2017/04/28

Kita Bahkan Tidak Perlu Berbisik

 

 (Cerpen ini dimuat di Jurnal Perempuan No. 93/2017)


SEPULUH tahun telah lewat bagi kami. Itu adalah waktu saya untuk mulai menyukainya, mencintainya, dan menjalin hubungan, hingga merelakan ia pergi selamanya dari hidup saya.

Sore itu hujan, saya mendorong kursi roda kekasih saya itu. Ia bersikeras meminta saya meninggalkannya sendiri di kamar rumah sakit yang pengap oleh bau obat-obatan. Saya bilang saya tak cukup nyali untuk harus kehilangannya tanpa sepengetahuan saya.

“Aku ingin makan bubur di kafeteria,” ujarnya pada hari terakhir itu. Sementara dibiarkannya senampan makanan dari rumah sakit tak tersentuh.

Sepanjang perjalanan menuju kafeteria, kami melihat banyak burung gereja beterbangan di langit, “Besok aku akan menjadi salah satunya,” katanya. Saat itu ia seolah-olah sepenuhnya menyerah akan hidup.

Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas, lama setelah menerima kabar mengenai kanker yang ia derita, saya menyadari tak lama lagi saya akan kehilangan kekasih saya. Dan hanya bisa mendorong kursi roda pria itu saat ia sedang merasa hampir mati membuat saya merasa tak berguna.

Sepuluh kilogram bobot tubuhnya turun selama setahun ia menjalani kemoterapi. Kanker otak yang ia derita baru kami ketahui ketika sudah menjelang stadium akhir.

“Seandainya kita bisa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu,” ujarnya saat itu. “Mungkin seharusnya kita tidak pernah bertemu. Waktumu terbuang sia-sia, sepuluh tahun kamu habiskan hanya untuk menemani pria yang akan mati.”


KAMI sampai di kafetaria rumah sakit. Saya memesan dua mangkuk bubur ayam dan dengan sigap mengambil dua botol air ukuran sedang.

Darah mengucur dari hidung kekasih saya. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya untuk menghapus darah itu. Dua minggu sebelumnya, kedua tangannya mulai lumpuh.

“Kita seharusnya benar-benar tidak usah bertemu,” rajuknya. Darah dari hidungnya terus mengucur dan tak berhenti. Saya ambil tumbukan daun sirih dari wadah plastik di dalam ransel dan saya letakkan di lubang hidungnya. Beberapa saat, darahnya berhenti.

“Atau, seandainya kita segera menikah di tahun pertama perkenalan kita.” Ia masih meneruskan kelakarnya.

Saya terpaku mendengar kalimat terakhirnya. Barangkali kami memang sebodoh itu karena meniru kisah percintaan Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir. Kami melewatkan sepuluh tahun hanya untuk berpacaran, bekerja, dan bervakansi menjelajahi tempat-tempat asing. Kami terlalu banyak membual soal kehidupan berumah tangga, merencanakan jumlah anak, dan rumah idaman, tanpa pernah merealisasikannya.

“Kita bahkan belum dikaruniai keturunan,” lanjutnya.

“Seandainya kamu bisa mendonorkan spermamu sebelum meninggal,” saya mencandainya. Ia tertawa, tapi tawanya tidak bisa selincah sebelum kanker bersarang di otaknya. Dulu setiap saya berlelucon, saya selalu menerima kecupan mesra darinya di kening.

“Carilah pria lain setelah aku meninggal,” pintanya.

“Bagaimana dengan opsi mengadopsi seorang anak?” jawab saya, “Dan menamainya dengan namamu atau nama orang-orang yang kita idolakan?”

Ia tersenyum, tetapi air mata jatuh di pipinya. Itu hari pertama dan hari terakhir saya melihat air mata di wajahnya.



SAYA akhirnya mengadopsi seorang anak dan membangun usaha sendiri. Anak itu saya namai Gandhi, sebagaimana kekasih saya dan saya mengagumi Mahatma Gandhi. Lima tahun telah berlalu semenjak saat itu. Saya sudah tidak mampu mengingat lagi bagaimana perasaan saya sewaktu melihat jenazah kekasih saya di ranjang rumah sakit. Usaha yang saya rintis membuat saya sepenuhnya melupakan impian berumah tangga.

Saya selalu membuka toko buku dan kafe setiap pukul enam pagi lewat sedikit, dan menutupnya ketika sudah larut. Terkadang, saya juga tidak menutupnya sama sekali. Selalu ada orang-orang yang bermalam di kafe karena larut dalam pembicaraan. Pagi ini sekitar tiga atau empat pasangan kekasih memesan kopi dan menu sarapan ringan setelah semalaman tak pulang. Buku-buku bacaan ringan dari toko buku menumpuk di meja, masih bersegel, menjadi bantal tidur mereka.

“Ini masih bisa dilakukan sendiri. Biarkan saya yang angkat,” terdengar suara seorang pria tua dari kejauhan.

Pukul tujuh pagi, tetangga saya sudah banyak bicara di teras rumahnya sewaktu saya membereskan kafe dan mengantarkan pesanan pelanggan. Saat saya lihat, pria yang berusia delapan puluhan itu dengan keras kepala menurunkan kursi roda dari mobil pick up seorang diri. Diabaikannya kurir pengantar yang berniat membantu.

Selepas kepergian kurir itu, ia berdiam diri lama demi memandangi kursi rodanya. Saya sudah membereskan piring dan gelas terakhir, dan mengganti taplak meja, ketika ia akhirnya duduk, mencoba mendorong-dorong kursi roda. Ada keriangan kanak-kanak dari caranya tergelak menertawakan diri sendiri saat duduk di kursi roda itu, dan dari caranya mengibaskan tangan sewaktu ia mendapati saya memandang ke arahnya.

Ia barangkali akan cocok dengan ayah saya. Semalam saya menjemput Ayah di bandara. Saya minta ia tinggal bersama saya.

Keputusan itu muncul di benak saya pada kunjungan terakhir saya ke rumah. Saat itu seluruh rumah bau kotoran tikus, lampu-lampu dibiarkan menyala sepanjang hari, dan botol-botol bir menumpuk di kamar Ayah. Sebagai anak tunggal, saya tak akan tega membiarkan Ayah hidup seperti itu.

Sebenarnya ibu dan ayah saya sudah bercerai sejak saya merantau kuliah dan bekerja di Jakarta. Namun, beberapa bulan lalu sesudah Ibu wafat, kata tetangga kami, kerja Ayah hanya bermurung diri dan keluar rumah untuk menghabiskan uang pesangon. Saya tak menyangka Ayah menjadi begitu tak menghargai hidup setelah mengetahui kepergian Ibu. Ia dipecat dari perusahaan tekstil tempatnya bekerja dan tak mencari pekerjaan lagi. Ayah bahkan tak bisa mencuci baju sendiri ataupun merawat diri.

Saya senang karena akhirnya ia mau ikut pindah. Meski semalam saat saya jemput, di perjalanan kembali dari bandara, ia memaksa berhenti di swalayan 24 jam dan membeli berkerat-kerat bir. Di kamarnya, kini Ayah pasti masih belum terjaga. Beberapa minggu ke depan, ia tampak masih akan menghabiskan waktunya lebih banyak untuk merokok dan minum bir sebelum tidur. Saya tak mencegahnya. Hanya saja, sebelum kepindahan kami, saya minta ia lebih bisa berlaku mandiri.

“Penghasilan saya belum banyak. Saya baru menjalankan usaha toko buku dan tempat makan ini selama lima tahun,” ujar saya di dalam taksi.

Ayah yang duduk di sebelah saya tampak tak acuh.

“Keuntungan dari usaha ini bahkan belum menutup hutang pinjaman saya di bank. Jadi, tolonglah, saya minta kerjasama Ayah.”

“Sudah kubilang, kau tak usah ajak aku ikut pindah,” jawab ayah saya, “kau tinggal biarkan aku mati di rumahku kalau kau mau terus larang aku beli bir.”

“Saya mana tega membiarkan Ayah mati. Memangnya Ayah mau bikin saya jadi yatim piatu? Ayah bisa tinggal bersama saya, tapi tolong mengerti keadaan saya juga. Bir-bir itu, rokok-rokoknya, tolong dikurangi.”

“Capek aku dengar keluh kesah kau, Denada. Terima kasih kau ajak aku turut pindah, tapi jangan kau atur terlalu banyak hidupku,” jawab Ayah naik pitam.



SAAT saya menyetelkan televisi ke channel yang banyak menampilkan kartun-kartun hari Minggu, tetangga saya datang dengan kursi rodanya. Orang-orang memanggilnya Markus. Saat itu ia mengetuk pintu kafe. Wajah riangnya tampak tersenyum di pintu kafe, sebelum kemudian ia mendorong sendiri pintu itu.

“Kursi roda baru?” tanya saya.

Kursi roda itu tampak istimewa. Barang-barang yang ia miliki memang rata-rata bermerek mahal. Istrinya meninggal tiga tahun lalu, tetapi ia tampak baik-baik saja dengan ditemani barang-barang itu. Hingga hari ini, ketujuh anaknya—yang kesemuanya menjadi orang sukses—masih rajin mengiriminya uang dan barang. Ia hampir selalu datang bercerita ke kafe saya setiap ada kiriman yang datang. Dari yang saya lihat, barang-barang itu membuatnya bahagia.

“Anak-anakku ini kelakuannya betul-betul sudah, cerewetnya keterlaluan. Mereka kirimkan benda ini dengan pesan agar aku gunakan kursi roda ini kalau sewaktu-waktu aku capek berjalan. Sepertinya mereka mau ayahnya cepat-cepat tidak bisa berdiri.” Markus menjawab dengan bercanda. Seperti biasa, perkataannya dibarengi tawa.

“Mau minum susu dengan stroberi? Sekontainer buah segar baru datang pagi tadi. Stroberi, semangka, pisang, apel, nanas, mangga, anggur,” saya hampir merinci semua buah.

“Apa saja boleh, tapi stroberi favoritku. Asalkan kamu tidak bilang ke anakku kalau aku minum itu. Bisa-bisa dia kirim koki masakan vegetarian dan dokter gizi khusus diabetes kalau dengar ayahnya banyak konsumsi yang manis-manis dari kafe tetangga.”

“Kenapa tidak mencarikan ayahnya istri baru saja, kalau begitu?” canda saya sembari menyuguhkan susu stroberi.

“Mungkin mereka pikir ayahnya bisa mati di ranjang waktu bercinta dengan istri barunya,” sahutnya sambil tertawa. “Kulihat kamu mengajak seorang lelaki paruh baya tadi malam? Dia siapamu?”

“Itu ayah saya. Semalam ia terlalu banyak minum bir, sepertinya sekarang ia masih tidur di kamarnya.”

“Ah, siapa bilang? Pagi-pagi buta ia sudah keluar rumah, terakhir kulihat ia duduk di lapangan rumput, menonton anak-anak main sepak bola sambil pegang botol bir di tangan.”

“Pak Markus tidak mengajaknya bicara?” tanya saya.

“Aku masa bodoh saja tadi. Aku tak suka dengan orang yang dari tubuhnya menguar bau minuman keras. Ayahmu kelihatan frustrasi betul. Tapi seandainya saja aku tahu ia ayahmu, aku pasti sudah tarik lelaki bangkotan itu pulang kemari. Gila saja, gadis sebaik kamu punya ayah berkelakuan begitu.”

Saya terpingkal sejadi-jadinya. “Ibu meninggal enam bulan lalu. Mungkin itu banyak mempengaruhi Ayah, walaupun mereka sudah lama bercerai.”

“Tidak usah murung begitu. Lupakan saja ayahmu. Ayo, bicarakan yang lain. Kau lihat gunung di seberang itu? Pagi ini tampak cantik dan agung sekali. Mungkin bisa membuatmu lebih ceria.”

Mungkin juga tidak. Ada banyak kenangan dari gunung itu. Saya pernah mendakinya langsung bersama kekasih saya yang meninggal lima tahun lalu. Hanya berdua dari Jakarta, kami mengelilingi kota ini. Pada hari itu, Johan secara spontan mengajak saya menaklukkan gunung di seberang itu. Apa yang kami lakukan hari itu yang menuntun saya ke kota ini.

Ada para pecinta yang akan menantang dunia dan bersedia dunia membencinya agar ia bisa bersama dengan orang yang dicintainya. Dulu kami melakukannya, sama-sama tak peduli dengan identitas suku dan agama yang berbeda di antara kami. Selama sepuluh tahun kami menjauh dari keluarga yang menolak hubungan kami. Selama itu, satu kali pun tak pernah membersit di pikiran saya untuk mewujudkan harapan Johan menikahi saya. Ia sudah merayu saya berkali-kali untuk menikah pada tahun kelima hubungan kami. Ia bilang, dengan tabungannya, ia sudah bisa membeli rumah sendiri dan menafkahi saya.

Sayalah yang bodoh dan menyia-nyiakan kehadirannya. Sebagai anak tunggal, dengan kedua orang tua yang bercerai, saya susah menyanggupi permintaan Johan. Saat mengingat masa-masa itu, terkadang saya menangis di pojok kafe setiap tak ada pengunjung. Membenamkan wajah saya di balik buku dan tertidur pulas sampai ada pengunjung atau karyawan shift yang datang dan membangunkan saya.

“Kenapa jadi tambah murung?” Markus tampak heran. “Mana Gandhi? Hari Minggu kau taruh ia di Sekolah Minggu lagi?”

“Ia suka di sana. Hobinya menggambar mendapatkan wadah di tempat itu.”

“Atau jangan-jangan ia betah karena ia menemukan ayah baru di sana?” goda Markus. “Carikanlah anakmu itu ayah baru. Kamu masih empat puluhan, cantik, cergas memasak. Andai usiaku bisa dikorting empat puluh tahun, aku pasti melamarmu.”

Bagaimana bisa membayangkan memberi ayah baru untuknya? Saya mengadopsi Gandhi yang berusia tiga tahun dan sejak saat itu membiarkannya tumbuh besar tanpa ayah. Dia sudah terbiasa tumbuh tanpa seorang ayah. Saya bilang ayahnya diplomat, yang pekerjaannya selalu mengharuskan berpindah-pindah negara. Setiap hari ulang tahunnya, Gandhi mendapatkan kiriman dari teman-teman saya di luar negeri. Ada nama kekasih saya, Johan Winangun, di setiap kartu ucapan selamat. Saya bilang itu nama ayahnya.

Gandhi tak banyak bertanya lagi sejak hari pertama ia dikirimkan satu kardus berisi kamus bergambar. 



PERTIWI dan Kinanti akhirnya datang untuk mengambil honor dan mengisi shift jaga kafe. Markus lebih suka berbicara dengan mereka. Dua gadis itu saya rekrut bekerja di kafe karena mereka bisa mengayomi tetangga saya itu, selain juga karena memang cekatan memasak.

Saya tinggalkan Markus dengan mereka, dan berpamitan pergi ke Sekolah Minggu. Sebenarnya Markus benar. Di sana ada seorang pria yang membuat jantung saya mencelos setiap hari Minggu tiba. Pria di Sekolah Minggu itu mengajari Gandhi membuat lukisan alam, potret diri, mengenali warna dan bentuk, hingga mengajaknya berkunjung ke galeri-galeri lukisan saat Gandhi senggang. Beberapa kali ia sempat mengajak saya ikut, hanya saja Gandhi bilang ia lebih suka berjalan berdua dengan gurunya itu.

Baru kali ini Gandhi memaksa saya untuk menungguinya hingga kelas selesai. Saya menyanggupi. Saya membawakannya sekotak makan siang dan satu kotak yang penuh berisi permen untuk ia bagi-bagikan dengan teman sekelasnya.

Sekolah Minggu terletak tidak seberapa jauh dari kaki gunung Kaliurang. Di teras rumah sanggar itu ada deretan stoples kaca yang sepertinya berjumlah ratusan. Pada tiap permukaan stoples tertempel kertas warna-warni dengan tulisan berisi nama-nama singkat, seperti Kiko, Koi, Kei, Mei, dan banyak lagi.

Ada seekor ikan kecil dengan ragam bentuk dan warna berenang pada tiap stoples. Seorang perempuan tua selalu mengajaknya berbincang dan memberi mereka pakanan. Dari yang saya dengar, perempuan itu selalu bicara perihal kehilangan dengan ikan-ikan itu. Suaminya meninggal tujuh tahun lalu karena serangan jantung. Sejak saat itu dia tinggal dengan anak bungsunya. Lantaran hutang yang ditinggalkan mendiang suami, dia dan anak-anaknya terpaksa pindah menghuni sebuah rumah sederhana di wilayah Turi. Anak bungsunya itulah yang kemudian mendirikan Sekolah Minggu, tempat Gandhi belajar melukis.

Selain ikan-ikan dalam stoples, perempuan tua itu juga merawat tanaman dalam pot-pot kecil. Dia menyiraminya saban sore. Di belakang rumah, juga ada kucing dan anjing, kelinci, burung-burung yang berkicau, juga belasan pigura foto yang terpajang pada dinding rumah yang sudah berlumut. Perasaan kesepian yang dirasakan ayah saya mungkin masih kalah dibandingkan dengan perasaan yang dialami perempuan itu.

Darsana, guru menggambar Gandhi, terbilang sabar menghadapi ibunya itu. Ia kukuh menolak permintaan keluarga untuk mengirimkan ibunya ke rumah sakit jiwa atau panti jompo. Mungkin di keluarganya, hanya Darsana yang melihat ibunya sebagai sosok yang waras.

“Tak ada satu pun ikan-ikannya yang mati. Begitu sudah tumbuh besar, mereka akan dituangkan ke kolam,” cerita Darsana pada kunjungan pertama saya beberapa tahun lalu. “Ibu saya mencintai mereka, dan seolah melihat diri ayah saya pada ikan-ikan itu.”

“Diri ayahmu?” waktu itu saya bertanya.

“Itu kepercayaan ibu saya. Saya mempercayainya dan tumbuh besar dengan dongeng-dongengnya. Menurut ibu, jiwa dapat terbelah banyak dan bahkan terlahir kembali dalam ratusan bentuk. Kebetulan saja, mereka terlahir ke dalam wujud ikan-ikan itu.”

Penjelasan Darsana selanjutnya tak banyak mengalihkan bayangan yang muncul di pikiran saya. Tentang Johan yang mungkin bisa mewujud seribu kura-kura yang menetas di tepian pantai. Bahkan pada pertemuan pertama kami, saya sudah bisa menceritakan tentang Johan dan banyak hal lainnya kepada Darsana.

Hari ini suara gamelan terdengar dari arah belakang rumah. Bahkan dari telinga saya yang awam, tabuhannya terdengar tidak akur dan seperti ada banyak kesalahan notasi. “Ibu masih seperti itu. Kemarin beliau tiba-tiba minta dibelikan gamelan saat saya ajak dia jalan-jalan ke pasar kerajinan.” Pagi ini Darsana menyambut saya dan meninggalkan anak-anak didiknya di balai sanggar lukis. “Kata Gandhi, kamu akhirnya mengajak ayahmu tinggal bersama kalian?”

“Saya tak mungkin membiarkan ayah saya hidup sendiri.”

“Dulu kamu sudah banyak cerita ke saya tentang keluargamu. Kapan kamu akan ceritakan yang sebenarnya ke Gandhi? Kemarin saya dibawakan cokelat yang katanya dikirimkan ayahnya dari Swiss. Saya tak tega mendengarnya. Kamu sudah berkali-kali membohonginya.”

“Mungkin sampai saya menemukan ayah yang tepat untuknya?”

Darsana merangkul saya. Genggaman tangannya dan bagaimana jemarinya mengusap tangan saya membuat dada saya terasa hangat. “Saya pikir kamu sudah cukup kuat untuk merelakan kepergian Johan.”

Saya ingin menjatuhkan kepala ke dada bidangnya. Alih-alih melakukan itu, saya justru menjabat tangannya, “Terima kasih,” sahut saya.



SETELAH kunjungan saya kemarin, Darsana menelepon pada pukul lima pagi. Ini adalah apa yang diceritakan Darsana dalam telepon yang tidak terputus selama lima jam: tentang serigala dan gagak yang tiba-tiba muncul di mimpinya, lalu ular yang memangsa kedua hewan itu, lantas tentang Gandhi yang juga menggambar itu pada kelas Sekolah Minggu-nya kemarin. Sepanjang lima jam itu, kata-kata cinta dan ungkapan penyemangat juga banyak bertaburan dalam percakapan kami. Ia juga menyatakan keinginannya untuk mampir mengunjungi toko buku saya.

Markus yang mendengar pembicaraan kami sekian kali berdeham dari ruang tengah kafe, meski ia sudah ditemani oleh Pertiwi dan Kinanti. Dua gadis itu justru membarengi dehaman Markus dengan tertawa cekikikan.

Jari saya masih beku saat menemui Markus di mejanya.

“Pagi tadi aku bicara dengan ayahmu. Aku ajari dia cara memancing ikan di sungai,” ungkap Markus.

“Saya kira sepanjang selokan Mataram tidak ada ikannya?”

Tawa Markus membahana. “Justru itu. Aku suka menjahili ayahmu. Kejengkelannya karena tali pancingnya menyangkut di batu membuat ia ingin meneguk bir banyak-banyak. Tahu apa yang kulakukan saat itu? Aku merebut botol birnya dan membuangnya ke selokan.”

Saya heran mengapa ayah saya mau saja diajak pergi oleh Markus yang sepuluh tahun lebih tua darinya.

Tubuh Markus ringkih dan lemah, sementara Ayah tambun dan ototnya kokoh.

Selain itu, kendati karakter mereka mungkin bisa bersesuaian, saya tak yakin Ayah bisa berlaku sabar di depan Markus yang suka melucu.

“Lalu ayah saya tidak mencoba balas melempar Pak Markus ke selokan?” tanya saya.

Markus mengarahkan tangan ke kepala dan menunjuk-nunjuk kepalanya sendiri. “Selama masih suka minum bir, ia selamanya akan jadi lelaki tua tak berotak. Aku mengganti botor birnya dengan sebotol susu stroberi yang kubawa bersamaku. Aku bilang itu lebih sehat. Untuk kantong, dan untuk perut. Nah, itu ayahmu datang. Hei, bocah bangkotan!”

Markus dengan riang menyambut ayah saya yang berdiri di tangga loteng.

“Kau tidur lagi rupanya? Susu lebih bagus daripada bir, kan? Kau merasa lebih segar sekarang? Banyak-banyaklah makanya kau minum susu!” Logat Batak Markus tak bisa ia tutup-tutupi setiap saat perasaan gembira membuncah hingga ke ubun-ubunnya.

Markus memukul-mukul pundak Ayah yang sedang mengusap mata. Mereka seolah-olah seperti dua kawan lama yang sudah puluhan tahun tidak berjumpa. Ketika bertemu, keakraban mereka tampak alami.

Saya biarkan mereka banyak mengobrol di sudut kafe sementara saya menjaga toko buku.

Selama sekian jam itu, saya melihat papan catur, papan monopoli, papan Scrabble, dan ragam permainan di kafe itu dibawa pindah Markus ke meja mereka. “Kinanti, buatkan kami dua gelas besar susu stroberi,” saya mendengar Markus memesan.

“Dan bawalah banyak-banyak kudapan gratis untuk kami, ya,” Ayah saya menimpali.



SEANDAINYA Ayah tidak berpisah dengan Ibu, mungkin saya tidak akan memiliki karakter seperti ini. Saya selalu menolak orang-orang yang datang ke hidup saya. Betapa saya jadi tidak menghargai perkawinan. Bahkan hingga Johan tiada.

Bagaimanapun, saya banyak belajar dari Darsana. Ia yang selalu menerima ibunya dengan apa adanya, ia yang begitu bersemangat dengan bakat seninya, dan banyak meluangkan waktu untuk mengajar secara sukarela di bantaran sungai wilayah Kaliurang.

Saya teringat bagaimana Darsana tahun lalu mengajak Markus mampir ke kafe ini saat melihat pria itu melamun sendiri di teras rumah, mengobrol dengan burung-burung dalam sangkar. Seandainya Darsana tidak pernah mampir hari itu, mungkin saya tidak akan menjadi sedekat ini dengan Markus.

Sebenarnya, sikap Darsana yang begitu lembut ke ibunya juga menjadi pendorong saya mengajak Ayah tinggal bersama. Seandainya tidak begitu, kedua pria tua yang kini sedang berbahagia di meja depan kafe itu pasti akan menjadi pria-pria tua yang pemurung dan kesepian.

Mungkin Darsana juga benar dalam hal ini. Saya sudah cukup kuat untuk merelakan kepergian Johan.

Lonely Hunter; Carson McCullers, Waiting; Ha Jin, Oscar Wao; Junot Diaz. Yang benar saja kamu tetap menaruh buku-buku ini di meja bahkan setelah setahun lewat?” Darsana tiba-tiba sudah berada di sebelah saya.

Siang ini ia mampir untuk melihat buku terbaru. Ia bilang ia membutuhkan bacaan untuk ibunya. Setiap malam, ia selalu membacakan cerita berbahasa Inggris untuk perempuan tua itu. Dulu ibunya seorang pustakawan dan suka menghadiri Misa berbahasa Inggris. Namun, setelah ayah Darsana berpulang, Darsana seolah menggantikan posisi pendeta untuk membacakan kitab dan banyak buku bagi ibunya. Atas permintaan ibunya pula, Darsana rajin menyumbang stipendium untuk gereja setiap menerima honor mengajar.

Suatu kali, saya juga pernah melihat Darsana membacakan cerita untuk anak-anak didiknya di sanggar. Sejak itu, Gandhi menjadi rajin mengambil buku bacaan saya dan berlatih membaca cerita di depan Pertiwi dan Kinanti.

“Buku-buku ini seharusnya dipindahkan ke sini ...” Darsana memindahkan buku-buku saya ke rak bertajuk Secondhands, For Sale.

Saya tersenyum, “Kamu sudah membacanya?”

“Aku membelinya dari Sosrowijayan. Daripada membeli langsung di tokomu ini, dan ketahuan kalau aku menguntit bacaanmu, lebih baik aku beli di tempat lain. Meskipun jadinya aku seolah-olah tidak mendukung usaha toko bukumu, tapi masa bodoh sajalah. Toko buku ini tetap laris, kan?”

“Kamu selalu suka bercanda. Tentu tetap laris, saya yang berjualan di sini, para pengunjung mungkin jatuh hati kepada saya,” canda saya. “Bagaimana buku-buku itu menurutmu?”

“Penuh aura kesedihan. Gelap. Tokoh-tokohnya menyedihkan. Bacaanmu bikin frustrasi.”

