2009/07/14

Diandra



APA Papa juga memperhatikan mereka? Yang berjalan di sana?” Dengan satu tangannya masih menopang dagu yang bersandar di tembok restoran, matanya asyik melotot memandangi orang-orang yang berjalan di depan kami. Mulutnya dikerutkannya sejenak, telunjuk tangan kanan bermain-main di cangkir teh pada meja di depannya.

“Macam-macam orang,sahutku.

“Orang-orang yang duduk?”

Aku memperhatikan kursi tunggu yang dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu kereta malam, kemudian kembali memandang ke arahnya, ke arah gadis kecilku yang telah dewasa, “Hal apa yang kamu minta untuk Papa perhatikan?”

“Lihat betapa mereka yang berjalan kelihatan sangat sibuk. Mereka berjalan cepat menarik kopernya seolah akan tertinggal kereta, para pengangkut barang seperti berlari mengejar mereka. Sementara orang-orang yang duduk, mereka begitu santai menonton televisi atau membaca novel atau bercengkerama dengan keluarga mereka.”

“Lihatlah, Papa ... mengapa duduk dan berjalan membuat orang terlihat berbeda?” dia melanjutkan.

“Orang yang berjalan, toh, akan duduk. Orang yang duduk juga akan berjalan. Bukannya begitu?” mungkinkah dia sedang menggiringku pada topik kegemarannya—menarik-narik logikaku agar bisa dia pereteli seperti dulu ketika kecil dia gemar membongkar-pasang mainan-mainannya.

“Aku takut, Pa ... takut sekali untuk harus tinggal sendiri.”

Kutatap matanya, kosong tanpa air mata.

“Kalau aku duduk sendiri seperti ini suatu saat nanti, apa mungkin aku hanya akan memandangi orang-orang di sekitarku seperti selama initanpa teman untuk diajak berbicara?”

“Bukannya Papa selalu ada buatmu? Kamu bahkan bisa menelepon Papa kapanpun kamu mau.”

“Mama dulu juga bilang begitu.” Dia menatapku, tersenyum samar, “Lagipula, Papa enggak akan menemaniku di Jogja. Aku akan tinggal sendiri dan berkuliah dan mencari gelar. Tanpa Papa. Apalagi Mama.”

“Hanya empat tahun. Kalau kamu rajin, bahkan bisa lebih sebentar lagi. Kalaupun kamu mau pulang ke rumah kita tiap liburan, dengan kereta atau dengan pesawat, Papa sanggup membiayainya.”

“Aku yang memutuskan untuk tinggal jauh dari Papa. Sampai kuliahku selesai, aku tidak akan pulang ke rumah.” Begitu jawabnya, sama seperti tadi di rumah, sama seperti saat-saat lalu ketika mamanya masih ada untuk melarangnya pergi jauh dari pelukan kami.

“Jadi, Papa, selama empat tahun ini mungkin aku akan berjalan saja,” tutupnya, karena setelahnya bergaung panggilan dari arah kereta untuk para penumpang. Dia menggendong ranselnya dan menggiring kedua kopernya. Kupandangi kepergiannya dari kursiku. Entah dia yang bertambah kuat semakin dia tumbuh dewasa atau aku yang bertambah lemah sehingga tak mampu berdiri untuk sekadar memeluknya atau mengantarnya ke kereta.
MUNGKIN keberangkatannya ke Yogyakarta malam tadi yang membuatku bermimpi buruk dan terbangun pukul satu pagi. Kuambil kaca mata di meja di samping tempat tidur, menyampirkan selimut, dan berjalan menuju kamarnya.

Dia putriku satu-satunya tapi sejak kecil dia tak pernah betah berada di lindunganku maupun mamanya. Kakaknya pun demikian. Mereka tak pernah bekerja sama untuk saling melindungi, apalagi memahami.

Kakaknya yang laki-laki memilih ikut mamanya dan istriku membiarkanku merawat putrinya. Katanya, supaya adil. Katanya, karena sifat putriku sangat mirip denganku. Lalu bagaimana dengan putraku? Akankah istriku mendidiknya menjadi banci?

Aku masih ingat masa-masa ketika Andreas masih kecil, aku mengajaknya belajar bersiul di teras. Siulan pertamanya entah lagu apa. Dan sejak itu, dia selalu bersiul-siul di tempat lapang. Setelah dia bosan bersiul, dia memintaku untuk mengajarinya bermain gitar. Dia seketika menguasainya dan dia dengan cepat jadi lebih mahir bermain gitar ketimbang papanya.

Dulu mereka selalu melihatku bertengkar dengan istriku. Andreas pulang dengan santai dari kegiatan kuliahnya, melewati aku dan mamanya yang sedang berkelahi, sementara Diandra mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya dan duduk di sana sampai kemudian mendapati kakaknya baru pulang dari kegiatan kuliah.

Andreas akan melotot dan menyuruh adiknya tidak mengganggunya. Dia capek dengan kuliahnya. Kami capek dengan kegiatan kami. Dan Diandra akan berlari ke kamarnya, membanting pintu, lalu menangis.

Andreas akan menoleh ke arahku dan istriku, memasang tatapan protes. Tapi kami tidak akan memedulikannya. Dia, toh, sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa perkelahian di rumah tangga adalah hal yang wajar dan sepele.

“Mama tadi keluar dengan siapa?”

“Kenapa Papa tanya begitu tiap hari?” dia masih mengenakan seragam kerjanya, tas kerjanya ditentengnya di tangannya.

“Saya suamimu, Lis.”

“Saya bekerja dan kamu tidak,tukasnya.

Aku tahu dia pasti lelah karena bekerja dari pagi sampai sore bahkan kadang melembur tidak pulang. Tapi entah apa dia mengerti bagaimana perasaanku. Sejak kecil aku bercita-cita menghidupi keluargaku, menjadi ayah yang baik untuk anak-anakku. Salah siapa kalau aku tiba-tiba di-PHK? Salah siapa kalau aku menganggur dan tak bekerja?

“Tapi saya dulu bekerja!”

“Saya dulu tak pernah tanya kenapa kamu pulang malam dan mabuk.”

“Jadi sekarang giliranmu untuk balas dendam? Kamu ke mana saja? Kerja apa kamu sampai pagi begini?”

“Pertanyaanmu nggak jelas, To! Saya capek. Saya mau tidur!”

“Kita suami-istri. Mana waktumu untuk saya? Kamu enggak pernah memasak untuk saya dan anak-anak. Hari libur pun kamu enggak di rumah!”

“Saya bekerja dan kamu tidak. Apa itu kurang jelas?”

“Lis! Dengar saya!”

“To, saya sudah bekerja untuk keluarga kita. Selama ini saya sudah melakukan semua kewajiban saya sebagai ibu yang baik. Sedang kamu hanya merokok, minum minuman keras dan mabuk, anak-anakmu kamu biarkan mengurus hidupnya sendiri. Sekarang saya yang mengurusi mereka, uang jajan mereka, biaya sekolah mereka, segala-galanya. Saya capek dan kamu bisa kembali merokok dan minum sesukamu. Saya mau tidur!”

“Lis! Saya sudah berhenti merokok! Saya sudah nggak minum lagi!”

“Oh, bagus. Tapi kau main dengan pelacur!”

Kutarik tangannya lalu kutampar pipinya, “Jaga ucapanmu!”

“Kau yang jaga tanganmu!” dia berteriak lantang.

Ditendangnya perutku dengan hak sepatunya yang runcing, kemudian dia melangkah cepat menuju kamar. Kukejar langkahnya lalu kutarik tangannya dan kuhempaskan dia ke lantai. Dia berteriak memanggil nama kedua anaknya.

Malam itu aku menampar-nampar pipi dan menjambak rambutnya seperti orang kesurupan. Belum puas, kuseret dia ke arah toilet dan kutumpahkan kepalanya ke dalam bak mandi. Dia meringis dan berteriak. Dia memukul-mukul dadaku, menendangku. Kami saling jambak, saling membenamkan kepala ke bak mandi.

“Apa salah saya? Kenapa saya harus menikah denganmu?” sampai akhirnya dia menangis di hadapanku malam itu. Aku tiba-tiba sadar dan berulang kali meminta maaf darinya.

“Lis, bukan maksud saya seperti itu. Kamu tahu, saya pasti sedang khilaf tadi. Lis..”

Tapi dia terus menangis sepanjang malam dan kami tidak tidur selama itu.

Keesokan harinya di meja makan, saat aku sedang mengolesi roti tawarku dengan selai kacang, dia menyuguhkan segelas teh tawar hangat untuk kami berempat, pipinya biru lebam dan kata-kata yang keluar dari bibirnya lebih mirip sengauan ketimbang kepastian, “Mas Anto, saya pikir kita lebih baik cerai saja.”

Dan mungkin memang begitulah yang terbaik karena entah kenapa proses perceraian kami berjalan lancar, kami saling bertukar anak; aku memeroleh pekerjaan sebulan kemudian, menjadi editor di sebuah koran nasional untuk meliput berita kriminal, masa depan Diandra aman bersamaku.


“AKU akan kuliah Teknik Nuklir, Papa.” Hingga dia bilang begitu kepadaku suatu hari.

“Papa pikir kamu ingin jadi dokter?” Kutinggalkan kliping-kliping dan naskah yang berserakan di lantai, menuju dia yang berdiri di pintu ruang kerjaku.

“Aku sudah mendapatkan beasiswa penuh. Kupikir aku lebih baik tidak merepotkan Papa dengan biaya kuliahku,” ujarnya mantap.

“Beasiswa penuh?”

“Dan setahun lagi, di tahun keduaku, aku akan cari beasiswa ke luar negeri.” Kata-katanya semakin optimis, “Prospek di Teknik Nuklir cukup menjanjikan untuk beasiswa penuh ke luar negeri.”

“Tapi apa cita-citamu memang untuk menjadi ahli nuklir?”

“Aku akan senang bekerja di industri, Papa. Papa kuliah Ekonomi dan bukan Kriminal, kenapa tiap hari Papa bekerja dengan urusan kriminal? Apakah tempat kerja kita ditentukan oleh konsentrasi pendidikan kita?”

“Bukan karena beasiswa penuh. Papa mungkin, pikirmu, tidak cukup uang untuk membiayai kuliahmu, tapi apa kamu bisa sedikit lebih bijaksana dengan hidupmu? Dengan masa depanmu?”

“Apa Papa di masa muda Papa dulu dibebaskan oleh orang tua Papa untuk memilih masa depan Papa?” Dia mendebatku.

Dia mengerti arti dari sunyi yang muncul setelah pertanyaannya, maka dia melanjutkan, “Orang tua yang baik memang akan selalu mengira anaknya masih balita dan harus diatur mesti ke mana dia mengejar cita-citanya.”

Kata-katanya barusan terdengar sadis sekali di telingaku. Dia mengucapkannya dengan nada kemarahan yang intelek. Nada seorang komunikator ulung.

“Kupikir, seandainya aku memilih untuk tidak lahir di tempatmu, mungkin aku tidak akan punya kedua orang tua yang bercerai. Bayangkan seandainya aku anak orang lain, apa Papa masih bisa mengaturku?

Kupikir, aku memiliki jiwaku sendiri. Akulah yang mengatur harus ke mana aku melangkah. Apa sebelum aku lahir, jiwa kita sudah saling mengenal? Bolehkah Papa mengatur jiwaku?”

“Dan aku tidak akan meminta biaya kuliah sepeser pun dari Papa. Papa boleh tenang untuk itu. Aku juga tidak akan meminta dari Mama. Aku tidak akan memihak.”

Aku tidak tahu kenapa masih ada nada kemarahan yang kental teraduk dari tiap kata-katanya. Aku tidak tahu seberapa menyakitkannya memiliki kedua orang tua yang bercerai. Aku tak pernah menjadi dia. Tapi apa dia pernah sedikit saja membayangkan – bagaimana seandainya jika aku memilih tak mengadopsinya? Yakinkah jiwanya akan memiliki tempat untuk tinggal sampai usia belianya?


KAMARNYA menyimpan segala kenangan tentangnya. Termasuk masa-masa kecil Andreas dan Diandra. Diandra kuadopsi dari panti asuhan. Setelah Andreas sudah berumur sembilan tahun, Lis merasa kesepian karena cita-citanya semula untuk memiliki seorang anak perempuan yang tak pernah kesampaian. Kami mengecek ke dokter, ternyata aku steril. Kami berkelahi habis-habisan selama semalam mengenai hal ini. Lalu bagaimana Lis bisa hamil bayi Andreas?

Lis tak tahu-menahu tentang itu. Dipikirnya dia hamil karena aku.

“Aku melakukan itu denganmu saja, To.”

“Tidakkah kamu ingat pernah melakukannya dengan laki-laki lain?”

Dia tak henti-hentinya menangis malam itu. Andreas yang masih berusia sembilan tahun asyik bermain dengan nintendo-nya.

“Aku diperkosa!” kemudian dia berteriak. Andreas sampai menoleh memperhatikan pertengkaran kami.“Aku diperkosa sehari sebelum kamu datang ke rumah untuk melamarku!”

“Bagaimana aku tahu kamu tidak sedang membohongiku?” seolah tak memiliki perasaan, aku memuntahkan kalimat itu kepadanya. Janji untuk saling percaya, seketika terlupakan.

Seketika dia memelukku, “Anto... maaf.” Jadi keberuntungan itu menggiringnya untuk bahkan tak perlu tahu-menahu bahwa selama enam tahun ini dia menikahi seorang pria mandul.

Dan keesokan harinya kami memutuskan untuk menghubungi staf bagian adopsi anak di Yayasan Sayap Ibu. Kami dibuatkan janji untuk konsultasi dengan pengurus yayasan dan Lis mengurus semua surat dan akta untuk kelengkapan proses pengadopsian Diandra.

Waktu kami datang ke panti beberapa minggu kemudian, orang-orang di sana sedang meributkan seorang bayi mungil yang katanya baru ditemukan di tong sampah di dekat daerah rukun tetangga panti. Kami ikut memperhatikan bayi mungil itu. Kulitnya seputih salju dan hidungnya mancung. Ketika aku mendekatinya, dia tersenyum ke arahku. Aku heran kenapa orang tuanya tega membuangnya ke tong sampah. Dia bayi yang sangat manis.

Bahkan Andreas pun sangat senang berada di dekat bayi itu, “Siapa dia, Pa?” waktu itu Andreas bertanya.

“Dia adikmu, Nde. Mamamu baru saja melahirkannya,ujarku.

“Tapi Mama enggak pernah hamil?”

“Mama ikut program bayi tabung. Kalau Mamamu hamil lagi susah, Nde, perlu operasi. Waktu kamu lahir juga lewat jalan operasi. Mamamu benci dioperasi.”

“Siapa nama adikku, Pa?”

“Dian.. seperti nama tantemu yang meninggal dulu. Namanya Diandra.”


ENAM tahun kemudian, kejadian lain lagi menimpaku.

“Papa baru saja di-PHK.”

Gerak sendok di tangan Lis berhenti. Andreas dan Diandra memelankan kunyahannya.

“Bank tempat Papa bekerja di-merger dengan bank lain. Papa sudah tidak dibutuhkan lagi untuk bekerja di sana.”

“Tapi Papa bekerja dari pagi sampai malam. Papa tidak mungkin di-PHK!” Lis menukas.

“Mungkin teman-teman Papa bekerja dari pagi sampai pagi lagi.” Kucoba untuk menerima kenyataan ini dengan bijaksana.

“Papa sudah bekerja selama dua puluh tahun di sana! Papa sudah mendapatkan banyak penghargaan. Bagaimana mungkin Papa di-PHK?” tuntut Lis. ”Apa Papa tidak akan melaporkan ini ke Komnas HAM?”

“Lis, sudahlah. Mungkin memang harus begini jalannya.”

“Pa!

“Lis, saya capek dengan hidup saya. Biarkan saya lepas dari semua tuntutan ini dan saya tak perlu banyak bekerja. Tabungan saya bisa mencukupi kebutuhan kita sehari-hari. Percayalah, Lis.” Kucoba meyakinkannya.

“Tapi, Pa.. orang yang sudah kaya turun-temurun pun juga membutuhkan pekerjaan.”

“Saya tak perlu kaya turun-temurun untuk tahu bahwa saya tak perlu bekerja lagi jika saya sudah payah.” Kudorong kursiku ke belakang dan kutinggalkan ruang makan.

Diam-diam, di kamar, aku menghabiskan berkotak-kotak rokok kretek yang baru tadi siang kubeli di warung.

Mulai saat itu, hidupku berputar seratus delapan puluh derajat. Aku menjadi perokok dan tiap hari keluar malam mencari pekerjaan di diskotek. Istriku tak pernah marah ataupun mengeluh. Beberapa bulan setelah kejadian itu, dia tiba-tiba langsung mendapatkan pekerjaan padahal selama ini ketika aku masih bekerja, dulu pekerjaannya hanyalah mengurusi Andreas dan Diandra di rumah. Namun saat itu, dia bilang, dia diterima menjadi sekretaris bos besar di sebuah perusahaan besar yang dia rahasiakan di mana tempatnya.

Aku mengiyakan dia ikut-ikutan pulang malam atau pagi atau bahkan tak pulang. Kupikir Andreas sudah cukup dewasa untuk tahu diri bahwa dia mesti menjaga dan membimbing adiknya di rumah meski aku dan mamanya tak pernah ada untuk menemani mereka.


SUATU malam, ketika pulang dari acara minum-minum dengan wanita-wanita sewaanku dan beberapa temanku yang patungan membayar wanita sewaan malam itu, aku melihat Andreas dan Diandra sedang makan di pinggir jalan. Mereka duduk lesehan. Di sebelah Andreas ada gitar yang direbahkan dan di sebelah Diandra ada kincringan dan sebotol air mineral.

Karena belum mabuk benar, aku berjalan mendekati pedagang soto tempat Andreas dan Diandra makan, “Mas, itu anakku berdua. Enggak tahu kenapa mereka memilih mengamen malam-malam. Aku di sini mengawasi mereka, ya. Kamu suruh aku cuci piring juga boleh.”

Pedagang soto itu memperhatikanku, mungkin dia sangat familiar dengan bau alkohol dan bekas asap rokok dari mulutku, hampir saja dia bilang tidak, aku langsung mengamit piring-piring kotor di dekatnya dan membawanya ke ember cucian, “Sudahlah. Anggap saja boleh.”

Dari sana kemudian aku mencuri dengar percakapan kedua anakku.

“Sudah terkumpul berapa hari ini, Di?” Andreas bertanya ke adiknya.

“Tujuh puluh ribu, Kak.”

“Uang sekolahmu kurang berapa?”

“Aku dapat potongan beasiswa dari sekolah karena dapat juara umum dua. Paling-paling uang ini bisa Kakak pakai untuk biaya kuliah Kakak mulai tahun depan saja dulu. Kita menabung biar Kakak bisa kuliah.”

“Yakin enggak apa? Untuk jajanmu sehari-hari?”

Diandra terkekeh, “Kan, bisa mengamen lagi untuk urusan itu. Mana yang lebih penting, mending itu yang didahulukan. Kakak pasti butuh uang itu.”

“Aku memikirkan, kenapa hidup kita jadi seperti ini, Di.”

“Tapi aku senang, Kak. Banyak orang yang benar-benar sendiri dalam hidupnya. Ke mana-mana harus sendirian, mengatur hidup sendiri, menangis sendiri, tanpa teman, tanpa siapa-siapa. Tapi aku bisa punya Kakak di sini. Kita sama-sama mengamen, Kakak mengajariku pelajaran-pelajaran yang susah aku mengerti di sekolah, kita seharian bareng-bareng, makan lesehan sama-sama. Mengobrol seperti ini. Mungkin suatu saat enggak akan ada saat-saat seperti ini lagi.”

Senyum Diandra malam itu membuatku merasa beruntung pernah mengadopsinya.

“Apa enggak seharusnya kita punya kehidupan yang lebih baik? Kamu cerdas ... dan mungkin hanya karena masalah ini kamu enggak bisa melanjutkan kuliahmu. Seperti Kakakmu ini.”

“Kita enggak boleh mendahului Tuhan, Kak. Jangan bilang Kakak enggak bisa sebelum Kakak mencobanya. Jangan menyerah sebelum semua kesempatan Kakak coba.”

“Tapi biaya kuliah ini, Di ... cita-cita Kakak sejak kecil ... Kamu, kan, tahu biaya kuliah sekarang mahal. Kamu tahu bangsa kita lagi krisis. Di mana-mana orang-orang ribut soal nilai rupiah yang turun habis-habisan. Petrus-petrus berkeliaran. Salah omong sedikit, langsung tembak. Masyarakat kita semakin kacau.

Kehidupan keluarga kita juga jatuh ke titik terendah setelah Papa di-PHK. Sedangkan Mama kita hanya kerja untuk uang makan kita sehari-hari, Papa enggak kerja, tiap hari mengambil uang jajan kita. Kakak enggak kuat, Di. Enggak tahu kenapa ini harus terjadi pada kita.” Andreas mendorong piring sotonya, merebahkan kepalanya di meja.

“Ada orang yang kehidupannya lebih susah dari kita, Kak. Dan mereka lebih semangat untuk meraih masa depannya. Di sekolah, aku ikut tim PMR, aku ikut tim membantu anak-anak kecil yang butuh belajar membaca dan menulis. Mereka bahkan enggak punya kesempatan untuk sekolah. Mereka tidur di kolong-kolong jembatan.”

“Tapi masa depan kita seharusnya lebih cerah dari itu, Di. Kamu enggak seharusnya menyamakan dirimu dengan mereka.”

“Tapi aku enggak akan kuat untuk menyamakan diriku dengan anak-anak yang bernasib beruntung untuk lahir di keluarga kaya. Ke mana-mana diantar jemput sopir, naik mobil mahal, sekolah di tempat bagus, bisa belajar apa pun yang mereka mau karena orang tua mereka punya banyak uang untuk membiayai kursus-kursus dan segala embel-embelnya yang kelihatan bisa mencerdaskan mereka dengan instan. Mereka bahkan bisa kuliah ke luar negeri tanpa perlu bantuan beasiswa pemerintah. Kita enggak perlu menyamakan diri kita sama mereka, Kak. Karena kalau aku melakukan itu, besok saja aku sudah akan memutuskan untuk bunuh diri.”

Mendengar kata-kata Diandra, bukan Andreas saja yang dibuat terdiam. Aku juga turut ikut merasa bersalah. Seandainya Diandra tidak kuadopsi saat itu, mungkin saja dia akan diadopsi oleh keluarga kaya dan seharusnya nasibnya tidak seperti ini.

“Kamu tahu, Kak? Aku mungkin masih terlalu kecil untuk bilang begini.”

Aku menanti kata-kata Diandra selanjutnya. Entah apa yang akan diucapkan gadis delapan tahun itu.

“Aku pikir, apa yang terjadi di hidupku hari ini, akan berarti untuk hidupku di masa depan mungkin saat umurku tujuh belas atau malah ketika umurku tujuh puluh tahun. Kesulitan apa yang menimpa kita sekarang, mungkin akan berarti untuk kita di masa depan kalaupun Kakak lihat tidak berarti untuk saat ini.

Tapi aku lihat, kesulitan hidup kita sekarang membuat kita semakin kuat. Dan membuat kita semakin dekat.”

Andreas memegang bahu Diandra dan mengusap rambut Diandra, “Kakak masih kepikiran dengan jalan hidup gadis sepertimu.”

“Semuanya akan baik-baik saja, Kak.”

Mulai malam itu aku memutuskan untuk berhenti merokok, untuk menghentikan pergaulanku dengan teman-temanku di diskotek, untuk berhenti minum-minum, untuk belajar lagi memeroleh pekerjaan, untuk memeroleh uang dan mengumpulkannya demi masa depan kedua anakku.

Aku heran mengapa setelah itu kedekatan antara Andreas dan Diandra merenggang. Seolah ada tali tak kasat mata di antara mereka yang telah terputus. Setelah Andreas kuliah, mereka tak pernah lagi kulihat berbicara bersama. Andreas disibukkan dengan kegiatannya dan seolah ada jarak yang memisahkan mereka sekalipun mereka saling bertemu di meja makan saat kami makan bersama.


BUNYI telepon dari arah ruang tamu mengagetkanku dari lamunanku. Masih beberapa lama telepon berdering dan aku tetap berjalan menuju ke arah ruang tamu untuk menerima panggilan-entah-dari-siapa itu. Namun beberapa meter sebelum aku sampai, telepon sudah berhenti berdering. Dan kini giliran ponsel yang kuletakkan di kamar tidurku berbunyi dari kejauhan. Aku bergegas berjalan memutar arah menuju kamarku. Entah kenapa aku menjadi sangat lemah akhir-akhir ini.

“Halo, Pa,ujar suara dari seberang.

“Ini Andreas, Pa. Andreas.”

“Oh, halo, Andreas. Ada apa? Apa kabarmu, Che?”

Suara di seberang sana berisik sekali.

“Kabarku baik, Pa. Diandra ada di sana?” Andreas bertanya.

“Dia baru saja berangkat ke Jogja via kereta tadi malam.”

“Oh, bagus! Soalnya aku melihat seseorang mirip Diandra di sini, Pa. Aku pikir itu pasti memang dia. Ma kasih, ya, Pa. Aku harus cepat-cepat menghampiri dia, sebelum dia pergi.”

Kulihat jam dinding. Sudah pukul lima pagi. Baru kusadari, ternyata hampir empat jam aku melamun di kamar Diandra. Syukurlah Diandra sudah tiba di Yogyakarta dengan selamat.

“Nak  ... tunggu sebentar.”

“Iya, Pa? Dia lagi menyeberang. Tunggu, tunggu. Aku harus panggil dia.”

Di, Di!Diandra, Diandra.kudengar suara teriakan Andreas memanggil nama adiknya.

“Andreas ... Papa perlu menyampaikan hal ini padamu. Jangan tutup teleponnya dulu.”

“Oh, oke, Pa. Bilang saja. Aku ngedengerin, kok.”

Suara di seberang semakin ribut, suara orang-orang menawarkan taksi atau tumpangan lainnya semakin terdengar.

“Aku baru selesai makan angkringan di dekat sini dan tiba-tiba aku melihat seseorang mirip Diandra. Dan dia sedang jalan di depanku. Dari tadi kupanggil-panggil susah sekali.”

Suara Andreas yang terengah-engah seolah menunjukkan ketergesaannya mengejar adiknya yang katanya berjalan mendahuluinya di depannya.

“Diandra!” “Hei, Diandra!” “Diandra!” Hingga suara panggilannya untuk ketiga kalinya menjadi berbeda …

“Diandraaaaaaaaaaa!”

Suara bising. Suara tabrakan. Suara kaki-kaki yang berlari dan sepatu-sepatu yang menapak beton dengan keras.

“Diandraa!” Andreas terdengar berteriak.

Entah ke mana dijatuhkannya ponselnya, suara sekitar semakin samar-samar. Bunyi gemerisik. Pasti Andreas memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya atau saku kemejanya, pakaian wajibnya.

“Kecelakaan, ya?”

“Iya, ditabrak taksi sepertinya.”

“Sopirnya mabuk mungkin.”

“Mungkin saja begitu. Taksinya sudah kabur. Lalu laki-laki itu siapanya? Orang sok kenal sok dekat?”

Suara orang-orang berbicara.

“Andreas ...” aku memanggil-manggil putraku, “Kamu di sana?”

Darahnya banyak habis, ya, sepertinya?”

“Untung ambulans segera datang.”

“Siapa yang golongan darahnya kira-kira sama dengan dia?”

“Saya ... saya pasti sama dengannya. Kami saudara kandung.” Andreas terdengar menawarkan diri.

Dari kejauhan aku ingin menyampaikan kalimat yang sejak tadi tak sempat kusampaikan. Hingga akhirnya pembicaraan terputus karena mungkin kehabisan pulsa.

Mungkin di rumah sakit, Andreas akan menyadari bahwa Ibunya bergolongan darah O, Ayahnya bergolongan darah B, dia bergolongan darah A, dan adiknya bergolongan darah AB. Sesuatu yang tak sempat aku dan istriku sampaikan secara langsung kepada mereka berdua. [*]

1 comment:

Tulisan Terdahulu