2018/06/19

Feminis Transnasional dan Jugun Ianfu: Testimoni Sejarah Kelam Pendudukan Militer Jepang


Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menuai kontroversi pada 2007 lantaran ia mengangkat kasus jugun ianfu (comfort women atau perempuan budak seks perang) sebagai persoalan kemanusiaan yang perlu dituntaskan pada masa pemerintahannya. Pernyataannya ini didukung oleh berbagai riset yang sejak tahun 1990 telah menunjukkan bahwa pemerintah Jepang wajib bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan yang terjadi pada masa Perang Dunia II tersebut. Sebelumnya, pengadilan terkait kejahatan perang yang menampung pula tujuh dokumen laporan khusus tindak kekerasan seksual oleh militer Jepang telah dilakukan oleh Pengadilan Tokyo pada 3 Mei 1946.[1] Namun, persidangan tersebut berakhir tanpa penyelesaian. Dokumen inilah yang dibuka pada riset-riset di dekade 1990, dan kembali pada 2007 di masa pemerintahan Abe.[2] Kembali terulang, para anggota parlemen ultra-kanan (konservatif) menyatakan tidak ada bukti kuat bahwa para perempuan ini dipaksa untuk memenuhi kebutuhan seksual balatentara Jepang. Bagaimanapun usaha Abe, kelompok ultra-kanan di Jepang berusaha menghapus fakta-fakta riset tersebut. Resolusi dari pihak perwakilan rakyat di Jepang pada Juli 2007 (H. Res. 121) dan pengunduran diri Abe dari jabatannya tampak menunjukkan kasus ini berakhir tanpa penyelesaian—kecuali fakta bahwa pemerintah Jepang membayar sejumlah ganti rugi kepada beberapa negara.[3]

Selain nihilnya hasil persidangan di tahun 1946, kontroversi dan penolakan dari kelompok ultra-kanan dilancarkan sejak 1980-an. Pada 1982, menteri pendidikan Jepang memerintahkan penghapusan sejarah tentang jugun ianfu dari buku-buku teks referensi terkait agresi dan korban perang yang melibatkan Jepang.[4] Namun, ingatan para korban tidak bisa dibungkam begitu saja, pada Desember 1991, seorang jugun ianfu dari Korea Selatan, Kim Hak Sun, mengungkapkan pengalamannya dan mengajukan perkara ke pengadilan. Pernyataannya ini diikuti oleh beberapa korban perempuan lainnya dari sepenjuru Asia, termasuk beberapa korban dari Indonesia. Langkah berani mereka mendorong para aktivis perempuan Jepang untuk mengorganisir dukungan. Riset menunjukkan bahwa di antara tahun 1928 hingga 1945, terdapat sekitar 150.000 hingga 200.000 perempuan yang dijadikan sebagai budak seks oleh pihak militer Jepang.[5] Pemerintah Jepang lagi-lagi membantah tuntutan tersebut, menolak meminta maaf, dan bahkan menolak untuk melakukan peninjauan lebih lanjut.[6]

Sepanjang sejarah perang, pemerkosaan dan beragam kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terjadi tanpa kendali—serta pembungkaman atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap mereka terus berlanjut. Kekejaman balatentara Jepang terhadap budak seks dari Indonesia menjadi satu contoh dari sekian banyak kekerasan serupa yang juga terjadi dalam perang-perang lainnya. Tindakan pendukung HAM transnasional untuk mengambil kendali pada situasi perang semacam itu semestinya perlu dipertimbangkan. Dengan latar belakang ini, artikel ini berupaya memaparkan bagaimana sejarah kelam kolonialisme jugun ianfu digambarkan dalam kesusastraan Indonesia yakni dengan mengambil Mirah dari Banda oleh Hanna Rambe dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai pembuktian sejarah, dilanjutkan dengan pemaparan pandangan para feminis atas dominasi seksual para lelaki terhadap perempuan di masa perang, pembungkaman kasus jugun ianfu ini, dan bagaimana para feminis berupaya menggerakkan suatu gelombang transnasional untuk memecahkan persoalan kemanusiaan semacam ini agar mendapatkan pertimbangan pihak-pihak lembaga maupun masyarakat internasional. 
 

Mirah dari Banda dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Novel Mirah dari Banda oleh Hanna Rambe adalah kisah pertemuan antara Mirah dan cucunya yang hilang. Mirah, diculik dari rumahnya di Jawa saat berusia lima tahun, dijadikan budak pemetik buah pala di Bandaneira pada masa penjajahan Belanda. Jelang dewasa, ia menjadi nyai (gundik) bagi Tuan Besar Ulupitu, dan lantas pekerja seks atau jugun ianfu bagi para balatentara di masa penjajahan Jepang. Dari hubungannya dengan Tuan Besar Ulupitu, Mirah sempat memiliki dua orang putri yang lantas diculik darinya.[7] Salah seorang putrinya yang hilang tersebut melahirkan seorang anak yang kelak bernama Rowena “Wendy” Morgan-Higgins—nama yang diperoleh setelah ia diangkat anak oleh keluarga Higgins. Wendy, cucu Mirah, menjadi “bayi perang” lantaran ia tak pernah mengetahui ibu dan ayah kandungnya—yang ia ketahui hanyalah fakta bahwa ayahnya adalah seorang Jepang dan ibunya, anak Mirah, adalah seorang Indo-Belanda. Wendy tumbuh dewasa, dan berkesempatan mengunjungi Banda, nasib mengantarnya berjumpa Mirah, neneknya. Namun demikian, Mirah dan Wendy bertemu sebagai dua orang asing, dan kemudian berakhir sebagai dua orang asing yang tidak saling mengetahui relasi darah di antara mereka.

Mirah dari Banda bergerak melintasi tiga periode sejarah, pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga jauh melewati masa kemerdekaan. Mirah yang hidup pada tiga zaman itu menceritakan kekejaman di masa perang—saat seseorang dipandang memiliki derajat jauh lebih rendah, selayaknya barang untuk diperjualbelikan. Dalam cerita ini, Mirah adalah tokoh yang dipandang rendah itu: ia tidak dapat menikmati kebebasannya sebagai manusia karena kebebasan itu telah dirampas darinya sedari kecil. Ia dipaksa memenuhi hasrat tuan besar, seorang Belanda, sembari bekerja memetik pala. Selanjutnya di masa kedatangan “saudara tua” Indonesia, ia lantas dijadikan budak seks. Rambe menampilkan sejarah kelam kolonialisme di Indonesia timur melalui kisah fiksi, tetapi meski kisahnya sendiri hampir mendekati kenyataan, penekanan sejarah khususnya mengenai para jugun ianfu dapat kita telusuri melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer.

Perawan Remaja adalah dokumentasi kesaksian Toer atas kisah para perempuan remaja di Indonesia yang dijadikan budak seks oleh balatentara Jepang pada Perang Dunia II. Dalam pembuangan ke Pulau Buru di tahun 1969, Toer bersaksi bahwa ia dan kawan-kawannya menemukan sebuah wilayah sabana (area ini menjadi kamp konsentrasi para buangan politik tanpa persidangan pada rezim Orde Baru) yang telah ditinggali oleh sekumpulan perempuan remaja yang ditelantarkan oleh balatentara Jepang. Perawan Remaja menyusun kronik kedatangan para remaja perempuan tersebut ke wilayah Kepulauan Ambon.[8]

Sebuah pengumuman pemerintah Jepang pada 1943 menyerukan kepada setiap orang tua untuk mendaftarkan dan lantas menyerahkan anak gadisnya yang masih perawan berusia di antara 15-17 tahun untuk disekolahkan oleh Pemerintah Dai Nippon. Remaja-remaja perempuan ini dijanjikan belajar di Singapura ataupun di Jepang. Siapa pun yang melanggar perintah ini dinyatakan sebagai bertindak membelot terhadap Tenno Heika (kaisar Jepang). Para pejabat daerah bahkan hingga perlu menyerahkan anak-anak gadis mereka demi memberi contoh kepada masyarakat untuk juga melakukan hal serupa. Seiring perjalanan waktu, diketahui bahwa janji pemerintah Jepang tersebut tidak pernah terlaksana.

 
Balatentara Jepang menyeberang pulau dengan membawa para perempuan remaja itu, lantas mereka berhenti di wilayah Kepulauan Ambon. Para balatentara Jepang menyatakan bahwa mereka akan diberi pelajaran ilmu kebidanan untuk menjadi bidan di wilayah Ambon. Pada praktiknya, setiap remaja perempuan yang diserahkan kepada pihak Jepang ditempatkan pada sebuah bilik bernomor. Bilik-bilik itu dijaga oleh seorang heiho sebagai ibu asrama bagi mereka. Setiap serdadu Nippon yang berhajad seks datang ke kamar berdasarkan pada karcis berisikan nomor bilik, dan mereka mengantre hingga datang kesempatan menyetubuhi para gadis itu. Para perempuan remaja ini tidak memperoleh bayaran sepeser pun, kecuali uang rekreasi yang sesekali saja diberikan.

Begitu pihak Jepang kalah dari sekutu pada Perang Dunia II, balatentara Jepang segera meninggalkan para remaja perempuan itu dalam situasi terombang-ambing. Mereka dilepas tanpa tanggung jawab, tanpa pesangon, dan dibiarkan untuk melanjutkan hidupnya terserah jalan mereka sendiri-sendiri, bahkan tidak mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum dari para pejabat RI yang ketika itu disibukkan dengan upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Begitu Indonesia merdeka, para tokoh politik bangsa ini lantas lanjut disibukkan dengan urusan pertentangan antarpartai. Akibatnya, hingga tahun 1979 atau ketika mereka berusia sekitar 35 tahun (juga ketika Toer menyusun buku ini), mereka praktis terlupakan. Sebagian besar dari mereka menganggap hidupnya telah gagal sehingga tidak berupaya untuk kembali ke keluarganya.

Beberapa perempuan yang masih tertinggal itu akhirnya berusaha menyatu dengan para penduduk lokal di sekitar wilayah Pulau Buru yang ketika itu masih dihuni oleh suku Arafuru yang bergerak nomaden. Toer menggambarkan bagaimana para remaja perempuan yang tadinya hidup dalam adab Jawa itu perlu kembali ke kebiasaan hidup primitif para suku di wilayah itu demi bisa diterima dan melanjutkan hidupnya. Bahkan, beberapa dari mereka menikah dengan penduduk setempat dan kemudian membesarkan anak-anak mereka, hingga kedatangan Toer dan kawan-kawannya. Singkatnya, mereka telah sama sekali melupakan kehendaknya untuk kembali ke rumah mereka di Jawa.


Laki-laki sebagai Simbol Perang dan Perempuan sebagai Budak Seksnya

Fenomena perempuan budak seks pada masa perang tidak hanya terjadi di antara pihak militer Jepang dan korban jajahannya. Militer Jerman SS (Schutzstaffeln) mengelola sejumlah 500 rumah bordil di tahun 1942, militer Inggris di Tripoli, Libya mengelola rumah bordil privat untuk pasukan kulit putih maupun kulit berwarna mereka. Militer Amerika Serikat, sama seperti militer Inggris dan militer Australia, juga mengembangkan rumah bordil yang dikelola oleh warga untuk menghindari balatentaranya terkena penyakit menular seksual dalam masa Perang Dunia II. Pada masa pendudukan terhadap Jepang, militer Amerika Serikat bahkan memakai layanan perempuan budak seks yang disediakan oleh militer Jepang secara khusus untuk mereka.[9]

Berbagai teori feminisme mengenai pemerkosaan dalam situasi perang umumnya menyelidiki perihal wacana dominasi di antara kedua gender, atau narasi umum yang menyertai terjadinya kekerasan seksual tersebut. Judith Butler mengemukakan soal matriks heteroseksual, suatu konstruksi biner atas gender dan seksualitas, yang meyakini bahwa heteroseksualitas adalah norma, dengan demikian kedua gender terhabituasikan lewat aturan dan arahan tertentu, baik melalui konvensi sosial ataupun norma masyarakat. Adanya sistem patriarkis, hegemoni maskulinitas, dan kepercayaan negatif mengenai seks, seksualitas, ataupun gender dengan demikian memberi pengaruh pada proses tumbuh kembang para lelaki untuk melihat bahwa mereka berhak melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap para perempuan.[10]

Mengaitkan pandangan Butler dengan sistem patriarkis yang masih berlangsung di Jepang, sebenarnya begitu regulasi restorasi Meiji diajukan sejak awal 1870, kaum lelaki intelektual maupun politisi telah menolak pandangan Konfusianis mengenai danson jyohi (superioritas kaum lelaki) lantaran para intelektual masa “pencerahan” (“keimo”) ini terpengaruh oleh gagasan-gagasan dunia Barat. Namun demikian, mereka masih mempertahankan konsep mengenai perempuan sebagai istri dan ibu (nilai-nilai Barat dari era Victoria), dan ini menjadi idealisasi dan berkembang sebagai ideologi ryosai kenbo (istri dan ibu yang baik).[11] Pada masa perang, ideologi ini menekankan perlunya perempuan menjadi “reproduser kekuatan militer dan ibu bangsa”.[12] Distingsi perempuan kelas atas dan perempuan kelas bawah pun diperkuat. Eksploitasi terjadi pada para perempuan kelas bawah sementara para perempuan kelas atas mendapat perlindungan sedemikian rupa dengan adanya konsep ryosai kenbo. Citra perempuan kelas bawah sebagai perempuan penghibur mendorong adanya regulasi prostitusi pada masa perang—dengan catatan, regulasi ini telah berkembang di Jepang pada 1870-an, meski konon telah muncul pula jejaknya sejak era Muromachi (abad ke-14) atau era Kamakura (abad ke-12 hingga ke-14).[13]
 
Hadirnya struktur perempuan kelas atas dan kelas bawah ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual pada masa perang didukung juga oleh sistem kerja masyarakat patriarkis pada kehidupan sehari-hari—bagaimana masyarakat patriarkis Jepang memperlakukan perempuan kelas bawah terkait erat dengan bagaimana mereka kelak memperlakukan para perempuan di negara jajahannya pada masa perang, dan ini pada puncaknya membolehkan adanya suatu “budaya pemerkosaan” (rape culture). Ruth Seifert turut memberi sumbangsih penting pada bidang ini karena ia menjelaskan bagaimana pembenaran atas tindak kekerasan seksual dihasilkan oleh para pelaku kejahatan seksual itu, sebagaimana dijelaskan Butler. Menurutnya, pemerkosaan memang dipandang sebagai suatu “bentuk budaya tersendiri” pada hampir setiap peristiwa perang. Ia menyebutkan bahwa bagi para pelaku itu, (1) pemerkosaan adalah “aturan perang”; (2) penyiksaan atau perlakuan kejam terhadap perempuan adalah suatu elemen komunikasi lelaki di tengah konflik; (3) pemerkosaan adalah puncak maskulinitas yang dipandang perlu menyertai perang; (4) pemerkosaan di masa perang bertujuan untuk menghancurkan kebudayaan musuh; dan (5) pemerkosaan di masa perang adalah ekspresi peenghinaan terhadap perempuan yang telah berakar secara kultural, dan diperkuat pada masa krisis—yakni pada masa perang.[14]

Penutup: Feminis Transnasional dan Testimoni Sejarah Kelam Perang

Dalam sistem ekonomi kapitalisme transnasional, dengan kesadaran pascakolonial melalui Konferensi Asia Afrika pada 1955, pemahaman ekonomi negara-negara berkembang dihadapkan pada tolak ukur ekonomi lebih jelas yakni dengan mengecek penghasilan per kapita (GDP) yang menunjukkan seberapa produktif suatu negara. Dalam situasi ekonomi transnasional ini, kompetisi pasar bebas dan konsumerisme teknologi informasi berkembang sedemikian rupa, dan negara berkembang berupaya menghadapi laju ini—baik dengan penegasan posisi nonblok ataupun sekadar program-program perbaikan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, kita dapat lihat juga pengaruh kajian pascakolonial beserta berbagai pemahaman akan situasi ekonomi dalam memperlihatkan bahwa peran perempuan tidaklah sama. Jika Simone de Beauvoir dalam pengantar Le Deuxième Sexe-nya menyangsikan mengenai persaudaraan antara perempuan (sisterhood), maka feminis transnasional pada masa ini berusaha mewadahi kekurangan ini.

Transnasionalisme pada masa awal perang memberi para perempuan Jepang suatu ruang untuk mempengaruhi kebijakan negara menyoal absennya hak sipil nasional. Berbagai organisasi transnasional bergerak dalam garda depan perjuangan aktivisme hak-hak warga negara, dan pada akhirnya bersinggungan dengan soal-soal imperialisme, rasisme, dan nasionalisme.[15] Pergeseran paradigma dalam sejarah perempuan di tahun 1980-an dari paradigma “perempuan sebagai korban” menjadi “perempuan sebagai agen” terjadi begitu kesadaran tentang jugun ianfu diperbincangkan di Asia Timur. Pembacaan historis mengenai peran perempuan sebagai agen terkait kebebasan seksualnya memperlihatkan bahwa tindakan militer Jepang dalam menciptakan rumah-rumah bordil jugun ianfu sebagai kejahatan yang perlu dituntaskan dalam pembicaraan skala transnasional dan hal ini mendorong menguatnya gerakan perempuan di Jepang pada dekade tersebut.[16]

Feminisme global memberi penekanan pada keberagaman agen (agency) perempuan alih-alih pada model kebebasan perempuan (women’s liberation) dengan ide-ide individualitas dan modernitasnya. Para feminis transnasional ini dapat dikenali dari sifatnya yang memberi penekanan pada pentingnya politik koalisi, anti-nasionalis, dan anti-eksploitatif—sehingga mereka dapat dibedakan dari para feminis yang mengklasifikasikan kalangannya pada kelas, ras, kewarganegaraan tertentu.[17] Demi kepentingan penuntasan kasus jugun ianfu, misalnya, para feminis transnasional ini menyelenggarakan konferensi bertajuk “Comfort Women of World War II” yang melancarkan kritik terhadap politik imperialis pemerintah Jepang yang menyetujui adanya jugun ianfu, tetapi justru melakukan penyangkalan atas keterlibatan mereka.[18] Politik koalisi dilakukan oleh para aktivis feminis dari kebangsaan Asia dan Amerika, mereka melebur sebagai gerakan feminis transnasional, untuk mengungkit kasus dikaburkannya persoalan jugun ianfu dalam sejarah militerisme Jepang di negara-negara yang diduduki mereka pada Perang Dunia II.

Dalam sebuah artikel, “Resisting Autobiography: Out-Law Genres and Transnational Feminist Subjects”, Kaplan menggunakan observasi Jacques Derrida tentang “the law of genre”—suatu metode untuk menjelaskan sekiranya jenis-jenis subjek kesusastraan, dan genre atau jenis subjek kesusastraan “outlaw” (berbagai hal yang menyoal tindak kejahatan antarindividu) adalah suatu subjek yang autobiografinya berbicara dalam ranah transnasional, sehingga menantang konsep-konsep modernis mengenai subjektivitas individual, nasionalisme patriarkis, ataupun kapitalisme multinasional. Penelusuran genre outlaw umumnya dapat ditelusuri melalui memoar penjara, testimoni pelaku, ataupun tilisan etografis, “biomitografi” (biomythography), autobiografi budaya, ataupun psikobiografi regulatif (regulative psychobiography).[19]

Alih-alih hanya membicarakan pendekatan subjek perorangan, jenis-jenis literatur ini mengangkat kesamaan persoalan banyak orang yang terlibat dalam masalah kejahatan tertentu. Sebutlah, tulisan Toer dalam Perawan Remaja menghadirkan narasi korban yakni para jugun ianfu Indonesia pada masa pendudukan Jepang—demikian juga banyak narasi lain dari korban-korban militer Jepang di Korea Selatan, Australia, ataupun negara-negara lain di Asia Tenggara. Demikian pula narasi-narasi testimoni ini dihadirkan dalam konferensi yang mengundang para jugun ianfu untuk berbicara di tengah forum. Wadah konferensi ini sendiri pula dipandang menjadi suatu bentuk dokumen autobiografi kultural mengenai para jugun ianfu yang menjadi korban pendudukan militer Jepang di negara-negara yang bersengketa pada Perang Dunia II.


Kepustakaan
Dolgopol, Ustinia. “Women’s Voices, Women’s Pain” dalam Human Rights Quarterly 17 (1995) 127-154.
Hanna Rambe. (2010). Mirah dari Banda. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Hayashi, Hirofumi. “Japanese comfort women in Southeast Asia” dalam Japan Forum 10(2) 1998: 211-219.
_______________. “Disputes in Japan over the Japanese Military “Comfort Women” System and Its Perception in History” dalam The Annals of the American Academy of Political and Social Science Vol 617 (Mei, 2008), h. 123.
Henry, Nicola. “Theorizing Wartime Rape: Deconstructing Gender, Sexuality, and Violence” dalam Gender & Society, Vol. 30 No. 1, February 2016, h. 44-56.
Kimura, Maki. (2016). Unfolding the ‘Comfort Women’ Debates: Modernity, Violence, Women’s Voices. New York: Palgrave Macmillan.
Molony, Barbara. (2010). “Crossing boundaries: Transnational feminisms in twentieth-century Japan” dalam Women’s Movement in Asia: Feminisms and transnational activism. Abingdon: Routledge.
Pramoedya Ananta Toer. (2007). Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, seri catatan Pulau Buru. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Seifert, Ruth. “The second front: The logic of sexual violence in wars” dalam Women’s Studies International Forum 19, 1996, h. 35-43.
Thoma, Pamela, “Cultural Autobiography, Testimonial, and Asian American Transnational Feminist Coalition in the ‘Comfort Women of World War II’ Conference” dalam Frontiers: A Journal of Women Studies, Vol. 21 No. 1/2, Asian American Women (2000), h. 30-32.
Tony Firman, “Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa Penjajahan Jepang” dalam situs web https://tirto.id/jugun-ianfu-budak-wanita-di-masa-penjajahan-jepang-cgZz, terakhir diakses pada 18 Juni 2018.





[1] Tony Firman, “Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa Penjajahan Jepang” dalam https://tirto.id/jugun-ianfu-budak-wanita-di-masa-penjajahan-jepang-cgZz, terakhir diakses pada 19 Juni 2018.
[2] Dokumen resmi ini diserahkan oleh pemerintah Belanda, Perancis, dan China, dengan kesimpulan bahwa militer Jepang secara langsung memaksa para perempuan untuk bekerja di beberapa rumah bordil di wilayah-wilayah Indonesia, China, Timor Leste, dan Vietnam.
[3] Hayashi, Hirofumi, “Disputes in Japan over the Japanese Military “Comfort Women” System and Its Perception in History” dalam The Annals of the American Academy of Political and Social Science Vol 617 (Mei, 2008), h. 123.
[4] Hayashi, Hirofumi, h. 126.
[5] Dolgopol, Ustinia, “Women’s Voices, Women’s Pain” dalam Human Rights Quarterly 17 (1995) 127-154.
[6] Hayashi, Hirofumi, h. 127.
[7] Deskripsi ini merupakan ikhtisar novel Hanna Rambe, Mirah dari Banda (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, edisi ketiga, 2010).
[8] Deskripsi ini merupakan ikhtisar dari seri catatan Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007).
[9] Hayashi, Hirofumi, “Japanese comfort women in Southeast Asia” dalam Japan Forum 10(2) 1998: 211-219.
[10] Henry, Nicola, “Theorizing Wartime Rape: Deconstructing Gender, Sexuality, and Violence” dalam Gender & Society, Vol. 30 No. 1, February 2016, h. 44-56.
[11] Kimura, Maki, Unfolding the ‘Comfort Women’ Debates: Modernity, Violence, Women’s Voices (New York: Palgrave Macmillan, 2016), h. 73.
[12] Kimura, Maki, h. 73.
[13] Kimura, Maki, h. 74. Distingsi perempuan perawan dibandingkan dengan perempuan pelacur ini sendiri telah muncul pada masyarakat Eropa awal abad ke-18 dan disiplin tubuh pun diterapkan pada masa itu, sebagaimana yang dikemukakan Michel Foucault dalam teori-teorinya tentang seksualitas.
[14] Seifert, Ruth. “The second front: The logic of sexual violence in wars” dalam Women’s Studies International Forum 19, 1996, h. 35-43.
[15] Molony, Barbara, “Crossing boundaries: Transnational feminisms in twentieth-century Japan” dalam Women’s Movement in Asia: Feminisms and transnational activism (Abingdon: Routledge, 2010), h. 90-109.
[16] Molony, Barbara, h. 90-109.
[17] Thoma, Pamela, “Cultural Autobiography, Testimonial, and Asian American Transnational Feminist Coalition in the ‘Comfort Women of World War II’ Conference” dalam Frontiers: A Journal of Women Studies, Vol. 21 No. 1/2, Asian American Women (2000), h. 30-31.
[18] Thoma, Pamela, h. 32.
[19] Thoma, Pamela, h. 33.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu