2010/01/07

Banana Yoshimoto: Dapur yang Absurd


Menyelesaikannya dalam 5 hari. Bahkan sesungguhnya tidak berniat menyelesaikannya dan justru ingin membuat alur kisahnya yang sudah terlanjur ada dalam benakku menggantung saja. Karena, sebetulnya apa yang bisa diharapkan dari kalimat-kalimat indah yang memiliki akhir?

Entah penulisnya atau penerjemahnya yang memiliki kosa kata indah memabukkan. Yang jelas, yup, itu terjadi dalam novel 'Kitchen' ini. Saking sukanya dengan kalimat-kalimat dalam novel ini, aku bahkan bertekad untuk mulai 'belajar memberi highlight dengan stabilo' untuk kata-kata indah yang kutemukan dalam buku bacaan di rakku ini. Berikut adalah list kata-kata yang kusukai dari novel (edisi Bahasa) ini:

"Kamu tipe orang yang menilai seperti apa? -- Orang sering bilang, kita bisa menilai tipe pemilik rumah hanya dengan melihat toiletnya."

"Dapur."

Oh, sungguh, sweet.

'Aku tak punya saudara di dunia ini. Mengejutkan rasanya, menyadari bahwa aku bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa saja.'

Begitulah yang kurasakan untuk tumbuh besar sebagai seorang anak tunggal.

'Sikapnya yang sama sekali tidap hangat maupun tidak dingin justru membuatku merasa dekat.'

Aku selalu merasa begitu kepada orang yang kukenal. Aku senang merasa asing di hadapan orang yang sangat kusayangi sekalipun. Pada dasarnya, tiap orang terasing dalam pemikirannya sendiri, kan?



'Melihat pakaiannya yang tidak biasa dan dandanannya yang tebal, aku langsung tahu bahwa ia bekerja pada malam hari.'

Untuk yang ini, aku suka dengan cara novelisnya menggambarkan seorang wanita transeksual pekerja malam dengan begitu lembutnya. Tiap orang memiliki banyak pilihan kata untuk interpretasi berbeda. Pilihan kata Banana Yoshimoto begitu cantik dan penerjemahnya rasanya sangat mahir memilih padanan kata dalam bahasa Indonesia. Aku salut!

Beberapa hal di bagian awal novel ini bisa menambah gairahku untuk googling tentang beberapa informasi yang diselipkan. Nuansa Jepangnya kental karena banyak memasukkan nama daerah Jepang dan makanan khas Jepang meskipun banyak kritikus mengakui novel ini terlalu condong bergaya western-dengan-urbanismenya. Sebetulnya, tidak heran, sih. Mengingat Banana Yoshimoto sendiri memang sempat kuliah Sastra dan Kebudayaan Inggris (?) jadi pasti secara tidak langsung pengaruh apa yang dia pelajari semasa kuliah terus dibawanya dalam kesehariannya (bahkan berdampak pada apa yang dia tulis, kalau menurutku).

'Kemudian dia memutuskan untuk menjadi perempuan. Dia bilang, dia sudah tidak bisa mencintai siapa-siapa lagi.'

'Namun aku suka pada dapur mereka. -- Wajah mereka ketika tertawa bersinar seperti Buddha. Aku suka.'

"Dia orang yang hidup dengan dorongan impulsif. Tapi kukira kekuatan yang dia miliki untuk mewujudkan kehendak hatinya sungguh luarbiasa."

'Tentu menyakitkan rasanya jika tak punya tujuan saat sedang terluka.'

'Kuizinkan diriku hidup santai hingga bulan Mei tiba. Dengan demikian, setiap hari rasanya seperti di surga.'

'Selalu begitu. Aku selalu bergerak di saat sudah terjepit. ---aku berteimakasih kepada Tuhan yang entah ada atau tidak.'

'---sejak tak lagi ditinggali, tempat itu tak ubahnya seperti wajah orang asing.'

'Di dunia ini tidak ada tempat untuk bersedih. Tak ada satu tempat pun.'

'---aku teringat bahwa aku samasekali belum menangis sejak Nenek meninggal.'

'Tapi ketika akan meninggalkannya, entah mengapa aku jadi suka sekali warna itu.'

'Pada saat-saat seperti ini, pemuda yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh Eriko itu bagaikan seorang pangeran.'

'Di dalam mimpiku tadi, kau juga bilang ingin makan mi.'

'Kurasa siapapun yang sungguh-sungguh merasa ingin mandiri sebaiknya mencoba merawat sesuatu, entah anak atau tanaman. Soalnya kita jadi mengerti keterbatasan yang kita miliki. Dari situlah hidup bermula.'

"Begitulah, tapi kalau manusia samasekali tidak pernah merasa putusasa, kita tidak akan tahu bagian mana dari diri kita yang tak sunggup kita singkirkan. Lalu kita akan tumbuh dewasa tanpa benar-benar mengerti apa saja yang bisa membuat kita gembira. Aku bahagia karena bisa menderita,"

"Aku suka sekali karena hatimu begitu tulus. Nenek yang telah membesarkanmu itu pasti orang yang luarbiasa."

"---Maafkan aku... Bagaimanapun aku merasa tidak sanggup menyampaikan berita ini kepadamu."

'Sejujurnya aku ingin sekali berhenti berjalan. Berhenti melanjutkan hidup.'

"Hari-hari menjelang upacara kematian, aku merasa tak bisa memahami apa yang terjadi. Kepalaku kosong, pandangan mataku gelap. Bagiku, dia satu-satunya orang yang hidup bersamaku; sebagai seorang ibu sekaligus seorang ayah.---"

"Semua orang yang ada di sekitar kita pasti meninggal. Kedua orangtuaku, kakekku, nenekku... ibu yang melahirkanmu, lalu Eriko. Hebat, ya. Rasanya tidak ada dua orang yang sama sialnya dengan kita dalam semesta yang begitu luas. Bagaimana kita bisa berteman baik secara kebetulan adalah hal yang sungguh luarbiasa."

Yang lucu adalah jawaban dari pernyataan di atas, yakni:

"Kalau tinggal bersama orang yang ingin mati kita jadikan pekerjaan, mungkin kita akan laku. Kita sebut diri kita 'pembawa bencana.'"

'Untung dan sial adalah hal biasa, tapi mempercayakan diri kepada peruntungan semacam itu adalah sikap manja.'

'Karena watakku tidak sabaran, semula tak terpikir olehku bahwa hasil masakan akan sangat bergantung pada hal-hal kecil.'

'Aku berbeda dengan mereka yang tergolong manja. Mereka perempuan-prempuan yang menjalani hidup bahagia. Mungkin mereka diajari orangtua mereka yang penyayang untuk tidak perlu keluar dari istana kebahagiaan, terlepas dari apapun yang mereka lakukan. Mereka jadi tidak tahu apa kesenangan mereka sendiri. Mereka juga tidak mampu memilih mana yang baik dan mana yang tidak untuk diri sendiri. Meski begitu setiap orang berupaya untuk tetap bertahan hidup.'

'Bagaimanapun, aku ingin terus merasa bahwa suatu saat aku pasti akan mati. Jika tidak demikian, aku tidak merasa hidup. Karena itulah aku menjalani kehidupan seperti ini.'

'Cahaya itu memenuhi hatiku.'

"----Di sini aku jarang makan. Sering aku berniat untuk memasak sendiri. Tapi bahan makanan pasti juga akan bersinar, seperti boks telepon itu. Sepertinya kalau kuamakan, cahayanya akan hilang."

"--. Besok pagi pasti aku sudah lupa dengan percakapan ini. Akhir-akhir ini aku selalu seperti itu. Hari demi hari seolah tidak ada hubungannya."

'Karena dia lemah terhadapku, seandainya saat ini aku berkata, "Ayo kita terbang ke Arab untuk melihat bulan," dia pasti akan menyanggupi.'

"--Cara bicaramu seperti kalimat terjemahan dari bahasa Inggris saja."

"--dunia ini ada bukan hanya untukku. Karena itu, rasio pertemuan dengan kejadian-kejadian buruk tetap tidak berubah. Bukan aku yang memutuskan. Jadi sebaiknya tetaplah bersikap ceria.---"

'Aku menyunggingkan senyum yang mengisyaratkan bahwa aku tidak akan pernah merasa malu dengannya, biarpun dia menunjukkan kegembiraan yang berlebihan di mana pun ia berada.---'

Uh, bukannya itu yang seringkali kita rasakan jika sudah sungguh dekat dengan seseorang? Penggambaran yang sungguh pas (aku yakin banyak novel romans bagus memahami ide ini).

"---Aku langsung sadar. Bukankah itu yang namanya cinta? Iya, kan? Itu pasti cinta!"

Aku suka sekali penekanan berulang-ulang seperti itu. :)

'Kusadari jauhnya jarak yang telah kulalui-dari masa lalu.'

***

Well, di atas itu beberapa kata yang betul-betul aku rasa... aku merasa dekat dan secara personal membuatku tersentuh akan jalinan cerita yang dirajut oleh Banana Yoshimoto dalam novelet Kitchen-nya.

Untuk edisi terjemahan Indonesianya sendiri, buku bersampul indah ini (aku suka kesederhanaannya) terdiri dari dua cerita. Novelet Kitchen [halaman 1-143] dan novelet Moonlight Sahadow [143-201].

Diawali dengan paragraf pembuka yang indah -langsung menuju dapur:

'Tempat yang paling kusukai di dunia ini adalah dapur.'

Kitchen menceritakan tentang seorang gadis bernama Mikage Sakurai yang kedua orangtuanya meninggal dan oleh karenanya dia tinggal bersama neneknya. Neneknya pun kemudian meninggal. Dia lalu hidup sebatang kara.

Namun kemudian muncul Yuichi Tanabe yang bersedia membantunya dalam upacara kematian neneknya. Merasa berhutang budi atas bantuan tersebut, beberapa hari kemudian, Mikage mengunjungi kediaman Yuichi untuk berterima kasih. Tanpa diduga, Yuichi justru mengajak Mikage untuk tinggal di kediaman keluarga Tanabe di apartemen yang letaknya cukup dekat dengan apartemen Mikage.

Yuichi entah kenapa begitu dekat dan sayang kepada nenek Mikage. Mikage mengetahui hal tersebut. Mungkin itu yang melandasi keputusannya untuk menyanggupi permintaan Yuichi.

Maka kemudian, Mikage akhirnya tinggal di apartemen keluarga Tanabe setelah sebelumnya diperkenalkan dengan Eriko Tanabe oleh Yuichi. Eriko adalah ayah kandung Yuichi yang setelah istrinya meninggal karena kanker memutuskan untuk mengubah jenis kelaminnya menjadi perempuan dan menjalani operasi kecantikan. Setelah itu, dia mendirikan bar dan membesarkan Yuichi seorang diri. Dia bekerja keras untuk bisa memberikan penhidupan bagi Yuichi.

Alur cerita berkembang. Mikage tinggal bersama Yuichi, aku suka keakraban yang terjalin di antara mereka. Nuansanya seperti dengan spontan menghiasi halaman-halaman cerita kebersamaan mereka. Tentang Migake yang sangat suka memasak (dia belajar memasak tiap hari), hingga tibalah saatnya Mikage memutuskan untuk kembali tinggal sendiri dan berpisah dari keluarga Tanabe... karena ingin menjadi lebih mandiri.

Beberapa saat kemudian setelah mereka terpisah cukup lama, Yuichi menghubungi Mikage dan menceritakan bahwa Eriko meninggal dibunuh oleh penggemarnya (laki-laki) yang tidak terima mengetahui kenyataan bahwa wanita cantik idolanya adalah seorang transeksual. Drama kedekatan mereka kembali muncul ke permukaan.

Aku suka ketika muncul pemikiran-pemikiran dan dialog-dialog tentang kehidupan, kematian, rasa kehilangan, kenangan tentang masa lalu serta orang-orang yang kita sayangi, orang-orang yang hadir dalam hidup kita betapa bisa begitu sangat berarti.... hadir pada hampir semua halaman di drama kehidupan mereka.

Bahkan, ending-nya pun masih begitu menggantung. Ini yang kusuka dari sebuah cerita. Cerita yang tidak betul-betul selesai. Seandainya semua cerita memiliki ending seperti ini, aku mungkin tidak akan keberatan disuruh membca berapa banyak buku pun dalam waktu singkat.

