2014/01/14

Kopi, Pak Don Hasman, dan Petualangan

Azhar pernah mengajarkan saya cara tepat minum kopi saat ia memesan espresso, yang saya sebut kopi kental dalam cangkir mini. Hirup dalam-dalam kopi itu, hingga ke langit-langit mulut. Pikir saya waktu itu, kapan kopinya akan habis?

Don Hasman, seorang fotografer kawakan, kembali mengajari saya cara menghirup kopi. Kakek jenaka yang menampung dunia di kepalanya ini cukup dikagumi oleh Mas Pepeng, dokter penjaga Klinik Kopi yang saya singgahi sore ini. Di depan sang kakek, jagoan kopi ini menunjukkan wawasannya. Ia menunjukkan gambar biji kopi yang berwarna merah rekah berkualitas premium dan membandingkannya dengan biji-biji kopi di pasaran yang sudah tak elok lagi.

Untuk percobaan pertama, saya menghirup kopi Takengon, yang konon diperoleh dari permukiman Suku Gayo di ketinggian 1.300 mdpl. Kopi disajikan sesuai dengan lama penggilingan yang dikehendaki. Semakin lama menit penyajian, semakin asam rasa kopi. Kopi Ciwidey, favorit Mas Pepeng, tersaji untuk Pak Don dan kakek itu pun menceritakan tentang seseorang di Surabaya yang pernah ia wawancarai dan katanya bisa mengidentifikasi hingga 86 jenis kopi, urutan ke-2 dunia. Pemenangnya orang Brazilia atau Kolumbia yang bisa mengidentifikasi hingga 160-an jenis kopi.

Saya bahkan tak bisa membedakan kopi dari dua merek berbeda. Kalau betul menghirup adalah cara yang tepat menikmati kopi, maka secangkir kopi Takengon saya hari ini menjadi kopi pertama yang saya nikmati dengan cara yang terpuji.

Sudahlah tentang kopi. Mari bincangkan fotografi. Tujuan saya singgah ke Klinik Kopi karena kebetulan Pak Don mengisi diskusi tentang etnofotografi. Sekalian juga saya ingin mampir ke pameran Komunitas Analog Jogja (KAJ) dengan tema yang sangat biasa bagi saya yang termasuk bukan orang baru lagi di Yogya; Face of Jogja. Sayangnya, tema biasa ini pun diperlakukan dengan alakadarnya. Foto-foto tampil dengan objek dan eksekusi monoton yang lebih banyak mengeksplor adat Jawa yang itu-itu saja (tapi saya pun tak begitu paham kamera analog, kecuali saat SMP pernah diajari mengatur eksposur, ASA, dan lainnya oleh ayah-saya-yang-tukang-foto dan saya kemudian kapok tak ingin mencoba lagi). Selebihnya, ada dua foto dari Hardy Wiratama dengan teknik cukup menarik, membuat gabungan rerimbunan pohon dan bangunan yang belum jadi, lalu satu foto berjudul Double Date—entah oleh siapa—yang menampilkan dua pasangan yang memadu cinta sementara di belakangnya ada sosok pemulung yang tidur terlentang.

Highlight acara mungkin ada pada Pak Don yang enerjik. Usianya sekira tujuh puluhan, dan masih doyan jalan kaki, keliling-keliling, naik gunung, sambil memotret. Pak Don bikin presentasi tentang potret-potret etnografisnya di Tengger. Kunci dari foto-foto etnografisnya terletak pada detail proses kehidupan masyarakat suku yang ditelitinya, dari lahir hingga mati, dengan penekanan pada sosok masyarakat yang ekspresif—dan kalau bisa diambil dengan candid, budaya, arsitektur, hingga kuliner. Ia selalu bikin rencana dan melakukan riset sebelumnya. Dan, untuk sekali potret suatu daerah—contohnya Baduy, ia perlu tinggal langsung dengan warga setempat selama delapan tahun. Pengalaman Pak Don keliling Indonesia, mendaki Himalaya, pergi ke Tibet, menjelajahi Eropa, dan membayangkan seluruh dunia sebagai destinasinya, memicu saya untuk menggali lebih banyak lagi tentang kemanusiaan di setiap tempat di dunia dan menuliskannya menjadi fiksi. Jangan salahkan kalau besok-besok saya akan banyak menulis cerpen dengan muatan unsur lokal karena ingin menjelajahi tempat-tempat itu melalui fiksi saya. Terima kasih, Pak Don. Sebuah kesempatan yang menyenangkan untuk bertemu denganmu hari ini.

P.S. Sepertinya saya tak akan mencari-cari lagi nama samaran karena belakangan waktu ini kebanyakan membaca nonfiksi Pram, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu—yang walau dibenci oleh orang-orang di dunia kecil-nya, ia tetap tangguh untuk menggunakan nama asli pemberian orang tuanya.

Tulisan Terdahulu