2010/08/08

Forum Keluarga


(Cerpen ini dimuat di Koran Tempo, 24 September 2016)

Bila kau membaca tulisan ini, perlu kau ketahui, ini adalah isi kepalaku yang terekam secara otomatis ke dalam bentuk tulisan ketika aku menyentuh logam di tanganku. Ini adalah teknologi kuno di zamanku, tapi di zamanmu mungkin saja berbeda, maka kupikir perlu dijelaskan. Logam ini kuperoleh dari orang tuaku pada kelahiranku yang kedua, saat itu umurku seratus dua puluh tahun. Selain merekam, logam ini bisa menganalisis isi pikiranku dan secara otomatis menerjemahkan sandi keluarga kami ke dalam bahasa Indonesia. 

Serangkaian kejadian menjadi alasan mengapa aku perlu merekam pikiranku saat ini, dan menyampaikan ini padamu. Dunia sedang bergejolak hebat. Tubuh-tubuh meledak dalam berita televisi yang disiarkan langsung dari lokasi kejadian. Dan penyiar televisi yang menyiarkan kejadian itu sekejap kemudian lenyap. Sebagian penduduk di suatu negara mati karena epidemi. Dataran itu ditinggalkan penghuninya dan mereka lebih memilih mengapung-ngapungkan diri di perairan.

Puncaknya, seluruh anggota keluarga kami menerima panggilan untuk berkumpul di ruang bawah tanah milik keluarga besar. Keluarga besar kami menghuni seluruh bagian dunia. Dan masing-masing dari kami membawa kekuatan keluarga, simbolnya berupa sebuah permata dengan bentuk dan warna permata yang berbeda untuk keluarga di tiap negara. 

Separuh anggota keluarga yang terlampir dalam daftar undangan tampak di ruang bawah tanah itu ketika kami tiba. Mereka tampak gelisah.

Kami adalah keluarga besar dengan perbedaan warna kulit dan rambut dan tak satu pun dari kami berkewarganegaraan sama. Hampir seluruh anggota keluarga kami menduduki kursi tertinggi pemerintahan dunia. Kerap kulihat mereka tampil di pemberitaan media. Kecuali ayah dan ibuku. Di negaraku, entah mengapa, mereka ditempatkan hanya sebagai mata-mata.

Tak terlampau sering kami berkumpul di ruang bawah tanah berlorong panjang ini. Ini kali pertama aku diundang serta.

Tak terpajang foto silsilah keluarga, hanya ada sebuah simbol besar pada dinding di sepanjang lorong dan di setiap ruangan yang kami lewati—hampir di mana-mana—yang juga ada di bokongku, bokong ayahku, bokong ibuku, sampai bokong anjing dan kucing peliharaan kami.

Orang paling tua di keluarga kami masih berkumpul di tengah kami sore itu. Ia masih tampak sehat bugar sesuai siklus hidupnya dalam wujud bayi. Saat kami berhimpun di ruangan itu, orang-orang yang sebenarnya berusia lebih muda darinya semacam menyampaikan laporan kepada sang tetua.

Setiap orang di sana tampak siap bercerita sepanjang hari tentang orang-orang yang tiba-tiba mati di lapangan, di tengah jalan, atau di pelabuhan—yang meledak ketika sedang menyetir untuk berangkat bekerja, berlari menangkap bola, atau bersiap berlayar. 

Orang-orang mati adalah hal yang wajar. Setelahnya, akan ada kelahiran baru. Bagi sebagian orang, dunia serupa bayang-bayang yang timbul tenggelam. Semakin kau bergerak ke arahnya, segalanya semakin kabur kau lihat. Kabut yang lebih tebal memenuhi pandanganmu setiap kali kau berusaha menembusnya. Segalanya tak akan benar-benar nyata. Sampai kau mati. Dan saat mati, segalanya akan telah kau lupakan.

Akan tetapi, kau tak akan melalui semua proses yang membingungkan itu bila kau berada di posisiku. Maksudku, bila kau menjadi bagian keluargaku.

Kami tak pernah mati setelah kami terlahir ke muka bumi. 

Sementara orang-orang yang kami temui di jalanan, orang-orang yang kami lihat di televisi, bahkan kau yang sedang membaca apa yang kutulis sekarang, kalian semua diatur oleh suatu kekuatan yang dimiliki oleh keluarga kami. 

Aku bisa memastikan itu karena hanya keluarga kami dan beberapa orang yang kami kenal yang berkesempatan hidup abadi. Selain kami, bahkan para dokter yang mati-matian menciptakan obat antitua itu, nonsens.

Aku terlahir dengan seorang saudara kembar. Namanya Alpha. Laki-laki. Tubuhnya sedikit lebih pendek dariku. Usia kami berbeda 2 jam, selalu seperti itu di dua kelahiran kami. Sederhananya, dia 10 tahun lebih 2 jam, aku 10 tahun. 

Kenyataannya, dalam proses hidup abadi ini, kami terlahir berkali-kali. Satu-satunya momen yang tak kuingat adalah ketika aku dieram untuk terlahir kembali. Dieram. Aku tak punya istilah lain untuk menjelaskan proses ini. Di luar masa eraman itu, aku mengingat segala momen dengan baik. Rambutku penah beruban, kulitku pernah keriput, organ tubuhku pernah melemah. 

Kini aku berumur seratus tiga puluh tahun, dan telah dua kali terlahir kembali. Kali pertama, aku lahir kembali di usia enam puluh lima dan pada kali kedua, di usia seratus dua puluh. Jadi, sekarang, aku berumur seratus tiga puluh dengan wujud bocah umur sepuluh tahun.

Dan karena aku tak pernah mati, aku banyak bertemu orang-orang baru. Saat keanehan keluarga kami dicurigai, kami berpindah. Demikianlah, kami hidup berpindah-pindah dengan membawa rahasia kami. Meskipun, kami akan selalu menetap di Indonesia. Ini teritori keluarga kami. 

Soal permata keluarga yang kusinggung di awal, ayahku merahasiakan letak permata itu dari kami. Dari apa yang kudengar saat menguping perdebatan orangtuaku pada suatu hari, ini berkaitan dengan awal mula manusia tinggal di muka bumi.

Ayahku dan beberapa temannya pernah menjadi orang-orang terakhir di planet ini.

Memang ganjil. Aku sendiri tak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Tapi baiklah, aku akan coba.

Jadi, saat itu, peradaban manusia sudah akan musnah yang dipicu oleh perselisihan antara keluarga besarku dan kolega dari keluarga besarku. Alpha menjuluki mereka ‘dua keluarga besar yang berisikan para ilmuwan penasaran’. Satu hal yang ingin ditaklukkan oleh kedua keluarga besar itu: infinitas semesta.

Saat itu, kedua keluarga telah menemukan rahasia keabadian. Jadi, bukan masalah lagi apakah mereka akan mati di tengah-tengah pencarian mereka, sudah tentu itu tak akan terjadi. Dengan kekuatannya, kolega keluargaku ingin menguasai semesta. Dengan catatan, kedua keluarga ini telah menguasai dunia dan membelahnya menjadi utara dan selatan. Namun, kehendak si kolega untuk menguasai semesta memicu persengketaan yang tak berkesudahan, bahkan mereka sampai saling mengancam untuk menghancurkan dunia. 

Hingga penjelasan terkait kejadian itu, kedua orang tuaku menceritakannya tanpa menerangkan detailnya. Ayah hanya bilang bahwa saat itu kedua keluarga hanya punya satu pilihan untuk menyelamatkan diri. Mereka harus bermigrasi ke luar planet ini. 

Mereka telah menciptakan pangkalan luar angkasa yang sangat besar yang mereka sebut sebagai prototipe Bumi—aku malas menjelaskannya, atau akan kujelaskan nanti saja—dan menemukan planet lain di luar galaksi bimasakti untuk ditempati—aku yakin ini kedengaran gila bagi kalian di zaman ini, terutama karena hal ini ternyata pernah terjadi beribu-ribu tahun lampau. Penelitian dilanjutkan hingga saat ini, dan pembaruan yang kuperoleh dari suatu penelitian yang telah dilakukan ribuan tahun itu mengabarkan beberapa planet yang mereka temukan saat itu masih tak berpenghuni. 

Satu yang perlu digarisbawahi, mereka belum memastikan waktu tempuh untuk mencapai planet-planet itu dengan kendaraan yang telah mereka ciptakan. Tapi, paling tidak, mereka bisa tinggal di prototipe Bumi itu dalam jangka waktu selama yang mereka inginkan.