Bacaan semacam itu menjadi kesukaan saya dan Johan. Walden, kisah Henry David Thoreau yang menggelandang selama dua tahun ke tengah hutan, sampai memoar-memoar melodramatik yang ditulis Simone de Beauvoir, dan film-film katarsis Woody Allen menjadi bahan percakapan yang tak habis-habisnya di antara kami. Seandainya Johan masih hidup, ia pasti akan menyukai Junot Diaz, Banana Yoshimoto, dan bahkan buku-buku terbaru Haruki Murakami, atau menonton film-film Wong Kar Wai. Semuanya memiliki aura mistis yang, bahkan saya sendiri sebagai penikmat karya-karya mereka, tak dapat menyingkapkannya.

“Johan menyukainya,” sahut saya.

“Dan ini kesukaanku,” Darsana tiba-tiba mengeluarkan beberapa buku dari tas kanvasnya. “Gantilah bacaanmu. Di sini aku punya Aki, Idrus. Sama gelap dan muramnya dengan buku-buku favoritmu, tapi Aki lebih jenaka. Penembak Misterius, SGA, tokoh-tokoh di buku ini sinting, membuatku rindu rezim Soeharto karena betapa ingin aku untuk menaklukkan rezim tiran itu, dan membayangkan aku menjadi tokoh-tokoh heroik itu. Burung-Burung Manyar, Romo Mangun, kisah percintaan yang tak tuntas antara dua muda-mudi yang bersikap konyol sepanjang hidup mereka. Mau pinjam?”

“Tentu mau. Kamu sengaja membawanya untuk saya?” tanya saya. Saya benar-benar terkesima dengan spontanitas pria ini.

Ia menggeleng sepintas, “Ini buku-buku kesukaanku. Buku-buku ini selalu ada di dalam tasku dan aku membawanya ke mana pun. Nah, sekarang kupinjamkan kepadamu,” jawabnya.

Ia lalu menyerahkan satu keping CD kepada saya. “Dan ini yang sengaja kubawakan untukmu.”

“Yang ini, apa isinya?”

“Lagu-lagu dengan komposisi bahagia, lima puluh persen jenaka, lima puluh persen nelangsa. Kebanyakan tentang kisah cinta yang gagal, tapi di tangan musisi-musisi ini kisah-kisah itu jadi bahan tertawaan. Supaya kamu tidak merasa sendirian, apalagi sampai kesepian,” ia berusaha menyitir perasaan saya. Entah mengapa, ada kehangatan yang saya rasakan di sekujur tubuh.

“Ah, kita terlalu banyak bicara. Saya buatkan makanan di kafe, ya? Mau makan apa? Ada bakmi, lothek dan gado-gado spesial, atau nasi brongkos. Oh ya, menu andalan hari ini salad buah, kemarin kami kedatangan sekontainer buah,” tawar saya.

“Padahal aku mau mengajakmu makan di luar...” tukasnya, “kalau kamu berminat.”



“KAMU tidak berencana melanjutkan kuliahmu?” tanya Darsana di tengah-tengah kunyahannya yang lahap. Kami pergi jauh-jauh ke Imogiri dan menjadikan sate klathak dan tongseng kambing Pasar Jejeran sebagai menu makan malam hanya karena ia suka melihat langit senja dari wilayah selatan Yogyakarta itu. Lembayung senja, baginya, selalu menggambarkan penantian cinta yang tak habis-habisnya.

“Mungkin nanti. Sekarang belum menemukan alasan untuk apa melanjutkan kuliah. Masih sibuk dengan usaha yang saya rintis.”

“Alasan, ya? Mungkin untuk bertemu dengan teman-teman pria seusiamu dan menikah dengan salah satu dari mereka?”

“Meski sebagian besar dari mereka kemungkinan sudah menjadi duda atau justru berniat berpoligami dan menjadikan saya istri kesekian?”

Saya tak mau mendebatnya lebih panjang. Kalaupun saya berniat melanjutkan kuliah, semestinya bukan dengan alasan itu. Suatu waktu saya ingin mendirikan sanggar seni dengan taman bacaan yang lebih besar, mendirikan toko buku yang lebih banyak di beberapa tempat terpencil, membikin kelas-kelas gratis dan mengajak sukarelawan mengajar di sana. Bersamaan dengan itu, saya akan mendirikan biro sastra nusantara yang menyediakan naskah-naskah lokal, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing. Saya ingin orang-orang tidak melupakan kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri agung di kepulauan nusantara. Dari sanalah pernah terbit harapan saya, kelak saya akan melanjutkan kuliah untuk bertemu orang-orang dengan cita-cita yang sama.

Padahal saya sudah pernah menceritakan semua impian saya itu ke Darsana. Apakah mungkin ia lupa?

Tiba-tiba Darsana tertawa. “Aku bercanda. Bukan dengan alasan itu, tentu saja. Aku masih ingat dengan jelas alasan muliamu mengambil jurusan Sastra Nusantara. Di daerah asalku, ada legenda I La Galigo. Dan kamu tentu sudah tahu, naskah aslinya sekarang justru ada di Leiden, Belanda. Menurutku itu keterlaluan. Apa kamu bisa ambil kembali semua itu seandainya kamu membangun biro sastra nusantara?”

Pemerintah Indonesia memang tidak banyak menaruh perhatian pada kesenian dan kebudayaannya. Meski ada dua kementerian yang memiliki andil besar untuk mengurusi ranah itu. Saya pernah pergi ke Kedatuan Luwu, Sulawesi Selatan, bersama dengan Johan. Kedatuan itu semestinya kaya akan sejarah Sawerigading, tetapi saat kami datang, tempat itu justru dijadikan tempat rapat dinas antara pemerintah daerah dengan pihak kedatuan, dan agaknya orang-orang di sekitar sana tidak benar-benar paham apa-apa yang saya dan Johan tanyakan.

Belum lagi mendapati kenyataan ke mana pun saya dan Johan pergi, terutama untuk mengulik kekayaan sejarah lokal Indonesia, orang-orang di wilayah itu justru tidak lebih tahu daripada kami. Internet bahkan bisa menyediakan jawaban yang lebih cerdas daripada orang-orang yang kami temui di daerah-daerah.

“Nah, bangunlah usaha toko buku dan kafemu dengan sungguh-sungguh. Lanjutkan kuliahmu, dan wujudkan impianmu yang sesungguhnya bila kamu sudah punya modal yang cukup,” lanjut Darsana. Ia lantas menaruh tangannya di atas tangan saya. Senyum yang saya berikan kepadanya hari itu barangkali sama seperti senyum yang saya berikan saat mengiyakan pernyataan cinta Johan bertahun-tahun lalu.



HUJAN berisik di atap rumah. Saya termanggu di kasur untuk mengenang debaran di dada yang saya rasakan saat berada di balik jas hujan Darsana. Sepanjang perjalanan, kami terlalu banyak membicarakan hal-hal menyenangkan. Sebelum pulang, ia mengecup dahi saya dan menyatakan perasaannya. Saya tak percaya ada seseorang yang bisa membuat saya semabuk ini. Sudah lama sekali rasanya hal seperti ini tidak pernah terjadi lagi.

Mungkin saya perlu berdiskusi dengan Ayah untuk mengambil keputusan. Saya memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ayah. Dua mug cokelat panas ada di pegangan saya. Pintunya tidak terkunci, ketukan saya yang agak keras membuat pintu terdorong dan membuka.

Sudah tidak ada lagi botol-botol bir di kamar Ayah. Kendati masih ada dua bungkus rokok di meja. Ayah hanya tidur dengan mengenakan celana dalam. Di sebelah ranjangnya ada beberapa foto polaroid Ayah dan Markus. Dari sana, tampak jelas siang tadi mereka berdua pergi ke Gembiraloka. Saya tertegun sekian detik, dan menyadari, Ayah sebelumnya tak pernah menampilkan tawa seceria yang saya lihat di dalam foto itu.

Tiba-tiba Ayah terbangun dan melihat saya berdiri di sebelah ranjangnya. Ia seketika menarik sarung yang melorot ke kakinya.

“Maaf, tapi tadi Ayah tak mengunci pintu,” ucap saya. “Begini, sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan.”

Darsana dulu pernah bilang dengan membagi cerita kepada orang lain, beban kita akan menjadi semakin ringan. Betapa pun tak ada yang mendengarkan cerita kita itu. Sejak saat itu, saya selalu memiliki beberapa teman mengobrol. Saya kembali menjalin pertemanan dengan teman-teman SMP dan SMA, dan menghadiri reuni-reuni teman-teman lama. Sejak saat itu hidup saya menjadi lebih ringan. Kini mungkin kehidupan saya akan menjadi lebih ringan lagi. Kini saya memiliki Ayah yang dapat saya bangunkan sewaktu-waktu setiap saya ingin bicara.

Di hadapan saya, Ayah menyesap cokelat panas untuk menghangatkan perut. Dahulu, berbotol-botol bir yang selalu dapat melakukannya. Padahal belum ada tiga hari Ayah mengenal Markus, tetapi hidupnya telah membaik sejak saat itu. Wajah Ayah terlihat hidup dan teduh.

