2019/12/17

Mekanika Penjagalan Massal: Kasus yang Mendudukkan Penjagalan di Indonesia sebagai Genosida

 Jess Melvin

Macmillan Centre, Yale University, New Haven, CT, Amerika Serikat

Abstrak

Artikel ini menyajikan selayang pandang bukti baru yang ditemukan dari arsip milik bekas Badan Intelijen Negara di Banda Aceh yang mampu membuktikan, untuk kali pertama, keterlibatan militer di balik penjagalan 1965-66 di Indonesia. Berkas-berkas ini menunjukkan bahwa jajaran pimpinan militer memprakarsai dan melaksanakan penjagalan sebagai bagian dari operasi militer nasional yang terkoordinasi. Operasi militer ini digambarkan oleh para petinggi militer sebagai “operasi pemusnahan” dan dilaksanakan dengan maksud yang dinyatakan untuk “memusnahkan sampai ke akar-akarnya” saingan politik utama militer, Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukti baru ini secara mendasar mengubah apa yang kini mungkin diketahui tentang penjagalan 1965-66, khususnya terkait pertanyaan tentang niat militer. Demikian juga, proses di mana kelompok sasaran militer diidentifikasi dan ditargetkan untuk dihancurkan kini dapat dipahami dengan menempatkan militer sendiri sebagai pelaku di balik bagaimana proses penjagalan ini terjadi. Artikel ini mengetengahkan bahwa bukti baru ini memperkuat argumen, yang diajukan oleh para pakar genosida sejak awal 1980-an, bahwa penjagalan 1965-66 harus didudukkan sebagai kasus genosida.

 

Kronologi pemuatan

Artikel diterima pada 16 Februari 2017

Artikel disetujui pada 23 September 2017

 

Kata kunci

Genosida Indonesia, penjagalan massal 1965-66; Aceh; Sumatra; militer Indonesia; Partai Komunis Indonesia (PKI)

 

Pengantar

Sejak peristiwa penjagalan 1965-66, para pengamat politik dari Indonesia dan luar negeri telah memperdebatkan istilah yang sesuai untuk melabelinya.[1] Skala penjagalan—diyakini telah merenggut hingga satu juta jiwa—beserta pernyataan para jagal yang bertujuan untuk “menumpas sampai ke akar-akarnya” kelompok masyarakat tak bersenjata agaknya telah menggiring banyak pihak untuk menyelidiki apakah penjagalan 1965-66 merupakan kasus genosida. Sejak awal 1980-an, para pakar kunci mengenai genosida berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya memenuhi definisi genosida sesuai Konvensi Genosida 1948. Kesulitan terbesar untuk mendukung klaim ini adalah dalam membuktikan niat militer di balik penjagalan ini dan menguatkan argumen bahwa kelompok sasaran militer dapat dipahami sebagai kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi. Artikel ini menyediakan selayang pandang mengenai bukti-bukti kunci dari Provinsi Aceh yang dapat menjelaskan “persoalan bukti” ini. Dengan menggunakan catatan dari pihak militer sendiri, artikel ini akan menunjukkan bagaimana penjagalan dimulai dan diterapkan sebagai bagian dari operasi militer yang disengaja. Artikel ini juga akan menunjukkan bagaimana militer secara eksplisit mengidentifikasi kelompok sasarannya melampaui batasan “kelompok politik”—dikecualikan dari perlindungan di bawah Konvensi—untuk mengidentifikasi kelompok sasaran ini termasuk kelompok nasional yang dibentuk secara ideologis (“kelompok komunis” Indonesia) dan sebagai anggota kelompok agama (sebagai “kaum ateis”).[2] Dengan landasan itu, artikel ini berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya dapat dipahami sebagai kasus genosida. 

Kisah tentang bagaimana kasus ini terungkap tampaknya adalah suatu kebetulan karena nasib mujur saya. Pada 2010, saya pergi ke bekas kantor arsip Badan Intelijen Negara di Banda Aceh. Saya telah mewawancarai para penyintas dan pelaku penjagalan di provinsi tersebut sebagai bagian penelitian disertasi doktoral saya. Lantaran tidak dapat mengakses arsip secara langsung, saya meminta untuk melihat katalognya dan memesan sejumlah berkas berdasarkan tanggal pembuatannya. Saya hampir tidak bisa percaya ketika saya kemudian disodorkan sebuah kotak berisi 3.000 halaman berkas rahasia militer. Berkas-berkas ini, digabungkan dengan laporan yang dihasilkan oleh komando militer Aceh,[3] adalah berkas-berkas awal yang ditemukan dari sepenjuru Indonesia. Berkas-berkas ini lantas dikenal sebagai berkas genosida Indonesia.

 

Soal Pembuktian

Tantangan terbesar yang dihadapi para peneliti penjagalan 1965-66 adalah kurangnya berkas yang tersedia untuk bahkan sekadar menetapkan kronologi dasar atas peristiwa, apalagi untuk mengetahui rantai komando yang jelas di balik terjadinya peristiwa kekerasan ini. Selama setengah abad terakhir, militer Indonesia mengutarakan kekerasan sebagai akibat dari pemberontakan “spontan” oleh “rakyat”,[4] dan “ledakan” lantaran “bentrokan komunal yang berakibat pada pertumpahan darah di beberapa wilayah di Indonesia”.[5] Sementara itu, penyebutan spesifik tentang siapa pelaku di balik peristiwa jagal ini justru dihindari. Komando Militer Aceh menjelaskan: “gerakan spontan rakyat di seluruh Aceh secara bersamaan menghancurkan PKI [Partai Komunis Indonesia] sampai mayoritas anggota PKI terbunuh ….”[6] Tujuan dari laporan resmi oleh Komando Militer Aceh ini adalah untuk menolak bahwa penjagalan oleh operasi ini mendapatkan komando dan disengaja oleh militer. Seperti dikemukakan oleh Vedi Hadiz, dukungan jagal dan perubahan rezim yang dipengaruhi peristiwa ini tetap menjadi “pembenaran” berlakunya tatanan sosial Indonesia saat ini.[7]

Penolakan ini berlanjut hingga hari ini. Pada April 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Luhut Pandjaitan, secara bersamaan menyangkal bahwa jagal berskala massal telah terjadi selama peristiwa penjagalan 1965-66, sekaligus menegaskan kembali penolakan pemerintah untuk menerbitkan pernyataan permohonan maaf kepada para korban jagal.[8] Bangsa Indonesia juga lanjut membungkam dan mengintimidasi mereka yang ingin menentang narasi propaganda resmi tentang peristiwa kekerasan tersebut.[9] Pada September 2017, pihak kepolisian di Jakarta menutup diskusi akademik tentang kekerasan 1965-66 di perkantoran salah satu organisasi masyarakat sipil yang paling disegani, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).[10] Para polisi menyerah pada tuntutan demonstran anti-komunis yang, dengan dukungan dari jajaran kunci pimpinan militer, telah mengepung kantor-kantor LBH, menjebak para peserta diskusi di dalam sementara secara keliru menyatakan bahwa kelompok tersebut tidak memperoleh “izin” untuk berkumpul. Para aktivis HAM mengecam Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memperuncing sentimen anti-komunis ini dengan mengumumkan pada Juni 2017 bahwa ia akan “menggebuk” Partai Komunis Indonesia (PKI), yang telah dilarang oleh pemerintah Indonesia sejak 1966, jika mereka berani “muncul kembali”.[11]

Selama hampir lima puluh tahun, diyakini bahwa betapa sedikit bukti dokumenter tersedia terhitung sejak masa penjagalan lantaran tidak ada catatan yang pernah dibuat. Sejak setidaknya dasawarsa 1970-an, dikatakan bahwa tidak ada perintah tertulis dikeluarkan oleh pimpinan militer untuk mengoordinasikan penjagalan.[12] Pada 2010, dinyatakan bahwa “tidak ada bukti” atas penyimpanan catatan sistematis mengenai penjagalan,[13] sementara pada 2012, dinyatakan bahwa penjagalan terjadi “tanpa dukungan berarti dari birokrasi untuk memproses dan mengadili musuh yang ditargetkan (yang semestinya meninggalkan jejak tertulis)”.[14] Artinya, mereka mempercayai bahwa perintah resmi tertulis tidak pernah dikeluarkan, dan juga meyakini bahwa penjagalan dilakukan tanpa dukungan dari negara dan struktur pemerintah sipil.

Catatan awal mengenai periode 1965-66 yang ditulis oleh para Indonesianis berfokus pada upaya memahami tindakan dan motif di balik Gerakan 30 September (G30S)—upaya kudeta yang gagal pada 1 Oktober pagi yang kesalahannya dilemparkan pada PKI dan digunakan sebagai “dalih” atas kudeta yang dilakukan oleh militer sendiri dan menjadikannya sebagai serangan terhadap PKI—alih-alih sekadar terjadinya pembunuhan biasa. Adapun, pertanyaan tentang apakah PKI bertanggung jawab atas G30S tidak bisa terjawab hingga tahun 2006, melalui penerbitan teks terobosan John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal.[15] Sementara itu, pertanyaan tentang apakah militer melaksanakan penjagalan, sebagai bagian dari operasi militer yang disengaja, atau tidak tetap menjadi debat terbuka hingga penemuan berkas penjagalan Indonesia.[16]

Sejak awal 1980-an, terlepas dari kurangnya informasi, para peneliti seputar genosida berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya merupakan kasus genosida.[17] Pada 1981, Leo Kuper memasukkan penjagalan 1965-66 dalam studi fundamentalnya, Genocide: It’s Political Use in the Twentieth Century. Melalui penelitian ini, ia menolak laporan resmi Indonesia bahwa penjagalan terjadi sebagai akibat dari kekerasan horizontal spontan sebagai respons atas G30S.[18] “Sebaliknya”, ia berpendapat, “tentara terlibat aktif dalam operasi, terlibat langsung dalam pembantaian, dan secara tidak langsung dalam mengatur dan mempersenjatai pembunuhan sipil.” Penjagalan itu, ia menyarankan, harus dipahami sebagai kasus genosida lantaran skalanya yang besar dan dilakukan secara sengaja.

Ia menjelaskan bahwa hambatan utama untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida adalah pengucilan “kelompok politik” dari perlindungan berdasarkan Konvensi Genosida 1948[19]—definisi hukum standar genosida berdasarkan hukum internasional. Bagaimanapun, ia mengusulkan bahwa “dalam pembantaian para komunis, kriteria afiliasi masa lalu memiliki finalitas dan ketetapan yang cukup sebanding dengan pembantaian berdasarkan ras dan itu didasarkan pada penerapan tanggung jawab kolektif yang sama.”[20] Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan, penjagalan melampaui batas-batas konflik antarkelompok, dengan tambahan perbedaan “kelas” dan “agama” di antara para korban dan pelaku.[21] Demikian juga, etnisitas juga merupakan faktor, sebagaimana dibuktikan dengan penjagalan “pedagang Tionghoa dan keluarga mereka.”[22] Dengan demikian, ia menduga bahwa kelompok sasaran militer secara substansial lebih luas daripada sekadar kelompok politik dan mengandung unsur-unsur identitas antargenerasi yang mendalam.

Penjagalan 1965-66 juga tercantum dalam studi klasik 1990 karya Frank Chalk dan Kurt Jonassohn, The History and Sociology of Genocide: Analyses and Case Studies. Sebagaimana Kuper, mereka mengutarakan peristiwa penjagalan itu sebagai genosida dan mengusulkan bahwa kelompok sasaran militer lebih daripada sekadar kelompok politik. Mereka menjelaskan: “Sementara genosida ini ditujukan pada suatu partai politik,” dan karenanya, secara signifikan, tidak sesuai dengan definisi hukum mengenai genosida, “kasus genosida ini menghadirkan perdebatan ganjil terkait karakter etnis, agama, dan ekonomi.”[23] Sementara itu, mereka mengusulkan bahwa rintangan utama untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida adalah “adanya banyak informasi yang saling bertentangan” ketika itu berkaitan dengan bagaimana penjagalan itu dijalankan.[24] Persoalan banyaknya “informasi yang saling bertentangan” ini kini telah terselesaikan.

Bagian berikut ini akan menyediakan tinjauan umum tentang bukti baru yang kini tersedia untuk membuktikan keterlibatan militer di balik peristiwa penjagalan, sebelum kembali pada pertanyaan tentang bagaimana bukti baru ini dapat mengatasi masalah yang diajukan oleh Kuper, Chalk, dan Jonassohn.

 

Persiapan Militer untuk Merebut Kekuasaan Negara di Sumatra sebelum 1 Oktober 1965

Sejak awal 1960-an, para petinggi militer Indonesia mulai membuat rencana khusus untuk “reorientasi” negara Indonesia.[25] Pada 1964, untuk memfasilitasi rencana ini, para petinggi militer berhasil melobi Sukarno agar mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengimplementasikan rancangan undang-undang yang dikenal sebagai “Keputusan Peningkat Pelaksanaan Dwikora”. Undang-undang baru ini, yang secara resmi diperkenalkan sebagai sarana pendukung kampanye Sukarno “Ganyang Malaysia”, memberi militer kekuatan baru untuk melakukan pembasmian yang sebagian besar mencerminkan undang-undang darurat militer Indonesia, dengan memberikan kemampuan untuk memobilisasi struktur militer dan paramiliter setempat.[26] Yang paling penting, ini memberikan militer kemampuan untuk menerapkan peraturan darurat militer secara internal, tanpat terlebih dahulu harus berkonsultasi dengan Sukarno.[27]

Sejak Maret 1965, militer mulai melakukan pelatihan-pelatihan militer di Aceh dan seluruh Sumatra untuk menguji kesiapan struktur-struktur baru ini.[28] Pada bulan Agustus, militer meresmikan struktur komando militer baru di provinsi tersebut, yang dinamai “Kodahan: Komando Daerah Pertahanan”. Setelahnya, tinggal menunggu dalih yang tepat untuk melancarkan agenda perebutan kekuasaan negara ini.[29] Aksi G30S pada jam-jam awal 1 Oktober 1965 menyediakan dalih ini.

Pada 1 Oktober, ketika pemimpin militer nasional masih mengulur waktu untuk memutuskan bagaimana mesti bereaksi atas peristiwa G30S, pemimpin militer di Aceh “mengaktifkan” perintah Kodahan, yang kemudian dinamai “Kohanda: Komando Pertahanan Daerah”.[30] Kohanda ini kemudian melancarkan serangannya terhadap PKI dan melancarkan perebutan kekuasaan negara di provinsi Aceh. Seperti yang dijelaskan komandan militer Aceh:

Sejak terjadinya Peristiwa GESTOK (sebutan alternatif untuk G30S) pada 1 Oktober 1965, seluruh kekuatan Kohanda Aceh telah dimobilisasi untuk melancarkan operasi penghancuran terhadap GESTOK… Operasi ini benar-benar berhasil.[31]

Penjelasan ini menegaskan bahwa kasus genosida ini dilancarkan sebagai kebijakan negara. Sementara saya tidak percaya bahwa militer harus mengantisipasi skala penjagalan yang terjadi, bagaimanapun mereka punya niat dan sarana untuk melancarkan apa yang dikatakan sebagai “operasi pemusnahan” sejak 1 Oktober.

2019/06/24

Wanita Tamansiswa: Api Narasi Ibu sebagai Guru


Prakarsa para ibu guru Tamansiswa yang melampaui zamannya, menggugat status quo, demi pendidikan anak perempuannya.

Pada 22-25 Desember 1928, dua bulan setelah ikrar Sumpah Pemuda, Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama dihelat di Yogyakarta. Tanggal penyelenggaraan kongres, 22 Desember, pun ditetapkan sebagai Hari Ibu. Tiga puluh organisasi perempuan hadir dalam kongres ini. Penggagasnya, R. A. Sutartinah, adalah seorang perintis organisasi Wanita Tamansiswa, akrab dikenal dengan nama Nyi Hadjar Dewantara, nama panggilannya sebagai istri Ki Hadjar Dewantara. Nyi dan Ki, demikianlah murid-murid Tamansiswa memanggil para guru yang mereka hormati.

Nyi Hadjar Dewantara melibatkan rekan-rekan gurunya yang juga bergiat di organisasi Wanita Tamansiswa dalam kepengurusan awal kongres, di antaranya Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito, Sunaryati Sukemi, dan Sri Mangunsarkoro. Mereka aktif menghasilkan sejumlah artikel dan naskah orasi bertemakan pendidikan anak perempuan. Dalam kepengurusan kongres, mereka lantas mengajak juga dokter Sukonto, perwakilan Wanita Utomo, dan Suyatin, perwakilan Puteri Indonesia agar berbagai organisasi perempuan kala itu turut terlibat dan dapat merumuskan persoalan-persoalan perempuan kala itu.

Dalam waktu singkat, mereka berhasil menarik organisasi perempuan lain seperti Aisyiyah, Wanita Katolik, Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, hingga Jong Java Dames untuk terlibat, hingga terkumpul tiga puluh organisasi. Organisasi-organisasi perempuan ini lantas bersepakat mengajukan mosi mengenai reformasi perkawinan dan pendidikan, yang kemudian disepakati dalam kongres. 

Kongres pertama itu menyetujui berdirinya badan federasi bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Meski mosi tentang reformasi perkawinan dan pendidikan diterima dalam kongres, ketegangan tetap timbul di antara organisasi-organisasi perempuan Islam yang menentang usulan koedukasi, yakni kesempatan setara bagi lelaki dan perempuan untuk bersekolah dalam satu kelas, dan organisasi-organisasi perempuan Kristen dan nasional yang menuntut penghapusan poligini.

Sengkarut perdebatan ini membuktikan, jauh sebelum kehadiran Isteri Sedar pada 1930, organisasi perempuan paling radikal pada zaman itu yang tak mau berkompromi soal masalah-masalah poligini dan perceraian, berbagai organisasi Kristen dan nasional di PPPI telah bertentangan langsung dengan organisasi-organisasi perempuan Islam menyoal urusan perkawinan. Beberapa organisasi perempuan sayap Islam dalam kongres dengan terang-terangan menentang gagasan penolakan praktik poligini.

Selain soal internal organisasi, pelantikan ketua dan kepengurusan, serta anggaran dasar ataupun kebijakan teknis organisasi, kongres ini juga menghasilkan keputusan di beberapa bidang meliputi soal-soal yang berhubungan dengan masalah perkawinan, perburuhan, kesehatan, hingga politik dan hubungan dengan luar negeri.

Ellena Ekarahendy dan Maesy Angelina dari POST Bookshop menggagas inisiatif untuk mengetik ulang dan memperkenalkan pemikiran para perempuan anggota organisasi Wanita Tamansiswa yang menyangkut persoalan-persoalan dalam kongres tersebut dan perkembangan pemikiran para tokoh ini sesudah kongres. Ellena dan Maesy mengajak beberapa kawan dari berbagai latar belakang terlibat dalam pembacaan kembali arsip-arsip ini, dan melakukan pengetikan atas tulisan anggota organisasi ini. Hasil tilikan mereka atas arsip-arsip tersebut membantu untuk memahami dinamika perempuan pada periode pra-kemerdekaan.

Gagasan kelompok membaca ini bermula seusai Ellena menjalani residensi di Yogyakarta dalam program Sekolah Salah Didik dari KUNCI Cultural Studies pada 2017. Sekolah Salah Didik adalah proyek KUNCI yang lahir dari pengalaman mereka mengelola beragam ruang-ruang belajar selama 19 tahun. Wadah pendidikan alternatif SSD ini ditujukan untuk mempertanyakan kembali relasi hierarkis guru-siswa, ataupun penyeragaman pedagogi dalam kelas-kelas formal, hingga kurikulum sekolah formal yang hanya menekankan pada kegunaan ilmu sehingga membatasi imajinasi. Dengan penekanan pada makna belajar bagi para peserta program, sekolah ini menawarkan suatu ruang belajar yang cair dan fleksibel. Para peserta, termasuk Ellena, dimungkinkan untuk bereksplorasi sebebas-bebasnya mengimajinasikan pengetahuan yang bermakna baginya.

Pertemuan Ellena dengan berbagai organisasi dalam program ini mendorongnya untuk menelusuri arsip majalah Poesara, terbitan bulanan Tamansiswa. Ellena lantas terpantik mengumpulkan sejumlah tulisan anggota Wanita Tamansiswa yang ditulis dalam periode 1932-1940, dan mengajak Maesy dari Toko Buku POST untuk mengumpulkan kawan-kawan yang tertarik melakukan pembacaan ulang artikel-artikel ini.

Narasi Perempuan Proto-Indonesia

Sejak April 2019, inisiatif “Membaca Ulang Perempuan Tamansiswa” menggandeng Agnes Indraswari, Farhanah, Kania Mamonto, Khanza Vinaa, Nin Djani, Nur Janti, dan Rebecca Nyuei untuk membaca, mengetik, dan membicarakan kembali tulisan-tulisan berjudul “Arti Cultuur dalam Pergerakan Perempuan Indonesia”, “Soal Poligami”, “Meninggikan Derajat Rumah Tangga”, hingga “Pekerjaan Tangan sebagai Alat Pendidikan”.

Pembacaan dan pengetikan dilakukan secara mandiri dalam sebulan, pertemuan mereka laksanakan dua kali di POST Bookshop yakni pada Sabtu, 13 April 2019 yang terbatas bagi para peserta inisiatif, dan pada Sabtu, 18 Mei 2019 dalam rangka membagikan hasil diskusi mereka kepada pembaca yang lebih luas.

Bagi mereka, tulisan-tulisan ini menarik karena memuat wacana pembebasan perempuan yang relevan hingga masa kini. Kendati tulisan-tulisan itu tentu masih kental memunculkan corak kepatuhan perempuan karena berasal dari para ibu yang dinaungi organisasi perguruan Tamansiswa.

Sebagai badan Perguruan Tamansiswa, Wanita Tamansiswa dirintis oleh Nyi Hadjar Dewantara pada 1922 sebagai wadah bertukar gagasan untuk menguatkan pendidikan di kalangan perempuan. Badan ini resmi didirikan pada 31 Maret 1931 di Gedung Wisma Rini, Mataram pada Konferensi Jawa Tengah, dengan ketua Nyi Hadjar Dewantara, Nyi Mangunsarkoro sebagai wakil pusat di Jawa Barat, dan Nyi Sujarwa sebagai wakil pusat di Jawa Timur.

Sebagian besar anggotanya adalah guru atau istri guru. Sama seperti istrinya dan para anggota Wanita Tamansiswa yang peduli akan gerakan pendidikan bagi anak perempuan, Ki Hadjar Dewantara, melihat pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, pun menggubah tembang berisi nasihat bagi remaja putri “Wasita Rini” yang kerap dilantunkan dalam perguruannya. Dukungan kuat Ki Hadjar Dewantara terhadap organisasi yang dirintis oleh istrinya ini juga diamini oleh sebagian besar anggota perguruan Tamansiswa. Kaum lelaki di perguruan itu juga berpendapat bahwa tenaga perempuan sangat diperlukan dalam mendidik dan mengajar anak-anak. Pendek kata, bagi mereka, pendidikan anak-anak tidak dapat sempurna andaikata hanya dijalankan oleh kaum bapak atau para lelaki saja. 

Bagaimanapun, kekhususan lantas diterapkan dalam jalannya pendidikan anak perempuan di Tamansiswa, yakni lewat pengajaran kepandaian putri, pemeliharaan anak gadis, pemahaman tentang adab dan kesopanan, pandangan mengenai kesucian, kesusilaan tingkah laku, hingga kesusilaan pakaian perempuan. Nyi Sri Mangunsarkoro, penulis sebagian besar arsip Wanita Tamansiswa, menekankan dua kewajiban anggota Tamansiswa, yakni memperbaiki nasib perempuan melalui pendidikan dan mendidik anak untuk mencapai cita-cita Indonesia Baru. 

2019/03/04

Tentang Kakek: Perjalanan dan Ingatan


Pembacaan atas Keledai yang Mulia dan beberapa Puisi Mario F. Lawi

Kaularungkan doa dari pesisir diri dengan perahu yang kaukayuh sendiri.
– “Hiri”, Keledai yang Mulia (Mario F. Lawi, Shira Media, 2019)

Mario F. Lawi adalah penyair yang dikenal dengan alusi biblis dalam puisi-puisinya. Latar belakangnya di seminari menengah dan pendarasannya atas teks-teks Latin, mata pelajaran yang diajarkan kepadanya enam jam sepekan, membuat ingatan kita mengenalnya tak terpisahkan dari Alkitab dan tradisi gereja.

Ia sendiri sebenarnya tumbuh besar dalam dua tradisi yang sama kuatnya. Ini, terkadang, membuat beberapa puisinya hadir dengan tegangan dua tradisi ini. Selain sebagai seorang pendaras Alkitab dengan seorang ibu yang erat memeluk Katolik, kakek maternalnya adalah seorang Kenuhe, Imam atau petinggi dalam Jingitiu, kepercayaan penghayat di Kepulauan Sabu, Nusa Tenggara Timur.

Dengan latar belakang ini, dalam puisi-puisinya tentu akan mudah ditemukan pula banyak metafora dari kisah-kisah ritual tradisi Sawu atau Sabu (Hawu, dalam penyebutan lokal). Jingitiu adalah latar yang membentuk kepribadian masyarakat Sawu. Ritual-ritualnya membentang dari kelahiran hingga kematian, dengan ajaran-ajaran yang mengarahkan para penghayatnya akan kebenaran dan kebaikan. Bagi Mario, khazanah biblis dan kearifan tradisi lokal Jingitiu ini sama-sama memiliki kekuatan untuk mengarahkan para penganutnya pada pesan keselamatan—keutamaan yang hendak ia sampaikan dalam puisi-puisinya.

Ia percaya kearifan lokal Jingitiu tercermin gamblang dalam kepribadian kakeknya. Kakeknya, sebagai seorang Kenuhe, dengan tanpa beban menyerahkan seluruh keluarganya melepaskan identitas Jingitiu untuk memeluk Katolik, demi menunjukkan kepada siapa pun yang mengetahui kisahnya, bahwa iman jauh lebih penting daripada agama. Ibu Mario sendiri menjadi Katolik bersama keenam saudara-saudarinya berkat baptis misionaris Austria, Pater Franz Lackner, SVD.

Menyoal Jingitiu, puisi yang hadir persis dengan judul itu termaktub dalam Lelaki Bukan Malaikat (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Puisi ke-29 berjudul “Jingitiu” berkisah tentang pergulatan kakeknya menghadapi putra-putrinya melepaskan identitas Jingitiu, yang dibukanya dengan, “Sebelum meninggalkan ketujuh anaknya di depan pintu Gereja, kakek sempatkan berterima kasih kepada tiga belas cahaya yang membopong tubuhnya,” dan lantas ia menggambarkan bagaimana misionaris membaptis orang-orang di kampung itu, “Misionaris putih itu mulai menumpahkan isi buli-bulinya. Ia datang dari sebuah tempat yang jauh, dan ia tak mengenal Kika Ga.”

Ia menggambarkan pula bagaimana kakeknya disemayamkan sebagai seorang Jingitiu, “Kakek pun menekukkan lututnya, membetulkan kain yang digunakannya, sebelum meneteskan air matanya. Ia pun diangkat ke surga. Ke tempat yang lama ia nantikan untuk melihat mata kail yang menyangkuti Kika Ga sebelum Rai Hawu diciptakan. Ke tempat ia akan berjumpa Rai Ah—manusia pertama yang diciptakan Sang Mahakuasanya.”

Dalam keluarga inti kakeknya, hanya kakek Mario yang meninggal sebagai Jingitiu dan dikuburkan dalam sebuah kubur berbentuk bulat dalam posisi tubuh sedang duduk. 

Orang Sabu percaya bahwa kematian adalah perjalanan roh dari dunia ini ke dunia yang lain, dengan menumpang perahu bernama Ama Piga Laga. Upacara mencoret gendang dan lagu duka banyo menuturkan keberangkatan dan pelayaran roh, di mana ia dijemput oleh para leluhur. Tempat berangkatnya adalah Teluk Uba Aae, di pantai selatan Mehara, pada setiap bulan Banga Liwu, menuju ke Sumba. Barangkali itu pulalah yang membuat Mario kerap menggunakan lema “Selatan” dalam beberapa puisinya yang menoleh pada kenangannya akan kakeknya.

Puisi sebelumnya pada buku yang sama, puisi ke-28 berjudul “Penenun”, ditutupnya dengan pengalamannya dengan kakeknya yang membuat kita merasa dekat, “Bertahun-tahun kemudian, ia mendengar cerita tentang Hercules dari seorang cucunya yang lama menetap di kota. Kepada cucunya, ia berulang kali berkata, manusia adalah turunan ketiga belas setelah dewa-dewi diciptakan oleh Mara Mea.”

Bahwa betapa tradisi Jingitiu yang dipeluk kakeknya dapat selalu dihidupkan dan berkait dengan hal-hal mutakhir pada zaman ini yang kelak diketahui cucunya.

Kenangan dekat yang sama dapat kita lihat dalam puisinya “Gela” pada Ekaristi (Plotpoint, 2014), “Di dahiku masih ada tanda salib, dioleskan kakek dengan rasa haru yang harum, sepotong kelapa, serta adonan sirih dan pinang dari mulutnya,” pada puisi ini, dikutipkan mantra ritus inisiasi tradisi Jingitiu yang seiring dengan jalan kakeknya mengoleskan tanda salib pada dahi si cucu, “Wo Deo Muri, ne ta herae ta hero’de ri nyiu wou mangngi, mita rui kedi ihi kuri, mita haga dara, mita ju medera, kelodo pa taga rihi dula,” yang bermakna “Ya Allah sumber kehidupan, anak ini dioles-usapi dengan kunyahan kelapa yang harum agar kuat dan segar tubuh serta mentalnya, supaya bertambah besar dan tinggi, supaya mendapat status yang tinggi/terhormat dalam keluarga dan marga.”

Dalam puisi “Bui Ihi”, Mario kembali mengutip mantra yang merupakan ritus inisiasi Jingitiu, “Ana appu ya de tape wede pa loko pa da’I ta mahhe rim one b’aga,” yang terjemahannya bermakna, “Anak cucuku ini disanjung dalam cinta dan jodoh, semoga ia mendapat jodoh seseorang yang kaya akan sawah dan lumbung.”

Dalam Mendengarkan Coldplay (Gramedia Widiasarana Indonesia, 2016), Mario menuliskan lagi tentang kakeknya, tentang pertanyaan yang barangkali diujarkan oleh si kakek kepada cucunya yang terus menggali memorinya untuk menemukan kakeknya. Dalam puisinya ini, Mario menyebut dirinya sendiri dalam kata ganti Ama Peke. “Mengapa kau mencariku, Ama Peke?” dengan pertanyaan itu, yang diujarkan sang kakek kepada si cucu, puisi ke-19 dalam buku tersebut dibuka, dan lantas dilanjutkan dengan dongeng—yang agaknya berkaitan dengan kisah Mara Mere yang disebutkan oleh kakeknya dalam sahutannya atas kisah Hercules si cucu:

“Ada sebongkah dunia, seorang lelaki dan sesosok dewi. Ada perang kecil ketika segumpal tanah dibentangkan menjadi sebuah daratan luas. Doa pertama mengambang ketika seekor ikan gagal terpancing. Sebuah jalan memanjangkan dirinya di atas datar lautan. Berkilau dan menyilaukan. Aku memikirkanmu. Telah kukenal semesta yang lain, yang mengapungkan angin gelap dan mencurahkan hujan yang anomali. Di dalam kepalaku sepasang dunia melingkupimu. Telah tersesat aku dalam ceritamu, ketika para leluhur mengajakmu terbang ke berbagai belahan dunia dengan sayap-sayap yang terbuat dari anyaman lontar yang dilapisi serat-serat tembakau, daun sirih dan kulit pinang. Langit sudah tak membutuhkan warna. Mimpi sudah tak perlu menjadi tanda. Ke mana jalan itu membawamu? Ada air mata yang jatuh dari sepasang sudut matamu ketika tangan kakimu dijepit tiang penyangga. Ada mutiara di dalam kerang yang kaududuki di dalam kubur di sudut kiri depan rumah itu.”

Dalam cuplikan panjang di atas, Mario secara sengaja memberi penekanan pada ingatan (aku memikirkanmu) dan perjalanan (ke mana jalan itu membawamu). Selanjutnya, ia masih akan mengulang “Mengapa kau mencariku, Ama Peke” dua kali lagi, dan memberikan penekanan pada “kesedihan aneh yang mengusikku” dan berbagai hal yang tampak di hadapan si Ama Peke yang mencari, di antaranya: hitam, kering, pinang, tanah, merah, rumah, belangga, kayu, pagar, batu, sirih, keriput, bayi, rakit, laut, panen, kuda, ilalang, aspal, botol, perempuan, gigi, celah, timba, lemari, asap, langit, dan kau. Simbol-simbol yang bagi si Ama Peke lekat dengan kampungnya.  

2019/02/21

Sin Po: Koran Nasionalis Kiri Tionghoa


Monash University meluncurkan koleksi digital Sin Po Ekelijksche Editie. Ini adalah jalan awal bagi penelusuran lebih lanjut atas media Indonesia-Tionghoa terbesar pada masanya.


Pers Indonesia-Tionghoa lahir lewat surat kabar Li Po pada 1901 di Sukabumi.[1] Surat kabar ini terbit mingguan dan banyak mengabarkan perihal kegiatan sekolah Tionghoa, Tiong Hoa Hwe Koan (THHK).

Sebelum Perang Dunia II, selain Li Po yang berorientasi pada dunia pendidikan, terbit pula surat kabar yang menaungi kebutuhan kalangan Tionghoa dalam urusan niaga. Ketika itu, kebanyakan orang Tionghoa di Jawa menjadi pedagang perantara dan eceran bermodal kecil sehingga terbit Kabar Perniagaan.

Pemegang surat kabar Perniagaan ini adalah para opsir Tionghoa yang berpandangan kolot. Kebanyakan dari mereka tidak bersimpati terhadap ajaran Sun Yat Sen, penggerak nasionalisme dan revolusi Tiongkok, dan berselisih dengan angkatan muda yang revolusioner.

Perniagaan bahkan tidak menyokong pergerakan nasional Indonesia sehingga kerap dicap sebagai surat kabar yang pro-Belanda. Pada 1917, Perniagaan mendukung rencana partisipasi tokoh-tokoh Tionghoa menjadi anggota parlemen Belanda dalam Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda) dan Indie Weerbaar (barisan pertahanan Hindia) yang mewajibkan warga Tionghoa mengikuti milisi tentara kolonial Belanda. 

Orientasi politik Perniagaan ini banyak mendapat kritik dari Sin Po, yang baru berdiri pada 1 Oktober 1910, menjelang Revolusi Xin Hai 1911, revolusi yang dipimpin Sun Yat Sen dan banyak memengaruhi pemikiran para Tionghoa perantau sekalipun.
 

Surat Kabarnya Kelompok Nasionalis Tionghoa

Sin Po (makna: Surat Kabar Baru) hadir dengan orientasi pada nasionalisme Tiongkok, di bawah pimpinan Lauw Giok Lan dan Yoe Sin Gie. Lauw Giok Lan pernah bekerja untuk surat kabar Perniagaan dan tanpa persetujuan atasannya, ia menerbitkan Sin Po.

Surat kabar ini lantas menjadi saingan terbesar bagi surat kabar Perniagaan. Sin Po mendukung gagasan Revolusi Xin Hai sekaligus anti-imperialisme, dan mengaitkannya dengan upaya membantu perjuangan Indonesia merdeka.[2]

Dua tahun setelah berdiri, Sin Po mulai terbit harian dengan pemimpin redaksi J. R. Razoux Kohr, sementara Lauw Giok Lan berperan sebagai asisten.

Dalam empat tahun pertama, Sin Po lantas mengatur terbitan dengan adanya rubrik tajuk rencana, halaman Hindia Nederland, berita luar negeri, ruangan pajak, ulasan berita, pojok Djamblang Kotjok dan rubrik komik Put On.

Setelah meningkatkan modal, pada 12 Februari 1921, Sin Po menerbitkan edisi bahasa Tionghoa, Sin Po Chineesche Editie. Edisi bahasa Melayu diperuntukkan bagi golongan peranakan dan edisi Tionghoa untuk golongan totok. Sejak 1922, Sin Po juga menerbitkan beberapa harian tambahan: Bin Seng, versi lebih murah dari harian Sin Po (1922-1923), Sin Po Oost Java Editie, edisi Jawa Timur yang kelak berubah menjadi Sin Tit Po (Juli 1922), Weekblad Sin Po atau Sin Po Wekelijksche Editie, Sin Po edisi mingguan (April 1923), dan majalah triwulan berbahasa Belanda De Chineesche Revue (Januari 1927).

Sin Po terbit selama 55 tahun (1910-1965). Selain dua periode pemimpin redaksi, Lauw Giok Lan dan Kwee Kek Beng, periode kehadiran Ang Yang Goan adalah babak penting di keredaksian Sin Po. Dalam memoarnya, Memoar Ang Yoan, logo Sin Po tampil dengan fotonya diikuti subjudul “Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa Indonesia”. Ia memang punya peran besar perkembangan surat kabar ini sejak diajak bergabung oleh Tjoe Bouw San pada 1921.

Ketika Tjoe Bouw San meninggal pada 1925, Kwee Kek Beng ditunjuk sebagai pemimpin redaksi untuk menggantikan, sementara Ang Jan Goan memimpin perusahaan. Keduanya memimpin Sin Po 25 tahun lamanya.

Selepas masa pendudukan Jepang (1942-1945), arah Sin Po semakin jelas. Pembaca surat kabar kala itu terbagi dalam dua golongan, yang sayap kanan dengan Keng Po dan sayap kiri dengan Sin Po.[3] Kedua surat kabar ini juga berdiri dengan majalahnya, Pantjawarna milik Sin Po sedangkan Star Weekly milik Keng Po. Surat kabar di luar Jakarta juga terbagi berdasarkan haluan politiknya, seperti Kuang Po (Semarang, 1953) berhaluan kanan, Sin Min dan Trompet Masjarakat (Surabaya, 1947) berhaluan kiri.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, seturut ketentuan pemerintah terkait integrasi masyarakat keturunan Tionghoa sebagai warga negara Indonesia berdasarkan asas ius soli, Sin Po berganti nama menjadi Pantja Warta di bawah pimpinan Kwa Sien Biauw, lantas menjadi Warta Bhakti di bawah pimpinan Abdul Karim Daeng Patombong (A. Karim D. P.) dan Tan Hwie Kiat, hingga ditutup pada Oktober 1965 dengan tuduhan terlibat G30S.

Saking berpengaruhnya Sin Po, terdapat julukan Sinpoisme untuk menggambarkan aliran politik peranakan Tionghoa yang berpedoman “sekali Tionghoa tetap Tionghoa”. Sin Po mendukung setiap gerakan nasionalis bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga secara finansial. Apa yang mendorong gerakan nasionalis ini?

Bicara Pascakolonial: Kabar soal Selatan dari Selatan

 

Demokrasi pengetahuan di kalangan dunia Selatan menghendaki pengetahuan berkembang dari, oleh, dan untuk Selatan.


“Kekeliruan untuk tidak mengambil teknologi tercanggih yang ada telah banyak merugikan sebagian negara sosialis; kerugiannya dalam hal pembangunan dan persaingan di pasar dunia.”

Tokoh revolusioner Kuba, Che Guevara, menekankan bahwa mengambil pengetahuan dan teknologi dari negara di luar Kuba adalah suatu keniscayaan. Namun, sebelum itu, ia mengajukan sederet prioritas untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di negaranya.

Pendidikan, karena ia pandang sebagai kunci utama kemajuan, menjadi mandat gerakan revolusionernya. Hanya dalam waktu singkat setelah Kuba ditinggalkan oleh banyak orang terpintarnya, bagai suatu eksodus besar-besaran “para pengkhianat revolusi”, Che tidak ambil pusing dan mulai melatih orang-orang yang tersisa dan bersedia bertahan demi revolusi yang dibayangkannya. Ia menganjurkan kelas-kelas peningkatan kemampuan dan memberikan tes untuk mengukur kinerja buat peningkatan produktivitas.

Che sendiri, konon, menyiapkan papan tulis dan penghapus, dan meminta profesor matematika Universitas Havana, Salvador Vilaseca, untuk mengajarinya aljabar, trigonometri, geometri analitis, dan kalkulus diferensial untuk mempersiapkan diri sebagai Presiden BNC. “Ketika revolusi menempatkanmu pada sebuah jabatan, satu-satunya yang bisa diperbuat adalah menerimanya, belajar, dan bekerja sebagaimana harusnya,” katanya.
 
Keresahan yang dialami di masa Che tentang teknologi tercanggih itu kembali terjadi pada hari-hari ini, terutama saat gagasan tentang kemajuan dan pembangunan bergerak di luar kendali kita.

Dengan kesadaran bahwa selama ini pengetahuan dan teknologi masih mengacu pada para pemikir negeri Barat, konon kita perlu mengoreksi pemahaman kita tentang kebangsaan dan standar-standar berbangsa. Apakah Jakarta benar membutuhkan kemajuan seperti yang sekarang terjadi? Dan apakah Papua, tempat terjauh di Indonesia dari skala Jakarta, perlu meniru jejak pembangunan Jakarta demi modernitas? Akan tetapi, modernitas itu sebenarnya apa?

Ataukah kita perlu mengartikan dan mengukur kembali kesiapan menghadapi modernitas?

Atas soal-soal itu, kajian pascakolonial yang berkembang saat ini kembali berusaha mempertanyakan asumsi-asumsi mendasar kita tentang modernitas—yang sebagian besar berasal dari pengetahuan Barat, termasuk gagasan kita seputar kemajuan dan pembangunan. 

Sejalan dengan itu, para pengkaji pascakolonial memegang asumsi bahwa kita mesti menggali etika kehidupan bersama yang bersifat non-Eurosentris, non-korporat, dan mengedepankan kekuatan pengetahuan Timur.

Wacana Global South dan semangat South-South Cooperation membuka kesempatan bagi berbagai negara pascakolonial untuk mengkaji masalah-masalah modernitas itu. Dua istilah terkini ini pula yang dipakai para pengkaji pascakolonial untuk menekankan rasa solidaritas di tengah masyarakat dari negara-negara bekas jajahan dan di bawah situasi ekonomi yang terhimpit perkembangan kapitalisme global.

Istilah global south ini tidak digunakan dengan pemahaman geografis, tetapi lebih pada upaya penguatan negara-negara di “Selatan global”, meski negara-negara yang termasuk dalam daftar ini terletak di belahan bumi Selatan. South-south Cooperation memungkinkan berbagai negara di bawah payung Selatan global untuk menggali pengetahuannya sendiri—sebagai suatu upaya “dekolonisasi pengetahuan”. Dengan pengetahuan dari diri sendiri itulah mereka menentukan arah perkembangan bangsanya dan bermodalkan ini, bila menggunakan contoh di awal, kita akan dapat menentukan modernitas versi Papua, bukan Jakarta.

Dengan pendekatan South-South Cooperation, kita perlu menelaah klaim eurosentris tentang universalitas—kecenderungan kita memeluk pemahaman bahwa standar baik adalah tunggal sehingga membuat budaya menjadi homogen ditentukan oleh standar Barat. Di satu sisi, kita perlu pula membongkar mitos tentang perspektif yang berfokus pada partikularisme global dan relativisme kultural, bahwa jalan yang dipakai untuk melawan penyeragaman budaya adalah dengan menutup rapat-rapat pintu rumah kita dari kebudayaan asing. Menurut forum ini, bagaimanapun, klaim-klaim oposisi biner ini bertahan membuat negara-negara di luar Eropa tetap “menggunakan perspektif Barat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan Timur”. 

Forum Goethe Insititut Indonesien Jakarta mengetengahkan perdebatan tentang sudut pandang pascakolonial inikendati ironis karena tempat penyelenggara diskusi dengan tema ini bukan pusat kebudayaan negara-negara yang masuk dalam daftar South-south Cooperation. Forum mengajak para pemikir di bidang ini untuk menelaah proses “dekolonisasi pengetahuan” dengan menyoroti bagaimana pengetahuan Barat masih ditiru, bertahan, dan dipakai untuk memarginalisasikan non-Barat, dan karenanya praktik-praktik ini perlu dikritisi. 

Forum terbuka bertajuk “Perspektif Pasca-kolonial dari Belahan Selatan Dunia” ini mempertemukan para kurator, sosiolog, dan sejarawan dari Amerika Selatan, Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Pada hari pertama, 24 Januari 2019, hadir Chua Beng Huat (Singapura) yang membahas tentang perspektif pascakolonial di Asia Tenggara dan Divya Dwivedi (India) dengan perspektif dari Asia Selatan. Pada hari berikutnya, 25 Januari 2019, agenda diisi oleh Gabi Ngcobo (Afrika Selatan) untuk membahas perspektif pascakolonial di Afrika dan Laymert Garcia dos Santos (Brazil) dari Amerika Selatan. 

Pada panel pertama, Chua Beng Huat, profesor Departemen Sosiologi National University of Singapore, membicarakan tentang betapa langkanya tulisan-tulisan terkait pemikiran pascakolonial dari wilayah Asia Tenggara. Pendekatan yang dipakai ketika membahas pascakolonial di Singapura umumnya berasal dari Asia Selatan—lantaran masyarakat Singapura memang terdiri atas masyarakat etnis yang majemuk—dengan pembahasannya mengenai pendudukan imperium Inggris di India. Padahal, soal-soal pembangunan, perbedaan pendapatan, hingga kapitalisme global menjadi soal genting sehingga perlu dibahas dalam literatur-literatur tentang pascakolonialisme di Asia Tenggara hari ini. Namun, ironi ini dijawab sendiri olehnya, karena menurutnya sejak 1970, bahkan tampaknya sekadar pembahasan tentang kapitalisme global di Singapura saja tidak begitu dianggap urgen. 

Unjuk Rasa: Seni adalah Panglima


 
Apakah seni masih punya taji untuk merespons hal-hal yang tampak keliru dengan dunia kita hari ini? Dalam enam tahun terakhir, setidaknya kita bisa merunut tiga perkara.

 
Pada pameran bertajuk “PotretDiri sebagai Kaum Munafik” di Galeri Nasional pada 2018 lalu, sajadah bersimbah darah menjadi simbol yang dipilih Tisna Sanjaya untuk mengacungkan jari tengah terhadap kemunafikan masyarakat. Kita sebagai penonton, dapat memaknainya dengan apa yang kita hadapi hari ini: kita menyaksikan seseorang bersembahyang demikian taat, tampak religius dan menampilkan aura kebajikan, dan menyadari bahwa orang yang sama dapat menjadi pembunuh keji mengatasnamakan agama.

Pameran Tisna ini, misalnya, mau tidak mau mengingatkan kita pada aksi bom bunuh diri seorangibu di Surabaya—terjadi dua bulan sebelum pameran Tisna—yang menggendong putrinya menghadapi maut dengan mengatasnamakan agama.

Mundur dua tahun sebelumnya, pada 12 April 2016, ibu-ibu dari pegunungan karst, Kendeng, Jawa Tengah menanam kakinya pada semen untuk menggambarkan betapa pabrik semen yang akan dibangun di wilayah mereka seakan-akan sedang bergerak menimbun tubuh mereka hidup-hidup dengan semen. Begitu lamanya mereka menolak pembangunan pabrik Semen Indonesia ini, aksi menanam kaki pada semen itu mereka lakukan setelah setahun mereka membunyikan lesung tanda bahaya di depan Istana Presiden.

Menanamkan kaki pada semen adalah upaya tersirat mereka membongkar belenggu semen yang merusak alam dan mengancam keberlangsungan hidup para petani di sepanjang pegunungan Kendeng. 

Kembali mundur dua tahun, pada 2014, DodokPutra Bangsa menggelar aksi seni kejadian dengan mandi pasir untuk menggambarkan kekeringan yang terjadi di sumur-sumur warga Miliran, Umbulharjo. Aksinya ini bertujuan menolak pembangunan Fave Hotel di dekat permukimannya. Respons yang diterimanya kemudian adalah penjelasan tentang perizinan pembangunan sumur air tanah yang dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta untuk hotel ini.

Aksi ini mengungkit perihal apa yang tak dibicarakan lebih dulu oleh pihak pemberi izin (pemerintah daerah ataupun Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta) kepada masyarakat setempat.

Bahwa orang-orang yang mengatakan dirinya mewakili rakyat tidak pernah benar-benar mewakili rakyat. Dan karena itu rakyat berhak menggugat.

Ketiga aksi ini menunjukkan betapa seni telah begitu lumrah menjadi cara penyampaian kritik sosial di ruang publik. 
 

Sensitivitas untuk Melancarkan Kritik Sosial

Buku Unjuk Rasa berkabar tentang bagaimana masyarakat bisa berdaya demi melakukan perubahan sosial dengan jalan berkesenian. Lewat berbagai upaya yang tak hanya dilakukan seniman mapan, tetapi juga digelar oleh berbagai inisiatif di luar arus utama.

Komunitas-komunitas seni ini boleh saja tampak bergerak dalam diam tetapi siap hadir dan memekakkan telinga, menyuarakan berbagai persoalan melalui beragam medium, dari upaya rekonsiliasi, seni rupa, musik, sastra, aktivisme bioskop, klub baca selepas kerja bagi para buruh migran, pelestarian tradisi lisan, hingga arsitektur.

Enam belas kontributor dalam buku ini mengajak pembaca melampaui pengertian yang sudah lumrah tentang lema “unjuk rasa” yang kerap dimaknai sekadar sebagai tangan terkepal ke udara dan barisan buruh melakukan mogok. Sementara, orang yang sekadar lewat dan sepintas melihat aksi-aksi semacam ini kerap tak menangkap esensi kegiatan itu dan meremehkan gerakan-gerakan semacam ini.

Redefinisi “unjuk rasa ini dilakukan untuk mengembalikan esensi itu, bahwa aktivisme (unjuk rasa), sebelum hadir dengan wujud tangan yang terkepal, pertama-tama hadir melalui suatu proses “menunjukkan” (unjuk) “perasaan” atau “sensitivitas” (rasa). Buku ini hendak mengatakan bahwa kunci dari gerakan sosial pada awalnya digerakkan oleh orang-orang yang bergerak dengan sensitivitas serupa atas persoalan di tengah masyarakat.

Dari pengertian itu, buku ini lantas memberi penjelasan bagaimana seni berhasil memantik sensitivitas atas persoalan masyarakat dan bagaimana masyarakat dapat berdaya lewat seni. Keenam belas artikel menjelaskan tentang proses berkesenian yang mengantarkan para seniman dan non-seniman untuk terlibat dalam proses demokratisasi lewat seni—ketika negara tidak hadir atau memang tidak dibutuhkan hadir. 

Brigitta Isabella, yang lama terlibat dalam kerja riset-aksi dengan fokus produksi pengetahuan secara partisipatoris bersama KUNCI CulturalStudies Center, dalam pengantar editorialnya, menyebutkan “pengertian unjuk rasa sebagai praktik estetiko-politik yang akan diketengahkan buku ini ialah: berbagai cara tutur menubuh yang mengaktifkan sensibilitas dan agensi politik kolektif untuk berpikir kritis, menunjukkan realitas empiris, dan mengambil peran dalam pengorganisasian transformasi sosial.”

Dari uraiannya itu, maka pertama, konteks buku ini adalah persoalan yang dihadapi orang Indonesia hari ini. Sebagai negara berdaulat dalam barisan geopolitik dunia ketiga dengan sejarah kolonial yang panjang, lantas melewati fase rezim militeristik Soeharto di bawah cetak biru developmentalisme periode Orde Baru, Indonesia memiliki kondisi khas yang juga dialami oleh negara-negara dunia ketiga yang menghadapi ketimpangan ekonomi Utara-Selatan (pandangan tentang dunia ketiga digeser sebagai negara-negara Global South).

Sejarah panjang ini menjadikan rezim hari ini masih berparadigma pembangunan yang pro-investor; perekonomian di tengah masyarakat semakin timpang, sementara pembangunan terus berkelanjutan. Artikel-artikel dalam buku ini menghadirkan upaya masyarakat dalam berdialog secara kritis dengan persoalan diskrepansi ekonomi ini.

Kedua, keadaan perekonomian negara yang pro-investor ini menyebabkan beberapa kota menjadi semacam gelembung pusat kebudayaan, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. “Jarak” antara beberapa kota yang menjadi “pusat” ini dengan kota lainnya berimbas pada bagaimana orang-orang yang tinggal di kota-kota besar kerap mengesampingkan pergulatan orang-orang di “daerah” yang dipandang sebagai “pinggiran”.

Artikel yang melingkupi tempat-tempat yang menjangkau banyak wilayah di Indonesia ini ditujukan untuk menata ulang hubungan pusat-pinggiran yang hierarkis. Yayasan Kelola dengan beberapa inisiatif rekanannya seperti Forum Lenteng, In-Docs, dan Koalisi Seni Indonesia memiliki rekam jejak dalam menumbuhkan jaringan antar kantong-kantong kebudayaan di Indonesia ini. Dengan dua konteks ini, pembahasan dalam buku lantas dibagi ke dalam enam bagian: Mengasah Tubuh, Setelah Penyadaran dan Pemberdayaan, Me(ruang), Sub-kultur dan Budaya Populer, Mengulik Teknologi Tradisi, dan Estetika Berkomunitas.
 

Seni adalah Panglima

Setelah polemik budaya pada era awal kemerdekaan, dan berbagai perseteruan antara seniman Lekra dan Manifes Kebudayaan, para seniman Indonesia pernah menghadapi momen saat seni dan budaya pada masa Orde Baru dinyatakan harus bersih dari politik. Cholil Mahmud dalam artikel “Musik dan Peristiwa Musik sebagai Medium Aktivisme” menyatakan betapa negara menyadari musik sebagai alat propaganda yang efektif untuk menyebarkan gagasan. Meski berbeda ideologi politik, Soeharto mengambil taktik Sukarno dalam membungkam kebebasan berkesenian. Namun, para seniman idealis tidak pernah bersedia dihalang-halangi. Cholil mengutip JeremyWallach yang mencatat para musisi populer yang tak mau tunduk dan, bagaimanapun, tetap melawan pemerintah Orde Baru dengan melancarkan berbagai kritik sosial, seperti John Tobing dengan lagu “Darah Juang” atau grup musik Swami yang digawangi Iwan Fals dengan “Bento” dan “Bongkar”.

Pasca-1998, intensi para musisi untuk terlibat dalam politik tampak semakin jelas. Beberapa kelompok musik seperti Navicula, Seringai, Koil, Homicide, Superman is Dead, The Brandals, Jogja Hip Hop Foundation, dan Efek Rumah Kaca berpusar dalam semangat yang serupa. Ia menyebutkan, pada aksi Kamisan pun, musik dan penampilnya turut meningkatkan dukungan publik.

Musik pun menjadi terapi dan medium penyemangat bagi korban ketidakadilan dan penindasan. Paduan Suara Dialita, yang beranggotakan para ibu eks-tahanan politik atau kerabat dari mereka yang pernah ditahan ataupun terkena dampak pembantaian massal 1965, merilis album Dunia Milik Kita (2016) untuk mengawetkan ingatan kolektif mereka tentang peristiwa yang melukai hati, didukung oleh para musisi muda seperti Sisir Tanah dan Frau.

Tulisan Terdahulu