2014/02/21

Tentang Drop Out Bersertifikat Itu

Dini hari itu, sekitar bulan Desember 2011, saya sedang menghapus satu per satu catatan saya di Facebook di ruang depan B21. Azhar tiba-tiba datang di muka pintu. Ia tanya apa yang sedang saya lakukan. Saya jelaskan, saya sedang menghapus catatan FB.
            “Apa enggak kasihan? Ada berapa banyak, tuh? Itu, kan, bisa jadi momen. Nanti kamu menyesal, lho...”
Azhar suka menekankan kalimatnya dengan tambahan partikel ‘tuh’ dan ‘lho’, dengan dialek yang agak menggebu, bidang dada hingga wajah yang lebih maju saat bicara, dan gerakan tangan khasnya, gerakan yang memutar-mutar. Kalau kamu sedang beruntung, kamu akan lihat semua itu dibarengi dengan tawa jenaka seorang kanak-kanak.

            “Ratusan... Ah enggak, aku sudah simpan semuanya jadi notes format PDF.”
Ketiga ratus notes itu.
            “Memangnya kamu kenapa hapus semua notes itu?”
Dan begitulah kemudian saya bercerita banyak, tentang keluarga, tentang pertemanan, tentang hidup. Azhar dan saya mungkin lupa apa yang saya bicarakan saat itu (saya ingat sebagian cerita Azhar tentang keluarganya, tapi samar-samar).

Azhar tipikal teman yang sangat halus budinya. Ia seakan-akan selalu menggunakan perasaan, dan minim menghakimi, saat berhadapan dengan orang lain. Baru belakangan hari saat menjalani tes Myers-Brigg pada kunjungan kami di GE dalam rangkaian acara KEM Tempo Institute, saya tahu arketipenya memang I, S, F, dan P. Saya hafal arketipenya karena kesemua itu memang mencerminkan dirinya. Sensing, tentu saja, ia menjadi pemimpin redaksi Balairung di tahun pertama saya bergabung dengan organisasi pers kampus itu. Feeling, saya yang pelupa ini bahkan ingat bagaimana kami berbincang di halaman depan B21 dan ia bercerita tentang penulis favoritnya, Erich Fromm. Buku yang ia baca berulang kali hingga lepak. Saya lupa judulnya, yang jelas bukan The Art of Loving, tapi saya rasa ia pun khatam TAoL. Berceritalah tentang cinta dan perasaan kepada Azhar, ia maha pendengar (maafkan saya, Tuhan, tapi hal itu memang benar adanya), maka itu ia perceiving.

Beberapa momen di KEM Tempo Institute menjadi peneguh arketipe Azhar itu. Ia barangkali menjadi yang paling dicintai di acara kemah itu. Bagaimana tidak? Ia berinisiatif memutarkan film setiap pagi, film-film kartun dan The Simpsons. Ia menjadi abang dari gadis-gadis imut seperti Sita, Ulfa, dan Fatimah, saya melihat Azhar bengong di lorong halte busway untuk menemani para gadis itu melihat-lihat jilbab. Pria dengan kaca mata hitam dikerumuni banyak gadis. Ia tampak lucu sekali. Dan dari Azhar saya kenal istilah Manikebu dan Lekra. Saat itu di kamar peserta pria KEM, saya mampir untuk bikin rusuh, dan ia bahaslah tentang dua term sastra itu. Saya bilang saya tak tahu. “Kamu yakin kamu enggak tahu, Chelle? Kamu, kan, menulis sastra...” Saya keukeuh bilang saya tak tahu, karena memang tak tahu. Itu Oktober 2012, seingat saya. Azhar justru tertawa dan bilang, iya wajar juga saya tak tahu. Ia benar-benar jarang menghakimi orang lain. Dua bulan kemudian, novel saya malah menang sayembara menulis novel DKJ. Saya merasa seperti dikutuk. Juga dari Azhar saya tahu tentang diplomat, Agus Salim, yang ogah makan pakai alat makan dan justru menggunakan tangan untuk menikmati santap-jamuan kenegaraan. “Jadi kenapa kita mesti gaya-gayaan?” komentarnya. Saya yakin ia introvert, karena di malam anugerah KEM itu, di ballroom hotel saat semua orang menikmati santapan sambil berdiri, Azhar mengajak saya menyendiri ke belakang ruang makan. Saya lupa apa yang kami obrolkan selanjutnya. Saya hanya merasa momen seperti itu menyenangkan. Dengan siapa lagi kamu akan menyendiri di tengah pesta kecuali dengan teman yang sama-sama tak nyaman dengan pesta? Eh, Azhar waktu itu merasa nyamankah di tengah pesta? Oh, ya, lalu tentang 18.800 (tolong dikoreksi, ya), ada satu permainan di KEM yang menunjukkan bagaimana Azhar mampu menggerakkan “para borjuis” untuk mengembalikan semua harta yang timpang ke keadaan setara. Biarlah hanya kami yang paham jenis permainan Marxian macam apa yang diujicobakan panitia KEM kepada kami.

Di luar banyak selebrasi itu, saya menjalani dua momen demonstrasi turun ke jalan dengan Azhar, demonstrasi hari pendidikan dan demonstrasi hari buruh. Eh, tiga, kalau kunjungan sebentar dalam demonstrasi tuntutan pembukaan program ekstensi di UGM juga dihitung. Azhar sangat suka demonstrasi, dan revolusi, begitu katanya. “Yang penting hidup itu harus bergerak, enggak statis. Ada yang diperjuangkan.” Belakangan waktu, ia juga ikut advokasi rekan-rekan petani energik di Kulon Progo dalam rangka tuntutan menolak paksaan investor luar membangun tambang di sana yang prosesnya sudah berlarat-larat sejak 2006, juga saat ia hendak merampungkan kuliahnya, Azhar masih berjibaku membela hak-hak buruh transjogja yang di-PHK sepihak dan menghabiskan malam untuk "menuntut" di depan DPRD. Ayah Azhar konon tak menyukai aktivitas Azhar yang satu ini.

Saya bertanya-tanya apakah akan ada lebih banyak takdir bagi kami untuk merayakan selebrasi dan revolusi bersama lagi? Beberapa hari lalu, ia sudah resmi “drop out bersertifikat” dari UGM—kalau menggunakan istilah Nara. Ia akan ke Jakarta. “Ajari aku jadi anak gaul ya, Chelle, kalau kamu mampir-mampir di Jakarta...” begitu katanya, intonasinya wajar dan tidak dibuat-buat, saat saya datang di hari wisudanya. Benarlah kenapa AP sempat bilang tentang Azhar yang sebagai rivalnya (pikir saya, selain karena Azhar sudah jelas dengan apa yang ia hendak perjuangkan dalam hidup ini, terutama karena Azhar juga sangat tekun dan giat dalam membaca buku).
            “Berapa banyak buku yang kamu baca, Mas?”

            “Aku pembaca yang lambat, Chelle... Setahun saja cuma...”
Ia menyebut angka yang memang sedikit. Namun, saya yakin ia tekun terhadap bacaannya,  dan bukan tipikal orang yang meloncat-loncat dalam gagasannya. (Meski di awal masuk Balairung, saya sering hadir di diskusi di mana Azhar sering berputar-putar saat menjelaskan sesuatu.)

Akhirul kalam, akan jarang ada orang yang begitu rendah hati dan tulus seperti itu di zaman seperti ini. Saya rasa, meski sepertinya saya tak begitu berarti amat di hidup Azhar karena saya terlalu sering jadi peran figuran yang muncul sebentar untuk mencuri pengetahuan lalu hilang lagi untuk menyendiri, saya akan sangat merindukan sosok-sosok seperti Azhar. Atau karena ia tidak tergantikan, yang bisa saya doakan untuknya saat ini adalah supaya ia tidak berubah menjadi sosok yang bukan Azhar. Ia harus juga mengeksplorasi karakter spekulatif, sinis, dan lainnya, tapi tentu dengan karakternya yang sangat tulus, rendah hati, dan polos itu, saya berharap dunia akan memeluk dan menjaganya seerat-eratnya. Semoga abang kami tercinta ini ditunjukkan jalan untuk melakukan lebih banyak kebaikan bagi orang lain.

*) Ditulis saat sedang patah hati berat. Hahaha. :)
**) Mulanya diunggah di blog, tapi malu dibaca Mas Azhar, jadi dihapus lagi, eh tahu-tahu dia sudah baca dan SMS, jadinya enggak enak, maka dipasang di sini lagi. :D
***) Terima kasih untuk pembelajaran yang engkau beri padaku selama tiga tahun ini, Mas. Entahlah, kapan aku bisa bersikap seempatik dan sesimpatik kamu. :D *it's a compliment*

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu