2009/03/21

Gadis Pemakan Kepala Orangtuanya

PAGI itu aku duduk di atas bale di sudut sebelah timur belakang sebuah restoran, tempat yang selalu menjadi favoritku setiap mampir ke Bali karena panorama yang tidak biasa. Gedung bernuansa layaknya bangunan zaman kolonial, dengan pohon yang dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan, Pachira aquatica nama Latinnya, tetap terpajang di dalam vas di tiap meja di atas gazebo.

Aku juga menyukai pemandangan di belakang restoran. Menyukai Gunung Batur yang diselimuti awan putih. Ditambah lagi, saat itu hujan hadir langsung dengan begitu lebat. Para pelancong, yang sebelumnya asyik mengambil foto berlatar gunung berselimut awan putih, dengan gesit berlarian ke arahku juga ke arah gazebo-gazebo lainnya.

Hingga beberapa saat kemudian perhatianku teralihkan oleh sesuatu yang janggal. Oleh seorang gadis kecil berambut blonde dengan pita merah yang menggendong seekor anjing ras Kintamani di pelukannya. Dia meletakkan anjing itu di atas gazebo di tengah kolam ikan. Gazebo yang tidak dipilih oleh siapa pun. Beberapa saat kemudian gadis itu ikut naik, menemani anjingnya.

Aku terpaku di posisiku, lebih dari sejam. Seolah tersihir oleh sesuatu yang entah apa. Aku menyadari ada sesuatu yang mistis dari caranya berjongkok di hadapan anjing itu. Sedari tadi, kulihat mereka asyik bercakap-cakap. Kuperhatikan, dia—gadis kecil itu—begitu mahir mengonggong. Tidak ada kecanggungan sama sekali.

Hampir berjam-jam mereka sama-sama berjongkok. Perawakan gadis kecil itu tinggi seperti umumnya kelahiran blasteran dan caranya mengambilkan sosis dari pinggan pelayan untuk diberikan kepada anjingnya—yang sedari tadi dia ajak berbincang dengan gonggongan—menunjukkan bahwa dia adalah orang penting di restoran itu. Gerak mata dan air mukanya mencirikan bahwa kemampuannya juga bukan seperti gadis biasa. Dia istimewa.

Betapa akhirnya kusadari banyak orang juga ikut memperhatikan tingkah gadis itu. Bukan hanya aku. Masing-masing dari kami memesan berulang kali kepada pelayan yang lewat—memesan apa pun yang bahkan tidak kami pedulikan harganya. Gadis itu seperti tontonan musik di restoran itu. Seperti pemandangan yang menyihir—seolah kami menunggu sesuatu terjadi.

Tapi tidak ada sihir yang terjadi—tidak sampai sore itu berakhir. Tidak sampai dia dijemput oleh seseorang bersetelan serba hitam dan digendong menuju pelataran parkir lalu dimasukkan ke kursi belakang mobil dengan beringas. Dia, sampai hari itu berakhir, memang seperti boneka tontonan yang mendekati sempurna.


KARENA penasaran, hari ini aku mengunjungi rumah pemilik restoran itu. Tak ada yang berbeda dari tata bangunan rumahnya jika dibandingkan dengan restoran yang kemarin kusinggahi sampai larut malam. Kupikir, adalah hal yang wajar jika seorang tuan tanah menjalin ikatan terus-menerus dengan seorang arsitek brilian.

Aku menekan bel dan menunggu seseorang membukakan pintu gerbang. Awalnya aku berharap pelayannyalah yang membukakan pintu, tak kusangka, si gadis blonde-lah yang langsung membukakannya, “Hai!” Dia menyapa. Logatnya khas Bali. “Kamu yang akan membunuh kedua orang tuaku,” dia enteng berujar. Kalau aku tak memperhatikan intonasi suaranya, pasti kuduga dia bercanda.


 “JADI, bagaimana caramu membunuh kedua orang tuaku?” tanpa basa-basi dia bertanya begitu ketika aku sudah duduk di salah satu sofa di ruang tamunya.

Ini konyol karena aku bahkan tak mengenal siapa orang tuanya.

“Aku tahu akan ada seorang pria lajang yang membunuh kedua orang tuaku. Itu kamu. Aku hanya tidak tahu bagaimana caramu melakukannya.” Dia melanjutkan. Seolah belum jelas, dia kembali membuka mulut, “Seorang pria yang suka berkelana dan sekali dia membunuh, dia tidak akan terhentikan. Orang tuaku akan menjadi korban pertamamu.”

Aku menarik napas, “Umurmu berapa?”

“Di kelahiranku sebagai manusia, umurku genap seribu tahun.”

Kontan aku tertawa. Gadis kecil yang gila.

“Aku sering berbicara dengan alam,” ujarnya sambil lalu bersiul. Nada yang indah.

Beberapa saat kemudian, seekor anjing berlarian menuju ke arahnya, lalu melompat ke pelukannya. Dibelainya bulu lebat anjing itu—anjing Kintamani kemarin.

“Anjingku bisa melihat masa depan. Dia melihatmu menghunus pedang di tanganmu. Begitulah caramu selanjutnya membunuh korban-korbanmu. Pedang dengan dua sisi bagiannya yang sama-sama tajam.”

“Aku bisa berbahasa binatang.” Sesuatu yang luput dari benakku, dijelaskannya lebih awal sebelum kutanya. Rupanya, dia memang benar gila dengan sempurna. “Seperti kelahiran-kelahiranku sebelumnya, akulah yang membantumu melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Aku memiliki kucing yang bisa melihat masa lalu.”

Sejujurnya aku tak ingin bereaksi atas kegilaannya tetapi yang terkumpul di kepalaku justru kegilaan-kegilaan baru yang sama dengannya—bahkan yang lebih kompleks lagi.

 “Aku pulang dulu.” Aku berpamitan kepadanya. Beranjak dari kursiku.

“Kamu meninggalkan separuh jiwamu kepadaku.”


AKU tidak pernah menyangka untuk sekadar penasaran dengan seorang gadis kecil, akan menghadirkan invers yang hebat dalam grafik hidupku. Mudah saja melupakan kata-katanya, kupesan saja tiket pulang ke Jakarta, menikah dengan Tania, memiliki keturunan, tidak kembali lagi ke Bali.

Namun semuanya telah berubah. Ketika tadi di tengah jalan, aku menabrak motor sepasang muda-mudi yang melintas di depan mobilku. Keduanya luka parah dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Aku menemani mereka. Lalu menemani polisi yang setia menginterogasiku. Menyerahkan semua kartu pengenal yang kumiliki di dalam dompetku. Dipenjara. Selanjutnya, mereka mengabari bahwa kedua muda-mudi itu telah meninggal.

“Tan, aku dipenjara,” ujarku di telepon.

Kekasihku itu tertawa, “Dipenjara oleh Bali dan tidak ingin pulang?”

Dari mana dia tahu kalau aku sedang berada di Bali?

“Ayahmu bilang kepadaku, kamu ada urusan di sana. Jadi, apa kamu sudah menemukan gadis Bali tambatan hati sehingga tak ingin pulang lagi? Kamu dipenjara oleh cinta gadis itu?” lanjutnya seolah memahami kebingunganku.

Aku maklum jika dia mengiraku bercanda, “Banyak hal terjadi, Tan. Datang saja. Aku akan ceritakan langsung. Dan kumohon, jangan cerita kepada siapa pun.”

“Kamu bercanda, kan, Sayang?” Kudengar nada khawatir dari getar suaranya.

“Benar-benar ada sesuatu yang akan mengubah jalan hidupku, jalan hidup kita, kalau kamu tidak segera datang. Pesanlah penerbangan terakhir hari ini.” Aku memohon.


DI penghujung hari, dia datang. Dengan payung basah yang terlipat di genggaman tangan.
“Apa yang terjadi?”

Aku hanya bisa diam mematung melihat kehadirannya.

“Kamu kenapa?”

Ragu-ragu kugenggam pergelangan tangannya yang dingin, “Hentikan aku sampai di sini.”
“Kamu kenapa?” Dia melepas tanganku lalu memegang pipiku, “Ceritakan kepadaku.”

Aku sudah lupa bagaimana caranya mengawali sebuah cerita. Yang kutahu, aku hanya ingin mengakhiri cerita ini. Aku ingin mengakhiri hidupku supaya kata-kata gadis kecil itu tak menjadi kenyataan. Aku menceritakan setiap detailnya kepada Tania.

Dia membekap mulutnya dengan tangannya, menggelengkan kepala tidak percaya. Aku menceritakan semuanya dengan kilas balik yang cukup berantakan, diawali oleh seekor kucing hitam yang melintas di tengah perjalananku pulang sehingga aku memutar haluan karena ketakutan, lalu aku menabrak motor sepasang muda-mudi. Pertemuanku dengan gadis kecil berambut blonde di restoran favoritku, tentang gadis itu yang bisa berbahasa binatang dan tentang binatang-binatangnya yang bisa melihat masa lalu juga masa depan. Tentang dia bilang bahwa aku adalah seorang calon pembunuh.

Tania menangis, “Siapa gadis kecil itu?”

Itulah yang juga tak kuketahui hingga detik ini. Aku bahkan tak sempat menanyakan siapa namanya.

 “Aku akan menemanimu di sini malam ini,” bisik Tania.

Kukecup keningnya. “Jangan, menginaplah di hotel. Selamat tidur.”


MALAM itu aku terjaga setelah bermimpi aneh. Aku memutar mataku melihat ke sekeliling, tetapi aku tidak sedang berada di dalam sal penjara. Aku berada di dalam sebuah ruangan bercat putih. Mungkin saja aku berada di sebuah kamar rumah sakit, karena di pergelangan tangan kananku terpasang infus glukosa.

Kucoba mengangkat tubuhku, tidak ada siapa pun menemaniku.

“Sudah kubilang separuh jiwamu tertinggal kepadaku.” Seseorang berkata dari arah pintu. Aku menoleh. Gadis kecil berambut blonde berjalan ke arahku. Pitanya hari itu berwarna hijau.

Aku menatapnya tidak percaya.

“Siapa sebenarnya kamu?” Aku bertanya, “Apa maksudmu?”

Di sebelah kiriku, di dekat wastafel, ada sebuah cermin. Kuputuskan jarum infusku, lalu aku berlari ke arah cermin. Dan kulihat yang berdiri di sana bukanlah aku, tapi seorang pria berperawakan besar tinggi dan berkulit legam.

“Siapa kamu?” Aku menatapnya. Bertanya sungguh-sungguh.

“Dari semua kelahiran penjemput nyawa, akulah yang paling berkuasa. Aku atasanmu. Dan dari semua kelahiran malaikat kematian, kamulah yang paling tangguh.”

“Setan!” Aku berteriak, “Kenapa harus aku?”

“Karena kamu begitu berharga, kamu adalah setannya. Aku tanpa setanku, tidak akan bisa menjaring manusia untuk kubawa ke neraka.” Dia menjawab, “Kamu tidak akan ingat semua itu. Ingatanmu cukup kepada caramu membunuh. Pedang-pedang bermata ganda. Kusimpan di ruang bawah tanah di rumahku.”

Aku berlari ke luar kamar, menabrak tubuh gadis kecil itu. Ke mana orang tua gadis kecil itu? Ke mana orang-orang—mengapa gadis ini dibiarkan menjadi gila sendiri?

Tawanya membahana. Kami sedang berada di lantai tiga rumahnya dengan langit-langit berbentuk oval, “Kau sudah membunuh kedua orang tuaku malam kemarin.”

Aku berlari ke arahnya, mendorong tubuhnya hingga terjengkang.

“Setan sialan!” Aku berteriak, “Apa sebenarnya maumu dariku?”

Dia kembali tertawa lalu bersiul, “Aku mau kau menemaniku melakukan pembunuhan. Seperti yang kamu lakukan kepada dua kepala itu tadi malam.”

Seekor anjing dan seekor kucing. Masing-masing menyeret sebuah kepala di mulutnya. Kepala seorang lelaki Bali dan kepala seorang wanita bermata sipit berambut dicat kemerahan, kepala seorang wanita Jepang.

“Menarik, kan?” Dia menengahi.

Aku ingin muntah ketika melihat wajah tanpa darah itu. Rongga kepala kedua orang itu berlubang. Otaknya hilang dari tengkoraknya.

“Pergilah dan kalian akan saling membunuh.” Dia berteriak. “Suatu kodrat jiwa yang terpisah.” [*]

1 comment:

  1. Piring Energi

    Unik..
    Langka..
    efek Fantastik..
    yang tidak dimiliki oleh Piring Biasa

    http://piring-energi.blogspot.com

    Miliki Sekarang!!

    ReplyDelete

Tulisan Terdahulu