2009/12/06
Kisah Bocah Tunadaksa
2009/11/04
Saat Itu yang Terjadi
2009/09/23
22 Jam
[1]
DINI HARI pada saat aku sedang kehilangan ide untuk kutulis, televisi yang masih menyala tiba-tiba menampakkan bintik-bintik semut di layar, kemudian gambar hilang sama sekali, dan televisi padam. Layar monitor di hadapanku juga padam. Suara musik Tchaikovsky yang sejak tadi kuputar untuk menemaniku menjemput inspirasi mengabur menyatu udara, senyap.
Di luar, kulihat dari jendela, hujan sudah lebat sekali padahal sejam lalu masih gerimis kecil-kecil. Udara dingin menusuk-nusuk padahal aku sedang berada di dalam rumah. Kuperhatikan dengan saksama, bongkahan-bongkahan es jatuh dari langit, membentur jalan aspal di depan rumahku dan atap-atap rumah tetanggaku, BRUK, membentur juga rumahku. Jika bisa bicara, jalan-jalan dan rumah-rumah mungkin akan bilang, mereka merasa kesakitan saat itu.
Kemudian semuanya tiba-tiba gelap. Tak ada celah cahaya, setitik pun. Wanita-wanita yang masih terjaga dari tidurnya dari rumah-rumah sebelah rumahku berteriak histeris menyambutnya. Aku hendak bergegas naik ke kamar istriku untuk membangunkannya yang sedang tertidur pulas bersama Alia dan Jala ketika kudapati suara jejak kaki terburu-buru menuruni tangga.
“Indra? Kamu di sana?” suara istriku, Alea, datang dari arah tangga. Aku hafal betul arah mata angin di rumahku meski tanpa penerangan sekali pun, aku sudah tinggal di sini hampir sepuluh tahun, “Mengapa bisa tak ada cahaya, Yah?”
Dia berjalan tergesa ke arah rak perlengkapan di dapur. Suara gesekan korek dinyalakan, tapi tidak ada api yang menyala. Hingga akhirnya tak satu pun lilin mampu dia nyalakan.
Alia dan Jala berlari ke arahku ketika kupanggil mereka. Masing-masing mereka memelukku erat, gemetar. Aku berharap mereka menanyakan sesuatu tetapi mereka tak bertanya, atau mungkin aku yang tak mampu mendengarnya karena sejak tadi Alia dan Jala menarik-narik lengan kemeja panjangku seolah berusaha meyakinkan aku mampu mendengar suara mereka. Aku pun ternyata tak mampu bersuara. Meski aku berteriak, suaraku tak terdengar sama sekali. Cahaya yang tersedot dan gelombang bunyi yang hilang.
Kami tidak mungkin keluar rumah untuk bertemu para tetangga, batu es dari langit bisa menghantam kepala kami kapan saja. Seketika itu juga aku sadari, hari itu hari pertama kami bisa merayakan ketiadaan presiden, listrik, dan internet di hidup kami.
[2]
SUARA muncul kembali. Batu-batu es yang membentur atap. Kemudian suara hujan. Kemudian suara tetangga yang berteriak-teriak.
Lantai yang kupijak bergetar. Rak-rak di dapur yang membuka menjatuhkan piring-piring, gelas, dan peralatan kecil-kecil kesayangan istriku. Telingaku tiba-tiba peka dan percaya akan ada sesuatu terjun dari atas kepala kami, kutarik Alia dan Jala, lampu hias membentur lantai dan pecahannya menusuk kulitku. Alia dan Jala berteriak. Pecahannya juga mengenai mereka.
Kemudian, suara orang-orang menggedor rumah kami. Suara orang-orang berteriak di jalan. Perintah agar kami turut turun ke jalan, agar kami keluar sebelum rumah kami yang berpondasi dari beton sekali pun rubuh dan menanam kami hidup-hidup.
Aku berteriak kepada Alea yang naik ke kamarnya untuk mengambil barang-barang pentingnya agar cepat turun. Orang yang menggedor-gedor rumahku meneriakkan bahwa tak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk kami, kemudian mereka pergi entah ke mana. Tak ada suara kendaraan apa pun, berarti mereka semua berjalan kaki atau berlari untuk menyelamatkan diri.
