IBU menggantung pot anggrek di jendela kamarku pagi ini. Sambil tersenyum, dia mendekatiku yang separuh mengantuk dan masih berselimut di ranjang. Begitu saja dia mengusap rambutku dan mengucapkan, selamat bertambah tua.
“Pot anggrek—itu hadiah ulang tahun?” kontan aku bertanya, bangkit dari ranjang.
Pot anggrek yang besar itu—menutupi hampir sepertiga jendela kamar. Kutahu benda itu akan menyulitkanku untuk melompati jendela kamar dan menyelinap keluar rumah.
Aku sangat jarang tidur di rumah semenjak diamanatkan kamar pribadi dan berpisah tempat tidur dengan orang tuaku. Dua tahun lalu, setelah aku pĂșber, kamar tak berpenghuni yang sejak dua puluh tahun lalu mereka bangun untukku akhirnya dibukakan, dan aku diminta tidur sendiri di sana. Padahal, hampir tiga belas tahun lamanya aku selalu tidur menengahi ibu dan ayah.
Konsekuensinya jelas, karena tentu saja aku tak pernah betah tidur sendiri di kamar. Kalau bukan di atap, aku selalu menginap di kamar teman sekelasku, atau tanpa sepengetahuan ibu—karena belakangan ayah jarang ada di rumah—aku biasanya menghabiskan malam dengan sekadar berjalan-jalan saja di tengah kota; persis seperti orang yang kehilangan tujuan hidup.
“Kenapa pot ini rumit sekali?” cemasku.
Bukan hanya karena aku tak pernah mampu merawat tumbuhan, tapi karena kait besi yang menggantungkan pot benar-benar terikat kuat pada ventilasi. Aku tak mungkin mampu melepasnya tanpa memecahkannya. “Hadiah ulang tahun macam apa ini…” masih gerutuku.
“Kamu belum punya pacar, kan… belajarlah dari merawat anggrek.” justru begitu bentuk sahutan ibu.
“Bu, begini saja, daripada nanti pun anggrek ini akhirnya mati karena aku tak telaten merawat,” aku menghentikan kalimatku; karena kemudian, aku mendorong pot itu menjauhi kamar. Pot akhirnya terlepas dari kait, dan jatuh, “…sebaiknya anggrek itu kukembalikan ke surga sekarang, supaya di sana bidadari yang merawatnya,” lanjutku.
Hari itu, tanpa kusangka-sangka, pot itu mengenai kepala kakekku.