2015/09/30

Riuh Bekerja di Pasar yang Sepi


© Saiful Bachri
Reportase untuk Pindai.org, akses PDF
 
Betapapun harus ‘mengencangkan ikat pinggang’, sebagaimana istilah dua penerbit ini, para pegiatnya terus menghidupi bacaan non-populer dengan daya kritis yang tebal.


JALANNYA roda penerbitan buku hari ini adalah keberlanjutan dari kritik Khrisna Sen dan David T. Hill dalam artikel Perbukuan Indonesia: Translasi dan Transgresi, lebih dari satu dekade silam. Mereka menulis, investasi terbaik dan penjualan produk tercepat oleh Gramedia—dijadikan parameter sebagai salah satu penerbit terbesar di Indonesia—dicapai dari buku-buku bertopik pengembangan-diri praktis hingga novel-novel populer. Imbasnya, judul-judul buku ditentukan dalam mekanisme pasar yang mendorong publikasi tema yang cenderung seragam.

Di sisi lain, pergantian berdarah kekuasaan dari Sukarno yang mengedepankan “politik sebagai panglima” ke pemerintahan Soeharto dengan “ekonomi sebagai panglima”, mengubah pula pergeseran tren judul buku dalam kategori buku “berat”. Ia didominasi paradigma developmentalisme—satu istilah dari khazanah ekonomi yang secara singkat menjelaskan hubungan ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga. Pandangan ini seirama agenda Ali Moertopo, ideolog rezim Orde Baru, yang merumuskan “satu cara berpikir” demi cetak biru apa yang disebut “akselerasi modernisasi 25 tahun” rezim Soeharto, yang juga menghendaki pola pikir seragam dan tunggal.

Untuk mendukung ekonomi pembangunan itu, depolitisasi kampus diterapkan. Kurikulum dan materi bacaan dijaga ketat dan “diamankan” demi menjaga “stabilitas nasional”. Pada Oktober 1989, Kejaksaan Agung membentuk sebuah badan yang disebutclearing house, tugasnya meneliti isi buku dan merekomendasikan pemusnahan bila mengancam rezim. Selain Kejagung, Departemen Pendidikan dan Kebudayan lewat instruksi kementerian tahun 1965—memuat satu beleid larangan menggunakan “buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan”—membekukan sebelas dafar buku karangan para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pelarangan ini terus berlanjut bahkan sesudah Soeharto lengser.

Sejak masa kolonial Hindia Belanda, percetakan dan penerbitan di Indonesia tak pernah lepas dari kuasa tangan-tangan pemerintah, baik di bawah pemerintah kolonial maupun sebagai negara-bangsa.

Pada 1908, berdiri Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat), diketuai G. A. J. Hazeu, penasihat urusan Bumiputra. Mewakili kepentingan komisi ini, pada 1911, D. A. Rinkes lewat “Nota Over de Volkslectuur” menetapkan bacaan rakyat dan melarang buku-buku yang dianggap sebagai bacaan liar: terbitan berbahasa Melayu rendah yang banyak diproduksi oleh para pengarang Tionghoa. Komisi inilah yang kemudian berlanjut menjadi Penerbit Balai Pustaka.

Hadirnya Balai Pustaka dibarengi oleh sejumlah program penerbitan dari lembaga pendidikan dan keagaman, di antaranya Kanisius, Muhammadiyah, Penjiaran Islam, hingga Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia pada kurun 1920.

Pada periode 1950-1970, penerbit universitas mulai marak berdiri, seperti UI Press pada 1969 yang disokong dana Ford Foundation, dan Penerbit IPB yang didanai University of Kentucky.

Menjelang dekade terakhir rezim Soeharto pada periode 1990-an, beberapa penerbit alternatif mulai masuk mengisi ceruk pasar buku yang didorong oleh “pembelotan” para aktivis perbukuan dari penerbit-penerbit induk.

Setelah 1998, berduyun-duyun penerbit alternatif yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa berdiri. Perlu dicatat pula, dalam rentang 1998-2004, Ford Foundation menawarkan dana bantuan penerbitan buku melalui Yayasan Adikarya IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Dalam program ini, setiap penerbit berhak mengajukan delapan judul buku untuk didanai.

Tak ayal, alasan pendirian penerbit di masa itu pada umumnya bukan semata kepentingan ideologis. Melainkan fakta bahwa usaha penerbitan mampu mendatangkan laba dengan menekan biaya produksi, sementara mereka pun masih bisa mendapat dana dari yayasan donor. Imbas dari pengerukan laba ini, pekerja kreatif dan penulis tak dibayar dengan layak.

Sederet contoh pelanggaran yang dilakukan penerbit, misalnya: pengingkaran atas royalti, laporan penjualan yang tidak transparan, hingga masalah hak cipta.

Selepas periode itu, terbitan mulai tak terbendung lagi. Kualitas terbitan, seperti mutu terjemahan dan editorial, menjadi tanda tanya besar karena kerja-kerja penerbit yang bergegas.

Di tengah semua itu, hadir upaya-upaya penerbitan yang cukup serius, yang masih dari lini penerbitan alternatif dan bertahan hingga kini, di antaranya penerbit Marjin Kiri dan Komunitas Bambu. Untuk meneruskan kerja-kerja penerbitan, sejak dini mereka telah menentukan ceruk pasarnya: menerbitkan karya-karya yang mendedah suatu permasalahan hingga ke akarnya ataupun karya-karya yang menawarkan perspektif berbeda.


ARIA Wiratma Yudhistira tengah menyisir tumpukan koran terbitan 1970-an di lantai 9 Perpustakaan Nasional saat ketertarikannya jatuh pada serentetan pemberitaan mengenai pelarangan mahasiswa berambut gondrong oleh pemerintah.

Itu membikinnya bertanya-tanya, “Di tengah rezim yang berusaha tampil setenang mungkin, kenapa Soeharto justru terang-terangan menerapkan larangan itu?”

Pada masa itu, soal rambut gondrong bahkan jadi permasalahan seluruh pejabat tinggi pemerintahan, mulai dari menteri, Kepala Bakin, Jaksa Agung, hingga Pangkopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Perkara ini sempat pula memicu polemik antara Ali Sadikin dan Arief Budiman, mahasiswa era ’60-an yang terkenal sebagai pelopor golput (golongan putih). Polemik selesai, tapi aksi-aksi anti-rambut gondrong masih berlanjut.

Aria mengajukan tema pelarangan rambut gondrong ini sebagai proposal skripsinya ke dosen pembimbingnya di Jurusan Sejarah UI. Tema itu ditolak mentah-mentah di muka dengan alasan, “Kalau kamu mau menulis tema populer, kamu harus cari dosen yang paham budaya dan seni.”

Namun, Aria bersikeras melanjutkannya dan alasan paling wajar dari penolakan itu karena memang temanya dianggap nyeleneh. Ia menyusun kronologi pemberitaan sikap represif pemerintah terhadap mahasiswa berambut gondrong yang dirunutnya sejak masa pemerintahan Sukarno hingga tahun 1970-an. 

2015/09/20

Perihal Manipulasi Orba atas Sejarah Indonesia



Wawancara dengan J. J. Rizal untuk Reportase Pindai
(September 2015) 

Bagaimana tradisi sejarah di Indonesia? Merujuk buku Vedi R. Hadiz, Ilmu Sosial dan Kekuasaan, pada masa pemerintahan Suharto, ilmu sosial dikuasai teknokrat Orba. Dalam pengajaran ilmu sejarah sendiri bagaimana?
 
Kita menilik kaitan sejarah dengan kekuasaan sampai jauh ke belakang. Suharto dan Sukarno memandang sejarah sebagai hal esensial, bahkan sebagai pokok utama. Sebelum lahirnya para sejarawan, mereka mengembangkan ilmu sejarah sedemikian rupa menjadi bagian aktivitas politik dan pengembangan ideologi. Hampir semua penggerak zaman itu berpikir untuk mengonstruksi sebuah nation, karenanya sejarah jadi hal penting. Sukarno yang punya artikulasi paling besar. Pledoinya di Landrat, misalnya, “masa lalu gemilang, masa kini penuh derita, dan masa depan yang harusnya jaya”. Dia melihat sejarah sebagai modal, bahwa di masa lalu kita punya nation-nation yang besar dan bahwa nation itu pernah dijeda oleh kolonialisme. Dalam orasi-orasinya, ia menegaskan, kita harus melanjutkan nation, tapi bukan dengan bentuk nation yang lama seperti nation lama berdasarkan penelitian arkeologis, sebutlah N.J. Krom yang membicarakan soal Sriwijaya, Majapahit, dll. Nah, bayangan tentang nation-nation yang besar dan harapan atas nation baru inilah, visi ini yang digunakan Sukarno bahwa nation yang sekarang kita bentuk adalah lanjutan dari nation yang dijeda. Yang ingin gue garisbawahi, selanjutnya yang mengembangkan ilmu sejarah akhirnya bukan para sejarawan, melainkan para politisi. Salah satunya Bung Karno dan Yamin. Karena bagi mereka, nation harus diberi roh, dan rohnya itu adalah sejarah.

Dan dalam konteks itu, kebenaran sejarah kadang tidak penting. Yang penting adalah kepentingan visioner. Misalnya, Sukarno bilang Indonesia dijajah 350 tahun, dari mana asalnya? Padahal itu yang dikatakan oleh Gubjend De Jong ketika menolak permintaan agar meniru langkah India memberikan kemerdekaan kalau misalnya berhasil dengan Inggris bergandengan tangan melawan kapitalisme. Kata Gubjend De Jong, tidak, kalau perlu, Indonesia dijajah 350 tahun. Nah, Bung Karno tahu betul kata-kata itu. Diadopsi oleh Bung Karno. Secara de facto, tidak ada yang dijajah selama itu. 300 tahun mungkin ada, itu pun hanya Banda dan Batavia.

Jadi, dulu itu pemahaman sejarah digunakan untuk upaya menyatukan bangsa?
 
Ya, karena kita baru merdeka. Kita gak punya tentara. Yang kita punya adalah sejarah sebagai modal untuk menstimulus moral dan mental masyarakat, dan lahirlah laskar-laskar untuk memerdekakan. Itu digunakan dengan sangat baik oleh Sukarno, dia menciptakan hari-hari nasional. Itu yang gue maksud, sejarah digunakan sedemikian rupa. Dia membawa seniman melukis wajah-wajah pahlawan, mengangkat tokoh-tokoh yang secara faktual kebenaran historisnya tidak diketahui, tapi yang penting melawan Belanda. Ilmu Sejarah sendiri baru berkembang secara serius tahun 50an, walau sarjananya sudah ada lebih dulu, seperti Husein Djayadiningrat. Sebelum itu, sejarah dikembangkan oleh para politisi. Jadi, kalau bagian dari kekuasaan, menurut gue itu memang hal yang nyata dalam sejarah kita. Yang lebih gila lagi, visi itu lebih digunakan secara masif dan sistematis di zaman Suharto. Kita sudah tahulah bagaimana negara dibangun oleh kebohongan dan propaganda yang disebut sebagai sejarah. Ngomong apa pun, sebenarnya enggak ada sejarahnya. Lebih banyak story daripada history. Negara memegang peranan penting saat itu dengan mendirikan pusat sejarah ABRI/TNI yang membawa seorang yang sebenarnya bukan jurusan sejarah dan sastrawan yang punya imajinasi tinggi seperti Nugroho Notosusanto dan melakukan rancangan sistematis serius dan bergerak melalui kurikulum, permuseuman, nama jalan, monumen. Semua digerakkan demi kepentingan rezim. Yang merekonstruksi itu adalah tentara.

Lalu, siapa Bapak Sejarah Formal?
 
Sejarah formal mulai dirintis Sartono Kartodirdjo, karena itu beliau disebut bapak ilmu sejarah utama karena dia melihat sejarah bukan urusan hitam putih. Kita tidak boleh melupakan tempat rakyat dan orang kecil (petani, nelayan) di dalam sejarah. Nasionalisme Indonesia dimulai dari petani. Dan mulai mengajarkan dengan apa yang disebut sejarah kritis, sejarah akademis. Dia mulai merekrut orang-orang. Dari muridnya seperti Lapian, kita tahu suara dari laut juga jarang, padahal kita negara berbentuk tanah air.

Jadi, ini lebih ke struktur birokrasinya, mereka membuat perpustakaan ABRI untuk memanipulasi sejarah. Kalau tradisi sejarah di kampus bagaimana?
 
Mereka, kan, masuk melalui kurikulum. Kurikulum itu yang menelurkan buku-buku babon. Sejarah Nasional Indonesia, misalnya. Buku itu akhirnya merupakan suatu gambaran kalau nation Indonesia dibentuk oleh kekuatan tentara. Jadi, wajar tentara punya posisi yang penting di dalam republik karena mereka punya peranan besar. Di situlah, ada pertengkaran antara sejarawan: yang ingin melihat sebuah bentuk manifestasi yang serius dari kecakapan mereka sebagai sejarawan akademis. Konflik dari Taufik Abdullah, Sartono malah bikin buku sendiri.

Ada kubu-kubu?
 
Sartono keluar, tidak ikut menulis akhirnya. Taufik Abdullah juga tidak. Karena mereka merasa dikuasai oleh kubu-kubu pemerintah yang diwakili oleh Nugroho Notosusanto. Istilahnya Kahtryn McGregor, kan, sejarah yang berseragam. SNI adalah salah satu contohnya. Terutama pada periode yang disebut sejarah kontemporer, sejak merdeka sampai 1970-an. Perdebatannya akhirnya bukan hanya yang diharapkan jadi perdebatan akademis, memperlihatkan kecenderungan para intelektual Indonesia. Yang terjadi sebaliknya. Ketika buku itu ditulis kita sedang booming sejarah intelektual Indonesia. Bukan hanya di regional Asia, tapi tingkat dunia. Mereka terlibat percakapan serius tentang tema, topik, dan filosofi sejarah, tapi itu tidak terlihat dalam buku SNI. Itu menyedihkan. Sekarang, kita krisis sejarawan yang punya kaliber seperti booming tahun 70an itu, yang bisa ikut berdialog.

Booming 70an itu siapa saja?
 
Sartono, Onghokham.

Lalu yang menuliskan buku SNI?

Nugroho Notosusanto. Mereka punya struktur birokrasi, pernah jadi rektor, menteri. Karena itu, kalau sekarang kita mendebatkan perkara 65, wajah kampus masih kelihatan seperti dulu.

Masih sampai sekarang?
 
Seperti penolakan kata penambahan G30S/PKI kan sampai ke kampus-kampus perdebatannya.

Berarti, ada tulisan-tulisan yang merujuk menolak wacana Orba?
 
Sartono bikin buku sendiri Dari Imperium sampai Emporium untuk menolak. Diterbitkan Ombak karena Nursam punya kedekatan dengan Sartono, dia menulis skripsi tentang Sartono.

Selain itu, siapa lagi?
 
Taufik Abdullah menulis tapi tidak dalam bentuk buku babon. Kemudian, dia menulis, diterbitkan di Singapur. Yah, mereka mengembangkan dirilah, menulis dalam majalah Prisma dengan menulis sejarah2 alternatif. Ini membawa pengaruh berbeda dengan yang disajikan di SNI. Itu memberi ruang sebagai suara alternatif dari sejarah resmi yang dijaga bahkan oleh penjara, pentungan, blacklist.

Bagaimana pengaruh para sejarawan anti-Orba ini ke para mahasiswa?
 
Banyak pengaruhnya. “Kalau Pak Ong sudah protes, berarti rakyat kecil sudah kena pengaruh.” Onghokham dijadikan mistar pengukur permasalahan. Karena beliau tiap hari pergi ke pasar, doyan masak, ke mana-mana naik angkot. Lapian juga.

Mereka menulis dan terlibat sebagai intelektual publik dan menjadi suara alternatif lewat kolom-kolom mereka, warna lain dari diskursus kekuasaan yang disajikan oleh pemerintah. Mereka melihat Suharto menerapkan pola kekuasaan Mataram baru yang feodal dan kolonial. Akhirnya, kita seperti mengulangi sejarah. Dia memberi refleksi, dan akhirnya menjadi perdebatan, kalau Orba itu adalah new state, old society.

Kenapa baru ’98 Suharto tumbang?
 
Ya, revolusi itu seperti pohon oak. Gak bisa langsung besar. Harus jauh, mengakar. Revolusi butuh waktu, karena itu proses mental. Mengubah kultur. Sampai hari ini, secara kultural tidak berubah: feodalismenya, banditisme partainya. ’98 hanya titik menjatuhkan saja. Ada studi menarik dari ___, dengan meneliti bacaan para aktivis 98. Mereka adalah saksi yang tegang dari kekuasaan diktatorian yang fasistik sehingga bacaan mereka lebih banyak pada bagaimana meruntuhkan rezim, tetapi ketika rezim turun, bacaannya kurang. Itu yang jadi problem. Kalau kita baca refleksi historis dari para intelektual sejarah, ya sama, mereka menyamakan Suharto dengan rezim busuk, tapi apa selanjutnya? Itu berbeda dengan politisi seperti Sukarno atau Hatta. Mereka bertanya: setelah kolonialisme tumbang, apa yang akan kita buat? Indonesia ini jembatan emas, tapi seperti apa konstruksinya? Mereka berdebat. Sementara Reformasi… mereka tidak punya kesiapan.

Mahasiswa-mahasiswa sejarah UI, dan para pendiri Kobam yang didirikan sehari sebelum Suharto makzul, apakah tidak punya gambaran besar tentang apa yang harus dilakukan sekarang?
 
Kita bikin Kobam karena setelah Suharto jatuh, kita baru sadar, apa yang menyebabkan Indonesia tumbang dan mengalami krisis yang dalam. Ada yang bilang krisis politik, lalu mereka masuk partai politik. Ekonomi, mereka masuk bisnis. Tapi jawaban gue dan teman-teman, karena kita gak kenal apa itu Indonesia. Caranya kenal bagaimana? Kita harus pulang ke rumah sejarah. Tapi sejarah Indonesia isinya gak ada sejarah (history), isinya cerita (story) semua. Bagaimana? Ya, dijernihkan. Caranya bagaimana? Kembali mewacanakan apa itu Indonesia, apa alasan kita menjadi Indonesia, dan apa cita-cita kita. Kita harus mengampanyekan ini. Ya, harus bikin penerbit. Harus menulis. Harus bicara.

[bercerita tentang kasus Kampung Pulo]

Hari ini, sering ada keluhan generasi muda buta sejarah. Menurut gue bukan hanya mereka, kita semua buta sejarah.

[bercerita tentang Jokowi dan Prabowo dengan strategi-strategi politiknya]

[kembali bercerita tentang kasus Kampung Pulo]

Tulisan Terdahulu