Saat itu, seperti saat ini, wabah aneh menyebar ke sepenjuru dunia. Orang-orang mati secara tiba-tiba. Perang di antara dua keluarga memperparah wabah ini. Cuaca tak menentu terjadi karena perseteruan di antara dua keluarga. Kejadian bunuh diri berfluktuasi. Di sudut-sudut kota, kau dapat melihat orang-orang telanjang dan bercinta sambil dengan santainya memprediksikan tentang kiamat yang telah menanti di depan mata.

Di saat warga dunia telah musnah separuhnya dalam sekejap mata, kolega keluarga kami menganugerahkan usia abadi untuk seperempat warga dunia yang telah mereka seleksi dan mengangkasakan mereka bersama roket-roket yang siap diluncurkan setiap menit. Di luar Bumi, pada vakumnya semesta, telah menanti awak-awak kapal yang bertugas mengantarkan mereka ke pangkalan besar di jagat raya.

Setelah itu, Bumi telah menjadi benar-benar kosong seolah tak berpenghuni.

Entah apa yang terjadi pada si kolega keluarga dan seperempat warga dunia yang berhasil mereka kirim ke luar Bumi, semenjak itu keluarga besarku kehilangan kabar mereka.

Sementara itu, untuk menyelamatkan diri, keluarga besar kami berkumpul di ruang bawah tanah ini. Persis seperti saat ini.

Alpha mencubit lenganku.

Lamunanku buyar. Cubitannya membuatku kembali menyimak pembicaraan dalam forum keluarga ini. 

“Mereka masuk ke dalam pertahanan kita.”

“Jadi mereka sudah menginvansi Daerah Memori ini juga?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Lalu apa mereka lakukan? Bukankah mereka tinggal membunuh kita satu per satu?”

“Tidak. Mereka ingin memastikan satu-satunya Daerah Memori yang sebelumnya aman ini juga ikut korup.”

“Mereka berada di tengah-tengah kita.”

“Tapi, kau tahu, seluruh puncak tertinggi pemerintah dunia diduduki anggota keluarga kita. Ini mustahil terjadi!”

“Penyelinap tak harus menampilkan diri. Mereka bisa saja adalah gelandangan yang kau temui di jalanan.”

“Sial. Bagaimana bisa kau tak mengamati orang-orang baru yang masuk ke dalam sistem di wilayahmu?”

“Omong Kosong! Kau tahu dia tak masuk ke wilayahku! Dia menyerang Rusia dan sebagian Afrika!”

“Tapi aku selalu memaklumi media yang mengatakan bahwa dunia ada di tangan Amerika. Kau menguasai seluruh Amerika. Dan itu artinya kau menguasai dunia. Dan kau ingin membantah itu?”

“Hanya karena aku mendapatkan wilayah Amerika untuk kupegang, jangan melemparkan semua masalah padaku.”

“PBB dan Bank Dunia ada di genggamanmu. Dan kau bisa memantau segalanya dengan amat mudah! Tapi kau membiarkan penyelundup mengganggu Daerah Memori kita! Masuknya orang asing ke negara-negara yang kau lindungi, itu sepenuhnya kesalahanmu, Tuan Presiden!”

“Maaf, untuk menengahi perdebatan kalian, kami baru saja menerima kabar bahwa kejadian serupa telah terjadi di wilayah kami. Seluruh bagian Shenyang dan Beijing telah mengalami pandemi yang sama. Warga kami meninggal dengan cara-cara aneh. Tubuh yang meledak, sekumpulan orang yang tiba-tiba lenyap, dan...” 

Akhirnya. Bayi kecil itu tumbuh menjadi balita. Dan balita itu berbicara.

Kami menghadap ke arahnya. Balita itu duduk di ujung sebelah timur, di singgasana tertinggi. Ialah yang tertua di keluarga ini, yang baru saja terlahir kembali.

Sayangnya, dia mengalami kelahiran kembali di saat genting. Keluarga kami membiarkan tiap anggotanya bertumbuh dengan alami. Namun, demi kepentingan ini, beberapa minggu belakangan, akibat kejadian-kejadian aneh yang terjadi, forum keluarga bersepakat memberikan kepadanya ramuan untuk bertumbuh lebih cepat. 

Kini, bayi itu telah tumbuh menjadi balita. Sosoknya sebenarnya sangat tampan. Dulu saat aku berusia delapan puluhan, aku pernah bertemu dengannya satu kali.

“Wajar saja segala hal aneh seperti itu kalian temukan. Kalian toh harus menyadari, orang-orang yang berinteraksi dengan kalian selama ini hanyalah memori yang tertinggal di bumi ini sebelum bumi ini kita tinggalkan puluhan ribu tahun lalu.”

Teman-teman sekolahku, para reporter media—dikatakannya adalah ingatan bumi. 

Di masa depan, mereka barangkali musnah setelah menghadapi kejadian-kejadian ajaib ini secara beruntun. Atau, barangkali mereka telah ikut berpindah ke planet di luar bimasakti bersama kolega keluarga kami.

Aku dan Alpha saling bertatapan.

Ini kenyataan baru bagi kami. Orang tuaku tak pernah sebelumnya menceritakannya.

“Jadi teman-teman, tetangga, dan semua orang yang kami kenal hanyalah ilusi?” 

Itu suara Alpha. Dia bersuara di forum keluarga ini. Aku menoleh ke arahnya. Tubuhnya gemetar.

Tentu saja, di forum keluarga ini, kami tak masuk hitungan sebagai keluarga inti.

Dari gerakan jakunnya, Alpha tampak akan melanjutkan bicara, “Dan kami berdua yang terlahir di sini, juga hanyalah ilusi?”

“Bukan, kalian berdua wujud khusus. Kalian lahir di dalam memori bumi.”

“Hanya kami berdua?”

”Hanya kalian berdua. Kalian adalah percobaan kami.”

Aku tak bisa menggambarkan bagaimana terkejutnya Alpha menerima jawaban itu. Kami adalah bahan percobaan!

Setiap anggota keluarga di ruangan itu mulai mengamati kami.

Mereka tak lahir di dalam ilusi! Mereka ribuan tahun lebih tua daripada kami!

Dan, ini kenyataan yang baru kuketahui.

Balita itu melanjutkan, “Jadi, dengarlah. Ini bukan kesalahan salah seorang di antara kita. Ini adalah kesalahan pihak luar. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk ini. Karena dunia yang asli pun ribuan tahun sebelumnya telah hancur. Kita di Daerah Memori ini hanya berupaya untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran. Tapi sekali lagi, di titik ini kita menggagalkannya. Karena itu, untuk menyelamatkan diri, kita harus...”

“Bangun.” Para anggota keluarga serempak menjawab.

Aku terhenyak. 

Bangun? 

Alpha menatapku lekat. Apa yang mereka maksudkan… mereka akan meninggalkan kami berdua di sini? Nyatanya, kami tak memiliki wujud di luar Daerah Memori ini!

“Ya, tak ada jalan lain. Kita semua harus bangun. Sebelum mereka menemukan tubuh-tubuh kita yang tertidur di dalam ruang bawah tanah ini ribuan tahun lalu di masa depan.”

“Jadi, selama ini kita tak benar-benar melakukan apa pun di sini? Setelah bangun, kita akan menyusul langkah mereka yang kabur ke planet di luar bimasakti? Kita akan meninggalkan Bumi sekali lagi?”

“Tak ada jalan lain. Hanya ini yang bisa kita lakukan.”

“Oh. Jadi, selama ini kita melupakan tujuan kita di sini dan kali ini kita gagal karena kesembronoan kita sendiri?”

“Tentu saja tidak. Setiap kepala di sini ingat bahwa kita punya tujuan besar untuk menemukan pihak ketiga yang menghancurkan Bumi saat itu. Kau ingat, kan?”

Setiap orang di ruangan ini mengangkat tangan dan permata mereka masing-masing.

Kau tahu? Rasanya seperti melihat orang-orang dari seluruh dunia mengibarkan bendera negara mereka dengan penuh semangat.

“Dan kita gagal. Maaf.” 

Aku merasa seakan ada gasing yang berputar dengan demikian cepat di kepalaku. “Maaf, tapi aku tak mengerti mengapa tak ada yang bisa kalian perbaiki di sini?” Baru kali ini aku berani ambil suara.

