2017/12/22

Rasionalitas Peradaban Mesopotamia Kuno


Enûma Eliš dari Peradaban Babilonia kuno merupakan peninggalan kuneiform yang paling banyak dirujuk sebagai peninggalan tertua yang membahas perkara asal-usul alam semesta dan penciptaan manusia. Sir Austen Henry Layard adalah arkeolog yang mengekskavasi reruntuhan Nimrud, sebuah kota Asiria kuno, dan Niniwe—dan hasil ekskavasinya termasuk tujuh tablet lempung Enûma Eliš (dari abad ke-7 SM, meski perumusannya barangkali berasal dari abad ke-18 SM pada era Bangsa Kassite) dari Perpustakaan Ashurbanipal, Niniwe.[1] Kisah epik dalam tujuh tablet lempung tersebut memuat masing-masing 115 dan 170 baris teks kuno kuneiform, sistem penulisan yang digunakan oleh bangsa Sumeria, Mesopotamia—dengan isi yang memaparkan pandangan dunia peradaban Babilonia kuno, yang berpusat pada supremasi Marduk sebagai penguasa dan penciptaan manusia untuk memenuhi kehendak para dewa yang sedang memiliki masalah dengan raksasa-raksasa yang diciptakannya—epik ini bertujuan untuk menunjukkan kuasa Marduk melebihi para dewa-dewi Babilonia dalam kepercayaan Mesopotamia secara keseluruhan.

Selain Enûma Eliš, terdapat banyak mitologi lain dari berbagai daerah di sepenjuru dunia tentang asal-usul alam semesta, ataupun teks-teks religius yang menjelaskan kisah-kisah genesis. Seiring waktu, peradaban manusia berkembang ke arah sains alam yang teramat taktis, meneruskan pandangan positivis-logis sejak masa pencerahan, dan berusaha lepas dari pandangan dunia yang masih mistis ataupun metafisis, demi beranjak menuju dunia yang bertumpu pada pandangan sains. Segala hal perlu dibuktikan secara rigor, rumusan ulang untuk menemukan asal-usul semesta pun dilanjutkan. Tapi pengetahuan peradaban manusia masih terbentur dengan tidak terjelaskan secara rigornya asal-muasal alam semesta. Hingga hari ini, teori Hermann Minkowski tentang ruang-waktu yang empat dimensi menjadi penting bagi pandangan saat ini, tapi itu pun tidak bisa menjelaskan fenomena semesta secara rigor, diteruskan oleh Albert Einstein lewat teori relativitas khususnya—yang menyatakan bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan ada dalam satu-kesatuan dan hanyalah kesadaran manusia yang bergerak sehingga melihatnya sebagai masa-masa berlainan.

Sama halnya seperti mitologi kuno, peradaban modern kontemporer kita pun kembali menghadapi titik itu, ketika manusia pada akhirnya terbentur pada ketiadaan jawaban. Sebelumnya pada masa kuno, ia mendayagunakan segenap imajinasinya, dan setelah masa pencerahan, ia mendayagunakan segenap rasionya, tetapi rasio itu masih tidak mampu memberikan fakta empiris. Karena, apa bedanya pandangan mitologi ataupun astrologi kuno di masa Babilonia dengan penemuan Minkowski tentang kesadaran manusia yang ilusif dalam menghadapi ruang-waktu? Hal ini semestinya dapat membuat peradaban modern ini berandai-andai, dengan konsep Minkowski dan konsekuensinya dalam kehadiran teori multijagad, bahwa mungkin saja di ruang-waktu itu ada pula berbagai semesta paralel yang terhubung ke dunia bawah (sebagaimana konsep Babilonia tentang underworld) ataupun surga (konsep Babilonia tentang heaven), seperti halnya teramat mungkin untuk menemukan sekian ratus kemungkinan lain keberadaan manusia di semesta paralel itu.

Apabila yang diunggulkan oleh astronomi modern adalah perhitungan matematisnya yang ketat—yang menjelaskan proses terciptanya alam semesta melalui big bang hingga ramalan kapan alam semesta itu akan berakhir dalam suatu keadaan setimbang/harmoni, pada kenyataannya selain Enûma Eliš ataupun Enūma Anu Enlil (catatan astronomis yang berupa pertanda-pertanda langit), peradaban kuno Mesopotamia sendiri tidak sepenuhnya lepas dari perhitungan-perhitungan rigor yang berkembang pada zaman itu. Kronologi perkembangan astrologi Babilonia menunjukkan perhitungan letak benda-benda langit; bintang (bahkan mengukur bujur dan lintangnya), bulan, dan planet-planet; dan perhitungan kalender. 

