2011/12/20

Aram

DUA BELAS HARI telah berlalu sejak gadis beraroma parfum mint itu berjalan di tangga pesawat. Hari-hari yang padat dan ramai—di tempat tinggal barunya tersebut—dia sudah mengurus administrasi untuk mengubah semua identitasnya, bertemu sekian banyak orang, dan berkorespondensi melalui surel dengan orang-orang yang telah didaftarnya. Ragam kartu tanda pengenal baru, apartemen baru, afiliasi baru, kawan-kawan baru, kehidupan baru.

Sekian tempat di wilayah kota tua itu telah satu-satu dia kunjungi; sebagian besar adalah galeri dan rumah seni. Ke apartemennya, dia membopong puluhan lukisan dan benda-benda rongsok. Dalam daftar yang diserahkan kepadanya sebelum dia pergi ke kota itu, selain lukisan, juga tersisa rincian judul piringan hitam dan kaset musik lama. Kalaupun dia dapat membereskan rincian dalam daftar pertama, masih tersisa daftar judul headline koran internasional dan obituari koran lokal pada tanggal-tanggal spesifik, serta sederet kartu nama yang sudah dikumpulkannya di dalam koper untuk kemudian dia dekode.

Terlalu lelah akibat berhari-hari mengulang aktivitas mendekode, dia membanting ponselnya dan menjatuhkan diri ke kasur—tidur di antara tumpukan kliping obituari dan tajuk rencana koran-koran lama, di sebelah piringan hitam di dekat bantalnya tertera rincian kode dalam segala bahasa.

“Efek kupu-kupu?” pertanyaan itu muncul di jendela Messenger-nya selama dia tidur.

“Tapi kenapa kamu hanya menyelidiki piringan hitam, kaset, dan kliping koran?” Lanjutan pertanyaan muncul di layar. Ketikan-ketikan lebih panjang terus berlanjut.

Aram terbangun karena bunyi dari komputer. Setelah membaca pesan-pesan di layar, dia kemudian menelepon melalui aplikasi bicara-lewat-video, “Aku sedang menyelidiki sesuatu.”

“Apa?”

“Banyak hal yang saling berkaitan. Hampir semua hal.”

“Kenapa pergi dengan begitu tiba-tiba? Dan hanya meninggalkan sepucuk surat?”

“Aku perlu tahu apa yang terjadi.”

“Aku paham kamu ingin pergi dari rutinitasmu yang membosankan di sini.”

“Ya—ya—ya—aku bahkan sudah menabung untuk itu,” celetuk Aram. “Tapi sebenarnya kalau aku mau kabur dari rutinitasku, aku bisa mengajakmu, kan? Nyatanya, aku sekarang sedang melakukan sesuatu yang besar di sini.”

“Tapi Aram, kau harus ingat—seberapa pun berjiwa petualangnya kamu—kita sudah akan menikah. Seminggu lagi resepsinya. Kau bahkan belum fitting, masak aku yang mesti mengecek segala persiapan pernikahan kita?”

“Bagaimana kalau kita batalkan pernikahan kita?”

Hening. Di layar, wajah kekasihnya tampak mengeras.

“Nah, seperti ini Aron. Karakterku ini—aku perlu tahu dari mana dia berasal. Itu yang sedang kucari tahu sekarang.”

Panta Rhei, demikian Aron mengetikkannya di layar. “Kau tahu, kan, apa artinya?” Lantas, ia kemudian berbisik pada headset-nya.

“Panta rhei, Heraklitus, tidak ada yang tetap sama. Semuanya berubah,” sahut Aram.

“Begitulah, maka dari itu, enggak ada itu yang namanya jati diri,” tegas Aron. “Percuma kamu mencari dirimu yang sejati, karena tidak akan ketemu.”

“Hei, Aron. Meski aku bilang aku enggak bisa paham diriku sendiri, aku tidak sedang mencari diriku dalam perjalananku ini. You got me?”

“Barusan kau bilang kau mencari tahu dari mana karaktermu yang impulsif itu berasal?”

Aram tersenyum kecut. “Well, itu artinya aku sedang mencari tahu tentang kedua orangtuaku.”

“Oh, baiklah. Proyekmu itu—bisa dihentikan? Aku yakin itu sama sia-sianya dengan mencari jati dirimu yang enggak bakal ketemu.”

“Data yang kini terkumpul belum cukup untuk menjawab pertanyaanmu.”

“Jadi, kita benar-benar akan membatalkan resepsi pernikahan kita?”

Aram mengangguk.

“Setelah mertuamu mengundang banyak reporter stasiun televisi swasta dan koran nasional untuk meliputnya?”

“Yep,” ponselnya berbunyi dari arah kasur, Aram menolehkan kepala dan bangkit berjalan menjauhi layar.

“Aram,” ujar Aron ketika Aram kembali. “Kau tahu…”

“Aron, boleh aku minta agar kamu menikahi gadis lain bila nanti aku tidak kembali?” tapi Aram telah lebih dulu memotong lanjutan perkataan Aron dengan pertayaannya.

Aron memicingkan mata. “Kau—tidak akan kembali?”

“Kemungkinan itu selalu ada.”

Hening sejenak.

“Apa, sih, yang sedang kau hadapi?” tanya Aron.

Tak perlu jawaban, karena tiba-tiba peluru telah menembus layar komputer Aram. Komputer padam, pecahan kaca sedikit menyentuh kulitnya. Tanpa menoleh ke belakang, dia merogoh pistol dalam saku, seketika mengarahkan tembakan ke arah belakang. Penembak tadi lantas jatuh terjun dari kamar apartemen Aram di lantai sebelas. [*]


20 Desember 2011

2011/12/13

Apa Kau Bahagia?


 

"APA kau hari ini bahagia?”

Kepada pacarnya, gadis itu akan menanyakan pertanyaan yang sama berkali-kali, setiap hari, setiap saat dia ingat. Namun, Pion tak pernah mampu menjawab pertanyaan itu, seperti yang sudah-sudah.

Pion hanya menoleh singkat. Ia masih terlentang di ranjang, sibuk mengetikkan sesuatu pada laptopnya. “Bagaimana kuliahmu?”

Prita menghela napas melihat Pion lagi-lagi tak merespons pertanyaannya. Alih-alih pura-pura tak peduli dan hendak meninggalkan Pion menuju dapur, tanpa sengaja Prita menyenggol tas belanjanya sendiri. Seisi kantong berjatuhan ke lantai. Sambil menggemeletukkan jemari, dia mulai memunguti bungkus-bungkus bahan makanan yang tercecer. Bahan-bahan itu sebenarnya untuk membuat kue tart dan makanan instan yang akan cukup untuk mereka makan berdua.

“Dini hari ini ulang tahunmu,” jawab Prita kemudian. “Kau lupa?”

“Kita sudah bukan pacar lagi,” balas Pion. “Kau lupa?”

Prita tersenyum. “Apa bahagia...” ujarnya, terdiam beberapa saat, sebelum melanjutkan, “...bila kita tidak bersama? Lagipula, siapa yang memutuskan itu?”

“Aku pernah memelihara seekor landak yang menyebalkan. Kadang dia berlaku menyenangkan, kadang berbulan-bulan dia menghindariku. Suatu ketika, landak itu benar-benar mati, dan aku benar-benar dibuatnya menangis berhari-hari…”

Prita memasang celemek di badannya. Dia tahu, Pion yang sangat logis itu: bila berhadapan dengan permasalahan yang menyangkut perasaan, tak akan pernah berbicara tepat sasaran dan tepat guna. Mereka akan selalu perlu berbicara berputar-putar sebelum akhirnya masuk ke persoalan utama. Memahami karakter Pion, Prita coba mengikuti alur pembicaraan, “Saat itu kau masih kecil?”

“Aku berusia enam belas waktu itu.” Pion menjawab datar.

“Berarti sudah cukup dewasa, bila hanya untuk menangisi peliharaan yang mati,” sahut Prita.

Suasana kembali hening.

“Jadi, menurutmu siapa yang memutuskan kita sudah bukan pacar lagi?” kali ini Pion yang bertanya.

“Kita kembali ke pembicaraan itu lagi?”

“Boleh aku tidur lebih awal?”

“Hanya bila kau mengizinkanku masuk ke mimpimu untuk merayakan ulang tahunmu di sana. Tolong tunggu sampai aku menyelesaikan masakanku.”

“Baiklah. Kau ada rencana lain hari ini?”

“Tidak. Aku akan seharian bersantai di sini, dan melihatmu menyampah di kamarmu. Aku mungkin juga akan membaca semua buku koleksimu.”

“Aku ada acara. Nanti siang aku akan pulang ke rumah dan merayakan ulang tahunku di sana. Kamu tak keberatan kutinggal di sini sendiri?”

“Oh, shoot.” Prita hampir memotong jemarinya sendiri. “Gadis itu cantik?” tanya Prita mencoba bersikap tenang sembari mencari cara agar darah di tangannya berhenti mengalir. Dia tahu jemarinya terluka karena terlalu kalut memikirkan gadis itu. Gadis dari (mantan?) pacarnya.

Pion mengambilkan kotak P3K, menuangkan alkohol pada kapas, dan menotolkan yodium pada luka Prita, “Kau mau ikut tidak?”

“Pulang kampung bersamamu?”

“Ya.”

“Tapi, cicipi dulu masakanku.”

“Kau akan lanjut memasak dengan tangan berdarah-darah seperti ini?”

“Aku sudah janji akan melakukannya. Sebagai pacar yang baik, meski kita terlalu sering bertengkar. Memasak setiap kau berulang tahun.”

“Sekarang kau duduk, tunggu di ruang tamu, aku yang akan memasak.”

Dengan paksaan Pion, Prita akhirnya berhasil digeser ke ruang tamu. Di dapur itu, Pion memasak makanan ulang tahun untuk dirinya sendiri. Ia mulai menekuri buku resep masakan Prita di meja dapur. Terpikir olehnya, sekian jam berikutnya ia mungkin akan juga membawa kue tart buatannya untuk orang-orang di rumah—entah Prita akhirnya mau ikut dengannya atau tidak.


PULUHAN tahun ke depan, di masa tuanya, ia ingin tinggal di daerah pegunungan. Di sana udara sejuk, air dingin membekukan. Rumahnya tidak mesti besar, ia tak pernah suka tinggal di vila yang penuh dengan kamar-kamar kosong. Ia hanya perlu satu ruangan besar untuk dirinya sendiri, tiga ruangan cukup besar untuk buku-bukunya, dan ruang lainnya semata-mata akan ia jadikan sebagai pelengkap.

Ia ingin menanam apa pun yang akan ia makan. Karena ia menyukai penggalian, ia pernah bercita-cita menjadi seorang arkeolog, ia akan menggali terowongan untuk mendapatkan sumber mata air yang paling alami di daerah tempat tinggalnya.

Kelak ia juga akan memelihara hamster dan anjing-anjing kecil, membesarkan mereka hingga pengujung usia. Ia ingin sepanjang hari mengelus rambut lebat anjing-anjingnya ketika ekor-ekor mereka bergerak dan mereka mendekat dengan manja. Kendati kelak ia mati lebih awal dari mereka, ia berniat meninggalkan seluruh kekayaannya untuk satwa peliharaannya.

Harapan itu tumbuh sebelum ia mengenal Prita. Bertahun-tahun setiap ia berulang tahun, harapan-harapan itu akan ia tambah ke dalam daftar kehidupan masa tuanya di pegunungan.

“Kupikir kau tidak akan pernah merasa cukup atas hidupmu?” Ia berujar kepada Prita suatu waktu.

Prita mendongakkan kepala ke angkasa. Sejak mengenal pria itu, langit memiliki arti lain.

“Aku tidak akan pernah merasa cukup,” jawab Prita.

“Kau akan berkelana ke sepenjuru dunia, hidup nomaden, menyendiri dengan pemikiranmu.” Pion mendaftar semua rencana yang pernah diutarakan Prita kali pertama mereka bertemu.

“Dan di mana pun itu, aku akan selalu mencari replikamu,” tukas gadis itu sembari merebah pada lahan membukit dengan rerumputan yang basah. “Kenapa, sih, aku tak bisa memilikimu?”

“Karena kau terlambat datang?” sahut Pion.

“Aku membayangkan kau akan tinggal selamanya dengan gadis itu. Dan, kau tahu, sama sekali tidak menyenangkan membayangkan mimpi-mimpi yang sudah kamu bangun bertahun-tahun dengan tiba-tiba kandas karena orang lain ikut campur atas hidupmu. Rumah kecil, satu kamar tidur, tiga ruang untuk perpustakaan, hamster, anjing kecil… semua itu akan menjadi milik gadis itu, dan aku harus pergi.”

