2021/11/17

Teratai Merah Isan

 
 
Cerita pendek ini juga dimuat di Bacapetra.co


Di siang yang terik itu, Paman Hansa pulang bersama Kalaya dan Phichai dengan membawa bahan dan racikan bumbu untuk membuat som tam. Saat mereka datang, Ibu masih mengurai serat-serat teratai di teras rumah. Baru pagi tadi lagi-lagi aku mendengar Ayah mengeluhkan kepada Ibu soal panen teratai yang hampir gagal karena hama siput. Awalnya siput-siput itu dibudidayakan untuk diekspor ke Eropa dan menjadi makanan, tapi lambat laun justru berkembang menjadi hama.

Pada tahun-tahun di masa silam, kain-kain sutra terbaik memang lebih banyak diimpor oleh orang-orang di negeri ini dari Suzhou. Kualitas kepompong dan teknik pengolahan kain sutra mereka jadi alasan pemerintah mengimpor. Pada kenyataannya, kami tahu itu hanya gara-gara harganya murah saja. Karena itu, kami tak gentar bersaing. Produksi sutra dari teratai kami pikir bisa diteruskan, karena kami bersaing dengan memproduksi sutra organik dan dengan pewarna alami. Begitulah kemudian orang-orang di desaku terus berusaha untuk memperbaiki kualitas. Teratai dibudidayakan dan dirawat dengan lebih telaten. Untuk pewarnaan kain, Ayah memasok nila, kayu nangka, akar jinten, lumut, buah beri, dan kulit pohon kunyit yang memberikan warna kuning khas dan menjadikan kain produksi kami tak dipandang remeh. Kini, Ayah hanya tinggal berurusan dengan bagaimana caranya mengatasi hama-hama itu.

Satu demi satu lagu Carabao terlantun di udara saat Paman Hansa melepas helai demi helai pakaian yang dikenakannya. Dapat kulihat beberapa bekas luka di punggungnya yang telah lama mengering. Entah apakah Kalaya sempat melihat beberapa luka yang telah lama mengering itu, tapi dengan tangkasnya adik perempuanku itu segera membawa tumpukan baju kotor dengan baskom untuk dicuci di belakang rumah.

Sementara melihat mereka membersihkan diri, aku masih terpekur di ayunan rumah kami, menikmati kesendirianku dengan buku bacaanku, karya Jit Phumisak pemberian Paman Hansa beberapa pekan lalu. Phichai, adik lelakiku, tak lama kemudian ikut duduk di ayunan di hadapanku. Dia menyerahkan sepiring som tam ke arahku. Kutaruh buku di pangkuan dan lantas menyuapi sesendok untuknya.

“Enak? Bagaimana perjalanan kalian sepekan ini?” tanyaku.

Paman Hansa adalah seorang petualang. Usianya sudah 60 tahun sekarang, dan sejak kami kecil masing-masing dari kami sudah menemani Paman untuk melakoni berbagai pekerjaan serabutan mengelilingi negeri.

Dari menumpang van dan pikap atau bus yang lewat untuk menjual rajutan sutra ibu di Pasar Phahurat, berdagang bunga di Sang Khom yang hanya bakal laku keras pada hari-hari Festival Loi Krathong, hingga menjadi pemandu wisata bagi farang di pasar malam Patpong. Atau, sekadar iseng pasang judi togel tiap minggu kedua dan keempat di Rayong atau Nakhon Ratchasima.

Dari cerita Phichai, aku jadi tahu Paman Hansa sempat menghajar sampai babak belur seorang penipu di Patpong. “Oh, ya?” tanyaku terbahak.

“Ya, dan kita tahu Paman punya lebih banyak teman preman setempat. Tentu dia yang menang.”

“Seru sekali, bertemu banyak chao-poh,” komentarku. “Seandainya aku ikut.”

“Kakak sudah siap untuk ujian?” tanya Phichai.

Aku mengangguk, dan Phichai memberikan senyumnya yang begitu lebar.

Pekan depan, aku yang akan pergi ke Bangkok dengan Paman Hansa, tapi tidak seperti biasanya, kali ini untuk mengikuti ujian masuk Universitas Thammasat. Sementara aku ikut ujian, Paman sudah merencanakan dia akan menjual jimat (phra khrueang) atau membacakan rasi bintang (jyotisha) para pengunjung di pasar dekat kampus Tha Phra Chan. Dia selalu tahu apa yang bisa dijual dan bagaimana cara membawa uang pulang ke rumah, atau sekadar mengganti ongkos perjalanan kami pulang-pergi Bangkok.

Sebetulnya aku tidak merasa cukup pintar untuk perlu melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, Paman Hansa memaksaku karena kebetulan beberapa bulan lalu dia menang judi togel. Ia menukar simbol yang ia lihat dalam mimpinya dengan satu tiket lotere pemerintah seharga 40 baht, dan aku masih ingat wajahnya yang sumringah saat memenangkan hadiah lotere 100.000 baht itu. Saat itu, ia langsung yakin ia harus menggunakan hadiah itu untuk membiayai kuliahku.

Maka, begitulah, kini aku diwarisinya buku-buku Jit Phumisak yang selama ini disimpannya rapat-rapat di dalam lemari. Paman ingin aku mengenal tiga generasi gerakan radikal di negeri ini. “Dan kita harus bangga orang kita pernah turun ke jalan menjadi Kaus Merah,” ujarnya saat memberikan buku itu kepadaku, Wajah Sejati Feodalisme Thailand.

Sebagian besar generasi pertama radikal ini adalah komunis Tiongkok-Thailand yang punya hubungan dekat dengan Partai Komunis di Tiongkok dan Vietnam sebelum dan selama Perang Dunia II. Beberapa dari mereka ikut mendirikan Partai Komunis Siam pada 1930, yang kemudian menjadi Partai Komunis Thailand pada 1952. Jit, idola Paman Hansa, lahir tahun 1930. Generasi kedua adalah kalangan intelektual urban yang menyebarkan sosialisme ke seantero negeri. Dan generasi ketiga terdiri dari para aktivis mahasiswa yang menentang rezim militer Thanom Kittikachorn dan terlibat baku hantam dengan pasukan paramiliter dalam kerusuhan Oktober 1976, lantas masuk ke hutan dan menjalankan gerakan klandestin.

Paman Hansa adalah salah seorang aktivis dari generasi ketiga, ikut dalam gelombang kerusuhan itu, dan masih menyimpan banyak bacaan radikalnya semasa di kampus Thammasat dulu. Kekasihnya sejak masa sekolah menjadi korban yang tewas dalam kerusuhan dan Paman Hansa karena demikian mencintainya lantas memutuskan hidup selibat.

Kisah hidup Paman Hansa berbeda dengan banyak temannya yang dituduh komunis dan kini menjadi biksu Buddhis. Salah seorang temannya yang biksu, selain membantu pembangunan desa, malah dengan berani berurusan dengan chao poh setempat di Dataran Tinggi Korat. Sementara Paman Hansa memilih hidup biasa-biasa saja mengurus para keponakannya.

Tulisan Terdahulu