2014/04/15

Mokamentor dengan AS Laksana (1)

Semestinya laporan ini rampung ditulis sebulan lalu. Justru keduluan tulisan dari sang mentor dan tulisan Diego Christian sebagai rekan sekelas.

Pertemuan terjadi di Hotel Santika dan kami mengobrol di kursi sebelah kolam renang hingga dini hari. Bayangkan betapa bahagianya saya bertemu duo sahabat penulis ini dalam satu kesempatan: AS Laksana dan Yusi Avianto Pareanom.

Saya selalu senang bertemu mereka. Yusi tahu tempat makan enak dan suka membagi humor, sehingga setiap makan bersama, saya kerap memesan menu yang sama dengannya. Malam itu pun saya menerapkan kebiasaan saya itu. Dalam perkara menulis, Yusi suka menganalogikan proses menulis seperti proses memasak: ada bahan belanjaan, resep masakan dan perkakas, serta cara pengolahan yang tepat. AS Laksana kira-kira mempraktikkan metode penulisan yang sebelas-dua belas; silakan diakses lewat buku Creative Writing. Sudah lama saya menganggap dua orang ini seperti guru sendiri. Walaupun baru belakangan melalui tulisan Diego Christian, saya tahu di kelas Jakarta School AS Laksana pernah menjadi guru dari beberapa penulis produktif.

Di pertemuan pertama, keajaiban itulah yang dilakukan mentor saya. Kejaiban yang tampaknya bisa membuat seseorang menjadi penulis produktif. Saya sempat menganggap menulis menjemukan. Alasannya banyak. Berbagai pemicu menulis (writing prompt) telah saya coba untuk mengatasinya: memilih tiga kata unik dan menebarkan kata-kata itu di dalam tulisan secara acak, menonton film dan mengambil satu fragmen menarik dan memulai cerita dari sana, mencomot satu kalimat dari buku favorit sebagai pembuka cerita, hingga mengumpulkan kliping-kliping koran untuk dijadikan sumber ide. Kesemuanya gagal dan hampir dipastikan saya vakum menulis dalam setahun itu. Saya masih merasa buntu. Namun kebuntuan itu dengan mudahnya ditembus oleh AS Laksana dengan bilang, “Menulis jelek saja di awal, yang terpenting kemudian kamu harus mengeditnya sampai jadi bagus.” Penulis yang baik adalah mereka yang menyiapkan waktu untuk membaca kembali tulisannya dan melakukan koreksi tanpa manja menunggu orang lain untuk melakukannya. Menulis jelek di awal dan baru kemudian mengeditnya hingga jadi bagus, itu adalah ide yang sangat brilian.

“Lantas, kapan kita tahu harus berhenti mengedit?” tanya saya waktu itu.

“Sampai kita sudah merasa kewalahan,” jawab AS Laksana. Hingga hari itu, ia sudah mengedit bakal novelnya, Medan Perang—yang dahulu terbit berkala sebagai cerita bersambung di harian Suara Merdeka, hingga tiga puluh kali.

Jadi, malam itu, persoalan terkait hambatan menulis (writer’s block) terpecahkan.

Perkara substansi, untuk proses mentor ini saya menyiapkan naskah novel tentang seorang gadis remaja, sejauh ini dia yatim-piatu dan dibesarkan oleh kakek-neneknya saja, cuplikan (snippet) bisa dilihat di sini. Ada latar belakang yang pilu sehingga dia menjadi sosok dingin, terkadang angkuh. Judul novel ini nantinya Obituari Omi. Kehidupannya cukup ajaib karena dia, kemungkinan besar, akan memiliki kemampuan supranatural. Dia bisa meloncat-loncati dimensi waktu melalui mimpi. Berkali-kali, dia datang ke masa depan lewat mimpi. Selain itu, barangkali akan ada kebencian yang sangat pada sistem pendidikan di Indonesia yang menjadikan guru dan murid selayaknya robot, saya belum tahu apakah akan menjadikan cerita bernuansa utopis, tapi sepertinya jangan sampai. Saya dan mentor saya, kendati novel mengandung unsur-unsur mistis itu, meniatkan novel ini bersifat realis. Jadi, PR yang harus saya pecahkan ada dua: 1) Menjadikan unsur-unsur paranormal itu tampak riil (mungkin menambahkan unsur sureal, tapi bagaimana?), 2) Mengolah alur kehidupan Omi yang bertumpuk-tumpuk agar tak terkesan dipaksakan—alias deus ex machina (kata AS Laksana, saya bisa mengusahakan kemulusan cerita di tataran plot). Oh, ya, Omi memelihara hamster dan reptil, juga membuat taman di belakang rumahnya. Juga, lantaran Omi seusia dengan mahasiswa baru, jadi dia akan menemukan teman-teman di kelas perkuliahan. Saya juga akan mengambil setting daerah pertanian. Sejauh ini, karakter telah terbangun, selain dua PR di atas, saya masih mesti mencarikan plot untuk menjadi jalur perjalanan bagi Omi.

Oh, ya, saya membuat corat-coret selama mendengarkan petuah dari sang mentor. Saya mungkin akan menyertakan fotonya di tulisan berikutnya.

Tulisan Terdahulu