“Tangkap!” Alea dari arah tangga melempar tiga mantel ke arahku, sayangnya bukan mantel baja. Aku berpikir tidak mungkin untuk masuk ke dalam lemari dan membuat dua lubang di bawah lemari dan berjalan menenteng lemari ke sana kemari agar tak mati ketika kepalaku dibentur oleh bongkahan es, tidak mungkin juga mengendarai mobilku karena tetangga-tetanggaku sepertinya tak menggunakan mobil mereka.
“Alea, bergegaslah.”
Dia turun dengan tergesa, napasnya yang terengah masih bisa kudengar kerika dia berhadapan denganku. Namun hari itu aku tak bisa melihat wajahnya yang selalu memerah berkeringat pada saat kelelahan.
“Kau gendonglah Alia, Lea. Aku bawa Jala bersamaku.”
Hap. Dia baru saja menggendong Alia bersamanya. Kugenggam tangannya dan kami berjalan keluar rumah.
Benar-benar gelap, langkah-langkah begitu pelan, langkah-langkah tanpa arah tujuan tanpa bantuan indera penglihatan. Kupeluk Jala seerat-eratnya, kugenggam tangan Alea sekuat mungkin.
“Ini yang namanya kiamat ya, Yah?” tanya Jala kepadaku.
Kudiamkan saja, itu kali pertama dalam hidupku aku berusaha meyakinkan diriku agar tak perlu menjawab pertanyaannya dengan apa yang ada di dalam kepalaku.
[3]
“MAU ke mana kita?”
Itu pertanyaan yang sejak tadi kudengar dari orang-orang yang berjalan di sekelilingku selain suara teriakan yang diakhiri dengan suara bedebam tubuh yang rubuh.
Aku mengikuti orang-orang yang bertanya dan terus berjalan. Kami tak tahu arah dan di jalan mana kami berada.
Aku bertanya kepada mereka, “Apa benar tidak ada satu pun mesin kendaraan bisa dihidupkan? Bagaimana bisa?”
Mungkin karena pertanyaanku cukup panjang, mereka tidak mendengarnya dengan saksama. Atau mungkin karena mereka juga tidak tahu. Dini hari itu kami memiliki banyak sekali pertanyaan dan tak satu pun jawaban.
“Ayah, mengapa kau terus bertanya dan tidak menjawab pertanyaan mereka?” untuk meyakinkanku, Jala membisikkannya malam itu.
[4]
ENTAHLAH, katanya kami telah sampai di perbukitan, pada saat sebuah balok es besar tepat membentur bahu kiriku. Mungkin benar juga karena rasanya sejak tadi aku seolah perlu mendaki. Sedang aku tak pernah tahu, pusat daerah di Yogyakarta memiliki bukit. Juga tak tahu seberapa jauh perjalanan yang telah kami tempuh hingga aku dari rumahku di Kaliurang bisa tiba-tiba sampai ke daerah perbukitan. Aku bahkan tak tahu apakah aku menuju ke arah Gunung Kaliurang atau ke arah perbukitan tempat lain. Aku benar-benar buta arah.
“Lalu siapa ketuanya di sini?”
“Hei, Bung! Tidak ada ketua di sini!” seseorang mengumpatku.
“Lalu siapa yang bisa kita dengar kata-katanya?”
“Kau ikuti kata hatimu sendiri!” suara yang sama kembali mengumpat.
“Mengapa kau terus yang menjawab? Mana yang lainnya?”
Hening.
“Kita sudah tidak memiliki presiden. Tidak ada pejabat apa pun lagi. Tidak ada raja. Kita bahkan tidak punya lagi alat komunikasi apa pun, tapi sekarang kita membutuhkan seseorang untuk menyatukan pendapat kita.”
Tetap hening.
“Kita selamat dari keadaan ini bersama, kita pula harus berani mati bersama,” lanjutku.
[5]
AKHIRNYA, kami memutuskan untuk mendaki bukit. Bukit yang aku tak tahu namanya. Untuk apa mendaki, aku juga tidak paham. Dan mengapa aku punya keberanian untuk memimpin sekian banyak orang yang berjalan di belakangku, aku juga tak mengerti. Yang kutahu, selama ini aku hanya bisa berdiam diri dan mengatur karakter-karakter dalam cerita fiksiku saja, tidak pernah sekali pun mengatur manusia yang lalu-lalang di sekitarku.
