2013/11/20

Tentang Proses Kreatif #SPTJKYJTC

Saya tak pernah mengharapkan sesuatu yang besar dari novel ini. Memang sejak kenal penghargaan DKJ, dan juga penghargaan KLA, kira-kira sewaktu kelas 3 SMA, di tahun 2008, saya pernah berharap untuk memenangkannya. Muluk-muluk, saya pernah ingin menjadi salah satu penulis muda berbakat-nya KLA. Namun, kita semua menua, dan saya sudah tak peduli pada penghargaan, mungkin itu yang namanya menjadi dewasa. Setelah karya saya terbit, ternyata menerima pendapat dari pembaca lewat surat-e sudah melipur semua lara (saya ketemu alasan kenapa lebih suka menaruh alamat surat-e daripada akun Twitter dalam biodata pengarang, karena obrolannya jadi lebih panjang).

Perjalanan menulis saya, seperti banyak kanak-kanak lainnya, dimulai sejak saya mengenal huruf. Kakek saya seorang guru, ia yang pertama kalinya mengajari saya baca-tulis. Dua tahun setelahnya, saya benar-benar fasih menulis dan membaca apa saja, waktu kelas 2 SD. Guru saya saat kelas 2 SD itu menemukan kesukaan saya berimajinasi. Diminta menggarap tulisan pendek, saya justru selesaikan dalam dua halaman folio bolak-balik. Karena hal ini, ibu saya dipanggil ke sekolah dan disarankan untuk membimbing saya ke dunia tulis menulis. Entahlah, bukannya dibimbing, saya lupa apa yang membuat saya setelahnya terpental dari dunia satu ini.

Seingat saya, waktu SD, saya sangat suka membaca buku puisi, meski juga suka bolos sekolah. Pinjam satu buku, bolos tiga bulan. Pinjam buku lainnya, bolos hingga enam bulan. Saya ingat, setelah sekian bulan tak sekolah, saya tiba-tiba mesti duduk di kelas 4 SD. Di tengah teman-teman saya yang paham pelajaran Matematika tentang kali silang. Saya duduk di bangku belakang kelas, menggambar saat guru Matematika menjelaskan di papan. Ibu saya dipanggil ke sekolah lagi, kali ini diminta memindahkan saya ke SLB. Kata guru saya, di kelas, saya tampak seperti autis. Kerjanya cuma menggambar dan menulis puisi dalam notes kecil. Lagi-lagi, Ibu saya tak menuruti saran guru saya.

Kembali ke buku puisi. Saya pinjam semua buku yang ada kata “puisi”-nya dari perpustakaan SD, SMP, dan perpustakan daerah. Ada seorang teman saya, waktu kelas 1 SMP, yang mencibir saya saat dia membaca buku yang saya baca. Ada kritik-kritik yang ditujukan untuk salah satu puisi. Saya suka membaca kritik-kritik sastra. Pendapat yang disampaikan untuk puisi itu: rimanya, maknanya, entahlah apa lagi, saya lupa. Tidak hanya berhenti dengan membaca, saya membuat puluhan puisi, dan bahkan menciptakan lagu dari puisi itu. Sampai kemudian saya menemukan terminal lain.

Saat itu, kelas 2 SMP, di jam istirahat, kawan saya memamerkan cerpen yang dibuatnya. Banyak yang menggemari tulisan kawan saya itu. Saya pikir, cuma menulis cerita... hal itu seharusnya mudah. Pulang dari sekolah, saya terpekur di depan komputer dan mengetik sebuah cerita pendek. Judulnya “Kesepian Pagi Hari”. Saya lupa, duluan mana, ibu saya menderita kanker atau saya memulai cerita dengan tokoh yang menderita kanker. Yang jelas, tokoh utama cerpen perdana saya itu mati karena kanker.
 
Berikutnya hingga saya menyudahi masa SMA, lahirlah cerpen-cerpen dengan target audiens remaja. Gaya bahasanya juga dipengaruhi novel-novel remaja yang saya baca. Hingga suatu hari,  waktu sedang bikin makalah Biologi di Warnet, saya iseng ketik kata “bunuh diri” di Google. Karena waktu kelas 2 SMA itu, ada permainan “tebak kata”. Saya diberi kata “suicide” dan saya sungguh-sungguh tak tahu apa artinya. Saya kesal karena diberi tatapan ejekan oleh semua teman klub bahasa Inggris di SMA. Jadi, saya masih ingat kata itu. Suicide. Bunuh diri. Dalam pencarian di Google itu, saya ketemu situs penulis amatir, Kemudian.com, yang waktu tahun 2007 itu juga dihuni oleh para praktisi mumpuni: macam Gunawan Maryanto, TS Pinang, hingga Joko Pinurbo.

Tulisan awal yang banyak saya buat di situs itu sebatas tulisan curhat. Sama seperti yang sekarang saya tulis. Dikomentari banyak orang. Saya jadi kembali suka menulis. Saat itu, saya juga menggarap novel dengan judul “Cinta Segitiga Bermuda” tentang sepasang kekasih yang tersesat ke alamnya Dinosaurus, lalu berloncatan-loncatan dalam waktu, hingga ke masa Kerajaan Atlantis karena sang gadis adalah putri dari kerajaan itu. Karena tulisan bergenre fantasi ini, saya jadi serius meriset tentang apa saja: teori dimensinya Max Planck dan Einstein, fisika dan kimia kuantum, Eksperimen Philadelphia, levitasi, hingga kala-kala yang harus dilalui para Dinosaurus. Novel itu sudah jadi hingga 300-an halaman, tapi belum benar-benar tamat. Karena saya tersesat di alam fantasi yang saya bikin, lagipula gaya bahasa novel itu masih sangat kacau, metaforis, dan hiperbolis.

Begitulah. Saya mulai serius menulis karena orang-orang yang saya temui di situs ini. R.D. Villam suka menulis dalam genre fantasi, kelak di kemudian waktu, dia menggagas program Kastil Fantasi (peminatnya membeludak, sekitar 300-an orang). Ada juga F_Griffin, orang yang bahasa Inggrisnya fasih betul (dia, dan Andrea Hifran, yang di kemudian hari mendorong saya mengambil kuliah di jurusan Bahasa Inggris). Nah, pertemuan dengan Andrea Hifran ini yang mengubah segalanya.

Dia mengenalkan saya pada genre-genre tulisan caper story, splatterpunk, cyberpunk, hard-boiled, psychological thriller, techno-thriller, dan banyak lagi. Saya terpukau akan korespondensi kami di tahun 2008 itu. Dia orang gila, dalam artian sesungguhnya. Karena minimnya stok karya lokal yang bertemakan genre-genre tadi, dia coba-coba bikin sendiri karya dengan genre itu yang bisa ditemukan dalam blog pribadinya, masih banyak yang belepotan tentu saja. Komentar lucu darinya:  Gue cuma geli tiap kali dengar, "Yang gituan emang dah biasa di luaran, tapi belum di sini," seakan 200an juta jiwa yang sebahasa dengan gue adalah sekumpulan barbar.

Lepas dari itu, saya tidak melihat perubahan yang begitu signifikan dalam selera saya bereksperimen dengan bentuk, gaya bahasa, tema, dan genre. Sampai saya terdampar di Yogya, kuliah di sini, ikut organisasi pers mahasiswa. Orang-orang di organisasi itu yang mengenalkan saya pada tulisan serius di koran. Iseng-isenglah saya kirimkan delapan stok cerpen ke delapan redaktur, untungnya salah satu cerpen tersangkut ke Koran Tempo dan dimuat tahun 2011 itu.

Proses kreatifnya sendiri, selalu berubah. Dinamis. Saya tak punya rutinitas pagi hari—seperti “morning routine”-nya para penulis di Brainpickings. Kalau Haruki Murakami perlu berhenti dari pekerjaannya dan menutup bar untuk serius menjadi penulis, gemar tidur jam 9 malam dan bangun pagi-pagi untuk lari pagi dan lalu menulis, atau Eka Kurniawan menutup Twitter dan Facebook untuk bisa serius menulis, saya tak menemukan hal seperti itu bisa ditiru. Saya sudah coba, tapi tak berhasil untuk diri saya. Ide-ide yang datang untuk cerita juga bisa dari mana saja. Saya suka mencatat detail dan bikin kliping. Kebanyakan ide-ide cerita saya dapat dari membaca buku sains, diktat, lagu-lagu, atau film-film. Apa pun, lah. Ada orang nyinyir tentang politik, kalau itu menggelitik, sepertinya bisa ditulis. Sementara, kebanyakan detail dalam cerita, saya dapatkan dari kehidupan pribadi saya dan orang-orang di sekitar saya. Momen untuk menulis, lebih tidak tentu lagi. Kapan saja bisa. Hanya saja, saat menulis, saya harus benar-benar sendiri. Di kamar, mungkin, dengan penerangan lampu baca yang remang oranye. Bagi saya, menulis adalah proses bermain-main dengan kata.

Dulu saya suka memberikan hadiah cerita pendek untuk teman-teman yang sedang berulang tahun. Hal ini berhenti, barangkali, karena saya tak suka hal stagnan dan repetitif. Bosanan, istilahnya. Novel “SPTJKYJTC” saya ini juga adalah hadiah ulang tahun saya untuk diri saya sendiri. Mulanya dalam bentuk cerita pendek, yang saya tuntaskan di tanggal ulang tahun saya, tapi kemudian saya pikir hal itu tidak spesial. Lagipula, 18 hari setelahnya ada deadline Sayembara Novel DKJ 2012.

Saya coba menggarap cerpen itu menjadi novel dalam 18 hari. Apa yang harus dilakukan? Waduh, banyak. Apalagi pada masa pengerjaan novel itu, saya salah menginformasikan ke sahabat saya untuk datang ke wisuda saya di Yogyakarta. Dia jauh-jauh datang dari Jakarta, sepertinya pula bawa jas. Karena kesal wisuda saya dibatalkan, dia minta saya menemaninya keliling Yogyakarta—dan Magelang—dalam seminggu masa cutinya. Jadi, dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam, saya menemani dia ke Parangtritis, Borobudur, Prambanan, Malioboro. Dan setelah itu, saya baru menggarap naskah novel ini, kadang sampai subuh.

Untuk membuat ide mengalir lancar, dan dalam delapan belas hari itu saya bisa asal ketik saja karena waktu pengerjaan yang terbatas, saya putar film-film apa saja sambil menulis. Kalau bosan menonton film, saya dengarkan musik apa saja. Kalau bosan dengan kedua media itu dan ingin rehat dari komputer, saya buka sembarangan buku-buku di rak pada halaman berapa saja. Saya menyisiri diksi yang menarik, baru kemudian saya pungut untuk jadi ide cerita.

Sudah hari kesekian menjelang tenggat sayembara dan novel saya baru 60-an halaman. Saya kemudian bikin outline cerita. Karakterisasi, setting, pembuka tiap paragraf, jumlah bab. Saat itu, saya tentukan membuat novel dalam 31 bab. Saya pilih genre epistolari (saya baru tahu istilah ini setelah menyelesaikan novel ini dan mengirimkannya ke sayembara, karena saya ingin menulis cerita tanpa dialog). Kebetulan, saya sebagai awak pers mahasiswa sedang kesengsem dengan genre Jurnalisme Sastrawi/Jurnalisme Narasi. Saya hanya ingin coba bagaimana kalau kisah yang penuh-narasi ini diterapkan dalam fiksi. Saya putuskan membuatnya jadi surat. Tidak ada dialog langsung—hanya ada penafsiran dari tokoh utama—dan lebih sering disisipi monolog, alur mundur, dan berfokus pada karakter utama.

Saya tidak memberikan nama kepada karakternya, hanya atribusi-atribusi: “Tuan Pemilik Toko”, “Gadis Berliontin Naga”, “Lelaki yang Dari Matanya Kelihatan Selalu Ingin Menangis”, “Pacarku”, “Nyonya Pemred”, dan lain-lain. Setting utama dipilih dari tiga tempat: Bali, Yogyakarta, Jakarta karena saya akrab dengan setting itu, dan setting sampingannya adalah Bima, NTB karena faktor agama dari ibu si tokoh utama yang saya niatkan berasal dari Kesultanan Bima.

Karakter utamanya seorang jurnalis karena faktor pilihan diksi. Saya merasa, surat-surat ini mesti menjaga ritme kalimat, sampai akhir. Karena kalau surat itu tidak ditulis dengan kalimat-kalimat dengan ritme yang tepat, pembaca akan jatuh bosan. Surat-suratnya sendiri ditulis lompat-lompat untuk menghindarkan saya dari rasa stagnan dan bosan menggarap satu bab sampai selesai. Ketika semua bab sudah hampir rampung, saya baru menentukan penutup dan pembuka dari novel ini. Novel dibuka dengan adegan dalam mimpi, dan ditutup dengan akhiran menggantung.

Saya merasa aman bermain-main dengan teknik itu, karena saya suka dengan akhir cerita yang menggantung, dan saya ingin bikin bentuk novel di mana karakter utamanya bukan pengarang-sebagai-narator, melainkan si penutur itu adalah si Penulis Surat sendiri, si Aku. Seolah-olah, selama menulis, saya punya teman main baru, yang saya kuntit ke mana pun dia pergi. Sejak dulu, saya percaya, karakter-karakter yang saya tulis dalam cerita, mewujud di tempat dan waktu yang lain. Jadi saya hanya menuliskan apa pun yang dia rasakan, dia lakukan, dia pikirkan, tanpa saya ikut mencampuri. Membiarkan tokoh-tokoh saya itu hidup dan bercengkerama ke satu sama lain.

Karena kalau kelak ada yang tanya, “Kenapa, sih, penutupnya seperti itu?”, “Kenapa, sih, jalan hidup karakternya begini dan begitu?”, saya akan membiarkan karakter saya itu yang menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya.

—untuk Diskusi Proses Kreatif “SPTJKYJTC” yang digagas Komunitas Kembang Merak, 20 November 2013, jam 3 sore nanti.

2 comments:

  1. selalu menyenangkan rasanya membaca proses kreatif seorang penulis. terima kasih sudah berbagi.

    ReplyDelete

Tulisan Terdahulu