2021/12/24

Perkawanan Perempuan Menulis: Ingatan Perempuan dalam Narasi Lokal

Ingatan tentang ibu sebagai seorang filatelis yang menyimpan setiap edisi perangko terbitan Perum Pos (PT Pos Indonesia), yang sialnya lebih sering mencetak gambar Soeharto dengan pose sama, adalah salah satu “ingatan kanak-kanak” perihal Orde Baru dari Raisa Kamila, salah seorang pendiri kolektif Perkawanan Perempuan Menulis, yang ia bagikan dalam epilog buku debut mereka—berdampingan dengan ingatan kelima rekannya serta para perempuan yang mereka temui dan tampilkan kisahnya lewat delapan belas cerita pendek. Tank Merah Muda, judul buku itu, oksimoron yang mendampingkan tank berkonotasi garang dengan warna merah muda yang lembut, adalah kumpulan cerpen berisikan berbagai pertanyaan tentang kehidupan masyarakat selama dua dekade pasca-Reformasi, cerita-cerita yang luput dari pengetahuan publik, hingga peran, posisi, dan pengalaman perempuan dalam masa transisi ekonomi-politik tersebut. Memperoleh hibah Cipta Media Ekspresi dengan lisensi creative commons, buku tersebut dapat diakses gratis melalui tautan berikut: Tank Merah Muda.

Bersama dengan Amanatia Junda dari Sidoarjo, Maria Margareth Ratih Fernandez dari Larantuka, Armadhany dari Makassar, Ruhaeni Intan Hasanah dari Pati, dan Astuti N. Kilwouw dari Ternate, Raisa yang berasal dari Banda Aceh menggagas kolektif Perkawanan Perempuan Menulis pada 2018. Gagasan mula-mula mereka adalah membentuk suatu kolektif tempat belajar menulis bersama dan membagikan kecintaan mereka akan sastra—mereka menyebutnya, “sebuah ruang belajar menulis oleh dan untuk perempuan”. Meski sama-sama belajar menulis secara informal di berbagai tempat, kali pertama pertemuan langsung di Yogyakarta terjadi pada pertengahan Juli 2018. Seiring waktu, mereka terpantik mengisi celah dalam kesusastraan negeri ini, untuk mengangkat suara para perempuan, di luar ibukota, di luar arus dan aktivisme politik negeri, dari kalangan orang biasa-biasa saja, tentang apa saja yang terjadi pra- dan pasca-Reformasi.

Bahkan sebelum pandemi, kolektif ini menunjukkan betapa mereka berhasil mengatasi batasan geografis dengan modal pertemuan virtual dan menanggapi isu-isu terbaru terkait keperempuanan dan kesusastraan dalam karya-karya mereka—inisiatif yang ideal untuk diselenggarakan di sebuah negara dengan bentuk kepulauan dan ruang-ruang sastranya yang masih teramat maskulin. Pada 2020, kolektif dengan semboyan “merangkul, menulis, bertumbuh” ini bahkan berhasil mengundang lebih banyak lagi kawan perempuan penulis untuk bergabung dengan mereka. Sebanyak 25 peserta—dari berbagai kota berbeda—dari total 341 pendaftar mengikuti lokakarya virtual riset dan kepenulisan yang mereka selenggarakan, lantas berproses bersama, dan resmi tergabung dalam kolektif Perkawanan Perempuan Menulis ini. Karya-karya peserta lokakarya di gelombang kedua ini dapat diakses melalui tautan berikut: Perkawanan Perempuan Menulis.

Dalam wawancara ini, mereka menuturkan bagaimana mereka mulai berproses untuk belajar menulis dan meriset dengan lebih terstruktur. Mereka juga menjelaskan perihal ekosistem sastra maupun kampus yang sebelumnya mereka hadapi di enam provinsi masing-masing, hingga pentingnya menghadirkan “suara perempuan” di dalam khazanah literatur negeri ini. Sekelumit kisah tentang pengerjaan Tank Merah Muda dan berbagai pengisahan dari luar Jakarta pun mereka utarakan. Fokus kolektif pada tema sejarah dan lokalitas memang ditujukan untuk menghadirkan lebih banyak suara perempuan dari berbagai provinsi di Indonesia tentang berbagai isu lokalitas dalam latar sejarahnya masing-masing. Pada akhir percakapan, mereka membagikan pula inspirasi yang dapat dipetik dari praktik kolektif ini. Berikut ini adalah obrolan Dewi Kharisma Michellia dari tengara.id dengan Perkawanan Perempuan Menulis.

