2008/11/28

Aku dalam Kepalanya

SKETSA-SKETSA yang ia buat selalu terlihat seperti kehidupan lain yang jauh dari kehidupannya. Ibarat membandingkan takdir manusia di rasi Capricorn di awal bulan Januari dengan rasi Sagitarius di awal bulan Desember, bisa sangat dekat tapi bisa juga terlampau jauh dari sudut pandang dan perhitungan berbeda.

Aku selalu bilang kepadanya kalau ia terlalu berani memilih warna-warna terang, namun ia selalu mengoceh tiap aku berkomentar. Bahwa aku pengamat sekadar, begitu caranya menunjukkan kekesalannya akan kesoktahuanku.

Benar saja, aku selalu melihat hidupnya yang gelap yang meski demikian kuakui bisa dilaluinya dengan susah payah, dan kubandingkan dengan lukisannya yang selalu bercorak abstrak dengan warna-warni seperti pelangi. Jauh berbeda.

Dan ia selalu mengoceh kalau aku berani berkomentar. Katanya aku hanya pikiran, yang selalu berkata salah tiap ia bilang benar. Aku hanya setan yang mampir di sebelah kirinya dan beradu pendapat dengan malaikat bersayap di sisi kanannya.

“Apa arti lukisan ini?”

Ah, turis-turis bodoh selalu menanyakan itu tiap mampir ke galeri, yang lebih bodoh, ia akan tersenyum tawar dan menjawab dengan berlagak sok karismatik.

Pelukis miskin selalu begitu, mengiba dengan senyuman dan tuturan kata manis di depan pelanggan yang mungkin menimang berjuta dolar dalam tas mereka yang bermerek mahal.

Aku sudah bilang lukisannya jelek. Sudah kubilang warna-warnanya terlalu terang dan membuat mataku perih. Sudah kubilang seharusnya ia membeli akrilik yang lebih mahal untuk mewarnai kubik-kubik aneh yang ia bentuk di kanvas itu.

“Kenapa mengambil aliran seperti ini?”

Pengamat lukisan yang sok pintar biasa bergumam seperti itu, biasanya mereka berkaca mata dan bertopi bulat berukuran terlampau kecil untuk kepala mereka dengan warna gelap, rambut mereka sudah beruban dengan wajah yang nampak jelas terlihat seolah dipaksakan bijaksana.

Untuk orang-orang itu, lagi-lagi ia akan memelas pujian. Dari kakek-kakek renta seperti itu. Ia akan merayu mereka dengan jalan mengatakan bahwa nama-nama besar luar negerilah yang menginspirasi lukisan-lukisan yang ia garap. Cih, geli aku dibuatnya, ia toh terlalu miskin untuk tahu sejarah seni di negeri barat.

Dan ia pergi ke sana kemari, lalu-lalang seolah menjadi makhluk paling penting ketika ada bule yang bertandang. Aku diajaknya ikut, menyumpah-serapah padanya tiap ia tidak mendengar racauanku.

Sejak dulu ia tak pernah mendengarkan pendapatku. Sudah kubilang, dulu sewaktu lulus SMP, ia tidak harus masuk SMK supaya bisa langsung bekerja. Ia bisa saja langsung melanjutkan pendidikan ke SMA, agar ia bisa menjadi dokter seperti si Adit temannya yang bodoh yang anak gubernur itu. Tapi ia bersikeras menyahutiku dengan keras bahwa orang tuanya miskin, karenanya ia mana punya uang untuk melanjutkan sekolah tinggi-tinggi.

Sudah kubilang ia bisa mengambil bantuan saja dari Pak Lurah, ia pintar karena bisa jadi lima besar di kelas. Tapi ia bilang bantuan pemerintah semuanya tipuan, seperti negeri maya di dalam dongeng-dongeng.

“HAI, Adi!”

Ia berbalik tiba-tiba, membuatku blingsatan kanan-kiri.

“Adi, kau jadi pelukis ya, sekarang?  Wah, hebat, nih. Apa kabar kau? Sudah kawin belum?” Baru aku cerita tentang si Adit murid bodoh yang anak gubernur itu, sekarang ia kini berdiri di hadapanku dan dengan angkuhnya mengulurkan tangan.

Aku bilang kepadanya untuk tidak usah berbasa-basi, tapi ia malah mengacaukan segalanya, dijabatnya tangan si Adit itu, “Ah, belum, aku belum menikah. Kabarku, begini-begini saja, tidak sehebat kau, Dit. Kudengar kau sudah jadi dokter, ya? Kau sendiri, sudah kawin belum?”

Kujamin ia akan menyesali basa-basinya itu, aku masih ingat tingkah sombong si Adit tiap pamer oleh-oleh yang dibawakan orang tuanya yang kaya dari Singapura atau Eropa.

“Ah, kau ini bisa saja, mana mungkin aku kawin semuda ini, Di.” Tangan Adit meremas dengan gestur yang tak bisa kuartikan. Ia tersenyum sungkan dan wajahnya merah padam. Aku bilang mungkin si Adit itu seorang homoseksual, dan ia malah tersenyum-senyum saja.

“Kau tampan begini. Mana ada cewek yang berani menolak kamu, Dit. Sudah dokter, anak orang kaya, tampan ... apa yang kurang?”

Entah dari mana ia mendapat kalimat pujian sinting itu, aku sudah bilang kepadanya untuk segera pergi, tatapan Adit mengerikan, sudah kubilang, Adit pasti homoseks dan menginginkannya menjadi pasangan hidup.

“Aku suka lukisan-lukisanmu, Di.”

Bah! Apa ia bilang? Nadanya kemayu seperti wanita.

Tidak, Adit begitu perkasa. Begitu ia mendebatku.

“Kalau kau suka, kenapa tidak kau beli semuanya?”

Sinting! Ditaruh di mana mukanya waktu bicara begitu? Sudah kuingatkan ia, sewaktu kedua orang tuanya yang hanya pekerja serabutan dan buruh cuci dikata-katai gembel di depan semua murid-murid di SMP-nya oleh si Adit bedebah itu.

“Sudah kusuruh asistenku memesan semua lukisanmu dari pemilik galeri ini.” Begitu si Adit homoseks itu menjawab.

Kau akan dimanfaatkan!

Dan ia malah tersenyum, “Sahabat lamaku telah kembali.”

Basa-basi apa lagi yang mau ia perpanjang? Sebegitu miskinkah ia hingga menjual segala talentanya dengan omongan yang semudah buang angin?

“Bagaimana kalau kau kuundang ke rumah? Aku mau kau melukis aku dan keluargaku.”

Tuh, sudah kubilang, pasti ada niatan terselubung. Tatapan matanya aneh!

“Oh, oke. Minggu ini aku tidak ada acara.”

Padahal sudah kubilang, ia harus pulang kampung karena Ayahnya sedang sakit.

Biar saja buruh itu mati, begitu ia menghentikan ocehanku sepanjang jam setelah kepergian Adit dengan semua lukisannya.

SEMINGGU kemudian, Ayahnya benar mati dan di saat ia harusnya datang ke acara pemakaman Ayahnya, si Adit itu menelepon, “Sayang, lukis aku lagi ya, malam ini.”

Setelahnya, ia segera membanting ponselnya.

Sudah kubilang, kau akan menyesal!

Diam kau pikiran! Namun begitu caranya menghardikku, air mukanya nampak amat marah dan gusar.
Kubilang, ambil saja pisau di dapurnya yang lembab dan bau telur busuk.

Ia justru terduduk di pojok, mengambil kuas dan kanvasnya. Lagi-lagi ia melukis dengan warna gelap, tidak seperti lukisan-lukisan sebelumnya yang banyak mengambil bentuk kubik. Kali ini ia melukis kematian dengan telanjang tanpa seni yang ditutup-tutupi.

Apa kubilang, lukisanmu memang harusnya berwarna gelap, seperti hidupmu. Aku menudingnya telak.

Ia masih meresponku dengan kebisuan, dibantingnya kuasnya. Ia lantas mengangkat lalu melempar kanvasnya keluar jendela apartemen. Berbarengan dengan memnjatuhkan perkakas melukisnya, ia kemudian menerjunkan tubuhnya juga.

Padahal sudah kubilang seharusnya ia mengambil pisau saja di dapur dan menusuk dadanya ketimbang ia harus kehilangan kepalanya. Karena bila ia sampai kehilangan kepalanya, ia juga kehilangan aku dalam pikirannya. Dasar laki-laki bodoh. [*]

2 comments:

Tulisan Terdahulu