2009/12/06

Kisah Bocah Tunadaksa


Biola Tak Berdawai bercerita dari sudut pandang seorang anak tunadaksa yang dari awal sampai akhir novel membuat saya berpikir berulang-ulang kali mengapa SGA memilih bocah cilik tunadaksa itu untuk menarasikan keseluruhan jalan cerita? Keadaan tunadaksa bocah tersebut diakibatkan kelainan pada sistem serebral (cerebral system). Apa SGA memilihnya karena seorang bocah cilik akan selalu bisa mengantarkan pesan macam-macam yang polos? Apa hal tersebut ditujukan untuk menggelitik hati pembaca? Apa untuk memberi kesadaran/pemahaman tentang kejadian di lingkungan bocah cilik kepada pembaca? Karena, ada banyak sekali saya temukan semacam petuah-petuah dari bocah tunadaksa tersebut di dalam cerita ini yang terlihat jelas seperti bertujuan untuk membuat kita sebagai orang-orang yang beruntung terlahir normal agar sadar terhadap keberadaan sesama kita. Bahwa bagaimanapun, kita semua memiliki kesempatan yang sama dalam apapun. Namun tentu narasi dengan "suara" semacam itu terkesan terlalu dipaksakan.

Secara keseluruhan, novel ini seperti mengkritisi keadaan zaman saat ini di mana ada banyak bayi-bayi yang dibuang oleh orang tuanya bahkan meskipun bayi-bayi tersebut berwujud cantik. Pesan yang diusung untuk hal tersebut adalah, 'Apa yang salah dengan memiliki anak dalam kondisi miskin? Tidakkah keluarga miskin bisa bertahan untuk membesarkan bayi mereka dalam kemiskinannya?' atau kalau bayi cantik tersebut dibuang oleh seorang ibu yang merasa belum cukup umur untuk merawat bayinya, 'Kenapa mesti membuang bayi? Seorang perempuan saja memiliki gerakan feminisme dimana mereka terus menerus menuntut emansipasi, lalu ke mana hak seorang bayi untuk hidup?'

Entahlah, saya suka dengan SGA yang meriset tentang Kisah Mahabrata untuk novelnya ini. Saya tak tahu apakah ini berkat diskusi beliau dengan penulis skenario cerita ini sebelumnya, Sekar Ayu Asmara, atau bukan. Pada bagian-bagian tertentu SGA banyak memasukkan tentang kisah Dewi Drupadi yang dimadu oleh Panca Pandawa dan dinyatakan oleh sang bocah tunadaksa kisah tersebut mirip dengan kisah ibu angkatnya. Dimana ibu angkatnya untuk tetap mempertahankan panti asuhannya (yang merawat dan membesarkan bayi-bayi yang dibuang) menghalalkan segala cara bahkan dengan jalan menjual tubuhnya kepada pria-pria yang sanggup membayar mahal kemolekan tubuhnya. Well, saya engga tahu apakah Diva di Supernova yang mirip-mirip kisah ini atau justru vice versa.

Saya tertegun ketika mengetahui bahwa setiap harinya ada banyak bayi yang dibuang di Indonesia (terutama di Yogyakarta di sebuah panti). Selain itu, saya suka dengan setting-setting yang digunakan di dalam cerita ini. Ada makam-makam dan Pantai Krakal. Bocah tunadaksa mengunjungi tempat-tempat tersebut sewaktu-waktu dengan ibu angkatnya. Suasana yang didapat dari tempat-tempat seperti itu sangat match dengan bocah tunadaksa agar mendapatkan kesempatan menarasikan pemikirannya tentang alam di sekitarnya. Bagaimana meskipun mereka selalu diam saja sepanjang waktu, mereka juga memiliki kepekaan yang sama seperti manusia normal untuk mengelaborasi pemikiran tentang alam sekitarnya.

Novel ini juga mengangkat nilai moral tentang seorang ibu yang sangat beruntung menjadi 'perantara' kelahiran kembali seorang anak di dunia. Mungkin karena cerita ini mengangkat Kisah Mahabrata utamanya tentang Dewi Ganggawati dan bagaimana dia membuang delapan wasu, kepercayaan akan reinkarnasi dari bocah tunadaksa tersebut jadi agaknya nampak menonjol.

Overall, kisah ini bagus dibaca sebelum hari ibu 22 Desember ini. Atau justru dijadikan hadiah oleh-oleh untuk ibu masing-masing.

4 comments:

  1. belum baca bukunya tapi udah nonton filmnya [baguus],baru baca novelnya SGA yang Negeri Senja [baguus juga,hehehe..]

    ReplyDelete
  2. wah... kayaknya novel yang bagus dibaca ni.... ..

    ReplyDelete
  3. jadi pengen baca.... btw, saya juga suka hujan. salam kenal ;)

    ReplyDelete
  4. Salam kenal blogger Bali.. Blog nya banyak sekali ya..

    Yang manakah yg sebaiknya gek follow?
    :)

    ReplyDelete

Tulisan Terdahulu