2021/06/02

Rahasia dari Kramat Tunggak

DIA menutup pintu apartemen. Tubuhnya lebih letih dari hari-hari yang lain, tapi begitu melihat tumpahan bir dan botol-botol yang tergeletak di lantai, dan asbak dengan belasan puntung rokok di meja makan, dia merasa sanggup membanting apa saja.

Saat membanting pintu kamar, dia sempat mendengar suara kasur reot, genjotan demi genjotan dan lenguhan demi lenguhan dari kamar sebelah.

Sudah ratusan kali dia ingatkan ibunya untuk tak menjajakan tubuh di hunian mereka.

Enam bulan lalu, kabar buruk itu datang di lapo langganan mereka, saat dia sedang khusyuk mengunyah babi panggang Karo favoritnya.

“Bantu Ibu,” pinta ibunya saat itu. “Kita lunasi utang ke para rentenir itu,” sambil mengunyah babi panggang, sang ibu dengan yakin ingin melanjutkan profesi lawasnya.

Merasa tidak perlu memberi persetujuan, dia menyudahi obrolan itu, “Ibu selesaikan urusan Ibu sendiri. Ini bukan utang yang harus aku tanggung.”

Lamunannya terusik ketika perempuan itu memanggil nama Tuhan dari ruangan sebelah, lantas berteriak kesetanan. Ibunya, dan pelanggannya yang entah siapa, kembali bergulat seperti hewan liar, seperti malam-malam sebelumnya.

“Ibumu ini dulu primadona Kramtung,” ujar ibunya bangga saat dia beranjak dari kursinya. “Kita bisa dapat banyak.”

Dahinya mengernyit. Dia bisa menghidupi dirinya sendiri, bahkan dialah yang selama ini membayar sewa rumah kontrakan mereka. Dapat banyak? Dia tak merasa butuh lebih!

Dia kepalang gengsi meminta penjelasan bagaimana bisa ibunya berutang banyak. Dia merasa dialah yang selama ini bekerja paling keras. Yang dia tahu, dia tak ingin punya urusan dengan Kramat Tunggak. Meski tak betul-betul mengingat semua detail masa kanak-kanaknya di sana, dia tahu itu bukan masa-masa yang indah untuknya, juga untuk ibunya. 

Saat lebih dewasa dia tahu bahwa Kramat Tunggak adalah mantra yang mewujudkan keajaiban Jakarta. Dengan duit dari lokalisasi itu, gubernur membiayai sebagian pembangunan, dari jalan tol ibukota sampai kompleks kesenian Taman Ismail Marzuki.

Tapi baginya segala polesan informasi dan pembenaran itu tak memperbaiki apa pun.

“Aku masih cantik dan tidak perlu kerja terlalu banyak.  Tiga tamu sehari cukup untuk bayar utang dan membiayai hidup kita,” Ibunya masih berusaha memberi penjelasan.

“Kramtung itu masa lalu kita!”

“Kita enggak kembali ke sana!” tegas ibunya.

Dan, di sinilah mereka, pindah ke tower apartemen yang disewa per bulan di Kalibata. Dia terus menunjukkan keengganannya, tapi seperti yang sudah-sudah, dia mengikuti keputusan ibunya. Untuk membayar biaya apartemen, dia harus merelakan tabungan biaya semesteran kuliahnya ludes. Sembari memaki dalam hati, dia pindah ke Kalibata dengan berbagai prasangka buruk.

Dengan lidah pedasnya dia sebut tempat itu Taman Hidung Belang. Tempat itu ramai, semua jenis manusia tinggal di sana; para pekerja kantor, juga pedagang, juga pelajar, juga bandar, juga pekerja seks. Sebutan tempat itu apartemen, mentereng, dengan pusat perbelanjaan, dan kedai kopi, dan lapangan basket, tapi tempat itu juga sarang nyawer dan jajan lendir, markas bandar gelek dan pengedarnya, tempat seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 8 karena patah hati. Ringkasnya: tempat itu kolong dunia terkutuk.

Semua itu cocok jadi amunisinya jika sewaktu-waktu mesti melontarkan amarah, “Kenapa kita pindah ke tempat terkutuk ini?!

Di pagi saat mereka pindahan, seorang pria berusia sepantarannya sedang bugil menggedor-gedor pintu kamar sebelah. Tampak mabuk, si pria bugil tersenyum menyapa ke arah mereka, “Wah, tetangga baru. Sori, gue dikerjain orang-orang sinting di dalam karena kalah taruhan.” Sambil memegang karton bekas untuk menutupi selangkangannya, ia sibuk menggedor dan menggedor.

Kamar sebelah ditempati lima orang buruh yang bekerja untuk kontraktor di kamar sebelahnya lagi. Pergi pagi, pulang larut malam dengan berpeluh-peluh dan pakaian dekil berlumpur. Kepulan asap rokok mengisi sepanjang lorong saat mereka bersantai di petang hari.

Mendapati tetangga semacam itu, dalam hitungan hari, dia justru merasa betah. Dengan cepat dia mengakrabi mereka, berbagi bungkus rokok atau saling pinjam korek dengan si pria bugil dan teman-teman buruh dan kontraktornya. Sempat pula salah satu buruh menawarinya pil koplo, tapi dia menolak dengan halus.

Sementara itu, ibunya berjejaring dengan lebih cepat lagi. Walau tak muda lagi, tamu yang butuh layanannya terus bertambah, dari oom-oom bau domba sampai bocah SMA bau kencur. Ibunya memang masih molek. Tapi dia tahu betul ibunya akan butuh riasan, pakaian baru yang cukup bagus, ataupun pakaian dalam seksi yang membangunkan hasrat nakal lelaki paling alim sekalipun. Dia tahu ibunya butuh uang darinya sebagai modal.

Sehari diniatkannya melayani tiga pria, meski tak selalu begitu karena pelanggannya datang manasuka, semestinya mereka bisa tajir. Tapi karena ini upaya mendadak demi membayar utang, dan karena dia tidak pernah benar-benar setuju akan keputusan ini, dia berserah saja saat semua penghasilan masuk ke rekening ibunya. Dia hanya dapat ampas-ampasnya: lenguhan, jeritan, barang-barang terdengar berjatuhan, dan kegiatan beres-beres.

Kali ini, dia tidak membantu beres-beres. Dia terlalu lelah untuk memulai ritus bertengkar.

Tamu terakhir ibunya pulang pukul 2 pagi. Namanya dipanggil karena ibunya tahu dia masih mengetik.

“Tadi Ibu beli nasi padang buat kamu. Kok, masih utuh? Enggak enak, lho, kalau basi.”

Sementara si anak menyendok nasi padangnya, si ibu yang masih segar seusai melayani tiga pria pergi keluar membawa bungkusan plastik besar berisi sampah.

Seisi ruang apartemen sudah bersih, seolah tidak pernah dipenuhi asap rokok atau tumpahan bir. Tapi tetap saja, tempat itu berbau apak. Dinding-dindingnya dingin berjamur.

Hingga nasi padangnya tandas, ibunya masih di luar. Tahu kebiasaan ibunya untuk menikmati dini hari dengan menelusuri jalan, dan dengan jalur berbeda-beda setiap kalinya, dia menyalakan televisi dan memutar film sembari menunggunya kembali.

Kualitas keping DVD bajakan baru ini buruk sekali. Andai punya cukup waktu, dia ingin mengajari ibunya mengunduh film bajakan dari torrent agar tidak harus memandangi tontonan kualitas rendah begini.

Tapi mereka sama-sama sibuk. Saat lulus SMA, dia hampir tak lanjut kuliah. Mengirim anak perempuannya ke kampus memang impian sang ibu, tapi uang adalah penghambat segalanya. Dia bekerja menjadi SPG di mal, dengan izin yang diberikan ibunya dengan berat hati. Dua tahun kemudian, setelah menderetkan kampus-kampus swasta murah, dan dengan tabungan hasil kerjanya, dia akhirnya berani mendaftarkan diri.

Dia mengambil jurusan akuntansi supaya saat lulus bisa cepat mendapat kerja lagi. Semula dia merasa lebih cocok dengan seni rupa, tapi ibunya menyanggah minatnya, “Jurusan itu hanya untuk anak-anak orang tajir yang enggak butuh lihat duit lagi.”

Sementara ibunya bekerja jadi buruh cuci untuk tiga rumah tetangga dan menitipkan masakan di kantin kampus, dia tetap bekerja paruh waktu di kafe bilangan Cikini, dekat wilayah mereka tinggal. Dari sana dia mendapat uang untuk membayar tagihan-tagihan di rumah dan membiayai penuh perkuliahannya.

Hidup berdua dengan kebutuhan tidak banyak, dia sebenarnya masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin ibunya dikejar-kejar rentenir? Bukankah dia mencicil biaya kuliahnya sendiri? Selain paruh waktu di kafe, dia juga mendapat upah dari mengetik transkrip untuk dosen fakultas sebelah. Namun, lantaran gengsi untuk terlalu peduli, dia memutuskan untuk tidak bertanya lagi.

Dia sadar betul mereka miskin. Sejak kecil, dia diajak berpindah-pindah tinggal dari satu gang kumuh ke gang kumuh lain, dari pinggir sungai ini ke pinggir sungai itu, berkawan dengan bocah-bocah preman sepenjuru Jakarta. Dia tak sempat menanyakan mengapa mereka miskin, di mana ayahnya, dan bagaimana bisa ibunya melonte di Kramat Tunggak.

 

SAAT pulang pukul 4 pagi, ibunya membawa bungkusan belanjaan dari pasar; bahan-bahan untuk memasak sayur lodeh dan seekor ayam yang dipotong empat bagian.

“Hari ini kita makan enak lagi,” ujarnya sambil membantu ibunya mengeluarkan bahan masakan ke meja lalu mencuci sayur dan ayam.

“Tamu terakhir menyelipkan bonus cepek-ceng sebelum pergi,” jawab ibunya tersipu. “Kerja di hotel, shift pagi, jadi dia pulang buru-buru. Katanya, biar ketemu bininya dulu.”

“Tadi sebelum pulang, aku beli selusin pak kondom lagi, sudah kutaruh di laci, bayarnya nanti saja kalau aku butuh duit. Ibu jadi cek ke Puskesmas?”

Beberapa pekan ini, ibunya mengeluh sering keputihan dan mereka khawatir ada kista atau malah rajasinga.

Tidak diperantarai oleh germo, ibunya tahu dirinya harus bertindak mandiri. Ibunya menyimpan catatan harian berisi nama-nama pelanggan dan profil ringkasnya. Karena terbiasa melakukannya sejak di Kramat Tunggak dulu, ibunya juga mencatat gaya seks apa, berapa lama durasinya, berapa kali mengganti gaya, apakah tamunya menolak menggunakan kondom, apakah tamunya memaksa memuncratkan air mani di mulutnya atau mau bukkake, hingga catatan masa suburnya dan hasil cek kesehatan berkala di Puskesmas, dan terutama, catatan khusus jika ada sesuatu yang terasa janggal.

“Kalau bisa energik seperti hari ini, sepertinya tidak sampai sifilis.”

“Energik,” dia mendengus. “Bukan energik lagi, Ibu tadi berteriak kesetanan. Aku hampir mau mendamprat.”

Ibunya tertawa lantang. Rona wajahnya tampak cerah, dengan keringat tipis di dahi. Padahal, pekan lalu ibunya menggigil di balik selimut dan dia sampai bolos kerja demi mengompres dahinya setiap beberapa jam.

Dia ingat, saat demam begitu, ibunya meracau tentang Kramat Tunggak. Barangkali mengulangi profesi ini membawa banyak ingatan dari masa lalu. Berkali-kali pula ibunya salah memanggil nama anaknya.

“Ibu terus menyebut nama orang dan Kramtung.”

Dia dibesarkan dengan sedikit informasi, dan selama ini dia tidak peduli, tapi kali ini dia merasa ingin mendengar ibunya bercerita tentang masa lalunya.

“Jadi, bagaimana ceritanya Ibu dulu sempat di sana? Dan mengapa akhirnya berhenti?”

Setahunya, usia pensiun lulusan Kramat Tunggak mestinya sekitar 35 tahun. Tetapi, dia lahir saat ibunya berusia 26 tahun dan dia tak punya ingatan tumbuh besar sebagai anak primadona. Mereka tinggal di Kramat Tunggak hingga usianya enam tahun. Saat itu ibunya bekerja menjadi buruh cuci untuk warga di sana. Baru saat lebih dewasa, dia tahu ibunya pernah menjadi bagian dari pekerja seks Kramat Tunggak, dan bahwa ibunya primadona, dan betapa legendaris tempat tinggal masa kecilnya.

Potongan-potongan besar labu siam, terong, tomat, kacang panjang, melinjo, ebi, dan gelondongan jagung muda dituangkan ke panci. Ibunya mulai mengolah potongan-potongan ayam yang sudah direndam di baskom. Pukul 6 pagi, sajian sudah siap di meja. Nasi hangat mengepul. Janji ibunya untuk bercerita membuatnya duduk manis dan segera menyendok nasi dan sayur lodeh yang baru matang ke piringnya.

Tapi, ibunya justru memulai cerita dengan pengakuan; bahwa mereka tidak pernah dikejar-kejar rentenir. Uang yang dihimpun dari tamunya selama enam bulan ini bukan untuk membayar utang, tapi untuk mengumpulkan dana kabur ke luar negeri, modal mereka ikut agen buruh migran.

“Bu, sebentar lagi aku lulus kuliah. Kita bakal naik derajat. Aku bakal kerja di bank, dan nanti gajiku puluhan juta sebulan. Buat apa lagi kita cari kerja ke luar negeri?”

“Duit jadi buruh migran lebih tinggi, Nak,” ujar ibunya.

“Ya, dan risikonya juga. Ibu enggak nonton berita ratusan TKW negara kita pulang tinggal nama? Banyak yang mati disiksa, banyak yang diperkosa.”

“Begini, kamu ndak usah jadi pembantu. Ibu saja yang kerja begitu. Kamu lanjut kuliah S2... atau kamu cari kerja dengan ijazahmu. Dengan begitu, kita malah bisa saling jaga.”

“Kalau Ibu mau duit banyak, Ibu lanjut saja melonte, dan lulus kuliah nanti aku kerja di bank. Aman, kan?”

“Kita pindah."

“Bu!”

“Ayahmu,” ibunya akhirnya mengakui.

“Dia tahu kita di mana, dia sinting dan bisa melakukan segalanya. Ibu ndak mau menakut-nakutimu, tapi Ibu yakin dia mau bunuh kita.”

Ayahnya, pria yang tak pernah ditemuinya sepanjang hidupnya.

Beberapa kali dia bertanya, dan ibunya selalu menjawab dengan cerita berbeda. Terkadang dibilangnya ia bekerja jadi kontraktor ke luar kota dan tak pulang-pulang lagi, atau kabur menikahi perempuan lain, dan kali terakhir, telah mati tertabrak truk. Dan sekarang ibunya tiba-tiba menghidupkan ayahnya dari kematian. Dia bukan Yesus, kan?

“Aku enggak merasa kita perlu kabur dari lelaki pengecut,” dia menyendok nasi lodehnya. “Kalau dia benar masih hidup, dia enggak punya alasan untuk tiba-tiba datang setelah 22 tahun hilang! Dan mau membunuh kita? Yang benar saja!”

“Dia akan keluar dari penjara bulan ini.”


KRAMAT TUNGGAK, 1988, bukti pertama ayahnya bisa melakukan segalanya.

Lampu-lampu sudah dipadamkan. Hingar-bingar musik dangdut yang sejak sore memekakkan telinga telah digantikan suara tetes hujan. Seorang pria muncul di teras depan sebuah rumah bordil dan melepas topi distronya. Begitu masuk ruang tengah, dia segera menuju meja germo.

“Kancut! Barang dahsyat begitu lu umpetin!”

Dia baru mendengar dari cerita teman-temannya yang juga pelanggan, seorang diva Kramat Tunggak baru diantarkan dari rumahnya di Indramayu. Orang tuanya di desa tertipu dan bangkrut, dan dengan derai air mata mereka terpaksa menjualnya. Sementara pekerja lain dari Kuningan, Cimahi, atau Sukabumi banyak yang sudah janda, si diva baru ini berusia delapan belas dan dia masih perawan.  Teman si pria menjadi tamu pertama yang membayar mahal untuk darah perawan sang primadona. “Perawan dan goyangannya juara! Buruan lu ke sana, lu telat dikit nanti lobangnya tambah lebar!”

Germo berperawakan gendut dan bermata sipit di hadapan pemuda itu tersenyum kecut, “Kau saja yang sudah jarang mampir, he! Sudah jadi bos, sekarang punya perempuan rumahan, ya? Dasar anak kolong, kok tidak dari dulu saja ngerumahin aktris eksekutif!”

Rumah bordil di kompleks ini memang tak bisa disamakan dengan motel atau hotel mewah tempat pekerja seks kelas atas. Tapi, rumah tempat ibunya bekerja adalah yang terbesar di sana. Dengan 20 meja dan 100 kursi tunggu, arena joget dengan lampu disko dan musik dangdut yang tak habis-habis, dan bar yang menawarkan berbagai jenis bir dan soda. Terkadang, orang hanya duduk-duduk saja menikmati bir. Maklum saja, harga minuman di sana lebih murah daripada di bar atau diskotek.

Kamar-kamar itu sempit dengan ranjang besi dan kelambu yang kusam, dengan cermin di toilet yang dekil tak terurus. Handuk bekas tamu sebelumnya masih tergantung dan tidak langsung dicuci meski sudah dipakai sekian kali. Bau pesing kencing, bir yang tumpah, dan asap rokok membaur di beberapa ruangan.

Terkadang ada gendak dari salah seorang pekerja yang mabuk dan kesetanan karena cemburu. Mereka berani membunuh meski sudah dilarang membawa senjata tajam atau senjata api.

Baru beberapa hari bekerja di sana, ibunya sudah menyaksikan orang tertusuk badik,  tersungkur dengan darah berlumur dan rentetan usus keluar dari perut. Situasi bertambah kacau ketika petugas keamanan melepas tembakan dan raungan sirine ambulans terdengar mendekat.

“Jangan banyak cing cong! Sudah banyak yang pesan doi? Gue mau sampai pagi!”

Si germo tahu tidak akan ada yang sanggup menolak pesona kemolekan perempuan Sunda-Cina peranakan itu. Apalagi, di Kramat Tunggak, jarang tampil wujud amoy macam “anak kesayangan”-nya itu.

“Sudah mau tutup. Dia sudah capek. Lagipula, dia laris. Sampai minggu depan saja, kau masih perlu antre, he.”

“Antre, antre! Ini duit segepok, berapa banyak lagi lu butuh?”

“Bawa pulang duitmu, he, mana mau aku kehilangan langganan! Kau lihat ini, daftar panjang sampai minggu depan? Prosedur is prosedur, Mister!”

Colt 45 terkokang di pelipis si germo, “Berani lu bilang prosedur lagi?”

Papan berisi daftar nama tamu si germo terjatuh di meja.

Soal lelaki itu rajin menyaru sebagai anak kolong, persisnya anak jenderal, germo seantero Kramat Tunggak sudah saling berkabar. Bahwa rumor itu bisa saja keliru, si germo tak pernah bertanya. Lelaki itu, toh, kini memegang senjata.

Sementara logam dingin itu masih di pelipisnya, si germo mengayunkan tangan dengan gemetar memanggil perempuan yang menontoni mereka di sudut ruangan.

Primadona Kramat Tunggak yang kala itu mengenakan daster tipis tembus pandang itu tidak gentar. Anehnya, dia justru merasa terpanggil oleh tamu yang berani memperebutkannya hingga mengokang senjata.

Dan pertemuan pertama terjadi.

Kisah itu dimulai dari uluran tangan perkenalan ibunya yang bersahabat, yang langsung dibalas dengan lumatan bibir dan dorongan ke tembok, lalu ciuman bertubi di sekujur tubuh perempuan itu, sementara si germo masih mengamati dengan menggigil, dan kuluman di tetek membuatnya  melenguh lemah dan jatuh di pelukan si pria yang tanggap menuntunnya ke ranjang.

Sentuhan malam itu adalah yang terganas, terliar, dan ternikmat yang pernah dirasakan ibunya. “Dua jam tanpa henti, ditambah dua jam lagi,” ujar ibunya lirih. Kesan pertama yang tak pernah dia temukan di pelanggan mana pun.

Ibunya meringkas dalam satu helaan napas; sekian purnama kencan di bawah temaram bulan di pelataran Stasiun Senen, pagutan demi pagutan di bibir dan lelucon-lelucon konyol yang mengundang tawa di balik becak yang mereka tumpangi, setiap restoran mewah yang pernah mereka singgahi, dan ranjang yang semakin liar dari waktu ke waktu.

Sejak berpacaran dengan lelaki itu, dia jadi jijik melihat tamu-tamu lain yang selesainya lama, yang sesudahnya masih terkapar puas dan tidak mau cepat-cepat meninggalkan kamar. Karena itu dia sengaja berlaku dingin kepada para tamunya.

Tidak lagi dia memijat burung pelanggannya dengan minyak oles agar bisa tahan lama. Sudah dilupakannya kebiasaannya keluar belanja ratus rapet bersama teman-temannya. Meski ada yang menawarkan Amor Rose atau Shanghai Lotion cuma-cuma padanya, dia menampik.

Dia tak mengerti bagaimana bisa teman-temannya yang juga punya pacar, atau malah memelihara gendak, masih bisa melayani tamu mereka dengan gelora hasrat yang sama.

Tamunya bisa saja merasa puas dan mencrot, hingga air maninya muncrat-muncrat membasahi kasur, tapi dia tidak pernah lagi mengalami perasaan penuh itu selain dengan pacarnya. Saat sang tamu menjerit dengan puas, dia hanya menatap kosong ke langit kamar yang kehitam-hitaman. Membayangkan wajah sang pacar.

Banjir hadiah dari sang pacar, berlusin-lusin kolor Wacoal dan beha Triumph—meski versi KW—hadiah lipstik Mirabella, dan daster tembus pandang, sampai ciuman mesra setiap singgah, membuatnya tak lagi kerasan bekerja di sana.

Kali ini dia menarik napas, “Cukup. Jangan cerita soal seksnya,” pintanya. “Fokus di bagian jahatnya saja. Jangan bubuhi cerita manis.”

Maka, ibunya segera melompat ke kisah dua tahun sesudahnya.

Si germo yang terkenal tidak pernah kalah beradu catur kini terpaku di ruang tengah rumahnya. Hampir empat jam ia menghadapi bidak-bidak catur yang mengepungnya dari sana-sini. Sebungkus rokok kretek dan tiga cangkir kopi telah tandas. Dan ia tetap tak bisa bergerak.

"Skakmat.”

Malam itu ia terkalahkan. Dan dengan refleks, si germo memukul meja.

Sebagai impasnya, si pemuda tengik itu memboyong pulang diva kesayangannya. Ia punya enam puluh anak asuh, dan ia sanggup kehilangan siapa pun di antara mereka, tapi tidak yang satu ini.

Apalagi, yang memboyongya adalah gendaknya, manusia yang semakin lama semakin tak berguna, yang kerjanya menipu, terkapar konyol di jalanan karena mabuk, main judi, dengan kontol yang melonte ke sepenjuru Kramat Tunggak. Ia tahu anak asuhnya itu sering menggunakan hasil sawerannya untuk ngentot dengan si gendak. Dan sekarang, ia akan pergi dengannya.

“Ambil air, ambil air, aiiiiir…” perintahnya ke pesuruhnya. Ketika perempuan paling cantik di rumah bordilnya melakukan langkah tolol itu, ia merasa seluruh tubuhnya mendidih.

Tapi saat itu ibunya merasa sangat bahagia, akhirnya dia bisa memilih jalan hidupnya sendiri.

Ibunya dan si gendak lantas tinggal bersama, dalam enam tahun rumah tangga yang dijalani dengan tumpahan nafsu yang semakin menjadi, liar dan seakan tak berkesudahan.

“Jadi Ibu memilih si gendak hanya karena puas ngewe dengan dia?”

Ibunya tersenyum masam. “Di pelataran parkir, di bioskop, di kolam renang Tirta Mas, di tangga rumah sakit, di belakang panggung TIM, di belakang mushola, di kakus gereja

Dia memejamkan mata dan mengangkat tangannya, tanda menyerah. Ibunya berhenti mendaftar tempat kencannya. Saat membuka mata, sambil menghela napas berat, dia memastikan, “Dan kalian tentu enggak pernah mengharapkan aku lahir?”

Ibunya menarik napas.

Dia melotot jijik dan terhenyak mundur, “Dia ingin punya anak? Dia menginginkan aku?!”

Ibunya menggeleng.

Syukurlah. Dia tidak pernah diinginkan oleh ayah yang tak pernah ada dalam hidupnya.

Saat itu mereka tetap mengontrak rumah di daerah Kramat Tunggak. Ibunya berhenti menjajakan tubuh dan mendukung keuangan rumah tangga dengan menjadi buruh cuci, sementara si gendak semakin tak berguna. Ketika ibunya sangat menginginkan kehadiran seorang anak dan gendaknya tak tertarik, si gendak semakin betah di luar rumah dan justru sengaja berulah. Suatu kali, si gendak membawa beberapa perempuan dan memaksa mereka ngentot ramai-ramai, di waktu lain ia membiarkan ibunya digerayangi lelaki lain untuk membayar utang si gendak, di waktu lain si gendak pulang mabuk menggedor-gedor pintu seperti kesetanan, dan saat pintu terbuka ia muntah di tubuh ibunya.

Dengan setiap perlakuan dan perkataan si gendak yang tak bisa diatasinya lagi, berkali-kali ibunya ingin pergi, tapi berkali-kali pula niatnya gagal.

Ketika menyadari dirinya mengandung, dan yakin akan diminta menggugurkan, ibunya semakin putus asa. Dia tahu anak yang dikandungnya bisa selamat, dan dirinya bisa bebas, hanya jika si gendak mati atau masuk penjara.

Dia meneguk sebanyak-banyaknya air di gelasnya. “Jadi alasan dia bakal memburu dan membunuh kita karena Ibu yang mengirimnya ke penjara? Apa yang Ibu lakukan?”

Tragedi, dengan caranya, terkadang memberi berkah. Suatu hari si gendak pulang bersama temannya dalam keadaan mabuk. Temannya masuk ke kamar ibunya dan mengajaknya main. Ibunya menolak dan dia dipukul. Ibunya meronta dan tubuh gempal teman si gendak terus menindihnya. Teriakannya semakin kencang saat si gendak masuk dan menarik temannya. Si gendak terkejut telah menemukan temannya berlumuran darah, sebuah gunting tertancap di lehernya.

Dia terkejut dan memandang ibunya lekat-lekat.

“Ibu membunuhnya?”

Dia mendapat jawaban dari pejaman mata.

Mereka terdiam. Di piring mereka masih ada sisa nasi dan sayur lodeh yang belum dihabiskan. Hanya terdengar dengung pendingin udara dan detak jarum jam dinding yang mengisi keheningan.

“Dan Ibu menuduh dia yang melakukannya?”

Kali ini, dia mendapat jawaban dari pelukan ibunya yang demikian erat. Pundaknya basah. [*]

 Cerita pendek ini dimuat dalam Cerita Cerita Jakarta (Penerbit POST Press, 2021) dan sebelumnya versi terjemahan bahasa Inggris atas cerita ini dimuat dalam The Book of Jakarta (Comma Press, 2020). 

Penulis menghaturkan terima kasih atas kesempatan penerbitan naskah ini, terutama kepada Maesy Ang dan Teddy W. Kusuma yang telah membantu proses penyuntingan, juga kepada Jafar Suryomenggolo atas berbagai masukan perbaikan dalam proses penulisan naskah.



No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu