2015/12/15

Politik Kesusastraan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

Pendirian Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun 1908, yang diketuai G. A. J. Hazeu, penasihat urusan Bumiputra, adalah salah satu upaya pemerintah kolonial dalam meredam sumber-sumber pemikiran politik yang mungkin menjatuhkan kekuasaan mereka pada awal abad ke-19. Pada 1911, lewat komisi ini, D. A. Rinkes menerbitkan “Nota Over de Volkslectuur” yang menetapkan pelarangan atas penerbitan dan peredaran buku-buku yang dianggap sebagai bacaan liar dan menganggu stabilitas pemerintahan mereka, yakni di antaranya terbitan berbahasa Melayu populer[1] yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi ini di kemudian waktu difungsikan dan populer sebagai Penerbit Balai Pustaka.

Surat edaran Rinkes itu menyebutkan kriteria bacaan yang berterima oleh komisi tersebut: (1) netral terhadap persoalan agama; (2) tidak boleh mengandung pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah; (3) tidak menerima sastra yang bersifat cabul; (4) karya harus ditulis dalam bahasa Melayu tinggi karena karya tersebut akan dibawa ke sekolah-sekolah; dan (5) sastra semestinya menerapkan penokohan yang lazim: karakter hitam-putih.[2] Pada perkembangannya, pemerintah Kolonial Belanda terbilang berhasil menerapkan aturan-aturan tersebut, terutama dalam mengasingkan bahasa Melayu Populer yang merupakan bahasa utama dalam penulisan kesusastraan Melayu-Tionghoa sehingga sejak 1930-an para pengarang pribumi[3] praktis mulai belajar dan hanya menulis dalam bahasa Melayu tinggi.

Bahasa Melayu tinggi yang berasal dari Kepulauan Riau kemudian menjadi bahasa Indonesia dengan corak yang lebih baku, yakni bahasa yang ketika itu digunakan dalam sekolah-sekolah pemerintah yang kemudian lazim dikenal sebagai bahasa Balai Pustaka.[4] Penggunaan bahasa Melayu populer ini baru dibedakan dengan Melayu ala Balai Pustaka setelah terjadinya pemberontakan PKI di tahun 1920-an.[5] Terkait hal ini, perlu ditekankan bahwa Claudine Salmon, peneliti kesusastraan Melayu-Tionghoa, berpendapat bahwa sebelum pertengahan 1920-an, bahasa Melayu Populer telah lebih intensif dan lebih dahulu dipakai oleh masyarakat pribumi Indonesia di Jawa dibandingkan bahasa Melayu tinggi yang ditegaskan penggunaannya oleh Balai Pustaka.

Penerbit Balai Pustaka sendiri di kemudian waktu berperan besar dalam perpanjangan tangan politik kolonial Belanda. Oleh komisi tersebut, kesusastraan dikendalikan dan dihaluskan. Sensor diterapkan untuk hal-hal yang terkait isu kolonialisme, sebaran ideologi komunis, ataupun pemikiran progresif Islam. Karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, bersama dengan karya sastra generasi awal penulis sosialis penduduk pribumi—literatuur socialistisch—seperti yang ditulis oleh Semaoen dan Mas Marco Kartodikromo, dicap sebagai bacaan liar karena dianggap mengganggu kestabilan pemerintahan kolonial Belanda. Kualitas karya mereka dinilai berbahaya secara politis dan mengganggu moral masyarakat.[6] Novel Mas Marco, Mata Gelap (1914), hingga novelnya satu dekade kemudian, Rasa Merdika (1924), tidak masuk dalam perbincangan sastra pada ulasan majalah ataupun resensi di masa itu. Demikian halnya dengan novel Semaoen, Hikajat Kadiroen (1922). Sementara itu, sebagian besar karya sastra Melayu Tionghoa yang dicap sebagai bacaan liar praktis diberangus habis. Secara singkat dan gamblang, dapat dikatakan politik Balai Pustaka telah sepenuhnya bekerja dalam membatasi resepsi pembaca atas karya-karya mereka.[7]

Tradisi Penerbitan


Dalam tradisi penerbitan di Indonesia, terhitung sejak masa pra-Indonesia, peranakan Eropa adalah golongan yang memiliki privilese paling besar. Pada periode 1858-1900, mereka memiliki 14 terbitan surat kabar di Betawi dan 6 terbitan surat kabar di Surabaya. Pada terbitan-terbitan mereka tersebut, peranakan Tionghoa hanya dipertugaskan untuk membantu dalam ranah pekerjaan redaksional.[8] Meskipun pada saat itu pula, Lie Kim Hok, penulis peranakan Tionghoa, telah dikenal menghasilkan sejumlah karya tulis, dan ia mendapat julukan sebagai bapak “bahasa Melayu-Betawi” berkat kamus bahasa Betawi yang disusunnya.[9] Setelah peranakan Eropa, pada tahun 1880-an, peranakan Tionghoa menyusul memiliki penerbitan sendiri. Dengan demikian, mereka lebih punya kebebasan sendiri, atas pilihan sendiri, dan dengan tanggung jawab sendiri.[10] Disusul kemudian kepemilikan penerbitan oleh golongan pribumi pada 1906-1912, yakni dengan terbentuknya NV. Javaansche Boekhandel en Drokkerij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” yang dipimpin oleh R. M. Tirto Adhisoerjo.

Sastra Melayu-Tionghoa: Selayang Pandang

Usaha-usaha Percetakan dan Penerbitan oleh Masyarakat Tionghoa
Usaha percetakan Tionghoa pertama di Indonesia didirikan pada 1879. Percetakan tersebut dimiliki dan dikelola oleh Yap Goan Ho. Usaha Yap Goan Ho ini dilanjutkan oleh Lie Kim Hok, tetapi di tengah jalan mengalami kegagalan sehingga ia menjual alat-alat percetakannya kepada penerbit Belanda, Albrecht. Pada umumnya, dana usaha penerbitan buku masyarakat Tionghoa bersumber dari sebagian hasil usaha dagang mereka di luar percetakan maupun penerbitan.[11] Hal ini berbeda dengan penduduk pribumi ataupun pemerintah kolonial Belanda yang masih menggantungkan diri dari subsidi pemerintah. Berdasarkan karakteristiknya, kesusastraannya tumbuh atas dukungan jurnalisme mereka yang sudah bermula sejak tahun 1950-an.[12]
 
Sejalan dengan adanya usaha percetakan dan penerbitan itu pula, produksi kesusastraan Melayu-Tionghoa dapat dikatakan membentang dalam kurun waktu cukup panjang, 1870-an hingga 1960. Dalam penelitian ekstensifnya,[13] Claudine Salmon dan Denys Lombard mendapatkan hasil yang mengesankan mengenai kesusastraan “yang hilang dan dilupakan” tersebut:

Jumlah pengarang dan penerjemah : 806
Jumlah karya-karya mereka : 2.757
Karya-karya anonim : 248

Jumlah keseluruhan karya-karya : 3.005

Di antara ke-3.005 judul tersebut, tanpa memperhitungkan terbitan ulang, terdapat:
73        sandiwara
183      syair
233      terjemahan karya-karya barat
759      terjemahan dari bahasa Cina
1398    novel dan cerpen asli

Sumber: Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography (Etudes insulindiennes-Archipel: 3, Paris, Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1981)

Claudine memyandingkan temuannya tersebut dengan jumlah judul dari tradisi kesusastraan Indonesia yang didokumentasikan dalam “kesusastraan Indonesia modern”, bersumber dari penelitian pakar sastra Indonesia, A. Teeuw, yang dinyatakan meliputi sekitar 175 pengarang dan sekitar 400 karya (1967) dan 284 pengarang dengan 770 karya (1979).[14] Hasil penelitian Salmon ini mengoreksi penelitian Teeuw sehingga Teeuw merasa perlu untuk bermawas diri dan meninjau kembali pandangannya mengenai kesusastraan modern Indonesia, hingga ia sampai pada simpulan:

“Buku tersebut [buku Claudine Salmon, sic!] telah memberi landasan kuat bagi kritik sastra yang sangat diperlukan untuk lebih memajukan penelitian sastra Indonesia modern. Berhubung dengan alasan-alasan yang diajukan Salmon itu tak terbantahkan dan begitu meyakinkan, para peneliti perlu melepaskan sikap apriori bahwa sastra Indonesia awal dan manifestasi satu-satunya sebelum Perang Dunia Kedua adalah novel-novel Balai Pustaka. Dengan terbitnya buku tersebut, tak diragukan lagi bahwa sastra peranakan Tionghoa merupakan mata rantai pokok dari perkembangan sastra Indonesia masa kini…”[15]

Liang Liji, seorang pembaca kesusastraan Melayu-Tionghoa, merefleksikan bahwa ada dua hal yang menyebabkan kesusastraan Melayu-Tionghoa tidak mendapatkan tempat dalam nomenklatur sastra pada masa itu. Diterangkan oleh Liang Liji, alasan-alasannya di antaranya: pertama, keturunan Tionghoa pada masa itu berstatus dwi-warganegara dan hanya dianggap sebagai perantau. Padahal, sesungguhnya mereka bukan hanya merantau, melainkan berimigrasi dan berkehendak untuk menetap. Mereka berangsur-angsur membaurkan diri dengan masyarakat Indonesia. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai upaya asimilasi dan menetapkannya sebagai periode asimilatif atau periode pra-sastra Indonesia, apabila hendak dikaitkan dengan pembabakan kesusastraan. Dalam sejarahnya kemudian, saat dihadapkan pada status dwinegara tersebut, mereka lebih memilih Indonesia. Ini berarti mereka menganggap diri sebagai bagian dari Indonesia dan dengan demikian semestinya karya kesusastraan mereka dimasukkan dalam kategori kesusastraan Indonesia.

Kedua, kesusastraan ini ditulis dalam bahasa Melayu populer yang didiskreditkan oleh pihak kolonial Belanda sebagai “bahasa Melayu rendah”—atau bahasa Melayu pasar. Bahasa Melayu rendah ini tidak dipandang sebagai sumber dari bahasa Indonesia yang digunakan pada masa ini. Ada anggapan bahwa bahasa Indonesia pada masa ini hanya bersumber dari bahasa Melayu tinggi yang berakar dari bahasa Melayu yang dipakai di Kepulauan Riau. Padahal, seperti yang dijelaskan Salmon, bahasa Melayu populer digunakan secara lebih luas di tengah masyarakat karena terasa lebih cocok dan lancar untuk dipergunakan mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam kehidupan sehari-hari. 

Balai Pustaka menempatkan mutu karya sastra Melayu-Tionghoa sebagai “bacaan liar”, padahal beberapa karya sastra Melayu-Tionghoa justru bisa dikategorikan sebagai “kesusastraan Melayu tinggi”. Pertama, karena isinya lebih realistis, tidak hanya membahas dunia khayal dan mitos, tetapi lebih banyak mengungkapkan kehidupan dalam masyarakat dan melukiskan suka-duka manusia dalam kesehariannya. Kedua, penulisannya sudah menerapkan bentuk dan metode kreasi modern dan meninggalkan gaya penulisan usang. Ketiga, penggunaan gaya bahasanya telah meningkatkan “bahasa Melayu populer” ke taraf bahasa sastra dan memopulerkannya ke seluruh Indonesia. Keempat, selain mengandung nilai sastra, kesusastraan mereka juga dapat disebut sebagai dokumen sejarah karena isinya yang kontekstual dan berdasarkan peristiwa aktual pada saat itu. Untuk alasan-alasan ini, Jakob Soemardjo mengafirmasi kesusastraan Melayu-Tionghoa sebagai cikal bakal sastra modern di Indonesia.[16]

Beberapa Contoh Karya Utama yang ditulis oleh Masyarakat Tionghoa
Dalam buku Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, Monique Zaini-Lajoubert dan Claudine Salmon membahas dua karya yang disadur oleh Lie Kim Hok. Baik Zaini-Lajoubert maupun Salmon bersepakat bahwa karya novel dan syair Lie Kim Hok mewakili suara dari penulis dengan gaya modern. Zaini-Lajoubert menjabarkan pendapat Kwee Tek Hoay bahwa syair Cerita Siti Akbari karya Lie Kim Hok mungkin didasarkan pada cerita Abdul Muluk dalam bahasa Sunda ataupun karangan Arnold Snackey. Setelah melakukan perbandingan secara saksama atas karya Abdul Muluk dan Cerita Siti Akbari, Zaini-Lajoubert menemukan bahwa karya Lie Kim Hok mengandung detail-detail yang menunjukkan adanya pembaruan. Ia menunjukkan poin penting bahwa pada Cerita Siti Akbari, tokoh wanita dijadikan sebagai unsur penting di dalam karya dan di sana Lie Kim Hok menunjukkan peranan wanita secara berbeda dari pandangan tradisional masyarakat di masa itu. Selain pembaruan dari segi gagasan, syair tersebut juga memakai teknik penceritaan yang belum pernah dikenal pada waktu itu, misalnya dengan menambahkan efek suspens di dalam cerita.[17]

Sementara itu, Salmon mengulas asal usul novel Melayu modern dengan mendedah karya Tjhit Liap Seng (Bintang Tujuh). Menurutnya, Lie Kim Hok mendapatkan pengaruh signifikan dari karya sastra dunia, terutama Eropa dan Arab. Pendapatnya ini membuatnya mengajukan hipotesis bahwa akar kesusastraan Melayu-Tionghoa dalam sastra Melayu tidak sepatutnya hanya dicari dari pengaruh tradisi Tionghoa. Anggapannya ini didasarkan pada fakta bahwa sejak awal kaum peranakan Tionghoa tertarik pada penerjemahan karya-karya sastra dunia, ditandai dengan terbitan sejak tahun-tahun 1860-an, yang terbit secara bersambung dalam pers berbahsa Melayu. Khusus untuk pembahasan novel Lie Kim Hok tersebut, Salmon menemukan bahwa keterpengaruhan Lie Kim Hok dalam menyusun plot cerita diperolehnya dari dua novel Belanda karangan J. van Lennep, Klaasje Sevenster dan Les Tribulations d’un Chinois en Chine. Karya yang terakhir disebut ini sepadan maknanya dengan Perjalanan seorang Tionghoa di Tiongkok karena beroleh pengaruh dari karangan Jules Verne dan karenanya memuat banyak ilustrasi dari cerita Verne di dalamnya.[18]

Hanya berdasarkan analisis Monique Zaini-Lajoubert dan Claudine Salmon ini saja dapat dilihat bahwa pembatasan karya sastra Melayu-Tionghoa dengan alasan karya-karya tersebut adalah bacaan liar sudah tentu bermasalah.

Balai Pustaka: Selayang Pandang

Di bawah pemerintah kolonial Belanda, upaya untuk mendorong publikasi buku-buku yang pantas bagi masyarakat telah dimulai sejak 1851. Hal ini sejalan dengan penerapan politik etis oleh Belanda—yang dipengaruhi oleh tulisan masyhur Multatuli, Max Havelaar. Van Deventer boleh jadi disebut sebagai Bapak Politik Etis, tetapi van Heutsz adalah orang yang kemudian mengembangkan lebih jauh maksud dari model pendidikan dalam politik etis. Baginya, pengajaran barulah berarti ketika anak didik memiliki buku untuk dibaca setelah meninggalkan sekolah. Demi kepentingan itu, dibentuklah suatu komite untuk meneliti hal-hal terkait bacaan yang tepat. Penyisiran karya oleh komite ini baru optimal ketika dibawahi oleh D. A. Rinkes dari Departemen Urusan Pribumi.

Rinkes menyadari bahwa ia perlu mengatur permintaan akan buku, yang dikaitkannya dengan daya beli dan kebiasaan membaca masyarakat yang masih rendah. Solusinya, ia berusaha mendirikan perpustakaan di setiap sekolah Kelas Kedua. Pada 1914, telah ada 680 sekolah yang menyediakan perpustakaan sesuai dengan kepentingannya ini. Buku-buku yang dipasok ke perpustakaan umumnya adalah terbitan Balai Pustaka sendiri. Demi menyediakan karya yang cukup untuk kepentingan tersebut, Balai Pustaka mengupayakan adanya penerjemah dan penulis yang mampu mengerjakan karya sesuai dengan preferensi Balai Pustaka.

Menurut Jedamski, penerjemahan yang dikehendaki oleh komisi Balai Pustaka harus sesuai dengan: (1) minat ilmu atau hobi anggota Commisie; (2) pandangan mereka yang Eropa-sentris tentang penduduk pribumi dan kebutuhan mereka.[19] Adapun untuk kriteria bahasa, mereka mengehendaki penulis atau penerjemah untuk: (1) menyusun kalimat yang sangat pendek; (2) menghindari bentuk berimbuhan; dan (3) mengutamakan kosa kata yang lazim dipakai tanpa memandang baku atau tidaknya. Bersamaan dengan aturan-aturan itu, tata bahasa diharuskan mengikuti patokan ejaan van Ophuysen.

Balai Pustaka memiliki mesin cetak sendiri pada 1921. Dimulailah penerbitan Pandji Pustaka yang terbit tiap pekan terhitung tahun 1923. Selain informasi dari pemerintah, dimuat pula cerita-cerita pendek yang telah menjalani pemilahan dari komisi. Demi kepentingan “melawan secara halus” para penulis pergerakan yang semakin getol menyerang pemerintahannya, pihak kolonial Belanda juga merekrut para penulis yang sama-sama berasal dari kaum pergerakan untuk menulis bagi mereka, tentunya dengan muatan yang telah dinyatakan “aman”, di antaranya Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah Asuhan. Puncak dari perekrutan ini adalah lahirnya suatu angkatan baru dalam kesusastraan Indonesia yang menyebut diri sebagai angkatan Poedjangga Baroe, merujuk pada majalah terbitan mereka, Poedjangga Baroe.

Kekhasan Karya-karya Sastra Hindia Belanda
Dalam bukunya, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Subagio Sastrowardoyo menelaah kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, yang ditulis oleh orang-orang Belanda terutama oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun keturunan bangsa Eropa lainnya. Dari hasil kesusastraan penulis-penulis Belanda itulah, menurut Subagio, sikap dan pandangan serta sifat hubungan berbagai golongan dan lapisan masyarakat yang berlaku pada masa kolonial Belanda dapat diketahui dengan lebih baik.

Selain itu, Subagio juga memasukkan beberapa nama penulis Indonesia, seperti Soewarsih Djojopoespito dan Noto Soeroto dalam jajaran penulis yang menerima pengaruh dari karya-karya sastra Hindia Belanda. Untuk itu, ia mengatakan: “Yang penting juga dipersoalkan di sini adalah kemungkinan bahwa Indische Belletrie atau sastra Hindia Belanda ini memberikan model bagi roman-roman Indonesia pada tahap permulaannya.”[20] Selain keterpengaruhan yang diterima oleh penulis Indonesia dari penulis Belanda, ia juga menjelaskan bagaimana keterpengaruhan diterima juga oleh penulis Belanda dari kesusastraan yang berkembang di Nusantara pada saat itu, seperti diterangkannya, sebagai berikut:

Tidak dapat dipastikan apakah Multatuli telah terpengaruh oleh cerita-cerita berbingkai yang dikenal di Indonesia. Sejak lama Hikayat Seribu Satu Malam telah menjadi milik sastra rakyat di Indonesia. Demikian juga Pancatantra dikenal dalam sastra Melayu sebagai Hikayat Panja Tanderan atau Kalilah dan Damina. […] Sekalipun tidak pasti, tidak sama sekali mustahil, bahwa Multatuli mengenal cerita-cerita berbingkai di Indonesia, dan dengan sengaja direncanakan atau tidak, ia sampai kepada bentuk bercerita itu.[21]

Ajaran moral atau protes sosial melalui bentuk kisah seperti Krapoekol dan Max Havelaar adalah penerus dari aliran sastra yang berpengaruh di negeri Belanda pada abad ke-18. Tokoh sastrawan yang penting pada masa itu di antaranya adalah Justus van Effen yang mengeluarkan majalah Hollandsche Spectator (Pengamat Belanda) terbit tahun 1731-1735. Penerbit berkala ini juga menghasilkan cerita-cerita pendek yang meneliti kehidupan sehari-hari penduduk Hindia Belanda sambil menyarankan keyakinan serta gagasan pengarangnya mengenai caranya memperbaiki keadaan masyarakat dan kehidupan rumah tangga.[22] Dari sini dapat dilihat bahwa preferensi Komisi Bacaan Rakyat (Balai Pustaka) mendapatkan pengaruh signifikan dari kekhasan sastra Belanda ini, yakni dengan penekanan pada aspek ajaran moral.

Politik Integrasi Kebudayaan


Ditetapkannya Bahasa Melayu Tinggi sebagai Bahasa Nasional
Pada mulanya, oleh pemerintah kolonial, bahasa Melayu hanya dimaksudkan sebagai bahasa tangsi. Bahkan oleh beberapa orang Belanda, bahasa ini dihinakan sebagai “brabbel Maleisch[23] dan hanya digunakan oleh Kompeni Inggris dan Hindia Belanda sebagai bahasa administrasi. Hingga memasuki abad ke-20, timbul kesadaran pihak Hindia Belanda untuk menatar bahasa Melayu sebagai bahasa baku untuk administrasi melalui pengajaran.

Bahasa Melayu tinggi ini, Pramoedya menyebutnya bahasa Melayu kitab atau bahasa Melayu diplomasi, di kemudian waktu ditatar menjadi bahasa sekolah oleh Kompeni Inggris di Singapura dan Semenanjung, dan oleh kolonial Belanda di Hindia. Perbendaharaan bahasa diperkaya dari kata-kata Arab dan Eropa, dan menabukan kata-kata Nusantara non-Melayu. Sementara itu, bahasa Melayu populer, Pramoedya menyebutnya bahasa Melayu lingua franca, sebaliknya mengadopsi lebih banyak kata-kata serapan dari bahasa-bahasa di Nusantara.

Sebelumnya, bahasa Melayu populer inilah yang berkembang luas di masyarakat. Namun demikian, demi kepentingan membakukan pengajaran, pihak Belanda mendirikan Commisie voor de Volkslectuur dengan tugas memelihara bahasa Melayu kitab atau bahasa Melayu diplomasi untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Konsekuensinya, penggunaan bahasa Melayu populer diminimalisasi.[24]

Pada perkembangannya, bahasa Melayu tinggi kemudian dipilih sebagai bahasa nasional. Hal ini karena bahasa Melayu dinilai memiliki watak yang demokratis dan tidak berjenjang dibandingkan bahasa Jawa yang memiliki empat tingkat pokok yang masih bisa dibagi ke dalam 36 tingkat. Hilmar Farid, seorang pengkaji bacaan liar dan politik bahasa, memandang bahwa watak demokratis itu disebabkan oleh kenyataan bahwa bahasa Melayu dipakai dalam dunia dagang, di mana hierarki tidak mutlak ditentukan oleh asal usul keluarga atau keturunan, melainkan dominasi dalam perdagangan.[25] Meskipun demikian, saat itu belum ada konsep yang jelas terkait sistem atau kaidah-kaidah bahasa, terkait pembagian kelas-kelas kata, kategori kalimat, dan ortografi bagi bahasa Melayu yang digunakan secara nasional tersebut karena belum ada lembaga otoriter yang menagaturnya.[26]

Keberlanjutan Politik Bahasa
Pelembagaan bahasa Melayu tinggi ini barulah memperoleh tempat yang signifikan di bawah rezim kepresidenan Suharto. Ironisnya, pelembagaan bahasa ini justru diupayakan oleh rezim Orde Baru ini untuk menghapus jejak-jejak penulisan dalam ejaan Ophuysen yang digunakan pada masa kolonial Belanda. Bagaimana cara kerjanya?

Pada Agustus 1966, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) menyelesaikan tugas atas perintah Ketua Gabungan V Komando Operasi Tertinggi[27] yang dipimpin oleh Anton M. Moeliono untuk menyelesaikan konsep ejaan yang diajukan pada Malaysia. Sebagian besar konsep LBK diterima oleh Malaysia.[28] Ejaan yang disetujui ini kemudian perlu mengalami sejumlah revisi hingga kemudian diresmikan pada 1972 oleh Menteri P dan K Mashuri S. H. dengan nama baru: Ejaan yang Disempurnakan. Harimurti Kridalaksana, bahasawan yang terlibat dalam perumusannya, menerbitkan esai Latar Belakang Penyusunan Ejaan Baru untuk meneguhkan peran sentral ejaan baru tersebut. Harimurti menyatakan empat prinsip pembakuan bahasa yang menjadi pegangan dalam penciptaan ejaan baru tersebut: (1) Prinsip Kecermatan, (2) Prinsip Kehematan, (3) Prinsip Keluwesan, (4) Prinsip Kepraktisan.

Menurut Wahmuji, seorang pemerhati linguistik, narasi Kridalaksana tersebut menunjukkan ideologi pembaharuan ‘modernis’: tata bahasa perlu diperbaiki, peristilahan harus dikonsep ulang, dan tata eja harus diperbaharui. Ideologi ini ia sinyalir berasal dari pembelajaran kelompok penyusun LBK[29] ini dengan kelompok sosiolingustik Hawai, Amerika, yang dikenal dengan nama “Grup Fishman” atas biaya Ford Foundation. Grup Fishman ini, dalam sejarahnya, memang ditugaskan untuk bekerja sama merancang “perencanaan bahasa” di negara-negara dunia ketiga. Menurut Wahmuji, Grup Fishman ini menerapkannya di negara dunia ketiga karena mereka menilai bahwa rasa kebangsaan di negara dunia ketiga sudah terbentuk sebelum adanya rasa nasionalisme. Hal ini terjadi sebaliknya di negara-negara Eropa yang memiliki lembaga khusus untuk mengatur perencanaan bahasanya, seperti Prancis dengan Akademi Prancis dan Inggris dengan Universitas Oxford.

Wahmuji menganalisis pernyataan seorang pemerhati Indonesia, Benedict Anderson, dalam esainya Exit Suharto: Obituary for a Mediocre Tyrant,[30] yang menyatakan bahwa pengonsepan EYD oleh Suharto merupakan bagian dari rencana besar pemerintah rezim Orde Baru untuk menyebarkan virus “amnesia nasional”, diterangkan oleh Wahmuji sebagai berikut: 

Menurut Anderson, ada motif besar di balik alasan resmi kerjasama dengan Malaysia yang digaungkan oleh para ahli bahasa dan pemerintah Indonesia, yaitu: untuk membuat pemisahan yang tegas antara apa yang ditulis dalam era baru Soeharto dan apa yang ditulis di masa sebelumnya. Buku atau teks yang ditulis dalam era sebelumnya akan sangat mudah dikenali, bahkan saat orang membaca judulnya. Ketertarikan pada Ejaan Soewandi (atau yang lebih dikenal dengan Ejaan Lama) secara otomatis dicurigai sebagai sisa-sisa Sukarnoisme, konstitusionalisme, revolusi, atau periode kolonial. Hasilnya adalah penghapusan sejarah karena pengetahuan generasi muda atas negaranya terutama datang dari publikasi rezim yang sedang berkuasa, khususnya buku-buku paket sekolah. Sebagian besar kegiatan melawan penjajah hilang dalam buku sejarah. “Revolusi” diubah namanya menjadi “Perang Kemerdekaan”, dimana tentara dikisahkan memainkan peran yang sangat besar. Dan periode pasca-revolusi dari demokrasi konstitusional tiba-tiba dianggap bukan hasil kreasi politikus sipil.

Bersamaan dengan rezim baru ini, kesusastraan Melayu-Tionghoa mengalami masa “pembinasaannya” karena sejak tahun 1966, masyarakat Tionghoa direpresi keberadaannya oleh pemerintah Suharto.

Penutup

Dalam bukunya, Tempo Doeloe, Pramoedya menegaskan posisi kesusastraan Melayu-Tionghoa sebagai golongan Melayu lingua franca, atau sastra asimilatif, atau sastra pra-Indonesia. Hal ini menurut saya lebih menjelaskan intensi Claudine Salmon, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo yang menyatakan bahwa kesusastraan Melayu-Tionghoa perlu dipandang penting sebagai cikal bakal sastra modern Indonesia. Pramoedya memperjelas tempat kesusastraan Melayu-Tionghoa untuk berada dalam kategori kesusastraan pra-Indonesia, bersama dengan karya-karya pendatang asing lainnya sewaktu memasuki Nusantara dari Malaka. Hal ini dengan pertimbangan Pramoedya bahwa sama halnya dengan kesusastraan Melayu-Tionghoa, mubalig asing yang masuk ke Indonesia untuk menyebarkan Islam maupun orang Portugis yang datang untuk mendirikan kekuasaan dan Gereja Roma di Nusantara bagian timur pun menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kekuasaan dan administrasi dan dengan demikian kesusastraan yang mereka hasilkan dapat dipandang sejajar posisinya sebagai sastra pra-Indonesia.

Dalam bidang bahasa, pembatasan sastra Melayu-Tionghoa dapat dilihat memiliki pengaruh yang signifikan atas terlembagakannya bahasa Melayu tinggi yang sebelumnya tidak jamak digunakan oleh masyarakat. Bahasa Melayu tinggi justru berkembang dengan baik pada ranah administrasi kolonial Belanda. Selanjutnya, corak bahasa Melayu tinggi yang terpilih sebagai bahasa nasional mengalami perubahan kembali yang jauh lebih signifikan pada masa pemerintahan Suharto karena pada masa itu ejaan Ophuysen yang sebelumnya digunakan di masa kolonial Belanda tidak diteruskan penggunaannya.



[1] Dalam pengantarnya untuk buku Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Volume 4, Prof. Liang Liji menulis bahwa ia kurang setuju dengan penggunaan dikotomi “Bahasa Melayu Rendah dan Bahasa Melayu Tinggi” yang terkesan meremehkan dan diskriminatif tersebut. Ia lebih setuju menggantikannya dengan “Bahasa Melayu Populer” terutama karena bahasa itu lebih populer dan digunakan secara luas sejak akhir abad ke-19, pada masa peralihan masyarakat Indonesia menuju masyarakat modern. Saya menyepakati usulan Prof. Liang Liji.
[2] Edwina Satmoko Tanojo. (1981). Ciri-ciri Bacaan Liar. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.
[3] Penggunaan kata pribumi praktis bermasalah bila diterapkan dalam konteks di masa sekarang. Namun demikian, untuk menempatkan konteks masa diterapkannya Nota Rinkes yang terjadi pada masa kolonial Belanda, artikel ini tetap menggunakan kata pribumi agar pembaca dapat mengikuti cara berpikir pemerintah kolonial di masa itu. Pada masanya, klasifikasi berdasarkan tiga kelompok rasial diterapkan oleh pemerintah kolonial untuk menjalankan program-programnya. Bagi pemerintah kolonial, masyarakat kulit putih atau Eropa menempati kelas pertama, bangsa timur asing seperti Tionghoa, Arab, dan India masuk ke dalam kelas kedua, sementara kelas ketiga adalah kelompok pribumi atau inlander.
[4] Hendrik M. J. Maier (1991). “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-Malay Literature” dalam Indonesia, volume edisi spesial Juli 1991, hlm. 67-82. Amerika Serikat: Cornell Southeast Asia Program.
[5] Leo Suryadinata (ed.). (1996). “Pengkajian Sastra Peranakan Indonesia: Sebuah Catatan” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, hlm. 198. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
[6] Hendrik M. J. Maier dalam “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-Malay Literature” menulisnya sebagai: “These publications were considered politically dangerous, morally suspicious, and, therefore, a threat to peace and tranquility.
[7] Bandung Mawardi. (2015). “Mengenang Tak Terang”, makalah disampaikan dalam Seminar Politik Kritik Sastra di Indonesia, 24-25 November 2015. Yogyakarta: PKKH UGM.
[8] G. P. Rouffaer dan W. C. Muller. (1908). Catalogus der Koloniale Bibliotheek, hlm. 292-305. Belanda: Boekwinkeltjes.
[9] Lie Kimhok menerbitkan aturan bahasa berjudul “Melajoe Betawi, Kitab dari Hal Perkataan-perkataan Melajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar dan Hal pernahkan Tanda-tanda Batja dan Hoeroef Besar” (1884).
[10] Pramoedya Ananta Toer. (1982). Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia, hlm. 8. Jakarta: Hasta Mitra.
[11] Jakob Sumardjo. (1996). “Latar Sosiologis Sastra Melayu Tionghoa” hlm. 63 dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
[12] Ibid., hlm. 64.
[13] Penelitian ekstensif Claudine Salmon dan Denys Lombard mengenai kesusastraan Melayu-Tionghoa diterapkan atas koleksi Adji Damais di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, koleksi Auckland University di New Zealand dan koleksi Universiti Kebangsaan di Kuala Lumpur dan koleksi pribadi mereka.
[14] Salmon, Claudine. (1981). Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography. Michigan: UMI Monographs bekerja sama dengan Association Archipel, Paris.
[15] Prof. Liang Liji mengutip pernyataan A. Teeuw untuk pengantarnya atas buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Volume 4.
[16] Jakob Sumardjo. (1985). Dari Khazanah Sastra Dunia. Bandung: Penerbit Alumni.
[17] Monique Zaini-Lajoubert. (1996). “Syair Cerita Siti Akbari Karya Lie Kim Hok (1884), Penjelmaan Syair Abdul Muluk (1946)” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, hlm. 317, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
[18] Claudine Salmon. “Asal Usul Novel Melayu Modern: Tjhit Liap Seng (Bintang Tujuh) Karangan Lie Kim Hok (1886-1887)” dalam Sastra Peranakan Melayu Tionghoa Indonesia, hlm. 214-216. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
[19] Doris Jedamski. “Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing” dalam Archipel 1992 Vol. 44, hlm. 23-46.
[20] Subagio Sastrwowardoyo. (1983). Sastra Hindia Belanda dan Kita, hlm. 25. Jakarta: Balai Pustaka.  
[21] Ibid., hlm. 60.
[22] Huygens, G. W.. De Nederlandse auteur en zijn publiek (Pengarang Belanda dengan Publiknya). G. A. van Oorschot, Amsterdam 1966, hh. 29-38. Aliran Sastra Belanda itu dibawah pengaruh pengarang-pengarang Inggeris di sekitar majalah The Spectator (1711-1712) dalam Sastra Hindia Belanda dan Kita, hlm. 66.
[23] Kurang lebih dapat diartikan sebagai “Mulut Melayu”.
[24] Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe, hlm 10.
[25] Hilmar Farid membandingkan pendapatnya mengenai sifat demokratis bahasa Melayu dengan V. Matheson dan M. B. Hooker, “Slavery in the Malay Texts: Categories of Depedency and Compensation”, hlm. 182-208, dalam Anthony Reid (ed.), Slavery, Bondage, and Depedency in Southeast Asia, New York: St. Martin Press. Dalam sejarahnya, bahasa Melayu memiliki konsep-konsep perbudakan yang bersifat sangat hierarkis.
[26] Hilmar Farid mengutip dalam skripsinya, Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Historis Jakarta: Gramedia 1984 menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki ciri universal, di antaranya pembagian kelas kata dan kalimat, yang pada dasarnya adalah pemaksaan studi bahasa “kuno” dari zaman von Humbolt yang terus mengalami modifikasi. Padahal, “keunikan” bahasa dari satu etnis pada saat tertentu dapat “lebur” dengan keunikan bahasa etnis lain karena gejolak sosial-historis dalam perkembangan bahasa tersebut.
[27] Mengutip artikel Wahmuji, EYD dan Amnesia Nasional dalam Lidahibu.com (diakses 5 Desember 2015, satuan ini awalnya dibentuk oleh Soekarno untuk melawan usaha pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris. Lembaga inilah yang, ironisnya, setelah kudeta Soekarno oleh Suharto, memprakarsai pendekatan hubungan dengan Malaysia. Patut digarisbawahi, Gabungan V Komando Operasi Tertinggi bukanlah lembaga bahasa.
[28]Saat itu, Malaysia memiliki empat sistem eja (Ejaan Wilkinson, Ejaan Za’baa, Ejaan Fajar Asia, dan Ejaan Kongres).
[29] Kelompok penyusun LBK yang disebutkan Wahmuji dalam esainya, EYD dan Amnesia Nasional, di antaranya Lukman Ali, Sri Sukaesi Adiwimarta, dan Anton M. Moeliono.
[30] Lihat esai Benedict Anderson di www.newleftreview.org/?view=2714 (Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).
  
Daftar Pustaka

Buku
Bandung Mawardi. (2015). “Mengenang Tak Terang”. Makalah disampaikan dalam Seminar Politik Kritik Sastra di Indonesia, 24-25 November 2015. Yogyakarta: PKKH UGM.
Huygens, G. W. (1966). “De Nederlandse auteur en zijn publiek (Pengarang Belanda dengan Publiknya)” dalam Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai Pustaka.
Jakob Sumardjo. (1996).  “Latar Sosiologis Sastra Melayu Tionghoa” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
____________.  (1985). Dari Khazanah Sastra Dunia. Bandung: Penerbit Alumni.
Jedamski, Doris. (1992). “Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing” dalam Archipel  Vol. 44: 1992. Prancis: Archipel.
Leo Suryadinata (ed.). (1996). “Pengkajian Sastra Peranakan Indonesia: Sebuah Catatan” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Maier, Hendrik M. J. (1991). “Forms of Censorship in the Dutch Indies:  The Marginalization of Chinese-Malay Literature” dalam Indonesia, volume edisi spesial Juli 1991. Amerika Serikat: Cornell Southeast Asia Program. Diunduh dari http://cip.cornell.edu/seap.indo/1106972021
Pax Benedanto dan Marcus A.S. (ed.). (2003). Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Volume 4. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Pramoedya Ananta Toer. (1982). Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra.
Rouffaer, G. P.  dan W. C. Muller. (1908). Catalogus der Koloniale Bibliotheek.  Belanda: Boekwinkeltjes.
Salmon, Claudine. (1981). Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography. Michigan: UMI Monographs bekerja sama dengan Association Archipel, Paris.
______________.  (1996). “Asal Usul Novel Melayu Modern: Tjhit Liap Seng (Bintang Tujuh) Karangan Lie Kim Hok (1886-1887)” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Subagio Sastrowardoyo. (1983). Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai Pustaka.
Zaini, Lajoubert. (1996). “Syair Cerita Siti Akbari Karya Lie Kim Hok (1884), Penjelmaan Syair Abdul Muluk (1946)” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.

Skripsi
Hilmar Farid. (1996-2007). Politik, Bacaan, dan Bahasa pada Masa Pergerakan: Suatu Studi Awal. Skripsi Jurusan Sejarah. Depok: Universitas Indonesia.
Edwina Satmoko Tanojo. (1981). Ciri-ciri Bacaan Liar. Skripsi Jurusan Sastra Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.

Situs Web
Anderson, Benedict. Maret-April 2008. Exit Suharto, www.newleftreview.org/?view=2714 (Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).
Wahmuji. 6 April 2012. EYD dan Amnesia Nasional, http://lidahibu.com/2012/04/06/eyd-dan-amnesia-nasional/ (Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).

2 comments:

Tulisan Terdahulu