Justru sayalah yang kalut bukan main. Saya berjalan mondar-mandir di hadapannya sembari memijit tangan.

“Ayah, bagaimana kalau Ayah mendapatkan menantu yang dua puluh tahun lebih muda dari saya?”

Meskipun dari pemikirannya, saya pikir pria itu menjelma jauh lebih dewasa dan lebih bijaksana daripada putrimu ini, tambah saya dalam hati.

Ayah seketika terbatuk-batuk dan hampir memuntahkan cokelat panasnya. Tatapannya terpaku pada wajah saya, dan secara tiba-tiba gelas tampak menggantung pada pegangannya.

“Sudah kepala empat, apa kamu yakin masih butuh menikah? Mungkin kamu bisa berteman saja dengan pria itu?” tanya Ayah sungguh-sungguh.

Saya tahu ke mana percakapan kami selanjutnya mengarah. Maka saya putuskan untuk meninggalkan Ayah di meja makan dan kembali ke kamar.



SAYA melihat Darsana berjalan pulang dengan langkah lemah. Pertiwi berhasil membohongi Darsana, mengatakan bahwa saya tidak ada di rumah. Beberapa minggu ini, saya terus-menerus menolak ajakan Darsana keluar makan. Ia bilang ada yang ingin ia bicarakan. Markus sudah berulang kali menegur. Ia bilang dari mata Darsana ia melihat kasih sayang yang tulus. Saya tidak mengacuhkan.

Ayah saya barangkali masih tidak menyadari siapa orang yang saya bicarakan malam itu. Saya pasrah. Ayah benar. Darsana masih teramat muda. Lagipula ia punya begitu banyak bakat seni. Ia pasti akan sangat mudah menemukan gadis seusianya yang dapat mencintainya. Dengan ketampanannya, ia seharusnya dapat menaklukkan siapa saja.

Sementara itu, apa yang Darsana akan lakukan bila menikah dengan perawan tua seperti saya? Barangkali selama ini ia hanya menyayangi Gandhi dan menaruh rasa kasihan kepada saya yang kesepian.

Kenyataannya, saya tidak begitu kesepian dengan keadaan saya saat ini. Pengunjung kafe masih membeludak datang setiap harinya. Murid-murid sekolah masih akan duduk di setiap pojok toko buku untuk membaca buku-buku dengan segel terbuka. Interaksi Markus, Ayah, dengan Pertiwi dan Kinanti dapat menjadi penghiburan setiap saya pulang dari bank setelah membayar utang.

Hanya satu hal yang menjadi kekhawatiran saya; kelakuan Gandhi yang berubah. Ia sepertinya kesal karena saya selalu menolak datang ke Sekolah Minggu. Sejak penolakan terakhir saya, ia mulai tidak mendengarkan perkataan saya.

Sudah seminggu ini Gandhi tidak pulang ke rumah. Ia bilang ia menginap di rumah temannya. Padahal Darsana bilang Gandhi menginap dengannya.

Pukul sembilan pagi tadi, wali kelasnya menelepon, menanyakan mengapa Gandhi tidak hadir di kelas. Sudah seminggu tanpa kabar, katanya.

Saya seketika beralasan Gandhi sedang menengok nenek dari pihak ayahnya ke Makassar. Yang terlintas di pikiran saya memang hanya tempat kelahiran Darsana, Makassar.

Markus dan Ayah menghentikan percakapan saat saya menghampiri mereka. Dan menggantinya dengan topik yang sepenuhnya berlainan.

“Kata ayahmu, kau pernah bicara soal pria yang dua puluh tahun lebih muda?” sambar Markus secara tiba-tiba.

Waduh, itu bukan sesuatu yang saya harapkan disebarkan ke setiap kenalan Ayah. Apa setelah ini saya bisa mempercayakan rahasia kepadanya?

“Jahat betul, kalau kau biarkan anakmu melepas orang yang mencintainya. Apalagi orang yang mencintainya dengan tulus,” tanpa menunggu jawaban saya, Markus kemudian mengarahkan permasalahan ke Ayah.

“Ya, tapi masak menikahi orang yang dua puluh tahun lebih muda? Kalau dia lelaki, bolehlah dia menikahi orang yang bahkan tiga puluh tahun lebih muda. Kenyataannya, dia hanya seorang perempuan,” Ayah menjawab.

“Kau selalu sembarangan begitu kalau bicara, ya?” Markus sudah tampak marah. “Kau ingat betapa kita berdua merasakan pahitnya ditinggal orang yang kita cintai. Kalau Nada tak mengajakmu kemari, kau bisa mati frustrasi, toh?” Markus melanjutkan ceramah.

“Tapi, itu berbeda, Markus ...” tukas Ayah.

“Apa, toh, bedanya? Coba pikirkan apa yang dirasakan lelaki yang mencintai Nada itu saat ditinggal Nada? Kau paham, kan, maksudku?”

“Anakku bisa mencari pria yang lebih sepadan usianya.”

Markus kemudian menatap ke arah saya. Tajam dan lama. “Sekarang kau tanyakan anakmu Nada ini, apa dia bisa cari pria yang lebih mencintai dia daripada si Darsana?”

Mungkin tidak, saya membatin.



NAMUN, apa yang harus saya lakukan? Apa mungkin Darsana masih akan menerima permintaan maaf saya?

Sebulan berlalu, saya akhirnya memberanikan diri untuk menemuinya. Namun ia tidak ada di rumahnya saat saya datang. Darsana menyewa seorang perawat untuk menjagai ibunya selama ia pergi. Saat saya mengontak telepon seluler Gandhi, ia sudah benar-benar menginap di rumah temannya. Sudah sejak bulan lalu ia tidak menginap di rumah Darsana. Darsana bahkan tidak berpamitan kepada saya dan Gandhi.

“Mungkin Mas Darsana baru kembali setahun atau dua tahun lagi, ia sekarang sedang melanjutkan kuliah magister ke Prancis,” ujar perawat itu.

“Lalu siapa yang akan mengurus Sekolah Minggu?” tanya saya. Bukan, seharusnya pertanyaannya bukan itu, saya membatin. Seharusnya pertanyaannya, ‘Lalu, apakah ia masih mencintai saya?’.

Saya cepat-cepat menambahkan, “Anak saya mengambil kelas melukis setiap hari Minggu.”

“Mas Darsana sudah minta teman kuliahnya untuk mengajar setiap minggu. Anak ISI Yogya juga, Mbak. Kalau ada pesan, mungkin bisa kirim email ke Mas Darsana? Ia meninggalkan alamat email ini untuk dikontak ...”

Perawat itu menyerahkan secarik kertas. Saya tahu saya tidak akan mengontak alamat email itu. Mungkin lebih romantis untuk menunggunya kembali dari Prancis, dan melihat apakah ia sudah menggandeng gadis lain. Bila ia melakukannya, berarti kami memang tidak berjodoh. Atau mungkin kepergiannya ini menandakan bahwa kami memang tidak berjodoh?

Saya sudah akan menyerah untuk selamanya dan berniat mulai melupakan Darsana, hingga kemudian di halaman parkir perawat itu menghampiri saya.

“Kalau saya boleh tahu, nama Mbak siapa?” tanya perawat itu.

“Denada. Darsana biasa memanggil saya Nada.”

Perawat itu tiba-tiba tampak sumringah. “Ooooh, Mbak Nada!” Dia seolah-olah menjeritkan nama saya. “Kalau Mbak Nada mah dititipi pesan khusus. Mas Darsana bilang, kalau sampai ada yang namanya Nada datang ke rumah, tolong minta dia untuk datang menjenguk Ibu setiap dia senggang. Mas Darsana titip Ibu ke Mbak Nada. Dan tenang, Mbak. Mbak Nada bisa datang kapan saja, saya tetap menjagai Ibu di sini.”

Saya lupa tipikal pria seperti Darsana akan menitipkan pesan semacam itu. Ada sesuatu yang membuncah di dada saya dan membuat air mata memenuhi pelupuk mata saya saat itu.



MARKUS hampir memusuhi Ayah seumur hidupnya saat saya bilang Darsana pergi ke Prancis untuk melanjutkan kuliah.

“Putri sendiri dipingit terus seperti burung dalam sangkar,” katanya. “Kamu benar-benar seperti tak pernah mendapatkan didikan bagaimana menjadi ayah yang baik. Bisa-bisanya kamu tak pakai otak setiap menasihati anak.”

Namun, Ayah tak membantah perkataan Markus. Ia menatap Markus seolah seperti saudara sejiwa. Dengan tatapan itu, ia seolah-olah tidak perlu menanggapi kemarahan Markus yang bertubi-tubi. Sama seperti bagaimana dulu Markus mengambilkan papan-papan ragam permainan, Ayah kini membawakan papan catur dan papan Monopoli ke meja. Tak lupa, ia memesan dua gelas besar susu stroberi dari Pertiwi dan mengambil semangkuk besar kudapan dari lemari es.

“Kamu tidak diberi kontak Darsana?” tanya Ayah saat Markus sudah lebih tenang dengan emosinya.

“Diberi, alamat email,” jawab saya.

“Nah, dengan begitu, pastikanlah kesetiaan lelaki itu dengan tidak mengontaknya sampai ia kembali,” Ayah menasihati.

“Kau benar-benar tidak waras, ya. Seharusnya kau suruh Nada kontak Darsana, suruh cepat pulang, sebelum Nada menopause. Nikahi Nada, hamili dia, lalu barulah kembali lagi ke Prancis.” Markus masih tampak ingin melanjutkan amarahnya.

“Apa dalam pernikahan harus selalu ada keturunan?” tanya saya dengan nada lirih.

Setengah dari diri saya merasa prihatin kepada setengah diri saya yang lain.

Tak ada dari mereka yang menjawab. Barangkali mereka menduga saya sudah mengalami menopause di usia empat puluh tiga. Saya memutuskan untuk menuruti perkataan Ayah. Menguji kesetiaan Darsana.



IBU Darsana akan selalu merindukan putranya. Ada satu stoples yang baru dengan tempelan label bertuliskan ‘Adrian Darsana’ pada tutup stoples. Ikan yang ditaruh dalam stoples berlabel Darsana itu lebih sering diajak bicara oleh ibu Darsana dibandingkan ikan-ikan yang lain.

Setiap saya datang, ibunya akan meninggalkan ikan-ikan itu dan mulai menceritakan apa pun tentang putranya kepada saya.

Sejak perawat itu menyampaikan pesan Darsana, saya datang menjenguk ibu Darsana hampir setiap hari. Membawakannya banyak makanan dari kafe dan membacakan untuknya buku-buku cerita berbahasa Inggris.

Sudah genap setahun saya dan Darsana tidak pernah saling berkontak. Setahun itu juga ibunya membongkar segala rahasia Darsana. Meski tidak berjumpa raga, mendengar cerita ibunya tentang pria itu, saya justru semakin mencintainya dari hari ke hari.

Hari ini, dengan hati-hati kami menuju sungai di belakang rumah.

“Ini hari ulang tahun Darsana,” ujar ibunya di sebelah saya.

“Apa yang akan Ibu lakukan?”

“Menuangkan ikan-ikan ini ke sungai.”

Saya menatapnya terheran-heran. “Tunggu, Ibu, kenapa harus mengembalikan semuanya ke sungai? Itu ikan-ikan kesayangan Ibu, kan?” cegah saya.

“Bukan, kini hanya Darsana yang Ibu sayangi,” jawabnya, “dan kamu.”

Saya tidak tahu perlakuan apa yang telah saya lakukan hingga membuat ibu Darsana membuka dirinya kepada saya. Namun, perasaan diterima oleh calon mertua ternyata semenyenangkan itu.

“Dulu Darsana sembunyi-sembunyi menangis setiap melihat Ibu bicara dengan ikan-ikan itu,” lanjut ibu Darsana. “Ibu tidak mau anak kesayangan Ibu itu menangis lagi saat nanti pulang dari Prancis.”

“Kenapa Ibu baru melakukannya sekarang?” protes saya.

“Karena sekarang sudah ada Nada yang menemani Ibu saat Ibu merasa kesepian,” jawabnya sembari menggenggam tangan saya. “Kamu tahu, Nak, seorang pria selalu mencari pasangan yang mirip dengan ibunya. Kamu sangat mirip dengan Ibu. Ia pasti sangat menyukaimu. Karena itu, tolonglah, jangan tinggalkan Darsana.”



SAYA tak mempercayai telinga saya saat Darsana masih mengontak saya setelah kembali dari Prancis.

“Kamu bisa bicara bahasa Prancis?” tanyanya kepada saya.

“Tidak sama sekali, kecuali au revoir dan je t’aime. Bagaimana kabarmu? Apa kamu akan pergi ke Prancis lagi? Saya tidak bisa datang menemui ibumu seminggu ini. Banyak hal yang harus saya bereskan di toko buku. Menambah rak, memesan lebih banyak buku, melabeli, merekrut karyawan, ...”

“Tolong ucapkan lagi.” Tiba-tiba ia menukas.

“Ucapkan apa?”

Je t’aime?”

“Saya tak akan mengucapkannya kepada lelaki yang mungkin sudah memiliki kekasih di Prancis sana.”

Ia tampak gembira mendengar sindiran saya.

“Kamu sendiri, sudah punya kekasih baru? Padahal tadi aku hanya mau pamer bahasa Prancis. Omong-omong, kamu membuat toko bukumu menjadi lebih besar lagi?” Ia memberondong saya dengan pertanyaan.

“Saya ingin mewujudkan impian lebih cepat. Ada ide tentang biro sastra nusantara di sini. Saya membuat rak-rak buku berisi terjemahan saya sendiri atas karya-karya sastra lama nusantara. Dan lebih banyak karya sastra lokal yang berkualitas.”

Di seberang, Darsana tertawa hampir semenit.

“Saya tutup teleponnya, ya, kalau dari tadi niatmu menelepon memang hanya ingin menertawakan saya?”

Ia masih tertawa, sampai lantas pertanyaannya menusuk hingga ulu hati saya, “Tapi siapa yang akan membaca buku-buku semacam itu?”

Saya familiar dengan pertanyaan pesimistis itu. Semua orang sudah menyerah dengan sedikit demi sediki sastra lokal yang menghilang dari peredaran. “Kamu. Jadilah orang pertama yang membacanya. Kalau kamu sempat, mampirlah. Sudah ya, saya sibuk.”

“Nada, Nada, Nada, iya aku mampir nanti, tapi tunggu, jangan tutup teleponnya.”

“Ada lagi yang ingin kamu bicarakan?”

“Um, terima kasih karena telah menjaga Ibu selama dua tahun ini. Itu adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh kekasih saya. Sayangnya, kamu tahu, kan, mana ada yang bisa suka dengan pria seperti saya.” Ia membarengi perkataannya dengan tawa.

“Sama-sama. Saya sangat menyukai ibumu. Sudah, ya?”

“Nada, um, begini. Apa besok kamu bisa meluangkan waktu untuk bertemu?”

“Mungkin.”

“Oke. Nanti ku-SMS tempat dan waktunya. Baiklah, kamu boleh tutup teleponnya sekarang.”



TAMPAK dari sebuah jendela restoran, bulan purnama jatuh ke arah perumahan. Meja nomor 8 di hadapan saya telah kosong. Cangkir-cangkir berisi ampas kopi telah diambil kembali oleh pramusaji. Arloji saya mengabarkan restoran kira-kira akan tutup tiga puluh menit lagi, bersamaan dengan jam tutup mal.

Pesan-pesan singkat saya tidak berbalas. Darsana tidak mengabarkan apa pun bahkan setelah dua jam saya menunggu. Puluhan kali saya mencoba menghubungi nomor telepon selulernya. Hanya nada tunggu yang menyahut. Padahal Darsana yang membuat janji bertemu pukul delapan malam di restoran ini.

Baru saja saya hendak memesan cangkir kopi terakhir, Darsana tiba-tiba muncul dari kejauhan dan tampak berjalan, seolah-olah berlari, ke arah saya. “Hei,” demikian saja ia berujar kepada saya sembari menaruh tas di sofa. Saya termenung sekian menit. Sepulang dari Prancis, ia banyak berubah. Ia bertambah tampan dan pakaiannya jadi terlihat necis, padahal ia seniman.

“Bukan, ini bukan karena terpengaruh gaya berpakaian orang Prancis,” ujarnya.

Seperti biasanya, ia seolah-olah bisa membaca pikiran saya.

“Saya beli minum dulu,” ujar saya, bangkit berdiri.

“Es krim untukku satu, ya,” sahutnya.

Saya menyipitkan mata. “Malam-malam, kamu minta es krim?”

Darsana hanya tersenyum dan mendorong tubuh saya, “Es krim selalu menjadi favoritku, tak peduli waktu. Ayolah, sebelum tempat ini tutup. Semangkuk besar yoghurt juga tak masalah. Dan mungkin seloyang piza?”

Selama menunggu dibuatkan es krim, saya memandang Darsana lekat-lekat di kursinya. Ia bahkan tidak melihat ke arah saya, dan ia justru sibuk membaca buku tebal. Pikir saya, kini ia sudah bergelar magister, entah kenapa kini bayangan saya tentangnya adalah seorang seniman yang intelektual.

“Ini,” ujar saya sambil menyerahkan es krim kepadanya, lantas merapikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas, “ayo kita pulang. Saya mau tidur. Saya lelah.”

“Nada, saya berpakaian begini karena hari ini spesial, kenapa cepat-cepat pulang?” ujarnya dari tempat ia duduk.

“Kalau spesial, kenapa minta bertemu di mal?” Saya tersenyum sambil mengenakan jaket.

“Kamu tak jadi pesan minuman?” Darsana mengikuti langkah saya. “Ayolah, aku masih ingin banyak bicara.”

Di depan Plaza Ambarrukmo, saya bergegas menyetop taksi. Namun, Darsana menghentikan langkah saya.

“Hei, Nada, aku bawa motor, kamu bisa membonceng di belakang.”

Ia menarik tangan saya mengikutinya menuju tempat parkir.

“Kamu bahkan tak minta maaf karena datang terlambat?” tanya saya ketika sudah membonceng dengannya. Gerimis berubah menjadi hujan lebat, tetapi saya melarang ia menghentikan motornya.

“Kenapa kamu menjadi seperti anak kecil begini? Apa yang tiba-tiba merisaukanmu?” Darsana justru balik bertanya.

Saya tak menyahutinya dan kami tidak bicara sepanjang perjalanan.

Saya segera turun dari motor dan meninggalkannya tanpa berkata apa pun. Di depan pintu rumah, saya memasukkan kunci, terpaku sejenak, tetapi sekejap kemudian dengan segera saya berbalik. Di bawah hujan, Darsana masih membeku di pintu gerbang. Ia sudah memarkirkan motor di sebelah rumah saya. Saya berjalan ke arahnya. Saya meraih pergelangan tangannya dan menarik Darsana masuk ke dalam rumah.

Gandhi begitu gembira mendapati kedatangan Darsana. Ia menghambur begitu saja ke pelukan paman kesayangannya itu. Ia lantas mengambilkan handuk dan menyuruh pria itu mandi. Saya meninggalkan mereka bercengkerama di ruang tengah. Terdengar seperti mereka menyalakan televisi dan ada percakapan tiga, atau bahkan empat orang. Siapa lagi yang datang malam-malam begini?

Saya tidak bisa berlaku marah lebih lama lagi. Setelah mandi dan mengganti pakaian, saya menuju dapur dan memasak karena merasa lapar. Di ruang tengah sudah ada Markus, Ayah, dan Gandhi, yang mengerubungi Darsana bak melihat Sinterklas yang datang dengan sekarung hadiah.

Darsana menghampiri saya sewaktu saya menaruh piring-piring makanan di meja makan. “Nada, aku terlambat karena aku menunggu ini beres dikerjakan.”

Kotak kecil diletakkannya bersebelahan dengan piring-piring makanan yang baru saya sajikan. Saya menghela napas dan menyeka keringat di dahi.

“Itu cincin, Nada. Aku sedang melamarmu.”

Malam itu juga saya mengusirnya. Cincin yang ia berikan langsung saya buang ke tempat sampah di dapur. Ia pergi tanpa tedeng aling-aling, di tengah hujan badai. Saya meninggalkan masakan di dapur, melewati Gandhi, Markus, dan Ayah yang terbengong-bengong di ruang tengah rumah dan masuk ke kamar. Ketika saya menggebrak pintu, mereka langsung mematikan televisi.

Mengapa bisa ada lelaki sebodoh kamu, Darsana?

Darsana bisa saja mencari gadis lain di Prancis. Atau menikahi salah satu pemujanya di sekitar rumahnya. Namun, mengapa pria itu memilih saya?



INGATAN saya melayang pada Johan dan masa lalu yang saya lewatkan dalam kesendirian.

Saya tidak tahu apakah saya begitu bodohnya sampai-sampai mengiyakan lamaran pernikahan dari pria yang sepantasnya menjadi anak saya.

Saat melihat senyum Darsana yang menyambut saya di altar, mengikrarkan bahwa kami akan saling mencintai selamanya, dalam suka maupun duka, dan sehidup semati, semua keraguan itu seketika tertepiskan begitu saja.

Namun, saya tidak tahu bagaimana harus bercinta dengannya. saya bilang saya perlu menyendiri malam itu. Saya duduk di tepi ranjang. Meratapi kulit tubuh saya yang sudah keriput dan payudara saya yang tak elok dipandang. Merasa benci terlalu lama melihat tubuh sendiri, saya kemudian hanya bisa memandangi kursi, meja, lemari baju, deretan lemari buku, sofa, akuarium, dan sebuah telepon bergagang kuning di dinding kamar Darsana. Memandangi setiap detailnya. Memandangi kamar berulang-ulang.

Saya meminta Darsana untuk tidur di sofa ruang tamu. Sementara itu, di kamar Darsana, saya meneguk habis botol vodka yang saya beli dari swalayan 24 jam. Sudah botol ketiga dan hati saya masih merajuk tentang akal sehat.

Mengapa bisa-bisanya saya menghancurkan masa depan Darsana? Saya tahu Darsana yang berulang-ulang menegaskan bahwa ia sungguh-sungguh ingin menikahi saya.

Saya menjalani prosesi pernikahan dengan sebaik-baiknya, tetapi saya sungguh tak tahu di mana saya pernah meletakkan hati saya. Pagi tadi, saya mencari-carinya di mata Darsana, tetapi saya tak berhasil menemukannya.

Untuk apa lagi Darsana meniduri saya bila persanggamaan kami tidak akan memberikannya keturunan? Gandhi bukan darah daging saya, juga bukan darah daging Darsana, tetapi ia sangat mencintai bocah kecil itu. Seperti halnya putranya sendiri.

“Nada,” Darsana akhirnya mengetuk pintu. “Kita mungkin bisa bicara?” tanyanya lembut.

“Belum,” jawab saya. “Saya tidak bisa berpikir waras sekarang.”

Hingga pagi, ia tidak mengetuk lagi. Selama itu, saya juga tidak kunjung bisa tertidur. Kerja saya hanya melihat gambar dalam buku-buku sketsa Darsana yang ditaruhnya di laci meja baca. Dan membaca habis buku harian pria itu.



PADA pagi keesokan harinya, saya bilang dalam kertas memo, saya akan pergi keluar kota untuk sementara waktu. Saya meninggalkan kertas itu di atas meja baca Darsana, tepat di sebelah tumpukan buku harian dan buku sketsanya.

Tanpa menunggu Darsana pulang ke rumah, saya meninggalkan Yogyakarta.

Saya ingin pergi ke tempat yang tanpa sinyal, tanpa listrik, tanpa internet, tanpa orang-orang yang saya kenal, dan tanpa rutinitas. Dulu sewaktu saya dan Johan mengelilingi Sulawesi Selatan, kami pernah berniat menyeberang ke Sulawesi Utara, ke Manado, untuk kemudian menyambangi Pulau Buru. Johan selalu menjadi pengagum setia Pramoedya Ananta Toer. Ia menamatkan Bumi Manusia bahkan ketika tetralogi novel itu masih dilarang terbit oleh rezim Suharto. Mungkin saya selamanya akan mencintai Johan. Kendati seringkali saya menemukan dirinya ada di diri Darsana, ia sepertinya tak akan mungkin tergantikan. Mungkin ke sanalah, ke tempat yang batal kami kunjungi itu, saya sekarang berniat pergi.

Namun, di tengah perjalanan, saya memutuskan tidak jadi menuju tempat yang saya dambakan. Mungkin saya akan menunda keberangkatan selama satu-dua hari karena belum benar-benar memahami rute tujuan.

Saya justru berakhir menginap di perumahan warga setempat yang sudah saya kenal baik. Setelah mengaktifkan kembali telepon seluler, bertubi-tubi belasan SMS masuk. Semuanya dari Darsana, Markus, dan Gandhi. Saya tak membalas satu pun di antaranya.

Sembari memeluk lutut di ruang tengah, saya menunggu ibu-ibu setempat memasak jamuan ikan. Mereka menangkapnya langsung dari Danau Tempe. Sebenarnya saya agak segan menginap di daerah Sengkang, di sana laki-laki lebih banyak berkuasa daripada perempuan. Para istri mungkin terlihat galak di depan orang banyak, tetapi bagaimanapun mereka tidak akan berani menentang suaminya, bahkan sewaktu suaminya yang berlaku salah. Dan itu benar-benar terlihat jelas tanpa ditutup-tutupi.

Beberapa tahun lalu, saat saya dan Johan melakukan penelitian etnografi ke tempat itu, saya menjadi satu-satunya perempuan di tengah para lelaki pembesar di desa yang menikmati jamuan makan. Sama seperti saat itu, kini saya menjadi satu-satunya perempuan. Sebagian besar laki-laki di sini memiliki lebih dari satu istri. Di tempat saya menginap, tuan rumahnya bahkan beristrikan lima perempuan dengan rentang umur yang kontras.

Istri-istri mereka akan akur saja menggerombol di dekat dapur dan makan di sana. Hal itu terkadang membuat saya tak enak hati dan hendak memuntahkan apa yang saya makan.

“Jadi kamu sudah menikah?” salah seorang istri tuan rumah bertanya.

Saya baru bisa menceritakannya setelah keesokan paginya kami berkesempatan mengaso di ruang televisi. Saya bahkan tak diizinkan menemani para istri-istri itu memasak di dapur. Tamu adalah raja, begitulah pepatah mereka, walau tamu itu perempuan.

“Dengan orang yang dua puluh tahun lebih muda?” istrinya yang lain melanjutkan.

“Iya, begitulah,” kemudian saya hanya menegaskan.

