Sepuluh atau dua puluh tahun dari sekarang, semua kawan kita—bahkan
mereka yang kini mengaku paling kesepian sekalipun—sudah akan menikah.
Kawan gay, kawan lesbi, semua kawan kita tak terkecuali. Mereka akan
bekerja di perkantoran, membangun usaha mereka sendiri, ataupun
menganggur dan tetap bersuka cita dengan hal-hal kecil yang mereka
lakukan. Atau menjadi gila karena dunia.
“Sudah selesai. Sudah beres. Sebentar aku pulang dan mengemasi semua barang.”
Tahun-tahun ke depan, kita semua akan mulai mewujudkan mimpi. Menang
ataupun kalah bukan tujuan. Karena aku percaya, kau akan melanjutkan
hidupmu bahkan ketika semua mimpimu tak berhasil kau wujudkan. Karena
kita hanya merebut kembali apa yang sempat kita lepas. Kegembiraan anak
kecil yang bercita-cita.
“Tidak, aku malas berfoto. Maksudku, aku mengiyakan untuk wisuda pun
hanya agar kamu senang saja. Tapi ternyata kamu ada kerjaan lain.
Mengecewakan.”
Pada saat apa pun, ayah-ibumu, adikmu, dan semua sahabatmu mungkin
akan selalu menemanimu di sisimu. Seperti hari ini. Mereka dapat
memelukmu, mengecup pipimu, memukul-mukul pundakmu, dan berbagi tawa
denganmu. Menceritakan hal-hal lucu yang akan membuatmu terpingkal.
Menaruh kesedihanmu di pundak mereka. Hari ini, kalian dapat segera
berlarian, meloncat, dan kamera-kamera akan mengabadikan semuanya.
Ataupun kau dapat melempar togamu ke angkasa. Biarkan mereka
menangkapnya kembali untukmu.
“Tidak, hanya bercanda. Bukan masalah. Aku menikmati. Kalau tidak,
aku pasti sudah pulang dari tadi. Aku suka melihat suasana ini. Semua
temanku bergembira.”
Selamanya aku hanya akan menjadi pemujamu. Tak akan selangkah pun
mendekat. Tak akan memulai pembicaraan. Bila kelak kita bertemu lagi,
kita hanya akan bertukar tatap. Membagi senyum sebagai kawan lama. Yang
satu almamater, yang seringkali berjumpa di kesempatan-kesempatan tak
terduga, dan tak pernah berkesempatan untuk saling mengenal.
“Aku tak menganggap perayaan semacam ini penting. Lagipula aku ada
banyak pikiran sekarang. Kontrakan rumahku selesai bulan ini. Aku akan …
pergi. Pindah ke suatu tempat. Atau mungkin hidup nomaden.”
Setelah hari ini, kau akan mencintai gadis lain. Menikahinya.
Beranak. Membesarkan anak-anak kalian agar menyerupai kalian.
Bertahun-tahun kemudian, mungkin aku akan jatuh cinta kepada anakmu.
“Bodoh. Sekalipun nomaden, aku tak ingin berkeliling dunia. Itu sudah terlalu mainstream.”
Jadi kita berpisah di tikungan ini. Aku tahu kau tidak akan menyadari
perpisahan ini. Selamat tinggal untuk cinta empat tahunku kepadamu.
*
#25 Juni 2012
Monday, June 25, 2012
Tuesday, June 19, 2012
Saudade
Saudade (*)
(*) Lema berbahasa Portugis dengan dialek Galisia (tidak ada padanan-kata dalam bahasa Inggris) yang kira-kira bermakna kerinduan yang kuat terhadap sesuatu atau seseorang yang dicintai. Perasaan ini biasa diikuti oleh keyakinan bahwa yang dirindukan tak akan pernah kembali.
"POSITIF, tiga tahun lagi aku akan mati,” ujar Nirwan dengan putus asa setelah hening berpuluh menit. Air matanya banjir di pipi dan telah membasahi layar ponsel hingga lipatan lehernya. “Aku harus mengajukan surat berhenti bekerja, tiga tahun ini aku akan berkeliling Indonesia; dan bila nanti tubuhku melemah, aku akan menetap di sembarang kota untuk sebanyak-banyaknya menulis syair.”
Jane kehilangan kata-kata kendati gagang telepon telah menempel di telinganya lebih dari satu jam—sampai tiba-tiba dia teringat, “Bukannya kau benci sastra?”
“Aku berubah pikiran. Jane—begini, aku akan kursus menulis fiksi dan syair, aku ingin hidup abadi dalam tulisan. Barang-barangku—aku sedang mempertimbangkan untuk membakarnya. Aku takut menjadi miskin di sana. Kau tahu, kami etnis Tionghoa biasa membakar barang-barang agar leluhur mereka dapat mempergunakannya kembali di alam sana. Paling tidak, aku akan titip Sera dan anak-anaknya kepadamu. Aku tak yakin kucing-kucingku ini bisa dekat dengan orang lain selain kita berdua.”
“Jane,” panggil Nirwan, “katakan apa pun. Aku butuh pendapatmu.”
“Bagaimana bila dua tahun lagi dokter-dokter itu menemukan obat yang mujarab untuk leukemia?”
“Menurutmu takdirku sebaik itu?” tanya Nirwan lirih. “Maksudku, bahkan tak ada seorang pun pernah mencintaiku. Tiga tahun lagi, aku akan mati perjaka sebagai gay yang menyedihkan.”
“Sebelum mati, kau bisa tidur denganku,” sahut Jane, “aku mungkin bisa melepaskan keperawananku.”
“Bodoh.” Nirwan tertawa sarkastis. “Aku sahabatmu, dan aku gay, aku gay, Jane.”
Jane menggigit bibir. “Nirwan, apa kau memang benar-benar ingin lenyap begitu saja? Semua barangmu akan kau bakar, kau mati; nanti apa yang tersisa darimu?”
“Nanti—aku pasti akan sukses menulis buku-buku tebal selama tiga tahun ini. Pramoedya bilang, itu cara menjadi abadi.”
Jane tertawa terbahak. “Omong kosong. Darahmu tidak mengalir dalam tulisanmu.” Dia berhenti sejenak, “Aku tak rela kau mati perjaka. Sebelum mati, tolonglah, kau harus menghamili seorang wanita.”
“Jangan konyol,” tukas Nirwan. “Aku tidak akan pernah sudi merampas keperawanan darimu yang sudah kuanggap adikku sendiri.”
“Apa kau keberatan untuk tidur dengan pelacur?”
Subscribe to:
Posts (Atom)