Aku menghentikan langkahku ketika suara-suara hilang kembali.
Aku berteriak, suaraku tidak terdengar. Air menembus sepatu kulitku dan menyentuh celana kainku. Kukecup dahi Jala dan kuturunkan dia dari gendonganku. Kemudian dia meremas tanganku erat. Aku tidak sedang bermimpi, Pulau Jawa tenggelam.
[6]
KETIKA semua orang berlari menerobos ke atas bukit, aku baru paham bukit apa yang sedang kudaki. Sebagian pulau telah retak dan tenggelam, dataran masih berguncang. Aku memeluk Jala erat-erat di pelukanku, tangan Alea masih di genggamanku. Kami tidak menuju ke mana pun.
Suara-suara tiba-tiba terdengar lagi. Orang-orang meneriakkan sesuatu tentang kiamat. Aku tidak mengerti kiamat macam apa. Ke mana matahari? Ke mana bulan satelit bumi? Mengapa gelap sekali?
“Lalu, apa kita akan mati sekarang?” suara Lea, aku tak tahu sepucat apa wajahnya ketika mengatakan itu.
“Belum.” Kuputuskan untuk ikut terus mendaki ke atas bukit. Tangan Alea masih di genggamanku. Bukit yang licin, kulepaskan sepatuku, kulemparkan ke bawah. Suara sepatu menyentuh perairan, jauh sekali.
2009/08/06
Pertemuan

2009/07/14
Diandra

2009/04/21
Perpisahan
(Cerpen ini kemudian dimuat di Jakartabeat.net, 10 Mei 2014)
ARWAHNYA secara perlahan meniti langkah pada gelap dunia niskala1 yang dulu ketika hidup tak pernah dimengertinya. Sebagai arwah dalam wujud yang halus, dia tertabrak oleh segala benda; tidak ada orang yang meminta maaf ketika berlari melewatinya. Dia ditabrak segala, bahkan oleh gas yang berpencaran.
“IBU tak mungkin mati!” Seorang gadis berteriak di depan kamar rumah sakit. “Apa yang bisa aku lakukan tanpa ibu? Ibu jangan mati, hanya Ibu satu-satunya yang Alin punya!”
Alin terus menangis, menelungkupkan kepala di lutut. Orang-orang hanya dapat memberi simpati dengan menonton dan merasa iba. “Ibu janji untuk hidup selamanya. Kenapa Ibu pergi?” teriak Alin.
SEGEROMBOLAN penjaga jenazah bermain kartu dengan ramai sorak-sorai, kerabat Alin sibuk menawarkan minuman dan makanan kepada yang singgah. Beberapa orang lagi masih dengan tekun membungkus peti jenazah dengan kain kasa sembari menempelkan hiasan-hiasan keemasan pada peti mati.
Sudah dua hari dia tidur di sana. Hidungnya menjadi tidak peka lagi akan bau, acap dia mengusap mata lantaran rasa perih.
SIANG itu, upacara Ngaben dilangsungkan. Jiwa jenazah ibunya telah berpindah pada sebuah simbol, pada wujud seorang wanita yang dipatungkan. Alin menyungsung wujud itu di kepala. Ibu-ibu lainnya membawa wujud-wujud bhatara dan bhatarisebagai simbolisme. Alin merasa kehilangan makna atas apa pun yang dia lakukan. Entahkah upacara itu diwujudkan sebagai simbol pengantar yang telah meninggal, entah hanya sebagai iring-iringan agar kelihatan indah.
DI tempat kremasi, wadah yang mengangkat jenazah ibunya diletakkan. Ketika jenazah dipindahkan, Alin disibukkan dengan panggilan orang-orang di sekitarnya.
DI laut, dari mata Alin, semuanya hilang. Baginya, segalanya telah menyatu kembali dengan alam. Unsur-unsur pada tulang, unsur-unsur pada abu: semuanya menyatu dengan unsur-unsur pada air, unsur-unsur di udara.
