"APA kau hari ini bahagia?”
Kepada pacarnya, gadis itu akan menanyakan pertanyaan
yang sama berkali-kali, setiap hari, setiap saat dia ingat. Namun, Pion tak
pernah mampu menjawab pertanyaan itu, seperti yang sudah-sudah.
Pion hanya menoleh singkat. Ia masih terlentang di
ranjang, sibuk mengetikkan sesuatu pada laptopnya. “Bagaimana kuliahmu?”
Prita menghela napas melihat Pion lagi-lagi tak
merespons pertanyaannya. Alih-alih pura-pura tak peduli dan hendak meninggalkan
Pion menuju dapur, tanpa sengaja Prita menyenggol tas belanjanya sendiri. Seisi
kantong berjatuhan ke lantai. Sambil menggemeletukkan jemari, dia mulai
memunguti bungkus-bungkus bahan makanan yang tercecer. Bahan-bahan itu
sebenarnya untuk membuat kue tart dan makanan instan yang
akan cukup untuk mereka makan berdua.
“Dini hari ini ulang tahunmu,” jawab Prita kemudian.
“Kau lupa?”
“Kita sudah bukan pacar lagi,” balas Pion. “Kau lupa?”
Prita tersenyum. “Apa bahagia...” ujarnya, terdiam
beberapa saat, sebelum melanjutkan, “...bila kita tidak bersama? Lagipula, siapa
yang memutuskan itu?”
“Aku pernah memelihara seekor landak yang menyebalkan.
Kadang dia berlaku menyenangkan, kadang berbulan-bulan dia menghindariku. Suatu
ketika, landak itu benar-benar mati, dan aku benar-benar dibuatnya menangis
berhari-hari…”
Prita memasang celemek di badannya. Dia tahu, Pion
yang sangat logis itu: bila berhadapan dengan permasalahan yang menyangkut
perasaan, tak akan pernah berbicara tepat sasaran dan tepat guna. Mereka akan
selalu perlu berbicara berputar-putar sebelum akhirnya masuk ke persoalan
utama. Memahami karakter Pion, Prita coba mengikuti alur pembicaraan, “Saat itu
kau masih kecil?”
“Aku berusia enam belas waktu itu.” Pion menjawab
datar.
“Berarti sudah cukup dewasa, bila hanya untuk
menangisi peliharaan yang mati,” sahut Prita.
Suasana kembali hening.
“Jadi, menurutmu siapa yang memutuskan kita sudah
bukan pacar lagi?” kali ini Pion yang bertanya.
“Boleh aku tidur lebih awal?”
“Hanya bila kau mengizinkanku masuk ke mimpimu untuk
merayakan ulang tahunmu di sana. Tolong tunggu sampai aku menyelesaikan
masakanku.”
“Baiklah. Kau ada rencana lain hari ini?”
“Tidak. Aku akan seharian bersantai di sini, dan
melihatmu menyampah di kamarmu. Aku mungkin juga akan membaca semua buku
koleksimu.”
“Aku ada acara. Nanti siang aku akan pulang ke rumah
dan merayakan ulang tahunku di sana. Kamu tak keberatan kutinggal di sini
sendiri?”
“Oh, shoot.” Prita hampir memotong
jemarinya sendiri. “Gadis itu cantik?” tanya Prita mencoba bersikap tenang
sembari mencari cara agar darah di tangannya berhenti mengalir. Dia tahu jemarinya terluka karena terlalu kalut memikirkan gadis itu. Gadis dari (mantan?) pacarnya.
Pion mengambilkan kotak P3K, menuangkan alkohol pada
kapas, dan menotolkan yodium pada luka Prita, “Kau mau ikut tidak?”
“Pulang kampung bersamamu?”
“Ya.”
“Tapi, cicipi dulu masakanku.”
“Kau akan lanjut memasak dengan tangan berdarah-darah
seperti ini?”
“Aku sudah janji akan melakukannya. Sebagai pacar yang
baik, meski kita terlalu sering bertengkar. Memasak setiap kau berulang tahun.”
“Sekarang kau duduk, tunggu di ruang tamu, aku yang
akan memasak.”
Dengan paksaan Pion, Prita akhirnya berhasil digeser
ke ruang tamu. Di dapur itu, Pion memasak makanan ulang tahun untuk dirinya
sendiri. Ia mulai menekuri buku resep masakan Prita di meja dapur. Terpikir
olehnya, sekian jam berikutnya ia mungkin akan juga membawa kue tart buatannya
untuk orang-orang di rumah—entah Prita akhirnya mau ikut dengannya atau tidak.
PULUHAN tahun ke depan, di masa tuanya, ia ingin
tinggal di daerah pegunungan. Di sana udara sejuk, air dingin membekukan.
Rumahnya tidak mesti besar, ia tak pernah suka tinggal di vila yang penuh
dengan kamar-kamar kosong. Ia hanya perlu satu ruangan besar untuk dirinya
sendiri, tiga ruangan cukup besar untuk buku-bukunya, dan ruang lainnya
semata-mata akan ia jadikan sebagai pelengkap.
Ia ingin menanam apa pun yang akan ia makan. Karena ia
menyukai penggalian, ia pernah bercita-cita menjadi seorang arkeolog, ia akan
menggali terowongan untuk mendapatkan sumber mata air yang paling alami di
daerah tempat tinggalnya.
Kelak ia juga akan memelihara hamster dan
anjing-anjing kecil, membesarkan mereka hingga pengujung usia. Ia ingin
sepanjang hari mengelus rambut lebat anjing-anjingnya ketika ekor-ekor mereka
bergerak dan mereka mendekat dengan manja. Kendati kelak ia mati lebih awal
dari mereka, ia berniat meninggalkan seluruh kekayaannya untuk satwa
peliharaannya.
Harapan itu tumbuh sebelum ia mengenal Prita.
Bertahun-tahun setiap ia berulang tahun, harapan-harapan itu akan ia tambah ke
dalam daftar kehidupan masa tuanya di pegunungan.
“Kupikir kau tidak akan pernah merasa cukup atas
hidupmu?” Ia berujar kepada Prita suatu waktu.
Prita mendongakkan kepala ke angkasa. Sejak mengenal
pria itu, langit memiliki arti lain.
“Aku tidak akan pernah merasa cukup,” jawab Prita.
“Kau akan berkelana ke sepenjuru dunia, hidup nomaden,
menyendiri dengan pemikiranmu.” Pion mendaftar semua rencana yang pernah
diutarakan Prita kali pertama mereka bertemu.
“Dan di mana pun itu, aku akan selalu mencari replikamu,”
tukas gadis itu sembari merebah pada lahan membukit dengan
rerumputan yang basah. “Kenapa, sih, aku tak bisa memilikimu?”
“Karena kau terlambat datang?” sahut Pion.
“Aku membayangkan kau akan tinggal selamanya dengan gadis itu. Dan, kau tahu, sama sekali tidak menyenangkan
membayangkan mimpi-mimpi yang sudah kamu bangun bertahun-tahun dengan tiba-tiba
kandas karena orang lain ikut campur atas hidupmu. Rumah kecil, satu kamar
tidur, tiga ruang untuk perpustakaan, hamster, anjing kecil… semua itu akan
menjadi milik gadis itu, dan aku harus pergi.”
Prita menatapnya sangsi.
“Kau tahu, dengan begitu rasanya hidupku
bukan milikku sendiri.”
Prita bangkit berdiri. Matari senja pekat menjingga di
balik tubuhnya. Sambil tersenyum, dia berujar, “Tapi, bukannya cita-cita
utamamu hanya untuk hidup bahagia di pegunungan dengan segala detail yang sudah
kamu rencanakan jauh-jauh hari? Dan mati dengan keren?”
“Mungkin,” jawab Pion, kemudian merasa tak pasti akan
keinginannya sendiri dan perasaan Prita kepadanya.
“Kebahagiaan semacam itu pun akan bisa kau dapati
tanpa aku, kan?” tambah Prita.
Pion tak mampu menjawabnya, tapi kemudian bibir Prita
telah memagut bibirnya, di hadapan mentari senja. Tanpa mereka ketahui itu akan menjadi ciuman
terakhir mereka.
IA menyajikan tart yang dibuatnya sendiri dan memandang gemas ke arah perempuan yang masih menatap jemarinya dan berbicara dengan luka di tangannya. Kala itu Prita tertawa terpingkal melihatnya kerepotan di dapur.
Kini, gadis
itu bahkan menyimpan senyumnya, bibirnya rapat mengunci sambil menepuk-nepukkan
tangan, sementara di sekeliling Pion kerabatnya bernyanyi dengan riang,
menyuruhnya berbahagia, menyuruhnya meniup lilin, dan memotong kue.
Ia diminta memanjatkan doa. Ia memejamkan mata
sebentar, dan ketika ia membuka mata, seorang gadis sudah mengecup pipinya,
“Kebahagiaan menyertai kita, Pion.”
Ia dapati bukan Prita yang
melakukannya.
Kotak mungil diberikan kepadanya. Cincin yang ada di
dalamnya. Tanpa ia sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi nanti, cincin itu
dipasangkannya ke jemari gadis itu sesuai anjuran. Segera setelahnya,
orang-orang bertepuk tangan.
Gadis itu memeluknya erat. Tubuhnya tiba-tiba
lemas, ia seolah-olah menjadi marionette sang gadis, karena
mereka lantas berputar-putar di sumbu yang sama, dan tubuhnya bukan lagi
miliknya.
Segera setelah ia sadar kembali, ia dapati bukan Prita
yang berdiri di hadapannya.
“Apa kau hari ini bahagia?” Gadis
yang biasanya menanyakan pertanyaan itu berdiri di hadapan Pion. Ke dalam
kantung-kantung blazer cokelatnya, gadis itu memasukkan tangan, dan
memeluk tubuhnya sendiri. Seraut senyum kecewa diberikannya kepada Pion ketika
gadis itu mengulurkan tangan.
Bagi Pion, dunia tiba-tiba berguncang ketika melihat
Prita berlalu pergi meninggalkan kerumunan. Namun, setiap orang di ruangan itu
berlomba-lomba menjadi pembatas antara dunianya dan Prita.
“Linda, kau yakin tetap bersedia mencintai orang yang
tidak mencintaimu?” tanya Pion kepada tunangannya.
“Kata ibuku, cinta tumbuh karena terbiasa,” senyum
gadis itu lebih pekat daripada milik Prita.
Namun, mata itu sama sekali tak
sama dengan milik Prita yang selalu memancarkan cahaya kehidupan untuknya. Hari itu, Pion tahu ia semestinya selalu dapat
menjawab pertanyaan Prita.
Ia semestinya tahu, kebahagiannya bukan terletak di
ujung dunia. Sama sekali bukan terletak pada orang lain selain Prita. [*]
12-13/12/2011 12:49:10 a.m.
No comments:
Post a Comment