Astrologi Babilonia terbagi berdasarkan penelusuran astronomis yang dilakukan masing-masing kekaisaran. Kronologi yang ditemukan oleh para ahli peradaban Mesopotamia (umumnya menyebut diri mereka sebagai Assyriolog) menjelaskan dari Dinasti Pertama di Babilonia (berdasarkan penanggalan Ammi-saduqa I = sejak tahun 3700 SM), Dinasti Kedua di Isin, Percampuran Dinasti (Nabu-nasir, Sargon—Dinasti Akkadia, hingga Kandalanu), Dinasti Kasdim, Dinasti Asiria, Dinasti Akhemeniyah (Persia lama), Dinasti Makedonia, Dinasti Seleukia (Yunani-Makedonia), hingga Dinasti Arsakid (Armenia). Penelusuran atas peninggalan astronomis tersebut umumnya dilakukan melalui dekodefikasi atas tinggalan berupa kuneiform.

Astrologi Mesopotamia ini sendiri memiliki peran penting untuk perkembangan agama dan budaya. Di antara para Assyriolog, terdapat perdebatan mengenai agama resmi Mesopotamia. Seorang ahli, Hugo Winckler, menegaskan bahwa sistem religius dan budaya Babilonia sepanjang sejarah peradaban Asia Barat Daya Kuno (ancient near east) mendapatkan karakteristiknya dari pengamatan yang tekun atas fenomena langit. Leo A. Oppenheim di tahun 1964 adalah ahli yang menolak untuk mengklasifikasikan agama peradaban Mesopotamia secara tunggal. Menurutnya, dengan adanya lebih dari 2.100 dewa yang disembah, dan juga kurun waktu yang berbeda untuk keberadaan dinasti-dinasti di Mesopotamia, maka agama yang dianut oleh masyarakat tidak mungkin tunggal. Jean Bottero, sebaliknya, melalui Religion in Ancient Mesopotamia menolak pendapat Oppenheim tersebut. Menurutnya, tidak perlu ada kategorisasi “agama resmi”, “agama privat”, ataupun “agama bagi kaum terpelajar”—apakah suatu klasifikasi dilakukan berdasar wilayah, Ebla Mari, Asiria, ataukah dilakukan berdasar periode waktu, Kekaisaran Seleukia (Seleucid), Kekaisaran Akhemeniyah (Achaemenid),  periode Kasdim (Chaldean) dalam Kekaisaran Babilonia Baru, Kekaisaran Asiria Baru (Neo-Assyrian), ataukah periode Bangsa Kassite, Babilonia Kuno, Sumeria Baru, ataukah Periode Akkadia Kuno—karena bagi Bottero, tidak terdapat perbedaan signifikan dari agama-agama mereka selain fakta bahwa pewarisan kekuasaan dalam dinasti-dinasti tersebut mewariskan juga sistem religius yang sama. Bagi Bottero, memisah-misahkan agama di Mesopotamia adalah upaya yang sia-sia belaka.[2]

Seperti dinyatakan di atas, terkait betapa pentingnya astrologi dalam sistem agama dan budaya di Mesopotamia, Winckler hadir dengan pendapatnya yang kemudian menegaskan bahwa klasifikasi agama dapat dirujuk melalui adanya pengamatan astrologis yang dilakukan secara ekstensif di Mesopotamia. Pandangan ini dikenal sebagai pandangan Panbabilonisme (Panbabylonism), yakni anggapan bahwa budaya dan agama peradaban Asia Barat Daya kuno berakar dari mitologi Babilonia yang dapat dirunut dari pengamatan astronomi Babilonia kuno. Selain Hugo Winckler, Friedrich Delitzsch, Peter Jensen, dan Alfred Jeremias merupakan figur terkemuka dari pandangan Panbabilonisme ini.[3]

Ini menunjukkan pengaruh penting ilmu perbintangan pada pemaknaan akan kehadiran manusia di tengah semesta yang saat itu mula-mula belum benar-benar dipahami di peradaban Mesopotamia. Bahwa sejatinya peradaban Mesopotamia telah pula memiliki pandangan sains yang tidak bisa dipandang remeh. Agaknya mesti dibayangkan bahwa diperlukan sejarah teramat panjang untuk menciptakan suatu hukum bahasa yang kemudian memungkinkan kuneiform dituliskan dan diwariskan hingga hari ini, juga simbol matematika hingga perhitungan matematis yang ketat mengenai jarak bintang-bintang di langit. Tujuan artikel ini adalah untuk memaparkan jejak-jejak astrologis dan astronomis peradaban kuno Sumeria tersebut. Selanjutnya, penulis akan menghadirkan refleksi atas semua paparan itu dikaitkan dengan perkembangan teori tentang alam semesta di masa kontemporer ini.

2017/10/20

Perjalanan Pertama di Paris

Saat saya pulang pada pukul setengah sepuluh petang, ibu semang saya sedang menyimak televisi dalam siaran berbahasa Perancis, sebelum kemudian berganti ke tayangan berbahasa Mandarin ketika saya mengambil makanan. Masih ada beberapa bahasa lagi yang dipergunakannya secara aktif, di antaranya bahasa Rusia, Jepang, dan Spanyol, dan tampaknya sedikit bahasa Arab. Tapi yang paling menguntungkan bagi saya adalah karena ia berbicara dengan saya dalam bahasa Indonesia.

“Jadi, bagaimana petualanganmu di hari perdana ini?” Dia bertanya.

Saya menyendok menu makan malam di hadapan saya, dan mulai bercerita tentang pertemuan saya dengan seorang perempuan Maroko bernama Nesha.

“Oh, orang Maroko. Di sini memang banyak orang-orang Afrika, mereka pernah jadi koloni Perancis,” sahut ibu semang saya.

Ayah Nesha meninggal enam tahun lalu, dan dia baru saja menjenguk ibunya yang sedang sakit—ibunya tinggal di banlieue juga seperti saya sementara Nesha tinggal di area Trocadero dekat Menara Eiffel. Dia sempat berbelanja bahan makanan, lalu kebetulan bertemu saya di stasiun RER C Les Saules.

Nesha membantu saya membuat kartu transportasi umum berlanggan bulanan yang dapat memudahkan saya yang tinggal di pinggiran Paris—istilah lokal, banlieue—untuk mencapai Paris dengan tarif terjangkau. Orang-orang di Paris dan banlieue terbiasa berjalan kaki—atau menggunakan otoped ataupun sepeda—dan untuk jarak jauh mereka memilih menggunakan transportasi umum: metro, RER (untuk mengantarkan ke wilayah banlieue A hingga D), bus, dan trem dengan sistem SNCF yang menggunakan kartu atau tiket Navigo. Tentunya, dibantu membuat kartu Navigo oleh warga lokal menjadikan pengalaman di hari perdana itu sebagai bentuk perkenalan yang menyenangkan dengan kota ini.

Saya memilih Paris sebagai tujuan residensi penulis, sebuah program beasiswa yang digagas oleh pemerintah, dan karena alasan membutuhkan keringanan finansial saya kemudian memutuskan tinggal di wilayah Orly, di pinggiran selatan Paris. Ibu semang saya menjelaskan sekelumit tentang tempat kami tinggal, yang baginya dapat diistilahkan sebagai “cukup kiri”. Di daerah kami, pemerintah municipal mewajibkan apartemen privat (dalam artian, semacam apartemen yang dihuni oleh orang-orang kaya) dan apartemen pemerintah (semacam apartemen yang disubsidi oleh negara) untuk dibangun saling berdampingan—dan beberapa nama pemikir ataupun politisi kiri Perancis menjadi nama rue dan avenue daerah itu. Ibu semang saya menyewa apartemen pemerintah dengan tarif relatif terjangkau bagi seorang pensiunan sepertinya, di avenue Adrien Raynal, yang diambil dari nama seorang komunis militan.

Setelah membantu saya dengan kartu transportasi umum itu, Nesha bilang dia ingin ke kebun binatang, yang terletak di salah satu stasiun yang akan saya lewati juga, sebelum pulang ke rumah, dan menawari saya untuk menyertainya. Saya mengiyakan ajakannya. Kami akan berhenti di stasiun metro Gare d’Austerlitz, sebelum saya melanjutkan perjalanan ke stasiun metro Crimée, untuk mendaftarkan diri ke sebuah tempat kursus bahasa Perancis, dan dia pulang ke Trocadero.

Tempat kursus bahasa Perancis murah itu terletak di bilangan kanal Villette. Saya pikir, mengikuti kursus akan membuat saya punya alasan untuk sekali jalan menuju pusat kota Paris, meriset ke perpustakaan ataupun museum, yang jaraknya satu jam perjalanan metro dari rumah kos saya di banlieue, sekaligus berinteraksi secara wajar dan rutin dengan penghuni kota. Dengan berbagai pembenaran untuk mengeluarkan sepeser uang demi kursus, saya menambahkan satu alasan yang terdengar bijaksana bagi diri sendiri: jika kelak saya ingin iseng menerjemahkan karya sastra Perancis ke bahasa Indonesia, bekal bahasa ini bisa membantu saya. Nantinya ketika pulang ke Indonesia, saya tinggal mendalami lagi.

Beberapa pekan setelahnya, saya bertemu Johanna Lederer, seorang pendiri sebuah komunitas pencinta kebudayaan Indonesia, Komunitas Pasar Malam—nama yang disitir dari buku Pramoedya Ananta Toer Bukan Pasar Malam, ia bersepakat untuk menerjemahkan dua cerita pendek saya ke dalam bahasa Perancis dan menerbitkannya dalam jurnal terbitan mereka. Pertemuan itu membuat saya berpikir, mengapa tidak, untuk punya impian membalas jasa dengan menerjemahkan karya sastra Perancis juga suatu saat nanti?

Sepanjang perjalanan, saya memperhatikan orang-orang di sekeliling saya. Banyak, teramat banyak gelandangan—entah itu warga lokal yang menjadi pengangguran dan tak mampu menyewa hunian lagi ataupun imigran yang menggelandang karena tak memperoleh perlindungan pemerintah.

Ada juga banyak wisatawan, karena Paris adalah destinasi pertama dunia dalam hal wisata: para wisatawan kaya yang tampak dari dandanannya—yang tentu didominasi oleh orang-orang China—dan para wisatawan miskin yang menggendong ransel lusuh dan menggeret kopernya ke mana pun, barangkali sedang mencari hostel murah lainnya yang bisa disewa untuk beberapa hari.

Lantas, warga lokal yang membawa tas belanjaan penuh barang, atau menuntun anjing yang lehernya diikat tali, atau mendorong troli bayi, atau menjinjing otoped, atau memanggul sepeda dan helmet.

Orang dari ras berbeda bercampur baur: kulit hitam, kulit sangat hitam, kulit kuning, kulit putih, kulit sangat putih, rambut merah, rambut pirang, rambut hitam, rambut warna-warni, dengan gaya berpakaian yang berbeda-beda, dengan tatapan dan gestur janggal yang tak terpahami, ataupun dengan suara keras terdengar sedikit berteriak di telepon. Soal kebiasaan bertelepon ini, di hampir setiap pinggir jalan, kita akan mendapati orang-orang kulit hitam yang getol mengobrol dengan lawan bicaranya di telepon dengan bahasa yang campur baur: Arab, Perancis, Inggris, dan entah apa lagi.

Di tengah banyak orang yang menarik bagi saya dan ingin saya ajak bicara satu persatu tapi tidak memungkinan untuk melakukannya, pertemuan dengan Nesha mencukupi rasa penasaran saya untuk mengenal yang lain.

Nesha mengaku bahwa dia menjadi warga negara Perancis karena orang tuanya menetap dan membesarkannya di sana, walaupun pada mulanya itu bukan perkara mudah—sebagaimana yang terjadi pada imigran-imigran negara Afrika bekas koloni Perancis juga. Lantaran cerita yang saya dengar darinya, dia menjadi orang pertama yang membuat saya berpikir untuk menulis kisah-kisah tentang orang-orang imigran—dan kemudian mengunjungi museum imigran, musée national de l’histoire de l’immigration.

Sore sebelumnya, di hari pertama saya tiba di Paris, ibu semang juga telah mengajak saya berkenalan dengan orang-orang perahu (boat people). Pertemuan yang entah disengaja atau tidak, karena ia memang berencana menjamu kedatangan saya dengan makan nasi goreng ikan teri pedas di sebuah restoran Vietnam favoritnya—orang-orang di restoran itu adalah mereka yang pernah mengalami derita mengapung di lautan lepas selama berhari-hari demi menyelamatkan diri dari Perang Vietnam, “Saat mengapung itu, kami selama tiga hari tidak makan dan tidak mungkin meminum air laut,” begitu katanya.

Kami berjalan melintasi taman dan Nesha tiba-tiba mencerocos, “Cowok-cowok Perancis itu brengsek, tuh kamu lihat, mereka bakal merayu ceweknya dengan barang murah. Setelah si cewek berhasil dijerat hatinya, si cowok nantinya pasti mengajak makan, tapi maunya minta dibayarin si cewek saja.”

Tapi, bukankah kebanyakan laki-laki memang seperti itu atau tidak seperti itu atau berada di irisan itu? Melakukan generalisasi adalah perilaku yang payah ketika hidup di tengah orang-orang dengan berbagai latar belakang seperti ini. Sejauh ini, memang tak terjadi perselisihan antara warga lokal dan pendatang. Tapi apa yang saya tahu? Seorang penulis kontemporer Perancis, Michel Houellebecq, dalam karya terbarunya menunjukkan kebenciannya pada imigran dan semacam fobia terhadap Islam, dan entahlah apakah ia akan mempengaruhi lebih banyak orang lagi atau tidak. Perdana menteri Perancis, Manuel Valls, dalam sebuah wawancara bahkan berani menyatakan, “Perancis itu bukan Houellebecq, Perancis bukan negeri intoleran, penuh kebencian dan rasa takut.” Meskipun, sebenarnya masih kontroversial apakah Houellebecq ini melancarkan kritik pada Islam secara umum, ataukah hanya militan Islam seperti karakter yang dipilihnya dalam novelnya.