Di laut itu, orang yang dia cintai berubah wujud untuk selamanya. Pikir Alin, mungkin untuk berjuta atau bermiliar tahun ke depan, baru mereka akan bisa dipertemukan lagi dalam wujud manusia. Itu pun bila reinkarnasi memang benar ada. Mereka akan bertemu ketika unsur-unsur mereka yang telah menyatu dengan alam mengisi lagi perut seorang ibu yang hamil. Ketika kesadaran mereka, dengan kemungkinan kombinasi penciptaan yang tak terhingga, bertemu pada satu titik waktu.
Atau, mungkin saja mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Karena pada kehidupan yang sedemikian sebentarnya, entahkah ada misteri besar yang dapat dipecahkan oleh kepala. [*]
Catatan Belakang:
1 Dunia tempat tinggal arwah, makhluk gaib.
2 Orang suci dari Kaum Brahmana yang bertugas dalam upacara-upacara keagamaan.
3 Air suci yang didapatkan setelah diasapi sembari memanjatkan doa.
4 Atau canang/banten, bunga-bunga atau jenis sajian lain yang ditaruh pada satu wadah persegi.
2009/04/07
Kompilasi Tiga Kehilangan
2009/03/21
Gadis Pemakan Kepala Orangtuanya
2009/03/06
Kinnara
Pasti terlihat bodoh. Selalu bodoh di matanya.
Lain waktu, tiap kali kami menatapi langit seperti saat itu, dia pasti akan selalu bilang (aku tahu niatnya hanya untuk mengomentari minimnya ketertarikanku pada langit): percuma membuat orang-orang tertarik memahami langit, sementara mereka sudah lebih dulu terpana dengan bintang-bintang yang bertebaran di layar kaca. Bintang-bintang yang redup atau terangnya hanya tergantung seberapa besar sensasi yang dibuatnya.
Dia memang sangat menyukai langit. Semua istilah yang dipakainya kait-mengait dengan bintang, meteor, atau istilah-istilah asing di fisika. Dia adalah seseorang yang lebih mudah memahami ilmu astronomi ketimbang ilmu anatomi tetapi sayangnya dia menjatuhkan pilihan dengan berkuliah di jurusan kedokteran.
Beberapa saat kemudian dia tertawa, “Tiap kali memperhatikan bintang bersamaku, tidakkah kamu juga tertarik untuk ikut menghafal nama-nama rasi bintang?”
Aku mengernyitkan dahi.
Seolah paham, dia menjelaskan, “Tidak pernah ada yang namanya rasi kura-kura.”
Lalu dia kembali tertawa.
“Aku, kan, enggak kuliah astronomi,” begitu caraku membela diri.
“Aku juga enggak kuliah astronomi.”
Saat itu, aku kembali kalah telak darinya.
2009/02/16
Pria Kecil, Permen Kuning dalam Toples Kaca, dan Segelas Air
2009/02/07
Religia
(Seorang Wanita di Kursi Roda)
DULU hujan selalu membuatku berjarak dengannya. Karena aku tak bisa melihat secara jelas sosoknya yang kabur di balik jendela berembun. Bertahun-tahun hujan selalu akan membuatku berjarak dengannya. Mengamatinya merentangkan tangan di kejauhan, sementara aku menggenggam gelas gin berisi soda susu. Aku sering berkata kepadanya, bahwa aku tak punya siapa-siapa dalam hidupku. Tanpa kusadari, bahwa aku selalu memilikinya untuk mendengarkanku bercerita. Andai ia tahu, ia membuatku sering merasa kosong. Seperti yang acap ia dengar, bahwa aku benci keterikatan. Keadaan terikat yang tak impas membuat ruang menjadi terlihat terlalu luas dan jarak merentang semakin jauh. Karena ia selalu membuatku berpikir; bagaimana seandainya jika aku kehilangannya atau ia kehilanganku?
(Pria yang Mendorong Kursi Roda)
SORE itu hujan, aku mendorong kursi rodanya, entah menuju ke mana. Dia bersikeras memintaku meninggalkannya sendiri di kamar yang pengap oleh bau obat atau membiarkan suster jaga mengajaknya jalan-jalan berkeliling. Kubilang aku tak cukup nyali untuk harus kehilangannya tanpa sepengetahuanku.
“Aku ingin makan bubur,” ujarnya. Sementara dia membiarkan senampan makanan dari rumah sakit di meja di sebelah ranjang tak tersentuh.
Sepanjang perjalanan menuju kafetaria, kami melihat banyak burung gereja di langit. “Besok aku akan menjadi salah satunya.” Begitulah dia selalu percaya orang-orang mati akan bermanifestasi terlebih dulu menjadi hewan sebelum terlahir kembali.
“Aku ingat kata-kata ayahku, tentang bagaimana dia sampai harus kehilangan ibuku hanya untuk melahirkanku.”
Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas di pikiranku, semua kenangan tentang kebersamaan kami berputar di dalam orbitalnya, tereksitasi satu per satu di dalam tempurung kepalaku, semakin kehilangan energi tiap kali kusadari aku akan kehilangannya sebentar lagi.
“Mungkin sebelum mati, malaikat surga bertanya kepadanya. Antara dia memilih untuk terus hidup dan membiarkanku mati, atau dia mati untuk membiarkanku terus hidup.”
Mendorong kursi rodanya saat dia sedang merasa kehilangan semangat hidup, membuatku kehilangan daya gerakku sama sekali.
“Dan nyatanya ibuku memilih mati.”
Beratnya sudah turun sebanyak dua puluh kilogram selama setahun dia menjalani kemoterapi. Usianya baru dua puluh satu tahun, dan dia menderita kanker otak. Tumor di otak tidak membuatnya kehilangan daya pikir atau menurunkan kecerdasannya. Bahkan setiap hari semenjak dia dirawat inap di rumah sakit, dengan banyak jenis buku yang dia baca, aku selalu berfirasat seolah suatu saat dia akan mengalahkanku dalam banyak hal.
Sebelumnya dia selalu kalah pada diskusi tentang apa pun yang kusukai, dan aku selalu seimbang tiap kali diajaknya berdebat tentang hal-hal yang dia sukai. Kami membicarakan tentang kecerdasan artifisial, kemungkinan penyebab kiamat, kadang aku membicarakan tentang ilmuwan Matematika, dan dia membahas mengenai kesamaan mereka dengan tokoh-tokoh Psikologi. Mengingat momen-momen itu, aku tahu dia tidak akan tergantikan.
“Ibumu memberimu hidup selama dua puluh tahun,” kataku, “yang mungkin dia tidak yakin apakah dia akan membutuhkan seperempat dari waktunya itu untuk terus menantikan seorang putri sepertimu.”
Ibunya melahirkannya di usia empat puluh tahun, dan sebagaimana umumnya wanita pra-menopause, mereka akan kehilangan kesuburan menjelang usia empat puluh lima. Aku yakin, saat itu ibunya pasti tidak mau membuang-buang waktu untuk menunggu lagi.
“Seandainya dia tahu putrinya tidak akan berumur panjang,” dia menjawab, “apa mungkin dia mau mengorbankan nyawa?”
“Manusia tidak pernah tahu,” sejenak aku terdiam, “… tentang keajaiban apa yang akan Tuhan beri di sepanjang perjalanan hidupnya. Kupikir dia hanya mencoba mengambil risiko dan bertaruh dengan keniscayaan.”
Dia menarik napas. Sepanjang perjalanan selanjutnya kami membeku dalam diam.
Tulisan Terdahulu
-
Enûma Eliš dari Peradaban Babilonia kuno merupakan peninggalan kuneiform yang paling banyak dirujuk sebagai peninggalan tertua yang memb...
-
Tentang hidup dan Seseorang. Aku ternyata tak benar-benar tahu apa makna sebuah perjalanan. Bahkan setelah sekian tahun aku mengulur-ulur wa...
-
Menyelesaikannya dalam 5 hari. Bahkan sesungguhnya tidak berniat menyelesaikannya dan justru ingin membuat alur kisahnya yang sudah terlan...
-
DIA menutup pintu apartemen. Tubuhnya lebih letih dari hari-hari yang lain, tapi begitu melihat tumpahan bir dan botol-botol yang tergeletak...
-
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menuai kontroversi pada 2007 lantaran ia mengangkat kasus jugun ianfu ( comfort women atau perempu...