2011/12/20

Aram

DUA BELAS HARI telah berlalu sejak gadis beraroma parfum mint itu berjalan di tangga pesawat. Hari-hari yang padat dan ramai—di tempat tinggal barunya tersebut—dia sudah mengurus administrasi untuk mengubah semua identitasnya, bertemu sekian banyak orang, dan berkorespondensi melalui surel dengan orang-orang yang telah didaftarnya. Ragam kartu tanda pengenal baru, apartemen baru, afiliasi baru, kawan-kawan baru, kehidupan baru.

Sekian tempat di wilayah kota tua itu telah satu-satu dia kunjungi; sebagian besar adalah galeri dan rumah seni. Ke apartemennya, dia membopong puluhan lukisan dan benda-benda rongsok. Dalam daftar yang diserahkan kepadanya sebelum dia pergi ke kota itu, selain lukisan, juga tersisa rincian judul piringan hitam dan kaset musik lama. Kalaupun dia dapat membereskan rincian dalam daftar pertama, masih tersisa daftar judul headline koran internasional dan obituari koran lokal pada tanggal-tanggal spesifik, serta sederet kartu nama yang sudah dikumpulkannya di dalam koper untuk kemudian dia dekode.

Terlalu lelah akibat berhari-hari mengulang aktivitas mendekode, dia membanting ponselnya dan menjatuhkan diri ke kasur—tidur di antara tumpukan kliping obituari dan tajuk rencana koran-koran lama, di sebelah piringan hitam di dekat bantalnya tertera rincian kode dalam segala bahasa.

“Efek kupu-kupu?” pertanyaan itu muncul di jendela Messenger-nya selama dia tidur.

“Tapi kenapa kamu hanya menyelidiki piringan hitam, kaset, dan kliping koran?” Lanjutan pertanyaan muncul di layar. Ketikan-ketikan lebih panjang terus berlanjut.

Aram terbangun karena bunyi dari komputer. Setelah membaca pesan-pesan di layar, dia kemudian menelepon melalui aplikasi bicara-lewat-video, “Aku sedang menyelidiki sesuatu.”

“Apa?”

“Banyak hal yang saling berkaitan. Hampir semua hal.”

“Kenapa pergi dengan begitu tiba-tiba? Dan hanya meninggalkan sepucuk surat?”

“Aku perlu tahu apa yang terjadi.”

“Aku paham kamu ingin pergi dari rutinitasmu yang membosankan di sini.”

“Ya—ya—ya—aku bahkan sudah menabung untuk itu,” celetuk Aram. “Tapi sebenarnya kalau aku mau kabur dari rutinitasku, aku bisa mengajakmu, kan? Nyatanya, aku sekarang sedang melakukan sesuatu yang besar di sini.”

“Tapi Aram, kau harus ingat—seberapa pun berjiwa petualangnya kamu—kita sudah akan menikah. Seminggu lagi resepsinya. Kau bahkan belum fitting, masak aku yang mesti mengecek segala persiapan pernikahan kita?”

“Bagaimana kalau kita batalkan pernikahan kita?”

Hening. Di layar, wajah kekasihnya tampak mengeras.

“Nah, seperti ini Aron. Karakterku ini—aku perlu tahu dari mana dia berasal. Itu yang sedang kucari tahu sekarang.”

Panta Rhei, demikian Aron mengetikkannya di layar. “Kau tahu, kan, apa artinya?” Lantas, ia kemudian berbisik pada headset-nya.

“Panta rhei, Heraklitus, tidak ada yang tetap sama. Semuanya berubah,” sahut Aram.

“Begitulah, maka dari itu, enggak ada itu yang namanya jati diri,” tegas Aron. “Percuma kamu mencari dirimu yang sejati, karena tidak akan ketemu.”

“Hei, Aron. Meski aku bilang aku enggak bisa paham diriku sendiri, aku tidak sedang mencari diriku dalam perjalananku ini. You got me?”

“Barusan kau bilang kau mencari tahu dari mana karaktermu yang impulsif itu berasal?”

Aram tersenyum kecut. “Well, itu artinya aku sedang mencari tahu tentang kedua orangtuaku.”

“Oh, baiklah. Proyekmu itu—bisa dihentikan? Aku yakin itu sama sia-sianya dengan mencari jati dirimu yang enggak bakal ketemu.”

“Data yang kini terkumpul belum cukup untuk menjawab pertanyaanmu.”

“Jadi, kita benar-benar akan membatalkan resepsi pernikahan kita?”

Aram mengangguk.

“Setelah mertuamu mengundang banyak reporter stasiun televisi swasta dan koran nasional untuk meliputnya?”

“Yep,” ponselnya berbunyi dari arah kasur, Aram menolehkan kepala dan bangkit berjalan menjauhi layar.

“Aram,” ujar Aron ketika Aram kembali. “Kau tahu…”

“Aron, boleh aku minta agar kamu menikahi gadis lain bila nanti aku tidak kembali?” tapi Aram telah lebih dulu memotong lanjutan perkataan Aron dengan pertayaannya.

Aron memicingkan mata. “Kau—tidak akan kembali?”

“Kemungkinan itu selalu ada.”

Hening sejenak.

“Apa, sih, yang sedang kau hadapi?” tanya Aron.

Tak perlu jawaban, karena tiba-tiba peluru telah menembus layar komputer Aram. Komputer padam, pecahan kaca sedikit menyentuh kulitnya. Tanpa menoleh ke belakang, dia merogoh pistol dalam saku, seketika mengarahkan tembakan ke arah belakang. Penembak tadi lantas jatuh terjun dari kamar apartemen Aram di lantai sebelas. [*]


20 Desember 2011

2011/12/13

Apa Kau Bahagia?


 

"APA kau hari ini bahagia?”

Kepada pacarnya, gadis itu akan menanyakan pertanyaan yang sama berkali-kali, setiap hari, setiap saat dia ingat. Namun, Pion tak pernah mampu menjawab pertanyaan itu, seperti yang sudah-sudah.

Pion hanya menoleh singkat. Ia masih terlentang di ranjang, sibuk mengetikkan sesuatu pada laptopnya. “Bagaimana kuliahmu?”

Prita menghela napas melihat Pion lagi-lagi tak merespons pertanyaannya. Alih-alih pura-pura tak peduli dan hendak meninggalkan Pion menuju dapur, tanpa sengaja Prita menyenggol tas belanjanya sendiri. Seisi kantong berjatuhan ke lantai. Sambil menggemeletukkan jemari, dia mulai memunguti bungkus-bungkus bahan makanan yang tercecer. Bahan-bahan itu sebenarnya untuk membuat kue tart dan makanan instan yang akan cukup untuk mereka makan berdua.

“Dini hari ini ulang tahunmu,” jawab Prita kemudian. “Kau lupa?”

“Kita sudah bukan pacar lagi,” balas Pion. “Kau lupa?”

Prita tersenyum. “Apa bahagia...” ujarnya, terdiam beberapa saat, sebelum melanjutkan, “...bila kita tidak bersama? Lagipula, siapa yang memutuskan itu?”

“Aku pernah memelihara seekor landak yang menyebalkan. Kadang dia berlaku menyenangkan, kadang berbulan-bulan dia menghindariku. Suatu ketika, landak itu benar-benar mati, dan aku benar-benar dibuatnya menangis berhari-hari…”

Prita memasang celemek di badannya. Dia tahu, Pion yang sangat logis itu: bila berhadapan dengan permasalahan yang menyangkut perasaan, tak akan pernah berbicara tepat sasaran dan tepat guna. Mereka akan selalu perlu berbicara berputar-putar sebelum akhirnya masuk ke persoalan utama. Memahami karakter Pion, Prita coba mengikuti alur pembicaraan, “Saat itu kau masih kecil?”

“Aku berusia enam belas waktu itu.” Pion menjawab datar.

“Berarti sudah cukup dewasa, bila hanya untuk menangisi peliharaan yang mati,” sahut Prita.

Suasana kembali hening.

“Jadi, menurutmu siapa yang memutuskan kita sudah bukan pacar lagi?” kali ini Pion yang bertanya.

“Kita kembali ke pembicaraan itu lagi?”

“Boleh aku tidur lebih awal?”

“Hanya bila kau mengizinkanku masuk ke mimpimu untuk merayakan ulang tahunmu di sana. Tolong tunggu sampai aku menyelesaikan masakanku.”

“Baiklah. Kau ada rencana lain hari ini?”

