2021/07/28

Mengunjungi Buku Cerita Anak Lawas

Perkenalan saya dengan dongeng dan fabel bermula dari cerita ayah dan ibu setiap petang, mereka bertukar peran untuk mendongeng (yang hebatnya, mereka hafalkan), juga terkadang nenek (yang bukan membacakan, melainkan menyanyikan kisah tentang katak), dan ketika saya sudah cukup umur untuk membaca sendiri kisah-kisah tersebut, maka dimulailah petualangan saya dengan beberapa buku cerita anak.

Panchatantra adalah teman pertama yang menumbuhkan rasa sayang, saya bawa ke mana pun, dan membuat saya menangis di jok belakang mobil saat membacanya karena salah satu ceritanya yang menyentuh. Tahun 1996 lalu, versi bahasa Indonesianya saya peroleh dari sebuah toko buku kecil dengan rak-rak berdebu di Denpasar. Versi gratis berbahasa Inggris dari fabel tipis dari wikisource ini kurang-lebih sama dengan yang saya baca dulu. Meliputi lima payung besar cerita yang saling terkait tentang kehidupan hewan. Barangkali setara dengan fabel Aesop. Dari buku ini, kita dapat belajar kejiwaan manusia; sikap persahabatan, kelicikan yang tersembunyi dan bagaimana menghindar dari petaka yang disebabkannya, hingga pentingnya bersikap cerdik dan hati-hati.

Kawan selanjutnya adalah Mahabharata dari RA Kosasih (Penerbit Erlina). Komik wayang hitam putih tebal dan berukuran besar ini diberikan ayah karena dia sudah bosan saya mintai mendongeng tentang kisah panca pandawa sebagai dongeng sebelum tidur. Gubahan oleh RA Kosasih ini sudah diterbitkan sejak tahun 1950-an, mengambil cuplikan kisah dari  Adiparwa, salah satu bagian dari Astadasaparwa (delapan belas bagian) epos Mahabharata yang dikarang oleh Bhagawan Byasa. Bermula dari Dewi Gangga yang melahirkan Bhisma, hingga ke kehadiran lima pandawa dan seratus korawa. Darinya saya belajar tentang karmaphala, konsep mengenai karma (sebab-akibat) yang berlaku dalam kehidupan.

Dua buku itu dari masa taman kanak-kanak hingga awal sekolah dasar. Setelahnya, ada begitu banyak buku cerita anak yang sama menariknya. Dari buku-buku cerita bergambar yang saya sudah tak ingat lagi apa judulnya atau siapa pengarangnya hingga banyak judul populer lainnya yang sepertinya masih digandrungi hingga saat ini.

Komik Mafalda karya Quino (Kepustakaan Populer Gramedia, 2009) saya temukan belakangan, saat menggandrungi blog sastra Amerika Latin & Iberia (Sastra Alibi) yang diasuh Ronny Agustinus di masa-masa awal kuliah di Yogya satu dasawarsa lalu. Generasi saya mungkin adalah generasi yang sudah muak dengan hipokritnya penyelenggara negara, dan karenanya beberapa kawan yang sangat politis justru memilih berada di garis apolitis. Komik yang bisa dibaca oleh segala kelompok usia ini tampaknya bisa menjadi antidote bagi pahitnya kenyataan politik ini. Humor-humor politik bocah ini jenaka, lincah, dan begitu mengalir. Ini membuat saya membayangkan bagaimana jika kita punya generasi muda yang melek politik dan bisa menyampaikannya dengan jalan sesantai (alias seringan dan seasyik) Mafalda? Dan tentunya, saya membayangkan, bagaimana jika saya dan kawan-kawan sepantaran saya sudah membaca buku ini sedari kami kanak-kanak dulu?

Lebih belakangan lagi, sekira tahun 2018 lalu, Penerbit Ultimus melibatkan saya dalam sebuah rencana penerbitan ulang, untuk menyunting buku Pak Supi: Kakek Pengungsi (Penerbit Ultimus, 2018), cerita anak karangan S. Rukiah Kertapati yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1958. Pak Supi berkisah tentang gerombolan anak yang bertemu seorang kakek misterius, yang terlilit masalah dengan para tetangganya yang memfitnahnya, tetapi lantas mendapatkan pembelaan dari para bocah petualang yang menyaksikan banyak peristiwa ini, menguntit sang kakek bak detektif partikelir. Rukiah rupanya pernah mengasuh majalah anak-anak, Majalah Kutilang, yang terbit di tahun 1960-an dan bersamaan dengan itu dia juga menerbitkan banyak judul buku anak, di antaranya Si Lenting Kuning dan Sekumpulan Cerita Bunda. Membicarakan kiprah S. Rukiah Kertapati dalam kerangka “buku cerita anak” rasanya bisa menghasilkan satu telaah khusus tersendiri, dan mungkin rekomendasi “lima judul buku cerita anak” tersendiri.

Saat pandemi ini, saya bertukar surel dengan kawan lama, yang menceritakan betapa gembiranya dia menemukan buku yang dia sukai dan dibacanya saat SMP dulu, Undangan dari Planet Mars (Gramedia Pustaka Utama, 1974). Karena penasaran, maka saya memesannya dari marketplace. Buku ini adalah terjemahan bahasa Perancis oleh Sundari Hoesen dari karangan Philippe Ebly, Et Les Martiens Inviterent Les Hommes. Tentang geng remaja yang suka sains, terlibat dengan profesor dan piring terbang, beberapa dasawarsa lebih dulu mereka dengan antusias ingin mengunjungi Mars dibandingkan Elon Musk dan SpaceX-nya. Yang menariknya lagi, buku ini adalah buku nomor 36 dalam seri bacaan bermutu, Seri Elang, yang dulu digagas GPU. Saya jadi tertarik mengumpulkan satu per satu buku-buku cerita anak dalam seri ini.

Tulisan ini tayang juga di laman Facebook Yayasan 17.000 Pulau Imaji.



No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu