2013/11/13

#5BukudalamHidupku: Filsafat Ilmu, Buku untuk Anak Badung

Saya rasa kamu tidak perlu menjadi seorang kanak-kanak yang tak punya masa depan untuk menyukai buku ini. Meskipun, saya perlu. Rata-rata pembaca di Goodreads memberi rating tinggi untuknya dan memuji penyusunnya, Jujun S. Suriasumantri. Ada yang menjadikan buku ini pengantar mata kuliah wajib, ada pula yang menyanjungnya karena pengaruhnya pada pemikiran kritis. Saya berhutang banyak padanya karena buku ini menjadi semacam jembatan bagi saya.

Semasa SD, saya termasuk anak badung dalam artian sesungguhnya. Suka menghitamkan kulit dengan berjemur main layangan di loteng rumah teman, berkejaran saat tali nilon dari layangan yang beradu di langit putus, atau sekadar jalan-jalan dengan kaki telanjang di sungai. Pernah bolos sekolah hingga enam bulan. Pernah ditelepon kepala sekolah SD sementara saya sedang main lompat tali di halaman rumah, dan menyuruh Nenek berbohong. Saya cuma berteman dengan laki-laki. Laku saya saban hari hanyalah menjadi kanak-kanak yang tak kenal sekolah: bangun pagi, kelayapan keluar rumah, pulang malam; setelah adu kelereng, main layangan, mampir di rumah teman ini dan itu, mencuri ubi dari halaman rumah orang, bikin ogoh-ogoh, dan entahlah apa lagi.

Sementara itu, di sekolah, saya tak pernah memperhatikan pelajaran. Masa bodoh dengan guru bahasa Indonesia dan Matematika di depan kelas. Saya asyik menggambar di sudut kelas paling belakang. Pernah, saya ditegur dan diminta untuk ajak orangtua ke sekolah. Ibu saya dinasihati untuk memindahkan saya ke sekolah luar biasa dalam artian sesungguhnya. Saya tak ingat apa yang membuat saya berkarakter seberandalan itu.

Buku yang saya temukan saat kelas 1 SMP ini mengubah segalanya, dalam artian sesungguhnya. Saya sebagai bocah lugu yang tak punya masa depan ini, yang lulus dari SD dengan nilai IPS 5,4 di ijazah, tiba-tiba menemukan buku “Filsafat Ilmu” di rak ibu saya. Gambar di sampulnya lucu, gajah yang pegang macam-macam. Kelak saya mengenalnya sebagai Ganesha, dewa kecerdasan dan adik dari Dewi Saraswati.

Saya baca macam-macam sebelum ketemu “Filsafat Ilmu”, yang kebanyakan berupa cergam: Candy-candy-nya Yumiko Igarashi, Doraemon-nya Fujiko F. Fujio, Dewi Matahari-nya Suzue Miuchi. Juga seri awal Harry Potter edisi bahasa Indonesia. Namun, tak ada yang mengubah saya sedahsyat apa yang dilakukan buku ini.

Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidaktahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya

(Halaman 19)

Ditambah dengan ilustrasi-ilustrasi yang sederhana nan lucu; ilustrasi Einstein yang bersimpuh dan tampak kebingungan memikirkan rumus matematika, juga ilustrasi yang berbunyi “Orang itu adalah ilmuwan ahli fisika nuklir yang diculik makhluk halus dan diselamatkan oleh dukun yang ahli ilmu gaib...” atau “Dia tidak tahu apa-apa kecuali fakta” dengan ilustrasi orang-orang yang sibuk berdiskusi dan tak peduli terhadap satu sama lain, dan banyak lagi. Anak kecil mana yang tidak jatuh cinta menemukan buku yang penuh pertanyaan dan gelitikan tetapi disajikan dengan jenaka ini?




Buku yang hampir merangkum segala hal ini, dari yang remeh-temeh;

Ragukan bahwa bintang-bintang itu api;
Ragukan bahwa matahari itu bergerak;
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta;
Tapi jangan ragukan cintaku.
                                                Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu!

hingga pengenalan ke hal-hal rumit: penalaran, logika, sumber pengetahuan, kriteria kebenaran, metafisika, dan lainnya. Buku ini barangkali sangat bagus untuk menjadi awal perkenalan seseorang kepada betapa luasnya dunia. Betapa luasnya semesta. Namun, tentu, pembahasannya secara populer dan hanya dikurasi tema-tema yang elementer.

Barangkali pengaruh kegemaran pada puisi yang membuat saya menyukai buku Filsafat Ilmu yang disisiri hal-hal romantis seperti kutipan di atas. Dulu, saya suka baca buku-buku puisi. Suka sekali, dalam level ketagihan. Lewat “Filsafat Ilmu”, saya juga diajak untuk membayangkan orang-orang yang dapat jadi hebat di bidangnya masing-masing, tetapi menjadi medioker di bidang lain karena keberadaan ilmu yang begitu luas. Memikirkan pilihan-pilihan hidup orang lain. Memikirkan pohon silsilah dari ilmu-ilmu pengetahuan. Filsafat, benar-benar mendasar dan menyeluruh.

Entahlah, tapi kalau kembali ke konteks semasa SMP, buku ini menjadi pengingat bagi saya bahwa tak ada kata terlambat untuk mendalami bidang yang saya sukai. Lantaran membaca penjelasan soal Epistemologi.  Jadi, ada tiga aspek dalam filsafat ilmu: ontologi (apa yang dikaji oleh pengetahuan), epistemologi (bagaimana cara mendapatkan pengetahuan itu), aksiologi (untuk apa pengetahuan itu dipergunakan). Bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan yang lengkap? Bikinlah peta pengetahuan, tentukan hal-hal apa yang kamu sukai, dan tekuni salah satunya. Karena di SD-SMP, saya gagal di bidang akademis, saat SMA saya menebusnya dengan mulai menyukai pelajaran Kimia, yang baru diajarkan di SMA. Dan benar-benar menggilai pelajaran itu. Tiga tahun selalu mendapatkan nilai bagus di bidang IPA, bukan hanya di Kimia, itu menyenangkan.

Saya tak bisa menerangkan lagi apakah saya paham tentang Filsafat Ilmu setelah membaca pengantar singkat melalui buku ini—sejak SMP pula. Lucu, anak SMP sok baca yang judulnya beginian. Kemungkinan besar, jawabannya: saya tetap tidak paham. Di kemudian hari, teman-teman kuliah saya mengambil mata kuliah ini dan mengumpat-umpat betapa mereka tidak menyukai mata kuliah ini. Sebagian besar lainnya mengaku tak paham apa gunanya Filsafat. Tanya ke teman-teman yang kuliah Filsafat, mereka justru meragukan kewarasan dosennya.  Saya merasa sedih melihat mereka seperti itu. Atau mungkin Filsafat memang demikian rumit dan tidak menyenangkan? Tidak lagi menampung pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan menyeluruh? Ataukah semua pertanyaan-pertanyaan memang sudah terjawab dengan begitu mudah di zaman edan ini? Dan orang-orang, di satu saat, merumitkan hal yang semestinya mudah dan mensimplifikasi hal yang semestinya kompleks?

Saya tak tahu.

Barangkali saya akan menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan saya sendiri bukan dari orang lain. Barangkali saya harus menciptakan karakter-karakter fiksi yang saling berdebat. Mendebatkan apa pun.

Tulisan ini jadi melenceng begitu jauh. Anggaplah ini bukan resensi. Masih terlalu awam untuk meresensi buku yang terakhir kali dibaca serius bertahun-tahun lalu. Sudah kadung lupa sebagian besarnya.

Catatan menarik dari Jujun S. Suriasumantri tentang bukunya:

“Mengapa kamu menulis buku filsafat ilmu ini secara santai dan guyonan?” tanya teman saya yang terkenal sebagai ilmuwan yang serius.

Sebab asumsi saya adalah seseorang itu lebih mudah belajar tentang sesuatu yang baru dalam suasana yang santai: tanpa tersinggung kita menertawakan kebodohan kita sendiri, tanpa wasangka kita melihat kebenaran orang lain, dan tanpa sadar, lho, kita telah mengembangkan paradigma baru.
Semoga asumsi itu benar, ancam dia, sebab kalau tidak, maka buku kau ini tidak akan dibaca kaum ilmuwan melainkan para pelawak.

1 comment:

  1. Saya baca buku ini saran dari dosen, dan ternyata emang beneran ngefek ke kehidupan juga. Reviewnya bukunya pas banget. Salam kenal mba.

    ReplyDelete

Tulisan Terdahulu