“Itu luar biasa. Pria itu pasti sangat mencintaimu.” Istri-istri itu lantas memeluk saya bebarengan. Namun, perkataan selanjutnya membuat saya terhenyak, “Tapi kalau itu membuatmu khawatir, mengapa kamu tak mencari pria yang seusia saja?”

Pertanyaan salah satu dari mereka disahuti oleh salah satu dari mereka juga, “Kalau jodoh sudah digariskan, bagaimana bisa kita memilih?”

Mereka kontan tertawa cekikikan, seperti yang biasa dilakukan Pertiwi dan Kinanti. Saya tiba-tiba saja merindukan mereka, karena ketika mengingat mereka, Markus yang jenaka ikut muncul di benak saya.

“Tapi kamu justru lari kemari tanpa mengajak suamimu?” Setelah berhenti tertawa, mereka kembali memberondong saya dengan pertanyaan.

Saya mengangguk.

Mereka mendesah dan menggelengkan kepala kuat-kuat. “Bukankah kamu bilang kalian sudah mengikrarkan janji itu? Sehidup semati, selamanya, dan dalam suka maupun duka? Mengapa kamu pergi tanpa bilang-bilang?”

Saat itu saya tiba-tiba mengingat kesungguhan Darsana berdiri di samping saya, menggenggam erat tangan saya, hingga kemudian bibirnya memagut bibir saya. Apakah karena para perempuan di daerah ini lebih biasa patuh dan mencintai suaminya dengan apa adanya, sehingga mereka tak perlu mempertanyakan lagi kesungguhan suami mereka? Bahkan sekalipun mereka diduakan, bahkan diempatkan?

Mereka menanggapi segalanya jauh lebih dewasa daripada saya.



HARI itu juga saya memesan mobil kembali ke Makassar dan membayar setengah juta untuk perjalanan tujuh jam Sengkang-Makassar. Di tengah perjalanan, saya memesan tiket pesawat kembali ke Yogyakarta.

Darsana masih begitu khawatir dan menelepon saya berkali-kali selama perjalanan menuju bandara.

Saya tak menerima teleponnya, saya akan membuatnya terkejut dengan kehadiran saya yang begitu tiba-tiba malam ini. Saya hanya mengabari Markus, memintanya menjaga Darsana dan Ayah agar mereka tidak seberapa khawatir. Saya tahu lelucon Markus akan bekerja banyak kali ini.

Saat saya datang, Darsana sudah lelap di tempat tidur. Basah akan keringat di sekujur badan, saya tidak melepas pakaian dan sepatu, dan langsung meloncat ke kasur, memeluk suami saya itu dari balik punggungnya.

Ia tiba-tiba terbangun. Saya suka mendengar suara seraknya saat menyambut saya, “Kamu pulang secepat ini.”

“Iya, saya pulang. Saya buru-buru kemari. Saya pikir kamu tidak akan bisa tidur,” goda saya.

Apa yang terpancar di matanya sebelum ia menjawab pertanyaan saya membuat saya seketika tersenyum. Diam-diam saya sudah mencintainya sebegini dalam.

“Semua orang memaksaku tidur,” jawabnya sembari mengangkat tubuhnya untuk duduk.

“Kalau semua orang memaksa kamu menceraikan saya, apa kamu akan dengar apa yang mereka bilang?”

Ia menghela napas. “Nada, bukan untuk yang satu itu. Kalau aku tidak tidur, aku akan kalut luar biasa. Aku mondar-mandir seharian, aku minum bergelas-gelas kopi untuk bisa terjaga. Aku menelepon dan mengirimimu SMS berkali-kali. Aku hampir ke kantor polisi untuk melaporkan aku kehilangan mempelai perempuanku sehari setelah kami menikah. Kalau aku tidak memejamkan mata dalam keadaan itu, aku bisa meledak.”

Saya menarik tubuh dan duduk di sisinya, merebahkan kepala pada bahunya. “Kamu tidak pernah bilang kepada saya, perempuan seperti apa yang kamu sukai. Misalnya, perempuan langsing, berambut ikal, atau beretina cokelat? Setidaknya, beri tahu apa yang kamu sukai dari saya.”

Saya membuka kancing baju saya dan kemudian melepaskan sepenuhnya kemeja dan jaket saya di hadapan Darsana. “Payudara saya tidak menarik lagi, ya?” lanjut saya.

“Tidakkah kamu pikir jiwa terpenjara di dalam tubuh? Aku tidak mengerti dengan dunia ini. Bila aku menikahi orang yang jauh lebih muda, aku bisa dikatai paedofil. Sewaktu aku menikahi orang yang jauh lebih tua, aku disebut mengidap oedipus complex. Mengapa memangnya aku harus menikahi orang yang seusia? Bagaimana kalau aku tidak mencintainya?”

Saya tertawa dan mengusap kencang rambut Darsana yang berantakan dan mulai melepaskan pakaiannya. Saya lantas memeluk tubuh Darsana, dada kami saling menempel tanpa dibatasi sehelai benang. “Saya ingin mendengarmu dan kamu mendengar saya tanpa kita perlu berkata-kata. Kita bahkan tidak perlu berbisik.”

Debaran jantung kami berpadu. Debaran itu yang menemani suami saya sejak ia dalam rahim ibunya hingga kini ia memeluk saya erat. Mungkinkah debaran itu akan mampu bercerita lebih banyak daripada buku harian Darsana yang saya baca tempo hari atau cerita mertua saya tentang putranya?


KAFE masih beroperasi mulai pukul enam pagi. Namun, kafe tidak bisa tutup sekehendak hati lagi, ia sudah pasti akan saya tutup paling lambat pukul sepuluh petang. Pertiwi dan Kinanti sebenarnya bisa saja menjaga hingga larut dan melembur di kafe, tetapi saya tidak enak hati.

Kini mereka berdua tinggal di rumah saya, mengayomi Ayah dan Markus yang bertingkah kekanakan sepanjang waktu. Mereka masih akan saling memukul kepala satu sama lain manasuka, mencelotehi dan berdebat sepanjang hari. Belakangan waktu ini, mereka lebih sering bertengkar setiap menonton pertandingan pacuan kuda di televisi.

Gandhi ikut pindah bersama saya ke rumah Darsana, dan semakin hari semakin jelas ia lebih suka bermain dengan neneknya. Gandhi gemar memamerkan bakat di depan neneknya. Setiap saat bersama, ia menggambar sketsa wajah neneknya dan memainkan gitar yang dipelajarinya dari Darsana.

Saya akhirnya menceritakan yang sebenarnya kepada Gandhi saat perayaan ulang tahunnya yang kesebelas. Ia tidak lagi menerima kiriman hadiah dari ayah palsu-nya di luar negeri. Darsana yang kemudian memberikannya hadiah ulang tahun hari itu. Ia memberikan putranya itu kadal dan ular mainan. Saya terpingkal-pingkal melihat respons Gandhi saat membuka kotak hadiah. Sementara itu, Darsana hanya tidur di rumah setiap Sabtu dan Minggu, dari hari Senin hingga Jumat ia tidur di kamar kontrakan dekat wilayah Parangtritis. Ia menjadi dosen di ISI Yogyakarta.

Namun sewaktu-waktu Darsana akan pulang untuk menjenguk kami bertiga. Saya sering jengkel dan berkata ia sebetulnya tidak perlu mengontrak rumah kalau memang berniat untuk mampir hampir setiap hari. Ia tidak pernah menganggap serius kemarahan saya. Ia akan tertawa saja dan segera mengajak Gandhi keluar rumah. Mereka melancong ke mana pun yang Gandhi inginkan. Tanpa saya. Saya baru mengerti kedekatan seorang anak laki-laki dengan ayahnya dengan melihat mereka. Mereka akan selalu membawa buku sketsa dan cat air, atau umpan dan tali pancing, dan selalu berkomplot bertingkah jahil di depan saya.

Sepanjang waktu kedatangan Darsana, ia juga rutin menanyakan apakah hasil tes kehamilan saya positif. Di usia saya yang keempat puluh lima, suami saya itu masih menaruh harapan besar agar saya bisa hamil. Saya tak menyangka keajaiban itu datang di hidup saya. Lima bulan setelah pernikahan kami, saya akhirnya hamil.

Rasanya menakjubkan ketika ada sesuatu yang menendang-nendang di perut saya. Dengan Gandhi yang kerap mengusap-usap perut ibunya sebelum berangkat sekolah.

Darsana masih tinggal terpisah dengan kami, tetapi hampir tiap hari ia membawakan makanan yang saya idamkan. Setiap kali datang, ia selalu menempelkan kepalanya di perut saya. Suatu saat, saya minta ia mengucapkan sesuatu kepada anaknya di dalam kandungan saya.

Namun ia justru mengecup perut saya dan mengambil perkataan saya beberapa waktu lalu, “Kita bahkan tidak perlu berbisik. Kasih sayang yang sejati tidak perlu diucapkan, bukan, Bunda?”

Saya menonjok pelan bahunya. Dan Darsana hanya tertawa riang seperti halnya ia masih kanak-kanak, berlari menghindari saya, kemudian mengajak Gandhi untuk piknik ke luar rumah.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu