[1]
DINI HARI
pada saat aku sedang kehilangan ide untuk kutulis, televisi yang masih menyala
tiba-tiba menampakkan bintik-bintik semut di layar, kemudian gambar hilang sama
sekali, dan televisi padam. Layar monitor di hadapanku juga padam. Suara musik
Tchaikovsky yang sejak tadi kuputar untuk menemaniku menjemput inspirasi
mengabur menyatu udara, senyap.
Di luar, kulihat dari jendela, hujan sudah lebat
sekali padahal sejam lalu masih gerimis kecil-kecil. Udara dingin menusuk-nusuk
padahal aku sedang berada di dalam rumah. Kuperhatikan dengan saksama,
bongkahan-bongkahan es jatuh dari langit, membentur jalan aspal di depan
rumahku dan atap-atap rumah tetanggaku, BRUK, membentur juga rumahku. Jika bisa
bicara, jalan-jalan dan rumah-rumah mungkin akan bilang, mereka merasa
kesakitan saat itu.
Kemudian semuanya tiba-tiba gelap. Tak ada celah
cahaya, setitik pun. Wanita-wanita yang masih terjaga dari tidurnya dari
rumah-rumah sebelah rumahku berteriak histeris menyambutnya. Aku hendak
bergegas naik ke kamar istriku untuk membangunkannya yang sedang tertidur pulas
bersama Alia dan Jala ketika kudapati suara jejak kaki terburu-buru menuruni
tangga.
“Indra? Kamu di sana?” suara istriku, Alea, datang
dari arah tangga. Aku hafal betul arah mata angin di rumahku meski tanpa
penerangan sekali pun, aku sudah tinggal di sini hampir sepuluh tahun, “Mengapa
bisa tak ada cahaya, Yah?”