2014/10/21

Rekan Bicara

Bagimu, pernikahan adalah tentang siapa yang akan kau ajak mengobrol di masa senjamu. Karena di masa itu, ada yang percaya, tubuh kita yang kian menua dari waktu ke waktu tak akan dapat menikmati seks yang hebat, atau melakukan hal-hal liar lagi. Kelak di masa tua, kita hanya akan menjadi dua orang kesepian yang butuh rekan bicara.

Aku dan kau, seperti yang kita sama-sama tahu, adalah dua orang yang tak perlu diragukan lagi daya bicaranya. Kita dapat menjadi akrab dengan siapa pun yang baru kita kenal hanya bermodalkan senyuman dan keramahan. Kita dapat menjadi tanding setia bagi apa pun wacana yang diajukan. Bila pun kita belum pernah mengetahuinya sebelumnya, kita punya sepasang mata yang akan mengerjap dengan takjub dan bersedia untuk mencari tahu. Kita akan menjadi sepasang pewicara yang saling memperhatikan dengan antusias. Malam selalu akan larut dan pagi akan enggan berdiam lama, waktu akan memampat. Kita akan jatuh cinta untuk kesekian kalinya dalam setiap apa pun yang kita pertukarkan: ide, petualangan, kisah kerabat.

Dengan ketangguhan untuk menghabiskan waktu hanya untuk saling mengobrol dan mengobrol, siapa pun akan jatuh cinta dengan kita. Terpesona. Terbius. Terbuai. Terbuali. Dan karena itulah kau selalu meyakini, bahwa kalaupun benar pernikahan hanya perkara mencari rekan bicara, maka kita bisa jadi tak perlu membentuk suatu institusi hanya untuk kita berdua. Di masa tua nanti, bila kita kesepian, kita tinggal pergi ke suatu tempat untuk bertemu orang dan mengajak mereka bicara.

Orang yang kelak akan kita ajak bicara barangkali adalah seorang suami atau istri yang telah ditinggal mati oleh pasangannya, atau kanak-kanak yang tersisihkan dari pertengkaran orang tuanya. Mereka akan berbahagia dan merasakan puber kesekian, dan jatuh cinta lagi, ketika mengobrol dengan kita. Dan bila mereka adalah kanak-kanak yang masih meraba-raba dunia, mereka akan belajar dari ketuaan kita.

Namun, seperti yang kau tahu, kita sudah tak bisa jatuh cinta lagi kepada orang lain. Karena aku dan kau telah memilih satu sama lain, yang sayangnya meyakini bahwa hidup bersama bukanlah jalan tunggal. Meski kita sudah tak bisa jatuh cinta lagi, kita tetap akan membuat mereka terpesona, terbius, terbuai, dan terbuali, dan tak akan pernah peduli entahkah kita dapat membalas perasaan mereka.

Dari hal semacam itu, aku selalu membayangkan, bahwa sebenarnya yang kau maksud rekan bicara bukanlah seseorang yang dapat kau ajak mengobrol tentang hal yang hebat-hebat, atau malahan bukan juga tentang wacana-wacana sederhana yang terlampau membumi. Mungkin, sebenarnya, kelak ketika tua kita membutuhkan rekan bicara yang bisa bicara dari hati ke hati. Jadi, kita hanya akan bicara dengan genggaman tangan, kepala yang merebah di pundak satu sama lain, dan senandung lagu-lagu masa tua yang ditujukan untuk masa muda kita. Dan untuk hal-hal itu, sebenarnya kau tak hanya butuh sekadar rekan bicara yang dapat kau temukan asal saja di jalanan. Barangkali, seperti itu?


20 Oktober 2014




1 comment:

Tulisan Terdahulu