“Selama ini, aku selalu menunda impianku, tapi dengan tidak menghabiskan seluruh hidupku dengan orang yang kucintai, kupikir aku sudah membunuh semua impianku,” jawab Pion. “Pria anarkis ini selalu ingin jadi pemusik, arkeolog, bertualang, tapi kemudian ia berakhir di kota asing, padat polusi, jatuh cinta dengan seorang gadis pasifis yang membenci dunia. Tanpa sebelumnya ia tahu ternyata berbelas-belas tahun silam kedua orang tuanya telah berjanji untuk menjodohkannya dengan putri teman mereka, dan ia terpaksa meninggalkan gadis yang dicintainya.”

Prita menatapnya sangsi.

“Kau tahu, dengan begitu rasanya hidupku bukan milikku sendiri.”

Prita bangkit berdiri. Matari senja pekat menjingga di balik tubuhnya. Sambil tersenyum, dia berujar, “Tapi, bukannya cita-cita utamamu hanya untuk hidup bahagia di pegunungan dengan segala detail yang sudah kamu rencanakan jauh-jauh hari? Dan mati dengan keren?”

“Mungkin,” jawab Pion, kemudian merasa tak pasti akan keinginannya sendiri dan perasaan Prita kepadanya.

“Kebahagiaan semacam itu pun akan bisa kau dapati tanpa aku, kan?” tambah Prita.

Pion tak mampu menjawabnya, tapi kemudian bibir Prita telah memagut bibirnya, di hadapan mentari senja. Tanpa mereka ketahui itu akan menjadi ciuman terakhir mereka.


IA menyajikan tart yang dibuatnya sendiri dan memandang gemas ke arah perempuan yang masih menatap jemarinya dan berbicara dengan luka di tangannya. Kala itu Prita tertawa terpingkal melihatnya kerepotan di dapur.

Kini, gadis itu bahkan menyimpan senyumnya, bibirnya rapat mengunci sambil menepuk-nepukkan tangan, sementara di sekeliling Pion kerabatnya bernyanyi dengan riang, menyuruhnya berbahagia, menyuruhnya meniup lilin, dan memotong kue.

Ia diminta memanjatkan doa. Ia memejamkan mata sebentar, dan ketika ia membuka mata, seorang gadis sudah mengecup pipinya, “Kebahagiaan menyertai kita, Pion.”

Ia dapati bukan Prita yang melakukannya.

Kotak mungil diberikan kepadanya. Cincin yang ada di dalamnya. Tanpa ia sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi nanti, cincin itu dipasangkannya ke jemari gadis itu sesuai anjuran. Segera setelahnya, orang-orang bertepuk tangan.

Gadis itu memeluknya erat. Tubuhnya tiba-tiba lemas, ia seolah-olah menjadi marionette sang gadis, karena mereka lantas berputar-putar di sumbu yang sama, dan tubuhnya bukan lagi miliknya.

Segera setelah ia sadar kembali, ia dapati bukan Prita yang berdiri di hadapannya.

“Apa kau hari ini bahagia?” Gadis yang biasanya menanyakan pertanyaan itu berdiri di hadapan Pion. Ke dalam kantung-kantung blazer cokelatnya, gadis itu memasukkan tangan, dan memeluk tubuhnya sendiri. Seraut senyum kecewa diberikannya kepada Pion ketika gadis itu mengulurkan tangan.

Bagi Pion, dunia tiba-tiba berguncang ketika melihat Prita berlalu pergi meninggalkan kerumunan. Namun, setiap orang di ruangan itu berlomba-lomba menjadi pembatas antara dunianya dan Prita.

“Linda, kau yakin tetap bersedia mencintai orang yang tidak mencintaimu?” tanya Pion kepada tunangannya.

“Kata ibuku, cinta tumbuh karena terbiasa,” senyum gadis itu lebih pekat daripada milik Prita.

Namun, mata itu sama sekali tak sama dengan milik Prita yang selalu memancarkan cahaya kehidupan untuknya. Hari itu, Pion tahu ia semestinya selalu dapat menjawab pertanyaan Prita.

Ia semestinya tahu, kebahagiannya bukan terletak di ujung dunia. Sama sekali bukan terletak pada orang lain selain Prita. [*]



12-13/12/2011 12:49:10 a.m.

Tulisan Terdahulu