Saya menatap wajah Nesha sungguh-sungguh, apakah dia pernah dibuat patah hati oleh seorang pemuda Perancis? Pada akhirnya, saya mendapati alasannya menjadi sesinis itu, karena kemudian dia bilang dia tak pernah menikah, dan tak sedang punya pacar—di usianya yang sudah memasuki usia pensiunan. Sialnya, dia tampak tiga puluh tahun lebih muda dari usia biologisnya.

Tampaknya dia bisa kelihatan semuda dan seenergik itu karena sangat menikmati hidup. Pemerintah Perancis memastikan para pensiun dan para penganggur untuk dapat mengunjungi tempat-tempat publik yang berbayar dengan gratis. Bukan hanya tempat wisata, saya dengar beberapa tempat makan pun dapat memberikan makanan gratis kepada para penganggur. Untuk soal kunjungan gratis setiap saat ke tempat-tempat wisata, Nesha memanfaatkan statusnya sebagai pensiunan dengan sebaik-baiknya. Hampir setiap hari, dia berkunjung ke kebun binatang.

“Kenapa bukan ke museum atau tempat wisata lain yang lebih disukai turis?” tanya saya.
Dia sendiri merasa janggal menjawab pertanyaan saya, baginya itu adalah caranya mengisi kekosongan ditinggal mati ayahnya yang semasa hidup gemar mengunjungi kebun binatang.

Semua pekerja di tempat itu mengenalnya, menyapanya dengan ramah saat Nesha lewat. Dia bahkan secara sukarela menjadi pemandu yang menjelaskan tentang segala tabiat binatang di sana kepada para pengunjung yang datang. Saya menyukai berjalan di sisinya, memandang orang-orang yang mengagumi pengetahuan Nesha tentang kebun binatang itu. Kami bertahan di sana hingga jam tutup kebun binatang, dan berpisah di stasiun metro setelah bertukar nomor kontak. 

Saat sendirian tanpa ditemani Nesha di dalam metro di perjalanan ke tempat kursus ataupun perjalanan pulang ke rumah, saya mulai merasa terasing.

Dengan jas ataupun pakaian formalnya, saya bertanya-tanya apakah salah seorang dari orang-orang yang membaca buku-buku tebal di hadapan saya itu mengajar di universitas bergengsi? Ataukah orang parlemen? Apakah di antara mereka yang membaca buku itu, salah seorangnya adalah penulis muda Perancis dan sedang meniti kariernya?

Di dalam metro ini, bukan hanya soal ras dan warna kulit, ataupun kepercayaan yang dianut, orang-orang kaya dan orang-orang miskin, para figur publik dan orang biasa tampak tidak keberatan untuk saling membaur—dan saya, meski terasing, entah kenapa sekaligus juga merasa turut membaur di tengah keberagaman ini. Tidak seorang pun dari kami memandang aneh kepada satu sama lain, terlepas dari demikian banyak perbedaan secara fisik, dan hanya karena itu, di akhir hari saya merasa seperti tidak sedang berada di tempat asing. [*]

2017/04/28

Kita Bahkan Tidak Perlu Berbisik

 

 (Cerpen ini dimuat di Jurnal Perempuan No. 93/2017)


SEPULUH tahun telah lewat bagi kami. Itu adalah waktu saya untuk mulai menyukainya, mencintainya, dan menjalin hubungan, hingga merelakan ia pergi selamanya dari hidup saya.

Sore itu hujan, saya mendorong kursi roda kekasih saya itu. Ia bersikeras meminta saya meninggalkannya sendiri di kamar rumah sakit yang pengap oleh bau obat-obatan. Saya bilang saya tak cukup nyali untuk harus kehilangannya tanpa sepengetahuan saya.

“Aku ingin makan bubur di kafeteria,” ujarnya pada hari terakhir itu. Sementara dibiarkannya senampan makanan dari rumah sakit tak tersentuh.

Sepanjang perjalanan menuju kafeteria, kami melihat banyak burung gereja beterbangan di langit, “Besok aku akan menjadi salah satunya,” katanya. Saat itu ia seolah-olah sepenuhnya menyerah akan hidup.

Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas, lama setelah menerima kabar mengenai kanker yang ia derita, saya menyadari tak lama lagi saya akan kehilangan kekasih saya. Dan hanya bisa mendorong kursi roda pria itu saat ia sedang merasa hampir mati membuat saya merasa tak berguna.

Sepuluh kilogram bobot tubuhnya turun selama setahun ia menjalani kemoterapi. Kanker otak yang ia derita baru kami ketahui ketika sudah menjelang stadium akhir.

“Seandainya kita bisa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu,” ujarnya saat itu. “Mungkin seharusnya kita tidak pernah bertemu. Waktumu terbuang sia-sia, sepuluh tahun kamu habiskan hanya untuk menemani pria yang akan mati.”


KAMI sampai di kafetaria rumah sakit. Saya memesan dua mangkuk bubur ayam dan dengan sigap mengambil dua botol air ukuran sedang.

Darah mengucur dari hidung kekasih saya. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya untuk menghapus darah itu. Dua minggu sebelumnya, kedua tangannya mulai lumpuh.

“Kita seharusnya benar-benar tidak usah bertemu,” rajuknya. Darah dari hidungnya terus mengucur dan tak berhenti. Saya ambil tumbukan daun sirih dari wadah plastik di dalam ransel dan saya letakkan di lubang hidungnya. Beberapa saat, darahnya berhenti.

“Atau, seandainya kita segera menikah di tahun pertama perkenalan kita.” Ia masih meneruskan kelakarnya.

Saya terpaku mendengar kalimat terakhirnya. Barangkali kami memang sebodoh itu karena meniru kisah percintaan Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Kami melewatkan sepuluh tahun hanya untuk berpacaran, bekerja, dan bervakansi menjelajahi tempat-tempat asing. Kami terlalu banyak membual soal kehidupan berumah tangga, merencanakan jumlah anak, dan rumah idaman, tanpa pernah merealisasikannya.

“Kita bahkan belum dikaruniai keturunan,” lanjutnya.

“Seandainya kamu bisa mendonorkan spermamu sebelum meninggal,” saya mencandainya. Ia tertawa, tapi tawanya tidak bisa selincah sebelum kanker bersarang di otaknya. Dulu setiap saya berlelucon, saya selalu menerima kecupan mesra darinya di kening.

“Carilah pria lain setelah aku meninggal,” pintanya.

“Bagaimana dengan opsi mengadopsi seorang anak?” jawab saya, “Dan menamainya dengan namamu atau nama orang-orang yang kita idolakan?”

Ia tersenyum, tetapi air mata jatuh di pipinya. Itu hari pertama dan hari terakhir saya melihat air mata di wajahnya.



SAYA akhirnya mengadopsi seorang anak dan membangun usaha sendiri. Anak itu saya namai Gandhi, sebagaimana kekasih saya dan saya mengagumi Mahatma Gandhi. Lima tahun telah berlalu semenjak saat itu. Saya sudah tidak mampu mengingat lagi bagaimana perasaan saya sewaktu melihat jenazah kekasih saya di ranjang rumah sakit. Usaha yang saya rintis membuat saya sepenuhnya melupakan impian berumah tangga.

Saya selalu membuka toko buku dan kafe setiap pukul enam pagi lewat sedikit, dan menutupnya ketika sudah larut. Terkadang, saya juga tidak menutupnya sama sekali. Selalu ada orang-orang yang bermalam di kafe karena larut dalam pembicaraan. Pagi ini sekitar tiga atau empat pasangan kekasih memesan kopi dan menu sarapan ringan setelah semalaman tak pulang. Buku-buku bacaan ringan dari toko buku menumpuk di meja, masih bersegel, menjadi bantal tidur mereka.

“Ini masih bisa dilakukan sendiri. Biarkan saya yang angkat,” terdengar suara seorang pria tua dari kejauhan.

Pukul tujuh pagi, tetangga saya sudah banyak bicara di teras rumahnya sewaktu saya membereskan kafe dan mengantarkan pesanan pelanggan. Saat saya lihat, pria yang berusia delapan puluhan itu dengan keras kepala menurunkan kursi roda dari mobil pick up seorang diri. Diabaikannya kurir pengantar yang berniat membantu.

Selepas kepergian kurir itu, ia berdiam diri lama demi memandangi kursi rodanya. Saya sudah membereskan piring dan gelas terakhir, dan mengganti taplak meja, ketika ia akhirnya duduk, mencoba mendorong-dorong kursi roda. Ada keriangan kanak-kanak dari caranya tergelak menertawakan diri sendiri saat duduk di kursi roda itu, dan dari caranya mengibaskan tangan sewaktu ia mendapati saya memandang ke arahnya.

Ia barangkali akan cocok dengan ayah saya. Semalam saya menjemput Ayah di bandara. Saya minta ia tinggal bersama saya.

Keputusan itu muncul di benak saya pada kunjungan terakhir saya ke rumah. Saat itu seluruh rumah bau kotoran tikus, lampu-lampu dibiarkan menyala sepanjang hari, dan botol-botol bir menumpuk di kamar Ayah. Sebagai anak tunggal, saya tak akan tega membiarkan Ayah hidup seperti itu.

Sebenarnya ibu dan ayah saya sudah bercerai sejak saya merantau kuliah dan bekerja di Jakarta. Namun, beberapa bulan lalu sesudah Ibu wafat, kata tetangga kami, kerja Ayah hanya bermurung diri dan keluar rumah untuk menghabiskan uang pesangon. Saya tak menyangka Ayah menjadi begitu tak menghargai hidup setelah mengetahui kepergian Ibu. Ia dipecat dari perusahaan tekstil tempatnya bekerja dan tak mencari pekerjaan lagi. Ayah bahkan tak bisa mencuci baju sendiri ataupun merawat diri.

Saya senang karena akhirnya ia mau ikut pindah. Meski semalam saat saya jemput, di perjalanan kembali dari bandara, ia memaksa berhenti di swalayan 24 jam dan membeli berkerat-kerat bir. Di kamarnya, kini Ayah pasti masih belum terjaga. Beberapa minggu ke depan, ia tampak masih akan menghabiskan waktunya lebih banyak untuk merokok dan minum bir sebelum tidur. Saya tak mencegahnya. Hanya saja, sebelum kepindahan kami, saya minta ia lebih bisa berlaku mandiri.

“Penghasilan saya belum banyak. Saya baru menjalankan usaha toko buku dan tempat makan ini selama lima tahun,” ujar saya di dalam taksi.

Ayah yang duduk di sebelah saya tampak tak acuh.

“Keuntungan dari usaha ini bahkan belum menutup hutang pinjaman saya di bank. Jadi, tolonglah, saya minta kerjasama Ayah.”

“Sudah kubilang, kau tak usah ajak aku ikut pindah,” jawab ayah saya, “kau tinggal biarkan aku mati di rumahku kalau kau mau terus larang aku beli bir.”

“Saya mana tega membiarkan Ayah mati. Memangnya Ayah mau bikin saya jadi yatim piatu? Ayah bisa tinggal bersama saya, tapi tolong mengerti keadaan saya juga. Bir-bir itu, rokok-rokoknya, tolong dikurangi.”

“Capek aku dengar keluh kesah kau, Denada. Terima kasih kau ajak aku turut pindah, tapi jangan kau atur terlalu banyak hidupku,” jawab Ayah naik pitam.



SAAT saya menyetelkan televisi ke channel yang banyak menampilkan kartun-kartun hari Minggu, tetangga saya datang dengan kursi rodanya. Orang-orang memanggilnya Markus. Saat itu ia mengetuk pintu kafe. Wajah riangnya tampak tersenyum di pintu kafe, sebelum kemudian ia mendorong sendiri pintu itu.

“Kursi roda baru?” tanya saya.

Kursi roda itu tampak istimewa. Barang-barang yang ia miliki memang rata-rata bermerek mahal. Istrinya meninggal tiga tahun lalu, tetapi ia tampak baik-baik saja dengan ditemani barang-barang itu. Hingga hari ini, ketujuh anaknya—yang kesemuanya menjadi orang sukses—masih rajin mengiriminya uang dan barang. Ia hampir selalu datang bercerita ke kafe saya setiap ada kiriman yang datang. Dari yang saya lihat, barang-barang itu membuatnya bahagia.

“Anak-anakku ini kelakuannya betul-betul sudah, cerewetnya keterlaluan. Mereka kirimkan benda ini dengan pesan agar aku gunakan kursi roda ini kalau sewaktu-waktu aku capek berjalan. Sepertinya mereka mau ayahnya cepat-cepat tidak bisa berdiri.” Markus menjawab dengan bercanda. Seperti biasa, perkataannya dibarengi tawa.

“Mau minum susu dengan stroberi? Sekontainer buah segar baru datang pagi tadi. Stroberi, semangka, pisang, apel, nanas, mangga, anggur,” saya hampir merinci semua buah.

“Apa saja boleh, tapi stroberi favoritku. Asalkan kamu tidak bilang ke anakku kalau aku minum itu. Bisa-bisa dia kirim koki masakan vegetarian dan dokter gizi khusus diabetes kalau dengar ayahnya banyak konsumsi yang manis-manis dari kafe tetangga.”

“Kenapa tidak mencarikan ayahnya istri baru saja, kalau begitu?” canda saya sembari menyuguhkan susu stroberi.

“Mungkin mereka pikir ayahnya bisa mati di ranjang waktu bercinta dengan istri barunya,” sahutnya sambil tertawa. “Kulihat kamu mengajak seorang lelaki paruh baya tadi malam? Dia siapamu?”

“Itu ayah saya. Semalam ia terlalu banyak minum bir, sepertinya sekarang ia masih tidur di kamarnya.”

“Ah, siapa bilang? Pagi-pagi buta ia sudah keluar rumah, terakhir kulihat ia duduk di lapangan rumput, menonton anak-anak main sepak bola sambil pegang botol bir di tangan.”

“Pak Markus tidak mengajaknya bicara?” tanya saya.

“Aku masa bodoh saja tadi. Aku tak suka dengan orang yang dari tubuhnya menguar bau minuman keras. Ayahmu kelihatan frustrasi betul. Tapi seandainya saja aku tahu ia ayahmu, aku pasti sudah tarik lelaki bangkotan itu pulang kemari. Gila saja, gadis sebaik kamu punya ayah berkelakuan begitu.”

Saya terpingkal sejadi-jadinya. “Ibu meninggal enam bulan lalu. Mungkin itu banyak mempengaruhi Ayah, walaupun mereka sudah lama bercerai.”

“Tidak usah murung begitu. Lupakan saja ayahmu. Ayo, bicarakan yang lain. Kau lihat gunung di seberang itu? Pagi ini tampak cantik dan agung sekali. Mungkin bisa membuatmu lebih ceria.”

Mungkin juga tidak. Ada banyak kenangan dari gunung itu. Saya pernah mendakinya langsung bersama kekasih saya yang meninggal lima tahun lalu. Hanya berdua dari Jakarta, kami mengelilingi kota ini. Pada hari itu, Johan secara spontan mengajak saya menaklukkan gunung di seberang itu. Apa yang kami lakukan hari itu yang menuntun saya ke kota ini.

Ada para pecinta yang akan menantang dunia dan bersedia dunia membencinya agar ia bisa bersama dengan orang yang dicintainya. Dulu kami melakukannya, sama-sama tak peduli dengan identitas suku dan agama yang berbeda di antara kami. Selama sepuluh tahun kami menjauh dari keluarga yang menolak hubungan kami. Selama itu, satu kali pun tak pernah membersit di pikiran saya untuk mewujudkan harapan Johan menikahi saya. Ia sudah merayu saya berkali-kali untuk menikah pada tahun kelima hubungan kami. Ia bilang, dengan tabungannya, ia sudah bisa membeli rumah sendiri dan menafkahi saya.

Sayalah yang bodoh dan menyia-nyiakan kehadirannya. Sebagai anak tunggal, dengan kedua orang tua yang bercerai, saya susah menyanggupi permintaan Johan. Saat mengingat masa-masa itu, terkadang saya menangis di pojok kafe setiap tak ada pengunjung. Membenamkan wajah saya di balik buku dan tertidur pulas sampai ada pengunjung atau karyawan shift yang datang dan membangunkan saya.

“Kenapa jadi tambah murung?” Markus tampak heran. “Mana Gandhi? Hari Minggu kau taruh ia di Sekolah Minggu lagi?”

“Ia suka di sana. Hobinya menggambar mendapatkan wadah di tempat itu.”

“Atau jangan-jangan ia betah karena ia menemukan ayah baru di sana?” goda Markus. “Carikanlah anakmu itu ayah baru. Kamu masih empat puluhan, cantik, cergas memasak. Andai usiaku bisa dikorting empat puluh tahun, aku pasti melamarmu.”

Bagaimana bisa membayangkan memberi ayah baru untuknya? Saya mengadopsi Gandhi yang berusia tiga tahun dan sejak saat itu membiarkannya tumbuh besar tanpa ayah. Dia sudah terbiasa tumbuh tanpa seorang ayah. Saya bilang ayahnya diplomat, yang pekerjaannya selalu mengharuskan berpindah-pindah negara. Setiap hari ulang tahunnya, Gandhi mendapatkan kiriman dari teman-teman saya di luar negeri. Ada nama kekasih saya, Johan Winangun, di setiap kartu ucapan selamat. Saya bilang itu nama ayahnya.

Gandhi tak banyak bertanya lagi sejak hari pertama ia dikirimkan satu kardus berisi kamus bergambar. 

Tulisan Terdahulu