2019/02/21

Sin Po: Koran Nasionalis Kiri Tionghoa


Monash University meluncurkan koleksi digital Sin Po Ekelijksche Editie. Ini adalah jalan awal bagi penelusuran lebih lanjut atas media Indonesia-Tionghoa terbesar pada masanya.


Pers Indonesia-Tionghoa lahir lewat surat kabar Li Po pada 1901 di Sukabumi.[1] Surat kabar ini terbit mingguan dan banyak mengabarkan perihal kegiatan sekolah Tionghoa, Tiong Hoa Hwe Koan (THHK).

Sebelum Perang Dunia II, selain Li Po yang berorientasi pada dunia pendidikan, terbit pula surat kabar yang menaungi kebutuhan kalangan Tionghoa dalam urusan niaga. Ketika itu, kebanyakan orang Tionghoa di Jawa menjadi pedagang perantara dan eceran bermodal kecil sehingga terbit Kabar Perniagaan.

Pemegang surat kabar Perniagaan ini adalah para opsir Tionghoa yang berpandangan kolot. Kebanyakan dari mereka tidak bersimpati terhadap ajaran Sun Yat Sen, penggerak nasionalisme dan revolusi Tiongkok, dan berselisih dengan angkatan muda yang revolusioner.

Perniagaan bahkan tidak menyokong pergerakan nasional Indonesia sehingga kerap dicap sebagai surat kabar yang pro-Belanda. Pada 1917, Perniagaan mendukung rencana partisipasi tokoh-tokoh Tionghoa menjadi anggota parlemen Belanda dalam Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda) dan Indie Weerbaar (barisan pertahanan Hindia) yang mewajibkan warga Tionghoa mengikuti milisi tentara kolonial Belanda. 

Orientasi politik Perniagaan ini banyak mendapat kritik dari Sin Po, yang baru berdiri pada 1 Oktober 1910, menjelang Revolusi Xin Hai 1911, revolusi yang dipimpin Sun Yat Sen dan banyak memengaruhi pemikiran para Tionghoa perantau sekalipun.
 

Surat Kabarnya Kelompok Nasionalis Tionghoa

Sin Po (makna: Surat Kabar Baru) hadir dengan orientasi pada nasionalisme Tiongkok, di bawah pimpinan Lauw Giok Lan dan Yoe Sin Gie. Lauw Giok Lan pernah bekerja untuk surat kabar Perniagaan dan tanpa persetujuan atasannya, ia menerbitkan Sin Po.

Surat kabar ini lantas menjadi saingan terbesar bagi surat kabar Perniagaan. Sin Po mendukung gagasan Revolusi Xin Hai sekaligus anti-imperialisme, dan mengaitkannya dengan upaya membantu perjuangan Indonesia merdeka.[2]

Dua tahun setelah berdiri, Sin Po mulai terbit harian dengan pemimpin redaksi J. R. Razoux Kohr, sementara Lauw Giok Lan berperan sebagai asisten.

Dalam empat tahun pertama, Sin Po lantas mengatur terbitan dengan adanya rubrik tajuk rencana, halaman Hindia Nederland, berita luar negeri, ruangan pajak, ulasan berita, pojok Djamblang Kotjok dan rubrik komik Put On.

Setelah meningkatkan modal, pada 12 Februari 1921, Sin Po menerbitkan edisi bahasa Tionghoa, Sin Po Chineesche Editie. Edisi bahasa Melayu diperuntukkan bagi golongan peranakan dan edisi Tionghoa untuk golongan totok. Sejak 1922, Sin Po juga menerbitkan beberapa harian tambahan: Bin Seng, versi lebih murah dari harian Sin Po (1922-1923), Sin Po Oost Java Editie, edisi Jawa Timur yang kelak berubah menjadi Sin Tit Po (Juli 1922), Weekblad Sin Po atau Sin Po Wekelijksche Editie, Sin Po edisi mingguan (April 1923), dan majalah triwulan berbahasa Belanda De Chineesche Revue (Januari 1927).

Sin Po terbit selama 55 tahun (1910-1965). Selain dua periode pemimpin redaksi, Lauw Giok Lan dan Kwee Kek Beng, periode kehadiran Ang Yang Goan adalah babak penting di keredaksian Sin Po. Dalam memoarnya, Memoar Ang Yoan, logo Sin Po tampil dengan fotonya diikuti subjudul “Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa Indonesia”. Ia memang punya peran besar perkembangan surat kabar ini sejak diajak bergabung oleh Tjoe Bouw San pada 1921.

Ketika Tjoe Bouw San meninggal pada 1925, Kwee Kek Beng ditunjuk sebagai pemimpin redaksi untuk menggantikan, sementara Ang Jan Goan memimpin perusahaan. Keduanya memimpin Sin Po 25 tahun lamanya.

Selepas masa pendudukan Jepang (1942-1945), arah Sin Po semakin jelas. Pembaca surat kabar kala itu terbagi dalam dua golongan, yang sayap kanan dengan Keng Po dan sayap kiri dengan Sin Po.[3] Kedua surat kabar ini juga berdiri dengan majalahnya, Pantjawarna milik Sin Po sedangkan Star Weekly milik Keng Po. Surat kabar di luar Jakarta juga terbagi berdasarkan haluan politiknya, seperti Kuang Po (Semarang, 1953) berhaluan kanan, Sin Min dan Trompet Masjarakat (Surabaya, 1947) berhaluan kiri.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, seturut ketentuan pemerintah terkait integrasi masyarakat keturunan Tionghoa sebagai warga negara Indonesia berdasarkan asas ius soli, Sin Po berganti nama menjadi Pantja Warta di bawah pimpinan Kwa Sien Biauw, lantas menjadi Warta Bhakti di bawah pimpinan Abdul Karim Daeng Patombong (A. Karim D. P.) dan Tan Hwie Kiat, hingga ditutup pada Oktober 1965 dengan tuduhan terlibat G30S.

Saking berpengaruhnya Sin Po, terdapat julukan Sinpoisme untuk menggambarkan aliran politik peranakan Tionghoa yang berpedoman “sekali Tionghoa tetap Tionghoa”. Sin Po mendukung setiap gerakan nasionalis bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga secara finansial. Apa yang mendorong gerakan nasionalis ini?

Koloni Kelima: Cara Pemerintah Hindia Belanda Sudutkan Tionghoa

Pramoedya Ananta Toer dalam Hoa Kiau di Indonesia menyebutkan bahwa pada permulaan abad ke-18, golongan Hoakiau menjadi “golongan yang tidak disukai” oleh pemerintah Hindia Belanda dan ditempatkan sebagai “koloni kelima”. Sikap anti-Tionghoa dikembangkan oleh golongan penguasa, berlanjut ke golongan borjuasi, para pemodal non-Tionghoa, lantas oleh golongan politik sebagai senjata menjatuhkan.

Pada 1821, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan Surat Jalan (Passenstelsel) yang menentukan bahwa setiap orang Tionghoa perlu memiliki izin perjalanan. Secara implisit, peraturan ini ditujukan untuk membatasi ruang gerak masyarakat Tionghoa. Ini dibarengi edaran Peraturan Kependudukan (Wijkenstelsel) yang menetapkan bahwa orang Tionghoa harus tinggal di wilayah yang dikhususkan bagi mereka.

Hal ini diperkuat dengan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang tak memberikan kesempatan bagi anak Tionghoa untuk bersekolah. Kesengajaan untuk menghalang-halangi pendidikan bagi kalangan bumiputera atas pemahaman tentang Tionghoa juga tampak dari fakta bahwa barulah pada 1928, sebuah mata pelajaran tentang orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda tercantum dalam pendidikan BB ambtenaren (Binenlandsch Bestuur, administrasi domestik, rekomendasi pribadi pejabat).[4]

Intimidasi pemerintah kolonial Belanda ini menggerakkan orang Tionghoa untuk mengarahkan dan menggantungkan harapan ke Tiongkok. Salah satu aspirasi nasionalisme kultural Tiongkok ini adalah terbitnya buku-buku cerita atau roman Tiongkok dalam bahasa Melayu-Betawi dan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada awal abad ke-20.

Upaya Patahkan Penindasan Kolonial

THHK didirikan pada 17 Maret 1900 dan secara resmi dibuka pada 3 Juni 1900.[5] Pada 1 September 1901, THHK membuka sekolah berbahasa Inggris. Lalu pada Desember 1904, kedua jenis sekolah, baik yang berbahasa Melayu dan berbahasa Inggris, digabungkan.

Bersamaan dengan berdirinya THHK, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Biro Urusan Tionghoa yang bertugas menasihati pemerintah dalam menjalankan politik terhadap orang Tionghoa di Hindia Belanda. Kekhawatiran pemerintah Belanda akibat perkembangan pesat THHK mendorong Dewan Hindia mengusulkan pendirian sekolah-sekolah Belanda. Sekolah dengan pengantar bahasa Belanda ini didirikan pada 1908 dengan nama Hollandsch Chineesche School (HCS).

Perlahan, sekolah THHK terdesak oleh HCS dan masyarakat Tionghoa terpecah menjadi mereka yang berpendidikan Belanda dan yang berpendidikan Tionghoa. Pada saat bersamaan, di Tiongkok sedang berlangsung perjuangan revolusioner Sun Yat Sen dan kelompok nasionalis yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Dinasti Ch’ing.

Paham Sun Yat Sen yang dikemukakan dalam buku San Min Chu I, yakni paham yang mengupayakan kemerdekaan nasional, menjadi pegangan kalangan nasionalis Tionghoa pada masa pra-kemerdekaan Indonesia. Kalangan peranakan Tionghoa pada umumnya memaknai isi buku Sun Yat Sen bahwa rakyat Tiongkok mesti mendukung rakyat di mana ia berada untuk mencapai kemerdekaan penuh—demikian juga pegangan kalangan perantau Tionghoa di Indonesia pada masa pra-kemerdekaan.

Kita pun dapat melihat rakyat Tionghoa mendukung penuh usaha-usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Belanda karena mereka memandangnya selaras dengan gagasan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme dalam pemikiran Sun Yat Sen.
 

Ang Yan Goan: Tokoh Pers Tionghoa dan Gagasan “Serba Pertama” di Keredaksian

Ang Yan Goan adalah tokoh di balik banyak pembaruan dalam keredaksian Sin Po. [6] Dalam memoarnya, Ang bercerita tentang kerja-kerja keredaksian Sin Po dan haluannya. Salah satunya ketika WR Supratman mengaku bahwa banyak redaksi media kala itu tidak bersedia memuat lirik lagu Indonesia Raya.

WR Supratman mendatangi kantor Sin Po dan memainkan biola, menyanyikan larik-larik lagu tersebut di depan Ang. Kelak, ketika beberapa media berhaluan nasionalis menghujat mengapa lagu tersebut diterbitkan di Sin Po, Ang selalu terkenang akan hari biola digesekkan kala itu dan bagaimana keputusan redaksi berperan penting dalam menghadirkan nasionalisme awal bangsa, melalui publikasi lirik lagu!

Tiap harinya, Ang memacak target bahwa Sin Po harus menerbitkan tajuk rencana dan tulisan yang berbobot. Tiap pekan, Pak Kwee selaku redaktur ditugaskan menulis tiga tajuk rencana dengan mengulas peristiwa dalam negeri, sementara Pak Go menulis ulasan tentang peristiwa di Tiongkok. Saat itu, belum ada koran di Indonesia yang menerbitkan tajuk rencana setiap hari, dan pilihan Ang ini memberi kekhasan pada Sin Po dan memulai tradisi baru.

Koran ini juga mulai membuat komik yang kemudian menjadi lebih terkenal daripada koran itu sendiri, yakni serial Put On, bercerita tentang karakter anak kecil yang banyak tingkah, dengan ibu berikut kedua adiknya, dan teman-temannya yang kocak. Lagi-lagi, ketika itu, Sin Po menjadi satu-satunya koran yang memuat komik ciptaan bangsa sendiri.  

Langkah-langkah strategis dicanangkan oleh Ang untuk menampilkan keistimewaan Sin Po. Di antaranya untuk Sin Po edisi bahasa Tionghoa, mereka mempekerjakan koresponden yang bekerja di beberapa kota di Tiongkok seperti di Provinsi Fujian dan Guangdong, maupun di Hong Kong, Shanghai, dan Singapura untuk mengirimkan tulisan setempat. 

Pada 1926, Sin Po membeli seluruh berita dari Aneta News Agency dan mendulang sukses karena langganan surat kabar ini meningkat hampir 100 persen. Mereka juga mengganti cara mencetak manual dengan mesin, plat rata diganti dengan cetak rol baru. Ang memutuskan membeli sebuah mesin Linotype yang digunakan mingguan dan meminta perusahaan Linotype untuk melatih dua karyawan mudanya agar bisa jadi operator. Kembali lagi, Sin Po menjadi koran pertama berbahasa Melayu di Indonesia yang menggunakan mesin ini. 

Ia juga mempelajari pembuatan pelat untuk menaruh foto pada pelat cetak. Dengan menggunakan foto-tustel, ia bereksperimen, lantas menghubungi seorang importir untuk memperoleh bahan-bahan kimia pembuatan pelat dari Hunter and Penrose Co. di London. Dengan hadirnya pelat cetak foto ini, edisi Sin Po lebih sering memuat foto, bahkan pada Sin Po berbahasa Tionghoa yang terbit tiap Sabtu, mereka menyisipkan halaman khusus penuh foto. Ini menjadikan Sin Po, sebelum Perang Dunia II, satu-satunya koran berbahasa Tionghoa di Indonesia yang punya bengkel pembuatan pelat sendiri.

Selain hal-hal yang “serba pertama” itu, Ang juga mengutamakan kesejahteraan karyawannya. Pada 1920-an, pajak pendapatan karyawan yang telah bertugas lebih dari lima tahun ditanggung oleh perusahaan, dan 20 persen dari keuntungan bersih perusahaan mesti dibagikan kepada karyawan. Tiap tahun, Sin Po menaikkan gaji para karyawan secara rutin tanpa diminta oleh para pekerjanya. Ia juga mengusulkan dana kesejahteraan hari tua bagi karyawan (semacam uang pensiun), karyawan tidak perlu melakukan iuran dana pension ini karena setiap bulan perusahaan menyediakan dana yang jumlahnya ditentukan pemegang saham.

Menengok Koleksi Sin Po, Merelevankan Arsip
Upaya digitalisasi arsip Sin Po edisi mingguan oleh Monash University adalah terobosan penting. Sama seperti banyak arsip lainnya, perlu usaha untuk menyangkutpautkan arsip-arsip tersebut agar tidak hanya berhenti sebagai arsip yang tidak tergapai. Banyak hal menarik yang bisa digali dan dipelajari dari Sin Po.

Soal bagaimana Sin Po mendukung nasionalisme, kita akan menemukan catatan panjang tentang persaingannya dengan Keng Po dan Perniagaan ataupun koran-koran berhaluan kanan lain. Penelusuran atas ideologi para pendiri Sin Po dan isi penerbitannya menunjukkan bagaimana orang-orang kiri Tionghoa saat itu mendukung kemerdekaan Indonesia. Sikap pers Melayu Tionghoa dan pers Melayu untuk saling menghormati dengan menulis kata “Indonesia” dan “Tionghoa” untuk menggantikan kata “Inlander” dan “Tjina” juga menjadi catatan penting.

Berdasarkan penuturan berbagai sumber, Sin Po juga memperhatikan kesenian, Ang mengakui dalam memoarnya bagaimana ia mengajak para seniman untuk menghadirkan tata artistik yang khas. Sin Po kerap hadir dengan seni lukis dari banyak seniman ternama untuk halaman muka, seperti oleh Basuki Abdullah, Lee Man Fong, dan Agus Djaja. Beberapa rubrik pun menarik untuk ditelusuri kembali, dengan daya tarik terbesar untuk anak-anak adalah “Ko Put On” yang diasuh oleh Kho Wan Gie ataupun rubrik “Djamblang Kotjok” asuhan Kwee Kek Beng yang menulis sindiran terhadap kejadian-kejadian dan tokoh-tokoh penting pada masa itu. 

Berbagai upaya “serba pertama” menjadikan Sin Po terdepan pada masanya. Pemuatan karya-karya nasionalis seperti lirik lagu WR Supratman, perekrutan kontributor di negara-negara berbahasa Tionghoa, penggunaan ilustrasi dan foto, pengadaan pelat cetak serta mesin khusus, hingga perhatiannya atas kesejahteraan karyawan menjadikan Sin Po sebagai media yang teramat penting untuk dilacak proses kerja keredaksiannya.

Kepustakaan

Ang Yan Goan. (2009). “Koran Keng Po” dan “Pembaruan Sin Po” dalam Memoar Ang Yan Goan: Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa Indonesia. Jakarta: Yayasan Nabil dan Hasta Mitra.
Benny G. Setiono (ed.). (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia Pustaka.
Leo Suryadinata. (2010). “Pers Indonesia-Tionghoa di Jawa dan Pergerakan Kemerdekaan, 1901-1942” dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1966-2008. Jakarta: Penerbit Kompas.
Myra Sidharta. (2009). “Pers Melayu Tionghoa” dalam Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya. Jakarta: PT Intisari Mediatama dan Komunitas – Lintas Budaya Indonesia.
Onghokham. (2005). “Terjadinya Suatu ‘Minoritas’” dalam Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu.




[1] Leo Suryadinata, “Pers Indonesia-Tionghoa di Jawa dan Pergerakan Kemerdekaan, 1901-1942” dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1966-2008, hlm. 10-21.
[2] Benny G. Setiono (ed.), “Tionghoa Hwe Koan” dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, hlm. 444-447.
[3] Myra Sidharta, “Pers Melayu Tionghoa” dalam Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya, hlm. 112-129.
[4] Onghokham, “Terjadinya Suatu ‘Minoritas’” dalam Riwayat Tionghoa Peanakan di Jawa, hlm. 34.
[5] Benny G. Setiono (ed.), Ibid, hlm. 306-311.
[6] Ang Yan Goan, “Koran Keng Po” dan “Pembaruan Sin Po” dalam Memoar Ang Yan Goan: Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa Indonesia, hlm. 67 dan hlm. 73-83.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu