2012/06/19

Saudade

(*) Lema berbahasa Portugis dengan dialek Galisia (tidak ada padanan-kata dalam bahasa Inggris) yang kira-kira bermakna kerinduan yang kuat terhadap sesuatu atau seseorang yang dicintai. Perasaan ini biasa diikuti oleh keyakinan bahwa yang dirindukan tak akan pernah kembali.

"POSITIF, tiga tahun lagi aku akan mati,” ujar Nirwan dengan putus asa setelah hening berpuluh menit. Air matanya banjir di pipi dan telah membasahi layar ponsel hingga lipatan lehernya. “Aku harus mengajukan surat berhenti bekerja, tiga tahun ini aku akan berkeliling Indonesia; dan bila nanti tubuhku melemah, aku akan menetap di sembarang kota untuk sebanyak-banyaknya menulis syair.”

Jane kehilangan kata-kata kendati gagang telepon telah menempel di telinganya lebih dari satu jam—sampai tiba-tiba dia teringat, “Bukannya kau benci sastra?”

“Aku berubah pikiran. Jane—begini, aku akan kursus menulis fiksi dan syair, aku ingin hidup abadi dalam tulisan. Barang-barangku—aku sedang mempertimbangkan untuk membakarnya. Aku takut menjadi miskin di sana. Kau tahu, kami etnis Tionghoa biasa membakar barang-barang agar leluhur mereka dapat mempergunakannya kembali di alam sana. Paling tidak, aku akan titip Sera dan anak-anaknya kepadamu. Aku tak yakin kucing-kucingku ini bisa dekat dengan orang lain selain kita berdua.”

“Jane,” panggil Nirwan, “katakan apa pun. Aku butuh pendapatmu.”

“Bagaimana bila dua tahun lagi dokter-dokter itu menemukan obat yang mujarab untuk leukemia?”

“Menurutmu takdirku sebaik itu?” tanya Nirwan lirih. “Maksudku, bahkan tak ada seorang pun pernah mencintaiku. Tiga tahun lagi, aku akan mati perjaka sebagai gay yang menyedihkan.”

“Sebelum mati, kau bisa tidur denganku,” sahut Jane, “aku mungkin bisa melepaskan keperawananku.”

“Bodoh.” Nirwan tertawa sarkastis. “Aku sahabatmu, dan aku gay, aku gay, Jane.”

Jane menggigit bibir. “Nirwan, apa kau memang benar-benar ingin lenyap begitu saja? Semua barangmu akan kau bakar, kau mati; nanti apa yang tersisa darimu?”

“Nanti—aku pasti akan sukses menulis buku-buku tebal selama tiga tahun ini. Pramoedya bilang, itu cara menjadi abadi.”

Jane tertawa terbahak. “Omong kosong. Darahmu tidak mengalir dalam tulisanmu.” Dia berhenti sejenak, “Aku tak rela kau mati perjaka. Sebelum mati, tolonglah, kau harus menghamili seorang wanita.”

“Jangan konyol,” tukas Nirwan. “Aku tidak akan pernah sudi merampas keperawanan darimu yang sudah kuanggap adikku sendiri.”

“Apa kau keberatan untuk tidur dengan pelacur?”



“JANE,” panggil Nirwan sembari mengejar langkah cepat Jane di lorong-lorong sempit Malioboro. Di tengah lalu-lalang pedagang, saling berkejaran mereka berbicara dalam bahasa Prancis—bahasa yang mereka pelajari selama empat tahun perkuliahan strata satu di negeri orang. “Apa pun, asalkan bukan ini.”

“Untuk apa seminggu ini kau menonton ratusan film porno bila sekadar praktik begini saja kau sudah berniat kabur?” 

“Iya, aku tahu bagaimana caranya. Tapi, Jane, …”

“Gadis ini perawan. Aku membayarnya lebih mahal daripada tarif biasa. Uangku sudah digunakannya untuk membayar biaya pengobatan ayahnya. Tak ada cara untukku menagih uangku kembali.”

Cuaca cerah kota Yogyakarta tak meringankan kegelapan yang membayang-bayangi Nirwan. Jantungnya berdetak tak keruan ketika melihat Lani—gadis yang dibayar Jane.

Banyak hal sudah dilakukan Lani untuk keselamatan ayahnya, dan bulan itu—ketika nyawa ayahnya sudah di ambang batas—demi dana operasi, dia mau tak mau mesti mengimani perintah ibunya. Melacurkan diri bisa jadi adalah jalan pintas terakhir. Maka begitulah Lani dengan tubuhnya yang ranum duduk bertelanjang di hadapan duo sahabat itu. Rambutnya yang hitam pekat terkepang panjang menyentuh pinggang. Lama Nirwan mengamati kulit kecokelatan Lani, tubuh molek itu nampak bergetar senada dengan degup jantung Nirwan.

“Aku tak bisa, Jane,” bisik Nirwan.

Tetapi Jane mengabaikan beragam penolakan Nirwan.

“Sesuai kesepakatan kontrak, selama tiga bulan ini, aku akan memantau keadaanmu. Kalau nanti kamu hamil, kamu akan segera kuajak pindah ke Jakarta. Pokoknya, kamu tinggal terima beres.” Jane mengingatkan Lani.


BERTAHUN-TAHUN kemudian, di saat peti mati dan batu nisan untuk Nirwan telah disiapkan, Lani datang dengan suaminya yang setia. Nirwan dengan tubuhnya yang lemah tergeletak sayu di atas kasur di kamarnya.

Betul, kan, Jane, takdirku memang tak sebaik dugaan kita. Mungkin aku mandul, Jane. Jane teringat bagaimana Nirwan dulu merajuk.

“Tapi, Mbak, ada seseorang yang memang menyediakan jasa untuk itu,” ungkap Lani. “Anu,” dia menengok sebentar ke arah suaminya, “maksud saya, ada yang mau hamil dan ikhlas tidak dibayar, asal disediakan makan dan tempat tinggal.”
“Kenapa kamu baru cerita sekarang?”

“Saya juga tahu itu dari ibu saya, dia bertahun-tahun melacur dengan wanita ini,” jawab Lani. “Pindah-pindah, Mbak, tempat tinggal teman ibu saya ini. Dua tahun kemarin, dia mengandung anak orang di Surabaya. Anaknya langsung diambil darinya dan dia diongkosi untuk hengkang dari sana.”

Jane memandang ke arah Nirwan yang sedari tadi mengamati mereka mengobrol dari arah ranjangnya. “Mungkin ini jalan terakhir,” gumam Jane. Tangis menggantung di matanya.



DI USIANYA yang sepuh menjelang separuh abad, Raras sudah melahirkan dua puluh putra yang kesemuanya semata-mata pesanan orang.

Selama ini, hampir setiap orang yang meminta jasanya menuntut agar dia melahirkan anak laki-laki. Untuk itu, setiap hari Raras dicekoki makanan kaya protein dan berpantang bawang merah. Baru kali ini dia hanya dituntut untuk hamil, tak peduli apa pun jenis kelamin anaknya kelak. Raras bahkan diperbolehkan untuk turut menamai anak yang nantinya akan terlahir dari rahimnya, dan berhak mengaku-akukan anak itu lewat akte kelahiran. Tawaran-tawaran Jane tentu mengalahkan rencana pensiun dini Raras seketika itu juga.

“Jane, ini tak masuk akal,” tuntut Nirwan, “sebelum mati bukannya lebih baik aku menghabiskan waktu dengan orang yang kucintai, alih-alih dengan paksaan harus menghasilkan keturunan? Sekali saja dalam hidupku, aku ingin tidur dengan laki-laki, Jane. Untuk apa aku tidur dengan nenek-nenek?”

“Kau hanya tak memikirkan jasa besar yang disediakannya.”

“Keadaan tubuhku selemah ini, Jane—dan orang-orang mengatakan dia tak waras.”

“Kau tak mungkin mengharapkan orang waras bersedia melahirkan puluhan bayi yang kesemuanya kemudian menjadi orang asing buatnya, kan?”

“Terkesan seperti apa yang dilakukan Dewi Gangga di kisah Mahabharata. Melahirkan anak, dan membuangnya ke sungai. Menurutmu apa yang membuat wanita ini bersedia melakukannya?”

“Yang jelas bukan uang. Jadi, iya atau tidak?”

“Jane, begini saja, bila kau ada di posisiku, kau berhasrat pada laki-laki tapi kau disuruh tidur dengan wanita, bagaimana perasaanmu?”

“Asalkan itu memberiku keturunan, tentu saja itu takkan kujadikan masalah,” sindir Jane.

Nirwan tertawa frustrasi. “Jane, jangan egois. Banyak pasangan yang dapat hidup bahagia sekalipun tak berketurunan. Ada jutaan anak terlahir dan tidak ada yang menghiraukan mereka, Jane. Banyak anak-anak seperti Lani, bahkan lebih parah karena mereka dijual, dilempar dari tangan satu ke tangan lain, dijadikan buruh seks.”

“Tapi kau sukses meniduri Lani, apa salahnya dengan yang ini?”

“Siapa bilang kemarin aku sempat menidurinya? Dia berbohong padamu, dan setelah aku begitu berjasa untuk membuatnya tetap perawan, aku heran kenapa dia justru mendukungmu.”

“Jadi kau tidak melakukannya?” Jane menarik napas dan mulai menangis. “Nirwan, kau sangat egois. Aku hanya tak mau kau hilang begitu saja. Nanti kalau kau mati, tidak ada lagi orang di dunia ini yang wajahnya mirip denganmu, kecuali bila kau memiliki keturunan …”

“Aku tak bisa melakukannya, Jane,” jawab Nirwan. “Harus bagaimana lagi aku menjelaskannya? Aku bisa mati di tempat bila aku melawan kata hatiku.”

“Tolonglah, kau bisa pejamkan matamu sambil melakukannya, atau kau bisa onani dan ayo kita pergi ke Bank Sperma, dengan begitu kau tidak perlu melakukannya dengan badanmu … dan kau bahkan bisa mendonorkan spermamu kepada gadis lesbian.” Jane mendesak.

“Terserah, kau pasti akan membantah semua perkataanku. Tapi, Jane, aku tak bisa memastikan apakah aku akan bisa selamat—bertahan hidup—hingga kita tiba di Bank Sperma.” Nirwan akhirnya mengalah. “Kau tahu, takdirku tak pernah sebaik itu.” [*]


Ditulis untuk Majalah Balairung di tahun 2012. Telah melalui riset yang meletihkan yang dibimbing oleh editor yang sangat cerewet yang sangat pemurah untuk kaidah penulisan fiksi realis, dan secara jujur dapat saya katakan riset itu tidak berguna sama sekali untuk tulisan ini.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu