2014/11/21

Buku Puisi Afrizal Malna “Pada Bantal Berasap”: Puisi Visual atau Visualisasi Puisi?



Ditulis untuk program lokakarya kritik seni rupa dan kurator muda Indonesia 2014 di Dewan Kesenian Jakarta dan ruangrupa.


Tampilan Buku Sastra yang Monoton

Konon, inilah eranya kita berhibur dengan jalan serbasingkat. Tulisan panjang kalah oleh desakan iklan, alur sinetron tak saling kait satu sama lain, karya seni di galeri menjadi puja-puji sekilas lalu di akun-akun Instagram. Dalam sorotan penuh stigma, mode hidup di zaman ini tiada lain adalah ekstase satu malam.

Untuk perayaan atas kesegalaan yang singkat ini, sekian baris puisi pendek tidak lagi dianggap hadir secara anakronis. Ia dirayakan dan tidak terpisah dari masyarakatnya. Siapa pun berhak menjadi penyair melalui cuitan di akun Twitter. Kehidupan kita seketika dibanjiri kata-kata para penyair instan itu. Sayangnya, hal itu tak serta-merta mendukung penghidupan para penyair. Damhuri Muhammad dalam suatu pengantar[1] menyampaikan:

“Seorang petugas pencatat kerjasama penjualan konsinyasi di sebuah toko buku, bahkan pernah mengatakan, “berhentilah menerbitkan buku puisi. Lebih baik kita berjualan buku tentang masak-memasak, atau buku panduan jitu cara bersolek, yang sudah pasti laris.”

Lantas, jalan sunyi macam apa lagi yang kiranya akan ditempuh para penyair?

Penahbisan penyair secara kilat dan sambil lalu ini adalah satu hal yang membuat kata-kata memerlukan bentuk baru agar ia bisa laku, atau agar ia bisa tampil dengan khas. Saya menulis artikel ini untuk tujuan kedua: mencari kekhasan demi menyudahi gelontoran karya pastiche yang menjadi primadona pasar buku hari ini. Meski demikian, saya optimis pasar pun sebenarnya menanti sesuatu yang berbeda. Karena selain era instan, di masa ini orang-orang mencari keterkejutan. Gumun yang bisa mereka bagi lewat media sosial. Untuk merespons kegumunan itu, mengapa tidak sekalian saja buku puisi ditampilkan dengan jalan yang benar-benar berlainan dari buku-buku konvensional?

Pencapaian artistik adalah salah satu alternatif yang diusulkan Damhuri melalui teks pidatonya. Saya mengartikannya, buku puisi tidak mesti tampil teks belaka. Lewat ragamrupa cetak grafis, dapat dihadirkan keunikan tipografi demi mewakili ‘suara’ ataupun gambar terpilih demi mewakili ‘visual’. Meskipun, untuk itu, penyair perlu mengolah teknik dan bereksperimen. Yang mana, juga mendorong perpaduan antardisiplin apabila diperlukan. Sebagaimana halnya Ellena Ekarahendy[2] mengintepretasikan puisi Afrizal Malna “Pada Bantal Berasap” menjadi sebuah buku puisi dengan tambahan polesan grafis. Namun, untuk metode kerja itu, kita perlu mempertanyakan kembali: tepatkah apabila genre karya Ellena ini disebut sebagai puisi konkret atau puisi visual?

Puisi Visual atau Visualisasi Puisi?

Dalam kata pengantarnya, Ellena mengakui apa yang dia lakukan bukanlah hal pertama, dan ia menyebut dua nama lain, Filippo Marinetti dan Tristan Tzara sebagai pendahulunya. Namun, dia tidak menarik garis penciptaan di mana Marinetti dan Tzara mengerjakan sendiri visual untuk puisinya, dan bahkan menciptakan konsepnya terlebih dahulu sebelum dituangkan ke kertas. Bahwasannya, intensi memvisualisasikan puisi itu dilakukan sendiri oleh penyairnya, seperti yang dilakukan oleh penyair-penyair di Indonesia, di antaranya Sutarjdi, Ibrahim, dan Hamid. Inilah apa yang umum dikenal sebagai puisi visual atau puisi konkret.

Herman J. Waluyo (Waluyo, 1987) mencatat bahwa puisi konkret terkenal sejak era 1970-an; Sutardji Calzoum Bachri dengan O, Amuk dan O, Amuk Kapal-nya, Ibrahim Sattah dengan Hai Ti dan Hamid Jabbar dengan Wajah Kita pernah pula menerapkan permainan visual dalam puisinya. Terutama Sutardji, dengan doktrin puisi mantra, jeda dan repetisi bukan mainan baru baginya. Namun, pada para penyair yang tidak berlatar belakang desain komunikasi visual, eksperimen unsur bunyi, tipografi, enjambemen, ataupun ikon parodi tidak ditampilkan dengan permainan warna atau bentuk yang mendorong interaksi visual. Mereka hanya berkutat dengan kemungkinan-kemungkinan bentuk teks: lingkaran, segitiga, baris-baris garis, dan sejenisnya untuk mewakili maksud dari puisi itu. Seringkali, upaya ini pun hanya hendak menampilkan grafis dari puisi, alih-alih pemaknaan terhadap teks. Lebih dari itu, hampir kesemua seniman itu berlaku ideologis dalam mengonsep karyanya, baik dalam makna dan tema bagi karyanya, ataupun aliran yang kemudian menopangnya.

Teknik grafis puisi sendiri sudah berkembang sejak era Yunani klasik dengan sebutan technopaigneia, dalam bahasa Latin carmina figurata, dan gesamtkunstwek dalam bahasa Jerman[3]. Kesemuanya, meski tak sepenuhnya sama, mensyaratkan penambahan elemen untuk menyampaikan maksud dari puisi dengan lebih terang.[4] Kegiatan perwujudan teks puisi ke dalam medium ini sempat redup di abad ke-12 hingga ditampilkan kembali oleh George Herbert (Bohn, 2001).

Ellena menyitir Geger Riyanto bahwa Afrizal menyajikan jukstaposisi visualisasi tata bahasa atas benda-benda, yang disebut Asarpin sebagai pengalaman skizofrenia dalam puisi, di mana eksperimen bentuk dan kejernihan visual serta pengalaman ragawi tampak jelas dalam puisi-puisi Afrizal. Berangkat dari hal itu, Ellena menerapkan strategi transformasi puisi ke dalam komposisi visual melalui lima jalan: 1) membaca ulang puisi yang akan ditransformasikan ke dalam komposisi grafis, 2) melakukan break down dan pencatatan kata-kata kunci di masing-masing puisi, 3) dari kata-kata kunci atau kata-kata pokok di masing-masing puisi tersebut, Ellena melakukan brainstorming terutama untuk menangkap konteks dari konten tersebut, 4) dari kata-kata kunci itu pula, dia melakukan pendekatan melalui sketsa terkait grafis-grafis di mana dilakukan terjemahan harafiah dan terjemahan dengan pendekatan majas (personifikasi, alegori, eufemis, dan lainnya) demi merangkum keseluruhan konteks maupun konten puisi, 5) setelah menentukan alternatif sketsa, dia kembali mengkaji karya Afrizal demi mencari padanan konteks dan konten dalam puisi. Dan, dia pun melakukan korespondensi secara langsung dengan penyairnya. (Ekarahendy, 2013)

Afrizal adalah penyair yang langka dalam kesusastraan Indonesia. Diksi-diksi pilihannya akrab dengan keseharian yang berpadu padan begitu rupa dengan apa yang adiluhung: siapa yang bisa membayangkan abad dapat berlari, hujan berpola arsitektur, pembacaan memiliki biografi, atau ada museum yang menyengaja memusnahkan dokumen?[5] Judul-judul puisi di dalam buku itu pun tak kalah ajaib. Misalnya, “Pada Bantal Berasap” dibagi tiga judul besar: 1) Perjalanan di Kebun Belakang, 2) Pakaian Kotor di Dasar Jurang, 3) Pidato-pidato dari Bantal Berasap.

Ellena juga jelas bukan anak kemarin sore di bidang seni grafis. Dia bereksperimen betul dalam karyanya ini. Menghadirkan puisi ke dalam bentuk grafis bukan hanya membutuhkan pemahaman akan suara; bagaimana rima, tempo, dan jeda dalam puisi terdengar, melainkan bagaimana gambar-gambar beserta komposisi warna dan garis mendukung puisi.

1) Perjalanan di Kebun Belakang

apakah kamu masih sekolah, jilan



Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna biru navy. Halaman-halaman selanjutnya dengan latar berwarna putih dibarengi garis melengkung dengan persegi panjang juga lingkaran berukuran mini berwarna kontras: merah, biru, hijau magenta, abu-abu dan putih. Terdapat baris puisi berbunyi ‘saya bosan di sekolah karena harus menggambar gunung-gunung itu seperti roti, dengan isi coklat dan kacang, saya hanya ingin menggambar robot di lantai’ diwujudkan dalam tipografi berbentuk separuh lingkaran yang bermuara pada gambar robot. Di bagian ini, saya merenungkan ‘kebosanan’ yang diwujudkan dalam separuh lingkaran, seperti menjalani siklus, yang berujung pada kehendaknya semula: menggambar robot. Puisi itu ditutup dengan baris kalimat ‘jilan... sepatumu kotor sekali. ayah ingin membersihkannya.’ di mana ditampilkan gambar birama detak jantung untuk panggilan ‘jilan...’ yang diikuti dengan tipografi sederhana untuk menuntaskan kalimat.

50 tahun usia kuping


Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna merah. Untuk imajeri kuping, Ellena agaknya sengaja menggunakan simbol-simbol berbentuk lengkung yang mirip dengan daun telinga: perpaduan ( ), { }, dan penyusunan baris-baris puisi dalam wujud ( ). Saya bersepakat ketika Ellena menggunakan huruf-huruf yang tampak berayun ketika baris puisi berbunyi ‘lalu aku pergi / seperti / sebuah kuping / yang setia / mendengar / kisah / kisah / cintamu’.

ingatkah aku berjalan di punggungmu

Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna ungu. Warna ini tetap dipertahankan hingga akhir puisi pada halaman-halaman berikutnya, dan terdapat senar yang tampak arbitrer tumpang-tindih dengan layer-layer berisi teks. Penopangan teks dan layer pada senar agaknya mewakili kesan ‘berjalan di punggung’, atau pilihan ini diambil karena dalam teks puisi, terdapat beberapa diksi di mana aliran air membentuk resonansi—sebagaimana halnya senar—seperti pada baris puisi ‘sungai yang membawa bantal itu dan sebuah biskuit di atasnya.’ dan ‘aku bukan tsunami yang berjalan sendiri di hari libur.’

4 meter kurang 10 menit

Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna cokelat pudar. Halaman-halaman berikutnya memunculkan roda sepeda, dengan tipografi yang menerapkan pemenggalan suku kata dan menempatkannya secara acak dengan kata sebelum dan sesudahnya. Lantaran terdapat twist dalam plot penutup puisi, baris kalimat ‘aku tidak akan sempat menyaksikan hujan turun dari seluruh ingatanku di sana.’ ditampilkan berbeda dibandingkan halaman sebelumnya karena teks dibuat menyeleras dalam bentuk tetesan hujan.

2) Pakaian Kotor di Dasar Jurang

black box

Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna merah. Pada puisinya sendiri, Afrizal menambal-sulam huruf pada kata-kata seperti: nabi, babi, nani, napi, rabi, nasi, nari, dengan sekian kali merepetisi black box sebagai jeda pertukaran huruf pada kata. Karena itu, Ellena tampak berfokus pada huruf-huruf, bagaimana B, N, S, R, dan P menjadi unsur penting untuk membantu anagram kata tingkat lanjut: mengganti hurufnya, dan mengubah maknanya sekaligus.

migrasi dari kamar mandi

Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna biru navy gelap. ‘Kita lihat Sartre malam itu’ ditampilkan dalam grafis karikatur Sartre, dan halaman-halaman selanjutnya menampilkan benderangnya cahaya matahari, berkebalikan dengan nuansa 'malam' yang diusung pada baris kalimat sebelumnya. Untuk baris ‘neraka adalah orang-orang lain’, tipografi membentuk ne R/A ka dengan simbol matahari yang benderang di bagian tengah.

warisan kita

Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna kuning kunyit. Puisi liris panjang dalam tiga paragraf itu hanya ditampilkan dalam tiga halaman dengan masing-masing satu kata di setiap halaman: bicara, bicara, lagi.

3) Pidato-pidato dari Bantal Berasap

chaves untuk rambut yang tak mau disisiri

Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna kuning emas. Potongan wajah dan tangan Bush dengan belah rambut diwujudkan dalam dominasi merah dan kuning. Namun demikian, tambahan ornamen bunga-bunga dan garis-garis sembarang justru tak memperjelas makna yang hendak ditampilkan.

babi dalam jendela mobil

Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna hijau lumut. Pada puisinya yang ini, Afrizal menampilkan sebenar-benarnya model puisi kontemporer, ia bebas dalam bentuk maupun dalam konteks. Dalam puisi kontemporer yang umum dikenal, penyair bebas menggunakan diksi-diksi seliar pun, ia pun bebas bereksperimen dengan ragam bentuk dan gaya. Ini menyebabkan grafisnya pun tampil dengan pistol, jendral, juga metafora liar: ‘goblok, bakar’, ‘adili, bunuh, siksa’.

mayat politik ditutupi koran pagi

Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna cokelat. Namun, apa yang kuat adalah sajian berikutnya: saya bertanya, mengapa puisi ini didominasi dengan latar warna hitam dengan huruf-huruf berwarna putih? Barangkali, karena terdapat reptisi ‘ada orang hilang’ dalam puisi itu. Gelap, nuansa yang timbul dari kalimat lanjutannya ‘aku mayat politik yang pernah diculik’. Bahkan, untuk memperkuat nuansa itu, beberapa huruf dibuat hilang. Yang berbeda di bagian ini, Ellena menggunakan tiga warna sebagai latar belakang kertas: cokelat, hitam, dan krem.

Grafis-grafis itu adalah wujud sinestesia apa yang ditangkap indera untuk hadir ke bentuk visual: 1) ada rasa dan emosi dalam pilihan tipografi, 2) ada cerita dalam pilihan objek foto atau gambar, 3) serta irama dalam jeda antara halaman. Namun demikian, kolaborasi ini perlu dipertimbangkan untuk memiliki nama sendiri. Ellena telah mempertimbangkan penamaan 'typoetry' bagi puisinya, karena itulah yang ditawarkan oleh aplikasi web tempatnya menaruh teaser buku ini, Behance.net. Selain itu, adalah tidak tepat juga untuk menyebutnya sebagai puisi konkret, sedangkan apa yang sejatinya Ellena lakukan adalah mengalihwahanakan medium teks (sastra) yakni karya Afrizal Malna ke medium visual (grafis). Karena dalam sejarahnya, puisi konkret adalah wujud ekspresi langsung dari para penyair. Buku puisi Ellena bukan digarap oleh Afrizal Malna, Ellena-lah yang membantu menyajikan puisi dalam bentukan yang dapat lebih dinikmati secara visual. Pun, dia melakukan penafsirannya sendiri dalam menentukan warna, jenis huruf dan tipografi, hingga pemilihan gambar-gambar yang sesuai dengan subjek yang dibicarakan dalam puisi. Visualisasi puisi, barangkali, adalah nama yang lebih tepat untuk itu. 

Kepustakaan 

Adler, Jeremy. (2013). “Technopaigneia, Carmina Figurata, and Bilder-Reime: Seventeenth-Century Figured Poetry in a Historical Perspective" dalam Comparative Criticism 4 (1993): 107-48. Web. 25 Feb. 2013.
Bohn, Willard. (2001). Modern Visual Poetry. Delaware: University of Delaware Press.
Ekarahendy, Ellena. (2013).Working Paper “Perancangan Visual Buku Interpretasi Puisi Afrizal Malna Pada Bantal Berasap”. Dokumen Ellena Ekarahendy.
Waluyo, H. (1987). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.



[1] Pidato berjudul Jarum dan Timbunan Jerami. Pengantar Ketua Tim Juri KLA 2013 dalam acara Malam Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2013 pada Selasa, 26 November 2013.
[2] Dengan karyanya mengenai Afrizal Malna ini, dia memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Desain Komunikasi Visual, Universitas Bina Nusantara di tahun 2013.
[3] Technopaigneia berarti teknik paginasi, carmina figurata adalah puisi dengan bentuk yang tersusun atas huruf-huruf dalam puisi. Puisi France Preseren berjudul Zdravljica adalah salah satu contoh bentuk ini. Sementara itu, gesamtkunstwek hadir dengan makna sedikit berbeda. Ia adalah keseluruhan cabang seni (seni komprehensif yang memadukan beraneka unsur-unsurnya), diksi ini kali pertama digunakan oleh filsuf Jerman, K. F. E. Trahndorff dalam esainya di tahun 1827.
[4] Menurut Foucault, puisi visual berfungsi “loge les enonces dans l’escape de la figure, et fait direay texte ce que represente le dessin” (menyatakan puisi sesuai mediumnya, dan membuatnya manyampaikan apa yang direpresentasikan dalam corat-coret yang dikerjakan oleh penyair).
[5] Judul-judul buku Afrizal Malna berdasarkan tahun terbit, di antaranya: Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam dalam Mikrofon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Museum Penghancur Dokumen (2013).

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu