© Saiful Bachri
Reportase untuk Pindai.org, akses PDF
Reportase untuk Pindai.org, akses PDF
Betapapun harus ‘mengencangkan ikat pinggang’, sebagaimana istilah dua penerbit ini, para pegiatnya terus menghidupi bacaan non-populer dengan daya kritis yang tebal.
JALANNYA roda penerbitan buku hari ini adalah keberlanjutan dari kritik Khrisna Sen dan David T. Hill dalam artikel Perbukuan Indonesia: Translasi dan Transgresi, lebih dari satu dekade silam. Mereka menulis, investasi terbaik dan penjualan produk tercepat oleh Gramedia—dijadikan parameter sebagai salah satu penerbit terbesar di Indonesia—dicapai dari buku-buku bertopik pengembangan-diri praktis hingga novel-novel populer. Imbasnya, judul-judul buku ditentukan dalam mekanisme pasar yang mendorong publikasi tema yang cenderung seragam.
Di sisi lain, pergantian berdarah kekuasaan dari Sukarno yang mengedepankan “politik sebagai panglima” ke pemerintahan Soeharto dengan “ekonomi sebagai panglima”, mengubah pula pergeseran tren judul buku dalam kategori buku “berat”. Ia didominasi paradigma developmentalisme—satu istilah dari khazanah ekonomi yang secara singkat menjelaskan hubungan ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga. Pandangan ini seirama agenda Ali Moertopo, ideolog rezim Orde Baru, yang merumuskan “satu cara berpikir” demi cetak biru apa yang disebut “akselerasi modernisasi 25 tahun” rezim Soeharto, yang juga menghendaki pola pikir seragam dan tunggal.
Untuk mendukung ekonomi pembangunan itu, depolitisasi kampus diterapkan. Kurikulum dan materi bacaan dijaga ketat dan “diamankan” demi menjaga “stabilitas nasional”. Pada Oktober 1989, Kejaksaan Agung membentuk sebuah badan yang disebutclearing house, tugasnya meneliti isi buku dan merekomendasikan pemusnahan bila mengancam rezim. Selain Kejagung, Departemen Pendidikan dan Kebudayan lewat instruksi kementerian tahun 1965—memuat satu beleid larangan menggunakan “buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan”—membekukan sebelas dafar buku karangan para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pelarangan ini terus berlanjut bahkan sesudah Soeharto lengser.
Sejak masa kolonial Hindia Belanda, percetakan dan penerbitan di Indonesia tak pernah lepas dari kuasa tangan-tangan pemerintah, baik di bawah pemerintah kolonial maupun sebagai negara-bangsa.
Pada 1908, berdiri Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat), diketuai G. A. J. Hazeu, penasihat urusan Bumiputra. Mewakili kepentingan komisi ini, pada 1911, D. A. Rinkes lewat “Nota Over de Volkslectuur” menetapkan bacaan rakyat dan melarang buku-buku yang dianggap sebagai bacaan liar: terbitan berbahasa Melayu rendah yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi inilah yang kemudian berlanjut menjadi Penerbit Balai Pustaka.
Hadirnya Balai Pustaka dibarengi oleh sejumlah program penerbitan dari lembaga pendidikan dan keagaman, di antaranya Kanisius, Muhammadiyah, Penjiaran Islam, hingga Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia pada kurun 1920.
Pada periode 1950-1970, penerbit universitas mulai marak berdiri, seperti UI Press pada 1969 yang disokong dana Ford Foundation, dan Penerbit IPB yang didanai University of Kentucky.
Menjelang dekade terakhir rezim Soeharto pada periode 1990-an, beberapa penerbit alternatif mulai masuk mengisi ceruk pasar buku yang didorong oleh “pembelotan” para aktivis perbukuan dari penerbit-penerbit induk.
Setelah 1998, berduyun-duyun penerbit alternatif yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa berdiri. Perlu dicatat pula, dalam rentang 1998-2004, Ford Foundation menawarkan dana bantuan penerbitan buku melalui Yayasan Adikarya IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Dalam program ini, setiap penerbit berhak mengajukan delapan judul buku untuk didanai.
Tak ayal, alasan pendirian penerbit di masa itu pada umumnya bukan semata kepentingan ideologis. Melainkan fakta bahwa usaha penerbitan mampu mendatangkan laba dengan menekan biaya produksi, sementara mereka pun masih bisa mendapat dana dari yayasan donor. Imbas dari pengerukan laba ini, pekerja kreatif dan penulis tak dibayar dengan layak.
Sederet contoh pelanggaran yang dilakukan penerbit, misalnya: pengingkaran atas royalti, laporan penjualan yang tidak transparan, hingga masalah hak cipta.
Selepas periode itu, terbitan mulai tak terbendung lagi. Kualitas terbitan, seperti mutu terjemahan dan editorial, menjadi tanda tanya besar karena kerja-kerja penerbit yang bergegas.
Di tengah semua itu, hadir upaya-upaya penerbitan yang cukup serius, yang masih dari lini penerbitan alternatif dan bertahan hingga kini, di antaranya penerbit Marjin Kiri dan Komunitas Bambu. Untuk meneruskan kerja-kerja penerbitan, sejak dini mereka telah menentukan ceruk pasarnya: menerbitkan karya-karya yang mendedah suatu permasalahan hingga ke akarnya ataupun karya-karya yang menawarkan perspektif berbeda.
ARIA Wiratma Yudhistira tengah menyisir tumpukan koran terbitan 1970-an di lantai 9 Perpustakaan Nasional saat ketertarikannya jatuh pada serentetan pemberitaan mengenai pelarangan mahasiswa berambut gondrong oleh pemerintah.
Itu membikinnya bertanya-tanya, “Di tengah rezim yang berusaha tampil setenang mungkin, kenapa Soeharto justru terang-terangan menerapkan larangan itu?”
Pada masa itu, soal rambut gondrong bahkan jadi permasalahan seluruh pejabat tinggi pemerintahan, mulai dari menteri, Kepala Bakin, Jaksa Agung, hingga Pangkopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Perkara ini sempat pula memicu polemik antara Ali Sadikin dan Arief Budiman, mahasiswa era ’60-an yang terkenal sebagai pelopor golput (golongan putih). Polemik selesai, tapi aksi-aksi anti-rambut gondrong masih berlanjut.
Aria mengajukan tema pelarangan rambut gondrong ini sebagai proposal skripsinya ke dosen pembimbingnya di Jurusan Sejarah UI. Tema itu ditolak mentah-mentah di muka dengan alasan, “Kalau kamu mau menulis tema populer, kamu harus cari dosen yang paham budaya dan seni.”
Namun, Aria bersikeras melanjutkannya dan alasan paling wajar dari penolakan itu karena memang temanya dianggap nyeleneh. Ia menyusun kronologi pemberitaan sikap represif pemerintah terhadap mahasiswa berambut gondrong yang dirunutnya sejak masa pemerintahan Sukarno hingga tahun 1970-an.