Itu untuk Kitchen.

Untuk Moonlight Shadow sendiri, ceritanya sederhana juga. Aku heran dengan materi yang begitu sederhana, kalimat-kalimat cantik, dan alur serta ending yang 'aneh',... cerita tipis pun bisa begitu meninggalkan jejak.

Moonlight Shadow bercerita tentang empat orang. Kakak-adik cowok yang memiliki pacar masing-masing dan mereka berempat sering mengadakan double date. Mereka berempat sama-sama dekat dan mengenal satu sama lain.

Moonlight Shadow juga bercerita tentang rasa kehilangan yang begitu pekat. Bagaimana seorang adik yang kehilangan kakak serta pacarnya dalam kecelakaan mobil dengan pacar kakaknya saling membantu menyembuhkan luka kehilangan itu.

Bagaimana seorang gadis serta bocah pria menyembuhkan luka mereka dengan caranya masing-masing. Si gadis dengan berlari tiap pagi melewati jembatan, si bocah pria dengan mengenakan pakaian seragam pacarnya (pakaian seragam perempuan) untuk bisa merasa dekat.

Sampai suatu hari, akhirnya orang-orang yang telah meninggal itu datang dalam kehidupan mereka lagi dan 'menyembuhkan' mereka dengan caranya.

Aku suka dengan plot ceritanya, bagaimana si gadis ini dipertemukan dengan pacarnya yang telah meninggal di sungai. Bahwa ada seseorang yang bilang tentang legenda: satu keajaiban dalam 100 tahun. Bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat.... bisa membuatku begitu tersentuh.

Ah, betulan. Rasanya dua cerita yang ditulis Yoshimoto di sini sungguh mengambarkan dengan baik tentang rasa kehilangan orang terkasih. Membantu kita merenungkan kembali arti kehidupan, membantu untuk mengingatkan bahwa kita harus menjalani hidup dengan sebaik-baiknya dan tetap ceria setelah apapun hal buruk menimpa.

Well, kurasa ini memang buku yang bagus dibaca untuk mengawali tahun. Aku merasa beruntung memulai tahun 2010 ini dengan membaca 'buku depresi' sekelas Kitchen.

Meski begitu, hanya bisa memberi 3/5. Liked it.

8 comments:

  1. buku bagus neh, boleh dipinjam?hehe...



    *pergi.. ~main hujan lagi~*

    ReplyDelete
  2. Hmm..., suka menulis resensi buku ya, bagus banget :)

    Oh ya, saya jarang melihat halaman blogspot yang ditata apik seperti ini, bagus sekali - ringan juga dibuka.

    Kalau boleh sekadar saran, sistem komentar blogspot masih muda dan tidak begitu baik. Coba ganti dengan DISQUS, JS-KIT atau ISTENSE DEBATE COMMENTS, pasti jadi lebih atraktif :)

    ReplyDelete
  3. Wah wah... Bukan panah hujan kalau postnya tidak panjang ya.. :D Seperti biasanya, dirimu masih selalu rajin membaca buku. Terkadang aku hanya rajin 'membeli' buku! :D Oh ya, sudah ada tanggapan komentar di komentarmu di sini: http://abstraq2.weebly.com/13/post/2010/01/nengajyou.html

    Terima kasih telah berkunjung!

    ReplyDelete
  4. Reviewnya keren...asli panjang banget & detail :D
    Aku mau beli ahh...aku catet dulu di daftar buku wajib beli :P
    Twenks mbak, infonya berguna :)

    ReplyDelete
  5. Kamu panah hujan yang ada di Kemudian itu? Aku ngerti kamu dari situ. Salam kenal juga.
    Betewe, sori aku post di sini. Nggak tahu tempat buat nge-post sih!

    ReplyDelete
  6. sebaiknya kalimat petikan itu digaris miringi,ak tau it petikan kr baca dan menekankan pd yg kau stabiloinnn :P

    ReplyDelete
  7. thanks, udah mampir ke blog saya...

    hehehe, iya...awalnya saya memandang "remeh" novelete ini....eh, ternyata pas dibaca ulang.....ya ampunn...kalimatnya bener-bener bagus...dan kadang dalem banget...

    ReplyDelete

Tulisan Terdahulu