“Pertanyaanmu kurang jelas.”

“Kalian kembali ribuan tahun ke masa lalu bumi. Kalian tinggal selama itu di dalam ingatan bumi dan ada di setiap masa. Kalian mungkin saja pernah mengenal Hitler, Stalin, Newton, Einstein. Semua nama orang hebat yang hanya pernah kujumpai dalam buku pelajaran sekolah. Lalu, mengapa kalian berakhir seperti ini? Apa yang kalian cari?”

“Kau tak salah, aku mengenal Nietzsche dengan sangat baik.”

“Iya dan aku berada di sebelah Raja Alfred ketika Inggris diserang kaum Viking.” 

Mereka menyebutkan nama-nama dalam indeks manusia-manusia paling terkenal di sepanjang sejarah Bumi. 

“Tetap saja, kami tak menemukan pihak ketiga itu, sampai sekarang. Bahkan setelah kami bereksperimen untuk menciptakan kalian berdua!”

“Lalu mengapa kalian hanya bersembunyi dan tak terang-terangan berkomplot dengan orang-orang yang menghuni Memori Bumi ini untuk menemukan pihak yang berusaha menghancurkan Bumi?” Ini suaraku, kudengar sangat serak dan lirih. Aku tak yakin aku masih akan bisa bersuara lagi setelah ini.

“Nona kecil, memang kau tahu apa? Bahkan bagian dari memori bumi yang kita huni sekarang justru dikorupkan juga! Dulu, bagian memori bumi ini adalah yang paling damai.”

“Diamlah. Kau tak berhak melecehkannya. Mereka anakku.”

“Dia bukan keluarga kita. Kau akan meninggalkan mereka berdua di sini ketika kalian bangun,” jawabnya dan lantas menoleh ke arahku, “Hei, bocah, siapa pun kau. Bagaimana bisa kau pikir kerja kami hanya bersembunyi? Kau lihat orang-orang yang mengelilingimu? Kau lihat mereka di layar televisimu setiap hari, kan? Kau tahu Tuan Presiden yang sedang duduk di hadapanmu sekarang. Itu yang kau sebut berada di belakang layar?”

Kutelan air ludahku. “Iya. Tentu saja.” Kugenggam tangan Alpha. “Dan, bagiku, bagi kami berdua, kalian masih berada di belakang layar. Kalian bersembunyi dari masalah.”

Dia tertawa mendengar itu.

Kulirik ayah dan ibuku yang duduk jauh di seberang kami. Kuberikan tanda melalui gerakanku. Mereka hanya bisa menggelengkan kepala.

“Jadi, kalian berdua akan meninggalkan kami juga?” Kutanyai ayah dan ibuku.

Orang tuaku membisu.

“Maafkan kami, Alpha, Beta,” ujar balita itu beberapa saat kemudian. 

Oh, sial. 

“Baiklah,” Alpha menggenggam tanganku. Kami berdiri. “Suatu hari kami akan mendatangi kalian. Kami akan menemukan pihak ketiga itu dan membawanya ke hadapan kalian.”

Orang-orang di sekitar kami berdiskusi sebentar. 

“Karena tak ada yang bisa diperbaiki lagi, kami hanya bisa meminta maaf karena kami akan meninggalkanmu di sini, di dunia yang sedang kacau ini,” ujar bocah yang duduk di singgasana tertinggi di ruangan itu.

Selama sepersekian detik, pembunuhan mulai terjadi di hadapanku. Mereka saling beradu taktik membunuh. Mereka yang mati, kemudian lenyap. 

Hingga tiba giliran kedua orang tua kami pergi. Mereka berdua yang terakhir.

Mereka berjalan ke arahku dan Alpha.

“Ingatlah, di dunia ini kalian akan tetap abadi.” Ayahku membelai rambutku dan Alpha.

“Sampai bertemu lagi, sayang,” ujar mereka sembari memeluk kami.

Dan, setelahnya, dari sakunya, mereka mengeluarkan pisau lipat masing-masing, lalu menyayat nadi mereka di hadapan kami.

Dan kemudian mereka lenyap. [*]

Yogyakarta, 8 Agustus 2010 – Jakarta, 21 September 2016

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terdahulu