Berproses Bersama dalam Satu Kolektif

Mendapatkan energi six degrees of separation, keenam anggota Perkawanan Perempuan Menulis mengaku bahwa mereka “dipertemukan secara random”. Seiring jalan, mereka menjembatani batasan geografis dengan membentuk grup virtual “emerging writers” dan mengomunikasikan rencana mereka untuk menyusun Tank Merah Muda.

 

DEWI KHARISMA MICHELLIA

Kalian berenam berproses dan studi di Yogyakarta. Sementara kita tahu, ada juga sekian juta anak muda memilih kuliah di Yogya, bukan berarti mereka akan bikin kolektif seperti kalian, dan belum tentu juga akan angkat tema yang membahas perempuan atau isu-isu yang kalian usung dalam Tank Merah Muda. Meski kalian sudah menuliskannya dalam epilog buku, boleh ceritakan kembali bagaimana kalian dipertemukan dan membentuk Perkawanan Perempuan Menulis?

 

AMANATIA JUNDA

Awalnya, saat ada pembukaan hibah Cipta Media Ekspresi, Raisa baru pulang dari kuliahnya S2 di Leiden, saat itu dia di Aceh dan aku di Sidoarjo, kami sama-sama di kampung dan saling kontak. Dari sana tercetus ide, sepertinya seru deh untuk bikin cerpen bareng, yang ringan-ringan, dan kalau bisa, ajak teman lain. Saat itu, kami sudah berpikir untuk mencari teman dari berbagai daerah yang berbeda. Raisa dari Aceh, aku Jawa Timur, Ruhaeni dari Semarang, Ratih dari NTT, Dhany dari Makassar, dan Tuti dari Maluku Utara. Begitulah, pembentukan PPM disemangati untuk berkumpul dari berbagai daerah, dari 6 provinsi ini.

 

RAISA KAMILA

Dulu aku kuliah di Yogya, enggak pernah ketemu Ratih, Dhany, atau Tuti, apalagi Intan, sama Natia juga cuma 2-3 kali ketemu, enggak pernah benar-benar intens. Sewaktu aku S2, seorang temanku, Brita cerita tentang Natia, kami punya hal yang bisa kami bagi bareng. Kami mulai sering ngobrol, Natia kirim cerpennya ke aku, terus aku baca.

Aku merasa kayaknya seru kalau kita bisa belajar bareng kayak begini. Jadi serasa ada visinya. Terus, ngobrol-ngobrol, waktu ada pembukaan hibah CME, aku pas sedang baca arsip tahun 1990-an, dari sana kami terpikir, “Kayaknya seru, deh, menggarap sesuatu tentang periode 1990-an”. Terus, ya, akhirnya, “Ayo, kita bikin sesuatu bareng, yang bisa antardaerah.”

Waktu itu, dalam bayanganku, pengin bikin sesuatu yang bisa menghasilkan karya. Bisa jadi kayak semacam kolektif. Memberi alternatif terhadap pemahaman sejarah, periode 1990-an, dan sejarah di daerah masing-masing.

 

AMANATIA

Terus, kami coba ajak Intan, Ratih, Dhany, Tuti. Dan terkumpullah kami di grup WhatsApp yang kami namai “emerging writers”, tanpa tahu kenapa harus bikin nama grup itu. Awal mulanya sangat random, tapi kami enggak punya beban besar di awal harus bagaimana ke depannya.

 

MICHELLIA

Jadi, kalian akhirnya sepakat mau menulis soal sejarah. Lalu, kalian apply hibah dari CME. Kalau dari Dhany, Intan, dan Ratih, setelah mendapat kabar itu, bagaimana berprosesnya di grup emerging writers itu?

 

MARGARETH RATIH FERNANDEZ

Sewaktu diajak, aku belum benar-benar terang kita mau bikin output apa. Aku antusias, karena saat itu awal 2018, aku baru mau dua tahun lulus dan kerjaku masih serabutan. Karena terlalu sibuk kerja sana-sini dan merasa kurang gaul dengan teman-teman di luar circle kuliah, jadi, waktu diajak, aku pikir, oke juga ada circle pertemanan baru ini. Walau setelah masuk PPM pun, jadi merasa, “Oh, circle-nya tetap di situ-situ saja, ternyata.”

Begitu diajak, kita memang berproses dari nol banget. Clue di awal hanya tema Reformasi. Tapi kemudian kenapa kita memutuskan cerpen, dan kenapa perlu melakukan riset kembali ke kampung halaman masing-masing, semuanya berproses banget. Senang, karena bisa memulai sesuatu dari dasar.

 

RUHAENI INTAN

Waktu itu, aku dapat pesan dari Raisa, aku belum menghasilkan karya apa pun, jadi masih merasa minder, “Kok, aku dipilih, kenapa, ya?” Terus, Raisa bilang dia ajak aku karena dia baca blogku. Di awal itu, memang proyek ini belum mengerucut mau mengangkat cerpen sejarah seputar reformasi.

 

ARMADHANY

Saya kenal dari Natia. Kebetulan saya studi di Jogja dan ikut komunitas menulis, Bengkel Gerakan Literasi Indonesia (GLI). Waktu itu, diajak Natia pas saya masih di Thailand.

 

ASTUTI N. KILWOUW

Sebenarnya proses kami dipertemukan sangat random karena kebetulan kami punya mutual-friend yang sama. Misalnya, dari keenam kawan, sebelumnya saya hanya mengenal Natia dan Dhany. Kami beberapa kali ketemu di agendanya GLI. Setelah lulus S2, saya kembali ke Ternate dan dihubungi Natia untuk menggarap kumpulan cerpen bareng lima kawan lainnya.

 

Ekosistem Menulis Sastra di Enam Provinsi

Sebagai negeri kepulauan, ketimpangan akses antara satu wilayah dan wilayah lain sudah setua usia republik. Sudah jadi rahasia umum, bahkan di era keterbukaan informasi seperti sekarang, seorang anak daerah harus bekerja ekstra agar bisa masuk konstelasi sastra Indonesia. Bukan hanya jarak yang perlu ditempuh dengan sekian kali ganti kendaraan, mendapatkan akses atas informasi (sayembara, lomba, hibah, kesempatan karier di gelanggang sastra ataupun industri perbukuan, hingga ke akses penerbitan) ataupun “menyesuaikan selera” dengan ukuran-ukuran kesusastraan lembaga sastra tingkat nasional kerap perlu mereka upayakan ekstra.

Dalam khazanah sastra negeri ini, lazim kita ketahui kisah tentang Chairil Anwar dari Payakumbuh yang merantau ke Jakarta dan menginap saban hari di kantor Balai Pustaka. Delapan puluhan tahun kemudian, para penulis Indonesia masih perlu menempuh perjalanan kultural yang sama agar mendapat akses ke sastra Indonesia. Termasuk di dalam rombongan itu adalah para penulis perempuan.

Hingga berangkat studi ke Yogyakarta, Ratih mengaku tidak tahu satu pun komunitas sastra di daerahnya. Barulah pada 2013, ia mengenal Komunitas Dusun Flobamora, dan itu pun dari biodata buku puisi Mario F. Lawi, Memoria, lantas ia cari secara acak informasinya dari Facebook. Dari sanalah ia kemudian mengenal komunitas lainnya, Komunitas Kahe di Maumere, komunitas yang melakukan penggalian dan pengembangan budaya lokal. Setelahnya, Ratih intens mengikuti pertumbuhan komunitas berbasis literasi dan budaya di daerahnya. Termasuk Simpa Sio Institut di Larantuka yang digagas oleh Eda Tukan bersama ayahnya, seorang penulis dan budayawan lokal, dengan fokus pada perawatan dan akses arsip terkait budaya suku Lamaholot di Kabupaten Flores Timur.

Sementara, Raisa terlibat dalam aktivitas komunitas sastra di Banda Aceh sedari remaja, persisnya saat ia melewati masa-masa rehabilitasi dan rekonstruksi sesudah bencana tsunami. Ia sempat ikut kelas menulis yang diadakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh, Seuramoe Teumuleh lantas Sekolah Dokarim yang diadakan Komunitas Tikar Pandan. Belakangan, ia terlibat aktif di perpustakaan komunitas Rak Baca T36 yang rutin mengadakan diskusi buku di kalangan pegiat literasi di Aceh.

Amanatia pun beberapa waktu terakhir mengamati perkembangan ekosistem sastra di Sidoarjo yang semakin dinamis, dari Dewan Kesenian Sidoarjo yang berperan menumbuhkan bakat baru di daerahnya, lewat grup WhatsApp Majelis Sastra Sidoarjo, hingga terbitan buku bertajuk panorama sastra Sidoarjo.

Apa yang mereka rasakan sebagai “gadis daerah”, dulu dan kini, serta bagaimana kolektif Perkawanan Perempuan Menulis ini bersiasat menghadapi berbagai keterbatasan di lingkup ekosistem sastra daerah mereka dan di lingkup kampus?

 

MICHELLIA

Memang terasa banget bahwa Perkawanan Perempuan Menulis ini, kan, berangkat dari semangat untuk menjadi suatu kolektif yang sama-sama belajar lebih dalam seputar dunia tulis-menulis. Meski kalian tentunya juga sudah memulainya masing-masing secara informal, kalian menulis di blog pribadi dan semacam itu.

Bagaimana pandangan kalian tentang ekosistem dan dunia tulis-menulis di Indonesia sebelum kalian akhirnya punya buku tunggal ataupun buku debut kolektif bersama ini? Bagaimana kalian melihat dunia sastra sehingga, kok, kalian merasa “Oh, kita perlu, nih, berkawan dan belajar menulis bareng,” dan lalu berproses di PPM?

 

RAISA

Aku belajar menulis sejak sebelum kuliah, pas SMA, waktu aku masih di Aceh. Pas aku di Aceh juga sudah lumayan terpapar sama penulis-penulis dari Yogya dan penulis-penulis dari Jakarta. Jadi, waktu itu karena sudah baca karya-karya Puthut Ea, Eka Kurniawan, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, jadi aku merasa, sebagai gadis daerah, “masuk ke sastra” tuh berat, untuk menjadi penulis yang diterbitkan, rasanya kayak mau jadi selebriti. Kayaknya susah banget. Itu kayak suatu industri yang jauh dan enggak terjangkau.

Apalagi waktu di Aceh, aku sempat belajar di Sekolah Dokarim yang digarap Komunitas Tikar Pandan. Memang mereka kerap mengundang orang-orang dari luar Aceh untuk mengisi workshop dan kelas belajar. Tapi aku malah makin merasa kalau untuk menjadi penulis itu susah banget. Entah itu perempuan, entah lelaki, orang daerah rasanya susah untuk menembus. Aku merasa dulu kayak ada batasan, ada banyak pos satpam yang harus dilewati untuk menjadi penulis yang top di Jakarta, yang kayak sekaliber Dewi Lestari. Terus, kayaknya harus pintar, harus bisa bahasa Inggris, harus baca Don Quixote, apalah.

Melihat infrastruktur daerahku waktu di Aceh, baru sehabis tsunami aku belajar menulis yang agak serius. Tahun 2007 itu enggak ada toko buku, bahkan Gramedia aja baru ada tiga tahun lalu di Aceh. Jadi, memang susah banget. Nah, karena itu juga habis tsunami, aku juga sempat belajar menulis sendiri di Medan. Aku sempat tinggal di Medan selama 6 bulan. Karena sekolahku lumayan dekat Gramedia dan waktu itu lagi ngetren teenlit segala macam, aku sempat pengin bikin teenlit yang diterbitkan Gramedia. Aku coba menulis dengan komputer pinjaman di rumah tanteku. Lalu, naskah itu kukirim, dan gagal, terus aku merasa, “Oh, ternyata memang susah nerbitin buku.” Ya, susahlah, tulisanku juga jelek banget.

Sewaktu aku di Yogya dan berinteraksi dengan teman-teman di komunitas sastra, perasaannya bukan “aku orang daerah yang enggak pernah baca buku apa-apa”, tapi ditambah juga “aku perempuan dan rentan”. Karena di komunitas sastra kadang-kadang suka diskusi sampai tengah malam—aku enggak ada masalah sama orang merokok atau mabuk-mabukan—tapi aku enggak merasa nyaman dan aman jadi perempuan, saat itu sendirian, dan harus menoleransi itu.

Waktu itu, aku juga jadi terpikir, “Ada enggak, ya, penulis perempuan yang punya keluarga?” Karena waktu itu kayaknya yang aku dengar dari mana-mana, tuh, penulis perempuan itu enggak usah menikah, enggak usah punya anak, karena nanti enggak bisa berkarya. Jadi rasanya pengalaman belajar di Jogja dan Aceh itu kayak dipersulit. Harus pintar, harus garang, harus melawan segala hal, harus siap mabuk kapan saja. Sori, ya. Terus, semacam ada keharusan untuk dapat pengakuan dari satpam-satpam sastra, dapat petunjuk dari mereka: “oh, aku harus baca karya yang ini”, “harus minta pendapat ke oom yang ini, ke abang yang ini”. Beberapa kali ada momen yang enggak menyenangkan dengan penulis laki-laki, tua dan muda, yang mereka kadang-kadang patronizing diri mereka, di Aceh, di Jakarta, di Yogya, entah kenapa aku ketemu terus. Sial banget. Dan untuk bisa ketemu orang yang pengin belajar aja, dan melihat aku sebagai partner yang setara, rasanya susah banget.

Tulisan Terdahulu