2016/12/13

Immanuel Kant dan GWF Hegel, dan Konsep Idea

Immanuel Kant adalah filsuf pertama yang berkontribusi pada bidang logika idealisme Jerman sehingga menjadi fondasi bagi para pemikir idealisme Jerman selanjutnya, oleh Fichte, Schelling, maupun Hegel. Sementara idealisme pada masa-masa sebelumnya memisahkan antara objek material maupun objek intelektual, sebagaimana yang dilakukan oleh Plato dan Berkeley, idealisme Jerman menolak distingsi tersebut. Agaknya, idealisme Kant terbilang yang cukup moderat mendefinisikan bahwa objek yang diselidiki oleh pengetahuan manusia bersifat ideal dan transendental sekaligus riil dan empiris—menengahi konsep para pemikir sebelumnya tentang Empirisme dan Rasionalisme. Hal tersebut mungkin terjadi karena bagi Kant, pemikiran manusia dapat menghasilkan pengetahuan yang valid dari dirinya sendiri (das Ding an sich) yang berasal dari kesimpulan silogistis tertentu. Dalam diskursusnya mengenai Dialektika Transendental, Kant menyebutkan adanya tiga kesimpulan silogistis yang mungkin dan berkaitan dengan tiga kategori akal-budi (substansi, kausalitas, dan resiprositas), yang merupakan semacam kesatuan akhir yang mutlak, tiga kesimpulan itu disebutnya sebagai “idea-idea rasio murni”. Idea pertama adalah “Idea Jiwa”, idea kedua adalah “Idea Dunia”, dan idea ketiga adalah “Idea Allah”.

Dalam rentang sejarah selanjutnya, GWF Hegel berpendapat bahwa dalam kritisisme Kant masih terdapat oposisi antara fenomena dan noumena, jadi masih ada oposisi antara subjek dan objek. Hegel lebih menyetujui usaha Fichte menghapus “das Ding an sich”, ia juga mengagumi filsafat Schelling yang memaparkan adanya Alam atau dunia yang tidak dipahami sebagai oposisi Roh. Terhadap pemikiran Schelling tersebut, Hegel menambahkan unsur kesejarahan—poin tentang adanya proses perwujudan diri (Selbstverwirklichug) dari Roh. Dalam filsafat Hegel, Yang Absolut (das Absolute) atau Roh (der Geist) ini dipandang hadir pada dirinya sendiri, dan menurutnya Roh tersebut harus menyatakan dirinya dengan mengalienasikan diri dalam Alam terlebih dahulu, beserta konsep mengenai adanya negasi dalam proses perwujudan tersebut. Bagi Hegel, Roh adalah totalitas, seluruh kenyataan. 

Dari paparan di atas, perbedaan antara konsep Idea (dalam terminologi Hegel, Roh/Rasio/Yang Absolut) Hegel dengan Kant (dalam terminologi Kant, idea-idea rasio murni) adalah: 1) Hegel bersepakat dengan Fichte, menghapus adanya “das Ding an sich”, 2) Hegel menggunakan pandangan Schelling mengenai Alam dan Roh, dan menyetujui bahwa Roh identik dengan Alam, 3) Hegel menambahkan unsur kesejarahan untuk menjelaskan kaitan antara Roh dengan Alam, dan proses mengembangkan lebih lanjut konsep refleksi Schelling menjadi sebuah konsep tentang alienasi yang dilakukan oleh Roh terhadap Alam yang sesungguhnya berada dalam satu kesatuan sistem, 4) Hegel mempercayai adanya objektivitas murni yang akan diperoleh oleh Roh Absolut di akhir sejarah.

Sementara itu, persamaan konsep Idea Hegel dengan Kant adalah: 1) Masih terdapat kedekatan pandangan kedua filsuf dengan peristilahan keagamaan—yakni Roh ataupun Allah dalam istilah “Idea Allah” maupun “Roh Absolut”, 2) Keduanya mendamaikan Rasionalisme dan Empirisisme baik dengan mengajukan adanya “kesimpulan silogistis” maupun “Roh Absolut”, 3) Keduanya telah menjelaskan konsep Idea dalam tataran metafisis dengan pengandaian atas keberadaan “das Ding an sich”, meski tidak bisa dicerap melalui penginderaan, maupun “Roh Absolut”, yang hanya bisa mengemuka di akhir sejarah.   

2016/05/24

Nenek


 Untuk Rio Johan.
Saat aku menunggu jadwal penerbanganku di bandara, jasad seorang kawan di kampus yang juga tinggal satu indekos denganku sedang diotopsi di rumah sakit. Beberapa botol minuman yang diraciknya menewaskan belasan kawan sepeminuman kami. Dia tidak ikut mati karena mabuk minuman, tapi mungkin karena merasa bersalah, dia kemudian bunuh diri malam itu juga. Aku kebetulan tidak ikut minum dengan mereka karena sedang putus cinta. Dan kini aku terlalu patah hati untuk terlibat dalam drama atau pun persidangan terkait kematian kawan-kawanku, jadi aku memutuskan pergi.

Kalau bukan karena dikabari oleh Ibu bahwa Ayah akan dinobatkan menjadi suttan dan diistanakan di pepadun dalam minggu ini, dan karenanya Ibu mendesakku untuk pulang, aku tentu akan lebih memilih berkelana tak tentu arah daripada pulang ke rumah. Tapi pulang ke rumah pun sama dengan menghindari hal-hal tidak menyenangkan di kota ini. Lagipula, tiket pesawat dibayar sepenuhnya oleh Ibu, jadi hal apa yang patut kukeluhkan? Jadi, tentu aku akhirnya memilih pulang ke rumah.

Sudah lama aku tak pulang ke kampung halamanku. Ayah dan ibuku adalah transmigran di Tulang Bawang Barat, dan rupanya mereka terlalu mengamalkan dengan baik nilai-nilai hidup di sana sehingga kemudian diangkat anak oleh nenekku. Dan kini, sekian belas tahun setelah kepindahan kami ke daerah itu, Ayah akan mendapatkan gelar tertinggi orang-orang di sana: suttan.

Aku dijemput Paman di bandara dan ia memberiku hormat selayaknya anak pejabat. Kutertawakan kelakuannya karena aku tahu ia menyindir Ayah. Aku paham yang diejeknya bukan gelar suttan yang akan diperoleh Ayah, tetapi lebih pada sikap kaku Ayah selama ini—dan betapa kompletnya bila sikap kakunya itu disandingkan dengan gelar tertinggi tersebut. Sosok ayah tentu akan bertambah angker.

Kugoda Paman, apakah dia masih belum dapat mengalahkan Ayah dalam pertandingan catur. Dia mengangguk. Aku yakin memang akan sulit menemukan lawan tanding yang setara dengan Ayah. Maka kusimpulkan pada Paman, Ayah tidak akan tampil rendah hati di hadapannya bila dia belum kunjung mampu mengalahkannya.

Kami tertawa. Ia lantas menyodok tanganku dan mengganti topik. Kali ini ia hendak membahas soal pendamping bagiku. Sebagai anak tunggal, aku diharapkan menikah cepat. Aku menggeleng sekenanya. Aku pernah punya seseorang untuk digandeng, tapi tidak untuk saat ini. Paman rupanya mencoba untuk mengerti aku malas membahas hal itu.

Selama tiga jam saling bertukar menyetir mobil dalam perjalanan dari bandara ke rumah, aku dan Paman bertukar ringkasan lima tahun masa hidup kami yang telah terlewatkan selama masa perantauanku di pulau seberang. 

Bibi telah meninggal, dan Paman menikah lagi karena pada suatu malam dia mabuk fermentasi singkong sehingga tidak bisa membedakan bokong sapi dan bokong istrinya sekarang. Dia tukang perah sapi sebelum menikahi istri keduanya, tapi kini dia bekerja mengolah hasil perkebunan dari sekian hektare tanah milik mertuanya.

Di sepanjang jalan, dia menunjuk area kiri-kanan jalanan itu yang merupakan perkebunan milik mertuanya. Aku akan mensyukuri hidupku bila mendapatkan mertua dengan kekayaan semacam itu, kubilang kepada Paman. Tapi dia tertawa dan justru bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa bokong si istri pun sudah merupakan anugerah baginya.

Rumahku rupanya tak banyak berubah meski lama kutinggal. Pekarangannya masih dipenuhi pot bugenvil yang biasanya dibawa Ibu sebagai oleh-oleh dari perjalanan dinasnya, dan bahkan koleksinya bertambah lebih banyak lagi. Meski Ibu doyan membeli tumbuhan, Neneklah yang paling getol merawatnya, bersama dengan anggrek-anggrek bulan yang dipetiknya dari hutan. Dan Ayah masih memelihara anjing dalam jumlah yang lebih banyak lagi karena saat mobil kami datang, anjing-anjing itu berhamburan bagaikan domba.

Beberapa orang hilir-mudik di pekarangan rumah sembari membawa gotongan. Mereka adalah tetangga kami yang membantu persiapan pesta perayaan penobatan Ayah. "Ini pesta besar dan kamu tahu makanan lezat apa saja yang akan kamu nikmati di pesta besar itu," ujar Paman di sisiku dengan tawa yang amat lebar. Kami akan menikmati rendang sapi paling enak, kue-kue jajanan pasar paling segar, dan sepanjang pekan es buah akan mengguyur dahaga tenggorokan kami di tengah cuaca yang sedang terik membara ini. Lama tidak pulang, dan kini disambut dengan pesta. Luar biasa.

Nenek melepas selang air di pegangannya ketika melihatku turun dari mobil. Belasan anjing di pekarangan rumah itu tidak menggonggongku seolah tahu bahwa aku adalah salah satu tuan mereka juga. Membiarkan air dari selang membeceki halaman, Nenek menghampiriku dan memelukku demikian erat. "Kenapa demikian lama tidak pulang," tanyanya. "Kenapa Nenek masih tampak muda dan tak berubah sedikit pun," kujawab. Dan dia tergelak, lantas cepat-cepat menyongsongku ke arah dapur.

Ibu sedang memandu beberapa perempuan yang berada di dapur bersamanya untuk meracik bumbu. Hanya sebuah pesta besar yang akan memanggil wanita karier satu itu ke dapur dan berurusan dengan perapian. Wajah dan gerak-geriknya masih optimistis dan garang seperti biasa. Tapi begitulah ibuku kukenal sebagai perfeksionis. Saking sibuknya, bahkan ia tak menyadari kehadiran putra tunggalnya di pintu dapur.

Maka aku meminta Nenek untuk ikut ke kamar dan membiarkan Ibu larut dengan kesibukannya.

Kami duduk di ranjang di kamarku. Masih ada sederetan poster ilmuwan favoritku, atlas dunia dan atlas negara, juga catatan-catatan formula matematika, fisika, dan kimia di dinding kamar itu. Kamar itu mengingatkanku kepada diriku yang pernah hingga bermalam-malam suntuk begadang untuk mempersiapkan olimpiade sains dan pada akhirnya menggondol pulang medali-medali emas. Sementara, selama lima tahun berkuliah aku justru terjauhkan dari semua itu. Yang ada hanya deretan demonstrasi, pergerakan, harapan untuk revolusi, mabuk minuman keras, kecanduan ganja, dan kematian kawan. Betapa mudahnya hidup menjelma ironi dalam waktu singkat.

Nenek mulai menderetkan hari-hari indah dan hari-hari kelabunya selama aku tak ada di sisinya. Dia memang tak pernah kehilangan kisah untuk dia ceritakan. Kata Ibu, pada suatu hari, Kakek tiba-tiba saja tak bisa diajak bicara oleh Nenek, lalu Kakek pergi ke tengah hutan dan tak pernah kembali lagi, dan sejak itu Nenek kerap duduk termenung di halaman rumah, atau terkadang duduk di atas pepadun di lantai dua rumah kayu kami. Kepada siapa saja yang duduk di dekatnya, Nenek akan mulai menceritakan banyak kisah. Nenek punya kisah-kisah asli selama 600 tahun ke belakang. Dan kisah-kisah itu berasal dari pengalamannya sendiri. Usianya lebih dari 600 tahun, dan dia tidak bisa memastikan kapan tepatnya dia lahir. Dia adalah ibu dari nenek dan nenek dan nenek dan nenek di atas nenekku. Itu pun dengan mengandaikan bahwa ia memang nenek yang sedarah denganku, dan kenyataannya bukan. 

Saat ayah dan ibuku pindah ke Tulang Bawang Barat, mereka bertemu dengan Nenek—tinggal bersama cukup lama—dan sejak itu mereka diangkat anak olehnya. Selama ratusan tahun hidupnya, perempuan tua yang kini sedang menimang-nimang jemariku di pahanya telah sembilan kali selamat dari kematian.

Selain sembilan kali “takdir kematian” yang datangnya dari alam itu, ada ratusan kali “percobaan kecil” yang berusaha dilakukan musuh-musuhnya untuk membunuh Nenek. Dan percobaan-percobaan pembunuhan yang kecil-kecil itu tak masuk radar hitungannya. Sewaktu aku kecil, hampir setiap hari aku mendapati bagian-bagian di halaman rumahku berlubang besar. Setiap pagi, aku akan mendapati Nenek mandi kembang dan kemudian menyiram liang-liang itu dengan air pembersihannya. Katanya, itu adalah liang-liang kematian yang disiapkan musuh-musuh bebuyutannya untuk Nenek. Sepanjang malam saat aku dan seisi rumah tertidur, Nenek rupanya bertarung kesaktian dengan musuh-musuhnya itu.

Saat kutanyakan kepada Nenek apakah halaman rumah kami masih sering berlubang, dia justru balik menanyakan kepadaku apakah aku bersedia mewarisi kesaktiannya.

Apakah kesaktian yang ia maksud sama dengan kehidupan imortal?

Pertanyaan itu mengambang di benakku hingga ia bangkit dari duduknya. Aku tetap tak menanyakannya. Dia membuka lemari di seberang kamarku dan mengeluarkan kotak-kotak dari sana. Lantas, membuka kotak-kotak itu satu per satu. Kosong.

"Aku ingin berhenti dan tak mengejar apa-apa lagi," bisik Nenek lirih.

"Apakah di kotak itu terdapat sesuatu yang tak dapat kulihat," kutanya.

Dia tersenyum. "Aku akan pulang pada malam bulan purnama pekan depan," jawab Nenek.

"Apa pun yang terjadi, aku tak menghendaki kesaktian itu sama sekali," aku tegaskan kepada Nenek.

Dia memelukku demikian erat dan hanya membisikkan, "Padahal selama ini aku menunggu kepulanganmu dan mendengarmu siap mewarisinya dariku."

Tulisan Terdahulu