian Johan.” <br /><br />Saya ingin
menjatuhkan kepala ke dada bidangnya. Alih-alih melakukan itu, saya
justru menjabat tangannya, “Terima kasih,” sahut saya. <br /><br /> <br /><br />SETELAH
kunjungan saya kemarin, Darsana menelepon pada pukul lima pagi. Ini
adalah apa yang diceritakan Darsana dalam telepon yang tidak terputus
selama lima jam: tentang serigala dan gagak yang tiba-tiba muncul di
mimpinya, lalu ular yang memangsa kedua hewan itu, lantas tentang Gandhi
yang juga menggambar itu pada kelas Sekolah Minggu-nya kemarin.
Sepanjang lima jam itu, kata-kata cinta dan ungkapan penyemangat juga
banyak bertaburan dalam percakapan kami. Ia juga menyatakan keinginannya
untuk mampir mengunjungi toko buku saya. <br /><br />Markus yang mendengar
pembicaraan kami sekian kali berdeham dari ruang tengah kafe, meski ia
sudah ditemani oleh Pertiwi dan Kinanti. Dua gadis itu justru membarengi
dehaman Markus dengan tertawa cekikikan. <br /><br />Jari saya masih beku saat menemui Markus di mejanya. <br /><br />“Pagi tadi aku bicara dengan ayahmu. Aku ajari dia cara memancing ikan di sungai,” ungkap Markus. <br /><br />“Saya kira sepanjang selokan Mataram tidak ada ikannya?” <br /><br />Tawa
Markus membahana. “Justru itu. Aku suka menjahili ayahmu.
Kejengkelannya karena tali pancingnya menyangkut di batu membuat ia
ingin meneguk bir banyak-banyak. Tahu apa yang kulakukan saat itu? Aku
merebut botol birnya dan membuangnya ke selokan.” <br /><br />Saya heran mengapa ayah saya mau saja diajak pergi oleh Markus yang sepuluh tahun lebih tua darinya. <br /><br />Tubuh Markus ringkih dan lemah, sementara Ayah tambun dan ototnya kokoh. <br /><br />Selain
itu, kendati karakter mereka mungkin bisa bersesuaian, saya tak yakin
Ayah bisa berlaku sabar di depan Markus yang suka melucu. <br /><br />“Lalu ayah saya tidak mencoba balas melempar Pak Markus ke selokan?” tanya saya. <br /><br />Markus
mengarahkan tangan ke kepala dan menunjuk-nunjuk kepalanya sendiri.
“Selama masih suka minum bir, ia selamanya akan jadi lelaki tua tak
berotak. Aku mengganti botor birnya dengan sebotol susu stroberi yang
kubawa bersamaku. Aku bilang itu lebih sehat. Untuk kantong, dan untuk
perut. Nah, itu ayahmu datang. Hei, bocah bangkotan!” <br /><br />Markus dengan riang menyambut ayah saya yang berdiri di tangga loteng. <br /><br />“Kau
tidur lagi rupanya? Susu lebih bagus daripada bir, kan? Kau merasa
lebih segar sekarang? Banyak-banyaklah makanya kau minum susu!” Logat
Batak Markus tak bisa ia tutup-tutupi setiap saat perasaan gembira
membuncah hingga ke ubun-ubunnya. <br /><br />Markus memukul-mukul pundak
Ayah yang sedang mengusap mata. Mereka seolah-olah seperti dua kawan
lama yang sudah puluhan tahun tidak berjumpa. Ketika bertemu, keakraban
mereka tampak alami. <br /><br />Saya biarkan mereka banyak mengobrol di sudut kafe sementara saya menjaga toko buku. <br /><br />Selama
sekian jam itu, saya melihat papan catur, papan monopoli, papan
Scrabble, dan ragam permainan di kafe itu dibawa pindah Markus ke meja
mereka. “Kinanti, buatkan kami dua gelas besar susu stroberi,” saya
mendengar Markus memesan. <br /><br />“Dan bawalah banyak-banyak kudapan gratis untuk kami, ya,” Ayah saya menimpali. <br /><br /> <br /><br />SEANDAINYA
Ayah tidak berpisah dengan Ibu, mungkin saya tidak akan memiliki
karakter seperti ini. Saya selalu menolak orang-orang yang datang ke
hidup saya. Betapa saya jadi tidak menghargai perkawinan. Bahkan hingga
Johan tiada. <br /><br />Bagaimanapun, saya banyak belajar dari Darsana. Ia
yang selalu menerima ibunya dengan apa adanya, ia yang begitu
bersemangat dengan bakat seninya, dan banyak meluangkan waktu untuk
mengajar secara sukarela di bantaran sungai wilayah Kaliurang. <br /><br />Saya
teringat bagaimana Darsana tahun lalu mengajak Markus mampir ke kafe
ini saat melihat pria itu melamun sendiri di teras rumah, mengobrol
dengan burung-burung dalam sangkar. Seandainya Darsana tidak pernah
mampir hari itu, mungkin saya tidak akan menjadi sedekat ini dengan
Markus. <br /><br />Sebenarnya, sikap Darsana yang begitu lembut ke ibunya
juga menjadi pendorong saya mengajak Ayah tinggal bersama. Seandainya
tidak begitu, kedua pria tua yang kini sedang berbahagia di meja depan
kafe itu pasti akan menjadi pria-pria tua yang pemurung dan kesepian. <br /><br />Mungkin Darsana juga benar dalam hal ini. Saya sudah cukup kuat untuk merelakan kepergian Johan. <br /><br />“<i>Lonely
Hunter</i>; Carson McCullers, <i>Waiting</i>; Ha Jin, <i>Oscar Wao</i>; Junot Diaz. Yang
benar saja kamu tetap menaruh buku-buku ini di meja bahkan setelah
setahun lewat?” Darsana tiba-tiba sudah berada di sebelah saya. <br /><br />Siang
ini ia mampir untuk melihat buku terbaru. Ia bilang ia membutuhkan
bacaan untuk ibunya. Setiap malam, ia selalu membacakan cerita berbahasa
Inggris untuk perempuan tua itu. Dulu ibunya seorang pustakawan dan
suka menghadiri Misa berbahasa Inggris. Namun, setelah ayah Darsana
berpulang, Darsana seolah menggantikan posisi pendeta untuk membacakan
kitab dan banyak buku bagi ibunya. Atas permintaan ibunya pula, Darsana
rajin menyumbang stipendium untuk gereja setiap menerima honor mengajar.
<br /><br />Suatu kali, saya juga pernah melihat Darsana membacakan cerita
untuk anak-anak didiknya di sanggar. Sejak itu, Gandhi menjadi rajin
mengambil buku bacaan saya dan berlatih membaca cerita di depan Pertiwi
dan Kinanti. <br /><br />“Buku-buku ini seharusnya dipindahkan ke sini ...” Darsana memindahkan buku-buku saya ke rak bertajuk <i>Secondhands, For Sale</i>. <br /><br />Saya tersenyum, “Kamu sudah membacanya?” <br /><br />“Aku
membelinya dari Sosrowijayan. Daripada membeli langsung di tokomu ini,
dan ketahuan kalau aku menguntit bacaanmu, lebih baik aku beli di tempat
lain. Meskipun jadinya aku seolah-olah tidak mendukung usaha toko
bukumu, tapi masa bodoh sajalah. Toko buku ini tetap laris, kan?” <br /><br />“Kamu
selalu suka bercanda. Tentu tetap laris, saya yang berjualan di sini,
para pengunjung mungkin jatuh hati kepada saya,” canda saya. “Bagaimana
buku-buku itu menurutmu?” <br /><br />“Penuh aura kesedihan. Gelap. Tokoh-tokohnya menyedihkan. Bacaanmu bikin frustrasi.” <br /><br />Bacaan
semacam itu menjadi kesukaan saya dan Johan. <i>Walden</i>, kisah Henry David
Thoreau yang menggelandang selama dua tahun ke tengah hutan, sampai
memoar-memoar melodramatik yang ditulis Simone de Beauvoir, dan
film-film katarsis Woody Allen menjadi bahan percakapan yang tak
habis-habisnya di antara kami. Seandainya Johan masih hidup, ia pasti
akan menyukai Junot Diaz, Banana Yoshimoto, dan bahkan buku-buku terbaru
Haruki Murakami, atau menonton film-film Wong Kar Wai. Semuanya
memiliki aura mistis yang, bahkan saya sendiri sebagai penikmat
karya-karya mereka, tak dapat menyingkapkannya. <br /><br />“Johan menyukainya,” sahut saya. <br /><br />“Dan
ini kesukaanku,” Darsana tiba-tiba mengeluarkan beberapa buku dari tas
kanvasnya. “Gantilah bacaanmu. Di sini aku punya Aki, Idrus. Sama gelap
dan muramnya dengan buku-buku favoritmu, tapi <i>Aki</i> lebih jenaka. <i>Penembak
Misterius</i>, SGA, tokoh-tokoh di buku ini sinting, membuatku rindu rezim
Soeharto karena betapa ingin aku untuk menaklukkan rezim tiran itu, dan
membayangkan aku menjadi tokoh-tokoh heroik itu. <i>Burung-Burung Manyar</i>,
Romo Mangun, kisah percintaan yang tak tuntas antara dua muda-mudi yang
bersikap konyol sepanjang hidup mereka. Mau pinjam?” <br /><br /> “Tentu mau. Kamu sengaja membawanya untuk saya?” tanya saya. Saya benar-benar terkesima dengan spontanitas pria ini. <br /><br />Ia
menggeleng sepintas, “Ini buku-buku kesukaanku. Buku-buku ini selalu
ada di dalam tasku dan aku membawanya ke mana pun. Nah, sekarang
kupinjamkan kepadamu,” jawabnya. <br /><br />Ia lalu menyerahkan satu keping CD kepada saya. “Dan ini yang sengaja kubawakan untukmu.” <br /><br />“Yang ini, apa isinya?” <br /><br />“Lagu-lagu
dengan komposisi bahagia, lima puluh persen jenaka, lima puluh persen
nelangsa. Kebanyakan tentang kisah cinta yang gagal, tapi di tangan
musisi-musisi ini kisah-kisah itu jadi bahan tertawaan. Supaya kamu
tidak merasa sendirian, apalagi sampai kesepian,” ia berusaha menyitir
perasaan saya. Entah mengapa, ada kehangatan yang saya rasakan di
sekujur tubuh. <br /><br />“Ah, kita terlalu banyak bicara. Saya buatkan
makanan di kafe, ya? Mau makan apa? Ada bakmi, lothek dan gado-gado
spesial, atau nasi brongkos. Oh ya, menu andalan hari ini salad buah,
kemarin kami kedatangan sekontainer buah,” tawar saya. <br /><br />“Padahal aku mau mengajakmu makan di luar...” tukasnya, “kalau kamu berminat.” <br /><br /> <br /><br />“KAMU
tidak berencana melanjutkan kuliahmu?” tanya Darsana di tengah-tengah
kunyahannya yang lahap. Kami pergi jauh-jauh ke Imogiri dan menjadikan
sate klathak dan tongseng kambing Pasar Jejeran sebagai menu makan malam
hanya karena ia suka melihat langit senja dari wilayah selatan
Yogyakarta itu. Lembayung senja, baginya, selalu menggambarkan penantian
cinta yang tak habis-habisnya. <br /><br />“Mungkin nanti. Sekarang belum menemukan alasan untuk apa melanjutkan kuliah. Masih sibuk dengan usaha yang saya rintis.” <br /><br />“Alasan, ya? Mungkin untuk bertemu dengan teman-teman pria seusiamu dan menikah dengan salah satu dari mereka?” <br /><br />“Meski
sebagian besar dari mereka kemungkinan sudah menjadi duda atau justru
berniat berpoligami dan menjadikan saya istri kesekian?” <br /><br />Saya
tak mau mendebatnya lebih panjang. Kalaupun saya berniat melanjutkan
kuliah, semestinya bukan dengan alasan itu. Suatu waktu saya ingin
mendirikan sanggar seni dengan taman bacaan yang lebih besar, mendirikan
toko buku yang lebih banyak di beberapa tempat terpencil, membikin
kelas-kelas gratis dan mengajak sukarelawan mengajar di sana. Bersamaan
dengan itu, saya akan mendirikan biro sastra nusantara yang menyediakan
naskah-naskah lokal, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dan
bahasa-bahasa asing. Saya ingin orang-orang tidak melupakan
kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri agung di kepulauan nusantara. Dari
sanalah pernah terbit harapan saya, kelak saya akan melanjutkan kuliah
untuk bertemu orang-orang dengan cita-cita yang sama. <br /><br />Padahal saya sudah pernah menceritakan semua impian saya itu ke Darsana. Apakah mungkin ia lupa? <br /><br />Tiba-tiba
Darsana tertawa. “Aku bercanda. Bukan dengan alasan itu, tentu saja.
Aku masih ingat dengan jelas alasan muliamu mengambil jurusan Sastra
Nusantara. Di daerah asalku, ada legenda <i>I La Galigo</i>. Dan kamu tentu
sudah tahu, naskah aslinya sekarang justru ada di Leiden, Belanda.
Menurutku itu keterlaluan. Apa kamu bisa ambil kembali semua itu
seandainya kamu membangun biro sastra nusantara?” <br /><br />Pemerintah
Indonesia memang tidak banyak menaruh perhatian pada kesenian dan
kebudayaannya. Meski ada dua kementerian yang memiliki andil besar untuk
mengurusi ranah itu. Saya pernah pergi ke Kedatuan Luwu, Sulawesi
Selatan, bersama dengan Johan. Kedatuan itu semestinya kaya akan sejarah
Sawerigading, tetapi saat kami datang, tempat itu justru dijadikan
tempat rapat dinas antara pemerintah daerah dengan pihak kedatuan, dan
agaknya orang-orang di sekitar sana tidak benar-benar paham apa-apa yang
saya dan Johan tanyakan. <br /><br />Belum lagi mendapati kenyataan ke mana
pun saya dan Johan pergi, terutama untuk mengulik kekayaan sejarah
lokal Indonesia, orang-orang di wilayah itu justru tidak lebih tahu
daripada kami. Internet bahkan bisa menyediakan jawaban yang lebih
cerdas daripada orang-orang yang kami temui di daerah-daerah. <br /><br />“Nah,
bangunlah usaha toko buku dan kafemu dengan sungguh-sungguh. Lanjutkan
kuliahmu, dan wujudkan impianmu yang sesungguhnya bila kamu sudah punya
modal yang cukup,” lanjut Darsana. Ia lantas menaruh tangannya di atas
tangan saya. Senyum yang saya berikan kepadanya hari itu barangkali sama
seperti senyum yang saya berikan saat mengiyakan pernyataan cinta Johan
bertahun-tahun lalu. <br /><br /> <br /><br />HUJAN berisik di atap rumah.
Saya termanggu di kasur untuk mengenang debaran di dada yang saya
rasakan saat berada di balik jas hujan Darsana. Sepanjang perjalanan,
kami terlalu banyak membicarakan hal-hal menyenangkan. Sebelum pulang,
ia mengecup dahi saya dan menyatakan perasaannya. Saya tak percaya ada
seseorang yang bisa membuat saya semabuk ini. Sudah lama sekali rasanya
hal seperti ini tidak pernah terjadi lagi. <br /><br />Mungkin saya perlu
berdiskusi dengan Ayah untuk mengambil keputusan. Saya memberanikan diri
mengetuk pintu kamar Ayah. Dua mug cokelat panas ada di pegangan saya.
Pintunya tidak terkunci, ketukan saya yang agak keras membuat pintu
terdorong dan membuka. <br /><br />Sudah tidak ada lagi botol-botol bir di
kamar Ayah. Kendati masih ada dua bungkus rokok di meja. Ayah hanya
tidur dengan mengenakan celana dalam. Di sebelah ranjangnya ada beberapa
foto polaroid Ayah dan Markus. Dari sana, tampak jelas siang tadi
mereka berdua pergi ke Gembiraloka. Saya tertegun sekian detik, dan
menyadari, Ayah sebelumnya tak pernah menampilkan tawa seceria yang saya
lihat di dalam foto itu. <br /><br />Tiba-tiba Ayah terbangun dan melihat saya berdiri di sebelah ranjangnya. Ia seketika menarik sarung yang melorot ke kakinya. <br /><br />“Maaf, tapi tadi Ayah tak mengunci pintu,” ucap saya. “Begini, sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan.” <br /><br />Darsana
dulu pernah bilang dengan membagi cerita kepada orang lain, beban kita
akan menjadi semakin ringan. Betapa pun tak ada yang mendengarkan cerita
kita itu. Sejak saat itu, saya selalu memiliki beberapa teman
mengobrol. Saya kembali menjalin pertemanan dengan teman-teman SMP dan
SMA, dan menghadiri reuni-reuni teman-teman lama. Sejak saat itu hidup
saya menjadi lebih ringan. Kini mungkin kehidupan saya akan menjadi
lebih ringan lagi. Kini saya memiliki Ayah yang dapat saya bangunkan
sewaktu-waktu setiap saya ingin bicara. <br /><br />Di hadapan saya, Ayah
menyesap cokelat panas untuk menghangatkan perut. Dahulu, berbotol-botol
bir yang selalu dapat melakukannya. Padahal belum ada tiga hari Ayah
mengenal Markus, tetapi hidupnya telah membaik sejak saat itu. Wajah
Ayah terlihat hidup dan teduh. <br /><br />Justru sayalah yang kalut bukan main. Saya berjalan mondar-mandir di hadapannya sembari memijit tangan. <br /><br />“Ayah, bagaimana kalau Ayah mendapatkan menantu yang dua puluh tahun lebih muda dari saya?” <br /><br /><i>Meskipun
dari pemikirannya, saya pikir pria itu menjelma jauh lebih dewasa dan
lebih bijaksana daripada putrimu ini</i>, tambah saya dalam hati. <br /><br />Ayah
seketika terbatuk-batuk dan hampir memuntahkan cokelat panasnya.
Tatapannya terpaku pada wajah saya, dan secara tiba-tiba gelas tampak
menggantung pada pegangannya. <br /><br />“Sudah kepala empat, apa kamu
yakin masih butuh menikah? Mungkin kamu bisa berteman saja dengan pria
itu?” tanya Ayah sungguh-sungguh. <br /><br /> Saya tahu ke mana percakapan
kami selanjutnya mengarah. Maka saya putuskan untuk meninggalkan Ayah di
meja makan dan kembali ke kamar. <br /> <br /> <br /><br />SAYA melihat
Darsana berjalan pulang dengan langkah lemah. Pertiwi berhasil
membohongi Darsana, mengatakan bahwa saya tidak ada di rumah. Beberapa
minggu ini, saya terus-menerus menolak ajakan Darsana keluar makan. Ia
bilang ada yang ingin ia bicarakan. Markus sudah berulang kali menegur.
Ia bilang dari mata Darsana ia melihat kasih sayang yang tulus. Saya
tidak mengacuhkan. <br /><br />Ayah saya barangkali masih tidak menyadari
siapa orang yang saya bicarakan malam itu. Saya pasrah. Ayah benar.
Darsana masih teramat muda. Lagipula ia punya begitu banyak bakat seni.
Ia pasti akan sangat mudah menemukan gadis seusianya yang dapat
mencintainya. Dengan ketampanannya, ia seharusnya dapat menaklukkan
siapa saja. <br /><br />Sementara itu, apa yang Darsana akan lakukan bila
menikah dengan perawan tua seperti saya? Barangkali selama ini ia hanya
menyayangi Gandhi dan menaruh rasa kasihan kepada saya yang kesepian. <br /><br />Kenyataannya,
saya tidak begitu kesepian dengan keadaan saya saat ini. Pengunjung
kafe masih membeludak datang setiap harinya. Murid-murid sekolah masih
akan duduk di setiap pojok toko buku untuk membaca buku-buku dengan
segel terbuka. Interaksi Markus, Ayah, dengan Pertiwi dan Kinanti dapat
menjadi penghiburan setiap saya pulang dari bank setelah membayar utang.
<br /><br />Hanya satu hal yang menjadi kekhawatiran saya; kelakuan Gandhi
yang berubah. Ia sepertinya kesal karena saya selalu menolak datang ke
Sekolah Minggu. Sejak penolakan terakhir saya, ia mulai tidak
mendengarkan perkataan saya. <br /><br />Sudah seminggu ini Gandhi tidak
pulang ke rumah. Ia bilang ia menginap di rumah temannya. Padahal
Darsana bilang Gandhi menginap dengannya. <br /><br />Pukul sembilan pagi
tadi, wali kelasnya menelepon, menanyakan mengapa Gandhi tidak hadir di
kelas. Sudah seminggu tanpa kabar, katanya. <br /><br />Saya seketika
beralasan Gandhi sedang menengok nenek dari pihak ayahnya ke Makassar.
Yang terlintas di pikiran saya memang hanya tempat kelahiran Darsana,
Makassar. <br /><br />Markus dan Ayah menghentikan percakapan saat saya menghampiri mereka. Dan menggantinya dengan topik yang sepenuhnya berlainan. <br /><br />“Kata ayahmu, kau pernah bicara soal pria yang dua puluh tahun lebih muda?” sambar Markus secara tiba-tiba. <br /><br />Waduh,
itu bukan sesuatu yang saya harapkan disebarkan ke setiap kenalan Ayah.
Apa setelah ini saya bisa mempercayakan rahasia kepadanya? <br /><br />“Jahat
betul, kalau kau biarkan anakmu melepas orang yang mencintainya.
Apalagi orang yang mencintainya dengan tulus,” tanpa menunggu jawaban
saya, Markus kemudian mengarahkan permasalahan ke Ayah. <br /><br />“Ya,
tapi masak menikahi orang yang dua puluh tahun lebih muda? Kalau dia
lelaki, bolehlah dia menikahi orang yang bahkan tiga puluh tahun lebih
muda. Kenyataannya, dia hanya seorang perempuan,” Ayah menjawab. <br /><br />“Kau
selalu sembarangan begitu kalau bicara, ya?” Markus sudah tampak marah.
“Kau ingat betapa kita berdua merasakan pahitnya ditinggal orang yang
kita cintai. Kalau Nada tak mengajakmu kemari, kau bisa mati frustrasi,
toh?” Markus melanjutkan ceramah. <br /><br />“Tapi, itu berbeda, Markus ...” tukas Ayah. <br /><br />“Apa,
toh, bedanya? Coba pikirkan apa yang dirasakan lelaki yang mencintai
Nada itu saat ditinggal Nada? Kau paham, kan, maksudku?” <br /><br />“Anakku bisa mencari pria yang lebih sepadan usianya.” <br /><br />Markus
kemudian menatap ke arah saya. Tajam dan lama. “Sekarang kau tanyakan
anakmu Nada ini, apa dia bisa cari pria yang lebih mencintai dia
daripada si Darsana?” <br /><br /><i>Mungkin tidak</i>, saya membatin. <br /><br /> <br /><br />NAMUN, apa yang harus saya lakukan? Apa mungkin Darsana masih akan menerima permintaan maaf saya? <br /><br />Sebulan
berlalu, saya akhirnya memberanikan diri untuk menemuinya. Namun ia
tidak ada di rumahnya saat saya datang. Darsana menyewa seorang perawat
untuk menjagai ibunya selama ia pergi. Saat saya mengontak telepon
seluler Gandhi, ia sudah benar-benar menginap di rumah temannya. Sudah
sejak bulan lalu ia tidak menginap di rumah Darsana. Darsana bahkan
tidak berpamitan kepada saya dan Gandhi. <br /><br />“Mungkin Mas Darsana
baru kembali setahun atau dua tahun lagi, ia sekarang sedang melanjutkan
kuliah magister ke Prancis,” ujar perawat itu. <br /><br />“Lalu siapa yang
akan mengurus Sekolah Minggu?” tanya saya. Bukan, seharusnya
pertanyaannya bukan itu, saya membatin. Seharusnya pertanyaannya, ‘<i>Lalu,
apakah ia masih mencintai saya?</i>’. <br /><br />Saya cepat-cepat menambahkan, “Anak saya mengambil kelas melukis setiap hari Minggu.” <br /><br />“Mas
Darsana sudah minta teman kuliahnya untuk mengajar setiap minggu. Anak
ISI Yogya juga, Mbak. Kalau ada pesan, mungkin bisa kirim email ke Mas
Darsana? Ia meninggalkan alamat email ini untuk dikontak ...” <br /><br />Perawat
itu menyerahkan secarik kertas. Saya tahu saya tidak akan mengontak
alamat email itu. Mungkin lebih romantis untuk menunggunya kembali dari
Prancis, dan melihat apakah ia sudah menggandeng gadis lain. Bila ia
melakukannya, berarti kami memang tidak berjodoh. Atau mungkin
kepergiannya ini menandakan bahwa kami memang tidak berjodoh? <br /><br />Saya
sudah akan menyerah untuk selamanya dan berniat mulai melupakan
Darsana, hingga kemudian di halaman parkir perawat itu menghampiri saya.
<br /><br />“Kalau saya boleh tahu, nama Mbak siapa?” tanya perawat itu. <br /><br />“Denada. Darsana biasa memanggil saya Nada.” <br /><br />Perawat
itu tiba-tiba tampak sumringah. “Ooooh, Mbak Nada!” Dia seolah-olah
menjeritkan nama saya. “Kalau Mbak Nada mah dititipi pesan khusus. Mas
Darsana bilang, kalau sampai ada yang namanya Nada datang ke rumah,
tolong minta dia untuk datang menjenguk Ibu setiap dia senggang. Mas
Darsana titip Ibu ke Mbak Nada. Dan tenang, Mbak. Mbak Nada bisa datang
kapan saja, saya tetap menjagai Ibu di sini.” <br /><br />Saya lupa tipikal
pria seperti Darsana akan menitipkan pesan semacam itu. Ada sesuatu yang
membuncah di dada saya dan membuat air mata memenuhi pelupuk mata saya
saat itu. <br /><br /> <br /><br />MARKUS hampir memusuhi Ayah seumur hidupnya saat saya bilang Darsana pergi ke Prancis untuk melanjutkan kuliah. <br /><br />“Putri
sendiri dipingit terus seperti burung dalam sangkar,” katanya. “Kamu
benar-benar seperti tak pernah mendapatkan didikan bagaimana menjadi
ayah yang baik. Bisa-bisanya kamu tak pakai otak setiap menasihati
anak.” <br /><br />Namun, Ayah tak membantah perkataan Markus. Ia menatap
Markus seolah seperti saudara sejiwa. Dengan tatapan itu, ia seolah-olah
tidak perlu menanggapi kemarahan Markus yang bertubi-tubi. Sama seperti
bagaimana dulu Markus mengambilkan papan-papan ragam permainan, Ayah
kini membawakan papan catur dan papan Monopoli ke meja. Tak lupa, ia
memesan dua gelas besar susu stroberi dari Pertiwi dan mengambil
semangkuk besar kudapan dari lemari es. <br /><br />“Kamu tidak diberi kontak Darsana?” tanya Ayah saat Markus sudah lebih tenang dengan emosinya. <br /><br />“Diberi, alamat email,” jawab saya. <br /><br />“Nah, dengan begitu, pastikanlah kesetiaan lelaki itu dengan tidak mengontaknya sampai ia kembali,” Ayah menasihati. <br /><br />“Kau
benar-benar tidak waras, ya. Seharusnya kau suruh Nada kontak Darsana,
suruh cepat pulang, sebelum Nada menopause. Nikahi Nada, hamili dia,
lalu barulah kembali lagi ke Prancis.” Markus masih tampak ingin
melanjutkan amarahnya. <br /><br /> “Apa dalam pernikahan harus selalu ada keturunan?” tanya saya dengan nada lirih. <br /><br />Setengah dari diri saya merasa prihatin kepada setengah diri saya yang lain. <br /><br />Tak
ada dari mereka yang menjawab. Barangkali mereka menduga saya sudah
mengalami menopause di usia empat puluh tiga. Saya memutuskan untuk
menuruti perkataan Ayah. Menguji kesetiaan Darsana. <br /><br /> <br /><br />IBU
Darsana akan selalu merindukan putranya. Ada satu stoples yang baru
dengan tempelan label bertuliskan ‘Adrian Darsana’ pada tutup stoples.
Ikan yang ditaruh dalam stoples berlabel Darsana itu lebih sering diajak
bicara oleh ibu Darsana dibandingkan ikan-ikan yang lain. <br /><br />Setiap saya datang, ibunya akan meninggalkan ikan-ikan itu dan mulai menceritakan apa pun tentang putranya kepada saya. <br /><br />Sejak
perawat itu menyampaikan pesan Darsana, saya datang menjenguk ibu
Darsana hampir setiap hari. Membawakannya banyak makanan dari kafe dan
membacakan untuknya buku-buku cerita berbahasa Inggris. <br /><br />Sudah
genap setahun saya dan Darsana tidak pernah saling berkontak. Setahun
itu juga ibunya membongkar segala rahasia Darsana. Meski tidak berjumpa
raga, mendengar cerita ibunya tentang pria itu, saya justru semakin
mencintainya dari hari ke hari. <br /><br />Hari ini, dengan hati-hati kami menuju sungai di belakang rumah. <br /><br />“Ini hari ulang tahun Darsana,” ujar ibunya di sebelah saya. <br /><br />“Apa yang akan Ibu lakukan?” <br /><br />“Menuangkan ikan-ikan ini ke sungai.” <br /><br />Saya
menatapnya terheran-heran. “Tunggu, Ibu, kenapa harus mengembalikan
semuanya ke sungai? Itu ikan-ikan kesayangan Ibu, kan?” cegah saya. <br /><br />“Bukan, kini hanya Darsana yang Ibu sayangi,” jawabnya, “dan kamu.” <br /><br />Saya
tidak tahu perlakuan apa yang telah saya lakukan hingga membuat ibu
Darsana membuka dirinya kepada saya. Namun, perasaan diterima oleh calon
mertua ternyata semenyenangkan itu. <br /><br />“Dulu Darsana
sembunyi-sembunyi menangis setiap melihat Ibu bicara dengan ikan-ikan
itu,” lanjut ibu Darsana. “Ibu tidak mau anak kesayangan Ibu itu
menangis lagi saat nanti pulang dari Prancis.” <br /><br />“Kenapa Ibu baru melakukannya sekarang?” protes saya. <br /><br />“Karena
sekarang sudah ada Nada yang menemani Ibu saat Ibu merasa kesepian,”
jawabnya sembari menggenggam tangan saya. “Kamu tahu, Nak, seorang pria
selalu mencari pasangan yang mirip dengan ibunya. Kamu sangat mirip
dengan Ibu. Ia pasti sangat menyukaimu. Karena itu, tolonglah, jangan
tinggalkan Darsana.” <br /><br /> <br /><br />SAYA tak mempercayai telinga saya saat Darsana masih mengontak saya setelah kembali dari Prancis. <br /><br />“Kamu bisa bicara bahasa Prancis?” tanyanya kepada saya. <br /><br />“Tidak
sama sekali, kecuali <i>au revoir</i> dan <i>je t’aime</i>. Bagaimana kabarmu? Apa
kamu akan pergi ke Prancis lagi? Saya tidak bisa datang menemui ibumu
seminggu ini. Banyak hal yang harus saya bereskan di toko buku. Menambah
rak, memesan lebih banyak buku, melabeli, merekrut karyawan, ...” <br /><br />“Tolong ucapkan lagi.” Tiba-tiba ia menukas. <br /><br />“Ucapkan apa?” <br /><br />“<i>Je t’aime</i>?” <br /><br />“Saya tak akan mengucapkannya kepada lelaki yang mungkin sudah memiliki kekasih di Prancis sana.” <br /><br />Ia tampak gembira mendengar sindiran saya. <br /><br />“Kamu
sendiri, sudah punya kekasih baru? Padahal tadi aku hanya mau pamer
bahasa Prancis. Omong-omong, kamu membuat toko bukumu menjadi lebih
besar lagi?” Ia memberondong saya dengan pertanyaan. <br /><br />“Saya ingin
mewujudkan impian lebih cepat. Ada ide tentang biro sastra nusantara di
sini. Saya membuat rak-rak buku berisi terjemahan saya sendiri atas
karya-karya sastra lama nusantara. Dan lebih banyak karya sastra lokal
yang berkualitas.” <br /><br />Di seberang, Darsana tertawa hampir semenit. <br /><br />“Saya tutup teleponnya, ya, kalau dari tadi niatmu menelepon memang hanya ingin menertawakan saya?” <br /><br />Ia
masih tertawa, sampai lantas pertanyaannya menusuk hingga ulu hati
saya, “Tapi siapa yang akan membaca buku-buku semacam itu?” <br /><br />Saya
familiar dengan pertanyaan pesimistis itu. Semua orang sudah menyerah
dengan sedikit demi sediki sastra lokal yang menghilang dari peredaran.
“Kamu. Jadilah orang pertama yang membacanya. Kalau kamu sempat,
mampirlah. Sudah ya, saya sibuk.” <br /><br />“Nada, Nada, Nada, iya aku mampir nanti, tapi tunggu, jangan tutup teleponnya.” <br /><br />“Ada lagi yang ingin kamu bicarakan?” <br /><br />“Um,
terima kasih karena telah menjaga Ibu selama dua tahun ini. Itu adalah
hal yang seharusnya dilakukan oleh kekasih saya. Sayangnya, kamu tahu,
kan, mana ada yang bisa suka dengan pria seperti saya.” Ia membarengi
perkataannya dengan tawa. <br /><br />“Sama-sama. Saya sangat menyukai ibumu. Sudah, ya?” <br /><br />“Nada, um, begini. Apa besok kamu bisa meluangkan waktu untuk bertemu?” <br /><br />“Mungkin.” <br /><br />“Oke. Nanti ku-SMS tempat dan waktunya. Baiklah, kamu boleh tutup teleponnya sekarang.” <br /><br /> <br /><br />TAMPAK
dari sebuah jendela restoran, bulan purnama jatuh ke arah perumahan.
Meja nomor 8 di hadapan saya telah kosong. Cangkir-cangkir berisi ampas
kopi telah diambil kembali oleh pramusaji. Arloji saya mengabarkan
restoran kira-kira akan tutup tiga puluh menit lagi, bersamaan dengan
jam tutup mal. <br /><br />Pesan-pesan singkat saya tidak berbalas. Darsana
tidak mengabarkan apa pun bahkan setelah dua jam saya menunggu. Puluhan
kali saya mencoba menghubungi nomor telepon selulernya. Hanya nada
tunggu yang menyahut. Padahal Darsana yang membuat janji bertemu pukul
delapan malam di restoran ini. <br /><br />Baru saja saya hendak memesan
cangkir kopi terakhir, Darsana tiba-tiba muncul dari kejauhan dan tampak
berjalan, seolah-olah berlari, ke arah saya. “Hei,” demikian saja ia
berujar kepada saya sembari menaruh tas di sofa. Saya termenung sekian
menit. Sepulang dari Prancis, ia banyak berubah. Ia bertambah tampan dan
pakaiannya jadi terlihat necis, padahal ia seniman. <br /><br />“Bukan, ini bukan karena terpengaruh gaya berpakaian orang Prancis,” ujarnya. <br /><br />Seperti biasanya, ia seolah-olah bisa membaca pikiran saya. <br /><br />“Saya beli minum dulu,” ujar saya, bangkit berdiri. <br /><br />“Es krim untukku satu, ya,” sahutnya. <br /><br />Saya menyipitkan mata. “Malam-malam, kamu minta es krim?” <br /><br />Darsana
hanya tersenyum dan mendorong tubuh saya, “Es krim selalu menjadi
favoritku, tak peduli waktu. Ayolah, sebelum tempat ini tutup. Semangkuk
besar yoghurt juga tak masalah. Dan mungkin seloyang piza?” <br /><br />Selama
menunggu dibuatkan es krim, saya memandang Darsana lekat-lekat di
kursinya. Ia bahkan tidak melihat ke arah saya, dan ia justru sibuk
membaca buku tebal. Pikir saya, kini ia sudah bergelar magister, entah
kenapa kini bayangan saya tentangnya adalah seorang seniman yang
intelektual. <br /><br />“Ini,” ujar saya sambil menyerahkan es krim
kepadanya, lantas merapikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas, “ayo
kita pulang. Saya mau tidur. Saya lelah.” <br /><br />“Nada, saya berpakaian begini karena hari ini spesial, kenapa cepat-cepat pulang?” ujarnya dari tempat ia duduk. <br /><br />“Kalau spesial, kenapa minta bertemu di mal?” Saya tersenyum sambil mengenakan jaket. <br /><br />“Kamu tak jadi pesan minuman?” Darsana mengikuti langkah saya. “Ayolah, aku masih ingin banyak bicara.” <br /><br />Di depan Plaza Ambarrukmo, saya bergegas menyetop taksi. Namun, Darsana menghentikan langkah saya. <br /><br />“Hei, Nada, aku bawa motor, kamu bisa membonceng di belakang.” <br /><br />Ia menarik tangan saya mengikutinya menuju tempat parkir. <br /><br />“Kamu
bahkan tak minta maaf karena datang terlambat?” tanya saya ketika sudah
membonceng dengannya. Gerimis berubah menjadi hujan lebat, tetapi saya
melarang ia menghentikan motornya. <br /><br />“Kenapa kamu menjadi seperti anak kecil begini? Apa yang tiba-tiba merisaukanmu?” Darsana justru balik bertanya. <br /><br />Saya tak menyahutinya dan kami tidak bicara sepanjang perjalanan. <br /><br />Saya
segera turun dari motor dan meninggalkannya tanpa berkata apa pun. Di
depan pintu rumah, saya memasukkan kunci, terpaku sejenak, tetapi
sekejap kemudian dengan segera saya berbalik. Di bawah hujan, Darsana
masih membeku di pintu gerbang. Ia sudah memarkirkan motor di sebelah
rumah saya. Saya berjalan ke arahnya. Saya meraih pergelangan tangannya
dan menarik Darsana masuk ke dalam rumah. <br /><br />Gandhi begitu gembira
mendapati kedatangan Darsana. Ia menghambur begitu saja ke pelukan paman
kesayangannya itu. Ia lantas mengambilkan handuk dan menyuruh pria itu
mandi. Saya meninggalkan mereka bercengkerama di ruang tengah. Terdengar
seperti mereka menyalakan televisi dan ada percakapan tiga, atau bahkan
empat orang. Siapa lagi yang datang malam-malam begini? <br /><br />Saya
tidak bisa berlaku marah lebih lama lagi. Setelah mandi dan mengganti
pakaian, saya menuju dapur dan memasak karena merasa lapar. Di ruang
tengah sudah ada Markus, Ayah, dan Gandhi, yang mengerubungi Darsana bak
melihat Sinterklas yang datang dengan sekarung hadiah. <br /><br />Darsana
menghampiri saya sewaktu saya menaruh piring-piring makanan di meja
makan. “Nada, aku terlambat karena aku menunggu ini beres dikerjakan.” <br /><br />Kotak
kecil diletakkannya bersebelahan dengan piring-piring makanan yang baru
saya sajikan. Saya menghela napas dan menyeka keringat di dahi. <br /><br />“Itu cincin, Nada. Aku sedang melamarmu.” <br /><br />Malam
itu juga saya mengusirnya. Cincin yang ia berikan langsung saya buang
ke tempat sampah di dapur. Ia pergi tanpa tedeng aling-aling, di tengah
hujan badai. Saya meninggalkan masakan di dapur, melewati Gandhi,
Markus, dan Ayah yang terbengong-bengong di ruang tengah rumah dan masuk
ke kamar. Ketika saya menggebrak pintu, mereka langsung mematikan
televisi. <br /><br /><i>Mengapa bisa ada lelaki sebodoh kamu, Darsana? </i><br /><br />Darsana
bisa saja mencari gadis lain di Prancis. Atau menikahi salah satu
pemujanya di sekitar rumahnya. Namun, mengapa pria itu memilih saya? <br /><br /> <br /><br />INGATAN saya melayang pada Johan dan masa lalu yang saya lewatkan dalam kesendirian. <br /><br />Saya
tidak tahu apakah saya begitu bodohnya sampai-sampai mengiyakan lamaran
pernikahan dari pria yang sepantasnya menjadi anak saya. <br /><br />Saat
melihat senyum Darsana yang menyambut saya di altar, mengikrarkan bahwa
kami akan saling mencintai selamanya, dalam suka maupun duka, dan
sehidup semati, semua keraguan itu seketika tertepiskan begitu saja. <br /><br />Namun,
saya tidak tahu bagaimana harus bercinta dengannya. saya bilang saya
perlu menyendiri malam itu. Saya duduk di tepi ranjang. Meratapi kulit
tubuh saya yang sudah keriput dan payudara saya yang tak elok dipandang.
Merasa benci terlalu lama melihat tubuh sendiri, saya kemudian hanya
bisa memandangi kursi, meja, lemari baju, deretan lemari buku, sofa,
akuarium, dan sebuah telepon bergagang kuning di dinding kamar Darsana.
Memandangi setiap detailnya. Memandangi kamar berulang-ulang. <br /><br />Saya
meminta Darsana untuk tidur di sofa ruang tamu. Sementara itu, di kamar
Darsana, saya meneguk habis botol vodka yang saya beli dari swalayan 24
jam. Sudah botol ketiga dan hati saya masih merajuk tentang akal sehat.
<br /><br />Mengapa bisa-bisanya saya menghancurkan masa depan Darsana?
Saya tahu Darsana yang berulang-ulang menegaskan bahwa ia
sungguh-sungguh ingin menikahi saya. <br /><br />Saya menjalani prosesi
pernikahan dengan sebaik-baiknya, tetapi saya sungguh tak tahu di mana
saya pernah meletakkan hati saya. Pagi tadi, saya mencari-carinya di
mata Darsana, tetapi saya tak berhasil menemukannya. <br /><br />Untuk apa
lagi Darsana meniduri saya bila persanggamaan kami tidak akan
memberikannya keturunan? Gandhi bukan darah daging saya, juga bukan
darah daging Darsana, tetapi ia sangat mencintai bocah kecil itu.
Seperti halnya putranya sendiri. <br /><br />“Nada,” Darsana akhirnya mengetuk pintu. “Kita mungkin bisa bicara?” tanyanya lembut. <br /><br />“Belum,” jawab saya. “Saya tidak bisa berpikir waras sekarang.” <br /><br />Hingga
pagi, ia tidak mengetuk lagi. Selama itu, saya juga tidak kunjung bisa
tertidur. Kerja saya hanya melihat gambar dalam buku-buku sketsa Darsana
yang ditaruhnya di laci meja baca. Dan membaca habis buku harian pria
itu. <br /><br /> <br /><br />PADA pagi keesokan harinya, saya bilang dalam
kertas memo, saya akan pergi keluar kota untuk sementara waktu. Saya
meninggalkan kertas itu di atas meja baca Darsana, tepat di sebelah
tumpukan buku harian dan buku sketsanya. <br /><br />Tanpa menunggu Darsana pulang ke rumah, saya meninggalkan Yogyakarta. <br /><br />Saya
ingin pergi ke tempat yang tanpa sinyal, tanpa listrik, tanpa internet,
tanpa orang-orang yang saya kenal, dan tanpa rutinitas. Dulu sewaktu
saya dan Johan mengelilingi Sulawesi Selatan, kami pernah berniat
menyeberang ke Sulawesi Utara, ke Manado, untuk kemudian menyambangi
Pulau Buru. Johan selalu menjadi pengagum setia Pramoedya Ananta Toer.
Ia menamatkan Bumi Manusia bahkan ketika tetralogi novel itu masih
dilarang terbit oleh rezim Suharto. Mungkin saya selamanya akan
mencintai Johan. Kendati seringkali saya menemukan dirinya ada di diri
Darsana, ia sepertinya tak akan mungkin tergantikan. Mungkin ke sanalah,
ke tempat yang batal kami kunjungi itu, saya sekarang berniat pergi. <br /><br />Namun,
di tengah perjalanan, saya memutuskan tidak jadi menuju tempat yang
saya dambakan. Mungkin saya akan menunda keberangkatan selama satu-dua
hari karena belum benar-benar memahami rute tujuan. <br /><br />Saya justru
berakhir menginap di perumahan warga setempat yang sudah saya kenal
baik. Setelah mengaktifkan kembali telepon seluler, bertubi-tubi belasan
SMS masuk. Semuanya dari Darsana, Markus, dan Gandhi. Saya tak membalas
satu pun di antaranya. <br /><br />Sembari memeluk lutut di ruang tengah,
saya menunggu ibu-ibu setempat memasak jamuan ikan. Mereka menangkapnya
langsung dari Danau Tempe. Sebenarnya saya agak segan menginap di daerah
Sengkang, di sana laki-laki lebih banyak berkuasa daripada perempuan.
Para istri mungkin terlihat galak di depan orang banyak, tetapi
bagaimanapun mereka tidak akan berani menentang suaminya, bahkan sewaktu
suaminya yang berlaku salah. Dan itu benar-benar terlihat jelas tanpa
ditutup-tutupi. <br /><br />Beberapa tahun lalu, saat saya dan Johan
melakukan penelitian etnografi ke tempat itu, saya menjadi satu-satunya
perempuan di tengah para lelaki pembesar di desa yang menikmati jamuan
makan. Sama seperti saat itu, kini saya menjadi satu-satunya perempuan.
Sebagian besar laki-laki di sini memiliki lebih dari satu istri. Di
tempat saya menginap, tuan rumahnya bahkan beristrikan lima perempuan
dengan rentang umur yang kontras. <br /><br />Istri-istri mereka akan akur
saja menggerombol di dekat dapur dan makan di sana. Hal itu terkadang
membuat saya tak enak hati dan hendak memuntahkan apa yang saya makan. <br /><br />“Jadi kamu sudah menikah?” salah seorang istri tuan rumah bertanya. <br /><br />Saya
baru bisa menceritakannya setelah keesokan paginya kami berkesempatan
mengaso di ruang televisi. Saya bahkan tak diizinkan menemani para
istri-istri itu memasak di dapur. Tamu adalah raja, begitulah pepatah
mereka, walau tamu itu perempuan. <br /><br />“Dengan orang yang dua puluh tahun lebih muda?” istrinya yang lain melanjutkan. <br /><br />“Iya, begitulah,” kemudian saya hanya menegaskan. <br /><br />“Itu
luar biasa. Pria itu pasti sangat mencintaimu.” Istri-istri itu lantas
memeluk saya bebarengan. Namun, perkataan selanjutnya membuat saya
terhenyak, “Tapi kalau itu membuatmu khawatir, mengapa kamu tak mencari
pria yang seusia saja?” <br /><br />Pertanyaan salah satu dari mereka
disahuti oleh salah satu dari mereka juga, “Kalau jodoh sudah
digariskan, bagaimana bisa kita memilih?” <br /><br />Mereka kontan tertawa
cekikikan, seperti yang biasa dilakukan Pertiwi dan Kinanti. Saya
tiba-tiba saja merindukan mereka, karena ketika mengingat mereka, Markus
yang jenaka ikut muncul di benak saya. <br /><br />“Tapi kamu justru lari
kemari tanpa mengajak suamimu?” Setelah berhenti tertawa, mereka kembali
memberondong saya dengan pertanyaan. <br /><br />Saya mengangguk. <br /><br />Mereka
mendesah dan menggelengkan kepala kuat-kuat. “Bukankah kamu bilang
kalian sudah mengikrarkan janji itu? Sehidup semati, selamanya, dan
dalam suka maupun duka? Mengapa kamu pergi tanpa bilang-bilang?” <br /><br />Saat
itu saya tiba-tiba mengingat kesungguhan Darsana berdiri di samping
saya, menggenggam erat tangan saya, hingga kemudian bibirnya memagut
bibir saya. Apakah karena para perempuan di daerah ini lebih biasa patuh
dan mencintai suaminya dengan apa adanya, sehingga mereka tak perlu
mempertanyakan lagi kesungguhan suami mereka? Bahkan sekalipun mereka
diduakan, bahkan diempatkan? <br /><br />Mereka menanggapi segalanya jauh lebih dewasa daripada saya. <br /><br /> <br /><br />HARI
itu juga saya memesan mobil kembali ke Makassar dan membayar setengah
juta untuk perjalanan tujuh jam Sengkang-Makassar. Di tengah perjalanan,
saya memesan tiket pesawat kembali ke Yogyakarta. <br /><br />Darsana masih begitu khawatir dan menelepon saya berkali-kali selama perjalanan menuju bandara. <br /><br />Saya
tak menerima teleponnya, saya akan membuatnya terkejut dengan kehadiran
saya yang begitu tiba-tiba malam ini. Saya hanya mengabari Markus,
memintanya menjaga Darsana dan Ayah agar mereka tidak seberapa khawatir.
Saya tahu lelucon Markus akan bekerja banyak kali ini. <br /><br />Saat
saya datang, Darsana sudah lelap di tempat tidur. Basah akan keringat di
sekujur badan, saya tidak melepas pakaian dan sepatu, dan langsung
meloncat ke kasur, memeluk suami saya itu dari balik punggungnya. <br /><br />Ia tiba-tiba terbangun. Saya suka mendengar suara seraknya saat menyambut saya, “Kamu pulang secepat ini.” <br /><br />“Iya, saya pulang. Saya buru-buru kemari. Saya pikir kamu tidak akan bisa tidur,” goda saya. <br /><br />Apa
yang terpancar di matanya sebelum ia menjawab pertanyaan saya membuat
saya seketika tersenyum. Diam-diam saya sudah mencintainya sebegini
dalam. <br /><br />“Semua orang memaksaku tidur,” jawabnya sembari mengangkat tubuhnya untuk duduk. <br /><br />“Kalau semua orang memaksa kamu menceraikan saya, apa kamu akan dengar apa yang mereka bilang?” <br /><br />Ia
menghela napas. “Nada, bukan untuk yang satu itu. Kalau aku tidak
tidur, aku akan kalut luar biasa. Aku mondar-mandir seharian, aku minum
bergelas-gelas kopi untuk bisa terjaga. Aku menelepon dan mengirimimu
SMS berkali-kali. Aku hampir ke kantor polisi untuk melaporkan aku
kehilangan mempelai perempuanku sehari setelah kami menikah. Kalau aku
tidak memejamkan mata dalam keadaan itu, aku bisa meledak.” <br /><br />Saya
menarik tubuh dan duduk di sisinya, merebahkan kepala pada bahunya.
“Kamu tidak pernah bilang kepada saya, perempuan seperti apa yang kamu
sukai. Misalnya, perempuan langsing, berambut ikal, atau beretina
cokelat? Setidaknya, beri tahu apa yang kamu sukai dari saya.” <br /><br />Saya
membuka kancing baju saya dan kemudian melepaskan sepenuhnya kemeja dan
jaket saya di hadapan Darsana. “Payudara saya tidak menarik lagi, ya?”
lanjut saya. <br /><br />“Tidakkah kamu pikir jiwa terpenjara di dalam
tubuh? Aku tidak mengerti dengan dunia ini. Bila aku menikahi orang yang
jauh lebih muda, aku bisa dikatai paedofil. Sewaktu aku menikahi orang
yang jauh lebih tua, aku disebut mengidap oedipus complex. Mengapa
memangnya aku harus menikahi orang yang seusia? Bagaimana kalau aku
tidak mencintainya?” <br /><br />Saya tertawa dan mengusap kencang rambut
Darsana yang berantakan dan mulai melepaskan pakaiannya. Saya lantas
memeluk tubuh Darsana, dada kami saling menempel tanpa dibatasi sehelai
benang. “Saya ingin mendengarmu dan kamu mendengar saya tanpa kita perlu
berkata-kata. Kita bahkan tidak perlu berbisik.” <br /><br />Debaran
jantung kami berpadu. Debaran itu yang menemani suami saya sejak ia
dalam rahim ibunya hingga kini ia memeluk saya erat. Mungkinkah debaran
itu akan mampu bercerita lebih banyak daripada buku harian Darsana yang
saya baca tempo hari atau cerita mertua saya tentang putranya? <br /><br /> <br />KAFE
masih beroperasi mulai pukul enam pagi. Namun, kafe tidak bisa tutup
sekehendak hati lagi, ia sudah pasti akan saya tutup paling lambat pukul
sepuluh petang. Pertiwi dan Kinanti sebenarnya bisa saja menjaga hingga
larut dan melembur di kafe, tetapi saya tidak enak hati. <br /><br />Kini
mereka berdua tinggal di rumah saya, mengayomi Ayah dan Markus yang
bertingkah kekanakan sepanjang waktu. Mereka masih akan saling memukul
kepala satu sama lain manasuka, mencelotehi dan berdebat sepanjang hari.
Belakangan waktu ini, mereka lebih sering bertengkar setiap menonton
pertandingan pacuan kuda di televisi. <br /><br />Gandhi ikut pindah bersama
saya ke rumah Darsana, dan semakin hari semakin jelas ia lebih suka
bermain dengan neneknya. Gandhi gemar memamerkan bakat di depan
neneknya. Setiap saat bersama, ia menggambar sketsa wajah neneknya dan
memainkan gitar yang dipelajarinya dari Darsana. <br /><br />Saya akhirnya
menceritakan yang sebenarnya kepada Gandhi saat perayaan ulang tahunnya
yang kesebelas. Ia tidak lagi menerima kiriman hadiah dari ayah
palsu-nya di luar negeri. Darsana yang kemudian memberikannya hadiah
ulang tahun hari itu. Ia memberikan putranya itu kadal dan ular mainan.
Saya terpingkal-pingkal melihat respons Gandhi saat membuka kotak
hadiah. Sementara itu, Darsana hanya tidur di rumah setiap Sabtu dan
Minggu, dari hari Senin hingga Jumat ia tidur di kamar kontrakan dekat
wilayah Parangtritis. Ia menjadi dosen di ISI Yogyakarta. <br /><br />Namun
sewaktu-waktu Darsana akan pulang untuk menjenguk kami bertiga. Saya
sering jengkel dan berkata ia sebetulnya tidak perlu mengontrak rumah
kalau memang berniat untuk mampir hampir setiap hari. Ia tidak pernah
menganggap serius kemarahan saya. Ia akan tertawa saja dan segera
mengajak Gandhi keluar rumah. Mereka melancong ke mana pun yang Gandhi
inginkan. Tanpa saya. Saya baru mengerti kedekatan seorang anak
laki-laki dengan ayahnya dengan melihat mereka. Mereka akan selalu
membawa buku sketsa dan cat air, atau umpan dan tali pancing, dan selalu
berkomplot bertingkah jahil di depan saya. <br /><br />Sepanjang waktu
kedatangan Darsana, ia juga rutin menanyakan apakah hasil tes kehamilan
saya positif. Di usia saya yang keempat puluh lima, suami saya itu masih
menaruh harapan besar agar saya bisa hamil. Saya tak menyangka
keajaiban itu datang di hidup saya. Lima bulan setelah pernikahan kami,
saya akhirnya hamil. <br /><br /> Rasanya menakjubkan ketika ada sesuatu
yang menendang-nendang di perut saya. Dengan Gandhi yang kerap
mengusap-usap perut ibunya sebelum berangkat sekolah. <br /><br />Darsana
masih tinggal terpisah dengan kami, tetapi hampir tiap hari ia
membawakan makanan yang saya idamkan. Setiap kali datang, ia selalu
menempelkan kepalanya di perut saya. Suatu saat, saya minta ia
mengucapkan sesuatu kepada anaknya di dalam kandungan saya. <br /><br />Namun
ia justru mengecup perut saya dan mengambil perkataan saya beberapa
waktu lalu, “Kita bahkan tidak perlu berbisik. Kasih sayang yang sejati
tidak perlu diucapkan, bukan, Bunda?” <br /><br />Saya menonjok pelan
bahunya. Dan Darsana hanya tertawa riang seperti halnya ia masih
kanak-kanak, berlari menghindari saya, kemudian mengajak Gandhi untuk
piknik ke luar rumah.</span><p></p>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-31449300855700341862016-12-13T23:56:00.001+07:002022-05-04T15:15:20.316+07:00Immanuel Kant dan GWF Hegel, dan Konsep Idea <span style="font-family: verdana;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><span style="font-size: small;"><span>Immanuel Kant adalah filsuf pertama yang berkontribusi pada
bidang logika idealisme Jerman sehingga menjadi fondasi bagi para pemikir
idealisme Jerman selanjutnya, oleh Fichte, Schelling, maupun Hegel. Sementara
idealisme pada masa-masa sebelumnya memisahkan antara objek material maupun
objek intelektual, sebagaimana yang dilakukan oleh Plato dan Berkeley,
idealisme Jerman menolak distingsi tersebut. Agaknya, idealisme Kant terbilang
yang cukup moderat mendefinisikan bahwa objek yang diselidiki oleh pengetahuan
manusia bersifat ideal dan transendental sekaligus riil dan empiris—menengahi
konsep para pemikir sebelumnya tentang Empirisme dan Rasionalisme. Hal tersebut
mungkin terjadi karena bagi Kant, pemikiran manusia dapat menghasilkan
pengetahuan yang valid dari dirinya sendiri (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das Ding an sich</i>) yang berasal dari kesimpulan silogistis tertentu.
Dalam diskursusnya mengenai Dialektika Transendental, Kant menyebutkan adanya
tiga kesimpulan silogistis yang mungkin dan berkaitan dengan tiga kategori
akal-budi (substansi, kausalitas, dan resiprositas), yang merupakan semacam
kesatuan akhir yang mutlak, tiga kesimpulan itu disebutnya sebagai “idea-idea
rasio murni”. Idea pertama adalah “Idea Jiwa”, idea kedua adalah “Idea Dunia”,
dan idea ketiga adalah “Idea Allah”.</span></span><br />
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dalam rentang sejarah selanjutnya, GWF Hegel berpendapat
bahwa dalam kritisisme Kant masih terdapat oposisi antara fenomena dan noumena,
jadi masih ada oposisi antara subjek dan objek. Hegel lebih menyetujui usaha
Fichte menghapus “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das Ding an sich</i>”,
ia juga mengagumi filsafat Schelling yang memaparkan adanya Alam atau dunia
yang tidak dipahami sebagai oposisi Roh. Terhadap pemikiran Schelling tersebut,
Hegel menambahkan unsur kesejarahan—poin tentang adanya proses perwujudan diri
(<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Selbstverwirklichug</i>) dari Roh. Dalam
filsafat Hegel, Yang Absolut (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das
Absolute</i>) atau Roh (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">der Geist</i>)
ini dipandang hadir pada dirinya sendiri, dan menurutnya Roh tersebut harus
menyatakan dirinya dengan mengalienasikan diri dalam Alam terlebih dahulu,
beserta konsep mengenai adanya negasi dalam proses perwujudan tersebut. Bagi
Hegel, Roh adalah totalitas, seluruh kenyataan. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Dari paparan di atas, perbedaan antara konsep Idea (dalam
terminologi Hegel, Roh/Rasio/Yang Absolut) Hegel dengan Kant (dalam terminologi
Kant, idea-idea rasio murni) adalah: 1) Hegel bersepakat dengan Fichte,
menghapus adanya “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das Ding an sich</i>”,
2) Hegel menggunakan pandangan Schelling mengenai Alam dan Roh, dan menyetujui
bahwa Roh identik dengan Alam, 3) Hegel menambahkan unsur kesejarahan untuk
menjelaskan kaitan antara Roh dengan Alam, dan proses mengembangkan lebih
lanjut konsep refleksi Schelling menjadi sebuah konsep tentang alienasi yang
dilakukan oleh Roh terhadap Alam yang sesungguhnya berada dalam satu kesatuan
sistem, 4) Hegel mempercayai adanya objektivitas murni yang akan diperoleh oleh
Roh Absolut di akhir sejarah.</span></span><br /></span>
<span style="font-family: verdana;"><br /></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span>Sementara itu, persamaan konsep Idea Hegel dengan Kant
adalah: 1) Masih terdapat kedekatan pandangan kedua filsuf dengan peristilahan
keagamaan—yakni Roh ataupun Allah dalam istilah “Idea Allah” maupun “Roh
Absolut”, 2) Keduanya mendamaikan Rasionalisme dan Empirisisme baik dengan mengajukan
adanya “kesimpulan silogistis” maupun “Roh Absolut”, 3) Keduanya telah
menjelaskan konsep Idea dalam tataran metafisis dengan pengandaian atas
keberadaan “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das Ding an sich</i>”, meski
tidak bisa dicerap melalui penginderaan, maupun “Roh Absolut”, yang hanya bisa
mengemuka di akhir sejarah. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;">
</span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-65777366852684526612016-05-24T19:49:00.002+07:002021-06-02T15:55:18.642+07:00Nenek<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:DoNotShowRevisions/>
<w:DoNotPrintRevisions/>
<w:DoNotShowInsertionsAndDeletions/>
<w:DoNotShowPropertyChanges/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
text-align:justify;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<br />
</span></span><div style="text-align: center;">
<blockquote class="tr_bq">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span style="text-transform: uppercase;"> </span><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Untuk <i>Rio Johan</i>.</span></span></span></span></div>
</blockquote>
</div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN; text-transform: uppercase;">Saat</span></b><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"> aku menunggu jadwal penerbanganku di bandara, jasad
seorang kawan di kampus yang juga tinggal satu indekos denganku sedang diotopsi
di rumah sakit. Beberapa botol minuman yang diraciknya menewaskan belasan kawan
sepeminuman kami. Dia tidak ikut mati karena mabuk minuman, tapi mungkin karena
merasa bersalah, dia kemudian bunuh diri malam itu juga. Aku kebetulan tidak
ikut minum dengan mereka karena sedang putus cinta. Dan kini aku terlalu patah
hati untuk terlibat dalam drama atau pun persidangan terkait kematian
kawan-kawanku, jadi aku memutuskan pergi.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Kalau bukan karena dikabari oleh Ibu bahwa Ayah akan dinobatkan menjadi
suttan dan diistanakan di pepadun dalam minggu ini, dan karenanya Ibu
mendesakku untuk pulang, aku tentu akan lebih memilih berkelana tak tentu arah
daripada pulang ke rumah. Tapi pulang ke rumah pun sama dengan menghindari
hal-hal tidak menyenangkan di kota ini. Lagipula, tiket pesawat dibayar
sepenuhnya oleh Ibu, jadi hal apa yang patut kukeluhkan? Jadi, tentu aku
akhirnya memilih pulang ke rumah.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Sudah lama aku tak pulang ke kampung halamanku. Ayah dan ibuku adalah
transmigran di Tulang Bawang Barat, dan rupanya mereka terlalu mengamalkan
dengan baik nilai-nilai hidup di sana sehingga kemudian diangkat anak oleh
nenekku. Dan kini, sekian belas tahun setelah kepindahan kami ke daerah itu,
Ayah akan mendapatkan gelar tertinggi orang-orang di sana: suttan. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Aku dijemput Paman di bandara dan ia memberiku hormat selayaknya anak
pejabat. Kutertawakan kelakuannya karena aku tahu ia menyindir Ayah. Aku paham
yang diejeknya bukan gelar suttan yang akan diperoleh Ayah, tetapi lebih pada
sikap kaku Ayah selama ini—dan betapa kompletnya bila sikap kakunya itu
disandingkan dengan gelar tertinggi tersebut. Sosok ayah tentu akan bertambah
angker. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Kugoda Paman, apakah dia masih belum dapat mengalahkan Ayah dalam
pertandingan catur. Dia mengangguk. Aku yakin memang akan sulit menemukan lawan
tanding yang setara dengan Ayah. Maka kusimpulkan pada Paman, Ayah tidak akan
tampil rendah hati di hadapannya bila dia belum kunjung mampu mengalahkannya. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Kami tertawa. Ia lantas menyodok tanganku dan mengganti topik. Kali ini ia
hendak membahas soal pendamping bagiku. Sebagai anak tunggal, aku diharapkan
menikah cepat. Aku menggeleng sekenanya. Aku pernah punya seseorang untuk
digandeng, tapi tidak untuk saat ini. Paman rupanya mencoba untuk mengerti aku
malas membahas hal itu. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Selama tiga jam saling bertukar menyetir mobil dalam perjalanan dari
bandara ke rumah, aku dan Paman bertukar ringkasan lima tahun masa hidup kami
yang telah terlewatkan selama masa perantauanku di pulau seberang. </span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span>
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Bibi telah
meninggal, dan Paman menikah lagi karena pada suatu malam dia mabuk fermentasi
singkong sehingga tidak bisa membedakan bokong sapi dan bokong istrinya
sekarang. Dia tukang perah sapi sebelum menikahi istri keduanya, tapi kini dia
bekerja mengolah hasil perkebunan dari sekian hektare tanah milik mertuanya. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Di sepanjang jalan, dia menunjuk area kiri-kanan jalanan itu yang merupakan
perkebunan milik mertuanya. Aku akan mensyukuri hidupku bila mendapatkan mertua
dengan kekayaan semacam itu, kubilang kepada Paman. Tapi dia tertawa dan justru
bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa bokong si istri pun sudah merupakan
anugerah baginya. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Rumahku rupanya tak banyak berubah meski lama kutinggal. Pekarangannya
masih dipenuhi pot bugenvil yang biasanya dibawa Ibu sebagai oleh-oleh dari
perjalanan dinasnya, dan bahkan koleksinya bertambah lebih banyak lagi. Meski
Ibu doyan membeli tumbuhan, Neneklah yang paling getol merawatnya, bersama dengan
anggrek-anggrek bulan yang dipetiknya dari hutan. Dan Ayah masih memelihara
anjing dalam jumlah yang lebih banyak lagi karena saat mobil kami datang,
anjing-anjing itu berhamburan bagaikan domba. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Beberapa orang hilir-mudik di pekarangan rumah sembari membawa gotongan.
Mereka adalah tetangga kami yang membantu persiapan pesta perayaan penobatan
Ayah. "Ini pesta besar dan kamu tahu makanan lezat apa saja yang akan kamu
nikmati di pesta besar itu," ujar Paman di sisiku dengan tawa yang amat
lebar. Kami akan menikmati rendang sapi paling enak, kue-kue jajanan pasar
paling segar, dan sepanjang pekan es buah akan mengguyur dahaga tenggorokan
kami di tengah cuaca yang sedang terik membara ini. Lama tidak pulang, dan kini
disambut dengan pesta. Luar biasa. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Nenek melepas selang air di pegangannya ketika melihatku turun dari mobil.
Belasan anjing di pekarangan rumah itu tidak menggonggongku seolah tahu bahwa
aku adalah salah satu tuan mereka juga. Membiarkan air dari selang membeceki
halaman, Nenek menghampiriku dan memelukku demikian erat. "Kenapa demikian
lama tidak pulang," tanyanya. "Kenapa Nenek masih tampak muda dan tak
berubah sedikit pun," kujawab. Dan dia tergelak, lantas cepat-cepat
menyongsongku ke arah dapur. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Ibu sedang memandu beberapa perempuan yang berada di dapur bersamanya untuk
meracik bumbu. Hanya sebuah pesta besar yang akan memanggil wanita karier satu
itu ke dapur dan berurusan dengan perapian. Wajah dan gerak-geriknya masih
optimistis dan garang seperti biasa. Tapi begitulah ibuku kukenal sebagai
perfeksionis. Saking sibuknya, bahkan ia tak menyadari kehadiran putra
tunggalnya di pintu dapur. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Maka aku meminta Nenek untuk ikut ke kamar dan membiarkan Ibu larut dengan
kesibukannya. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Kami duduk di ranjang di kamarku. Masih ada sederetan poster ilmuwan
favoritku, atlas dunia dan atlas negara, juga catatan-catatan formula
matematika, fisika, dan kimia di dinding kamar itu. Kamar itu mengingatkanku
kepada diriku yang pernah hingga bermalam-malam suntuk begadang untuk
mempersiapkan olimpiade sains dan pada akhirnya menggondol pulang medali-medali
emas. Sementara, selama lima tahun berkuliah aku justru terjauhkan dari semua
itu. Yang ada hanya deretan demonstrasi, pergerakan, harapan untuk revolusi,
mabuk minuman keras, kecanduan ganja, dan kematian kawan. Betapa mudahnya hidup
menjelma ironi dalam waktu singkat. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Nenek mulai menderetkan hari-hari indah dan hari-hari kelabunya selama aku
tak ada di sisinya. Dia memang tak pernah kehilangan kisah untuk dia ceritakan.
Kata Ibu, pada suatu hari, Kakek tiba-tiba saja tak bisa diajak bicara oleh
Nenek, lalu Kakek pergi ke tengah hutan dan tak pernah kembali lagi, dan sejak
itu Nenek kerap duduk termenung di halaman rumah, atau terkadang duduk di atas
pepadun di lantai dua rumah kayu kami. Kepada siapa saja yang duduk di
dekatnya, Nenek akan mulai menceritakan banyak kisah. Nenek punya kisah-kisah
asli selama 600 tahun ke belakang. Dan kisah-kisah itu berasal dari
pengalamannya sendiri. Usianya lebih dari 600 tahun, dan dia tidak bisa
memastikan kapan tepatnya dia lahir. Dia adalah ibu dari nenek dan nenek dan
nenek dan nenek di atas nenekku. Itu pun dengan mengandaikan bahwa ia memang
nenek yang sedarah denganku, dan kenyataannya bukan. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Saat ayah dan ibuku pindah ke Tulang Bawang Barat, mereka bertemu dengan
Nenek—tinggal bersama cukup lama—dan sejak itu mereka diangkat anak olehnya.
Selama ratusan tahun hidupnya, perempuan tua yang kini sedang menimang-nimang
jemariku di pahanya telah sembilan kali selamat dari kematian. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Selain sembilan kali “takdir kematian” yang datangnya dari alam itu, ada
ratusan kali “percobaan kecil” yang berusaha dilakukan musuh-musuhnya untuk
membunuh Nenek. Dan percobaan-percobaan pembunuhan yang kecil-kecil itu tak
masuk radar hitungannya. Sewaktu aku kecil, hampir setiap hari aku mendapati
bagian-bagian di halaman rumahku berlubang besar. Setiap pagi, aku akan
mendapati Nenek mandi kembang dan kemudian menyiram liang-liang itu dengan air
pembersihannya. Katanya, itu adalah liang-liang kematian yang disiapkan
musuh-musuh bebuyutannya untuk Nenek. Sepanjang malam saat aku dan seisi rumah
tertidur, Nenek rupanya bertarung kesaktian dengan musuh-musuhnya itu. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Saat kutanyakan kepada Nenek apakah halaman rumah kami masih sering
berlubang, dia justru balik menanyakan kepadaku apakah aku bersedia mewarisi
kesaktiannya.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Apakah kesaktian yang ia maksud sama dengan kehidupan imortal? </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Pertanyaan itu mengambang di benakku hingga ia bangkit dari duduknya. Aku
tetap tak menanyakannya. Dia membuka lemari di seberang kamarku dan
mengeluarkan kotak-kotak dari sana. Lantas, membuka kotak-kotak itu satu per
satu. Kosong. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">"Aku ingin berhenti dan tak mengejar apa-apa lagi," bisik Nenek
lirih. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">"Apakah di kotak itu terdapat sesuatu yang tak dapat kulihat,"
kutanya. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Dia tersenyum. "Aku akan pulang pada malam bulan purnama pekan
depan," jawab Nenek. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">"Apa pun yang terjadi, aku tak menghendaki kesaktian itu sama
sekali," aku tegaskan kepada Nenek. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Dia memelukku demikian erat dan hanya membisikkan, "Padahal selama ini
aku menunggu kepulanganmu dan mendengarmu siap mewarisinya dariku."</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><a name='more'></a><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span><span style="font-size: small;">
<br />
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN; text-transform: uppercase;">Selama</span></b><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"> beberapa hari perayaan pesta penobatan Ayah sebagai
suttan, rumah kami ramai bukan main. Sebagian besar kenalan Ayah dan Ibu mampir
ke rumah tak kenal waktu. Teman-teman sepermainanku pun mengunjungiku dan
menyampaikan selamat. Masing-masing dari mereka mengajak serta pasangannya.
Tapi kami tak bicara banyak karena tampaknya hidup mengantar kami ke
kutub-kutub berseberangan. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Nenek dan Ibu demikian sibuk menyambut tamu. Mereka tampak cantik dengan
seragam dan mahkota berwarna cerah. Sementara Ayah duduk bersila di atas
panggung dikelilingi oleh para tetua adat setempat. Musik mengalun sepanjang
waktu. Gadis-gadis menari di tengah panggung. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Dan aku dibebaskan mengambil potret peristiwa itu dengan kameraku. Sejak
Ayah dan Ibu memilih berprofesi menjadi “orang terpandang”, aku sudah tahu
“pekerjaan” apa yang ku</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">ke</span><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">hendaki untuk
menghindari sorot perhatian: fotografer. Sejak jauh-jauh hari, aku telah
mengembangkan hobi fotografi, supaya aku punya alasan untuk menghindari
kerumunan, dan mempehatikan detail-detail kecil yang diluputkan banyak orang
dalam hingar-bingar pesta. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Aku diam-diam mengamati Nenek dari kejauhan, beberapa kali menjepretnya
dengan pembesaran lensa tele. Melihat pembawaannya, betapa aku ingin belajar
darinya cara untuk mengikhlaskan kehidupan. Aku yakin bukan hanya kepadaku ia
mengatakan bahwa ia akan berpulang pekan ini. Tapi mungkin ia bisa setenang itu
karena ia telah hidup selama ratusan tahun. Itu adalah jenis ketenangan yang
dimiliki oleh seseorang yang telah menyesap hidup hingga ke ampas-ampasnya. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Tapi untuk apa Nenek mewariskan kesaktiannya? Tidak bisakah kesaktiannya
dilimpahkan saja ke tanah yang dipijaknya? Tanah yang sakti tentu lebih baik
agar tanah itu bisa menjaga unsur-unsur haranya dan menyuburkan segala jenis tanaman
yang benihnya ditaburkan padanya. Aku tak memerlukan warisan kesaktian untuk
hidup imortal karena itu akan membuatku semakin bertambah kecewa menghadapi
hidup yang palsu ini. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Sekian hari setelah pesta Ayah usai, Nenek mulai menggigil demam. Seluruh kulit
dan rambutnya berubah putih. Nenek mengisyaratkan kepada kami bahwa ia akan
meninggal petang itu dan ia minta agar kami menyiapkan terusan putih panjang
untuk dikenakannya malam nanti. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Ia lantas dibaringkan pada ranjang besar di ruangan utama rumah. Ibu
memanggil para tetangga kami untuk mengelilingi Nenek. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Malam akhirnya tiba. Seekor harimau putih berputar sembilan kali di halaman
rumah hingga ibuku membukakan pintu untuknya. Aku melihat wajah para perempuan
yang mengelilingi ranjang di ruangan utama rumah ini pucat seakan kehabisan
darah saat harimau itu masuk dan berdiri di pintu kamar. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Demi nenekku yang terbaring lemah di atas ranjang, mereka berpuasa dan
melafalkan doa dengan amat khusyuk seharian itu. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Betapapun puasa dan doa menyucikan jiwa mereka, harimau itu tidak datang
untuk mereka. Ia datang untuk nenekku. Seperti yang dikatakan Nenek, hari itu
adalah hari kematiannya. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Langkahnya perlahan, seakan ia berjalan dengan dua kaki. Ketika ia
mengentakkan ekornya ke lantai, nenekku terbangun dari tidur panjangnya. Nenek
menyebut sebuah nama yang hanya terdengar samar-samar. Seakan panggilan itu ia
pahami ditujukan untuknya, harimau itu menyelonjorkan keempat kakinya dan
bersimpuh kalem di depan ranjang. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Nenek menghampirinya, ikut bersimpuh di hadapan harimau itu. Cakar si
harimau menancap di dada Nenek dan cakar itu menggaruk dada itu hingga
menyentuh bagian perut. Seisi rumah meraung sementara harimau itu tak kunjung
mengaum. Aku terbengong-bengong dan hanya mampu membekap mulutku sendiri. Nenek
bergeming, ia sentuh kepala harimau itu bagaikan ia menyentuh kepalaku saban
hari, dan membelainya dengan sayang. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Selanjutnya hanyalah kisah bagaikan dongeng. Nenek menuntun harimau putih
itu keluar rumah dengan dada berlubang. Isi dada dan perutnya tercecer di sepanjang
langkahnya. Mereka berjalan menyusuri pekarangan, pergi jauh, hingga hilang
ditelan cakrawala. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Masih dengan isak tangis, para perempuan tetangga kami itu beranjak untuk
membersihkan jejak darah itu, tetapi sewaktu mereka mengambil kain lap ke belakang
rumah dan kembali lagi ke ruang tengah, genangan darah kental itu telah menguap
ke udara. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Kata ibuku, Nenek telah mencapai keabadian. Hari itu, aku memahami
keabadian bagi Nenek adalah kehilangan bagiku. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Bagaikan sebuah kutukan, Ibu tak kunjung berhenti menangisi kepergian
Nenek. Bahkan saat ia tertidur, air mata mengalir tipis di pipinya. Ayah pulang
dari tempat kerjanya pada dini hari, dan sebelum tidur, ia sempatkan mengusap
air mata itu dan mengecup kening Ibu. Kemesraan ayah itu berlanjut selama tiga
hari, hingga suatu hari sepulang dari rumah teman masa kecilku yang baru saja
melahirkan putra pertamanya, aku mendengar kabar jasad ibuku ditemukan
mengambang di sungai Way Kiri. Itu adalah sungai yang kudengar keangkerannya
karena orang-orang sakti di daerahku ini kehilangan kekuatannya apabila
melintasi sungai itu. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN; text-transform: uppercase;">Ayah</span></b><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"><b> </b>memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah itu. Ia
memerintahkan tukang untuk membangun dua patung perwujudan nenek dan ibuku, dan
ia menyembahnya setiap hari. Orang-orang sempat menggunjingkan perilakunya,
karena Ayah sesungguhnya menganut Islam. Tapi lama-kelamaan gunjingan itu pun
surut juga. Meski untuk perihal pemujaan itu kelakuan Ayah jadi tampak sangat
aneh, sehari-harinya ia tetap berangkat dinas ke kantor. Sudah dua belas tahun
Ayah bekerja untuk kantor sebelumnya, dan baru-baru ini ia pindah bekerja di
kantor bupati karena daerah kami menjadi daerah pemekaran. Ayah menggantikan
semua pekerjaan Ibu. Ia membersihkan rumah, mencuci bajunya sendiri, dan
memasak. Hanya tinggal kami di rumah ini saat ini, tapi aku tidak mengerti
mengapa aku tetap tak bisa bicara di hadapannya. Bahkan sejak Nenek dan Ibu
masih hidup, aku merasa ada sekat di antara aku dan Ayah. Dulu Ibu adalah
perantara kami. Seakan-akan semua hal yang hendak kusampaikan pada Ayah justru
kualihkan kepada Ibu. Kini, saat hanya tinggal kami berdua, aku tak tahu
bagaimana caranya menyembunyikan kekhawatiran ini. Hingga tiba saatnya aku
kembali lagi ke perantauan beberapa pekan lagi, dan Ayah akan menghuni rumah
ini seorang diri.</span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;"> [*]</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div align="left" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-align: left;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">Cerita pendek ini akan secara eksklusif diterbitkan
dalam kumpulan catatan perjalanan ke Tulang Bawang Barat (bersama Yusi Avianto
Pareanom, Nukila Amal, Dea Anugrah, AS Laksana, Esha Tegar Putra, Langgeng
Anggradinata, Iswadi Pratama, dan Afrizal Malna) dengan Studio Hanafi yang
bertajuk “Tubaba”, Juni 2016. </span></i></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormal">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-37540866852704658032015-12-15T20:24:00.001+07:002021-06-02T15:58:13.655+07:00Politik Kesusastraan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Pendirian
<i>Commissie voor de Volkslectuur </i>(Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun
1908, yang diketuai G. A. J. Hazeu, penasihat urusan Bumiputra, adalah salah
satu upaya pemerintah kolonial dalam meredam sumber-sumber pemikiran politik
yang mungkin menjatuhkan kekuasaan mereka pada awal abad ke-19. Pada 1911,
lewat komisi ini, D. A. Rinkes menerbitkan “<i>Nota Over de Volkslectuur</i>”
yang menetapkan pelarangan atas penerbitan dan peredaran buku-buku yang
dianggap sebagai bacaan liar dan menganggu stabilitas pemerintahan mereka,
yakni di antaranya terbitan berbahasa Melayu populer<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn1"><span style="mso-bookmark: _ftnref1;"><span style="color: blue;">[1]</span></span></a>
yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi ini di kemudian
waktu difungsikan dan populer sebagai Penerbit Balai Pustaka.</span></span>
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Surat
edaran Rinkes itu menyebutkan kriteria bacaan yang berterima oleh komisi
tersebut: (1) netral terhadap persoalan agama; (2) tidak boleh mengandung
pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah; (3) tidak menerima
sastra yang bersifat cabul; (4) karya harus ditulis dalam bahasa Melayu tinggi
karena karya tersebut akan dibawa ke sekolah-sekolah; dan (5) sastra semestinya
menerapkan penokohan yang lazim: karakter hitam-putih.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn2"><span style="mso-bookmark: _ftnref2;"><span style="color: blue;">[2]</span></span></a>
Pada perkembangannya, pemerintah Kolonial Belanda terbilang berhasil menerapkan
aturan-aturan tersebut, terutama dalam mengasingkan bahasa Melayu Populer yang
merupakan bahasa utama dalam penulisan kesusastraan Melayu-Tionghoa sehingga
sejak 1930-an para pengarang pribumi<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn3"><span style="mso-bookmark: _ftnref3;"><span style="color: blue;">[3]</span></span></a>
praktis mulai belajar dan hanya menulis dalam bahasa Melayu tinggi.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Bahasa
Melayu tinggi yang berasal dari Kepulauan Riau kemudian menjadi bahasa
Indonesia dengan corak yang lebih baku, yakni bahasa yang ketika itu digunakan
dalam sekolah-sekolah pemerintah yang kemudian lazim dikenal sebagai bahasa
Balai Pustaka.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn4"><span style="mso-bookmark: _ftnref4;"><span style="color: blue;">[4]</span></span></a>
Penggunaan bahasa Melayu populer ini baru dibedakan dengan Melayu ala Balai
Pustaka setelah terjadinya pemberontakan PKI di tahun 1920-an.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn5"><span style="mso-bookmark: _ftnref5;"><span style="color: blue;">[5]</span></span></a>
Terkait hal ini, perlu ditekankan bahwa Claudine Salmon, peneliti kesusastraan
Melayu-Tionghoa, berpendapat bahwa sebelum pertengahan 1920-an, bahasa Melayu
Populer telah lebih intensif dan lebih dahulu dipakai oleh masyarakat pribumi
Indonesia di Jawa dibandingkan bahasa Melayu tinggi yang ditegaskan
penggunaannya oleh Balai Pustaka. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Penerbit
Balai Pustaka sendiri di kemudian waktu berperan besar dalam perpanjangan
tangan politik kolonial Belanda. Oleh komisi tersebut, kesusastraan
dikendalikan dan dihaluskan. Sensor diterapkan untuk hal-hal yang terkait isu
kolonialisme, sebaran ideologi komunis, ataupun pemikiran progresif Islam.
Karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, bersama dengan karya sastra generasi awal
penulis sosialis penduduk pribumi—<i>literatuur socialistisch</i>—seperti yang
ditulis oleh Semaoen dan Mas Marco Kartodikromo, dicap sebagai bacaan liar
karena dianggap mengganggu kestabilan pemerintahan kolonial Belanda. Kualitas
karya mereka dinilai berbahaya secara politis dan mengganggu moral masyarakat.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn6"><span style="mso-bookmark: _ftnref6;"><span style="color: blue;">[6]</span></span></a>
Novel Mas Marco, <i>Mata Gelap</i> (1914), hingga novelnya satu dekade
kemudian, <i>Rasa Merdika</i> (1924), tidak masuk dalam perbincangan sastra
pada ulasan majalah ataupun resensi di masa itu. Demikian halnya dengan novel
Semaoen, <i>Hikajat Kadiroen</i> (1922). Sementara itu, sebagian besar karya
sastra Melayu Tionghoa yang dicap sebagai bacaan liar praktis diberangus habis.
Secara singkat dan gamblang, dapat dikatakan politik Balai Pustaka telah
sepenuhnya bekerja dalam membatasi resepsi pembaca atas karya-karya mereka.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn7"><span style="mso-bookmark: _ftnref7;"><span style="color: blue;">[7]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;"><h3>
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Tradisi
Penerbitan</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Dalam
tradisi penerbitan di Indonesia, terhitung sejak masa pra-Indonesia, peranakan
Eropa adalah golongan yang memiliki privilese paling besar. Pada periode 1858-1900,
mereka memiliki 14 terbitan surat kabar di Betawi dan 6 terbitan surat kabar di
Surabaya. Pada terbitan-terbitan mereka tersebut, peranakan Tionghoa hanya
dipertugaskan untuk membantu dalam ranah pekerjaan redaksional.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn8"><span style="mso-bookmark: _ftnref8;"><span style="color: blue;">[8]</span></span></a>
Meskipun pada saat itu pula, Lie Kim Hok, penulis peranakan Tionghoa, telah
dikenal menghasilkan sejumlah karya tulis, dan ia mendapat julukan sebagai
bapak “bahasa Melayu-Betawi” berkat kamus bahasa Betawi yang disusunnya.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn9"><span style="mso-bookmark: _ftnref9;"><span style="color: blue;">[9]</span></span></a>
Setelah peranakan Eropa, pada tahun 1880-an, peranakan Tionghoa menyusul
memiliki penerbitan sendiri. Dengan demikian, mereka lebih punya kebebasan
sendiri, atas pilihan sendiri, dan dengan tanggung jawab sendiri.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn10"><span style="mso-bookmark: _ftnref10;"><span style="color: blue;">[10]</span></span></a>
Disusul kemudian kepemilikan penerbitan oleh golongan pribumi pada 1906-1912,
yakni dengan terbentuknya <i>NV. Javaansche Boekhandel en Drokkerij en Handel
in Schrijfbehoeften</i> “Medan Prijaji” yang dipimpin oleh R. M. Tirto
Adhisoerjo. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;"><h3 style="text-align: left;">
<span style="font-size: medium;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Sastra Melayu-Tionghoa:
Selayang Pandang</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Usaha-usaha Percetakan dan
Penerbitan oleh Masyarakat Tionghoa</span></i></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Usaha
percetakan Tionghoa pertama di Indonesia didirikan pada 1879. Percetakan
tersebut dimiliki dan dikelola oleh Yap Goan Ho. Usaha Yap Goan Ho ini
dilanjutkan oleh Lie Kim Hok, tetapi di tengah jalan mengalami kegagalan
sehingga ia menjual alat-alat percetakannya kepada penerbit Belanda, Albrecht.
Pada umumnya, dana usaha penerbitan buku masyarakat Tionghoa bersumber dari
sebagian hasil usaha dagang mereka di luar percetakan maupun penerbitan.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn11"><span style="mso-bookmark: _ftnref11;"><span style="color: blue;">[11]</span></span></a>
Hal ini berbeda dengan penduduk pribumi ataupun pemerintah kolonial Belanda
yang masih menggantungkan diri dari subsidi pemerintah. Berdasarkan
karakteristiknya, kesusastraannya tumbuh atas dukungan jurnalisme mereka yang
sudah bermula sejak tahun 1950-an.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn12"><span style="mso-bookmark: _ftnref12;"><span style="color: blue;">[12]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Sejalan
dengan adanya usaha percetakan dan penerbitan itu pula, produksi kesusastraan
Melayu-Tionghoa dapat dikatakan membentang dalam kurun waktu cukup panjang,
1870-an hingga 1960. Dalam penelitian ekstensifnya,<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn13"><span style="mso-bookmark: _ftnref13;"><span style="color: blue;">[13]</span></span></a>
Claudine Salmon dan Denys Lombard mendapatkan hasil yang mengesankan mengenai
kesusastraan “yang hilang dan dilupakan” tersebut:</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Jumlah
pengarang dan penerjemah : 806</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Jumlah
karya-karya mereka : 2.757</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Karya-karya
anonim : 248</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Jumlah
keseluruhan karya-karya : 3.005</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Di
antara ke-3.005 judul tersebut, tanpa memperhitungkan terbitan ulang, terdapat:</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">73
sandiwara</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">183
syair</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">233
terjemahan karya-karya barat</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">759
terjemahan dari bahasa Cina</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">1398
novel dan cerpen asli</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Sumber:
<i>Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated
Bibliography </i>(Etudes insulindiennes-Archipel: 3, Paris, Editions de la
Maison des Sciences de l’Homme, 1981)</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Claudine
memyandingkan temuannya tersebut dengan jumlah judul dari tradisi kesusastraan
Indonesia yang didokumentasikan dalam “kesusastraan Indonesia modern”,
bersumber dari penelitian pakar sastra Indonesia, A. Teeuw, yang dinyatakan
meliputi sekitar 175 pengarang dan sekitar 400 karya (1967) dan 284 pengarang
dengan 770 karya (1979).<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn14"><span style="mso-bookmark: _ftnref14;"><span style="color: blue;">[14]</span></span></a>
Hasil penelitian Salmon ini mengoreksi penelitian Teeuw sehingga Teeuw merasa
perlu untuk bermawas diri dan meninjau kembali pandangannya mengenai
kesusastraan modern Indonesia, hingga ia sampai pada simpulan:</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">“Buku
tersebut [buku Claudine Salmon, <i>sic!</i>] telah memberi landasan kuat bagi
kritik sastra yang sangat diperlukan untuk lebih memajukan penelitian sastra
Indonesia modern. Berhubung dengan alasan-alasan yang diajukan Salmon itu tak
terbantahkan dan begitu meyakinkan, para peneliti perlu melepaskan sikap
apriori bahwa sastra Indonesia awal dan manifestasi satu-satunya sebelum Perang
Dunia Kedua adalah novel-novel Balai Pustaka. Dengan terbitnya buku tersebut,
tak diragukan lagi bahwa sastra peranakan Tionghoa merupakan mata rantai pokok
dari perkembangan sastra Indonesia masa kini…”<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn15"><span style="mso-bookmark: _ftnref15;"><span style="color: blue;">[15]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Liang
Liji, seorang pembaca kesusastraan Melayu-Tionghoa, merefleksikan bahwa ada dua
hal yang menyebabkan kesusastraan Melayu-Tionghoa tidak mendapatkan tempat
dalam nomenklatur sastra pada masa itu. Diterangkan oleh Liang Liji,
alasan-alasannya di antaranya: <i>pertama</i>, keturunan Tionghoa pada masa itu
berstatus dwi-warganegara dan hanya dianggap sebagai perantau. Padahal,
sesungguhnya mereka bukan hanya merantau, melainkan berimigrasi dan berkehendak
untuk menetap. Mereka berangsur-angsur membaurkan diri dengan masyarakat
Indonesia. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai upaya asimilasi dan menetapkannya
sebagai periode asimilatif atau periode pra-sastra Indonesia, apabila hendak
dikaitkan dengan pembabakan kesusastraan. Dalam sejarahnya kemudian, saat
dihadapkan pada status dwinegara tersebut, mereka lebih memilih Indonesia. Ini
berarti mereka menganggap diri sebagai bagian dari Indonesia dan dengan
demikian semestinya karya kesusastraan mereka dimasukkan dalam kategori
kesusastraan Indonesia.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Kedua</span></i><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">,
kesusastraan ini ditulis dalam bahasa Melayu populer yang didiskreditkan oleh
pihak kolonial Belanda sebagai “bahasa Melayu rendah”—atau bahasa Melayu pasar.
Bahasa Melayu rendah ini tidak dipandang sebagai sumber dari bahasa Indonesia
yang digunakan pada masa ini. Ada anggapan bahwa bahasa Indonesia pada masa ini
hanya bersumber dari bahasa Melayu tinggi yang berakar dari bahasa Melayu yang
dipakai di Kepulauan Riau. Padahal, seperti yang dijelaskan Salmon, bahasa
Melayu populer digunakan secara lebih luas di tengah masyarakat karena terasa
lebih cocok dan lancar untuk dipergunakan mengungkapkan perasaan dan pikiran
dalam kehidupan sehari-hari. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Balai
Pustaka menempatkan mutu karya sastra Melayu-Tionghoa sebagai “bacaan liar”,
padahal beberapa karya sastra Melayu-Tionghoa justru bisa dikategorikan sebagai
“kesusastraan Melayu tinggi”. <i>Pertama</i>, karena isinya lebih realistis,
tidak hanya membahas dunia khayal dan mitos, tetapi lebih banyak mengungkapkan
kehidupan dalam masyarakat dan melukiskan suka-duka manusia dalam
kesehariannya. <i>Kedua</i>, penulisannya sudah menerapkan bentuk dan metode
kreasi modern dan meninggalkan gaya penulisan usang. <i>Ketiga</i>, penggunaan
gaya bahasanya telah meningkatkan “bahasa Melayu populer” ke taraf bahasa
sastra dan memopulerkannya ke seluruh Indonesia. <i>Keempat</i>, selain
mengandung nilai sastra, kesusastraan mereka juga dapat disebut sebagai dokumen
sejarah karena isinya yang kontekstual dan berdasarkan peristiwa aktual pada
saat itu. Untuk alasan-alasan ini, Jakob Soemardjo mengafirmasi kesusastraan
Melayu-Tionghoa sebagai cikal bakal sastra modern di Indonesia.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn16"><span style="mso-bookmark: _ftnref16;"><span style="color: blue;">[16]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><a name='more'></a><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br />
<span><span><i><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Beberapa Contoh Karya Utama
yang ditulis oleh Masyarakat Tionghoa</span></i></span></span>
<br />
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Dalam
buku <i>Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia</i>, Monique Zaini-Lajoubert dan
Claudine Salmon membahas dua karya yang disadur oleh Lie Kim Hok. Baik
Zaini-Lajoubert maupun Salmon bersepakat bahwa karya novel dan syair Lie Kim
Hok mewakili suara dari penulis dengan gaya modern. Zaini-Lajoubert menjabarkan
pendapat Kwee Tek Hoay bahwa syair <i>Cerita Siti Akbari </i>karya Lie Kim Hok
mungkin didasarkan pada cerita<i> Abdul Muluk</i> dalam bahasa Sunda ataupun
karangan Arnold Snackey. Setelah melakukan perbandingan secara saksama atas
karya <i>Abdul Muluk</i> dan <i>Cerita Siti Akbari</i>, Zaini-Lajoubert
menemukan bahwa karya Lie Kim Hok mengandung detail-detail yang menunjukkan
adanya pembaruan. Ia menunjukkan poin penting bahwa pada <i>Cerita Siti Akbari</i>,
tokoh wanita dijadikan sebagai unsur penting di dalam karya dan di sana Lie Kim
Hok menunjukkan peranan wanita secara berbeda dari pandangan tradisional
masyarakat di masa itu. Selain pembaruan dari segi gagasan, syair tersebut juga
memakai teknik penceritaan yang belum pernah dikenal pada waktu itu, misalnya
dengan menambahkan efek suspens di dalam cerita.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn17"><span style="mso-bookmark: _ftnref17;"><span style="color: blue;">[17]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Sementara
itu, Salmon mengulas asal usul novel Melayu modern dengan mendedah karya <i>Tjhit
Liap Seng</i> (Bintang Tujuh). Menurutnya, Lie Kim Hok mendapatkan pengaruh
signifikan dari karya sastra dunia, terutama Eropa dan Arab. Pendapatnya ini
membuatnya mengajukan hipotesis bahwa akar kesusastraan Melayu-Tionghoa dalam
sastra Melayu tidak sepatutnya hanya dicari dari pengaruh tradisi Tionghoa.
Anggapannya ini didasarkan pada fakta bahwa sejak awal kaum peranakan Tionghoa
tertarik pada penerjemahan karya-karya sastra dunia, ditandai dengan terbitan
sejak tahun-tahun 1860-an, yang terbit secara bersambung dalam pers berbahsa
Melayu. Khusus untuk pembahasan novel Lie Kim Hok tersebut, Salmon menemukan
bahwa keterpengaruhan Lie Kim Hok dalam menyusun plot cerita diperolehnya dari
dua novel Belanda karangan J. van Lennep, <i>Klaasje Sevenster</i> dan <i>Les
Tribulations d’un Chinois en Chine</i>. Karya yang terakhir disebut ini sepadan
maknanya dengan <i>Perjalanan seorang Tionghoa di Tiongkok</i> karena beroleh
pengaruh dari karangan Jules Verne dan karenanya memuat banyak ilustrasi dari
cerita Verne di dalamnya.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn18"><span style="mso-bookmark: _ftnref18;"><span style="color: blue;">[18]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Hanya
berdasarkan analisis Monique Zaini-Lajoubert dan Claudine Salmon ini saja dapat
dilihat bahwa pembatasan karya sastra Melayu-Tionghoa dengan alasan karya-karya
tersebut adalah bacaan liar sudah tentu bermasalah. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;"><h3>
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Balai
Pustaka: Selayang Pandang</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Di
bawah pemerintah kolonial Belanda, upaya untuk mendorong publikasi buku-buku
yang pantas bagi masyarakat telah dimulai sejak 1851. Hal ini sejalan dengan
penerapan politik etis oleh Belanda—yang dipengaruhi oleh tulisan masyhur
Multatuli, <i>Max Havelaar</i>. Van Deventer boleh jadi disebut sebagai Bapak
Politik Etis, tetapi van Heutsz adalah orang yang kemudian mengembangkan lebih
jauh maksud dari model pendidikan dalam politik etis. Baginya, pengajaran
barulah berarti ketika anak didik memiliki buku untuk dibaca setelah
meninggalkan sekolah. Demi kepentingan itu, dibentuklah suatu komite untuk
meneliti hal-hal terkait bacaan yang tepat. Penyisiran karya oleh komite ini
baru optimal ketika dibawahi oleh D. A. Rinkes dari Departemen Urusan Pribumi.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Rinkes
menyadari bahwa ia perlu mengatur permintaan akan buku, yang dikaitkannya
dengan daya beli dan kebiasaan membaca masyarakat yang masih rendah. Solusinya,
ia berusaha mendirikan perpustakaan di setiap sekolah Kelas Kedua. Pada 1914,
telah ada 680 sekolah yang menyediakan perpustakaan sesuai dengan
kepentingannya ini. Buku-buku yang dipasok ke perpustakaan umumnya adalah
terbitan Balai Pustaka sendiri. Demi menyediakan karya yang cukup untuk
kepentingan tersebut, Balai Pustaka mengupayakan adanya penerjemah dan penulis
yang mampu mengerjakan karya sesuai dengan preferensi Balai Pustaka.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Menurut
Jedamski, penerjemahan yang dikehendaki oleh komisi Balai Pustaka harus sesuai
dengan: (1) minat ilmu atau hobi anggota Commisie; (2) pandangan mereka yang
Eropa-sentris tentang penduduk pribumi dan kebutuhan mereka.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn19"><span style="mso-bookmark: _ftnref19;"><span style="color: blue;">[19]</span></span></a>
Adapun untuk kriteria bahasa, mereka mengehendaki penulis atau penerjemah
untuk: (1) menyusun kalimat yang sangat pendek; (2) menghindari bentuk berimbuhan;
dan (3) mengutamakan kosa kata yang lazim dipakai tanpa memandang baku atau
tidaknya. Bersamaan dengan aturan-aturan itu, tata bahasa diharuskan mengikuti
patokan ejaan van Ophuysen.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Balai
Pustaka memiliki mesin cetak sendiri pada 1921. Dimulailah penerbitan Pandji
Pustaka yang terbit tiap pekan terhitung tahun 1923. Selain informasi dari
pemerintah, dimuat pula cerita-cerita pendek yang telah menjalani pemilahan
dari komisi. Demi kepentingan “melawan secara halus” para penulis pergerakan
yang semakin getol menyerang pemerintahannya, pihak kolonial Belanda juga
merekrut para penulis yang sama-sama berasal dari kaum pergerakan untuk menulis
bagi mereka, tentunya dengan muatan yang telah dinyatakan “aman”, di antaranya <i>Azab
dan Sengsara</i>, <i>Sitti Nurbaya</i>, dan <i>Salah Asuhan</i>. Puncak dari
perekrutan ini adalah lahirnya suatu angkatan baru dalam kesusastraan Indonesia
yang menyebut diri sebagai angkatan Poedjangga Baroe, merujuk pada majalah
terbitan mereka, <i>Poedjangga Baroe</i>.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><i><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Kekhasan
Karya-karya Sastra Hindia Belanda</span></i></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Dalam
bukunya, <i>Sastra Hindia Belanda dan Kita</i>, Subagio Sastrowardoyo menelaah
kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri
jajahan Hindia Belanda, yang ditulis oleh orang-orang Belanda terutama oleh
orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun keturunan bangsa Eropa
lainnya. Dari hasil kesusastraan penulis-penulis Belanda itulah, menurut
Subagio, sikap dan pandangan serta sifat hubungan berbagai golongan dan lapisan
masyarakat yang berlaku pada masa kolonial Belanda dapat diketahui dengan lebih
baik.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Selain
itu, Subagio juga memasukkan beberapa nama penulis Indonesia, seperti Soewarsih
Djojopoespito dan Noto Soeroto dalam jajaran penulis yang menerima pengaruh
dari karya-karya sastra Hindia Belanda. Untuk itu, ia mengatakan: “Yang penting
juga dipersoalkan di sini adalah kemungkinan bahwa <i>Indische Belletrie</i>
atau sastra Hindia Belanda ini memberikan model bagi roman-roman Indonesia pada
tahap permulaannya.”<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn20"><span style="mso-bookmark: _ftnref20;"><span style="color: blue;">[20]</span></span></a>
Selain keterpengaruhan yang diterima oleh penulis Indonesia dari penulis
Belanda, ia juga menjelaskan bagaimana keterpengaruhan diterima juga oleh
penulis Belanda dari kesusastraan yang berkembang di Nusantara pada saat itu,
seperti diterangkannya, sebagai berikut:</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Tidak dapat dipastikan apakah
Multatuli telah terpengaruh oleh cerita-cerita berbingkai yang dikenal di
Indonesia. Sejak lama <i>Hikayat Seribu Satu Malam</i> telah menjadi milik
sastra rakyat di Indonesia. Demikian juga <i>Pancatantra</i> dikenal dalam
sastra Melayu sebagai <i>Hikayat Panja Tanderan</i> atau <i>Kalilah dan Damina</i>.
[…] Sekalipun tidak pasti, tidak sama sekali mustahil, bahwa Multatuli mengenal
cerita-cerita berbingkai di Indonesia, dan dengan sengaja direncanakan atau
tidak, ia sampai kepada bentuk bercerita itu.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn21"><span style="mso-bookmark: _ftnref21;"><span style="color: blue;">[21]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Ajaran
moral atau protes sosial melalui bentuk kisah seperti <i>Krapoekol</i> dan <i>Max
Havelaar</i> adalah penerus dari aliran sastra yang berpengaruh di negeri
Belanda pada abad ke-18. Tokoh sastrawan yang penting pada masa itu di
antaranya adalah Justus van Effen yang mengeluarkan majalah <i>Hollandsche
Spectator</i> (Pengamat Belanda) terbit tahun 1731-1735. Penerbit berkala ini
juga menghasilkan cerita-cerita pendek yang meneliti kehidupan sehari-hari
penduduk Hindia Belanda sambil menyarankan keyakinan serta gagasan pengarangnya
mengenai caranya memperbaiki keadaan masyarakat dan kehidupan rumah tangga.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn22"><span style="mso-bookmark: _ftnref22;"><span style="color: blue;">[22]</span></span></a>
Dari sini dapat dilihat bahwa preferensi Komisi Bacaan Rakyat (Balai Pustaka)
mendapatkan pengaruh signifikan dari kekhasan sastra Belanda ini, yakni dengan
penekanan pada aspek ajaran moral.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;"><h3>
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Politik
Integrasi Kebudayaan</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Ditetapkannya
Bahasa Melayu Tinggi sebagai Bahasa Nasional</span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Pada
mulanya, oleh pemerintah kolonial, bahasa Melayu hanya dimaksudkan sebagai
bahasa tangsi. Bahkan oleh beberapa orang Belanda, bahasa ini dihinakan sebagai
“<i>brabbel Maleisch</i>”<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn23"><span style="mso-bookmark: _ftnref23;"><span style="color: blue;">[23]</span></span></a>
dan hanya digunakan oleh Kompeni Inggris dan Hindia Belanda sebagai bahasa
administrasi. Hingga memasuki abad ke-20, timbul kesadaran pihak Hindia Belanda
untuk menatar bahasa Melayu sebagai bahasa baku untuk administrasi melalui
pengajaran.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Bahasa
Melayu tinggi ini, Pramoedya menyebutnya bahasa Melayu kitab atau bahasa Melayu
diplomasi, di kemudian waktu ditatar menjadi bahasa sekolah oleh Kompeni
Inggris di Singapura dan Semenanjung, dan oleh kolonial Belanda di Hindia.
Perbendaharaan bahasa diperkaya dari kata-kata Arab dan Eropa, dan menabukan
kata-kata Nusantara non-Melayu. Sementara itu, bahasa Melayu populer, Pramoedya
menyebutnya bahasa Melayu <i>lingua franca</i>, sebaliknya mengadopsi lebih
banyak kata-kata serapan dari bahasa-bahasa di Nusantara.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Sebelumnya,
bahasa Melayu populer inilah yang berkembang luas di masyarakat. Namun demikian,
demi kepentingan membakukan pengajaran, pihak Belanda mendirikan <i>Commisie
voor de Volkslectuur</i> dengan tugas memelihara bahasa Melayu kitab atau
bahasa Melayu diplomasi untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Konsekuensinya,
penggunaan bahasa Melayu populer diminimalisasi.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn24"><span style="mso-bookmark: _ftnref24;"><span style="color: blue;">[24]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Pada
perkembangannya, bahasa Melayu tinggi kemudian dipilih sebagai bahasa nasional.
Hal ini karena bahasa Melayu dinilai memiliki watak yang demokratis dan tidak
berjenjang dibandingkan bahasa Jawa yang memiliki empat tingkat pokok yang
masih bisa dibagi ke dalam 36 tingkat. Hilmar Farid, seorang pengkaji bacaan
liar dan politik bahasa, memandang bahwa watak demokratis itu disebabkan oleh kenyataan
bahwa bahasa Melayu dipakai dalam dunia dagang, di mana hierarki tidak mutlak
ditentukan oleh asal usul keluarga atau keturunan, melainkan dominasi dalam
perdagangan.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn25"><span style="mso-bookmark: _ftnref25;"><span style="color: blue;">[25]</span></span></a>
Meskipun demikian, saat itu belum ada konsep yang jelas terkait sistem atau
kaidah-kaidah bahasa, terkait pembagian kelas-kelas kata, kategori kalimat, dan
ortografi bagi bahasa Melayu yang digunakan secara nasional tersebut karena
belum ada lembaga otoriter yang menagaturnya.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn26"><span style="mso-bookmark: _ftnref26;"><span style="color: blue;">[26]</span></span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Keberlanjutan
Politik Bahasa</span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Pelembagaan
bahasa Melayu tinggi ini barulah memperoleh tempat yang signifikan di bawah
rezim kepresidenan Suharto. Ironisnya, pelembagaan bahasa ini justru diupayakan
oleh rezim Orde Baru ini untuk menghapus jejak-jejak penulisan dalam ejaan
Ophuysen yang digunakan pada masa kolonial Belanda. Bagaimana cara kerjanya?</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Pada
Agustus 1966, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) menyelesaikan tugas atas
perintah Ketua Gabungan V Komando Operasi Tertinggi<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn27"><span style="mso-bookmark: _ftnref27;"><span style="color: blue;">[27]</span></span></a>
yang dipimpin oleh Anton M. Moeliono untuk menyelesaikan konsep ejaan yang
diajukan pada Malaysia. Sebagian besar konsep LBK diterima oleh Malaysia.<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn28"><span style="mso-bookmark: _ftnref28;"><span style="color: blue;">[28]</span></span></a>
Ejaan yang disetujui ini kemudian perlu mengalami sejumlah revisi hingga kemudian
diresmikan pada 1972 oleh Menteri P dan K Mashuri S. H. dengan nama baru: Ejaan
yang Disempurnakan. Harimurti Kridalaksana, bahasawan yang terlibat dalam
perumusannya, menerbitkan esai <i>Latar Belakang Penyusunan Ejaan Baru</i>
untuk meneguhkan peran sentral ejaan baru tersebut. Harimurti menyatakan empat
prinsip pembakuan bahasa yang menjadi pegangan dalam penciptaan ejaan baru
tersebut: (1) Prinsip Kecermatan, (2) Prinsip Kehematan, (3) Prinsip Keluwesan,
(4) Prinsip Kepraktisan.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Menurut
Wahmuji, seorang pemerhati linguistik, narasi Kridalaksana tersebut menunjukkan
ideologi pembaharuan ‘modernis’: tata bahasa perlu diperbaiki, peristilahan
harus dikonsep ulang, dan tata eja harus diperbaharui. Ideologi ini ia sinyalir
berasal dari pembelajaran kelompok penyusun LBK<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn29"><span style="mso-bookmark: _ftnref29;"><span style="color: blue;">[29]</span></span></a>
ini dengan kelompok sosiolingustik Hawai, Amerika, yang dikenal dengan nama
“Grup Fishman” atas biaya Ford Foundation. Grup Fishman ini, dalam sejarahnya,
memang ditugaskan untuk bekerja sama merancang “perencanaan bahasa” di
negara-negara dunia ketiga. Menurut Wahmuji, Grup Fishman ini menerapkannya di
negara dunia ketiga karena mereka menilai bahwa rasa kebangsaan di negara dunia
ketiga sudah terbentuk sebelum adanya rasa nasionalisme. Hal ini terjadi
sebaliknya di negara-negara Eropa yang memiliki lembaga khusus untuk mengatur
perencanaan bahasanya, seperti Prancis dengan Akademi Prancis dan Inggris
dengan Universitas Oxford.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Wahmuji
menganalisis pernyataan seorang pemerhati Indonesia, Benedict Anderson, dalam
esainya <i>Exit Suharto: Obituary for a Mediocre Tyrant</i>,<a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftn30"><span style="mso-bookmark: _ftnref30;"><b><i><span style="color: blue;">[30]</span></i></b></span></a>
yang menyatakan bahwa pengonsepan EYD oleh Suharto merupakan bagian dari
rencana besar pemerintah rezim Orde Baru untuk menyebarkan virus “amnesia
nasional”, diterangkan oleh Wahmuji sebagai berikut: </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Menurut
Anderson, ada motif besar di balik alasan resmi kerjasama dengan Malaysia yang
digaungkan oleh para ahli bahasa dan pemerintah Indonesia, yaitu: untuk membuat
pemisahan yang tegas antara apa yang ditulis dalam era baru Soeharto dan apa
yang ditulis di masa sebelumnya. Buku atau teks yang ditulis dalam era
sebelumnya akan sangat mudah dikenali, bahkan saat orang membaca judulnya.
Ketertarikan pada Ejaan Soewandi (atau yang lebih dikenal dengan Ejaan Lama)
secara otomatis dicurigai sebagai sisa-sisa Sukarnoisme, konstitusionalisme,
revolusi, atau periode kolonial. Hasilnya adalah penghapusan sejarah
karena pengetahuan generasi muda atas negaranya terutama datang dari publikasi
rezim yang sedang berkuasa, khususnya buku-buku paket sekolah. Sebagian besar
kegiatan melawan penjajah hilang dalam buku sejarah. “Revolusi” diubah namanya
menjadi “Perang Kemerdekaan”, dimana tentara dikisahkan memainkan peran yang
sangat besar. Dan periode pasca-revolusi dari demokrasi konstitusional
tiba-tiba dianggap bukan hasil kreasi politikus sipil.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Bersamaan
dengan rezim baru ini, kesusastraan Melayu-Tionghoa mengalami masa
“pembinasaannya” karena sejak tahun 1966, masyarakat Tionghoa direpresi
keberadaannya oleh pemerintah Suharto. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;"><h3 style="text-align: left;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: verdana;"><span><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Penutup</span></b></span></span></span></span></span></h3></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Dalam
bukunya, <i>Tempo Doeloe</i>, Pramoedya menegaskan posisi kesusastraan
Melayu-Tionghoa sebagai golongan <i>Melayu lingua franca</i>, atau <i>sastra
asimilatif</i>, atau <i>sastra pra-Indonesia</i>. Hal ini menurut saya lebih
menjelaskan intensi Claudine Salmon, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo yang
menyatakan bahwa kesusastraan Melayu-Tionghoa perlu dipandang penting sebagai
cikal bakal sastra modern Indonesia. Pramoedya memperjelas tempat kesusastraan
Melayu-Tionghoa untuk berada dalam kategori kesusastraan pra-Indonesia, bersama
dengan karya-karya pendatang asing lainnya sewaktu memasuki Nusantara dari
Malaka. Hal ini dengan pertimbangan Pramoedya bahwa sama halnya dengan
kesusastraan Melayu-Tionghoa, mubalig asing yang masuk ke Indonesia untuk
menyebarkan Islam maupun orang Portugis yang datang untuk mendirikan kekuasaan
dan Gereja Roma di Nusantara bagian timur pun menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa kekuasaan dan administrasi dan dengan demikian kesusastraan yang mereka
hasilkan dapat dipandang sejajar posisinya sebagai sastra pra-Indonesia.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Dalam
bidang bahasa, pembatasan sastra Melayu-Tionghoa dapat dilihat memiliki pengaruh
yang signifikan atas terlembagakannya bahasa Melayu tinggi yang sebelumnya
tidak jamak digunakan oleh masyarakat. Bahasa Melayu tinggi justru berkembang
dengan baik pada ranah administrasi kolonial Belanda. Selanjutnya, corak bahasa
Melayu tinggi yang terpilih sebagai bahasa nasional mengalami perubahan kembali
yang jauh lebih signifikan pada masa pemerintahan Suharto karena pada masa itu
ejaan Ophuysen yang sebelumnya digunakan di masa kolonial Belanda tidak
diteruskan penggunaannya.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0in; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
</span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref1"><span style="mso-bookmark: _ftn1;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[1]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Dalam pengantarnya untuk buku <i>Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia Volume 4</i>, Prof. Liang Liji menulis bahwa ia kurang setuju dengan
penggunaan dikotomi “Bahasa Melayu Rendah dan Bahasa Melayu Tinggi” yang
terkesan meremehkan dan diskriminatif tersebut. Ia lebih setuju menggantikannya
dengan “Bahasa Melayu Populer” terutama karena bahasa itu lebih populer dan
digunakan secara luas sejak akhir abad ke-19, pada masa peralihan masyarakat Indonesia
menuju masyarakat modern. Saya menyepakati usulan Prof. Liang Liji.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref2"><span style="mso-bookmark: _ftn2;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[2]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Edwina Satmoko Tanojo. (1981). <i>Ciri-ciri Bacaan Liar</i>. Skripsi Jurusan
Sastra Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref3"><span style="mso-bookmark: _ftn3;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[3]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Penggunaan kata pribumi praktis bermasalah bila diterapkan dalam konteks di
masa sekarang. Namun demikian, untuk menempatkan konteks masa diterapkannya
Nota Rinkes yang terjadi pada masa kolonial Belanda, artikel ini tetap
menggunakan kata pribumi agar pembaca dapat mengikuti cara berpikir pemerintah
kolonial di masa itu. Pada masanya, klasifikasi berdasarkan tiga kelompok
rasial diterapkan oleh pemerintah kolonial untuk menjalankan
program-programnya. Bagi pemerintah kolonial, masyarakat kulit putih atau Eropa
menempati kelas pertama, bangsa timur asing seperti Tionghoa, Arab, dan India
masuk ke dalam kelas kedua, sementara kelas ketiga adalah kelompok pribumi atau
<i>inlander</i>. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref4"><span style="mso-bookmark: _ftn4;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[4]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Hendrik M. J. Maier (1991). “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The
Marginalization of Chinese-Malay Literature” dalam <i>Indonesia</i>, volume
edisi spesial Juli 1991, hlm. 67-82. Amerika Serikat: Cornell Southeast Asia
Program. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref5"><span style="mso-bookmark: _ftn5;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[5]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;"> Leo
Suryadinata (ed.). (1996). “Pengkajian Sastra Peranakan Indonesia: Sebuah
Catatan” dalam <i>Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia</i>, hlm. 198. Jakarta:
Penerbit PT Grasindo.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref6"><span style="mso-bookmark: _ftn6;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[6]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Hendrik M. J. Maier dalam “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The
Marginalization of Chinese-Malay Literature” menulisnya sebagai: “<i>These
publications were considered politically dangerous, morally suspicious, and,
therefore, a threat to peace and tranquility.</i>”</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref7"><span style="mso-bookmark: _ftn7;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[7]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Bandung Mawardi. (2015). “Mengenang Tak Terang”, makalah disampaikan dalam
Seminar Politik Kritik Sastra di Indonesia, 24-25 November 2015. Yogyakarta:
PKKH UGM.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref8"><span style="mso-bookmark: _ftn8;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[8]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;"> G.
P. Rouffaer dan W. C. Muller. (1908). <i>Catalogus der Koloniale Bibliotheek</i>,
hlm. 292-305. Belanda: Boekwinkeltjes. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref9"><span style="mso-bookmark: _ftn9;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[9]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;"> Lie
Kimhok menerbitkan aturan bahasa berjudul “Melajoe Betawi, Kitab dari Hal
Perkataan-perkataan Melajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar dan Hal pernahkan
Tanda-tanda Batja dan Hoeroef Besar” (1884). </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref10"><span style="mso-bookmark: _ftn10;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[10]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Pramoedya Ananta Toer. (1982). <i>Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia</i>,
hlm. 8. Jakarta: Hasta Mitra. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref11"><span style="mso-bookmark: _ftn11;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[11]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Jakob Sumardjo. (1996). “Latar Sosiologis Sastra Melayu Tionghoa” hlm. 63 dalam
<i>Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia</i>, dieditori oleh Leo Suryadinata.
Jakarta: Penerbit PT Grasindo.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref12"><span style="mso-bookmark: _ftn12;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[12]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;"> <i>Ibid.</i>,
hlm. 64.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref13"><span style="mso-bookmark: _ftn13;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[13]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Penelitian ekstensif Claudine Salmon dan Denys Lombard mengenai kesusastraan
Melayu-Tionghoa diterapkan atas koleksi Adji Damais di Pusat Dokumentasi H.B.
Jassin, koleksi Auckland University di New Zealand dan koleksi Universiti
Kebangsaan di Kuala Lumpur dan koleksi pribadi mereka.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref14"><span style="mso-bookmark: _ftn14;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[14]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Salmon, Claudine. (1981). <i>Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A
Provisional Annotated Bibliography</i>. Michigan: UMI Monographs bekerja sama
dengan Association Archipel, Paris.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref15"><span style="mso-bookmark: _ftn15;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[15]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Prof. Liang Liji mengutip pernyataan A. Teeuw untuk pengantarnya atas buku <i>Kesastraan
Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Volume 4</i>.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref16"><span style="mso-bookmark: _ftn16;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[16]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Jakob Sumardjo. (1985). <i>Dari Khazanah Sastra Dunia</i>. Bandung: Penerbit
Alumni.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref17"><span style="mso-bookmark: _ftn17;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[17]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Monique Zaini-Lajoubert. (1996). “Syair Cerita Siti Akbari Karya Lie Kim Hok
(1884), Penjelmaan Syair Abdul Muluk (1946)” dalam <i>Sastra Peranakan Tionghoa
Indonesia</i>, hlm. 317, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT
Grasindo.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref18"><span style="mso-bookmark: _ftn18;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[18]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Claudine Salmon. “Asal Usul Novel Melayu Modern: Tjhit Liap Seng (Bintang
Tujuh) Karangan Lie Kim Hok (1886-1887)” dalam <i>Sastra Peranakan Melayu
Tionghoa Indonesia</i>, hlm. 214-216. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref19"><span style="mso-bookmark: _ftn19;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[19]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Doris Jedamski. “Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing” dalam <i>Archipel</i>
1992 Vol. 44, hlm. 23-46.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref20"><span style="mso-bookmark: _ftn20;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[20]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Subagio Sastrwowardoyo. (1983). <i>Sastra Hindia Belanda dan Kita</i>, hlm. 25.
Jakarta: Balai Pustaka. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref21"><span style="mso-bookmark: _ftn21;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[21]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;"> <i>Ibid.</i>,
hlm. 60.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref22"><span style="mso-bookmark: _ftn22;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[22]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Huygens, G. W.. <i>De Nederlandse auteur en zijn publiek</i> (Pengarang Belanda
dengan Publiknya). G. A. van Oorschot, Amsterdam 1966, hh. 29-38. Aliran Sastra
Belanda itu dibawah pengaruh pengarang-pengarang Inggeris di sekitar majalah <i>The
Spectator</i> (1711-1712) dalam <i>Sastra Hindia Belanda dan Kita</i>, hlm. 66.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref23"><span style="mso-bookmark: _ftn23;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[23]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Kurang lebih dapat diartikan sebagai “Mulut Melayu”.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref24"><span style="mso-bookmark: _ftn24;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[24]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Pramoedya Ananta Toer, <i>Tempo Doeloe</i>, hlm 10.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref25"><span style="mso-bookmark: _ftn25;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[25]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Hilmar Farid membandingkan pendapatnya mengenai sifat demokratis bahasa Melayu
dengan V. Matheson dan M. B. Hooker, “Slavery in the Malay Texts: Categories of
Depedency and Compensation”, hlm. 182-208, dalam Anthony Reid (ed.), <i>Slavery,
Bondage, and Depedency in Southeast Asia</i>, New York: St. Martin Press. Dalam
sejarahnya, bahasa Melayu memiliki konsep-konsep perbudakan yang bersifat sangat
hierarkis.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref26"><span style="mso-bookmark: _ftn26;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[26]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Hilmar Farid mengutip dalam skripsinya, Gorys Keraf, <i>Linguistik Bandingan
Historis</i> Jakarta: Gramedia 1984 menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki
ciri universal, di antaranya pembagian kelas kata dan kalimat, yang pada
dasarnya adalah pemaksaan studi bahasa “kuno” dari zaman von Humbolt yang terus
mengalami modifikasi. Padahal, “keunikan” bahasa dari satu etnis pada saat
tertentu dapat “lebur” dengan keunikan bahasa etnis lain karena gejolak
sosial-historis dalam perkembangan bahasa tersebut.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref27"><span style="mso-bookmark: _ftn27;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[27]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Mengutip artikel Wahmuji, <i>EYD dan Amnesia Nasional</i> dalam Lidahibu.com
(diakses 5 Desember 2015, satuan ini awalnya dibentuk oleh Soekarno untuk
melawan usaha pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris. Lembaga inilah yang,
ironisnya, setelah kudeta Soekarno oleh Suharto, memprakarsai pendekatan
hubungan dengan Malaysia. Patut digarisbawahi, Gabungan V Komando Operasi
Tertinggi <u>bukanlah</u> lembaga bahasa.</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref28"><span style="mso-bookmark: _ftn28;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[28]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Saat
itu, Malaysia memiliki empat sistem eja (Ejaan Wilkinson, Ejaan Za’baa, Ejaan
Fajar Asia, dan Ejaan Kongres). </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref29"><span style="mso-bookmark: _ftn29;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[29]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Kelompok penyusun LBK yang disebutkan Wahmuji dalam esainya, <i>EYD dan Amnesia
Nasional</i>, di antaranya Lukman Ali, Sri Sukaesi Adiwimarta, dan Anton M.
Moeliono. </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><a href="https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7477398994074846542#_ftnref30"><span style="mso-bookmark: _ftn30;"><span style="color: blue; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">[30]</span></span></a><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">
Lihat esai Benedict Anderson di <a href="http://www.newleftreview.org/?view=2714"><span style="color: blue;">www.newleftreview.org/?view=2714</span></a>
(Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).</span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;"> </span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 1; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-font-kerning: 18.0pt; mso-no-proof: no;">Daftar Pustaka</span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Buku</span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Bandung
Mawardi. (2015). “Mengenang Tak Terang”. Makalah disampaikan dalam Seminar
Politik Kritik Sastra di Indonesia, 24-25 November 2015. Yogyakarta: PKKH UGM.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Huygens,
G. W. (1966). “<i>De Nederlandse auteur en zijn publiek</i> (Pengarang Belanda
dengan Publiknya)” dalam Subagio Sastrowardoyo, <i>Sastra Hindia Belanda dan
Kita. </i>Jakarta: Balai Pustaka. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Jakob
Sumardjo. (1996). “Latar Sosiologis Sastra Melayu Tionghoa” dalam <i>Sastra
Peranakan Tionghoa Indonesia</i>, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta:
Penerbit PT Grasindo.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">____________.
(1985). <i>Dari Khazanah Sastra Dunia</i>. Bandung: Penerbit Alumni.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Jedamski,
Doris. (1992). “Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing” dalam <i>Archipel</i>
<i>Vol. 44</i>: 1992. Prancis: Archipel.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Leo
Suryadinata (ed.). (1996). “Pengkajian Sastra Peranakan Indonesia: Sebuah
Catatan” dalam <i>Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia</i>. Jakarta: Penerbit PT
Grasindo.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Maier,
Hendrik M. J. (1991). “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The
Marginalization of Chinese-Malay Literature” dalam <i>Indonesia</i>, volume
edisi spesial Juli 1991. Amerika Serikat: Cornell Southeast Asia Program.
Diunduh dari <a href="http://cip.cornell.edu/seap.indo/1106972021"><span style="color: blue;">http://cip.cornell.edu/seap.indo/1106972021</span></a></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Pax
Benedanto dan Marcus A.S. (ed.). (2003). <i>Kesusastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia Volume 4</i>. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Pramoedya
Ananta Toer. (1982). Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta:
Hasta Mitra.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Rouffaer,
G. P. dan W. C. Muller. (1908). <i>Catalogus der Koloniale Bibliotheek</i>.
Belanda: Boekwinkeltjes.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Salmon,
Claudine. (1981). <i>Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A
Provisional Annotated Bibliography</i>. Michigan: UMI Monographs bekerja sama
dengan Association Archipel, Paris.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">______________.
(1996). “Asal Usul Novel Melayu Modern: Tjhit Liap Seng (Bintang Tujuh)
Karangan Lie Kim Hok (1886-1887)” dalam <i>Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia</i>,
dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Subagio
Sastrowardoyo. (1983). <i>Sastra Hindia Belanda dan Kita</i>. Jakarta: Balai
Pustaka.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Zaini,
Lajoubert. (1996). “Syair Cerita Siti Akbari Karya Lie Kim Hok (1884),
Penjelmaan Syair Abdul Muluk (1946)” dalam <i>Sastra Peranakan Tionghoa
Indonesia</i>, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span><br /></span></span>
<span><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Skripsi</span></b></span></span>
<br />
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Hilmar
Farid. (1996-2007). <i>Politik, Bacaan, dan Bahasa pada Masa Pergerakan: Suatu
Studi Awal</i>. Skripsi Jurusan Sejarah. Depok: Universitas Indonesia.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Edwina
Satmoko Tanojo. (1981). <i>Ciri-ciri Bacaan Liar</i>. Skripsi Jurusan Sastra
Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<span><span><b><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Situs
Web</span></b></span></span>
<br />
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Anderson,
Benedict. Maret-April 2008. <i>Exit Suharto</i>, <a href="http://www.newleftreview.org/?view=2714"><span style="color: blue;">www.newleftreview.org/?view=2714</span></a>
(Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; mso-add-space: auto; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-indent: -0.5in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span style="mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-fareast-language: IN; mso-no-proof: no;">Wahmuji.
6 April 2012. <i>EYD dan Amnesia Nasional</i>, <a href="http://lidahibu.com/2012/04/06/eyd-dan-amnesia-nasional/"><span style="color: blue;">http://lidahibu.com/2012/04/06/eyd-dan-amnesia-nasional/</span></a>
(Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]--></span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-3089361164475419222015-09-30T18:52:00.008+07:002021-06-02T16:01:11.927+07:00Riuh Bekerja di Pasar yang Sepi<div style="text-align: center;"><div style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> <a href="https://www.blogger.com/#"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKnpmUFREHJOWjmzY6MzhhTXK1x3PESPIlo-Tv1tIlB7P91jvOaWuqIeL5dTCoWe_zSWhchzAUzAYfh0oqWB5hbLpYsQcAo7zDH3nkAOpm1frKeHgr538O1dIRVTgtAUqgq6gIdUJYhSY/s320/penerbitan-buku-1021x580.jpg" /></a> </span></span><span style="font-size: small;"><br /></span></span></div><span style="font-family: verdana;"></span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> © Saiful Bachri <br /> Reportase untuk Pindai.org, akses <a href="https://www.blogger.com/#">PDF</a></span></span></span></div><div style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> <br /><blockquote> Betapapun harus ‘mengencangkan ikat pinggang’, sebagaimana istilah dua penerbit ini, para pegiatnya terus menghidupi bacaan non-populer dengan daya kritis yang tebal.</blockquote><br /></span></span></span></div><div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span> <br /> JALANNYA roda penerbitan buku hari ini adalah keberlanjutan dari kritik Khrisna Sen dan David T. Hill dalam artikel Perbukuan Indonesia: Translasi dan Transgresi, lebih dari satu dekade silam. Mereka menulis, investasi terbaik dan penjualan produk tercepat oleh Gramedia—dijadikan parameter sebagai salah satu penerbit terbesar di Indonesia—dicapai dari buku-buku bertopik pengembangan-diri praktis hingga novel-novel populer. Imbasnya, judul-judul buku ditentukan dalam mekanisme pasar yang mendorong publikasi tema yang cenderung seragam. <br /> <br /> Di sisi lain, pergantian berdarah kekuasaan dari Sukarno yang mengedepankan “politik sebagai panglima” ke pemerintahan Soeharto dengan “ekonomi sebagai panglima”, mengubah pula pergeseran tren judul buku dalam kategori buku “berat”. Ia didominasi paradigma developmentalisme—satu istilah dari khazanah ekonomi yang secara singkat menjelaskan hubungan ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga. Pandangan ini seirama agenda Ali Moertopo, ideolog rezim Orde Baru, yang merumuskan “satu cara berpikir” demi cetak biru apa yang disebut “akselerasi modernisasi 25 tahun” rezim Soeharto, yang juga menghendaki pola pikir seragam dan tunggal. <br /> <br /> Untuk mendukung ekonomi pembangunan itu, depolitisasi kampus diterapkan. Kurikulum dan materi bacaan dijaga ketat dan “diamankan” demi menjaga “stabilitas nasional”. Pada Oktober 1989, Kejaksaan Agung membentuk sebuah badan yang disebutclearing house, tugasnya meneliti isi buku dan merekomendasikan pemusnahan bila mengancam rezim. Selain Kejagung, Departemen Pendidikan dan Kebudayan lewat instruksi kementerian tahun 1965—memuat satu beleid larangan menggunakan “buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan”—membekukan sebelas dafar buku karangan para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pelarangan ini terus berlanjut bahkan sesudah Soeharto lengser. <br /> <br /> Sejak masa kolonial Hindia Belanda, percetakan dan penerbitan di Indonesia tak pernah lepas dari kuasa tangan-tangan pemerintah, baik di bawah pemerintah kolonial maupun sebagai negara-bangsa. <br /> <br /> Pada 1908, berdiri Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat), diketuai G. A. J. Hazeu, penasihat urusan Bumiputra. Mewakili kepentingan komisi ini, pada 1911, D. A. Rinkes lewat “Nota Over de Volkslectuur” menetapkan bacaan rakyat dan melarang buku-buku yang dianggap sebagai bacaan liar: terbitan berbahasa Melayu rendah yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi inilah yang kemudian berlanjut menjadi Penerbit Balai Pustaka. <br /> <br /> Hadirnya Balai Pustaka dibarengi oleh sejumlah program penerbitan dari lembaga pendidikan dan keagaman, di antaranya Kanisius, Muhammadiyah, Penjiaran Islam, hingga Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia pada kurun 1920. <br /> <br /> Pada periode 1950-1970, penerbit universitas mulai marak berdiri, seperti UI Press pada 1969 yang disokong dana Ford Foundation, dan Penerbit IPB yang didanai University of Kentucky. <br /> <br /> Menjelang dekade terakhir rezim Soeharto pada periode 1990-an, beberapa penerbit alternatif mulai masuk mengisi ceruk pasar buku yang didorong oleh “pembelotan” para aktivis perbukuan dari penerbit-penerbit induk. <br /> <br /> Setelah 1998, berduyun-duyun penerbit alternatif yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa berdiri. Perlu dicatat pula, dalam rentang 1998-2004, Ford Foundation menawarkan dana bantuan penerbitan buku melalui Yayasan Adikarya IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Dalam program ini, setiap penerbit berhak mengajukan delapan judul buku untuk didanai. <br /> <br /> Tak ayal, alasan pendirian penerbit di masa itu pada umumnya bukan semata kepentingan ideologis. Melainkan fakta bahwa usaha penerbitan mampu mendatangkan laba dengan menekan biaya produksi, sementara mereka pun masih bisa mendapat dana dari yayasan donor. Imbas dari pengerukan laba ini, pekerja kreatif dan penulis tak dibayar dengan layak. <br /> <br /> Sederet contoh pelanggaran yang dilakukan penerbit, misalnya: pengingkaran atas royalti, laporan penjualan yang tidak transparan, hingga masalah hak cipta. <br /> <br /> Selepas periode itu, terbitan mulai tak terbendung lagi. Kualitas terbitan, seperti mutu terjemahan dan editorial, menjadi tanda tanya besar karena kerja-kerja penerbit yang bergegas. <br /> <br /> Di tengah semua itu, hadir upaya-upaya penerbitan yang cukup serius, yang masih dari lini penerbitan alternatif dan bertahan hingga kini, di antaranya penerbit Marjin Kiri dan Komunitas Bambu. Untuk meneruskan kerja-kerja penerbitan, sejak dini mereka telah menentukan ceruk pasarnya: menerbitkan karya-karya yang mendedah suatu permasalahan hingga ke akarnya ataupun karya-karya yang menawarkan perspektif berbeda. <br /> <br /> <br /> ARIA Wiratma Yudhistira tengah menyisir tumpukan koran terbitan 1970-an di lantai 9 Perpustakaan Nasional saat ketertarikannya jatuh pada serentetan pemberitaan mengenai pelarangan mahasiswa berambut gondrong oleh pemerintah.<br /> <br /> Itu membikinnya bertanya-tanya, “Di tengah rezim yang berusaha tampil setenang mungkin, kenapa Soeharto justru terang-terangan menerapkan larangan itu?” <br /> <br /> Pada masa itu, soal rambut gondrong bahkan jadi permasalahan seluruh pejabat tinggi pemerintahan, mulai dari menteri, Kepala Bakin, Jaksa Agung, hingga Pangkopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Perkara ini sempat pula memicu polemik antara Ali Sadikin dan Arief Budiman, mahasiswa era ’60-an yang terkenal sebagai pelopor golput (golongan putih). Polemik selesai, tapi aksi-aksi anti-rambut gondrong masih berlanjut. <br /> <br /> Aria mengajukan tema pelarangan rambut gondrong ini sebagai proposal skripsinya ke dosen pembimbingnya di Jurusan Sejarah UI. Tema itu ditolak mentah-mentah di muka dengan alasan, “Kalau kamu mau menulis tema populer, kamu harus cari dosen yang paham budaya dan seni.” <br /> <br /> Namun, Aria bersikeras melanjutkannya dan alasan paling wajar dari penolakan itu karena memang temanya dianggap nyeleneh. Ia menyusun kronologi pemberitaan sikap represif pemerintah terhadap mahasiswa berambut gondrong yang dirunutnya sejak masa pemerintahan Sukarno hingga tahun 1970-an. <br /> Alasan sikap represif itu, dari temuannya, lantaran rambut gondrong oleh kekuasaan Orde Baru, yang menonjolkan diri sebagai “Bapak”, dianggap bentuk ekspresi berlebihan dari sekelompok anak muda yang bisa mengganggu “stabilitas negara”. <br /> <br /> “Di tahun 1966, mahasiswa dipakai menjatuhkan Sukarno. Di masa Soeharto, mereka malah dimatikan kekuatan politisnya. Pada 1980-an, preman dimatikan lewat petrus (penembakan misterius). Padahal, sebelum dibunuh, mereka juga dimanfaatkan negara,” ujar Aria. <br /> <br /> Pemahaman Aria tentang latar belakang rezim Orde Baru berkembang. “Sukarno tidak pernah menyatakan pemerintahannya sebagai Orde Lama. Yang ada, ya, Masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Liberal. Di sana kelihatan, Soeharto menginginkan rezim lama mulai disingkirkan dan dibentuk karakteristik, sebuah orde yang baru.” <br /> <br /> Dalam bab “Sebuah Era Baru”, karakteristik rezim Soeharto terjelaskan dari cara-cara penyingkirannya atas Sukarno dari tampuk kekuasaan, upaya Soeharto dalam memanfaatkan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) dalam Sidang MPRS yang kemudian mengangkatnya sebagai presiden, pelibatan ekonom-ekonom lulusan University of California (Berkeley) dalam agenda pembangunan, hingga operasi-operasi khusus yang dijalankan Ali Moertopo dalam upaya pembersihan anggota partai politik dalam rangka depolitisasi masyarakat. Semua dilakukan dengan tenang dan tertib, rust en orde, demi keberlangsungan pembangunan pemerintahan Soeharto. <br /> <br /> “Mereka sibuk kerja, kerja, dan kerja,” kata Aria. <br /> <br /> “Membaca arsip rezim dari kaca mata berbeda” adalah kata kunci yang dipakai Aria untuk menelusuri hegemoni rezim Soeharto atas mahasiswa-mahasiswa berambut gondrong pada 1970-an. <br /> <br /> Pada suatu malam sepulang kerja, Aria bertemu dengan dua seniornya dari jurusan Sejarah saat menunggu kereta komuter di Stasiun Gondangdia. Perspektifnya yang unik dalam mengkaji sejarah Orde Baru itu jadi alasan seorang seniornya mengirimkan naskah Aria untuk diterbitkan Marjin Kiri. <br /> <br /> <br /> MENAWARKAN perspektif berbeda adalah salah satu fokus Penerbit Marjin Kiri. Itu dapat ditilik dari skripsi Aria Wiratma Yudhistira yang kemudian dibukukan, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010). Atau misalnya melihat globalisasi dari perspektif sepakbola melalui tulisan jurnalistik Franklin Foer, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola: Kajian Tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi (2006). Selain bertema nyeleneh, buku-buku ini dibarengi dengan desain sampul dan tata letak yang segar. <br /> <br /> “Ada judul-judul buku bagus banget, caranya melihat permasalahan segar, seksi, tapi seringnya tidak ada yang sepertinya tertarik menerjemahkan. Sayang kalau seperti itu,” kata Ronny Agustinus, pemimpin redaksi Marjin Kiri. <br /> <br /> Penerbitan Marjin Kiri bermula dari usaha senggang Ronny Agustinus menerjemahkan komunike-komunike Subcomandante Marcos sebagai latihan mendalami bahasa Spanyol; atau saat ia mengetik kembali Madilog, buku yang dipandang Tan Malaka sebagai karya terpentingnya; atau bisa lebih jauh ke belakang sewaktu Ronny masih kecil yang mengidolakan komik para jagoan. <br /> <br /> Kenyataan bahwa kegemarannya terhadap para superhero itu yang mendorongnya studi Seni Grafis Murni di Institut Kesenian Jakarta. “Meskipun, untuk kuliah di sana, aku harus bilang ke orangtuaku kalau aku kuliah Desain Interior,” kenangnya. <br /> <br /> Setamat kuliah, ia bekerja sebagai penata letak majalah di Pusat Data Indikator, yang berfokus pada kajian ekonomi-politik. Di sini ia kemudian mengerjakan Madilog:Materialisme, Dialektika, Logika (1999), sebuah uraian Tan Malaka atas teori-teori Marx yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang ditulisnya saat pendudukan Jepang. Ronny menulis catatan (epilog) cukup panjang dan serius untuk buku itu. <br /> <br /> Indikator tutup pada 2002. “Saat itu, semua media berlomba menjadi bombastis. Sementara Indikator serius sekali,” katanya. <br /> <br /> Setelahnya, ia melanjutkan kerja sebagai penata letak untuk sebuah biro desain majalah. Mereka berkomunikasi melalui jaringan server FTP (protokol pengiriman berkas), dan desain bikinannya dicetak langsung di Prancis. Lewat pasangan dari kenalannya di biro desain itu, Ronny belajar bahasa Spanyol secara otodidak. <br /> <br /> Buku Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah, yang ia terjemahkan, terbit secara pribadi pada Agustus 2002. Buku setebal nyaris 900 halaman itu dicetak lima puluh eksemplar. Ia mengirimkannya kepada para kenalan. Suatu waktu Seno Joko Suyono, wartawan Tempo, meneleponnya dan terdengar menahan tawa geli, “Bikin buku tanpa sinopsis di kover belakang, tidak ada nama penerbit di kover ataupun di halaman kredit, bagaimana bisa aku bikinkan resensi untuk buku ini?!” <br /> <br /> Buku terjemahan tentang gerakan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista itu disambut baik oleh para pembaca perdana. Tak sampai sebulan, banyak surel dan telepon masuk: tanggapan berupa pujian, kritik, izin menukil atau menyalin, hingga tawaran penerbitan. <br /> <br /> Eko Prasetyo dari InsistPress lantas meminta izin untuk menerbitkan pada 2003. “Di edisi percobaan, ada banyak ilustrasi yang kubikin sendiri, yang tidak diturutkan dalam edisi terbitan komersialnya. Itu membuatnya terkesan angker dan serius, yang sebenarnya tidak sejalan dengan kekocakan Subcomandante Marcos,” ujar Ronny. </span></span></span></div><div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /> Respons atas buku Subcomandante Marcos itu termasuk datang dari rekan kerja lamanya di Indikator. Mereka usul untuk bikin penerbitan, kendati ini belum bisa dikatakan cikal bakal Marjin Kiri. Betapapun mereka melanjutkan fokus kajian seputar ekonomi-politik, tapi arah penerbitannya masih di luar tema utama. Ronny dan beberapa rekannya merasa kurang sreg sehingga memutuskan mendirikan penerbit baru. <br /> <br /> Dari sanalah Marjin Kiri bermula. Digawangi enam orang, penyisiran naskah mulai dilakukan. Tema ekonomi-politik dan globalisasi menjadi prioritas. <br /> <br /> “Judul-judul buku Joseph Stiglitz dan Edward W. Said termasuk yang dibeli pertama. Kenapa? Karena di tahun 2005, aku pikir isu-isu ini akan sangat penting ke depannya. Berulangnya krisis, misalnya. Pas tahun 2008, kan, ternyata betul ada krisis lagi. Menarik karena Stiglitz, bahkan sebelum krisis, lewat Dekade Keserakahan (2006) bisa menjelaskan dengan gamblang kesalahan-kesalahan yang diperbuat Amerika sampai krisis itu terjadi,” papar Ronny. <br /> <br /> Karya Edward W. Said, Bukan-Eropa: Freud dan Politik Identitas Timur Tengah (2006), menjadi buku terbitan pertama mereka. Buku ini tidak hanya membahas bagaimana Orientalisme mengkaji tulisan-tulisan Eropa mengenai Timur, dengan memaparkan politik representasi sastra yang digunakan Said. Alih-alih menggali lebih dalam wawasan Said tentang pandangan skizofrenogenik dan primitivisme dalam perdebatan-perdebatan Freud dengan sekian tokoh “orientalis”. <br /> <br /> Pada Juli 2007, terjadi ketegangan dalam tim inti Marjin Kiri. Reorganisasi dijalankan. Lima orang keluar. Sejak itu tinggal Ronny berduet dengan Robby Kurniawan, yang mengurusi divisi pemasaran penerbitan. Distributor dialihkan dari Agromedia ke Nalar dan oplah cetakan diubah. <br /> <br /> Dengan kesibukan dalam pengonsepan ulang arah penerbitan, buku Republikanisme dan Keindoenesiaan karya Robertus Robert menjadi satu-satunya yang diterbitkan tahun itu. Roda penerbitan kembali berputar dengan terbitnya bunga rampai tulisan, Kembalinya Politik: Pemikiran Kontemporer dari (A)rendt sampai (Ž)ižek (2008). <br /> <br /> Ronny dan Robby kemudian merumuskan apa yang dimaksud sebagai “Marjin Kiri banget”. Juga upaya untuk bertahan sebagai penerbit alternatif dengan ceruk pasar yang mereka bilang “sangat sempit”. </span></span></span></div><div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /> Pemilahan judul, tak terhindarkan, akhirnya sangat selektif. Atau ia tak mengejar segi kuantitas. Penggarapan buku, dari desain hingga mutu kertas, dikelola secara terjaga. Gagasan yang ditawarkan dari terbitan Marjin Kiri juga menjelaskan upaya mengoreksi paradigma yang selama ini masih mendominasi kebijakan negara. <br /> <br /> “Kita ini benar-benar disterilkan dari pemikiran-pemikiran Kiri, tapi yang diam-diam kita hasratkan. Beberapa waktu lalu, banyak orang membandingkan pendidikan Indonesia dengan negara-negara Skandinavia terkait taraf hidup dan kebahagiaan, seakan-akan semua itu jatuh dari langit. Padahal mereka itu kan welfare state. Semua itu didapat dari hasil perjuangan partai buruh atau komunis. Sementara masyarakat kita seperti tidak ada respek pada kesejarahan perjuangan buruh, partai komunis, ataupun partai sosialis. Mereka mengidamkan kesejahteraan semacam itu, tapi tidak mau komunisnya, memangnya bisa?! Benar-benar ahistoris. Yang aku hadapi, aku merasa itulah yang harus dilawan oleh Marjin Kiri,” kata Ronny. <br /> <br /> Atau menurut Robby, apa yang masuk sebagai “bacaan yang dimaui Marjin Kiri” adalah “buku yang menurut kita membawa wacana baru, membawa suatu esensi dasar yang menarik.” Ia “melihat dunia dari sisi lain. Kita mau bawa pesan bahwa ini ada sesuatu yang beda. Ekonomi nggak seperti yang di diktat kuliah saja. Ada ekonomi alternatif yang menarik untuk coba diwacanakan.” <br /> <br /> Selain mengganti distributor, Marjin Kiri juga berjejaring dengan komunitas-komunitas baca dan toko-toko buku kecil, yang ditampilkan melalui laman situsweb supaya mudah diakses oleh peminat buku-buku Marjin Kiri. <br /> <br /> Menurut cerita pedagang dari kios Toko Buku Bangkit di areal Shopping Yogyakarta, sejak 2010, terbitan baru Marjin Kiri hampir selalu dinantikan. <br /> <br /> “Langganan saya selalu mau supaya buku-buku Marjin disimpankan stoknya untuk dia,” kata Anto. Sejauh ini, menurut Anto, buku karya Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013) terbilang sebagai yang paling diminati. “Di kios saya saja, bukunya sudah laku lebih dari 400,” ungkapnya. Buku itu mendatangkan banyak ulasan. <br /> <br /> Robby mengatakan, kendati buku terbitan Marjin Kiri memikat perhatian khalayak pembaca serta pembeli loyal, “kami tetap bisa dibilang sepuluh kali ‘mengencangkan ikat pinggang’. Yang kita yakini, selama modal masih bisa diputar, penerbitan buku harus jalan terus.” <br /> <br /> <br /> MENGENCANGKAN ikat pinggang untuk mendanai penerbitan bukan hal asing bagi J.J. Rizal, pemimpin redaksi Komunitas Bambu (Kobam). “Kobam nggak pernah hidup dari Kobam. Kobam hidup dari artwork. Buku Kobam semacam katalog. Orang sering datang ke Kobam untuk meminta bantuan cara mengemas buku. Itu sampingan yang kita kerjakan demi menghidupi penerbitan,” kata Rizal. <br /> <br /> Rizal mengatakan, cita-cita penerbitan adalah hal yang membuatnya tetap bertahan. “Kita bikin Kobam karena setelah Soeharto jatuh, kita baru sadar: apa yang menyebabkan Indonesia tumbang dan mengalami krisis yang dalam? Jawaban gue dan teman-teman waktu itu, karena kita nggak kenal apa itu Indonesia. Caranya kenal bagaimana? Kita harus pulang ke rumah sejarah. Tapi sejarah Indonesia, kan, sudah dikeruhkan rezim Soeharto. Lalu, bagaimana? Ya, dijernihkan. Caranya bagaimana? Kembali mewacanakan apa itu Indonesia, apa alasan kita menjadi Indonesia, dan apa cita-cita kita. Kita harus mengampanyekan ini. Ya, harus bikin penerbit. Harus menulis. Harus bicara, tidak berhenti.” <br /> <br /> Komunitas Bambu berdiri pada 20 Mei 1998. Para pegiat awal adalah para pelanggan toko buku milik Mujib Hermani di emperan jalan setapak konblok dari arah Halte UI ke kampus Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok. Dulunya tempat mereka berkumpul masih hutan rindang. <br /> <br /> Para pendiri komunitas itu antara lain Bagus Takwin, Donny Gahral Adian, Ihsan Abdul Salam, J.J. Rizal, dan Yunadi Ramlan. Fokus diskusi berkisar tema-tema kebudayaan, filsafat, sastra, dan teater. “Ketika masa ’98, banyak aksi berfokus pada politik, tapi ruang budaya di mana?” Itulah, menurut Agus Mediarta, rekan Rizal di Komunitas Bambu, yang menjadikan tema budaya sebagai fokus diskusi. <br /> <br /> Komunitas Bambu lantas merintis penerbitan tiga kumpulan puisi yang ditulis Dony Gahral Adrian, Ihsan Abdul Salam, dan J.J. Rizal sejalan dengan pandangan budaya itu. <br /> <br /> Orang belakangan mengenal J. J. Rizal sebagai sejarawan, dengan fokus perhatiannya pada kebudayaan Betawi. Tetapi Rizal pada masa itu dikenal sebagai penyair kampus, dan sajak-sajaknya sempat jadi kumpulan puisi bertajuk Kura-kura dalam Perahu. Ia juga mengorganisir komunitas Kelompok Tulang-tulang yang Berserakan—organ aksi yang juga bergerak sebagai kelompok kesenian. <br /> <br /> “Biasanya, pas agenda demonstrasi mahasiswa, mereka menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dan melakukan pembacaan puisi,” kata Agus. <br /> <br /> Rizal terlibat dalam demonstrasi Kesatuan Aksi Keluarga Besar UI dan menjadi ilustrator “Bergerak”, terbitan sampingan pers mahasiswa Suara Mahasiswa UI. <br /> <br /> Diskusi-diskusi Komunitas Bambu masih berlanjut. Mereka membangun sekretariat kecil di seberang Halte UI. Saat itu pula Komunitas Bambu berubah jadi yayasan. Dimulailah agenda penerbitan lewat sejumlah karya Tan Malaka: Islam dalam Tinjuan Madilog (1999), Menuju Republik Indonesia (2000), dan Massa Aksi (2000). <br /> <br /> “Waktu itu, wacana kita adalah bagaimana menghadirkan sejarah yang selama ini tidak tersuarakan, karena bagi kita sejarah seperti album keluarga. Apabila ada unsur yang hilang, bingkai itu rusak. Ibarat mengisi ruang kosong: kita menulis tentang Tan Malaka, Sukarno, dan bapak-bapak bangsa lain yang terlupakan. Karena kalau mau tahu apa itu Indonesia, kita harus mengenal mereka,” jelas Rizal. <br /> <br /> Pada awal 2000-an nama Komunitas Bambu punya gaung tersendiri di Jakarta di antara sedikitnya komunitas yang berfokus pada ranah budaya. Agus mencontohkan, yang ada saat itu di antaranya Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Konfiden. Anggota antarkomunitas pun saling mengenal. Beberapa anggota Komunitas Konfiden seperti Alex Sihar juga pernah ikut terlibat dalam kegiatan Komunitas Bambu. “Seri buku Tan Malaka malah digarap di tempat tinggal Alex,” ujar Agus. <br /> <br /> Waktu bergulir. Fokus hidup sebagian besar komunitas beralih. Hanya J.J. Rizal yang bertahan di Komunitas Bambu. <br /> <br /> Saat itu Rizal yang mengepalai divisi penerbitan masih mengemban tanggung jawab kepada yayasan pendana Adikarya IKAPI untuk menerbitkan dua judul: karya Iskandar P. Nugraha, Mengikis batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi & Nasionalisme Indonesia(2001), dan karya Rosa M.T. Kerdijk, Wayang-liederen: Biografi Politik Budaya Noto Soeroto (2002). <br /> <br /> “Sebenarnya, sejak 2003, Komunitas Bambu sudah bukan berbentuk komunitas. Bahkan sejak 2002 juga bukan. Karena seingat saya sejak itu, Kobam hanya menghasilkan buku tanpa ada proses yang dilibatkan di dalam komunitas,” kata Agus. Karena alasan itu pula, nama Kobam sempat diusulkan untuk diganti. Tetapi Rizal memutuskan tetap mempertahankannya. Nama itu dirasa dekat dengannya dan telah membesarkannya. Afiliasi yang terjalin sedari mula lewat Kobam itu juga yang dipakai Rizal sewaktu menulis untuk pelbagai terbitan seperti di Agenda dan Warta Kota. <br /> <br /> Kelanjutan Komunitas Bambu di kemudian hari pun sepenuhnya ditentukan oleh Rizal. <br /> Rizal menerbitkan judul-judul buku yang pernah tabu di rezim Soeharto termasuk tema komunis dari para akademisi: Kemunculan Komunisme Indonesia (Ruth T. McVey, 2010), Penghancuran PKI (Olle Törnquist, 2011), dan Teror Orde Baru (Southwood & Flanagan, 2013). Termasuk pula seri judul mengenai Soeharto: Soeharto di Bawah Militerisme Jepang (David Jenkins, 2010), Soeharto dan Barisan Jenderal Orba (Jenkins, 2010), dan Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (Richard Robison, 2012). <br /> <br /> “Kita sudah tahulah bagaimana negara dibangun oleh kebohongan dan propaganda yang disebut sebagai sejarah. Ngomong apa pun, sebenarnya nggak ada sejarahnya. Semua digerakkan demi kepentingan rezim,” ujar Rizal mengemukakan alasan di balik menerbitkan buku tersebut. <br /> <br /> Alasan serupa dalam laju kritik terhadap wacana Orde Baru ketika ia menerbitkan karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. “Mereka dua gambaran yang menarik untuk menghayati mengapa kita menjadi Indonesia. Mereka termasuk generasi kedua setelah founding fathers. Nah, sekarang kita nggak belajar lagi menjadi Indonesia, kan, karena diputus oleh sistem Orde Baru itu.” <br /> <br /> Menurut Rizal, Pram dengan caranya sendiri menggambarkan Indonesia sebagai bentuk baru untuk menggantikan Jawa. “Bahwa Pram adalah Jawa yang sangat membenci Jawa—iya. Dia menggambarkan Jawa dengan tegang dan dia ingin menghapus Jawa itu dan menggantinya dengan Indonesia. Sementara itu, Sitor cukup berbeda. Dia tidak hendak membunuh masa lalunya. Sitor sadar betul nasionalisme kita sejak awal dikonstruksi bukan untuk membunuh kelokalan.” <br /> <br /> Seiring perkembangan penerbit, Rizal membentuk lini-lini penerbitan seperti Masup Jakarta dan Ka Bandung. <br /> <br /> “Gue ngerasa, kalau elu mau bikin sejarah nasional, elu harus menguatkan sejarah lokal. Nah, pengetahuan tentang sejarah lokal ini yang kita paling lemah. Kita sedikit sekali tahu. Padahal elu enggak bisa tahu Jakarta kalau elu enggak paham sejarahnya. Tahun itu, pas mulai bikin Masup Jakarta, gue baca referensi bahwa pada 2025, 70-an persen masyarakat akan tinggal di kota. Dan perbaikan Indonesia bukan di tangan presiden, tapi di tangan pemimpin-pemimpin kota itu. Karena itu, gue mulai menerbitkan tentang Jakarta, supaya para pemimpinnya nggak ahistoris.” <br /> <br /> Itu pula yang mendasari Komunitas Bambu menerbitkan banyak karya bertajuk sejarah daerah seperti Wilayah Kekerasan di Jakarta (Jérôme Tadié, 2009), Sejarah Sumatra (2012) ataupun Kalimantan Tempo Doeloe (2013). <br /> <br /> Rizal juga mengadakan “Wisata Sejarah” untuk kepentingan pengenalan situs-situs peninggalan sejarah. “Ini salah satu cara mendekatkan pembaca dengan penulis dan melihat faktanya langsung lewat wisata sejarah, misalnya buku-buku dengan mengangkat tema Sukarno muda dan mengundang Peter Kasenda.” <br /> <br /> Meski begitu, Rizal berkata bahwa oplah terbitan Komunitas Bambu terus menurun dalam lima tahun terakhir, yang mau tak mau berimbas pada melonjaknya harga jual buku. Untuk menghindari pembajakan, ia pun mengusahakan teknik laminasi tiga lapis dengan kualitas art sedemikian rupa untuk sampul terbitannya. “Orang-orang yang tadinya niat membajak karena harga buku mahal akan pikir-pikir panjang karena jelas bedanya buku orisinal dan bajakan dari menyentuh laminasi kovernya,” jelasnya. <br /> <br /> DI tengah keadaan yang sulit bagi terbitan-terbitan dengan ceruk pasar “sempit” ini, beberapa toko buku besar masih menerapkan pembatasan untuk judul-judul buku tertentu terutama sekali yang mengangkat tema Marxisme. <br /> <br /> Beberapa penerbit bertahan dengan jalur distribusi melalui kios-kios kecil. Beberapa yang lain memutuskan untuk mengikuti gerak pasar. Sebagian lagi gulung tikar. <br /> <br /> Dengan keadaan seperti ini, tidak berlebihan untuk menganggap gambaran Daniel Dhakidae dalam Tahun Buku Kanisius (1999) tentang jumlah judul buku produksi Indonesia yang hanya 0,0009% tak akan banyak berubah. Dalam uraian itu, Dhakidae mengilustrasikan setiap 9 judul buku diperuntukkan bagi sejuta penduduk. Sementara, rata-rata negara berkembang memproduksi 55 judul buku, dan negara maju memproduksi 513 judul buku, bagi sejuta penduduk. Padahal, untuk setaraf dengan negara-negara maju itu, Indonesia mesti memproduksi buku 57 kali lebih banyak dari yang beredar di tengah masyarakat saat ini. <br /> <br /> Saya kembali mengingat obrolan dengan Ronny Agustinus. Ia berkata, “Orang-orang sering tanya apa yang bisa dibenahi di industri penerbitan. Masalahnya kompleks. Untuk membenahi, ya, harus pelan-pelan. Harus panjang napas, harus panjang umur. Banyak penerbit berdiri dengan maksud kritis atau radikal. Tapi, seiring jalan, mereka tumbang. Aku belajar dari mereka. Untuk melawan, kamu harus pikirkan bagaimana bisa bertahan. Yang dilawan, soalnya, adalah hasil didikan puluhan tahun.”[] <br /> <br /> </span></span></span></div>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-30549108405329470592015-09-20T10:14:00.002+07:002021-06-02T16:05:45.280+07:00Perihal Manipulasi Orba atas Sejarah Indonesia<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><span><span><br /></span></span>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:DoNotShowRevisions/>
<w:DoNotPrintRevisions/>
<w:DoNotShowInsertionsAndDeletions/>
<w:DoNotShowPropertyChanges/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:Calibri;
mso-bidi-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
<br />
</span></span><div class="MsoNormalCxSpFirst" style="text-align: right; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"><i>Wawancara dengan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/JJ_Rizal">J. J. Rizal</a> untuk Reportase Pindai</i></span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpFirst" style="text-align: right; text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"><i>(September 2015) </i> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpFirst" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpFirst" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Bagaimana tradisi
sejarah di Indonesia? Merujuk buku Vedi R. Hadiz, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ilmu Sosial dan Kekuasaan</i>, pada masa pemerintahan Suharto, ilmu
sosial dikuasai teknokrat Orba. Dalam pengajaran ilmu sejarah sendiri
bagaimana?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpFirst" style="text-indent: 0in;"><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kita menilik kaitan sejarah dengan kekuasaan
sampai jauh ke belakang. Suharto dan Sukarno memandang sejarah sebagai hal
esensial, bahkan sebagai pokok utama. Sebelum lahirnya para sejarawan, mereka
mengembangkan ilmu sejarah sedemikian rupa menjadi bagian aktivitas politik dan
pengembangan ideologi. Hampir semua penggerak zaman itu berpikir untuk
mengonstruksi sebuah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i>, karenanya
sejarah jadi hal penting. Sukarno yang punya artikulasi paling besar. Pledoinya
di Landrat, misalnya, “masa lalu gemilang, masa kini penuh derita, dan masa
depan yang harusnya jaya”. Dia melihat sejarah sebagai modal, bahwa di masa
lalu kita punya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation-nation</i> yang besar
dan bahwa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i> itu pernah dijeda
oleh kolonialisme. Dalam orasi-orasinya, ia menegaskan, kita harus melanjutkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i>, tapi bukan dengan bentuk <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i> yang lama seperti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i> lama berdasarkan penelitian
arkeologis, sebutlah N.J. <span>K</span>rom yang membicarakan soal Sriwijaya, Majapahit,
dll. Nah, bayangan tentang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation-nation</i>
yang besar dan harapan atas <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i>
baru inilah, visi ini yang digunakan Sukarno bahwa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i> yang sekarang kita bentuk adalah lanjutan dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i> yang dijeda. Yang ingin gue
garisbawahi, selanjutnya yang mengembangkan ilmu sejarah akhirnya bukan para
sejarawan, melainkan para politisi. Salah satunya Bung Karno dan Yamin. Karena
bagi mereka, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">nation</i> harus diberi roh,
dan rohnya itu adalah sejarah.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Dan dalam konteks itu, kebenaran sejarah kadang
tidak penting. Yang penting adalah kepentingan visioner. Misalnya, Sukarno
bilang Indonesia dijajah 350 tahun, dari mana asalnya? Padahal itu yang
dikatakan oleh Gubjend De Jong ketika menolak permintaan agar meniru langkah
India memberikan kemerdekaan kalau misalnya berhasil dengan Inggris
bergandengan tangan melawan kapitalisme. Kata Gubjend De Jong, tidak, kalau
perlu, Indonesia dijajah 350 tahun. Nah, Bung Karno tahu betul kata-kata itu.
Diadopsi oleh Bung Karno. Secara de facto, tidak ada yang dijajah selama itu.
300 tahun mungkin ada, itu pun hanya Banda dan Batavia.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Jadi, dulu itu
pemahaman sejarah digunakan untuk upaya menyatukan bangsa?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ya, karena kita baru merdeka. Kita gak punya
tentara. Yang kita punya adalah sejarah sebagai modal untuk menstimulus moral
dan mental masyarakat, dan lahirlah laskar-laskar untuk memerdekakan. Itu
digunakan dengan sangat baik oleh Sukarno, dia menciptakan hari-hari nasional.
Itu yang gue maksud, sejarah digunakan sedemikian rupa. Dia membawa seniman
melukis wajah-wajah pahlawan, mengangkat tokoh-tokoh yang secara faktual
kebenaran historisnya tidak diketahui, tapi yang penting melawan Belanda. Ilmu
Sejarah sendiri baru berkembang secara serius tahun 50an, walau sarjananya
sudah ada lebih dulu, seperti Husein Djayadiningrat. Sebelum itu, sejarah
dikembangkan oleh para politisi. Jadi, kalau bagian dari kekuasaan, menurut gue
itu memang hal yang nyata dalam sejarah kita. Yang lebih gila lagi, visi itu
lebih digunakan secara masif dan sistematis di zaman Suharto. Kita sudah
tahulah bagaimana negara dibangun oleh kebohongan dan propaganda yang disebut
sebagai sejarah. Ngomong apa pun, sebenarnya enggak ada sejarahnya. Lebih
banyak story daripada history. Negara memegang peranan penting saat itu dengan
mendirikan pusat sejarah ABRI/TNI yang membawa seorang yang sebenarnya bukan
jurusan sejarah dan sastrawan yang punya imajinasi tinggi seperti Nugroho
Notosusanto dan melakukan rancangan sistematis serius dan bergerak melalui
kurikulum, permuseuman, nama jalan, monumen. Semua digerakkan demi kepentingan
rezim. Yang merekonstruksi itu adalah tentara.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Lalu, siapa Bapak
Sejarah Formal?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Sejarah formal mulai dirintis Sartono
Kartodirdjo, karena itu beliau disebut bapak ilmu sejarah utama karena dia
melihat sejarah bukan urusan hitam putih. Kita tidak boleh melupakan tempat
rakyat dan orang kecil (petani, nelayan) di dalam sejarah. Nasionalisme
Indonesia dimulai dari petani. Dan mulai mengajarkan dengan apa yang disebut
sejarah kritis, sejarah akademis. Dia mulai merekrut orang-orang. Dari muridnya
seperti Lapian, kita tahu suara dari laut juga jarang, padahal kita negara
berbentuk tanah air.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Jadi, ini lebih ke
struktur birokrasinya, mereka membuat perpustakaan ABRI untuk memanipulasi
sejarah. Kalau tradisi sejarah di kampus bagaimana?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mereka, kan, masuk melalui kurikulum. Kurikulum
itu yang menelurkan buku-buku babon. Sejarah Nasional Indonesia, misalnya. Buku
itu akhirnya merupakan suatu gambaran kalau nation Indonesia dibentuk oleh
kekuatan tentara. Jadi, wajar tentara punya posisi yang penting di dalam
republik karena mereka punya peranan besar. Di situlah, ada pertengkaran antara
sejarawan: yang ingin melihat sebuah bentuk manifestasi yang serius dari
kecakapan mereka sebagai sejarawan akademis. Konflik dari Taufik Abdullah,
Sartono malah bikin buku sendiri.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></span></div><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ada kubu-kubu?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Sartono keluar, tidak ikut menulis akhirnya.
Taufik Abdullah juga tidak. Karena mereka merasa dikuasai oleh kubu-kubu
pemerintah yang diwakili oleh Nugroho Notosusanto. Istilahnya Kahtryn McGregor,
kan, sejarah yang berseragam. SNI adalah salah satu contohnya. Terutama pada
periode yang disebut sejarah kontemporer, sejak merdeka sampai 1970-an.
Perdebatannya akhirnya bukan hanya yang diharapkan jadi perdebatan akademis,
memperlihatkan kecenderungan para intelektual Indonesia. Yang terjadi
sebaliknya. Ketika buku itu ditulis kita sedang booming sejarah intelektual
Indonesia. Bukan hanya di regional Asia, tapi tingkat dunia. Mereka terlibat
percakapan serius tentang tema, topik, dan filosofi sejarah, tapi itu tidak
terlihat dalam buku SNI. Itu menyedihkan. Sekarang, kita krisis sejarawan yang
punya kaliber seperti booming tahun 70an itu, yang bisa ikut berdialog.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Booming 70an itu siapa
saja?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Sartono, Onghokham.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Lalu yang menuliskan buku SNI?</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Nugroho Notosusanto. Mereka punya struktur
birokrasi, pernah jadi rektor, menteri. Karena itu, kalau sekarang kita
mendebatkan perkara 65, wajah kampus masih kelihatan seperti dulu. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Masih sampai sekarang?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Seperti penolakan kata penambahan <span>G</span>30S/PKI kan
sampai ke kampus-kampus perdebatannya.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Berarti, ada
tulisan-tulisan yang merujuk menolak wacana Orba?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Sartono bikin buku sendiri Dari Imperium sampai
Emporium untuk menolak. Diterbitkan Ombak karena Nursam punya kedekatan dengan
Sartono, dia menulis skripsi tentang Sartono.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Selain itu, siapa
lagi?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Taufik Abdullah menulis tapi tidak dalam bentuk
buku babon. Kemudian, dia menulis, diterbitkan di Singapur. Yah, mereka
mengembangkan dirilah, menulis dalam majalah Prisma dengan menulis sejarah2
alternatif. Ini membawa pengaruh berbeda dengan yang disajikan di SNI. Itu
memberi ruang sebagai suara alternatif dari sejarah resmi yang dijaga bahkan
oleh penjara, pentungan, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">blacklist</i>.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Bagaimana pengaruh
para sejarawan anti-Orba ini ke para mahasiswa?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Banyak pengaruhnya. “Kalau Pak Ong sudah
protes, berarti rakyat kecil sudah kena pengaruh.” Onghokham dijadikan mistar
pengukur permasalahan. Karena beliau tiap hari pergi ke pasar, doyan masak, ke
mana-mana naik angkot. Lapian juga.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mereka menulis dan terlibat sebagai intelektual
publik dan menjadi suara alternatif lewat kolom-kolom mereka, warna lain dari
diskursus kekuasaan yang disajikan oleh pemerintah. Mereka melihat Suharto
menerapkan pola kekuasaan Mataram baru yang feodal dan kolonial. Akhirnya,
kita seperti mengulangi sejarah. Dia memberi refleksi, dan akhirnya menjadi
perdebatan, kalau Orba itu adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">new state,
old society</i>.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kenapa baru ’98 Suharto
tumbang?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ya, revolusi itu seperti pohon oak. Gak bisa
langsung besar. Harus jauh, mengakar. Revolusi butuh waktu, karena itu proses
mental. Mengubah kultur. Sampai hari ini, secara kultural tidak berubah:
feodalismenya, banditisme partainya. ’98 hanya titik menjatuhkan saja. Ada
studi menarik dari ___, dengan meneliti bacaan para aktivis 98. Mereka adalah
saksi yang tegang dari kekuasaan diktatorian yang fasistik sehingga bacaan
mereka lebih banyak pada bagaimana meruntuhkan rezim, tetapi ketika rezim
turun, bacaannya kurang. Itu yang jadi problem. Kalau kita baca refleksi
historis dari para intelektual sejarah, ya sama, mereka menyamakan Suharto
dengan rezim busuk, tapi apa selanjutnya? Itu berbeda dengan politisi seperti
Sukarno atau Hatta. Mereka bertanya: setelah kolonialisme tumbang, apa yang
akan kita buat? Indonesia ini jembatan emas, tapi seperti apa konstruksinya?
Mereka berdebat. Sementara Reformasi… mereka tidak punya kesiapan.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mahasiswa-mahasiswa
sejarah UI, dan para pendiri Kobam yang didirikan sehari sebelum Suharto
makzul, apakah tidak punya gambaran besar tentang apa yang harus dilakukan
sekarang?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kita bikin Kobam karena setelah Suharto jatuh,
kita baru sadar, apa yang menyebabkan Indonesia tumbang dan mengalami krisis
yang dalam. Ada yang bilang krisis politik, lalu mereka masuk partai politik.
Ekonomi, mereka masuk bisnis. Tapi jawaban gue dan teman-teman, karena kita gak
kenal apa itu Indonesia. Caranya kenal bagaimana? Kita harus pulang ke rumah
sejarah. Tapi sejarah Indonesia isinya gak ada sejarah (history), isinya cerita
(story) semua. Bagaimana? Ya, dijernihkan. Caranya bagaimana? Kembali
mewacanakan apa itu Indonesia, apa alasan kita menjadi Indonesia, dan apa
cita-cita kita. Kita harus mengampanyekan ini. Ya, harus bikin penerbit. Harus
menulis. Harus bicara.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">[bercerita tentang kasus Kampung Pulo]</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Hari ini, sering ada keluhan generasi muda buta
sejarah. Menurut gue bukan hanya mereka, kita semua buta sejarah.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">[bercerita tentang Jokowi dan Prabowo dengan
strategi-strategi politiknya]</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">[kembali bercerita tentang kasus Kampung Pulo]</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="tab-stops: 278.6pt; text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Minimnya perhatian terhadap masyarakat secara langsung, itu tradisi yang
sudah diwarisi sejak masa pemerintah Orba, kan?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="tab-stops: 278.6pt; text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Makanya, sejak ’98 mestinya para intelektual
publik itu dilibatkan. Selama ini, mereka ‘kan dimusuhi. Intelektual publik itu
siapa? Nah, itu banyak sekali kajiannya. Bukan yang untuk melegitimasi dan
mengamini pemerintah. Selama Orba, kerja teknokrat kan mengamini. Memberi
referensi akademik seolah-olah itu benar. Karena ada proyek di situ.
Normalisasi jadinya betonisasi. Itu bukan intelektual publik, karena dia tidak
mementingkan publik. Mereka lebih mementingkan penguasa.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Siapa contoh
intelektual publik yang semestinya bisa ditunjuk saat itu?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Sulit menyebutkan. Kecenderungan kekuasaan
adalah membangun jurang dengan kampus. Contoh paling gampang, kampus dibuang ke
pinggiran semua agar tidak mengganggu. Kalau kampus dekat dengan kekuasaan,
dianggap bisa jadi biang keributan. Tahun ’66, kan begitu. Orde Baru tahu betul
kampus tidak boleh dekat pemerintah. Negara akhirnya tumbuh seperti zombie,
membesar, tapi tidak punya jiwa.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Tetap ada patron di
kampus-kampus itu?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Bahkan setelah jauh pun, pemerintah mengirim
orang untuk menjadi intel dengan NKK/BKK. Orang-orang kampus bukan sebagai
teman dialog. Mereka justru dianggap musuh. Di sini, problem-problem besar
Indonesia dimulai. Hampir semua kebijakan tidak memiliki basis pengetahuan
sejarah. Kurikulum dimanipulasi sedemikian rupa, bisa dibaca di bukunya Saya
Shiraishi, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Para Pahlawan Belia</i>,
melalui kurikulum, kita dibentuk menjadi generasi yang minim wawasan dan
pengetahuan. Hampir semua perpustakaan pemerintah rusak, dan kita generasi nol
buku, minat baca rendah.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Maksud dari hampir
semua perpustakaan rusak?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ya, itu tadi, negara tidak memerlukan
intelektual. Kalaupun perlu, mereka hanya memerlukan doktor dan profesor yang
tukang cap. Bukan keilmuannya yang dibutuhkan. Apalagi keberpihakannya.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Itulah jalan gue: akhirnya terbentur pada
pertanyaan—kalau jawaban dari krisis kita adalah dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">kembali lagi ke rumah sejarah</i>, tapi bagaimana mungkin elu berteriak
berwacana di tengah masyarakat yang tidak membaca, itulah rumitnya.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Lalu, bagaimana
mungkin?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Elu harus jadi intektual publik di media-media,
yang orang tidak perlu baca.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Bukan dengan
meninggikan minat baca?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ya, kan, tetap menerbitkan terus. Laku enggak
laku, gue terus menerbitkan, tapi ya gue terus ngoceh di mana-mana. Enggak ada
pilihan. Karena itu, gue bisa berbenturan dengan kekuasaan secara langsung.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></span></div><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Sejarahnya sendiri,
kenapa sih masyarakat kita minat bacanya begini?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ya itu, dimulai dari masa Orba. Ceritanya Pram
yang menurut gue menarik. Di Tiongkok, ada raja bertanya ke penasihatnya
tentang bagaimana caranya melanggengkan kekuasaan. Penasihat itu bilang: “bikin
rakyat bodoh”. Salah satunya ya, pendidikan, itulah bisa dibaca di buku Saya
Shiraishi. Setelah 65, buku diintervensi sedemikian rupa. Kurikulum tidak
membuat daya kritis tumbuh: politiknya bersifat patron-klien, guru yang
menjelaskan di depan kelas adalah patron, murid adalah klien. Patron itu
memberi jawaban benar atau salah. Di zaman Sukarno, murid diberi tugas bacaaan
untuk didiskusikan. Di zaman Suharto, murid diberikan resume, ya belajar
karakter di mana? Kecuali, kita nyempal dari proyek masif kebudayaan Orba itu.
Dan itu memerlukan pertemuan-pertemuan khusus: harus ketemu orang-orang yang
kritis. Inilah akar dari semua itu adalah membaca. Seperti kata Pram, “Saya
bertugas mengajarkan sejarah kepada bangsa saya.” Dengan cara bagaimana?
Dia enggak bikin karya ilmiah karena mungkin dia percaya enggak ada yang baca. Jadi
diseduhlah sejarah itu dalam bentuk novel. Gue orang yang sebiduk dengan Pram
tapi dengan cara berbeda. Mungkin seperti Muhidin dan IVAA dengan cara arsip mereka,
dan banyak orang lagi menurut gue. Jadi, memberikan wacana kritis yang bisa
merontokkan dan mengikis kebudayaaan massa yang diwariskan periode puluhan
tahun lalu—yang sudah seperti membatu, yang digambarkan dengan mudah melalui
sikap para elite sekarang ini. Tidak punya pengetahuan, ya jadinya tidak punya
kemanusiaan.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></span></div><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Itu yang menyebabkan
Kobam menerbitkan karya-karya sastranya Pram dan Sitor Situmorang, ya? Kenapa
dua ini jadi nama utama?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ya, Pram dengan caranya sendiri menggambarkan
Indonesia sebagai bentuk baru untuk menggantikan Jawa. Bahwa Pram adalah Jawa
yang sangat membenci Jawa, iya. Dia menggambarkan Jawa dengan tegang dan dia
ingin menghapus Jawa itu dengan menggantinya dengan Indonesia, seperti yang
diwacanakan Tirtho Adhi Suryo. Tirtho adalah orang Indonesia modern pertama,
menurut Pram.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Sementara itu, Sitor cukup berbeda. Dia tidak
ingin membunuh masa lalunya. Dia Batak, dia ingin menggambarkan Batak sebagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">state, nation</i>, yang pada masa lalu punya
konstruksi yang kuat. Dan harusnya seperti itulah. Itu tawaran yang diberikan
Sitor, diberi dan diupayakan melalui beragam tulisan, dari mulai karya sastra
sampai antropologi historis. Ia menggambarkan keindonesian kita tidak membunuh
kelokalan kita. Bagi Pram, Jawa sudah selesai. Bagi Sitor, kembali harus perlu,
karena setiap kelokalan kita bisa menjadi sumber untuk membentuk Indonesia.
Sitor sadar betul nasionalisme kita sejak awal dikonstruksi bukan untuk
membunuh kelokalan. Ini tergambar dalam peristiwa Kongres Sumpah Pemuda, di
mana bagian ketiga “menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia” itu
dihilangkan. Keitka elu bilang menjunjung, artinya elu menghargai ada bahasa
ibu. Ketika elu ngomong tentang bahasa ibu, elu harus menghidupkan
kebudayaannya. Karena bahasa ibu adalah muara dari kebudayaan. Kalau elu mau
ngecek matinya kebudayaan lokal, elu ngecek aja penutur bahasanya.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Mereka dua gambaran yang menarik untuk
menghayati mengapa kita menjadi Indonesia, mereka termasuk generasi kedua
setelah para founding fathers. Nah, sekarang kita enggak belajar lagi menjadi
Indonesia kan karena diputus oleh sistem orde baru itu. Hasilnya, sekarang
contoh-contohnya adalah praktisi-praktisi politik.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Akses materi dari
mana?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Gue bergaul dengan para dosen karena gue merasa
kecewa dengan pengajaran di kampus. Untungnya, ada senior dan jurnal. Kita
mengakses sendiri. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Siapa-siapa saja
anggota Komunitas Bambu?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Awalnya, kita namanya komunitas, karena ada
banyak orang yang bergerak dari aneka macam disiplin tapi menyepakati hal yang
sama: kita gagal memahami sejarah bersama. Bambu, karena dulu Depok
konservatorium bambu. Kobam ini seperti tempat singgah. Gue bertahan karena gue
mengepalai divisi penerbitan dan gue terikat sama kerjasama Adikarya Ikapi; ada
divisi diskusi, penerbitan, dll. Saat itu, mulai lulus kuliah. Erita, Bagus
Takwin, Faturohman, Safaris Dadi, Agus Mediarta, Dony Gahral, Ihsan Abdul
Salam, Tunjung, Lely, etc.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ada <i>grand design</i>
menerbitkan seri-seri seperti Soeharto, Tionghoa, etc.?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Waktu itu, wacana kita adalah bagaimana
menghadirkan sejarah yang selama ini tidak tersuarakan, karena bagi kita
sejarah seperti album keluarga. Apabila ada unsur yang hilang, bingkai itu
rusak. Ibarat mengisi ruang kosong: kita menulis tentang Tan Malaka, Sukarno,
etc. Karena kalau mau tahu apa itu Indonesia, harus melalui mereka.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></span></div><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Periode pendiriannya
bagaimana?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kita waktu itu terlibat dalam demo dan aksi.
Kita mendirikan Kobam menjelang Suharto jatuh karena kita mulai berpikir what’s
next? Apa yang menyebabkan Indonesia jatuh begini? Kita mulai mengadakan
diskusi: obat yang dicari atas krisis ini. Kita mulai membicarakan masa lalu
dari aneka macam sisi: psikologi, ekonomi, filsafat.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Sejak 2006, ada
imprint-imprint baru.</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Gue ngerasa, kalau elu mau bikin sejarah
nasional, elu harus menguatkan sejarah lokal. Nah, sejarah lokal ini paling
lemah, kita sedikit sekali tahu. Padahal elu gak bisa tahu Jakarta kalau elu
gak paham sejarahnya. Tahun itu, gue baca referensi pada 2025, 70-an persen
masyarakat akan tinggal di kota. Dan perbaikan Indonesia bukan di tangan
presiden, tapi di tangan pemimpin-pemimpin kota itu. Karena itu, gue mulai
nerbitin tentang Jakarta, supaya enggak ahistoris. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></span></div><span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Cover Kobam desainnya
berbeda?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Itu kita lakukan karena oplah menurun, dan
harga meningkat. Kecenderungan orang untuk membajak akan besar dengan kenaikan
harga ini. Jadi, kita bikin pembeda dengan kualitas art sedemikian rupa, untuk
entertainment. Itu sebenarnya trik. Lima tahun terakhir surveinya, peminat buku
Kobam menurun terus. Lima tahun lalu, 1500 laku dari 2000, tahun berikutnya
jadi 1000, 800, dan kemarin 600. Di toko, makin drop. Sementara distributor
ongkos makin mahal. Kita sudah mulai gak ikut bookfair karena cost-nya sudah
enggak masuk. Buku Sartono, misalnya, cuma cetak 1500. Kecuali elu punya pabrik
buku raksasa seperti Gramedia, etc.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Terus, strategi
bertahan bagaimana?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kobam enggak pernah hidup dari Kobam. Kobam
hidup dari artwork. Buku Kobam semacam katalog, orang sering datang ke Kobam
untuk meminta bantuan cara mengemas buku. Kita banyak dapat order dengan bantu
artwork.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kobam punya percetakan
sendiri?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Setidaknya kita punya banyak rekanan, yang
syaratnya bisa memberi utangan. Karena kalau langsung bayar sering sulit. Enggak
ada bedanya dengan ucapan James Scott tentang nasib petani, terendam sebatas
lutut. Ada riak air sedikit saja, kita tenggelam.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Kenapa masih bertahan?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ya memberi masyarakat bacaan, masih ada bacaan
yang baik di tengah sampah buku. Elu kan sulit masuk ke toko buku, yang elu
temuin sampah. Nah, untuk itu, Kobam melakukan segala macam hal untuk
memperoleh dana. Kita juga berusaha mendekatkan pembaca dengan penulis dan
faktanya langsung lewat wisata sejarah, misalnya buku-buku Sukarno Muda dan
Nyai Dasima. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><br /></span></span>
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Siapa peminatnya?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Banyak. Kita pernah bikin wisata sejarah Nyai
Dasima, sampai 130-an orang yang datang. Ini membantu untuk lebih dekat dengan
pembaca Kobam. Yang harus dibentuk, kan, komunitas pembaca buku Kobam, dan
kalau bisa dilanggan. Waktu ketemu di Bentara Budaya pas acara komik, Seno
Gumira sampai bilang, kan, bahwa saking pentingnya buku-buku Kobam sampai harus
dilanggan.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Setelah Reformasi,
selain pemerintah yang enggak baca buku dan buta sejarah, kenapa konstelasi
politik kita enggak berubah?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Karena orang-orang yang hidup hari ini adalah
orang-orang yang mindset-nya disetir sedemikian rupa, dan menghasilkan
mentalitas manusia yang sama. Enggak ada lagi ideologi bagi mereka. Frankfur
Edi, sosiolog, bilang mereka terjebak dalam kedangkalan. Kalau terjebak dalam
kedangkalan, elu gak punya wawasan. Kalau enggak punya wawasan, enggak punya
cukup pengetahuan. Kalau enggak ada cukup pengetahuan, elu enggak akan punya
ideologi. Dari partai apa pun, semuanya jadi sama, yang mereka tahu adalah
sifat greedy, itu yang khas dari Orba. Sekarang, mahkota adalah uang. Di masa
lalu, mahkotanya adalah pengetahuan.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Persoalan buruknya, kita buntu di sejarah 65,
mayoritas kekuatan kita terserap ke sana. Kampus terbelah. Sejarah maritim,
perempuan, etc. jadi kurang difokuskan.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Dalam beberapa tahun
ke depan, apa ada optimisme?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Menurut gue, optimisme itu etika. Dan sejarah
mengajarkan itu. Kalau elu belajar sejarah, elu pasti punya optimisme. Sejarah
membantu elu keluar dari lubang jarum sekalipun. Suatu saat, Ranggawarsita
pernah menulis tentang Kalabendhu, sudah tidak ada lagi harapan, di depan
hanyalah lorong gelap yang penuh marabahaya. Tapi kemudian kan muncul orang
seperti Kartini, dia bilang Ranggawarsita itu ngaco, muncullah bukunya “Habis
Gelap Terbitlah Terang”, mungkin memang Abendanon yang bikin judul itu, tapi
kalau elu baca surat-surat Kartini, dia adalah orang yang paling senang
menggunakan kosakata terang dan gelap. Sukarno juga orang yang paling senang
dengan kiasan sang fajar. Muhammadiyah juga lahir dengan simbol mentari, itu
juga pengaruh Kartini. </span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><br /></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="color: #3d85c6;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Judul-judul yang
paling representatif untuk tiap seri?</span></b></span></span></span></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;"> </span></b></span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-indent: 0in;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Semua. Kalau tidak mau terjebak dalam politik
rasial Orba, elu harus baca semua buku itu sekaligus.</span></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
</span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7477398994074846542.post-16337060729419378432015-06-26T11:53:00.003+07:002021-06-02T16:08:53.273+07:00Kesepian dan Penyakit Masa Kini di Tangan Empat Perupa<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><i></i><p> </p><blockquote><i>Ditulis untuk katalog mini Pameran Galeri Nginjen (GANJEN) oleh Indiguerillas & Ketjilbergerak. Pengantar tentang pameran bertajuk "</i>Loneliness and Other Ilnesses<i>" ini diberikan dalam katalog mini tersebut oleh kuratornya, Sita Magfira.</i></blockquote><i></i></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<br />
</span></span><div style="text-align: center;">
<span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHBRKJr_Mdo-ABhYHoJuWyxOGvZNexoaaMkSzialtQdH3V_RDD705QQJyOhyphenhyphenQmw87jro2N4KG0PPkvSGC2xIZDweHse-REFeaLIgEWt0hqhMqwM-tY9GQUvuvgjlmEKmURIsWLPutQkT7y/s400/ganjen+-+pemuda+setempat.jpg"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHBRKJr_Mdo-ABhYHoJuWyxOGvZNexoaaMkSzialtQdH3V_RDD705QQJyOhyphenhyphenQmw87jro2N4KG0PPkvSGC2xIZDweHse-REFeaLIgEWt0hqhMqwM-tY9GQUvuvgjlmEKmURIsWLPutQkT7y/s400/ganjen+-+pemuda+setempat.jpg" /></a></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<br />
</span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
© <a href="http://tamanbudayaindieguerillas.blogspot.com/2015/06/galeri-nginjen.html">Indieguerillas</a></span></span></div><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">
<br />
<span><span>Perkembangan teknologi di setiap zaman selalu memicu gelombang kekhawatiran dan penolakan dari generasi masing-masing. Di masa ini, penggunaan gawai-gawai canggih yang dapat diperoleh dengan mudah adalah salah satu hal yang dikhawatirkan—sekaligus, secara paradoks, dimafhumi—sebagai faktor yang membuat individu tercerabut dari realitasnya. Karya <a href="http://websta.me/n/wulangsunu" target="_blank">Wulang Sunu</a> yang bertajuk <i>Phones and Children</i> dan karya <a href="http://websta.me/n/rsuryamega" target="_blank">Ragil Surya Mega</a> yang berjudul <i>Misteri <strike>Hilangnya</strike> ke-Bersama-an </i>adalah dua contoh yang memperlihatkan fenomena tersebut. Wulang merepresentasikan gagasannya tentang “masyarakat layar” dalam wujud bocah yang asyik dengan gawainya; bangun atau tidur, dalam posisi tubuh jungkir balik atau tegak, apa-apa yang dilihatnya hanya gawai. Sementara itu, dalam karyanya Ragil menghadirkan interaksi dua orang di meja makan yang, alih-alih menanggapi piring-piring berisi makanan, justru bertafakur pada laptop dan ponsel.</span></span><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOdp9-FTTZzuFB7vRzUWW3SaRXAnIghdpHa1ZcbKnhOwEX8PgvMrteRE9W1PXWbNTC3tr4KD8h4m7-XqUPksgoY-wNce1JiNiVv7V2MD3Rc-yS1bgb9KWgfu65RezPj00cD5u1UstuB58/s1600/image2.JPG" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOdp9-FTTZzuFB7vRzUWW3SaRXAnIghdpHa1ZcbKnhOwEX8PgvMrteRE9W1PXWbNTC3tr4KD8h4m7-XqUPksgoY-wNce1JiNiVv7V2MD3Rc-yS1bgb9KWgfu65RezPj00cD5u1UstuB58/s200/image2.JPG" width="150" /></a><span><span><br /></span></span><span><span>Wulang menghadirkan fenomena secara apa adanya. Bocah dalam gambarnya adalah potret generasi digital yang menghabiskan waktu dengan gawai. Ia merekam bagaimana para orang tua di masa ini telah membiarkan anak-anaknya terpapar pancaran radiasi dari ponsel bahkan sejak usia dini. Karena itu, sosok bocah bertatapan sayu itu bisa dilihat sebagai maskot tersendiri untuk menanggapi fenomena ini. Dalam artian, ia bisa direproduksi menjadi bentuk karya yang lebih bercerita; semisal <i>comic strip</i> dengan karakter ala <i>Mafalda</i>, bocah berusia enam tahun ciptaan Joaquín Salvador yang selalu bersikap sinis terhadap sekolah, atau ala <i>Calvin and Hobbes</i> dalam versi Wulang: Bocah dan Gawainya. </span></span><br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6kVWnsiIcqJPwdsll0M8ba2r-97Ddqc5ciOS9bohAX3UYn6UjYH_cCbb6XWuo64k6w5qVRBcCvJJUr5QdP7YfkK9oJ-tsFNd4i9ShBrXF8I644ujANhDfhKzO-Xp3s1VvZAMNXoD-LV4/s1600/misteri+kebersamaan.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6kVWnsiIcqJPwdsll0M8ba2r-97Ddqc5ciOS9bohAX3UYn6UjYH_cCbb6XWuo64k6w5qVRBcCvJJUr5QdP7YfkK9oJ-tsFNd4i9ShBrXF8I644ujANhDfhKzO-Xp3s1VvZAMNXoD-LV4/s200/misteri+kebersamaan.jpg" width="200" /></a><span><span>Berkebalikan dengan Wulang, Ragil menambahkan sosok alien yang umum dikenal: tubuh kerempeng dengan kepala dan bola mata yang berukuran lebih besar daripada “ras manusia” dan ufo sebagai ornamen pada fenomena kegagapan individu ketika dihadapkan pada gawai mereka. Dengan ditambahi penjudulan ‘misteri hilangnya’—atau disingkat menjadi ‘Misteri Bersama’—keikutsertaan ufo dan alien bukan hanya sia-sia, melainkan tampak dipaksakan. Katakanlah, dua hal itu menjadi sebatas ornamen yang diniatkan seirama dengan judul. Alien dan ufo bisa saja dianggap sebagai representasi terbaik dari figur yang asing dan bukan masalah jika saja gaya menggambar Ragil tidak berintensi realis. Detail-detailnya yang serius, seperti kursi yang ditempati kucing yang sedang terlelap atau raut wajah tegang, sedih, dan depresif dari kedua sosok itu, menjadi kalah penting. Meskipun, dilihat dari sudut pandang lain, arsiran gambar Ragil sendiri memiliki ciri yang mewakili karakter gambar sampul buku-buku stensil atau komik silat. <br /><br />Di luar aspek itu, karya-karya yang menampilkan permasalahan alienasi karena teknologi semacam itu bisa terbaca sebagai klise karena hanya menghadirkan fenomena—apa yang terjadi di permukaan—dan tidak mengeksplorasi persoalan yang lebih sistemik: rantai produksi massal dari hulu ke hilir, roda perekonomian global dan peran negara dalam pembangunan di bidang teknologi, ataupun persaingan bebas yang menjadi mesin penggerak para produsen gawai.</span></span><span><span><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw0eXkwcI8asceEfCqQkYjlLKqZc97nK1q3BeaRgQxcsxBuUETYzBQvBnYTXxCBvlWmB8RS2cWM0176F_jV4PQCpqvugDiwpoH1mIx5wdDobZg_cFzEchmftxjwhfciwEB-6OEgPNlu8c/s1600/ganjen+1.jpg"><br /></a></span></span><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg317YZGSx8AEgiqxGXScITQemtpjFItNwx2CWVR3-P0ERr0hVwHU_INxsMD3P4lAnbOe24Oe6BsjRvXYYS6dInYTDWtWcW2tUPeX7P-mECJ88LQTg6GqAk_x7mdnfmFWK1EZQxtvD1VmE/s1600/GAMBLING+%25282+panel%252C+kiri%2529%252C+ink+on+paper%252C+30+cm+x+16+cm%252C+2015%252Cgilang+nuari.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg317YZGSx8AEgiqxGXScITQemtpjFItNwx2CWVR3-P0ERr0hVwHU_INxsMD3P4lAnbOe24Oe6BsjRvXYYS6dInYTDWtWcW2tUPeX7P-mECJ88LQTg6GqAk_x7mdnfmFWK1EZQxtvD1VmE/s320/GAMBLING+%25282+panel%252C+kiri%2529%252C+ink+on+paper%252C+30+cm+x+16+cm%252C+2015%252Cgilang+nuari.jpg" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi26bSbwDNf357kcjZTODrNI1v1YNM7P8gFCrBRM4NtCuh_dPr5Or_3Sq0jdXu-IshnwjzQugeFMA0JFmz6GY4QHKw1GKaz0CHwPm2NNsn5iWQmkCC4XZ3HCtdgJZ6HM093koPenqNtNkM/s1600/ganjen+2.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi26bSbwDNf357kcjZTODrNI1v1YNM7P8gFCrBRM4NtCuh_dPr5Or_3Sq0jdXu-IshnwjzQugeFMA0JFmz6GY4QHKw1GKaz0CHwPm2NNsn5iWQmkCC4XZ3HCtdgJZ6HM093koPenqNtNkM/s200/ganjen+2.jpg" width="198" /></a><span><span>Dua perupa berikutnya, <a href="http://websta.me/n/azis_wicaksono" target="_blank">Azis Wicaksono</a> dan <a href="http://websta.me/n/gilangnuari" target="_blank">Gilang Nuari</a>, menghadirkan banyak simbol. Dua gambar Azis adalah wujud dari dominasi warna rempah-rempah—hijaunya lemon, kuning dan jingganya jeruk, dan merahnya cabai—plus lautan yang biru marine. Pada gambarnya yang pertama, ada beberapa objek orang-orang berjubah, kobaran api, kursi, kotak pos, mata, dan pot bunga. Kecuali pot bunga, objek-objek lainnya serupa pada gambar kedua, dengan tambahan gramofon dan seekor burung hantu yang dua bola matanya dalam posisi tak wajar. Judul dari kedua karya adalah <i>Veil of Pseudo Fear</i>. Ia bisa diartikan sebagai pemujaan terhadap hal-hal yang menjadi fokus di antara orang-orang berjubah tersebut: dalam gambar pertama direpresentasikan oleh pot dan dalam gambar kedua direpresentasikan oleh gramofon.</span></span><span><span><br /><br />Masih dengan kekhasan pemilihan warna, dua karya Gilang Nuari adalah wujud dari warna-warna kadar oksigen dalam pemompaan darah ke jantung: merahnya <i>aorta</i> dan birunya <i>vena cava</i>. Karya Gilang yang berjudul <i>Gambling</i>, pertaruhan (?), itu adalah perkara antara sosok manusia yang berhidung bentuk prisma terhadap pisau dan buah delima di hadapannya. Kedua sosok dalam gambar semestinya punya hubungan yang resiprokal; karena mereka menggenggam pisau dalam posisi tangan berbeda dengan pancaran mata yang sendu. Dilihat dari posturnya, mereka juga mewakili gender berbeda. Dengan tekstur cukil kayu, warna merah <i>aorta</i> dan biru <i>vena cava</i> itu juga menghadirkan bentuk penampang, daun/jantung, ataupun pohon.</span></span><br />
<span><span><br /></span></span>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4juZojT58Mxxyy_CcP8CLXlDOZgUmYjH3SCrIt9SLQjpN7-yxe4BtGLYMCylaqAOTJ71wdRj0_QjE9ccILFEufqWT9JqFk2qh6dZczuD9REYpFwxcX1ouj_8d1HeBB-2Vs9K2mE5-vxk/s1600/GAMBLING+%25282+panel%252C+kanan%2529%252C+ink+on+paper%252C+30+cm+x+16+cm%252C+2015%252C+gilang+nuari.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4juZojT58Mxxyy_CcP8CLXlDOZgUmYjH3SCrIt9SLQjpN7-yxe4BtGLYMCylaqAOTJ71wdRj0_QjE9ccILFEufqWT9JqFk2qh6dZczuD9REYpFwxcX1ouj_8d1HeBB-2Vs9K2mE5-vxk/s320/GAMBLING+%25282+panel%252C+kanan%2529%252C+ink+on+paper%252C+30+cm+x+16+cm%252C+2015%252C+gilang+nuari.jpg" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw0eXkwcI8asceEfCqQkYjlLKqZc97nK1q3BeaRgQxcsxBuUETYzBQvBnYTXxCBvlWmB8RS2cWM0176F_jV4PQCpqvugDiwpoH1mIx5wdDobZg_cFzEchmftxjwhfciwEB-6OEgPNlu8c/s1600/ganjen+1.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw0eXkwcI8asceEfCqQkYjlLKqZc97nK1q3BeaRgQxcsxBuUETYzBQvBnYTXxCBvlWmB8RS2cWM0176F_jV4PQCpqvugDiwpoH1mIx5wdDobZg_cFzEchmftxjwhfciwEB-6OEgPNlu8c/s200/ganjen+1.jpg" width="199" /></a><span><span>Adalah tugas ahli semiotika untuk menafsirkan makna dari pemilihan warna dan simbol-simbol dalam karya-karya Azis dan Gilang. Namun, saya mencoba untuk melihatnya dengan kerangka tema <i>loneliness and other ilnesses</i>, di sini karya Azis yang menampilkan sosok-sosok berjubah dengan segala pemujaan mereka (baik kepada pot ataupun kepada gramofon) tidak ubahnya adalah apa yang kita hadapi sehari-hari. Kita punya bentuk pemujaan masing-masing—selain fakta bahwa hal ini terkadang kita lakukan karena kita merasa sendirian (atau kesepian?)—kepada wujud-wujud berbeda. Dari sudut pandang itu, sarana pemujaan bisa dipandang sebagai candu peradaban. Dan karenanya pemujaan yang dilakukan oleh suatu kelompok bisa dilihat sebagai ‘penyakit’ atau ‘kegilaan’ bagi kelompok lainnya. Sementara itu, Gilang memang tidak menampilkan fenomena kekinian—gawai yang membuat masyarakat saling terisolasi atau pemujaan yang bersifat candu—dan dalam gambarnya hanya ada sosok dengan tatapan sendu yang memegang buah delima dan pisau. Namun, di sana dapat dilihat Gilang menekankan fokus karyanya pada sorot mata dan posisi tubuh dari karakternya. Dari dua benda yang dipegang dengan gestur canggung tersebut, ia menghadirkan sekaligus situasi batas Karl Jaspers: 1) Kematian, 2) Penderitaan, 3) Perjuangan, 4) Kesalahan—hal-hal yang dihadapi seseorang pada titik nadirnya. Meskipun, Gilang meluputkan satu pertanyaan: apa alasan atau latar belakang dari situasi yang dihadapi karakter dalam gambarnya?</span></span><br />
<span><span><br />Di luar aspek intrinsik karya-karya yang dipajang, ada tiga hal menarik yang patut dicatat dalam Galeri Nginjen (Ganjen) oleh seniman komisi ART|JOG|8 “Infinity in Flux” <a href="http://indieguerillas.com/about/" target="_blank">Indieguerillas</a>, duet Miko Bawono dan Santi Ariestyowanti, pada periode 19-23 Juni 2015 yang menampilkan empat perupa muda berbakat ini. Pertama, galeri berbentuk persegi delapan dengan ukuran minimalis; padanya, ada empat lubang bagi pengunjung untuk mengintip karya. Galeri Nginjen (ukuran tinggi 60,5 sentimeter, lebar 17 sentimeter) adalah jawaban bagi keterbatasan atau kemewahan ruang pamer di galeri-galeri pada umumnya. Ia menunjukkan bahwa seniman dapat berkarya dan menampilkannya dalam ruang paling minimalis sekalipun. Kedua, kertas sebagai medium. <i>Drawing</i>, gambar yang dituangkan dalam medium kertas dan pensil/pulpen, alih-alih kanvas dan cat minyak, juga dapat dilihat sebagai wujud kesederhanaan (yang tentunya membutuhkan lebih banyak perawatan untuk menghindari pelapukan). Ketiga, kepekaan kurator—Sita Magfira—yang mengaitkan tema kesepian (<i>loneliness</i>) dengan penyakit-penyakit (<i>ilnesses</i>). Tajuk ini menyepakati bahwa kalaulah <i>loneliness</i> bukan dikategorikan sebagai suatu penyakit, maka <i>loneliness</i> adalah pemicu penyakit. Ada proses dari situasi kesendirian (<i>aloneness</i>) untuk mewujud kesepian (<i>loneliness</i>), dan lantas kesepian (<i>loneliness</i>) untuk menjadi penyakit (<i>ilness</i>). Bahwasannya, sistem imun yang melemah pada orang-orang yang merasa kesepian adalah faktor penyebab penyakit, seperti dinyatakan oleh John P. Capitanio, dkk. dalam temuannya, <i>A Behavioral Taxonomy of Loneliness in Humans and Rhesus Monkeys (</i>Macaca mulatta<i>)</i>. Barangkali itu yang luput dihadirkan oleh para seniman dalam pameran minimalis ini. [*]</span></span></span></span>@dewikhamihttp://www.blogger.com/profile/12011169826258878127noreply@blogger.com1