Yang adalah kita. Pertemuan sepasang manusia. Seperti pertemuan pasangan manusia lainnya, keberbedaan yang menyeragam. Berpencaran ke sana kemari saling mencari dan kemudian saling menemukan satu sama lain. Dua kutub yang pada akhirnya menyadari bahwa kita tercipta untuk saling melengkapi.
Ahli cinta manapun di dunia ini bisa bilang bahwa kita tidak akan jatuh cinta pada orang yang kita temui di jalan raya sekilas saja. Tetapi kita akan selalu bisa tertawa terguling-guling di lantai saat menyadari bahwa pertemuan kita dulu terjadi di jalan raya. Sekilas lalu saja.
Saat itu pada siang yang panasnya tidak menentu, kita bertemu di tikungan itu. Kau si jurnalis yang tidak pernah tahu tempat untuk meliput berita dan aku si aktivis yang selalu tidak peduli tempat tiap kali menggiring massa untuk berdemo. Kita sama-sama salah tempat saat kemudian kau duduk merokok di sana dan aku tiba-tiba berlari ke arahmu sambil membawa massa yang berlarian mengejarku dan melempariku kaleng. Salahku sehingga kau ikut juga dilempari kaleng oleh mereka.
Akan tetapi kita hanya bertemu sekilas lalu karena aku kemudian berlari melewatimu. Sementara kau masih merokok di sana tanpa menyadari bahwa seseorang yang baru saja melewatimu barangkali adalah calon istrimu di masa depan.
Kita menikah bertahun-tahun kemudian. Setelah aku pergi ke sana kemari, setelah kau berkencan dengan seribu gadis lain. Aku bahkan tak pernah menyangka kita digariskan untuk bertemu lagi. Tinggal di bawah satu atap, tidur di atas ranjang yang sama.
Tanganmu malam ini dingin sekali saat kugenggam.