“Tidak. Aku akan seharian bersantai di sini, dan melihatmu menyampah di kamarmu. Aku mungkin juga akan membaca semua buku koleksimu.”

“Aku ada acara. Nanti siang aku akan pulang ke rumah dan merayakan ulang tahunku di sana. Kamu tak keberatan kutinggal di sini sendiri?”

“Oh, shoot.” Prita hampir memotong jemarinya sendiri. “Gadis itu cantik?” tanya Prita mencoba bersikap tenang sembari mencari cara agar darah di tangannya berhenti mengalir. Dia tahu jemarinya terluka karena terlalu kalut memikirkan gadis itu. Gadis dari (mantan?) pacarnya.

Pion mengambilkan kotak P3K, menuangkan alkohol pada kapas, dan menotolkan yodium pada luka Prita, “Kau mau ikut tidak?”

“Pulang kampung bersamamu?”

“Ya.”

“Tapi, cicipi dulu masakanku.”

“Kau akan lanjut memasak dengan tangan berdarah-darah seperti ini?”

“Aku sudah janji akan melakukannya. Sebagai pacar yang baik, meski kita terlalu sering bertengkar. Memasak setiap kau berulang tahun.”

“Sekarang kau duduk, tunggu di ruang tamu, aku yang akan memasak.”

Dengan paksaan Pion, Prita akhirnya berhasil digeser ke ruang tamu. Di dapur itu, Pion memasak makanan ulang tahun untuk dirinya sendiri. Ia mulai menekuri buku resep masakan Prita di meja dapur. Terpikir olehnya, sekian jam berikutnya ia mungkin akan juga membawa kue tart buatannya untuk orang-orang di rumah—entah Prita akhirnya mau ikut dengannya atau tidak.


PULUHAN tahun ke depan, di masa tuanya, ia ingin tinggal di daerah pegunungan. Di sana udara sejuk, air dingin membekukan. Rumahnya tidak mesti besar, ia tak pernah suka tinggal di vila yang penuh dengan kamar-kamar kosong. Ia hanya perlu satu ruangan besar untuk dirinya sendiri, tiga ruangan cukup besar untuk buku-bukunya, dan ruang lainnya semata-mata akan ia jadikan sebagai pelengkap.

Ia ingin menanam apa pun yang akan ia makan. Karena ia menyukai penggalian, ia pernah bercita-cita menjadi seorang arkeolog, ia akan menggali terowongan untuk mendapatkan sumber mata air yang paling alami di daerah tempat tinggalnya.

Kelak ia juga akan memelihara hamster dan anjing-anjing kecil, membesarkan mereka hingga pengujung usia. Ia ingin sepanjang hari mengelus rambut lebat anjing-anjingnya ketika ekor-ekor mereka bergerak dan mereka mendekat dengan manja. Kendati kelak ia mati lebih awal dari mereka, ia berniat meninggalkan seluruh kekayaannya untuk satwa peliharaannya.

Harapan itu tumbuh sebelum ia mengenal Prita. Bertahun-tahun setiap ia berulang tahun, harapan-harapan itu akan ia tambah ke dalam daftar kehidupan masa tuanya di pegunungan.

“Kupikir kau tidak akan pernah merasa cukup atas hidupmu?” Ia berujar kepada Prita suatu waktu.

Prita mendongakkan kepala ke angkasa. Sejak mengenal pria itu, langit memiliki arti lain.

“Aku tidak akan pernah merasa cukup,” jawab Prita.

“Kau akan berkelana ke sepenjuru dunia, hidup nomaden, menyendiri dengan pemikiranmu.” Pion mendaftar semua rencana yang pernah diutarakan Prita kali pertama mereka bertemu.

“Dan di mana pun itu, aku akan selalu mencari replikamu,” tukas gadis itu sembari merebah pada lahan membukit dengan rerumputan yang basah. “Kenapa, sih, aku tak bisa memilikimu?”

“Karena kau terlambat datang?” sahut Pion.

“Aku membayangkan kau akan tinggal selamanya dengan gadis itu. Dan, kau tahu, sama sekali tidak menyenangkan membayangkan mimpi-mimpi yang sudah kamu bangun bertahun-tahun dengan tiba-tiba kandas karena orang lain ikut campur atas hidupmu. Rumah kecil, satu kamar tidur, tiga ruang untuk perpustakaan, hamster, anjing kecil… semua itu akan menjadi milik gadis itu, dan aku harus pergi.”

“Selama ini, aku selalu menunda impianku, tapi dengan tidak menghabiskan seluruh hidupku dengan orang yang kucintai, kupikir aku sudah membunuh semua impianku,” jawab Pion. “Pria anarkis ini selalu ingin jadi pemusik, arkeolog, bertualang, tapi kemudian ia berakhir di kota asing, padat polusi, jatuh cinta dengan seorang gadis pasifis yang membenci dunia. Tanpa sebelumnya ia tahu ternyata berbelas-belas tahun silam kedua orang tuanya telah berjanji untuk menjodohkannya dengan putri teman mereka, dan ia terpaksa meninggalkan gadis yang dicintainya.”

Prita menatapnya sangsi.

“Kau tahu, dengan begitu rasanya hidupku bukan milikku sendiri.”

Prita bangkit berdiri. Matari senja pekat menjingga di balik tubuhnya. Sambil tersenyum, dia berujar, “Tapi, bukannya cita-cita utamamu hanya untuk hidup bahagia di pegunungan dengan segala detail yang sudah kamu rencanakan jauh-jauh hari? Dan mati dengan keren?”

“Mungkin,” jawab Pion, kemudian merasa tak pasti akan keinginannya sendiri dan perasaan Prita kepadanya.

“Kebahagiaan semacam itu pun akan bisa kau dapati tanpa aku, kan?” tambah Prita.

Pion tak mampu menjawabnya, tapi kemudian bibir Prita telah memagut bibirnya, di hadapan mentari senja. Tanpa mereka ketahui itu akan menjadi ciuman terakhir mereka.


IA menyajikan tart yang dibuatnya sendiri dan memandang gemas ke arah perempuan yang masih menatap jemarinya dan berbicara dengan luka di tangannya. Kala itu Prita tertawa terpingkal melihatnya kerepotan di dapur.

Kini, gadis itu bahkan menyimpan senyumnya, bibirnya rapat mengunci sambil menepuk-nepukkan tangan, sementara di sekeliling Pion kerabatnya bernyanyi dengan riang, menyuruhnya berbahagia, menyuruhnya meniup lilin, dan memotong kue.

Ia diminta memanjatkan doa. Ia memejamkan mata sebentar, dan ketika ia membuka mata, seorang gadis sudah mengecup pipinya, “Kebahagiaan menyertai kita, Pion.”

Ia dapati bukan Prita yang melakukannya.

Kotak mungil diberikan kepadanya. Cincin yang ada di dalamnya. Tanpa ia sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi nanti, cincin itu dipasangkannya ke jemari gadis itu sesuai anjuran. Segera setelahnya, orang-orang bertepuk tangan.

Gadis itu memeluknya erat. Tubuhnya tiba-tiba lemas, ia seolah-olah menjadi marionette sang gadis, karena mereka lantas berputar-putar di sumbu yang sama, dan tubuhnya bukan lagi miliknya.

Segera setelah ia sadar kembali, ia dapati bukan Prita yang berdiri di hadapannya.

“Apa kau hari ini bahagia?” Gadis yang biasanya menanyakan pertanyaan itu berdiri di hadapan Pion. Ke dalam kantung-kantung blazer cokelatnya, gadis itu memasukkan tangan, dan memeluk tubuhnya sendiri. Seraut senyum kecewa diberikannya kepada Pion ketika gadis itu mengulurkan tangan.

Bagi Pion, dunia tiba-tiba berguncang ketika melihat Prita berlalu pergi meninggalkan kerumunan. Namun, setiap orang di ruangan itu berlomba-lomba menjadi pembatas antara dunianya dan Prita.

“Linda, kau yakin tetap bersedia mencintai orang yang tidak mencintaimu?” tanya Pion kepada tunangannya.

“Kata ibuku, cinta tumbuh karena terbiasa,” senyum gadis itu lebih pekat daripada milik Prita.

Namun, mata itu sama sekali tak sama dengan milik Prita yang selalu memancarkan cahaya kehidupan untuknya. Hari itu, Pion tahu ia semestinya selalu dapat menjawab pertanyaan Prita.

Ia semestinya tahu, kebahagiannya bukan terletak di ujung dunia. Sama sekali bukan terletak pada orang lain selain Prita. [*]



12-13/12/2011 12:49:10 a.m.

2011/11/17

Mengikuti Rasa Rindu


Pertemuan dan Perpisahan



“Dengan kereta malam ku pulang sendiri
Mengikuti rasa rindu pada kampung halamanku
Pada ayah yang menunggu, pada ibu yang mengasihiku”



Tembang kenangan dari Franky & Jane tersebut mengabadikan perjalanan seorang individu; seorang diri, memenuhi rindunya bertemu dengan orangtua dan keluarga di kampung halaman, tentang bagaimana kemudian dia belajar mengenai kehidupan dari orang-orang yang dia temui di dalam kereta. Dia bertemu seorang ibu yang anaknya telah tiada; dan wajah anak itu mirip dengannya. Kesan akrab tergambar dari situasi tersebut.

Hanya di gerbong kelas ekonomi atau bisnis, orang-orang asing dapat leluasa saling bercengkerama. Setiap tahunnya menjelang hari lebaran, ribuan kepala mengisi gerbong-gerbong KA kelas ekonomi; mengantarkan para perantau pulang ke tanah kelahiran. Sebutlah, melestarikan tradisi. Padahal KA kelas ekonomi bukan moda transportasi yang ramah. Banyak kasus pencopetan dan penodongan senjata tajam terjadi di dalam kereta. Kenyamanan pun harus ditanggalkan; karena alasan kebersihan dan jumlah penumpang.

Banyak yang tetap menggunakan jasa KA kelas ekonomi dan tidak memedulikan tradisi kesemrawutan yang bakal terjadi di hari lebaran. Tumiso, tukang becak yang telah bekerja selama 10 tahun di Stasiun Lempuyangan, mengatakan ia selalu menyempatkan diri pulang ke kampung halaman dengan KA kelas ekonomi. Karenanya, meski izin cuti istrinya baru keluar pada hari H, mereka sekeluarga akan tetap pulang. Ia memilih pulang dengan moda transportasi KA kelas ekonomi karena ongkos yang lebih murah 4 sampai 5 kali lipat daripada tarif kelas bisnis. “Saya merasa berdosa kalau tidak pulang. Silaturahmi setahun sekali kepada orangtua. Minta restu dan minta maaf, itu penting. Uang cuma cukup kalau naik kereta ekonomi,” ujarnya.

Di Stasiun Kereta

Sore itu, seorang wanita tua tidur bersandar pada tumpukan kardus berisi makanan. Setiap minggu sejak 1985, dia dan suaminya membeli berkarung-karung sembako di Yogyakarta untuk dijual kembali ke Pasar Pangandaran. Saat itu, cincin emas masih terpasang di jari manisnya sekalipun suaminya telah satu tahun meninggal. Sejak suaminya meninggal, dia terbiasa bepergian sendiri dengan membawa pulang bersamanya hingga belasan karung barang dagangan. “Kadang saya masih ingat suami, setiap pulang-pergi,” ujar wanita yang lupa saya tanyakan namanya itu, karena saya menduga pembicaraan kami hanya sekilas lalu.

Lebih muda darinya, Cak Slamet, 65 tahun, saat itu duduk sendiri menanti gerbong kereta Sri Tanjung tujuan Mojokerto yang akan datang esok hari. Tidak ada tempat singgah baginya di Yogyakarta. Ia datang sesekali ke stasiun Lempuyangan hanya untuk tidur di sana, menempuh perjalanan selama tujuh jam demi kembali melesakkan kenangan di stasiun itu. Dulu ia pernah bekerja sebagai tukang bangunan di dekat Stasiun Lempuyangan. Kini, sendiri di stasiun kereta, entah apa yang ia nanti di sana.

Atun, 60 tahun, duduk di lantai di sudut Stasiun Lempuyangan, menyandarkan tubuh pada tembok dekat kafetaria stasiun. Setelah suaminya menikah lagi dengan wanita lain, dia menumpang tinggal di rumah Bu Sugiman di Jalan Tukangan, dekat stasiun. Anaknya hanya satu, menikah dengan seorang pria asal Klaten. Bertahun-tahun setelah suaminya menikah lagi, dia menunggui anaknya, Susianti, 25 tahun, yang berjualan nasi di kereta. Ketika itu belasan wanita berseragam hijau menawarkan beragam nama penganan kepada penumpang di dalam kereta.

Kesan kosong terpancar dari mata Atun. Dia tidak bangkit untuk mencari putrinya, “Anak saya naik kereta Bengawan, jam 6 sore nanti baru sampai,” ujarnya. Tetapi, Sungging Raga, seorang anggota Edan Sepur (semacam perkumpulan pecinta kereta), mengatakan bahwa kereta Bengawan tidak tiba sore hari. Maka entahlah, Susianti benar datang ataukah tidak; saat itu tiba-tiba saya menyadari semua orang yang melihat saya mengobrol dengan Atun mungkin menganggap saya gila, seolah saya selama setengah jam hanya berbicara dengan dinding. Apa yang terjadi sebenarnya?

Di dalam Gerbong Kereta


Beberapa di antara wanita berseragam tadi memasuki gerbong kereta. Saya dapat membayangkan bagaimana situasi di dalam kereta dengan hanya melihat dari kejauhan. Dengan atau tanpa petugas On Trip Cleaning (OTC)—pembersih gerbong kereta menjelang kereta tiba di stasiun tujuan—timbunan sampah tetap akan memenuhi lantai setiap gerbong. Bau busuk menyengat dari saluran limbah dan bau tersebut akan menguar ke sepenjuru gerbong.

“Sepertinya enggak ada lagi kata bersih dalam KA kelas ekonomi,” komentar Sungging. Setiap kali, selalu meninggalkan kesan serupa; entah itu tentang seluruh lantai gerbong yang berserakan kertas koran, bungkus makanan, tumpahan minuman, atau sisa nasi dan lauk yang tidak dihabiskan; ataupun tentang petugas OTC yang kesulitan memenuhi tugasnya karena padatnya penumpang kereta ekonomi. Bahkan acap kali dilihatnya lantai gerbong dipenuhi tubuh manusia yang duduk berselonjor kaki di atas tikar atau koran yang bercampur sampah.

“Namun penumpang tetap berjejal, selalu ada penumpang yang rela tidur hingga di kolong bangku, nenek yang tak kuat berdiri, ibu-ibu yang memeluk anaknya yang masih balita,” ujar Sungging lagi. Puluhan kali ia menumpang kereta, pikir saya, mungkin hanya pemandangan-pemandangan semacam itulah yang menjadi penghiburannya.

Memang aneh kerinduan itu. Tidak hanya kenangan yang dapat menggilakan. Rindu pun demikian. Sejak H minus sekian lebaran, cara masuk para penumpang tidak akan lagi elok. Seluruh gerbong kereta tiba-tiba penuh secara tidak wajar, orang-orang berdiri dan duduk di seluruh penjuru gerbong. Ketika itu, jendela pun dapat menjadi pintu masuk.

Dari delapan gerbong kereta yang beroperasi, dapat menampung seribuan orang, dan toilet pun bisa beralih fungsi sebagai tempat duduk dan tempat menaruh barang. Tiket kereta berdiri memungkinkan hal ini dapat terjadi. Pungli dan sekadar ‘salam tempel’ antara petugas dengan penumpang mempermudah urusan.
Demi kerinduan pada kampung halamanlah orang-orang itu menahan derita neraka yang ditawarkan moda transportasi kereta ekonomi. Selama perjalanan, dengan tiket tanpa tempat duduk, ratusan orang tidur dalam posisi berdiri di atas kereta yang bergoyang-goyang disertai dengan suara gemuruh. Berjuang seperti itu selama dua belas, sembilan, atau tujuh jam—tergantung seberapa jauh mereka pergi merantau.

Toilet pun dipadati penumpang, selalu ditempati dua sampai tiga orang, kadang ada pula anak-anak yg tak mengerti dengan keramaian, mereka bertumpuk di situ selama berjam-jam bersama aroma yang tak menyenangkan.

Khairun Zenas, penumpang kereta Purwokerto–Jakarta, menceritakan ada seorang temannya yang mesti menggunakan pamper dari rumah untuk urusan ‘buang hajat’. Mereka sudah tahu kalau toilet kereta akan digunakan sebagai tempat duduk atau tempat menaruh barang pada hari-hari menjelang lebaran, sehingga mereka tak berharap menggunakan toilet dalam kereta. Sekalipun terkadang ada toilet yang bisa digunakan, mereka enggan menggunakannya. Bukan apa-apa, toiletnya memang kotor dan baunya bukan main. “Teman saya bahkan pernah menemukan orang yang sampai-sampai nekat membuang hajat di botol air mineral karena saking terpaksa,” ujar mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia itu.

Lain halnya dengan yang dilakukan Sasmito Yudha Husada, penumpang KA kelas ekonomi tujuan Jakarta-Purworejo. Ia mengungkapkan, pada pemberhentian di salah satu stasiun kecil, dirinya pernah keluar dari kereta untuk buang hajat di pinggir sawah karena saking terpaksa.

Bayu Candra Setiawan, mahasiswa STAN, mengaku pernah hampir masuk rumah sakit karena harus menahan buang hajat. Ketika itu, dia menumpang gerbong kereta Kertajaya jurusan Surabaya. “Itu terjadi di awal-awal naik kereta. Saya, kan, kampungnya di Situbondo,” ujar Bayu.

Menurut saya, perihal nama ‘ekonomi’ dan tarifnya yang murah itulah yang menyebabkan pemerintah dapat menyepelekan pengguna kereta. Mulai dari soal kebersihan, tata kelola, hingga keteladanan pihak-pihak yang bekerja di dalam KA kelas ekonomi. Sungguh sangat disayangkan. Kapankah pemerintah akan benar-benar memperhatikan masyarakat pengguna kereta ekonomi, dengan memberikan pelayanan yang optimal dan tidak hanya sekadar menaikkan tarif?

"Kereta ekonomi itu miniatur Indonesia. Jangan sampai, lah, untuk menaikkan kualitas, tarifnya perlu dinaikkan juga. Naik eksekutif harganya sudah gila-gilaan, kasihan yang enggak mampu. Saya berharap suatu saat pemerintah memperbaiki kualitas pelayanan kereta ekonomi tanpa menaikkan tarif." tandas Bayu. Ketika itu, matanya menerawang, seolah ia tak yakin dengan harapan yang baru saja diucapkannya.[*]

2011/03/23

Balada Seekor Semut

ALIANA berjalan di tengah keramaian, kegaduhan terjadi di seluruh penjuru ruangan. Dentum musik pameran kala itu mengacaukan pikiran. Berkali-kali dia berusaha menyelinap di antara kerumunan, menerobos lalu-lalang, bertekad keluar entah dari pintu mana pun. Dia harus pergi dari tempat itu. Tak peduli lagi akan janji temu yang dia buat dengan seseorang-yang-tak-benar-benar-dia-kenal. Sudah satu jam dia di sana dan keterlambatan lelaki itu tak dapat dia toleransi.

Makara sudah tiba di pintu gerbang ketika tiba-tiba letusan demi letusan terjadi. Semua lampu padam. Ia menyadari ia memang telah terlambat selama satu jam, tetapi bukan berarti itu dapat dijadikan alasan oleh gadis pembunuh misterius itu untuk kembali melakukan satu kasus pembunuhan lagi di keramaian seperti hari itu.

Para pengunjung berteriak ketika satu persatu orang yang berdiri di sebelah mereka roboh. Kepanikan memenuhi udara.

Makara tahu benar siapa yang hadir di sana. Ia dapat memprediksikan ketika gadis itu berlari ke arahnya dengan menghunuskan pisau yang dipegang di tangan kanan. Tangan kiri gadis itu masih memegang pistol dan mengarahkannya secara acak, menembak sembarangan.

Alangkah bengis, pikir Makara, ketika menangkap tangan kecil gadis itu.

“Salam kenal?” ujar Makara ketika menangkap sorot mata tajam gadis itu sekilas lalu.

Tanpa menjawab, seketika itu juga gadis itu menghilang dari pandangan.

Dan, pertemuan itu berakhir dengan kesia-siaan bagi Makara. Pembunuhan massal yang menewaskan puluhan pengunjung pameran malam itu diberitakan oleh sepenjuru media massa di Indonesia, tanpa seorang pun tahu siapa pelakunya.

Tulisan Terdahulu